Posts

Tuhan Tidak Punya Bintang Review

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Tuhan tidak punya bintang untuk diulas. Berapa pun penilaian kita tentang Tuhan tidak akan mempengaruhi pribadi-Nya. Bagian kita adalah berkenalan dan mengalami Tuhan secara langsung, bukan hanya sekadar kata orang saja. 

Beberapa minggu lalu aku memutuskan ingin membaca sebuah novel. Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film. Keduanya, baik novel maupun film, cukup booming. Padahal yang aku tahu, novel atau film tersebut bersifat tabu di masyarakat. Akhirnya aku memutuskan membaca ulasan terlebih dahulu sebelum beralih ke novelnya. 

Aku sengaja mencari ulasan yang panjang dan membacanya satu persatu. aku jadi bisa tahu pendapat-pendapat orang mengenai karakter di novel tersebut. Tanpa perlu membuka halaman-halaman di dalamnya, aku bisa tahu beberapa scene penting lewat ulasan yang kubaca. Alurnya tertebak, penulisannya biasa, karakternya tidak romantis padahal banyak orang bilang ini novel romantis. Aku terlalu asyik membaca ulasan-ulasan tersebut hingga lupa membaca novel aslinya. 

Tiba-tiba aku teringat, ini semua sebenarnya merupakan opini-opini orang tentang pengenalan mereka terhadap novel itu. Siapa tahu opiniku berbeda dengan apa yang dialami orang-orang. Mengapa aku sibuk membaca ulasan dan tidak langsung membaca saja novel tersebut? Ada bagian dari diriku yang mengatakan mulai saja baca, tidak perlu sibuk lihat ulasan dan setelah itu baru menentukan mau baca atau tidak. Apa salahnya memang jika aku membaca sendiri? 

Di situs Goodreads, novel tersebut sampai hari ini memiliki rating tidak lebih dari 4. Aku cenderung malas membaca buku yang ratingnya tidak sampai empat. Terlalu lama aku membaca ulasan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan membaca novel itu. Namun, akhirnya aku coba baca bab pertama novel itu. Don’t judge a book by its cover, katanya. Selesai bab pertama novel itu aku tidak lagi melanjutkannya. Aku menyetujui beberapa ulasan negatif mengenai novel itu. Entah buku itu memang tidak cocok bagiku, entah aku yang terpengaruh oleh ulasan yang aku baca, atau memang buku itu tidak sebagus promosi media.

Namun, aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Mengapa penting bagiku untuk mengetahui ulasan dari novel itu sebelum membacanya? Ternyata setelah disadari, aku ingin menghindari penderitaan yang dapat ditimbulkan dari membaca novel itu. Aku tidak mau merasa rugi membaca novel yang tidak berbobot. Aku tidak mau bertahan membaca tulisan yang sulit dinikmati kalimat-kalimatnya. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab ada begitu banyak buku lain yang lebih bagus untuk dibaca, pikirku.

Tiba-tiba pikiranku melompat. Apakah begitu juga sikapku kepada Tuhan? Jangan-jangan aku mengenali Tuhan bukan dengan mengalaminya secara langsung. Aku cenderung dengar kata orang-tentang Tuhan, tapi tidak mengalaminya. Aku dengar kata orang Tuhan itu baik, tapi aku tidak benar-benar menyadari dan mengalaminya. Mungkin kebanyakan orang juga mengalami hal yang sama sepertiku. Sering dengar khotbah atau berita-berita tentang Tuhan, dan dari situ mereka mengambil kesimpulan dan penilaian tentang Tuhan. Merasa cukup dengan semua informasi itu dan tidak perlu mengalami Tuhan. Akhirnya, kesimpulan kita tentang Tuhan bersifat tidak autentik dan cenderung tidak peduli.

Aku berdiskusi dengan salah satu teman. Dia mengatakan, dalam sebuah relasi butuh dua pengetahuan: Cognitive Knowledge dan Emotional Knowledge. Relasi yang kokoh dan autentik adalah relasi yang merupakan kolaborasi keduanya. Relasi orang tua dan anak misalnya. Orang tua mengajarkan kepada anak untuk tidak takut meminta apa yang mereka inginkan. Itu adalah informasi yang disimpan sebagai pengetahuan. Jika sang anak meminta, tapi orang tuanya terus mengabaikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Sang anak akhirnya kesulitan untuk terikat secara emosi dengan orang tua. Kalau ini berlanjut, pelan-pelan sang anak bisa saja meragukan kebenaran dari pengetahuan yang selama ini dia pahami. Begitu juga relasi kita dengan Tuhan. 

Aku teringat kisah Ayub. Pada akhirnya Ayub mengenal Tuhan secara pribadi. Penderitaan bertubi-tubi menimpa Ayub, menyengsarakannya, dan secara khusus menempa imannya. Iman Ayub tidak lagi menjadi iman kata orang. Iman Ayub menjadi iman yang dapat dialami—utuh menyentuh aspek kemanusiaan Ayub. Pengenalan Ayub akan Tuhan jadi lebih kukuh dan autentik setelah ini. Aku suka menyebut kalau iman Ayub telah mendaging dalam dirinya, bukan lagi sekadar dalam ranah pikiran.    

Aku mengajak agar kita yang percaya pada Kristus tidak hanya puas dengan pengetahuan akan Tuhan—doktrin-doktrin, argumen-argumen apologetika, atau juga cerita tentang sejarah-sejarah gereja, tapi juga rindu mengalami Tuhan secara pribadi. Berjalan dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran ada sebuah ikatan hubungan yang terjalin dengan Tuhan. Memang pengalaman kita harus bersandarkan pada firman Tuhan.

Kita mungkin pernah mendengar kesaksian mengenai orang yang mengaku bertemu Tuhan Yesus berkali-kali. Terkait klaim seperti ini, Alkitab mengajak kita mengujinya (1Tesalonika 5:21). Sebab, segala pengalaman spiritual tiap orang percaya jika dipersaksikan sudah selayaknya untuk mempermuliakan Tuhan, menguatkan iman orang percaya, dan selaras dengan sabda Tuhan.

Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2Petrus 1:19-21)

Petrus punya banyak pengalaman spiritual dengan Yesus setelah kenaikan Yesus. Namun, bukan itu yang ditekankan Petrus. “Makin diteguhkan oleh firman.” Petrus serius mempelajari firman dan mengulas pengalaman-pengalam spiritualnya dengan kacamata firman Tuhan. Dia tidak menafsir sembarangan nubuat-nubuat.

Pada akhirnya iman itu bukan hanya diketahui, tapi juga dialami. Bukan sembarang dialami, tapi sesuai dengan pengetahuan kita akan firman Tuhan. Keduanya harus bertumbuh sejalan agar iman menjadi kokoh dan asli.

Kalau kita yakin Tuhan itu baik, mengapa hanya berhenti dengan meyakininya saja? Rindukan untuk mengalaminya. Tidak perlu takut merugi mempercayai keyakinan kita pada Tuhan. Jalani saja dulu, baru setelah itu mengulas (red: bersaksi). Tuhan adalah buku tanpa sampul. Dia terbuka untuk dialami dan dikenal. Tidak akan Dia menipu sebagaimana seperti yang bisa kita alami dengan banyak sampul buku di toko buku. Indah di luar, tapi dalamnya tidak cocok dengan kita. Tidak akan merugi jika kita berkenalan dan mengalami Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sisi Lain Film Jesus Revolution

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta 

Bayangkanlah ini: pada suatu ibadah, ribuan orang tersentuh hatinya dan secara serentak menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka secara pribadi. Mungkin momen ini akan jadi momen yang mengharukan, penuh semangat, dan memorable!

Pertobatan ribuan orang secara serentak pernah terjadi juga pada masa gereja perdana seperti tertulis dalam kitab Kisah Para Rasul. Namun, pertanyaan yang mungkin menggantung buat kita yang hidup di zaman sekarang: apakah peristiwa seperti ini akan dan bisa terulang lagi?

Kejadian semacam ini pernah terjadi pada awal 1970-an di California, Amerika Serikat dan inilah yang menjadi inspirasi dari film yang beberapa waktu lalu sempat hits di kalangan orang Kristen di Indonesia. Film “Jesus Revolution” menceritakan kisah nyata ini dengan baik. Alkisah sekelompok anak muda yang dikenal sebagai kaum Hippies mencari makna serta tujuan hidup, dan mereka menemukannya di dalam Yesus Kristus.

Hippies adalah budaya yang muncul di Amerika Serikat pada medio 1960-an. Mereka berpenampilan nyentrik. Umumnya pria dan wanita Hippie berambut panjang dan dibiarkan kusut. Penampilan ini hendak menunjukkan akan konsep kesederhanaan hidup. Mereka juga biasanya hidup nomaden dan tinggal di dalam mobil.

Singkat cerita, film “Jesus Revolution” menceritakan tentang gerakan yang menjangkau para pemuda Hippies. Tapi, sebagian umat di gereja merasa tidak nyaman terhadap kehadiran kaum Hippies yang datang ke rumah ibadah mereka. Tampaknya ini pula yang menjadi salah satu kekuatan film yang disutradarai oleh Jon Erwin dan Brent McCorkle itu. Duet sutradara mempertontonkan realitas yang ada dalam gereja waktu itu dalam menyikapi kebangunan rohani di antara kaum muda yang “dipandang sebelah mata.”

Meski fokus film ini pada kekuatan transformasi rohani secara masif di California, tetapi kedua sutradara tidak menyembunyikan karakter-karakter tertentu dalam jemaat yang tidak “welcome” atau tidak bisa menerima kehadiran saudara-saudari mereka yang baru dalam Kristus. Mereka yang merasa tertarik mengenal Yesus sebagai Tuhan dan nilai-nilai Kristiani justru “ditolak” oleh sebagian anggota jemaat yang sudah “mapan.” Tentu, sikap semacam ini tidak elok.

Favoritisme dalam Gereja

Yakobus pernah mengatakan, “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” (2:1). Ayat ini mengingatkan kita bahwa sebagai pengikut Kristus untuk memperlakukan semua orang dengan adil dan tanpa diskriminasi. Sayangnya, praktik “memandang muka” atau yang biasa disebut sebagai “favoritisme” tampak menjadi dosa yang dengan mudah merasuk ke dalam kehidupan kita sebagai umat Kristiani.

Favoritisme merupakan kecenderungan memperlakuan khusus atau keberpihakan kepada kelompok atau orang tertentu karena kekayaan atau status mereka, dan tidak melihat semua orang secara setara sebagai anak-anak Allah. Sepertinya realitas ini yang ingin ditunjukkan oleh duet sutradara film “Jesus Revolution” ketika sebagian umat “tidak suka” pada kehadiran kaum Hippies yang Tuhan kirim ke gereja mereka.

Tentu, praktik favoritisme tidak selaras dengan sabda Tuhan yang mengajak kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Matius 22:39). Pada saat yang sama, favoritisme merupakan bentuk diskriminasi yang merusak citra umat Allah, yang adalah satu tubuh di dalam Kristus (1 Korintus 12:12). Ketika kita menunjukkan sikap favoritisme, kita tidak mencerminkan karakter Allah sebagai Tuhan adil dan menerima semua orang. Dalam film “Jesus Revolution,” konsekuensi dari sikap favoritisme menyebabkan diskriminasi di antara anak Tuhan. Namun, sang pendeta menunjukkan keberaniannya membela kaum Hippies yang “ditolak” sebagian umat, meski mereka ada yang sering menyumbang dana di gereja tersebut. 

Mengatasi Sikap Favoritisme

Dalam ancaman virus favoritisme yang bisa menginfeksi umat Kristiani, kita diajak menyadari kembali bahwa semua orang diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:26), dan berharga di mata-Nya (Yesaya 43:4). Kita diundang untuk memperlakukan semua orang dengan hormat dan kebaikan, tanpa memandang latar belakang atau penampilan mereka, tidak menilai orang berdasarkan faktor eksternal, seperti kekayaan atau status.

Hidup menggereja adalah kesempatan bagi kita untuk berusaha melihat orang lain dari sudut pandang Tuhan. Seperti lirik sebuah tembang, “B’rikanku hati s’perti hati-Mu yang penuh dengan belas kasihan.” Mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri dapat terwujud dalam sikap melayani dan terbuka pada orang lain tanpa diskriminasi.

“Jesus Revolution” adalah film yang kuat dan secara efektif menceritakan ulang gerakan transformasi secara masif yang pernah terjadi di California. Allah sanggup melawat banyak orang lewat kuasa Roh-Nya yang ajaib. Mari kita berdoa, agar pada masa sekarang ini Allah berkenan kembali melawat banyak orang. Kiranya Dia menggunakan kita untuk mewartakan Kabar Baik kepada insan-insan yang kehilangan arah dan tujuan. Mari kita doakan, agar semakin banyak orang dari segala bangsa mengalami persekutuan pribadi dengan Kristus, bertumbuh semakin menyerupai Dia, dan melayani di jemaat lokal yang merupakan anggota keluarga-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tentang Minta Tolong dan Kesombongan

Oleh Astrid Winda Sondakh, Minahasa

“Kenapa harus merasa tidak enakan untuk minta tolong?”

Itu salah satu pertanyaan yang dilontarkan temanku saat kami sedang chat di WhatsApp. Dia heran dan menanyakan alasanku yang selalu tidak enakan dalam meminta bantuan. Aku berpikir bahwa ketika aku meminta tolong, aku dapat merepotkan orang lain. Karena itu, aku selalu berusaha kuat melakukannya seorang diri.

“Karena aku takut mengganggu kesibukan mereka,” kataku menjawab pertanyaan itu dengan sederhana.

“Tapi, apakah pernah terpikir olehmu, kalau terkadang orang-orang merasa senang untuk membantu?” 

Pertanyaan itu membuatku terdiam. Jujur, aku sama sekali tak pernah memikirkan tentang hal itu. Apa iya, ada orang yang senang untuk dimintai tolong? Bukannya akan merepotkan bagi orang tersebut jika membantu orang lain? Maksudku, bagaimana bisa seseorang merasa senang dan bersedia membantu orang lain, padahal pasti orang tersebut juga punya masalah dan kesibukannya sendiri.

“Terkadang rendah diri, minder, tidak mau minta tolong dan sebagainya juga termasuk sombong, lho.. Karena tanpa sadar kita hanya terus mengandalkan kekuatan kita sendiri. Padahal kita tahu bahwa kita butuh bantuan orang lain sebab kita tidak bisa melakukan semua hal sendirian,” temanku melanjutkan wejangannya. 

Di situ aku tersadar bahwa apa yang dikatakan temanku benar. Seringkali aku merasa bahwa tidak meminta bantuan  adalah hal baik karena aku tidak perlu menyusahkan orang lain. Tapi, di sisi lain, nyatanya aku seakan tidak menghargai keberadaan sesamaku. Padahal kita diciptakan Tuhan untuk saling membantu, seperti yang tertulis dalam Galatia 6:2,  “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Bertolong-tolongan adalah sebuah kata kerja aktif yang tidak mungkin dilakukan oleh satu orang. Bertolong-tolongan berarti ada yang menolong, dan ada yang ditolong. 

Aku juga merenungkan perkataan temanku bahwa kita tidak harus membiarkan diri kita dikuasai dengan pikiran yang berlebihan (overthinking), karena itu bisa menghambat kita membangun relasi dengan orang sekitar. Lewat sikap kita yang menutup diri untuk minta tolong atau ditolong, secara tidak langsung kita telah menutup kemungkinan atau kesempatan untuk membangun relasi dengan orang-orang, termasuk juga dengan pertumbuhan rohani kita. 

Temanku membagikan hal ini karena dia juga pernah merasakan hal yang sama denganku, namun sekarang dia sudah bisa mengendalikan masalah tersebut, walaupun tidak dipungkiri bahwa hal itu membutuhkan proses.

Menurutnya, ketika kita mulai berani minta tolong, ketika kita mulai merendahkan hati, justru semakin banyak relasi yang bisa kita bangun. Dan malahan, kita bisa merasa lebih lega dari sebelumnya. Ya, kita bisa lega karena ketika kita memberanikan diri untuk minta tolong, kita juga bisa mendapatkan orang-orang yang akan mendukung kita dengan senang hati, dan lebih dari itu kita akan merasa bahwa kita tidak sendiri. 

Hal yang aku pelajari bahwa ketika kita merasa sendiri, sebenarnya kita tidak benar-benar sendiri. Ada orang-orang di luar sana yang Tuhan kirimkan untuk menemani dan menolong kita. Namun, karena kekerasan hati kita yang tidak mau untuk terbuka, kita jadi terus merasa sendirian, merasa buntu, bahkan mungkin sampai menyalahkan Tuhan. 

Aku belajar, bahwa sebenarnya hal yang perlu kita kendalikan di sini adalah sikap dan respon hati kita. Mengapa kita takut untuk terbuka? Mengapa kita takut minta tolong? Mengapa kita takut mengakui kelemahan kita? Mungkin jawabannya karena kita merasa takut untuk ditolak, dihakimi, terlihat lemah, dan sebagainya. Memang, pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa ketika kita mulai terbuka, bisa saja kita mengalami penolakan atau hal semacamnya, namun hal itu bukanlah jadi penyebab untuk kita takut terbuka. Justru ketika kita berani membuka diri akan apa yang jadi kerentanan kita, kita bisa mendapat pelajaran, dan menerima kemurahan hati dari orang-orang yang tulus menolong  Seperti nasihat Paulus agar kita saling bertolong-tolongan, percayalah ketika kita meminta pertolongan pada Tuhan dan sesama, Tuhanlah yang akan menggerakkan hati orang-orang di sekitar kita untuk menolong kita.  Tugas kita bukanlah overthinking, tetapi memahami bahwa apa pun respon orang terhadap kita, kita pasti akan mendapat pelajaran dan pengalaman dari proses tolong-menolong

Saat itu juga, setelah bertukar pendapat dengannya, pola pikirku mulai berubah. Aku menyadari, ketika aku terus menutup diri untuk tidak minta tolong di saat membutuhkan pertolongan, berarti aku juga menutup diri dari hal-hal yang justru sebenarnya dapat membuatku berkembang, misalnya seperti pola pikir, keterampilan, dan lain sebagainya. 

Mengakui kelemahan kita dan menjadi rendah hati untuk terbuka dan meminta bantuan pada orang lain, artinya mengizinkan diri kita untuk bertumbuh, dan juga mengizinkan orang lain untuk menjadi bagian dari pertumbuhan kita. Lebih dari itu, kita mengizinkan Tuhan untuk membentuk pribadi kita melalui sesama yang merupakan perpanjangan tangan-Nya.

Ikutlah Aku

Kamis, 31 Maret 2016

Ikutlah Aku

Baca: Markus 2:13-17

2:13 Sesudah itu Yesus pergi lagi ke pantai danau, dan seluruh orang banyak datang kepada-Nya, lalu Ia mengajar mereka.

2:14 Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!” Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia.

2:15 Kemudian ketika Yesus makan di rumah orang itu, banyak pemungut cukai dan orang berdosa makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya, sebab banyak orang yang mengikuti Dia.

2:16 Pada waktu ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat, bahwa Ia makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa itu, berkatalah mereka kepada murid-murid-Nya: “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”

2:17 Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. —Markus 2:17

Ikutlah Aku

Pusat-pusat kebugaran menawarkan berbagai program bagi mereka yang ingin menurunkan berat badan dan tetap bugar. Salah satu pusat kebugaran hanya melayani mereka yang ingin menurunkan berat badan setidaknya 22 kg dan mengembangkan kebiasaan hidup sehat. Seorang anggota dari pusat kebugaran itu berkata bahwa ia berhenti menjadi anggota di pusat kebugaran sebelumnya karena ia merasa anggota-anggota lainnya yang langsing dan bugar terus menatapnya dan menghakimi bentuk tubuhnya yang tidak ideal. Kini ia berolahraga lima hari dalam seminggu dan berhasil mencapai berat badan yang sehat dalam lingkungan yang positif dan mau menerimanya.

Dua ribu tahun yang lalu, Yesus datang untuk memanggil mereka yang lemah imannya supaya mengikut Dia. Salah satunya adalah Lewi. Yesus melihatnya sedang duduk di rumah cukai dan berkata, “Ikutlah Aku” (Mrk. 2:14). Kata-kata-Nya menggerakkan hati Lewi dan ia segera mengikut Yesus. Pemungut cukai sering bertindak serakah dan tidak jujur dalam pekerjaan mereka. Karena itu mereka dianggap najis secara agamawi. Ketika para ahli Taurat melihat Yesus makan di rumah Lewi bersama para pemungut cukai lainnya, mereka bertanya, “Mengapa Ia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (2:16). Yesus menjawab, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (2:17).

Yesus datang untuk menyelamatkan orang berdosa, termasuk kita semua. Dia mengasihi kita, menyambut kita masuk dalam hadirat-Nya, dan memanggil kita untuk mengikut-Nya. Dengan berjalan bersama-Nya, iman kita semakin bertambah kuat dan sehat. —Marvin Williams

Bacalah Kisah Para Rasul 9:10-19 dan lihatlah bagaimana seseorang menaati Allah dan menyambut seseorang yang dianggap lemah iman. Apakah hasilnya? Bagaimana kamu bisa menjangkau mereka yang memerlukan Juruselamat? Bagaimana kamu dapat menolong gerejamu untuk lebih terbuka dalam menerima mereka yang lemah iman?

Tangan Yesus selalu terbuka menyambut kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-Hakim 11-12; Lukas 6:1-26

Keseluruhan Cerita

Sabtu, 27 Juni 2015

Keseluruhan Cerita

Baca: Kisah Para Rasul 8:26-37

8:26 Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, katanya: “Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza.” Jalan itu jalan yang sunyi.

8:27 Lalu berangkatlah Filipus. Adalah seorang Etiopia, seorang sida-sida, pembesar dan kepala perbendaharaan Sri Kandake, ratu negeri Etiopia, yang pergi ke Yerusalem untuk beribadah.

8:28 Sekarang orang itu sedang dalam perjalanan pulang dan duduk dalam keretanya sambil membaca kitab nabi Yesaya.

8:29 Lalu kata Roh kepada Filipus: “Pergilah ke situ dan dekatilah kereta itu!”

8:30 Filipus segera ke situ dan mendengar sida-sida itu sedang membaca kitab nabi Yesaya. Kata Filipus: “Mengertikah tuan apa yang tuan baca itu?”

8:31 Jawabnya: “Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Lalu ia meminta Filipus naik dan duduk di sampingnya.

8:32 Nas yang dibacanya itu berbunyi seperti berikut: Seperti seekor domba Ia dibawa ke pembantaian; dan seperti anak domba yang kelu di depan orang yang menggunting bulunya, demikianlah Ia tidak membuka mulut-Nya.

8:33 Dalam kehinaan-Nya berlangsunglah hukuman-Nya; siapakah yang akan menceriterakan asal-usul-Nya? Sebab nyawa-Nya diambil dari bumi.

8:34 Maka kata sida-sida itu kepada Filipus: “Aku bertanya kepadamu, tentang siapakah nabi berkata demikian? Tentang dirinya sendiri atau tentang orang lain?”

8:35 Maka mulailah Filipus berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya.

8:36 Mereka melanjutkan perjalanan mereka, dan tiba di suatu tempat yang ada air. Lalu kata sida-sida itu: “Lihat, di situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?”

8:37 (Sahut Filipus: “Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh.” Jawabnya: “Aku percaya, bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah.”)

Filipus berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya. —Kisah Para Rasul 8:35

Keseluruhan Cerita

Baru-baru ini Dallas, cucu laki-laki saya yang berusia 5 tahun, bertanya, “Mengapa Yesus mati di kayu salib?” Jadi kami membahasnya sejenak. Saya menjelaskan kepadanya tentang dosa dan kerelaan Yesus menjadi korban bagi kita. Setelah itu ia lari ke luar untuk bermain.

Tidak lama kemudian, saya mendengar Dallas berbicara dengan Katie, sepupunya yang sebaya dengannya. Ia menjelaskan kepada Katie mengapa Yesus mati. Katie berkata, “Tetapi Yesus tidak mati.” Dallas menjawab, “Ya, Dia sudah mati. Kakek yang bilang begitu. Dia mati di kayu salib.”

Saya sadar belum menyelesaikan ceritanya. Jadi saya mengajak Dallas bicara lagi untuk menjelaskan bahwa Yesus telah bangkit dari kematian. Kami membahas segalanya dari awal lagi sampai ia mengerti bahwa saat ini Yesus hidup, meskipun memang Dia pernah mati bagi kita. Ini mengingatkan kita bahwa orang perlu mendengar Injil secara utuh. Ketika seorang pria asal Etiopia bertanya kepada Filipus tentang satu bagian Kitab Suci yang tidak ia mengerti, Filipus “berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya” (Kis. 8:35).

Bagikanlah kepada orang lain kabar baik tentang Yesus: bahwa kita semua adalah orang berdosa yang memerlukan keselamatan, bahwa Anak Allah yang sempurna telah mati untuk menyelamatkan kita; dan bahwa Dia telah bangkit dari kubur dan membuktikan kuasa-Nya atas kematian. Yesus, Juruselamat kita, kini hidup dan rindu menyatakan hidup-Nya itu melalui diri kita.

Ketika seseorang ingin mengetahui tentang Yesus, pastikan bahwa kamu membagikan kisah tentang Dia secara utuh. —Dave Branon

Tuhan, kisah-Mu sungguh menakjubkan. Tolonglah kami untuk membagikannya secara utuh sehingga orang lain dapat percaya kepada-Mu dan menikmati keselamatan yang Engkau tawarkan bagi semua orang yang mau percaya.

Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” —Yohanes 11:25

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 8–10; Kisah Para Rasul 8:26-40

Pusatkan Perhatianmu

Rabu, 20 Mei 2015

Pusatkan Perhatianmu

Baca: 1 Korintus 3:1-9

3:1 Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus.

3:2 Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarangpun kamu belum dapat menerimanya.

3:3 Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi?

3:4 Karena jika yang seorang berkata: "Aku dari golongan Paulus," dan yang lain berkata: "Aku dari golongan Apolos," bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?

3:5 Jadi, apakah Apolos? Apakah Paulus? Pelayan-pelayan Tuhan yang olehnya kamu menjadi percaya, masing-masing menurut jalan yang diberikan Tuhan kepadanya.

3:6 Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.

3:7 Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan.

3:8 Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri.

3:9 Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah.

Dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan. —Ibrani 12:2

Pusatkan Perhatianmu

“Itu muridku, lho,” demikian ujar seorang wanita tentang seseorang yang sedang dibantunya. Sebagai murid-murid Kristus, kita semua menerima tanggung jawab untuk memuridkan—membagikan kabar baik tentang Kristus kepada orang lain dan menolong iman mereka bertumbuh. Namun kita bisa dengan mudah memusatkan perhatian itu kepada diri kita dan bukan kepada Yesus.

Rasul Paulus mengkhawatirkan jemaat di Korintus yang telah mengalihkan perhatian mereka dari Kristus. Paulus dan Apolos adalah dua pengkhotbah paling terkenal di masa itu. Jemaat pun terpecah antara yang mengikuti Paulus dan yang mengikuti Apolos. Mereka memusatkan perhatian kepada pribadi yang salah, dengan mengikuti para pengajar dan bukan Sang JuruselaMat. Paulus menegur mereka. Kita ini “kawan sekerja Allah”. Tidak penting siapa yang menanam atau menyiram, karena hanya Allah yang bisa memberikan pertumbuhan. Umat Kristen adalah “ladang Allah, bangunan Allah” (1Kor. 3:6-9). Jemaat Korintus bukan milik Paulus ataupun Apolos.

Yesus memerintahkan kita untuk pergi dan memuridkan orang dan mengajar mereka tentang diri-Nya (Mat. 28:20). Penulis kitab Ibrani juga mengingatkan kita untuk terus memandang kepada Yesus yang memimpin dan menyempurnakan iman kita (12:2). Kristus dimuliakan ketika kita memusatkan perhatian kita pada-Nya; Dia jauh lebih agung daripada manusia mana pun dan Dia akan memenuhi kebutuhan kita. —C. P. Hia

Bapa, aku mengakui, begitu mudahnya perhatianku teralih dari-Mu kepada hal yang kurang penting. Terima kasih Engkau menempatkan orang-orang dalam hidupku yang mengarahkanku kepada-Mu. Tolong aku mengarahkan orang lain kepada-Mu sehingga Engkau semakin bertambah dan aku semakin berkurang.

Utamakan Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Tawarikh 10-12; Yohanes 6:45-71

Photo credit: chase_elliott / Foter / CC BY

Ceritakan Kisahmu

Senin, 11 Mei 2015

KomikStrip-WarungSaTeKaMu-20150511-Ceritakan-Kisahmu

Baca: 1 Timotius 1:12-20

1:12 Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku–

1:13 aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.

1:14 Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus.

1:15 Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: "Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa," dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.

1:16 Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal.

1:17 Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang esa! Amin.

1:18 Tugas ini kuberikan kepadamu, Timotius anakku, sesuai dengan apa yang telah dinubuatkan tentang dirimu, supaya dikuatkan oleh nubuat itu engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni.

1:19 Beberapa orang telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka,

1:20 di antaranya Himeneus dan Aleksander, yang telah kuserahkan kepada Iblis, supaya jera mereka menghujat.

Kekuatan perbuatan-perbuatan-Mu yang dahsyat akan diumumkan mereka, dan kebesaran-Mu hendak kuceritakan. —Mazmur 145:6

Ceritakan Kisahmu

Michael Dinsmore, seorang mantan narapidana dan petobat baru, diminta untuk bersaksi di sebuah penjara. Setelah ia berbicara, sejumlah narapidana mendatanginya dan berkata, “Ini pertemuan paling menarik yang pernah kami hadiri!” Michael pun takjub karena Allah dapat memakai kisahnya yang sederhana.

Dalam 1 Timotius, setelah Paulus menugasi Timotius untuk tetap tinggal dan mengabarkan Injil (1:1-11), ia membagikan kesaksian pribadinya untuk menyemangati pemuda itu (ay.12-16). Ia berbicara tentang belas kasihan Allah yang dialaminya sendiri. Paulus berkata bahwa ia pernah menghujat Tuhan, tetapi Dia telah mengubah hidupnya. Dalam belas kasihan- Nya, Allah bukan saja menganggapnya setia dan mempercayakan pelayanan kepadanya, Dia juga memampukan Paulus untuk melakukan pelayanan itu (ay.12). Paulus memandang dirinya sebagai orang yang paling berdosa, tetapi Allah menyelamatkan dirinya (ay.15). Tuhan sanggup! Itulah yang Paulus ingin Timotius mengerti, dan yang perlu kita mengerti juga. Melalui kesaksian Paulus, kita melihat belas kasihan Allah. Jika Allah bisa memakai seseorang seperti Paulus, Dia juga bisa memakai kita. Jika Allah bisa menyelamatkan orang yang paling berdosa, tak seorang pun yang tidak terjangkau oleh-Nya.

Kesaksian tentang karya Allah dalam hidup kita dapat menguatkan orang lain. Kiranya orang-orang di sekitarmu tahu bahwa Allah yang tercatat dalam Alkitab itu masih berkarya hingga hari ini! —Poh Fang Chia

Bapa, terima kasih untuk keselamatan dari-Mu dan bahwa tak seorang pun, termasuk diriku, berada di luar jangkauan belas kasihan, anugerah, dan kuasa perubahan-Mu. Tolong aku untuk membagikan kisahku kepada orang lain agar mereka bisa melihat kasih-Mu.

Tak seorang pun yang berada di luar jangkauan kasih Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Raja-Raja 13-14; Yohanes 2

Peribahasa Tiongkok

Selasa, 3 Februari 2015

Peribahasa Tiongkok

Baca: 2 Timotius 2:1-6

2:1 Sebab itu, hai anakku, jadilah kuat oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus.

2:2 Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.

2:3 Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus.

2:4 Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya.

2:5 Seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara, apabila ia bertanding menurut peraturan-peraturan olahraga.

2:6 Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya.

Giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. —1 Korintus 15:58

Peribahasa Tiongkok

Peribahasa Tiongkok pada umumnya sering mempunyai latar belakang kisah yang menarik. Peribahasa yang berbunyi “menarik tanaman untuk membantunya bertumbuh” mengisahkan tentang seseorang yang tidak sabar pada masa Dinasti Song. Ia ingin segera melihat tanaman padinya bertumbuh dengan cepat. Maka terpikir olehnya sebuah solusi. Ia akan menarik tiap batang tanamannya beberapa centimeter saja. Setelah bersusah payah seharian penuh, ia pun memandangi sawahnya. Ia merasa senang karena tanaman padinya kelihatannya telah “tumbuh” lebih tinggi. Namun sukacitanya tak berlangsung lama. Keesokan harinya, tanaman padi di sawahnya tersebut telah menjadi layu karena tidak lagi berakar dengan dalam.

Dalam 2 Timotius 2:6, Rasul Paulus menyamakan pelayanan seorang pemberita Injil dengan pekerjaan seorang petani. Dalam suratnya untuk menguatkan Timotius itu, ia menulis, bahwa seperti proses bertani, pemuridan merupakan tugas yang membutuhkan kerja keras dan ketekunan. Kita membajak, kita menabur, kita menunggu, kita berdoa. Kita memang ingin melihat buah pelayanan kita sesegera mungkin, tetapi pertumbuhan butuh waktu. Seperti peribahasa tadi, setiap upaya yang dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan itu tidak akan bermanfaat. Penafsir Alkitab William Hendriksen mengatakan: “Bila Timotius . . . mengerahkan seluruh usahanya untuk melakukan pelayanan yang Allah tugaskan, ia . . . akan melihat dalam hidup orang lain . . . benih-benih dari buah roh yang indah, yang disebutkan dalam Galatia 5:22-23.”

Sembari melayani dengan setia, marilah kita sabar menantikan Tuhan yang memberi pertumbuhan (1Kor. 3:7). —PFC

Ya Tuhan sumber tuaian, tolonglah kami untuk melayani dengan setia
sembari dengan sabar kami menanti Engkau menumbuhkan buahnya.
Kobarkanlah semangat saat kami kecewa dan kuatkanlah saat kami
lemah. Tolong kami untuk bertahan, karena Engkau setia.

Kita menabur benih—Allah yang menghasilkan tuaian.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 31-33; Matius 22:1-22

Seorang Pencerita

Senin, 12 Januari 2015

Seorang Pencerita

Baca: Kolose 1:13-23

1:13 Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih;

1:14 di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa.

1:15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,

1:16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.

1:17 Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.

1:18 Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu.

1:19 Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia,

1:20 dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.

1:21 Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat,

1:22 sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya.

1:23 Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.

Kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah . . . sekarang diperdamaikan-Nya. —Kolose 1:21-22

Seorang Pencerita

Pada masa pasca Perang Saudara Amerika Serikat (1861-1865), Mayor Jenderal Lew Wallace, seorang pemimpin dari pihak Perserikatan, menjabat sebagai gubernur dari wilayah New Mexico. Pada saat itu, New Mexico belum ditetapkan menjadi sebuah negara bagian. Tugas yang dilakukan Wallace di wilayah tersebut membuatnya sering bersentuhan dengan banyak tokoh berpengaruh dalam sejarah yang nyaris berbau mitos dari dunia Wild West (mengacu pada teritori di sepanjang Barat Amerika yang belum terjamah oleh hukum), termasuk di antaranya Billy the Kid dan Sheriff Pat Garrett. Di tempat itulah Wallace menulis sebuah buku, yang dianggap oleh sejumlah orang sebagai “buku Kristen paling berpengaruh” pada abad ke-19, berjudul Ben Hur: A Tale of the Christ (Ben Hur: Kisah tentang Kristus).

Wallace menjadi saksi atas dampak dosa yang teramat keji atas hidup umat manusia ketika ia melihat pelbagai kekerasan yang terjadi selama Perang Saudara dan di era Wild West. Baik dalam kehidupannya maupun dalam buku terlarisnya tersebut, Wallace mengerti betul bahwa hanya kisah tentang Yesus Kristus yang mempunyai kuasa untuk menebus dan mendamaikan manusia.

Bagi para pengikut Kristus seperti kita, kehidupan ini mencapai puncaknya ketika Allah “melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa” (Kol. 1:13-14). Sekarang kita mempunyai hak istimewa untuk menjadi pencerita yang membawa kabar tentang karya penebusan Allah yang luar biasa itu kepada sesama. —RKK

Tuhan, tolong kuasailah lidahku hari ini. Penuhi aku dengan
kata-kata kasih dan rahmat. Gunakan perkataanku untuk
membawa hati seseorang berbalik kepada-Mu.
Tanpa-Mu, aku tak dapat melakukan apa pun.

Perubahan yang Kristus berikan dalam hidupmu adalah kisah yang layak kamu ceritakan kepada sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 29-30, Matius 9:1-17