Menemukan Kebenaran Tuhan dari Sebuah Riset Lapangan

Oleh Edwin Petrus, Medan

Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir dari sebuah sekolah tinggi teologi yang berada di Malang, Jawa Timur. Kini, aku sedang menjalani praktik pelayanan setahun di sebuah gereja di kota asalku. Inilah kewajiban akademis terakhir yang harus aku selesaikan sebelum nantinya aku bisa diwisuda.

Ketika kuliah, ada sebuah kalimat yang begitu melekat dalam ingatanku, yang seringkali diucapkan oleh seorang dosenku ketika ia mengajar. Dosen ini memiliki suatu kebiasaan untuk mengawali kelas pertamanya dari setiap semester dengan memperlihatkan sebuah diagram. Aku pun sudah bisa menebak kata-kata pertama yang akan beliau utarakan ketika menjelaskan isi dari diagram tersebut. Beliau pasti berkata “all truth is God’s truth” (segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan).

Meski kalimat ini selalu terngiang-ngiang di kepalaku di setiap semester, aku memiliki sebuah tanda tanya besar tentang apa yang dimaksudkan dengan “segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan.” Rasa penasaran tentang kalimat ini menjadi semakin besar ketika aku berada di tingkat akhir dan mulai merencanakan untuk membuat penelitian lapangan sebagai tesisku.

Berbeda dengan teman-temanku yang memilih studi literatur sebagai metode penelitian mereka, aku menggunakan metode penelitian kualitatif. Simpelnya, kalau teman-temanku hanya perlu membaca buku untuk menyusun skripsi atau tesis mereka, aku perlu melakukan wawancara terhadap pemimpin kelompok kecil di gereja untuk memperoleh data.

Dalam pengerjaan tesis ini, pernyataan sang dosen kembali terngiang-ngiang di kepalaku,

“Akankah aku menemukan kebenaran Tuhan melalui wawancara dengan para pemimpin kelompok kecil gereja ini? Bukankah mereka hanya orang awam?”

“Teman-temanku yang melakukan studi literatur mungkin lebih memiliki peluang untuk menemukan kebenaran Tuhan,” pikirku demikian.

Pertanyaan ini tetap tidak terjawab. Namun, aku tetap mengerjakan penelitianku. Setelah mempersiapkan sejumlah pertanyaan wawancara dan mendapatkan lampu hijau dari dosen pembimbing, akupun segera membuat janji wawancara dengan para partisipan riset. Aku mengerjakan riset ini dengan mengikuti seluruh kaidah yang digariskan oleh metode penelitian kualitatif. Di bawah bimbingan sang dosen, aku mengumpulkan dan mengolah data dari hasil wawancara. Sampai akhirnya, aku bisa menarik kesimpulan dari penelitian ini.

Aku bersyukur dengan pertolongan Tuhan yang telah memimpinku untuk bisa menyelesaikan penelitian ini. Namun, aku tetap belum menemukan kebenaran Allah dari hasil risetku. Aku malah merasa bahwa tesisku kurang berbobot karena tidak ada kutipan-kutipan dari buku-buku teologi yang ditulis oleh teolog-teolog ternama.

Sampai suatu hari, aku mendengar sebuah renungan singkat dari seorang dosen lain yang membagikan kisahnya di dalam meneliti beberapa gereja yang telah dibuka kembali setelah kondisi pandemi COVID-19 mereda. Di dalam renungan tersebut, beliau berkata bahwa pertemuannya dengan para pemimpin gereja telah membuka matanya untuk melihat kebenaran dan karya Tuhan di dalam gereja-Nya selama masa pandemi. Pada saat yang sama, di dalam pikiranku, seperti ada tombol rewind yang ditekan. Aku diajak untuk kilas balik ke momen-momen ketika aku mendengarkan para partisipan risetku yang menceritakan kendala mereka di dalam memimpin kelompok kecil.

Aku teringat dengan satu kalimat yang sama, yang diucapkan oleh seluruh partisipan risetku: “Aku bukan pemimpin.” Di kala mereka merasa tidak mampu dan tidak percaya diri untuk memuridkan umat Tuhan, aku juga mendengar kisah-kisah perjuangan mereka untuk terus berkarya bagi Tuhan. Setiap partisipan menjumpai kendala-kendala yang berbeda di kelompok mereka. Mereka juga berkisah tentang kegentaran di dalam menjalankan tugas pemuridan ini, tetapi mereka tidak pernah putus asa. Apalagi di saat pandemi melanda, tantangan-tantangan baru pun muncul dan memuridkan jemaat gereja terasa menjadi semakin berat. Namun, para pemimpin kelompok kecil ini terus bersandar pada Tuhan dan pemeliharaan Tuhan sungguh nyata bagi setiap pelayan-Nya.

Pada saat itu, mataku terbuka untuk melihat kebenaran Tuhan yang tersimpan di dalam lembaran-lembaran hasil penelitianku. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku meminta maaf dan sekaligus menaikkan ucapan syukur di hadapan Tuhan. Aku meminta pengampunan dari Tuhan karena memandang sebelah mata terhadap pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh para pemimpin kelompok kecil di gereja. Di benakku, kebenaran Tuhan itu hanya ada di dalam Alkitab dan buku-buku teologi yang ditulis oleh para sarjana Alkitab. Namun, aku melupakan bahwa Tuhan juga dapat menyatakan kebenaran-Nya melalui para jemaat awam yang melayani di gereja. Lagipula, para pemimpin kelompok kecil ini adalah orang-orang yang bukan hanya “tahu” Amanat Agung Yesus, tetapi mereka juga adalah “pelaku” dari firman tersebut. Dengan penuh dedikasi, mereka memuridkan saudara-saudara seiman untuk menjadi murid-murid Kristus.

Di kemudian hari, ketika aku merenungkan bagian pendahuluan dari Injil Lukas (Luk. 1:1-4), aku kembali disadarkan bahwa Injil tersebut disusun oleh seorang peneliti lapangan yang mengumpulkan data melalui metode kualitatif. Lukas menyelidiki keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi mata Injil. Mereka pasti bukan hanya para rasul yang 24 jam melayani bersama Yesus. Para saksi mata ini mungkin adalah salah satu dari lima ribu orang yang pernah diberi makan oleh Yesus dengan lima roti dan dua ikan. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang yang pernah disembuhkan oleh Yesus dari sakit penyakit. Ada kemungkinan, salah satu saksi Injil ini adalah wanita yang pernah diampuni dosanya oleh Yesus. Kita memang tidak mengetahui identitas dari mereka yang menjadi sumber informasi bagi Lukas. Namun, dengan ilham (baca: inspirasi) yang diberikan oleh Roh Kudus, Lukas telah membukukan sebuah Injil dari penuturan para saksi mata ini, sehingga kita dapat mengetahui kebenaran Allah.

Kawan, aku bersyukur atas anugerah Tuhan yang telah menyatakan kebenaran-Nya kepadaku melalui sebuah riset. Aku juga berterima kasih kepada Dia yang mengizinkanku untuk melihat karya-Nya yang tidak berkesudahan di dalam komunitas orang percaya. Aku bersukacita kalau aku bukan hanya sekadar menyelesaikan riset ini karena tuntutan akademis, tetapi aku beroleh kesempatan untuk mengenal Tuhan dengan semakin dalam.

Bagaimana dengan kamu, kawan? Sudahkah kamu merasakan karya pemeliharaan Tuhan yang tidak berhenti tercurah di dalam hidupmu? Adakah kamu melihat kebenaran-Nya yang disingkapkan dalam hidupmu? Aku berdoa, kiranya Tuhan membuka hatimu untuk melihat dan merasakan kasih dan kebenaran-Nya di dalam hidupmu.

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. Reny
    Reny says:

    Hi Edwin,
    Arktikel kamu bagus sekali. Mengingatkan saya lagi bahwa kita jangan memandang sepele orang-orang dan jangan mengandalkan apa yang kita pikirkan benar saja.
    Saya sbg pekerja NGO juga merasakan hal sepeeti itu dilapangan. Mengenal Tuhan dengan bertemu banyak orang di lapangan.
    Aku menunggu artikelmu berikutnya. JBU.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *