Senandung yang Mencapai Sorga: Rest in Love Melitha Sidabutar

Sebuah obituari oleh Cristal Tarigan, NTT

8 April 2024, bisakah kusebut tanggal ini sebagai salah satu hari duka bagi banyak orang Kristen di Indonesia? Sampai aku mengetik tulisan ini pun, air mataku belum bisa kutahan karena mengingat dan mengenang sosok Melitha Sidabutar. Aku belum pernah berjumpa secara langsung dengannya, tapi aku menyayanginya dan merasa dekat karena setiap kesaksian yang dia bagikan, lagu-lagu yang dia ciptakan, semuanya telah mengambil tempat di hatiku.

Melitha Sidabutar adalah sosok penyanyi rohani yang memulai kiprahnya di dunia tarik suara lewat kontes-kontes pencarian bakat. Namun, dunianya tidak berlabuh di sana. Melitha menggunakan taleta suaranya untuk menyanyi bagi Tuhan lewat lagu-lagu rohani. Usianya pun masih muda. Dia dilahirkan pada tahun 2001, sehingga pada tahun ini usianya barulah menginjak 23 tahun. Seperempat abad pun belum!

Selama beberapa tahun terakhir, lagu-lagunya kumasukkan dalam playlist musikku begitu memberkati dan membuatku merasa lebih dekat dengan Tuhan. Kepergian Melitha yang mendadak mengingatkan kembali akan kepergian Melisha, saudari kembarnya yang telah berpulang lebih dulu menjelang ulang tahunnya yang ke-20 pada 8 Desember 2020. Media sosial pun riuh. Banyak komentar yang menuliskan kata-kata penghiburan. Salah satu yang paling mengena di hati adalah: Melitha dan Melisa bersama para malaikat sudah bernyanyi di surga bersama-sama memuji Tuhan”, demikian tulisan warganet.

Kematian dan hidup berjarak begitu dekat

Menyukai kisah dan lagu-lagu Melitha, aku sedih, rasanya juga belum percaya. Juga muncul beberapa pertanyaan di pikiranku: Tuhan panggil Melitha yang begitu memberkati banyak orang, di usia yang muda, ketika dia sedang mengerjakan pelayanannya. Kenapa? Apakah Tuhan tidak sayang? Mengapa harus pula kedua saudara kembar ini? Kenapa Tuhan tidak biarkan saja salah satunya panjang umur dan terus menjadi kesaksian yang hidup untuk nama-Nya sendiri?

Pertanyaan itu memantul dalam relung-relung hatiku. Lalu, aku sejenak mengingat bahwa meskipun ajal seringkali datang mendadak, segala sesuatu tetaplah ada dalam kendali-Nya. Allah yang maha mengetahui kapan masa segala sesuatu dari segala sesuatu.

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1).

Aku sadar bahwa Melitha, aku, pun kita semua adalah buatan Tuhan, ciptaan-Nya. Kita tidak memiliki kuasa untuk menentukan kapan masa terbit dan terbenam hidup kita. Bahkan sejengkal masa ke depan, tak ada yang tahu dan sanggup menjamin! Namun, mengapa Tuhan terkadang memanggil anaknya begitu cepat? Bukankah kepergian yang terlalu mendadak akan menggoreskan banyak luka bagi yang ditinggalkan?

Tahun 2022 lalu, aku juga kehilangan orang yang sangat kukasihi, dan orang pertama dalam garis keturunan keluargaku yang aku rasakan sosok kepergiannya. Dia adalah kakekku dari pihak bapak. Memang beliau wafat bukan di usia muda, tapi aku yakin bahwa baik muda ataupun tua, dukacita selalu memberikan rasa sakit. Kami begitu kehilangan, kesepian, bahkan kadang-kadang seperti tidak sadar bahwa mereka sudah tiada.

Ketika kehilangan kakekku, aku sedih sekali karena aku dekat dengannya. Tapi, beberapa hari setelah kematiannya, aku mengalami perjalanan iman yang membuatku mengucap syukur. Penghiburan yang kudengar dan iman yang kupunya membuatku yakin akan kehidupan kekal yang sudah dia miliki. Aku diteguhkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Kematian merupakan jalan untuk bertemu dengan Bapa dan tinggal selamanya dalam persekutuan kasih-Nya yang tidak berkesudahan. Kehidupan kita di dunia ibarat seorang musafir, hanya sementara.

Pada Yohanes 15:19 tertulis, “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.”

Ayat ini menyadarkanku tentang betapa pentingnya mengerti keberadaan kita saat ini hanyalah sementara. Yang menjadikan tiap nafas kita berarti bukan seberapa lama kita hidup, tapi tentang bagaimana kita hidup untuk memenuhi panggilan-Nya—taat melayani-Nya, dan berbuah lewat seluruh kesaksian hidup kita. Kesehatan dan panjang umur adalah baik, tapi memang umur hanyalah angka yang tak pernah kita tahu akan berhenti di mana.

Ketika dukacita datang, inilah perenungan yang kudapat:

1. Kematian memang menyedihkan tapi lewat kematian dan kebangkitan Kristus, kita memiliki keyakinan akan hidup kekal

Inilah pengharapan bagi kita bahwa kelak kita akan dibangkitkan sama seperti Kristus dan hidup dalam persekutuan kekal bersama para kudus. 

2. Hidup bukan sekadar kesempatan untuk melayani, tetapi melayani adalah keharusan kita dalam hidup

Lewat kehidupan Melitha, kita dapat belajar bagaimana mempergunakan setiap waktu yang ada untuk melayani Tuhan sepenuh hati kita. Bersaksi buat Tuhan lewat seluruh aspek hidup, karena kita tidak tahu bilamana waktu-Nya Tuhan tiba.

3. Tuhan berkenan atas sikap kerendahan hati dan ketulusan

Apabila dua sikap ini ada dalam diri kita, maka setiap karya yang kita lakukan bisa jadi pesan yang lembut sekaligus kuat untuk memberkati orang lain.

Sekalipun aku tidak mengenal Melitha secara pribadi, tapi dengan begitu banyaknya orang yang hari ini berduka, aku tahu Melitha telah melakukan pelayanannya dari hatinya yang terdalam.

4. Belajar taat untuk mengakhiri pertandingan dengan baik

Tuhan melihat proses hidup kita. Kita percaya bahwa kepada setiap orang yg mengakhiri pertandingan dengan baik, akan diberikan mahkota kehidupan. Seandainya saat ini kita bisa melihat rekam jejak hidup kita, sudahkah kita berproses dengan setia di hadapan-Nya?

Tuhanlah yang memberi, Tuhan jugalah yang mengambil. Turut berdukacita sedalam-dalamnya untuk seluruh keluarga besar Melitha Sidabutar, beristirahatlah dalam lautan cinta yang tak pernah usai, rest in love.

Terimakasih Mel, lewat hidupmu kami saat ini belajar bahwa sekalipun ragamu telah mati, tetapi karya dan teladanmu dapat dipakai Tuhan untuk menghidupkan semangat-semangat yang padam dan membawa mereka mereguk hidup yang sejati di dalam Kristus, Tuhan kita.

Mengenakan Kristus

Selasa, 9 April 2024

Baca: Roma 13:11-14

13:11 Hal ini harus kamu lakukan, karena kamu mengetahui keadaan waktu sekarang, yaitu bahwa saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur. Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita dari pada waktu kita menjadi percaya.

13:12 Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!

13:13 Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.

13:14 Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.

 

Marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang! —Roma 13:12

Saya sangat bersemangat saat mengenakan kacamata baru saya untuk pertama kalinya. Namun, baru beberapa jam memakainya, rasanya saya sudah ingin mencampakkannya. Mata saya perih dan kepala saya berdenyut-denyut karena harus beradaptasi dengan lensa kacamata baru itu. Telinga saya juga lecet karena bingkai barunya. Keesokan harinya saya mengeluh saat teringat harus mengenakannya. Saya harus berulang kali dengan sengaja memilih untuk memakainya setiap hari agar tubuh saya dapat beradaptasi. Butuh waktu sampai beberapa minggu, tetapi setelah itu, saya nyaris tidak menyadari bahwa saya sedang memakai kacamata.

Mengenakan sesuatu yang baru membutuhkan adaptasi, tetapi seiring waktu kita akan terbiasa, dan makin lama makin merasa cocok. Kita bahkan mulai melihat hal-hal yang sebelumnya tidak kita perhatikan. Dalam Roma 13, Rasul Paulus memerintahkan para pengikut Kristus untuk “mengenakan perlengkapan senjata terang” (ay.12) dan menjalani hidup yang benar. Meski sudah percaya kepada Yesus, sepertinya mereka sudah jatuh “[ter]tidur” dan lekas berpuas diri. Karena itu, mereka perlu “bangun” dan bertindak, berperilaku benar, dan menanggalkan semua dosa (ay.11-13). Paulus mendorong mereka untuk mengenakan Tuhan Yesus Kristus dan semakin menyerupai Dia dalam pikiran dan perbuatan mereka (ay.14).

Upaya kita untuk mencerminkan cara Yesus yang penuh kasih, lemah lembut, baik hati, penuh rahmat, dan setia tidak terjadi hanya dalam semalam. Dibutuhkan proses yang panjang untuk memilih “mengenakan perlengkapan senjata terang” dari hari ke hari, bahkan di saat-saat kita tidak ingin melakukannya karena merasa tidak nyaman. Namun, lama-kelamaan, Tuhan Yesus akan bekerja mengubah kita menjadi semakin menyerupai Dia. —Karen Pimpo

WAWASAN
Pada bagian akhir Roma 13, Paulus menyoroti perbedaan antara kegelapan dan terang. Hubungan antara keduanya melambangkan kehidupan yang dialami manusia sebelum mempercayai Kristus dan kehidupan yang mereka miliki sekarang bersama Dia. Perbedaan ini tampak dalam beberapa surat sang rasul. Sebelum datang kepada Tuhan Yesus, kita “adalah kegelapan” (Efesus 5:8), melakukan “perbuatan-perbuatan kegelapan” (ay. 11), dan terikat oleh “kuasa kegelapan” (Kolose 1:13) dan kepada “malam” (1 Tesalonika 5:5).
Akan tetapi, setelah percaya kepada Kristus, kita tidak boleh bergaul dengan kegelapan (2 Korintus 6:14), harus “[hidup] sebagai anak-anak terang” (Efesus 5:8), dan tidak lagi mengambil bagian dalam “perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa” (ay. 11). Kita telah dilepaskan “dari kuasa kegelapan” (Kolose 1:13) dan sudah menjadi “anak-anak terang dan anak-anak siang” (1 Tesalonika 5:5). JR Hudberg

Mengenakan Kristus
 

Seperti apa kamu “mengenakan” Yesus Kristus hari ini? Bagaimana mengamalkan hidup yang menyerupai Kristus semakin lama semakin terasa nyaman bagi kamu?

Tuhan Yesus, terima kasih, karena Engkau masih terus mengubahku hari lepas hari.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 13-14; Lukas 10:1-24

Sekutu yang Tidak Terduga

Oleh Cristal Tarigan, NTT

Beberapa waktu yang lalu, aku bersama dengan teman-temanku di komunitas rohani membahas tema yang menurutku sangat menarik: sekutu yang tidak terduga.

Pokok bahasan tema ini adalah seorang tokoh yang mungkin kurang familiar dalam pengetahuan kekristenan kebanyakan orang, bagiku juga saat itu. Dialah Rahab, seorang perempuan sundal yang menyelamatkan pengintai Israel dengan menyembunyikan mereka di sotoh rumahnya. Sampai sini, ada yang sudah ingat detail ceritanya? Mungkin kebanyakan kita biasanya hanya fokus ke cerita pengintai yang pemberani, bukan?

Aku lanjut ya guys. Apa sih yang menarik dari seorang Rahab?

Nah, kisah ini tercatat di kitab Yosua pasal 2 dan 6. Setelah Musa mati, Yosua mengambil alih kepemimpinannya untuk menggenapi janji Allah kepada umat Israel untuk merebut tanah Kanaan. Namun, janji itu tidak instan digenapi. Proses bagi Israel untuk tiba kembali di Kanaan begitu panjang dan tidak mudah, salah satunya karena mereka harus memerangi bangsa-bangsa lain. Ketika tiba di Yerikho, gerbang kota ini telah tertutup dan Allah berfirman pada Yosua untuk memerangi kota itu dengan mengelilinginya (Yosua 6). Menariknya, pada kisah penyerbuan ini, ada Rahab, seorang pelacur Kanaan yang hidup di dalam Yerikho. Rahab mempertaruhkan nyawanya dengan menyembunyikan pengintai Israel. Rahab berbohong kepada prajurit bangsanya sendiri dengan mengatakan kalau pengintai Israel telah pergi dari sana.

Aku sempat berpikir: dia seorang perempuan sundal, kemudian dia berbohong demi orang Israel. Mengapa dia takut kepada orang Israel, atau apakah dia diancam pengintai itu? Apa yang hebat dari seorang Rahab?

Pertanyaanku itu menemukan jawabannya ketika aku membaca Yosua 2:9, 11.

“Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu… Ketika kami mendengar itu, tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah.”

Luar biasa sekali iman seorang Rahab. Kalau bukan karena iman, apakah ada orang yang mau mempertaruhkan nyawanya dan nyawa keluarganya kepada orang yang belum benar-benar dia kenal (para pengintai)? Namun, Rahab melakukannya. Bagaimana dia bisa beriman kepada Allah Israel? Rahab sebelumnya telah mendengar kisah tentang apa yang sudah Allah Israel lakukan selama ini. Bukan saja mendengar, tapi Rahab juga menyimpan dan merenungkannya dalam hati. Itulah yang meneguhkannya untuk berani melakukan tindakan yang luar biasa sekali menurutku.

Pada akhirnya, Rahab dan keluarganya diselamatkan. Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Rahab?

1. Iman lahir dari pendengaran dan dibuktikan melalui tindakan

Jujur, aku tertampar sekali dengan kisah Rahab. Aku si aktivis rohani seringkali kurang percaya kepada Tuhan dalam berbagai area hidupku dan permasalahannya.

Bukankah kita juga sering demikian? Aku mendengar firman tapi seringkali takut untuk taat, padahal aku tidak harus melakukan tugas berat seperti Rahab yang harus merisikokan nyawanya sendiri.

2. Iman kita kepada Tuhan = mempertaruhkan nama baik Tuhan sendiri

Yosua 2:12 “Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya.”

Melalui percakapan Rahab dengan kedua pengintai di atas, dan bagaimana kemudian di Yosua pasal 6 janji tersebut digenapi, aku belajar satu hal penting bahwa saat kita sedang mempercayakan seluruh hidup kita kepada Tuhan, meletakkan semuanya atas dasar iman, sesungguhnya nama baik atau reputasi Tuhan sendiri yang sedang dipertaruhkan, bukan diri kita. Tuhan tidak pernah mengingkari janji-Nya. Dia pasti akan menjadi penolong dalam segala keadaan. Janji-Nya ya dan amin.

3. Menyerahkan hidup menjadi sekutu Yesus

Menjadi sekutu Allah pasti butuh yang namanya pengorbanan. Tidak mudah. Kadang kita tidak disukai, dikucilkan, dipandang sebelah mata, diremehkan, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan materi. Intinya dipaksa keluar dari zona nyaman. Itu adalah sebuah konsekuensi dari menjadi sekutu-Nya. Kadang kala juga pandangan yang membuat kita bisa saja kehilangan pengharapan itu berasal dari teman-teman rohani atau keluarga kita. Sekalipun demikian, hendaknya kita ingat penyertaan-Nya tidak berkesudahan sampai kita menutup cerita hidup kita.

***

Cerita Rahab tidak cuma berhenti dengan happy ending, yaitu dia dan keluarganya diselamatkan, tapi namanya juta dicatat di Injil Matius sebagai orang yang berada dalam garis silsilah keturunan Yesus. Rahab bagi dunia bisa saja dipandang hina, hanya seorang perempuan sundal, tidak layak. Kita pun seperti Rahab, pendosa, hina dan tidak layak, tapi Yesus telah menjadikan kita berharga dan mempercayai kita sebagai rekan sekerja-Nya. Ingatlah buah dari iman kita akan selalu mendatangkan berkat dan dampak yang besar bukan bagi kita sendiri tapi orang lain juga.

Selamat menjalani hari penuh proses, terus berjalan, melangkah dalam iman bersama Yesus saja. Di dalam imanmu, Tuhan sendiri yang sedang mempertaruhkan reputasi-Nya. Dia berperang dan berjuang bersamamu😊

Sukacita di dalam Kota

Senin, 8 April 2024

Baca: Amsal 11:1-11

11:1 Neraca serong adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat.

11:2 Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati.

11:3 Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya.

11:4 Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut.

11:5 Jalan orang saleh diratakan oleh kebenarannya, tetapi orang fasik jatuh karena kefasikannya.

11:6 Orang yang jujur dilepaskan oleh kebenarannya, tetapi pengkhianat tertangkap oleh hawa nafsunya.

11:7 Pengharapan orang fasik gagal pada kematiannya, dan harapan orang jahat menjadi sia-sia.

11:8 Orang benar diselamatkan dari kesukaran, lalu orang fasik menggantikannya.

11:9 Dengan mulutnya orang fasik membinasakan sesama manusia, tetapi orang benar diselamatkan oleh pengetahuan.

11:10 Bila orang benar mujur, beria-rialah kota, dan bila orang fasik binasa, gemuruhlah sorak-sorai.

11:11 Berkat orang jujur memperkembangkan kota, tetapi mulut orang fasik meruntuhkannya.

Bila orang benar mujur, beria-rialah kota. —Amsal 11:10

Ketika tim nasional Prancis dan Argentina berhadapan dalam final Piala Dunia 2022, pertarungan mereka berlangsung sangat luar biasa, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai “pertandingan Piala Dunia terbesar dalam sejarah”. Setelah detik-detik terakhir perpanjangan waktu berlalu dan skor masih seri 3-3, kedua tim pun melakukan adu tendangan penalti. Setelah Argentina mencetak gol kemenangan, seluruh negeri meletup dalam kebahagiaan. Lebih dari satu juta warga memenuhi pusat ibu kota Buenos Aires. Rekaman drone yang memenuhi media sosial memperlihatkan suasana gempita dan sukacita tersebut. Salah satu laporan kantor berita BBC menggambarkan bagaimana kota itu berguncang dengan “ledakan sukacita”.

Sukacita selalu merupakan anugerah yang indah. Namun, Kitab Amsal menggambarkan bagaimana sebuah kota, sebuah bangsa, dapat mengalami sukacita yang lebih mendalam dan lebih menetap. “Bila orang benar mujur,” kata Amsal, “beria-rialah kota” (11:10). Ketika mereka yang sungguh-sungguh hidup menurut rancangan Allah bagi umat manusia mulai memberikan pengaruh terhadap kehidupan sebuah masyarakat, ini menandakan kabar baik, karena artinya keadilan Allah sedang ditegakkan. Keserakahan berkurang. Orang miskin terbantu. Kaum yang tertindas dilindungi. Setiap kali jalan hidup Allah yang benar bertumbuh subur, akan ada sukacita dan “berkat” di dalam kota (ay.11).

Apabila kita sungguh-sungguh menghidupi jalan Allah, maka hasilnya adalah kebaikan bagi semua orang. Cara hidup kita akan menjadikan komunitas kita lebih baik dan lebih utuh. Allah mengundang kita mengambil bagian dalam pekerjaan-Nya untuk memulihkan dunia. Dia mengundang kita untuk membawa sukacita ke dalam kota. —Winn Collier

WAWASAN
Kitab Amsal termasuk dalam Sastra Hikmat dari Perjanjian Lama. Kitab ini terdiri dari dua bagian. Dalam pasal 1–9, Salomo membagikan hikmat kepada putranya tentang berbagai hal, seperti mengelola uang, memilih teman, dan kesucian seksual. Namun, pasal 10–31 kelihatan seperti sekumpulan peribahasa bijaksana yang tidak beraturan. Beberapa bagian disajikan dalam bentuk perbandingan yang berlawanan (yang disebut paralelisme antitesis), ketika orang baik dikontraskan dengan orang jahat. Sebagian besar amsal ditulis oleh Salomo (10:1–22:16). Pasal 25–27 adalah amsal-amsal Salomo yang disusun oleh pegawai-pegawai Raja Hizkia. Yang lainnya datang dari sekelompok orang bijak yang tidak disebutkan namanya (22:17–24:34), Agur (pasal 30), dan Raja Lemuel (pasal 31).
Kitab Amsal berisi harta kekayaan hikmat tentang hal-hal yang selalu relevan bagi kita, seperti cara menjalin hubungan, pekerjaan, integritas hidup, dan pengasuhan anak. Beberapa di antaranya juga dikutip dalam Perjanjian Baru; contohnya, Roma 12:20, Yakobus 4:6, dan 1 Petrus 5:5. —Bill Crowder

Sukacita di dalam Kota

Di manakah sukacita dibutuhkan dalam kota kamu? Bagaimana kamu dapat membawa sukacita Allah di sana?

Allah yang baik, mampukanlah aku untuk bersama-Mu menghadirkan sukacita bagi sesamaku.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 10-12; Lukas 9:37-62

Lima Hal Baik

Minggu, 7 April 2024

Baca: Mazmur 107:1-9

107:1 Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.

107:2 Biarlah itu dikatakan orang-orang yang ditebus TUHAN, yang ditebus-Nya dari kuasa yang menyesakkan,

107:3 yang dikumpulkan-Nya dari negeri-negeri, dari timur dan dari barat, dari utara dan dari selatan.

107:4 Ada orang-orang yang mengembara di padang belantara, jalan ke kota tempat kediaman orang tidak mereka temukan;

107:5 mereka lapar dan haus, jiwa mereka lemah lesu di dalam diri mereka.

107:6 Maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dilepaskan-Nya mereka dari kecemasan mereka.

107:7 Dibawa-Nya mereka menempuh jalan yang lurus, sehingga sampai ke kota tempat kediaman orang.

107:8 Biarlah mereka bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia,

107:9 sebab dipuaskan-Nya jiwa yang dahaga, dan jiwa yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan.

Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. —Mazmur 107:1

Menurut penelitian, orang yang sungguh-sungguh mensyukuri apa yang mereka miliki mengalami tidur yang lebih nyenyak, tubuh yang jarang sakit, dan perasaan yang lebih bahagia. Sungguh manfaat-manfaat yang sangat mengesankan. Para psikolog bahkan menyarankan agar kita membuat “daftar ucapan syukur” untuk meningkatkan kesejahteraan jiwa kita, dengan rajin menuliskan lima hal yang kita syukuri setiap minggunya.

Kitab Suci sudah sejak lama mendorong kita untuk mengucap syukur. Mulai dari makanan dan pernikahan (1Tim. 4:3-5) hingga keindahan alam ciptaan (Mzm. 104), Alkitab telah menyerukan kepada kita untuk memandang semua itu sebagai berkat yang sudah sepatutnya mendorong kita mengucap syukur kepada Sang Pemberi. Mazmur 107 menuliskan lima hal yang secara khusus dapat disyukuri oleh bangsa Israel: diselamatkan dari pengembaraan di padang belantara (ay.4-9), dibebaskan dari penawanan (ay.10-16), dipulihkan dari penyakit (ay.18-22), diselamatkan di laut (ay.23-32), dan bertambah makmur di tanah yang tandus (ay.33-42). “Biarlah mereka bersyukur kepada Tuhan,” pemazmur menulis berulang kali, karena semua itu adalah tanda “kasih setia” Allah (ay.8,15,21,31).

Apakah kamu mempunyai sebuah buku catatan? Mengapa tidak kamu coba menuliskan lima hal indah yang kamu syukuri saat ini? Mungkin itu makanan yang baru kamu nikmati, pernikahan kamu, atau seperti bangsa Israel, pengalaman-pengalaman ketika Allah menyelamatkan kamu hingga saat ini. Bersyukurlah untuk burung-burung yang berkicau di luar, aroma dari dapur kamu, kenyamanan kursi kamu, gumaman orang-orang tersayang. Setiap hal itu adalah berkat dan tanda kasih setia Allah. —Sheridan Voysey

WAWASAN
Mazmur 107 adalah syair indah yang disusun dengan cermat tentang kuasa dan belas kasih Allah dalam kehidupan orang-orang yang terancam oleh berbagai kesulitan hidup. Mazmur ini diawali dengan ajakan untuk memuji Allah (ay. 1), karena Dia telah menebus kita: “Biarlah itu dikatakan orang-orang yang ditebus TUHAN, yang ditebus-Nya dari kuasa yang menyesakkan” (ay. 2). Kata ditebus berasal dari kata Ibrani ga’al. Kata ini memiliki makna “menebus,” “bertindak sebagai sanak penebus” (melakukan tanggung jawab sebagai sanak keluarga). Kata ini pertama kali dipakai di Kejadian 48:16 ketika Yakub, di penghujung kehidupannya yang penuh lika-liku dan kesulitan, menyebut Allah sebagai “Malaikat yang telah melepaskan [menebus] aku dari segala bahaya.” Dalam sudut pandang teologis dan sejarah, Allah adalah penebus kita. Semua orang yang percaya kepada Yesus, Putra Allah, untuk pengampunan dosa-dosanya akan ditebus dan diselamatkan dari murka Allah. —Arthur Jackson

Lima Hal Baik

Menurut kamu, mengapa Kitab Suci sering menyerukan kepada kita untuk bersyukur? Apa lima hal yang kamu syukuri hari ini?

Allah Bapa, aku bersyukur untuk setiap hal baik yang Engkau bawa ke dalam hidupku. Lebih dari itu semua, aku bersyukur untuk diri-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 7-9; Lukas 9:18-36

Manusia Baru di dalam Kristus

Sabtu, 6 April 2024

Baca: Efesus 4:17-28

4:17 Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia

4:18 dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.

4:19 Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran.

4:20 Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar mengenal Kristus.

4:21 Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus,

4:22 yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan,

4:23 supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu,

4:24 dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.

4:25 Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.

4:26 Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu

4:27 dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.

4:28 Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan.

Hendaklah kalian hidup sebagai manusia baru yang diciptakan menurut pola Allah. —Efesus 4:24 bimk

Biji-biji dan daun-daun pohon cemara biru kami rontok. Ahli tanaman yang melihat keadaan pohon kami dengan sekilas langsung tahu pokok permasalahannya. “Cemara memang begitu,” katanya. Tadinya saya berharap mendapat penjelasan yang lebih baik. Atau obatnya. Namun, si ahli tanaman hanya mengangkat bahu dan mengulangi perkataannya, “Cemara memang begitu.” Secara alamiah, pohon cemara merontokkan biji-biji dan daun-daunnya. Itu tidak bisa diubah.

Syukurlah, kehidupan rohani kita tidak dibatasi oleh perbuatan atau perilaku yang tidak dapat diubah. Paulus menekankan kebenaran yang memerdekakan itu kepada orang-orang Efesus yang baru percaya kepada Tuhan. Pikiran orang bukan Yahudi, kata Paulus, “sudah gelap” dan tertutup kepada Allah. Hati mereka yang keras dipenuhi “segala hawa nafsu,” dan hanya ingin mengejar kesenangan dan keserakahan (Ef. 4:18-19 BIMK).

Namun, karena “sudah mendengar tentang [Yesus]” dan kebenaran-Nya, mereka harus “[menanggalkan] manusia lama dengan pola kehidupan lama” (AY.21-22 BIMK). Paulus menyoroti bagaimana manusia lama kita “sedang dirusakkan oleh keinginan-keinginannya yang menyesatkan.” Ia menasihati, “Hendaklah hati dan pikiranmu dibaharui seluruhnya. Hendaklah kalian hidup sebagai manusia baru yang diciptakan menurut pola Allah; yaitu dengan tabiat yang benar, lurus dan suci” (AY.22-24 BIMK).

Kemudian Paulus menuliskan cara-cara untuk menjalani hidup baru tersebut. Jangan lagi berbohong. Jangan terus marah. Berhenti mengumpat. Berhenti mencuri. “Sebaliknya [kita] harus bekerja supaya mendapat nafkahnya dengan jujur dan dapat menolong orang yang berkekurangan” (ay.28). Manusia baru kita dalam Kristus memungkinkan kita untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan panggilan kita, dengan terus tunduk mengikuti cara hidup yang dikehendaki Juruselamat kita. —Patricia Raybon

WAWASAN
Ketika Paulus menjabarkan ciri-ciri sifat baru kita dalam Kristus, ia mengakui bahwa ada saatnya kita marah. Ia berkata, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa” (Efesus 4:26). Yesus juga merasakan kemarahan ketika Dia mengusir para pedagang dari bait suci (Markus 11:15-17; Yohanes 2:13-17). Contoh lain terdapat di Markus 3:5: “Dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada [para pemuka agama]” karena mereka ingin menyalahkan-Nya jika Dia menyembuhkan seseorang pada hari Sabat. Akan tetapi, Kristus tidak membiarkan kemarahan-Nya berlarut-larut hingga membuahkan sikap mendendam. Alangkah baiknya kita mencontoh jenis kemarahan tersebut—suatu kemarahan yang tidak berdosa. —Tim Gustafson

Manusia Baru di dalam Kristus

Apa maksudnya bagi kamu untuk mengenakan “manusia baru”? Bagaimana kamu berusaha menjalani cara hidup Juruselamat kita?

Tuhan Yesus, perbaruilah naturku hari ini, dan kuserahkan diriku untuk dibentuk semakin serupa dengan-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 4-6; Lukas 9:1-17

Menjadikan Relasi Lebih Berkualitas: Sikap Hormat

Yohanes 15:12: Inilah perintah-Ku yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Ayat ini adalah ayat umum yang dipakai untuk bicara soal relasi, tapi di saat yang sama paling mudah disalahmengerti. Mungkin karena saking biasanya ayat ini, kata “kasih” lebih cepat menarik mata kita dibandingkan kata perintah”. Jujur saja bagiku sebagai anak muda kata perintah memang punya konotasi ‘negatif’ karena kesannya yang “bossy”. Tapi kenyataannya kata ini keluar dari mulut Tuhan Yesus dan menjadi dasar dari hukum kasih.

Perintah dan hukum, adalah dua kata yang membawa kita melihat ada otoritas di dalam hidup kita. Jika kita percaya dan mengakui bahwa tidak ada hukum yang dapat mengatasi hukum kasih, secara tidak langsung kita akan lebih baik menjadi pelaku kasih dengan belajar menghormati. Dengan menghormati, kita tidak pernah kehilangan kehendak bebas, melainkan menjadi bijak dengan meletakkan kehendak bebas itu berdiri di atas batu penjuru yang kokoh dan tidak tergoyahkan, yaitu otoritas Firman Tuhan di dalam Yesus Kristus.

  • Dengan memilih, relasi itu dimulai; dengan tunduk dan hormat, relasi itu tumbuh menjadi cinta

Di masa-masa jombloku, pernah pada masanya aku senang main dating apps. Ternyata melalui dating apps aku bisa menentukan pilihan dan kriteria penampilan, pekerjaan, agama, ras, hobi, tinggi, umur sesuka aku. Pernah beberapa kali aku bertemu seorang yang cantik sekali, fun, enak untuk diajak ngobrol. Namun, tidak lama setelah itu aku di-ghosting. Pernah juga aku memilih seorang perempuan yang cantik di foto, namun kenyataannya tidak semenarik itu. Terkena cat fishing dalam dating apps, aku pun sebagai laki-laki yang adalah makhluk visual harus jujur bahwa aku kecewa. Kenyataannya ternyata punya pilihan itu tidak selalu menjamin bahwa kitalah yang memegang kendali.

Ironisnya, sering kali kita berpikir bahwa mendapatkan jodoh intinya adalah “aku memilih yang benar” dan “karena pilihanku benar, maka aku mencintai kamu”, tetapi perenunganku tentang arti perintah di dalam Alkitab mengungkap bahwa di samping memilih, aku juga pun perlu belajar menghormati pilihan Tuhan. Hari ini, kata “tunduk” dan “hormat” kalah populer dibandingkan “hak memilih”. Hal ini bisa terjadi karena kenyataannya lebih mudah menentukan kriteria orang yang berhak dicintai kita, dibandingkan menjadi orang yang patut dicintai.

Di dalam memulai sebuah relasi, kita boleh saja memilih. Tetapi untuk memiliki kasih dalam relasi, kita perlu belajar tunduk dan hormat. Tunduk dan hormat adalah sikap yang fokusnya di dalam diri setiap kita, sedangkan memilih fokus kepada apa yang ada di dalam diri orang lain. Memilih pasangan hingga presiden, kita bebas berkriteria. Tapi, untuk menghormati mereka belum tentu mudah bagi kita. Bagaimana kita harus menghormati pilihan doi yang menolak kita? Bagaimana kita menghormati batasan di dalam berpacaran? Bagaimana kita menghormati perbedaan kepribadian di dalam pacaran? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika kita mau mengikuti proses mengenal Tuhan, diri, dan sesama kita tanpa memaksakan “pilihan manusiawi kita” yang berdosa.

  • Memperhatikan hidup adalah jalan yang harus ditempuh bagi kita yang mau tinggal di dalam kehendak Tuhan

Saat ini aku berstatus sebagai orang berpacaran. Izinkan kuceritakan sedikit bagaimana aku bisa menjalin relasi ini. Aku sedang menempuh studi di sekolah Teologi dan di tahun kedua aku memilih masuk asrama. Ketika kasus Covid sedang naik, aku pun dikarantina dengan seorang mahasiswa berkebutuhan khusus. Baru tiga hari bersama, aku takut dan cemas karena perilaku teman sekamarku ini membuatku tidak nyaman. Terpikir olehku untuk mencari pertolongan dengan menghubungi seorang mahasiswi konseling yang kukenal di BEM. Singkat cerita, dari sesi konsultasiku, aku jadi tertarik dengan mahasiswi ini. Pembicaraan kami makin dalam dan kami memutuskan menjadi relasi hingga saat ini.

Sepanjang perjalananku berelasi, aku belajar dan menyadari bahwa tunduk dan hormat adalah sikap yang mahal! Hari ini, kita hidup di dalam zaman yang terbalik, yaitu ketika kita lebih mudah memilih kriteria pasangan sesuai kriteria sendiri tetapi sulit menghormati kriteria Allah. Allah memberikan kita kriteria berupa iman kepada Kristus, ketaatan, dan memiliki kasih kepada Allah dan sesama.

Lebih mudah memilih untuk segera menjalin hubungan tanpa bertanya kepada Tuhan apakah dia memang pasangan yang Tuhan berkenan. Lebih mudah memilih menjadikan jalan pacaran sebagai “jalan pertobatan”, dibandingkan tunduk dan menghormati anugerah Allah melalui Firman-Nya. Lebih mudah untuk menyerahkan tubuh kita kepada manusia dibandingkan menyerahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Lebih mudah memilih menutup mata ketika cinta kita menggebu-gebu, daripada menghormati proses persiapan yang serius menuju pernikahan. Lebih mudah memilih cerai, daripada menghormati Allah yang membentuk institusi pernikahan.

Poin terakhir, kita dipanggil untuk tunduk dan hormat pada pasangan kita semata-mata kita mau tunduk dan hormat kepada Allah. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, kita yang laki-laki akan perlahan kehilangan alasan untuk berkorban bagi pasangan kita ketika dia tidak lagi menarik di mata kita. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, perempuan mungkin akan terlihat kuat dan baik-baik saja, namun rapuh dari dalam. Kristus yang mencintai kita hingga saat ini adalah alasan kita laki-laki mau belajar apa arti pengorbanan. Kristus yang adalah Allah sekaligus manusia yang paling layak untuk dicintai adalah alasan bagi perempuan untuk terus belajar apa itu artinya tunduk kepada pasangan.

Belajar menghormati itu mengajarkan kita memelihara relasi kita. Mungkin ada di saat ini kita masih bergumul tentang pilihan kita, tapi akan ada waktunya pilihan itu harus ditutup misalnya ketika kita memutuskan menikah. Ketika pilihan itu tertutup, hanya sikap menghormati dan kasih yang akan terus dipakai di dalam hubungan pernikahan (Lihat Efesus 5:21-33).

Aku yakin semua keinginan kita untuk punya pasangan adalah juga keinginan untuk hidup menjadi seorang suami dan istri yang baik. Oleh karena itu, yuk kita belajar 1% lebih baik dengan mulai belajar menghormati Allah kita dahulu, sebelum lalu kita menghormati orang tua, saudara kita, bos kita, karyawan kita, teman kita, guru kita, dan orang-orang di sekeliling kita. Terkadang sulit menghormati mereka yang mengecewakan kita dengan hidup mereka yang jelas-jelas salah, namun di saat seperti itu aku berdoa agar kita juga punya waktu untuk berhenti dan kembali melihat Tuhan yang telah menebus hidup kita dengan darah-Nya di atas kayu salib.

Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk takut dan menghormati Allah, karena di dalam Dia saja ada relasi yang terus tumbuh dan indah pada waktunya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Podcast KaMu ep. 28: KENALAN SAMA PRISKILA & AKWILA YUKS! Sejoli yang Berperan Besar dalam Misi Paulus

Abraham, Musa, Daud, Paulus adalah tokoh-tokoh besar yang pasti dikenal banyak orang. Namun, tahukah kamu dengan tokoh Priskila dan Akwila?

Mereka adalah sepasang suami-istri yang hidup pada masa gereja mula-mula dan tercatat pada Alkitab Perjanjian Baru. Meski tidak banyak disebut, mereka memiliki peran penting dalam pelayanan Rasul Paulus.

Bagaimana kisah hidup mereka bisa kita teladani di zaman modern ini?

Yuk, tonton dan dengerin di Podcast KaMu!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hadirat Allah

Jumat, 5 April 2024

Baca: Pengkhotbah 3:1-11

3:1 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

3:2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;

3:3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;

3:4 ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;

3:5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;

3:6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;

3:7 ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;

3:8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.

3:9 Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?

3:10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.

3:11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

[Allah] memberikan kekekalan dalam hati mereka. —Pengkhotbah 3:11

Monique sedang bergumul. Saat melihat beberapa temannya yang Kristen, ia mengagumi cara mereka menangani pergumulan hidup. Ia bahkan agak cemburu kepada mereka. Akan tetapi, Monique tidak yakin dapat hidup seperti teman-temannya itu. Ia mengira bahwa beriman kepada Kristus itu berarti mengikuti aturan-aturan agama. Akhirnya, seorang teman kuliah membantunya melihat bahwa Allah tidak bermaksud untuk mempersulit hidupnya. Sebaliknya, Allah menginginkan yang terbaik baginya di tengah pasang surut kehidupan. Setelah memahami hal itu, Monique siap untuk mempercayai Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya dan menerima kebenaran luar biasa tentang kasih Allah baginya.

Raja Salomo mungkin akan memberikan nasihat serupa kepada Monique. Sang raja menyadari bahwa dunia ini memang sarat dengan kesusahan. Benar sekali, “untuk segala sesuatu ada masanya” (Pkh. 3:1)—“ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari” (ay.4). Namun, bukan itu saja. Allah bahkan “memberikan kekekalan dalam hati [manusia]” (ay.11). Kekekalan itu dimaksudkan Allah untuk manusia hidupi dalam hadirat-Nya.

Ketika Monique percaya kepada Yesus, ia menerima kehidupan “dalam segala kelimpahan,” seperti yang dikatakan-Nya (Yoh. 10:10). Namun, sesungguhnya ia menerima jauh lebih banyak dari itu! Dengan iman, “kekekalan dalam hati[nya]” (Pkh. 3:11) menjadi jaminan akan masa depan yang terbebas dari pergumulan hidup (Yes. 65:17) dan bahwa hadirat Allah yang mulia akan menjadi kenyataan yang abadi. —Dave Branon

WAWASAN
Pengkhotbah tidaklah seperti kitab-kitab Hikmat lain dalam Perjanjian Lama. Isinya penuh dengan keraguan, dan kehidupan digambarkan dengan istilah-istilah yang sering kali terdengar muram dan pesimis. Pengkhotbah memiliki beberapa ide utama. Kata sia-sia (1:2) muncul berkali-kali dan berarti “hampa” atau “tidak berarti.” Istilah lain adalah di bawah matahari (ay. 3). Artinya “menurut sistem atau nilai-nilai dunia ini.” Ungkapan lain yang sering diulang adalah “menjaring angin” (ay. 14). Frasa ini adalah perumpamaan yang menggambarkan “usaha yang dikeluarkan tanpa hasil karena tidak ada orang yang bisa menjaring angin” (The Bible Knowledge Commentary). —Bill Crowder

Hadirat Allah

Bagaimana kamu telah mengalami kehidupan melimpah yang ditawarkan Yesus? Hal-hal apa saja dalam hidup kamu di dalam Tuhan yang kamu syukuri?

Tuhan Yesus, aku mengerti apa yang dikatakan Salomo tentang pasang surutnya kehidupan di dunia ini. Namun, aku berterima kasih, karena Engkau telah membuat kehidupan ini berharga dan layak dijalani. Terima kasih juga atas sukacita abadi yang menantiku.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 1-3; Lukas 8:26-56