“Ikuti kata hatimu.” Kita mungkin telah mendengarnya berjuta-juta kali. Mungkin juga kita telah membacanya di Instagram, gelas kopi, karya seni, bahkan di toko buku Kristen. Tapi, apakah benar jika aku mengikuti kata hatiku? Apakah mengikuti kata hatiku bisa membuatku bahagia?
Sejak aku lahir baru, aku terdorong untuk membaca habis Alkitab dalam setahun. Tapi, karena kesibukanku di sekolah, aku terus menundanya. Dengan pertolongan Tuhan dan dukungan dari teman-teman kelompok kecilku, barulah enam tahun kemudian aku dapat menyelesaikan membaca Alkitab dalam setahun.
“Aku tak mau berbagi!” jerit anak bungsu saya. Ia tidak rela melepaskan satu saja dari sekian banyak keping LEGO miliknya. Saya tidak habis pikir melihat sikapnya itu.
Saat keluar dari tempat penginapan saya di Kampala, Uganda, tuan rumah yang menjemput saya ke acara seminar menatap dengan senyum geli. “Apakah ada yang lucu?” tanya saya.
Musim panas yang lalu, saya dan suami mengunjungi Fallingwater, sebuah rumah di kawasan pedesaan Pennsylvania yang dirancang oleh arsitek Frank Lloyd Wright pada tahun 1935.
Baru-baru ini, ada kisah penyelamatan dramatis terhadap remaja Indonesia bernama Aldi Novel Adilang. Aldi adalah seorang nelayan dari suku Wori yang berusia 19 tahun. Sehari-harinya Aldi bekerja sebagai penjaga rompong (sebuah rakit untuk menangkap ikan) yang letaknya sejauh 125 kilometer dari daratan.
Meskipun aku sudah menjadi orang Kristen selama bertahun-tahun, aku tidak selalu membaca Alkitabku. Selama beberapa waktu yang lama, aku mendengar firman Tuhan hanya di gereja saat hari Minggu. Bahkan, aku seperti orang yang disebutkan dalam Yakobus 1:24—hidupku tidak berubah.