Posts

Memenangkan Pertempuran Melawan Diri Sendiri

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha

Beberapa waktu lalu, berbagai media ramai memberitakan pembunuhan berencana yang melibatkan seorang perwira dan para ajudannya. Sang perwira memerintahkan salah satu ajudannya untuk menembak rekan kerjanya sendiri. Serangkaian proses hukum disiarkan dan publik antusias menunggu kelanjutannya, bahkan tak jarang menimbulkan situasi yang tidak kondusif. 

Dalam persidangan, ajudan yang menerima perintah untuk membunuh temannya pun menjadi saksi kunci. Dia bertutur bahwa dia merasakan ketakutan luar biasa, bahkan sempat berdoa saat hendak membunuh. Terdengar kontradiksi, tapi penuturan tersangka menunjukkan bahwa sebenarnya dia tahu apa yang dia lakukan adalah hal yang keji sekalipun dia hanya menjalankan tugas dan dalam hatinya sendiri tidak ada niatan untuk membunuh. Namun, karena intimidasi akhirnya keyakinan hatinya runtuh dan dia memilih menjalankan perintah atasannya. 

Kisah di atas menunjukkan pada kita bahwa menyeleraskan keinginan hati terhadap suatu kebenaran dengan perkataan dan tindakan seringkali jadi sulit karena berbagai faktor dan alasan. Hal ini bukan saja terjadi pada zaman modern, tapi dalam Alkitab pun ada banyak tokoh yang dihadapkan dengan pilihan sulit, bagaimana mereka bergumul menjaga keselarasan pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Ada yang pada akhinrya berhasil, namun banyak pula yang pada akhirnya terjatuh. 

Mari kita lihat tantangan apa saja yang seringkali muncul saat kita berusaha menjaga keselarasan hati, pikiran, dan perbuatan.

1. Pontius Pilatus, ingin memuaskan banyak orang 

Dalam kisah penyaliban Yesus, ada satu tokoh yang terlibat di dalam cerita tersebut. Ia adalah Pilatus, seorang wali negeri yang pada saat itu diperhadapkan dengan situasi sulit. Ketika para imam kepala menyerahkan Yesus untuk diadili, Pontius Pilatus mengatakan bahwa dia tidak mendapati kesalahan apapun pada diri Yesus, namun Pilatus tetap mengabulkan tuntutan imam kepala dan orang banyak dengan tetap menyerahkan Yesus dan membebaskan Barabas. Di tengah dilema yang dihadapinya, Pilatus akhirnya menyerah pada tuntutan massa dan memilih untuk memuaskan mereka (Markus 15:15).

Kita pun mungkin pernah berada disituasi yang mirip dengan peristiwa itu. Memilih untuk menafikan keyakinan hati kita agar kita bisa menyenangkan orang-orang disekitar kita. Kita seringkali mengingkari kebenaran untuk bisa diterima oleh banyak orang.

2. Petrus, tidak berani menerima konsekuensi

“Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.”

Ini adalah kalimat yang diucapkan Petrus dengan penuh kepercayaan diri dihadapan Yesus, namun siapa menyangka kalimat heroik itu gugur ketika orang banyak melihat Petrus dan menanyakan apakah dia murid Yesus. Petrus menyangkal Yesus sesaat sebelum Yesus disiksa (Matius 26:69-75). Di tengah situasi yang mengancam keadaannya, Petrus tidak lagi mampu membuktikan apa yang sempat dia ucapkan dengan lugas, bahkan seolah tidak mengingat kebenaran yang dia yakini. 

Apa yang dialami Petrus pun mungkin pernah terjadi dalam kehidupan kita, saat kita sudah yakin pada suatu kebenaran namun kita memilih untuk menanggalkannya karena situasi yang mengancam atau mengintimidasi kita. Yang kita pikirkan hanya mencari cara bagaimana selamat dari situasi tersebut.

3. Tomas, terlalu menggunakan logika

Alkitab mencatat Tomas sebagai salah satu dari kedua belas murid Yesus. Kisah yang terkenal dari Tomas adalah ketika dia tidak mempercayai kebangkitan Yesus sebelum dia melihat sendiri dan mencucukkan jarinya pada bekas paku di tangan Yesus (Yohanes 20:24-29). Sebagai seorang murid Yesus, tentu Tomas sudah mendapatkan pengajaran tentang bagaimana Yesus akan disalibkan dan bangkit pada hari ketiga namun pada saat hal itu terjadi Tomas masih ragu dan mengabaikan apa yang telah ia imani selama mengikuti perjalanan Yesus.

Keraguan Tomas sekilas tampak buruk, tetapi yang perlu kita lihat lebih jelas adalah bagaimana respons Tomas setelahnya. “Ya Tuhanku dan Allahku!”, ucap Tomas dengan takjub. 

Situasi seperti ini mungkin juga pernah kita alami, saat kita meyakini kebenaran tetapi kita hanya mengandalkan logika dan pengertian sendiri. Mencerna segala sesuatu secara logis dan menuntut adanya bukti empiris adalah baik, tetapi kita perlu memahami bahwa pada perjalanan hidup, terkadang ada hal-hal yang sulit dicerna oleh pikiran, tetapi sangat bisa dicerna dan diserap oleh hati. Oleh sebab itu, Yesus pun menanggapi Thomas dengan berkata, “Karena engkau telah melihat aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yohanes 20:29).

Menjaga keselarasan pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan memang bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa diusahakan. Selain ketiga tokoh diatas, kita juga dapat belajar dari tiga tokoh Alkitab dari Perjanjian Lama yang berhasil menang atas dirinya sendiri dalam mempertahankan keselarasan itu, mereka adalah Sadrakh, Mesakh, Abednego. Mereka adalah orang Yehuda yang bekerja untuk Nebukadnezar Raja Babel. Bagaimana mereka dapat menang?

– Berani menerima konsekuensi dari mempertahankan kebenaran

Mempertahankan kebenaran memang bukan hal yang mudah dan terkadang mendatangkan konsekuesi yang harus kita tanggung. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego bisa menjadi teladan. Mereka bisa saja memilih untuk mengikuti tawaran Raja Nebukadnezar untuk menyembah berhala dan mereka akan selamat dari hukuman, namun mereka memilih untuk tetap memegang kebenaran yang mereka yakini meskipun diperhadapkan dengan situasi yang mengancam keselamatan mereka. Bahkan keteguhan mereka nampak dalam perkataan mereka ketika menjawab setiap desakan dari Raja Nebukadnezar. Apa yang mereka yakini mereka buktikan dengan perkataan dan tindakan.

“Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:17-18).

– Berharap dan tetap percaya kepada pertolongan Allah meskipun mereka belum melihat

Di tengah situasi yang mencekam, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego tetap berpegang pada keyakinannya, bahwa Allah yang mereka sembah sanggup menolongnya. Namun apakah keyakinan mereka timbul karena melihat tanda-tanda pertolongan Allah pada saat mereka dicecar oleh Nebukadnezar? Tidak. Bahkan dalam perikop tersebut diceritakan bagaimana mereka tetap tidak akan menduakan Allah sekalipun mungkin Allah tidak menyelamatkan mereka. Keyakinan mereka karena mereka mengenal Siapa yang mereka sembah. 

Membaca kisahnya mungkin di antara kita ada yang berpikir mengapa Allah tidak menyelamatkan mereka dengan melunakkan hati Nebukadnezar atau membalikkan keinginan hati Nebukadnezar agar tidak jadi melempar Sadrakh, Mesakh, Abednego ke perapian? Mengapa Allah tetap membiarkan mereka masuk ke perapian yang tujuh kali lebih panas dari biasanya? 

Jawabannya adalah karena Allah ingin Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menjadi sarana untuk menyatakan kuasa dan kemuliaan-Nya. 

Di zaman sekarang, mungkin kita tidak lagi diancam dengan perapian yang menyala-nyala seperti yang dialami oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego tetapi perapian yang menyala-nyala itu bisa jadi berwujud hal-hal yang bisa saja menggoyahkan integritas kita seperti tuntutan sosial, iming-iming jabatan atau popularitas, dilema menentukan pasangan hidup, dan lain sebagainya.

Melihat kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, kita dapat belajar bagaimana menjaga keselarasan anatara pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan adalah bagian dari perjuangan memenangkan diri sendiri dan lebih dari itu melalui kesemuanya itu ada Kuasa dan Kemuliaan Allah yang sedang dinyatakan melalui diri kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menemukan Kebenaran Tuhan dari Sebuah Riset Lapangan

Oleh Edwin Petrus, Medan

Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir dari sebuah sekolah tinggi teologi yang berada di Malang, Jawa Timur. Kini, aku sedang menjalani praktik pelayanan setahun di sebuah gereja di kota asalku. Inilah kewajiban akademis terakhir yang harus aku selesaikan sebelum nantinya aku bisa diwisuda.

Ketika kuliah, ada sebuah kalimat yang begitu melekat dalam ingatanku, yang seringkali diucapkan oleh seorang dosenku ketika ia mengajar. Dosen ini memiliki suatu kebiasaan untuk mengawali kelas pertamanya dari setiap semester dengan memperlihatkan sebuah diagram. Aku pun sudah bisa menebak kata-kata pertama yang akan beliau utarakan ketika menjelaskan isi dari diagram tersebut. Beliau pasti berkata “all truth is God’s truth” (segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan).

Meski kalimat ini selalu terngiang-ngiang di kepalaku di setiap semester, aku memiliki sebuah tanda tanya besar tentang apa yang dimaksudkan dengan “segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan.” Rasa penasaran tentang kalimat ini menjadi semakin besar ketika aku berada di tingkat akhir dan mulai merencanakan untuk membuat penelitian lapangan sebagai tesisku.

Berbeda dengan teman-temanku yang memilih studi literatur sebagai metode penelitian mereka, aku menggunakan metode penelitian kualitatif. Simpelnya, kalau teman-temanku hanya perlu membaca buku untuk menyusun skripsi atau tesis mereka, aku perlu melakukan wawancara terhadap pemimpin kelompok kecil di gereja untuk memperoleh data.

Dalam pengerjaan tesis ini, pernyataan sang dosen kembali terngiang-ngiang di kepalaku,

“Akankah aku menemukan kebenaran Tuhan melalui wawancara dengan para pemimpin kelompok kecil gereja ini? Bukankah mereka hanya orang awam?”

“Teman-temanku yang melakukan studi literatur mungkin lebih memiliki peluang untuk menemukan kebenaran Tuhan,” pikirku demikian.

Pertanyaan ini tetap tidak terjawab. Namun, aku tetap mengerjakan penelitianku. Setelah mempersiapkan sejumlah pertanyaan wawancara dan mendapatkan lampu hijau dari dosen pembimbing, akupun segera membuat janji wawancara dengan para partisipan riset. Aku mengerjakan riset ini dengan mengikuti seluruh kaidah yang digariskan oleh metode penelitian kualitatif. Di bawah bimbingan sang dosen, aku mengumpulkan dan mengolah data dari hasil wawancara. Sampai akhirnya, aku bisa menarik kesimpulan dari penelitian ini.

Aku bersyukur dengan pertolongan Tuhan yang telah memimpinku untuk bisa menyelesaikan penelitian ini. Namun, aku tetap belum menemukan kebenaran Allah dari hasil risetku. Aku malah merasa bahwa tesisku kurang berbobot karena tidak ada kutipan-kutipan dari buku-buku teologi yang ditulis oleh teolog-teolog ternama.

Sampai suatu hari, aku mendengar sebuah renungan singkat dari seorang dosen lain yang membagikan kisahnya di dalam meneliti beberapa gereja yang telah dibuka kembali setelah kondisi pandemi COVID-19 mereda. Di dalam renungan tersebut, beliau berkata bahwa pertemuannya dengan para pemimpin gereja telah membuka matanya untuk melihat kebenaran dan karya Tuhan di dalam gereja-Nya selama masa pandemi. Pada saat yang sama, di dalam pikiranku, seperti ada tombol rewind yang ditekan. Aku diajak untuk kilas balik ke momen-momen ketika aku mendengarkan para partisipan risetku yang menceritakan kendala mereka di dalam memimpin kelompok kecil.

Aku teringat dengan satu kalimat yang sama, yang diucapkan oleh seluruh partisipan risetku: “Aku bukan pemimpin.” Di kala mereka merasa tidak mampu dan tidak percaya diri untuk memuridkan umat Tuhan, aku juga mendengar kisah-kisah perjuangan mereka untuk terus berkarya bagi Tuhan. Setiap partisipan menjumpai kendala-kendala yang berbeda di kelompok mereka. Mereka juga berkisah tentang kegentaran di dalam menjalankan tugas pemuridan ini, tetapi mereka tidak pernah putus asa. Apalagi di saat pandemi melanda, tantangan-tantangan baru pun muncul dan memuridkan jemaat gereja terasa menjadi semakin berat. Namun, para pemimpin kelompok kecil ini terus bersandar pada Tuhan dan pemeliharaan Tuhan sungguh nyata bagi setiap pelayan-Nya.

Pada saat itu, mataku terbuka untuk melihat kebenaran Tuhan yang tersimpan di dalam lembaran-lembaran hasil penelitianku. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku meminta maaf dan sekaligus menaikkan ucapan syukur di hadapan Tuhan. Aku meminta pengampunan dari Tuhan karena memandang sebelah mata terhadap pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh para pemimpin kelompok kecil di gereja. Di benakku, kebenaran Tuhan itu hanya ada di dalam Alkitab dan buku-buku teologi yang ditulis oleh para sarjana Alkitab. Namun, aku melupakan bahwa Tuhan juga dapat menyatakan kebenaran-Nya melalui para jemaat awam yang melayani di gereja. Lagipula, para pemimpin kelompok kecil ini adalah orang-orang yang bukan hanya “tahu” Amanat Agung Yesus, tetapi mereka juga adalah “pelaku” dari firman tersebut. Dengan penuh dedikasi, mereka memuridkan saudara-saudara seiman untuk menjadi murid-murid Kristus.

Di kemudian hari, ketika aku merenungkan bagian pendahuluan dari Injil Lukas (Luk. 1:1-4), aku kembali disadarkan bahwa Injil tersebut disusun oleh seorang peneliti lapangan yang mengumpulkan data melalui metode kualitatif. Lukas menyelidiki keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi mata Injil. Mereka pasti bukan hanya para rasul yang 24 jam melayani bersama Yesus. Para saksi mata ini mungkin adalah salah satu dari lima ribu orang yang pernah diberi makan oleh Yesus dengan lima roti dan dua ikan. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang yang pernah disembuhkan oleh Yesus dari sakit penyakit. Ada kemungkinan, salah satu saksi Injil ini adalah wanita yang pernah diampuni dosanya oleh Yesus. Kita memang tidak mengetahui identitas dari mereka yang menjadi sumber informasi bagi Lukas. Namun, dengan ilham (baca: inspirasi) yang diberikan oleh Roh Kudus, Lukas telah membukukan sebuah Injil dari penuturan para saksi mata ini, sehingga kita dapat mengetahui kebenaran Allah.

Kawan, aku bersyukur atas anugerah Tuhan yang telah menyatakan kebenaran-Nya kepadaku melalui sebuah riset. Aku juga berterima kasih kepada Dia yang mengizinkanku untuk melihat karya-Nya yang tidak berkesudahan di dalam komunitas orang percaya. Aku bersukacita kalau aku bukan hanya sekadar menyelesaikan riset ini karena tuntutan akademis, tetapi aku beroleh kesempatan untuk mengenal Tuhan dengan semakin dalam.

Bagaimana dengan kamu, kawan? Sudahkah kamu merasakan karya pemeliharaan Tuhan yang tidak berhenti tercurah di dalam hidupmu? Adakah kamu melihat kebenaran-Nya yang disingkapkan dalam hidupmu? Aku berdoa, kiranya Tuhan membuka hatimu untuk melihat dan merasakan kasih dan kebenaran-Nya di dalam hidupmu.

4 Rumus untuk Menyampaikan Teguran

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

“Dia berbuat salah. Kamu dong yang tegur dia.”

“Eh, kok aku? Jangan aku lah. Kamu saja. Kan kamu temannya.”

Percakapan di atas adalah secuplik pengalamanku ketika aku tidak berani untuk menegur seseorang. Sebagai seorang yang tidak suka terlibat konflik, menegur seseorang adalah hal yang cukup menakutkan buatku. Aku takut kalau-kalau relasi dengan temanku yang baik-baik saja jadi rusak karena sebuah teguran yang kulayangkan. Acap kali ketika aku melihat temanku berbuat salah, aku malah meminta orang lain saja yang menegurnya.

Kurasa aku tidak sendirian menghadapi hal seperti itu. Mungkin ada banyak dari kita juga yang enggan apabila harus menegur seseorang, meski kita tahu betul bahwa apa yang orang itu perbuat tidak benar. Kita ingin berada di posisi aman. Sehingga, kalaupun harus menegur, orang lain saja deh yang memberi teguran itu.

Namun, pemikiran mencari “damai” tersebut bukanlah pilihan yang paling tepat. Sebagai orang Kristen, kita memang dipanggil untuk mengusahakan perdamaian dengan sesama manusia (Roma 12:18), tapi panggilan ini tidak bisa diartikan juga sebagai berdiam diri atau membiarkan. Alkitab memberikan kita beberapa contoh mengenai hal ini.

Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus pernah terlibat pertentangan dengan Kefas. Paulus mengetahui bahwa Kefas telah berbuat salah dengan bertindak seperti orang munafik. Paulus pun menegur Kefas dengan keras, “Kalau Saudara sebagai orang Yahudi sudah hidup seperti orang bukan Yahudi, mengapa Saudara sekarang mau memaksa orang-orang lain hidup seperti orang Yahudi?” (Galatia 2:14 BIS).

Contoh lainnya dapat kita temukan dalam Matius 14:1-10. Pada masa itu, Yohanes Pembaptis pernah menegur Herodes, katanya: “Tidak halal engkau mengambil Herodias!” (ayat 4). Teguran ini membuat Herodes marah sehingga dia ingin membunuh Yohanes Pembaptis.

Mungkin respons Herodes itu terdengar begitu menyeramkan. Namun, kisah ini menjadi pengingat buat kita bahwa menyuarakan kebenaran melalui teguran itu pasti berisiko. Dan, kebenaran itu bukanlah berita hiburan, apalagi buat mereka yang melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, dalam panggilan kita untuk berani menyuarakan kebenaran, kita tidak bisa melakukannya secara sembarangan. Ada empat rumus yang perlu kita perhatikan saat kita ingin menegur dan menyatakan kebenaran kepada seseorang.

1. Yang menegur haruslah orang yang menjalani apa yang dia tegur

Bahasa singkat dari poin ini adalah: integritas. Apa yang kita ucapkan lewat mulut kita haruslah sesuatu yang sepadan dengan perbuatan kita. Kita tidak mungkin menegur seseorang supaya dia berhenti mengonsumsi minum minuman keras selama kita sendiri menjadi pengonsumsi rutin minuman tersebut. Pun kita tidak mungkin meminta teman kita untuk jujur dalam ujian kalau kita sendiri dikenal sebagai seorang yang jago menyontek.

Ada sebuah lagu yang liriknya berkata:

“Hidupmu kitab terbuka, dibaca sesamamu. Apakah tiap pembacanya melihat Kristus dalammu?”

Ibarat dua sisi mata uang, kita tidak bisa melepaskan antara perkataan dengan perbuatan. Keduanya harus senada.

2. Pikirkan apa yang menjadi tujuan kita ketika menegur seseorang

Ketika kita menegur seseorang, apakah yang sesungguhnya menjadi tujuan kita? Apakah kita ingin supaya kita terlihat lebih baik daripada orang itu? Atau, apakah kita menegur demi kebaikannya?

Meski kita tahu bahwa kita ada di posisi yang benar, tugas kita bukanlah memegahkan diri atas posisi kita. Ketika kita menegur, kita harus melakukannya dalam kerangka penggembalaan. Chuck Swindoll pernah berkata, “Saat menegur seseorang, kita patut memiliki satu tujuan: untuk memulihkan dan bukan mempermalukan dirinya.”

Ketika kita memahami apa tujuan kita dalam menegur, kita bisa membimbing orang yang kita tegur itu untuk secara perlahan berjalan kembali di jalan yang sesuai firman Tuhan. Ingat, ketika kita memiliki tujuan untuk kebaikan orang yang kita tegur, maka teguran kita itu ditujukan bukan untuk membuangnya dari komunitas kita, tetapi menariknya kembali untuk menyadari kesalahannya dan berbalik pada kebenaran.

3. Tegurlah di dalam kasih

Dalam ceritaku di awal tulisan ini, aku pernah merasa takut untuk menegur teman atau sahabatku dengan alasan aku takut relasi ini rusak. Padahal, jika aku pikirkan kembali, seharusnya kedekatan relasi ini memberiku peluang lebih untuk bisa menyampaikan teguran. Ketika aku bersahabat karib dan terbuka dengan seseorang, besar kemungkinan dia mau mempercayai teguran yang kusampaikan.

Namun, perlu diingat, relasi yang dekat bukan berarti membuat kita bisa bersikap secara asal-asalan. Firman Tuhan menasihatkan agar kita menyampaikan kebenaran dalam kasih. Dalam Matius 18:15, Yesus berkata:

“Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.”

Ketika seseorang berbuat salah, Yesus tidak meminta kita untuk menyebarkan kesalahan itu kepada banyak orang. Melainkan, Yesus meminta kita untuk menegurnya secara empat mata. Sampaikanlah teguran itu dengan rendah hati. Pikirkanlah kata-kata yang tepat dan membangun, bukan caci maki dan umpatan. Serta mintalah pertolongan Roh Kudus agar melalui kata-kata yang kita ucapkan, orang tersebut dapat dilembutkan hatinya.

Hal ini pun berlaku apabila orang yang ingin kita tegur secara relasi tidak terlalu dekat dengan kita layaknya sahabat. Mungkin kita tidak langsung menegur orang itu seketika itu juga, tetapi kita bisa meminta pertolongan dari Roh Kudus untuk memberi kita momen yang tepat serta hikmat supaya kita dapat menyampaikan kebenaran. Ketika momen itu datang, kita bisa mengajak orang tersebut untuk berbicara empat mata dengan kita.

Kita harus menyadari bahwa menegur seseorang adalah perbuatan yang memiliki konsekuensi. Seperti yang disebutkan di bagian atas tulisan ini, teguran bukanlah berita hiburan. Mungkin saja ada penolakan atau pembenaran diri yang ditunjukkan oleh orang yang kita tegur. Oleh sebab itu, dengan menyadari hal ini, kita bisa menemukan cara apa yang paling tepat untuk menyampaikan kebenaran tersebut.

Suatu ketika aku pernah harus menegur sahabatku. Dia sudah kuliah selama 13 semester dan belum lulus juga. Di satu sisi aku takut, tapi di sisi lainnya aku tahu bahwa tidak baik jika dia tidak serius mengerjakan skripsinya. Konsekuensi buruk dari teguran ini adalah sahabatku merasa tersinggung atau masa bodoh. Untuk meminimalisirnya, strategiku adalah tidak langsung menelponnya dengan mengata-ngatai dia kalau skripsinya lama dan sejenisnya. Aku coba mendatanginya, mengajaknya minum teh panas supaya menciptakan suasana yang hangat dan santai. Barulah aku mengatakan padanya bahwa ada yang salah dalam cara dia mengerjakan skripsinya, dan aku mengakhiri teguranku dengan menawarkan diri untuk menolongnya dengan menjadi editor typo buat skripsinya. Puji Tuhan, sekarang skripsinya telah tiba di bab terakhir.

4. Simple but powerful: selalu doakan orang yang kita tegur

Meski kita sudah bertindak sebaik dan sebijak mungkin, bisa saja orang yang kita tegur tetap merasa tidak terima dan kita kehilangan relasi dengan mereka. Namun, jangan menyerah. Dalam sebuah artikel yang kubaca di sini, aku mendapati bahwa hal yang sederhana namun berkuasa yang bisa kita tetap lakukan adalah: berdoa.

Ketika kita mendoakan orang itu, sesungguhnya kita tidak hanya memohon agar Tuhan mengubahkan hati orang yang kita doakan, melainkan juga kita belajar untuk mendekatkan diri kita kepada hati Tuhan. Dalam Kejadian 18, dikisahkan bahwa Allah murka dan ingin memusnahkan Sodom dan Gomora. Namun Abraham terus berdoa supaya Tuhan sekiranya berkenan tidak memusnahkan kota itu kalau sedikitnya ada 10 orang benar di sana. Tuhan pun menjawab doa Abraham dengan menyelamatkan keluarga Lot dari murka-Nya.

Adakah seseorang yang Tuhan letakkan di hatimu untuk kamu tegur? Jika ada, marilah kita mulai dengan berdoa untuknya sekarang.

Baca Juga:

Aku Memberi Persepuluhan Karena Motivasi yang Salah

Aku berjemaat di sebuah gereja kecil. Setiap uang yang diberikan oleh anggota jemaat sangat berarti untuk keuangan gereja. Aku pun memberikan persepuluhanku ke gereja itu. Tapi, lama-lama aku merasa persepuluhan ini membebaniku.

Sesendok Gula

Selasa, 15 April 2014

Sesendok Gula

Baca: Mazmur 19:8-15

19:8 Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.

19:9 Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya.

19:10 Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya,

19:11 lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.

19:12 Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.

19:13 Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan? Bebaskanlah aku dari apa yang tidak kusadari.

19:14 Lindungilah hamba-Mu, juga terhadap orang yang kurang ajar; janganlah mereka menguasai aku! Maka aku menjadi tak bercela dan bebas dari pelanggaran besar.

19:15 Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.

Hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, . . . dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. —Mazmur 19:10-11

Sesendok Gula

Saya merindukan Mary Poppins. Mary adalah tokoh rekaan dalam serial film kuno yang bekerja sebagai seorang pengasuh anak dan terkenal dengan ucapannya, “Sesendok gula dapat membuat obat yang pahit jadi mudah ditelan.” Sebenarnya saya bukan ingin menyaksikan kembali film-film yang riang tetapi tidak realistis seperti itu, melainkan sedang merindukan adanya orang-orang yang mempunyai pandangan terhadap suatu masa depan yang optimis dan realistis. Saya merindukan orang-orang yang kreatif dan ceria, yang dapat menunjukkan sisi positif dari sesuatu yang kita anggap negatif.

Ternyata Daud menulis sebuah pujian yang mengungkapkan kebenaran serupa. Ia menulis, “hukum-hukum TUHAN itu . . . lebih manis dari pada madu” (Mzm. 19:10-11). Kita jarang mendengar bahwa kebenaran itu manis. Kita lebih sering mendengar bahwa kebenaran itu pahit atau bahkan sulit untuk ditelan. Namun kebenaran lebih dari sekadar obat yang dapat menyembuhkan, melainkan suatu asupan yang bermanfaat untuk mencegah penyakit. Kebenaran bukanlah vaksinasi atau suntikan. Kebenaran adalah makanan kelas atas yang sepatutnya dihidangkan sebagai santapan terlezat yang memikat mereka yang lapar untuk mengecap dan melihat “betapa baiknya TUHAN itu” (Mzm. 34:9).

Kita menyanyikan pujian “Yesus nama termanis yang kukenal,” tetapi ada di antara kita yang menampilkan-Nya seolah-seolah Dia bukanlah yang termanis. Kebenaran yang murni dan tidak tercemar oleh kecongkakan merupakan santapan yang termanis dan tersegar bagi semua jiwa yang merindukan asupan rohani. Kita diberikan kehormatan untuk menghidangkannya bagi dunia yang sedang kelaparan. —JAL

Yesus nama termanis yang kukenal,
Dan memang Dia seindah nama-Nya,
Karena itulah aku begitu mengasihi-Nya;
Ya, Yesus nama termanis yang kukenal. —Long

Kebenaran [TUHAN] tetap untuk selama-lamanya. —Mazmur 117:2 FAYH

Pasti Terbang

Rabu, 31 Juli 2013

Pasti Terbang

Baca: Roma 3:21-26

Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus. —1 Korintus 15:22

Badai yang hebat menunda penerbangan kami ke Frankfurt, dan akibatnya kami ketinggalan pesawat untuk penerbangan selanjutnya. Kami diberi tahu bahwa kami dipastikan bisa terbang dengan penerbangan lain besok malam. Namun ketika malam itu kami tiba di gerbang, mereka mengumumkan bahwa kami masih harus menunggu. Penerbangan itu ternyata penuh.

Pada saat itu, saya bertanya-tanya apakah telah terjadi kesalahpahaman atau memang demikian cara mereka menangani para penumpang yang ketinggalan pesawat. Jika penumpang sebelumnya diberi tahu bahwa mereka masih harus menunggu, mereka pasti tidak senang. Mungkin karena itulah petugas sengaja menyembunyikan informasi tersebut.

Syukurlah, Allah tidak berbuat demikian. Dia dengan jelas memberitahukan segala yang perlu kita ketahui supaya kita bisa ke surga. Alkitab menyatakan bahwa “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23). Allah memberi gambaran yang jelas tentang dosa kita di dalam Kejadian 3 supaya Dia bisa memberi kita solusi-Nya yang lengkap dan seutuhnya.

Solusi yang Allah berikan di Roma 3:24 menyatakan, “Oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” Allah mengutus Anak-Nya yang tidak berdosa untuk mati menebus kita. Pengorbanan-Nya di kayu salib menyediakan pengampunan bagi kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah menerima anugerah cuma-cuma itu dengan iman kita. Saya sangat bersyukur, sedari awal Allah telah memberitahukan kebenarannya! Dia tidak membiarkan kita mencari-cari jalan kita sendiri. —CPH

Terima kasih, Allah Mahabesar, karena Engkau tak menyembunyikan
kebenaran dari kami. Engkau menunjukkan kepada kami betapa dosa
merusak hidup kami dengan tujuan untuk menegaskan dahsyatnya
karya Yesus Kristus dalam memerdekakan kami.

Karya Yesus menyelamatkan kita; firman Allah meyakinkan kita.