Menjadi Bijaksana di Usia Muda

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Kawula muda, pernahkah kamu diremehkan oleh orang lain—khususnya mereka yang lebih senior dari kamu—karena kamu masih muda? Kalau kamu pernah mengalaminya berarti kita sama, karena aku juga pernah mengalami bagaimana rasanya diremehkan saat aku memberikan nasihat kepada orang lain yang lebih senior dariku terkait keputusannya yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Pengalamanku itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu, saat itu aku menegur seorang senior karena keputusan dan tindakannya berselingkuh dengan orang lain yang bukan pasangannya, padahal dia sudah menikah. Empat tahun lalu aku belum menikah dan masih studi dan antara usiaku dengan senior itu terpaut cukup jauh. Nasihatku itu pun tidak diindahkannya. Bahkan, dia menyerangku dengan kata-kata yang tidak mengenakkan, “kamu masih kecil, belum menikah, gak mungkin ngerti.”

Pengalaman ini sungguh menggelisahkanku. Seolah-olah masa muda berarti kebodohan, atau bahkan kebebalan. Di sisi lain, pengetahuan dan kebijaksanaan seolah-olah hanya milik orang tua. Namun, aku tidak menampik fakta bahwa ada anak muda yang mengisi waktu mudanya yang penuh energik dan gairah dengan hal-hal yang sia-sia, seperti kecanduan bermain game, shopping, dan kecanduan yang lain. Walau begitu, bukankah hal serupa dapat juga dilakukan oleh mereka yang dianggap senior atau tua? Lagipula, Alkitab jelas mengajarkan bahwa siapa pun punya peluang yang sama untuk melakukan dosa, bahkan dikatakan “Semua orang telah berbuat berdosa.” (Roma 3:23).

Kalau begitu, mungkinkah seorang muda memiliki kebijaksanaan? Atau, seperti pertanyaan retoris pemazmur di Mazmur 119:9, “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai firman-Mu.” Ya, benar bahwa Allah dan firman-Nya adalah sumber kebijaksanaan atau hikmat manusia. Kita memperoleh kebijaksanaan bukan melalui pengalaman kita seperti yang banyak diajarkan oleh banyak orang, karena ada orang yang sudah mengalami atau punya banyak pengalaman pun tetap bisa jatuh lagi di kesalahan yang sama, karena dia tidak merenungkan pengalamannya itu di bawah terang firman Tuhan. Padahal, di Amsal 2:6 mengajarkan, “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.” Lalu, di Mazmur 19:7 dituliskan, “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.” Jadi, tanpa berelasi secara pribadi dengan Tuhan dan juga mengenal-Nya lewat Alkitab, kebijaksanaan hanyalah utopia bagi siapa pun, bahkan orang yang sudah tua sekalipun.

Amsal 1:7 juga mengajarkan kepada kita bahwa “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Jadi, pengetahuan atau kebijaksanaan kita peroleh saat kita takut akan Tuhan, bukan karena kita merenungkan pengalaman kita sendiri. Takut akan Tuhan di sini bukan takut dalam pengertian negatif menjauhi karena menyeramkan, melainkan respek akan Tuhan. Takut akan Tuhan adalah sebuah cara hidup anak-anak Tuhan di mana kita tahu bahwa kehendak dan perintah Tuhanlah yang harus kita utamakan dan lakukan, bukan keinginan kita. Kita tahu bahwa mengingini milik orang lain adalah salah (Keluaran 20:17), sekalipun hati kita sungguh mendambakannya.

Takut akan Tuhan berarti kita berani untuk tampil berbeda atau bahkan beroposisi dengan dosa dan kejahatan di dunia ini. Kita berani untuk mengatakan “ya” pada kebenaran, dan “tidak” pada dosa, meski kita dijauhi atau bahkan dimusuhi oleh orang-orang terdekat kita yang menghidupi dosa tersebut. Namun, bagi sesama orang percaya, kebijaksanaan yang kita hidupi dalam hidup sehari-hari tentu akan menjadi teladan bagi mereka. Itulah yang dipesankan oleh rasul Paulus kepada anak imannya yang bernama Timotius, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1 Timotius 4:12).

Kemudaan bukanlah masalah bagi kebijaksanaan, tapi dosa dan kesewenang-wenangan (atau bahasa Surabaya sak karepe dewe”) akan Tuhan itulah yang menjadikan manusia bodoh dan bebal. Oleh karena itu, aku mengajak kawula muda yang juga mengembara bersama di dunia ini untuk mengejar hikmat dari Tuhan dan melakukannya dalam hidup kita sehari-hari. Di satu sisi, kita bukan bagian dari dunia (not of the world), tapi di sisi lain kita berada di dunia (in the world). Aku berharap kebijaksanaan yang kita tunjukkan lewat perbuatan kasih dan keadilan terhadap sesama bukan hanya menjadi teladan bagi sesama orang percaya, tetapi juga menjadi terang bagi dunia ini, walau tak jarang dunia juga menolak kebijaksanaan yang kita tunjukkan dalam aksi nyata.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
6 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *