Posts

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Rumah Bapa Adalah Rumah Pengampunan

Oleh Ernest Martono, Jakarta 

Dalam kurun waktu dua minggu, kami menyulap sebuah hotel menjadi ‘rumah’. Hotel itu berada di Jakarta Utara dan kami sewa untuk sebuah acara besar yang pesertanya berasal dari mancanegara. Ratusan kamar menampung tamu hampir seribu orang. Pengamanannya pun cukup ketat sebab setiap penghuni kamar diwajibkan memakai penanda identitas dan bagi yang tidak memakai akan ditanya-tanya oleh petugas. Tak ada tamu lain di hotel itu selain kami; para peserta, panitia, tim, pekerja hotel, dan relawan sepertiku. 

Aku dan tim relawan yang lain bertugas membantu kebutuhan setiap peserta. Kami mendengar, mengarahkan, menemani, dan melayani dengan kemampuan bahasa Inggris kami yang terbatas. Namun, itu tidak menyurutkan sukacita kami untuk melayani teman-teman seiman dari berbagai macam suku, bangsa, dan negara. Kami saling bertukar cerita, bahasa, dan kebudayaan. Kebersamaan selama dua minggu itu segera menciptakan ikatan antar kami semua. Termasuk dengan pekerja hotel yang siap sedia menjawab kebutuhan kami akan makan dan tempat istirahat. Kami tidak pernah kekurangan makanan, bahkan seringkali bersisa. Setiap hari kamar kami dibersihkan. Bayangkan setiap malam ketika kami kembali ke kamar setelah sesi yang panjang, kami menemukan lantai kamar kami sudah bersih dan wangi. Selimut sudah terlipat baru dan siap dipakai. Salah seorang teman kami berkata, “sudah seperti pulang ke rumah,” ketika dia kembali ke hotel setelah sejenak berkunjung ke kantor. 

“Seperti pulang ke rumah…” 

Perkataannya mewakili perasaanku juga. Selama di hotel aku mengalami feels like home. Aku mulai menganalisa mengapa aku bisa merasa seperti itu meskipun aku tahu ini bukanlah rumahku. Kutemukan semua kenyamanan ini membuatku terlena dan kerasan alias betah. Di hotel, aku dimanjakan. Aku tidak merasa kekurangan apapun. Aku tidak perlu memikirkan harus makan apa dan bagaimana mendapatkannya karena semua sudah ada yang memikirkan dan menyiapkannya. Aku tidak perlu merasa takut karena ada satpam hotel yang akan menjamin tidak akan ada orang asing yang masuk. Memang aku di situ hadir sebagai pelayan, tapi aku juga dilayani oleh pelayanan temanku di divisi lain. Kami saling melayani.

Jika memang semua itu membuatku merasa berada di rumah, bagaimana dengan Tuhan yang juga memberikan kepadaku hal yang sama? Aku mulai merenung apakah aku bisa menganggap Tuhan sebagai rumahku? Aku pun berpikir apakah aku kerasan dan terlena dengan semua kebaikan Tuhan? Bukankah Tuhan juga merawat, memelihara, melayani, dan memperhatikan setiap kebutuhan hidupku? Bahkan lebih dari itu Tuhan memberikan sesuatu lebih daripada sekedar kenyamanan yang dicari-cari manusia. 

Aku teringat sebuah kisah perumpamaan di dalam Alkitab. Kita sudah tahu kisahnya ketika anak bungsu memilih pergi dari rumah dan menghancurkan hidupnya sendiri. Di dalam perjuangannya mempertahankan hidup, satu hal yang dia ingat adalah rumah bapanya.

“Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” (Lukas 15:17-19).

Anak bungsu yang kelaparan ini harus berebut makanan dengan babi. Tentu ini adalah kondisi yang jauh berbeda dengan diriku yang berada di hotel saat itu. Namun, satu hal yang aku pelajari, anak bungsu ini ingat bahwa di rumah bapanya makanan begitu berlimpah. Dia lantas kembali ke rumah bapanya untuk mendapatkan makanan dan sekadar mencari penghidupan yang sedikit lebih layak.

Namun, sesampainya di rumah, ternyata sang bapa memberikan hal yang jauh lebih baik dari yang bisa dia minta dan bayangkan. Sang anak bungsu diberikan sebuah pesta dan segala kebutuhannya dipulihkan. Satu hal yang tidak boleh luput dari mata, di balik semua sukacita itu, sang bapa telah memberikan pengampunan pada anak bungsu. 

Mengingat kisah ini, memang benar Tuhan, yang kita sapa sebagai Bapa, merawat dan memelihara hidup kita. Rumah Bapa penuh dengan segala bentuk pemeliharaan yang kita perlukan. Memikirkan itu saja sudah membuat sukacita. Apalagi ketika kita tahu bahwa di rumah Bapa ada pengampunan. Penuh dengan kasih Bapa yang mengampuni.

Kembali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, apakah Tuhan merupakan rumah untukku? Memang benar aku sebagai manusia berdosa bisa saja lari menjauh dari Tuhan. Aku bisa “pergi jauh” dan “keluar rumah” dalam waktu lama. Terkadang aku begitu enggan datang kembali kepada Tuhan sekalipun kondisi hidupku sudah sama seperti anak bungsu dalam perumpamaan. Sudah tidak karuan, tidak punya harapan, dan bisa saja pelan-pelan mati dalam kesengsaraan. Namun, kisah ini mengingatkanku  bahwa, “Di rumah Bapaku penuh dengan pengampunan.” 

Kisah ini mendorongku untuk terus kembali berani pulang ke rumah bapa sekalipun aku sudah pergi terlalu jauh. Sudah berdosa terlalu dalam. Sudah berkali-kali keluar masuk ke dalam rumah pengampunan itu. Oleh karena aku membutuhkan pengampunan itu jauh lebih daripada makanan yang berlimpah. Pertanyaan yang terus akan aku ulang dalam hatiku, apakah aku merasa Tuhan adalah rumah bagiku? Apakah aku feels like home ketika berada di sisi-Nya?

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Ayat yang Terasa Hebat dan Menginspirasi… Sebenarnya Berarti Lain

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Great, Comforting Verse… Actually Meant Something Else

Di negaraku ada kebijakan wajib militer bagi setiap pemuda pada rentang usia tertentu. Dan, di sinilah kisahku dimulai, ketika aku meninggalkan rutinitas biasaku untuk mengabdi sebagai wajib militer. 

Di minggu-minggu pertama pelatihan militer dasar, setiap malam saking lelahnya aku akan langsung terlelap dalam hitungan menit. Aku hampir tidak bisa membaca satu atau dua ayat singkat dari Alkitab kecil yang kubawa, ataupun sekadar berdoa singkat (salah satunya supaya wamil ini cepat berlalu!). 

Suatu malam, ketika aku secara acak saja membuka Alkitab, aku menemukan Roma 8:18. Ayat ini membuatku menangis sembari juga memberi penghiburan yang sungguh aku butuhkan. “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Wow! Pikirku saat itu, pengalaman mengerikanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang Tuhan sediakan buatku. 

Bisa kukatakan, ayat itu masih menjadi salah satu ayat favoritku dalam Alkitab. Siapa yang tidak ingin diingatkan bahwa tidak peduli seberapa susahnya penderitaan kita saat ini, ada sesuatu yang jauh lebih baik dan menyenangkan yang sedang menanti kita?

Tapi… mungkin rasul Paulus tidak memikirkan ‘penderitaan’ seorang remaja yang secara fisik tidaklah sehat namun terus ‘dipaksa’ hingga menjadi bugar.

Kalau kamu membaca bagian selanjutnya dari Roma 8, kamu akan melihat bahwa pergumulan utama yang dihadapi oleh orang-orang Kristen di Roma adalah dampak dosa dalam kehidupan mereka. Mereka berjuang untuk menjalani hidup kudus dalam menghadapi pencobaan dan kelemahan rohani mereka, atau penderitaan yang diakibatkan dari cara hidup orang lain yang berdosa. Penderitaan mereka adalah karena iman mereka kepada Kristus. 

Mereka tidak menderita karena mereka menjalani gaya hidup yang nyaman, malas-malasan, atau karena tuntutan wajib militer di mana mereka harus melakukan push-up 8 kali, berlari sejauh 2,4km dalam waktu kurang dari 10 menit… atau berjalan lurus tanpa tersandung kaki sendiri.  

Namun demikian, aku tidak dapat menyangkal bahwa Roma 8:18 masih berbicara kepadaku dan menguatkanku hingga saat ini, meskipun pada awalnya aku memahaminya sedikit di luar konteks. Hal ini terkadang membuatku bertanya-tanya: Bukannya harusnya aku tidak mendapat penghiburan atau kekuatan di ayat ini atau ayat lain kalau aku memang tidak paham konteksnya, ya? 

Memahami Alkitab dengan benar

Sepertinya sudah menjadi hal yang biasa untuk mengatakan bahwa kita perlu menafsirkan, memahami, dan mengaplikasikan Firman Tuhan dengan benar, yaitu sesuai konteksnya. Namun, Alkitab sering kali dikutip secara salah lebih banyak dari yang kamu bayangkan. Coba cari di Google “Ayat-ayat Alkitab yang sering salah kutip” dan kamu mungkin akan terkejut dengan apa yang kamu lihat.

Sebagai contoh, Roma 8:28 – “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” – sering kali digunakan untuk menghibur seseorang yang tampaknya mengalami kesulitan, atau yang sedang mengalami masalah besar dalam hidupnya. “Jangan khawatir,” ayat ini seolah-olah mengatakan, “Tuhan akan membawa kebaikan dari situasi ini.”

Tetapi ayat ini sebenarnya dikatakan dalam konteks hidup oleh Roh. Paulus berbicara tentang kita yang sedang belajar untuk menjadi serupa dengan Yesus, dan perubahan inilah yang sedang Allah kerjakan untuk “kebaikan” kita.

Ada beberapa jebakan yang jelas terlihat ketika kita salah memahami ayat-ayat tertentu atau membacanya di luar konteks.

Misalnya, jika kita melihat Roma 8:28 sebagai janji bahwa Allah akan menyelamatkan kita dari situasi yang buruk atau mengubahnya menjadi situasi yang baik, kita mungkin akan kecewa jika Dia tidak melakukannya. Lebih buruk lagi, kita bahkan mungkin marah atau kecewa kepada-Nya, karena berpikir bahwa Dia tidak memenuhi apa yang kita harapkan.

Yeremia 29:11 mungkin memberi kita harapan (palsu) yang sama, jika kita melihatnya sebagai janji yang ditujukan untuk semua pengikut Tuhan. Kita mungkin melewatkan fakta bahwa ini adalah janji yang diberikan secara khusus kepada bangsa Israel (yang saat itu masih menderita di pengasingan karena ketidaktaatan mereka), dan mulai menyalahkan Tuhan jika hidup tidak berjalan dengan baik.

Jadi… apakah ini berarti aku tidak boleh berpegang pada ingatan tentang bagaimana Tuhan menghiburku melalui Roma 8:18?

Atau lebih buruk lagi, apakah ini berarti bahwa aku telah salah mendengar Tuhan, dan Dia sebenarnya tidak menghibur aku?

Jawabannya, aku percaya, tidak.

Firman Tuhan, Firman yang Hidup

Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Firman Tuhan itu mutlak dan lengkap. Yesus sendiri mengatakan bahwa “satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Matius 5:18).

Pada saat yang sama, tidak seperti buku-buku lainnya, Firman Tuhan adalah firman yang hidup. Firman Allah bukanlah sekadar kata-kata yang dicetak di atas kertas (atau diterbitkan secara digital). Seperti yang dikatakan dalam Ibrani 4:12: “Firman Allah hidup dan kuat.”

Sebagai contoh, kita semua dipanggil untuk melayani Tuhan dan memberitakan Injil—itu adalah bagian yang mutlak. Namun, seseorang mungkin menerima dorongan khusus untuk berbicara kepada orang tertentu tentang Allah pada saat tertentu—membuktikan bahwa Firman-Nya yang hidup dapat menyentuh dan menginspirasi kita secara berbeda pada waktu yang berbeda, dalam situasi yang berbeda.

Kamu mungkin pernah memiliki pengalaman ketika ayat yang sama menyentuh atau menginspirasimu secara berbeda pada waktu yang berbeda. Aku pernah mencoret atau menstabilo ayat-ayat di Alkitabku ketika ayat itu menyentuh hatiku, tapi bertahun-tahun setelahnya ketika aku melihat hasil coretan itu aku malah bertanya, “Kok ayat ini kayaknya perlu aku stabiloin lagi ya?” 

Karena Allah berhubungan dengan kita masing-masing secara unik dan berbeda, apakah Dia akan mengizinkan kebenaran Alkitab menyentuh kita dengan cara yang berbeda dari pembacaan atau penafsiran yang biasa? Aku percaya demikian. Mungkinkah Dia menggunakan sebuah ayat untuk menghibur, menguatkan, atau menginspirasi kita, bahkan jika ayat tersebut sedikit menyimpang dari konteks aslinya? Aku juga percaya demikian.

Kebutuhan akan kebijaksanaan dan kepekaan untuk membedakan

Tidak diragukan lagi, ada risiko ketika kita memegang pemahaman ini. Itulah sebabnya beberapa orang Kristen percaya bahwa kita semua harus mengaplikasikan ayat-ayat dalam konteks yang sebenarnya. Mereka waspada terhadap gagasan bahwa Tuhan memberi kita petunjuk khusus melalui ayat tertentu, karena hal itu dapat membuat kita menyimpulkan hal-hal seperti, “Oh, Tuhan baru saja menyuruhku berganti pekerjaan, karena petunjuk dari ayat Alkitab ini,” padahal belum tentu demikian.

Dan itulah sebabnya, aku percaya, kita perlu berhati-hati ketika mengaplikasikan Alkitab pada situasi tertentu yang kita hadapi. Ketajaman atau kebijaksanaan dalam memahami suatu ayat membutuhkan hikmat ilahi dan pemahaman akan prinsip-prinsip yang menjadi inti dari dorongan Roh Kudus. Yang penting, kita harus ingat bahwa Firman Allah tidak akan pernah bertentangan dengan diri-Nya sendiri—Allah tidak akan membingungkan kita melalui Firman-Nya sendiri.

Kita juga perlu berhati-hati ketika membagikan pengalaman pribadi kita tentang Alkitab dan tentang Allah yang berbicara secara pribadi kepada kita, baik di media sosial maupun secara langsung. “Beginilah ayat X berbicara kepada aku pada saat ini” tidak selalu bisa diterjemahkan sebagai “Inilah arti ayat X bagi kita semua.”

Seorang teman yang dewasa secara rohani akan memahami pentingnya bagaimana Roh Kudus mendorong kita melalui ayat tertentu atau memberi kita wawasan pribadi tentang kebenaran tertentu. Namun, seseorang yang kurang dewasa, mungkin percaya bahwa inilah yang dimaksud oleh ayat tersebut, dan menerapkannya pada dirinya sendiri.

Menjaga keseimbangan

Kamu mungkin berpikir, “Ngapain sih yang kayak begini dipusingin banget?” Apakah kita harus menanggapi segala sesuatu dengan sangat serius, sehingga kita perlu kroscek berkali-kali bahkan ketika kita dalam situasi santai membagikan ayat Alkitab kepada teman yang membutuhkan?

Tentu saja, kita dapat mengambil tindakan yang lebay, dan lupa bahwa Firman Tuhan adalah firman yang hidup yang dapat menyentuh hati dan kehidupan dengan cara yang tidak dapat kita bayangkan.

Namun, mungkin kita dapat memohon hikmat Ilahi sebelum memahami suatu ayat, dan setidaknya berhenti sejenak sebelum menekan tombol “kirim” atau “posting” untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah ini yang sebenarnya dikatakan Alkitab kepada semua pembaca? Atau hanya buat aku? 

Bagaimanapun juga, sama seperti kita ingin teman-teman kita merasa terhibur dan terinspirasi, kita juga ingin teman-teman kita mendapatkan pengenalan yang lebih dalam akan Allah dan Firman-Nya.

Jadi, mengapa tidak membagikan sebuah ayat yang dapat mereka pegang dan ambil hikmahnya, bukan hanya untuk saat itu saja, tetapi juga untuk seumur hidup mereka?

Mengapa tidak menolong mereka untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Firman Tuhan, sehingga mereka dapat melihat Alkitab sebagai sumber kebenaran yang kekal dan luar biasa, dan bukan hanya sebagai kata-kata motivasi?

Bagaimana dengan ayat-ayat penghiburan dan motivasi yang telah kamu soroti dalam Alkitabmu atau kamu tuliskan dalam jurnal?

Jika kamu merasa terhibur atau dikuatkan oleh ayat-ayat tersebut, maka aku percaya bahwa Allah memang memaksudkan ayat-ayat itu untukmu. Namun, saat kamu membacanya lagi dengan perspektif yang baru, kamu harus tetap mengingat konteks aslinya, dan mempertimbangkan gambaran yang lebih besar yang diungkapkan Firman Tuhan kepada kita. (Dan pikirkanlah dengan matang apakah akan meneruskannya kepada teman atau tidak).

Dan itulah mengapa aku menyimpan Roma 8:18 untuk diriku sendiri selama bertahun-tahun, sampai sekarang. Aku tahu untuk apa Paulus memaksudkannya ketika dia menulisnya, tetapi untuk makna khususnya, aku tahu itu untukku.

Beberapa hal yang dapat kamu lakukan

Tidak yakin bagaimana atau di mana harus mulai memeriksa konteks ayat favoritmu? Cobalah tafsiran-tafsiran dan sumber-sumber Alkitab online ini. Ini tidak lengkap, tetapi kamu bisa mendapatkan gambarannya.(Versi yang lebih komprehensif umumnya tersedia dalam bahasa Inggris). 

https://www.studylight.org/commentary.html

www.gotquestions.org

Kamu juga dapat membaca berbagai versi dari ayat yang sama, untuk membantumu mengumpulkan gagasan yang lebih komprehensif tentang apa yang mungkin dimaksud oleh suatu ayat.

Meskipun Alkitab memberikan kita ayat-ayat motivasi, sejatinya Alkitab lebih dari itu. Alkitab adalah sebuah kisah pengharapan yang kekal, yang diceritakan melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Juruselamat yang ingin memberi kita penghiburan, kekuatan, dan pengharapan yang sejati—bukan hanya dalam keputusan atau situasi tertentu, tetapi juga dalam kehidupan yang akan datang.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

6 Tanda Kalau Ada yang Salah dalam Relasi Kita Sama Tuhan

Sobat Muda, memiliki relasi dengan Tuhan itu penting. Namun, apakah selama ini kita sudah membangun relasi yang benar dengan Tuhan?

Berikut ada 6 tanda—yang perlu kita perhatikan—kalau ada yang salah dalam relasi kita sama Tuhan.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Harus Tunggu Nanti?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Anita melirik notifikasi pesan di ponselnya.
Pesan sama yang muncul tepat jam 08.00 setiap pagi.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 22 November 2022: Kisah Para Rasul 15-16.

“Ok. Akan kubaca nanti kalau sempat,” janji Anita setelah membaca pesan itu. Namun biasanya dia tidak pernah sempat. Sebagai desainer interior yang baru mulai bergabung dengan salah satu perusahaan besar, tugas dan tanggung jawab Anita tidaklah kecil. Meski usianya baru menginjak pertengahan 20-an, pengalaman kerja Anita cukup banyak mengingat dia sudah mulai bekerja sebagai freelancer sejak kuliah. Maka tidak heran bila Anita dipercayai untuk berbicara dengan beberapa klien penting, dan sketsa desainnya cukup diminati oleh atasan dan para kliennya. Anita juga menyukai tantangan untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai standar perusahannya. Karena itu, bekerja dengan durasi sesuai jam kantor tidak akan cukup bagi Anita. Waktu seakan tidak pernah cukup untuk pekerjaannya, apalagi melakukan hal lain.

Anita baru sampai lagi di rumah saat malam pekat sudah menyapa. Orang-orang serumah pun sudah tidur. Hanya keheningan yang terdengar. Setelah mandi, Anita akan merebahkan badannya yang lelah dan baru membalas pesan-pesan dalam ponselnya. Kembali dia membaca sekilas pesan yang diterimanya tadi pagi.

Dengan menguap, Anita bergumam, “Oh, iya. Baca Alkitab. Tapi… aku ngantuk. Besok saja, ya Tuhan. Tentu Kau tidak ingin aku membaca dengan tidak fokus, bukan?” Ponsel itu diletakkan dan dia segera tidur.

Keesokan pagi, pesan yang sama muncul kembali dengan bacaan Alkitab yang berbeda. Kadang Anita merasa kagum pada sie kerohanian di gerejanya. Setiap hari dengan setia, dia mengirimkan pesan di grup obrolan gereja. Mengingatkan setiap orang untuk membaca Alkitabnya. Sedikit perasaan bersalah menghinggapi Anita ketika menyadari dia tidak pernah membaca Alkitabnya lagi.

Bukannya Anita tidak pernah berusaha membaca Alkitab. Salah satu resolusi akhir tahun lalu yang dia tuliskan adalah membaca Alkitab setiap hari. Dengan tekad bulat, dia berjanji akan melakukannya. Apalagi gereja menyediakan fasilitas reminder dengan mengirimkan pesan bacaan Alkitab setiap hari dalam grup obrolan gereja, Anita merasa dia mampu melakukannya. Dan dia memang dengan setia melakukannya bahkan dia berhasil menyelesaikan kitab Imamat yang buat sebagian besar orang sulit dibaca.

Namun, ketika Anita diterima bekerja dan beban pekerjaan mulai menekannya, kebiasaan membaca Alkitab setiap pagi perlahan jadi hilang. Anita masih bangun pagi seperti kebiasaannya, namun sekarang dia berangkat kerja lebih awal. Bahkan sarapan pun tidak sempat, karena mengejar waktu untuk sampai di kantor sepagi mungkin.

Awal-awal kerja dia masih mengusahakan buat membaca Alkitab setelah pulang kerja, namun dia tidak kuasa menahan kantuk. Pikirnya, “lebih baik aku tidur sebentar, nanti aku baru lanjut baca lagi”, tapi ternyata dia baru bangun keesokan paginya.

Bukannya Anita pasrah begitu saja dengan keadaan. Pernah dia memaksa diri membaca Alkitab meskipun sudah ngantuk berat. Tapi, yang namanya halangan selalu ada-ada saja. Baru saja dia membaca sebentar, ponselnya berbunyi. Atasannya menghubunginya.

“Pasti ini yang penting,” pikirnya.

Benar rupanya. Di luar jam kerja pun, masih ada sederet kerjaan penting yang didelegasikan buatnya. Begitu dia meletakkan ponselnya, dia langsung memikirkan apa yang harus dikerjakannya besok. Dan… pembacaan Alkitab pun terlupakan.

Hasrat untuk membaca Alkitab masih belum padam, namun terus tertunda, sampai pada akhirnya Anita tidak lagi berusaha membaca Alkitab sama sekali.

Sambil diliputi sedikit rasa bersalah, Anita berdoa: “Tuhan, Engkau pasti mengerti kesibukan kerjaku. Aku akan baca kalau sudah tidak sibuk.”

Sementara kesibukan kerja Anita terus berjalan, pesan pengingat pembacaan Alkitab pun selalu muncul setiap pagi tanpa absen.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 2 Desember 2022: 1 Korintus 12-14.

Notifikasi ini tak lagi mengundang urgensi. “Ah…sudah Desember ya. Kalau begitu, nanti saja di awal tahun, aku mulai baca.” Pikirnya tahun ini sudah hampir habis, lebih baik keputusan baca Alkitab lebih tepat dijadikan resolusi tahun depan saja. Sekaligus ini bisa jadi bahan refleksi buat ibadah akhir tahun di gereja.

Sejak pikiran itu muncul, semua pesan pengingat diabaikannya karena toh nanti semua akan dimulai dari awal lagi. Fokus Anita bergeser sepenuhnya pada pekerjaannya yang makin hari makin sibuk. Klien-klien berdatangan sampai akhir pekan pun harus dipakai buat kerja.

Seminggu sebelum tahun berganti, akhirnya ada waktu liburan yang diberikan kepada semua karyawan. Dia lalu berencana liburan ke luar kota bersama keluarga. Saat dia mencari rekomendasi tempat wisata di ponselnya, muncullah notifikasi yang sudah lama tidak digubrisnya.

Selamat Natal.
Mengapa harus tunggu nanti?
Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 26 Desember 2022 : 1 Yohanes 1-5.

Anita membaca pesan itu. Pesan biasa, yang saking terlalu biasanya tak lagi dibacanya. Tapi, hari itu ada sesuatu yang menyentaknya. Mengapa harus tunggu nanti?

Anita merasa pernah mendengar kalimat itu, tetapi di mana dan kapan? Oh, iya. Bukankah itu tema khotbah Natal kemarin? Dengan sederhana, hamba Tuhan dalam khotbahnya menyampaikan banyak orang tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dengan alasan masih banyak waktu. Nanti saja percaya kepada Tuhan Yesus jika sudah mau meninggal. Tetapi, tidak ada yang tahu kapan manusia akan meninggal. Jangan sampai terlambat.

Cuplikan khotbah itu bergema kuat di pikiran Anita. Memang dia sudah percaya Tuhan Yesus sehingga tak perlu takut lagi akan keselamatannya, tapi hati kecilnya berbicara lembut kalau ada pesan lain yang ingin disampaikan dari khotbah itu.

Sebagian orang menunggu untuk dapat percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi ada yang sudah percaya namun juga masih menunggu. Salah satunya menunggu untuk menaati perintah-Nya, menunggu untuk membangun relasi yang intim dengan-Nya, menunggu untuk berani menyerahkan segala yang ada dalam hidupnya untuk jadi kepunyaan Allah.

Perenungan ini menuntun Anita pada pertanyaan, apakah dia juga menunggu untuk taat? Teringat olehnya pembacaan Alkitab itu. Ah…ya. Bukankah dia terus menundanya? Bahkan dia bertekad menunggu sampai awal tahun. Mengapa harus tunggu nanti? Pesan itu muncul kembali dalam benaknya. Mengapa harus menunggu? Mengapa tidak mulai saja sekarang?

Alasan klasiknya adalah selalu tentang tidak ada waktu. “Sekarang, bukankah aku ada waktu? Mengapa aku harus menunggu sampai awal tahun? Mengapa tidak sekarang saja?”

Tersentak oleh kesadaran baru yang diterimanya, Anita segera meletakkan ponselnya, meraih Alkitab dan mulai membuka 1 Yohanes. “…jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain…

Ayat ini mengalir pelan, menyusuri dinding-dinding hati Anita yang tebal tetapi lelah dihujam oleh segudang pekerjaan dan tuntutan. Ada bagian-bagian dari surat Yohanes yang kurang dapat dia mengerti, tapi dia terus membacanya. Ada setitik rasa lega yang terselip bahwa dia bisa memulai kembali membaca Alkitanya.

Sekarang bagaimana agar dia bisa meneruskannya? Anita mulai memikirkan strategi yang harus dia lakukan, terutama jika kesibukan kerja kembali menghampirinya lagi. Dia tahu dia perlu belajar memprioritaskan kembali apa yang paling penting dalam hidupnya.

Membaca Alkitab bukanlah ritual belaka, tetapi ini menunjukkan apa yang kita tempatkan pertama dan utama di hati kita. Memilih untuk memberi waktu terbaik buat Tuhan dan merenungkan sabda-Nya ibarat memberi air dan pupuk pada sebuah tanaman. Jika teratur dilakukan, maka tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

“Tuhan, ampunilah aku yang berdosa ini. Tuntunlah aku untuk hidup seturut yang Engkau kehendaki. Amin.”

Ilmu Teologi: Bukan Cuma untuk Pendeta, Ini Ilmu Tentang Hidup yang Berfokus pada Tuhan

Oleh Jovita Hutanto

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya apakah tujuan hidupmu, atau merenungkan bagaimana hidup setelah kematian? Apakah kamu juga yakin bahwa Tuhan kitalah satu-satunya yang benar dan hidup?

Pada suatu momen dalam hidup, kita semua pasti pernah berpikir tentang pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun, tak semua mendapat jawaban yang pasti dan memuaskan. Bagi kebanyakan orang, hidup selalu menyajikan ruang-ruang kosong, pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab.

Merenungkan hal ini, aku ingat bahwa filsuf Agustinus pernah berkata, “My heart is restless until it rests in You”. Jika diterjemahkan, artinya, “hatiku gelisah sampai aku menemukan peristirahatan di dalam-Mu.” Perkataan Agustinus menggemakan kembali suatu kenyataan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan satu ruang kosong di hatinya, di mana ruang tersebut hanya bisa diisi dengan kepuasan yang datangnya dari Tuhan. Namun, seringkali manusia mencari pemenuhan atas ruang kosong itu dengan mengejar kesenangan dan kepuasaan sesaat tanpa sungguh-sungguh mencari tahu apa yang jadi esensi dari kehidupan.

Ada beberapa pertanyaan sederhana yang bisa kita tanyakan ke diri sendiri. Apa yang membuat kita semangat bangun di pagi hari untuk menjalankan tugas dan kewajiban kita? Lalu, apa motivasi kita dalam melakukan hal tersebut?

Pertanyaan ini terkesan remeh, tapi sebenarnya ini menyangkut fondasi kehidupan kita yang seharusnya kita ketahui dan pahami. Jawaban yang tepat dapat kita temukan dari Alkitab.

Mempelajari Teologi, bukan sekadar membaca Alkitab

Semasa sekolah, aku banyak bergumul akan ujung dari hidup ini. Jujur, aku murid yang cukup rajin belajar, sampai di satu titik aku muak dengan rutinatis yang sifatnya fana. Memang para senior dan guru banyak mengingatkan agar kita belajar dengan baik agar kelak dapat pekerjaan yang baik dan meraih mimpi kita. Namun, setelah mendapatkan pekerjaan yang baik dan seluruh mimpi tercapai, apa yang akan jadi finish line-nya?

Kematian.

Walaupun aku diajarkan oleh guru sekolah minggu tentang adanya new creation (ciptaan baru setelah kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya), aku tidak mengerti cara menikmati prosesnya bersama Tuhan di luar gereja. Di situlah timbulnya sebuah kerinduan untuk memaknai rutinitas hidup yang fana ini. Aku sadar aku perlu mencari Tuhan dalam keseharianku dan merenungkan teks Alkitab dengan lebih sungguh-sungguh. Akhirnya aku bertekad lebih rajin membaca Alkitab dan buku-buku kekrsitenan lainnya dan aku mulai menjumpai banyak topik kontroversial di dalam Alkitab bermunculan. Salah satu contoh topiknya adalah konsep predestinasi (mengapa Tuhan hanya memilih sebagian?) atau mengapa kematian Tuhan Yesus harus di atas kayu salib? Bahkan tulisan Alkitab itu sendiri sering menimbulkan pertanyaan, layaknya cerita pemanggilan arwah Samuel, atau percakapan antara Tuhan dengan Iblis di kitab Ayub. Pertanyaan berat seperti ini mulai menumpuk seiring aku banyak membaca, sampai di satu titik saya mulai meragukan imanku sendiri. Keraguan ini menimbulkan gejolak ketidaktenangan hatiku akan sosok satu-satunya yang bisa diandalkan, yaitu Tuhan Yesus. Tuhan menanamkan dalam hati rasa haus dan kerinduan untuk menjawab seluruh pertanyaan ini dan aku memutuskan untuk mempelajari ilmu teologi.

Ketika Alkitab menyajikan jawaban atas beragam pertanyaan dalam hidup, hal yang sepatutnya kita lakukan bukanlah sekadar membacanya sambil lalu. Alkitab diberikan Tuhan untuk kita pelajari, tetapi banyak orang berpikir bahwa mempelajari Alkitab atau ilmu teologi itu hanya tugas dari hamba Tuhan. Padahal, mempelajari teologi adalah kewajiban orang Kristen. Alkitab itu bagaikan buku manual bagi orang-orang percaya, buku panduan hidup yang lengkap karena isinya bukan hanya memberikan cerita nyata yang baik dan benar saja, namun juga menyatakan sisi buruk dari realita kehidupan manusia berdosa. Apapun yang kita hadapi di muka bumi ini bukanlah hal yang baru lagi; prinsipnya sama, hanya alur cerita nya saja yang berbeda.

Alkitab bersifat kontekstual bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi umat yang percaya. Belajar ilmu ketuhanan tidak hanya diperuntukan mereka yang terpanggil menjadi pendeta, namun untuk kita semua yang ingin mempertanggung-jawabkan iman kita di hadapan Tuhan. Kamu dan aku, sebagai umat percaya tentu ingin mempertanggung jawabkan siapa dan apa yang kita percayai, betul kan? Oleh sebab itu aku lebih senang menggunakan parafrase “ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan Yesus” daripada “ilmu teologi” yang terdengar dan terkesan lebih tabu, bahkan untuk kalangan komunitas Kristen sendiri.

Dengan mempelajari ilmu teologi, kita menjadi lebih memahami penulisan Alkitab di dalam konteks yang benar. Alkitab tidak ditujukan secara eksklusif agar dapat dimengerti oleh segelintir orang yang mempelajarinya. Dengan pertolongan Roh Kudus, pesan firman Tuhan yang terkandung di Alkitab dapat kita mengerti dengan membacanya. Namun, untuk mendapatkan pengertian yang lebih utuh kita perlu menyingkap banyak hal terselubung dalam Alkitab, yang tentu kita bisa pahami lebih detail dan jelas lagi jika kita mempelajari di dalam konteks yang benar, baik konteks geografis, sejarah, maupun kultur di zaman tersebut. Bukan hanya menerima ilmu mentahnya saja, ‘Ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan Yesus’ juga mengajarkan kita cara membaca dan menganalisis teks Alkitab. Tujuannya adalah supaya kita dapat mengerti maksud dan alasan dari si penulis menuliskan surat/teks tersebut. Setelah mengerti keseluruhan dari pasal atau kitab tersebut, barulah kita dapat merenungkan dan merefleksikan apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada diri kita masing-masing melalui pembacaan tersebut.

Pengertian akan Alkitab yang benar akan mengonfirmasi iman kita kepada Tuhan. Dengan pengertian yang lebih menyeluruh ini, pemahaman kita akan siapa diri kita dan panggilan pribadi kita akan lebih diperluas dan diperjelas. Secara tidak sadar, ilmu yang kita pelajari akan mempengaruhi cara pandang kita dalam kehidupan keseharian kita. Dengan perlahan, perspektif kita akan dibentuk menjadi lebih sesuai dengan kehidupan Kristiani yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kamu dan aku dibuat menjadi lebih peka akan Dia dan mengetahui beban apa yang Tuhan telah titipkan dalam hidup kita.

Ingat bahwa Tuhan adalah pencipta kita, pengenalan akan Tuhan itu erat hubungannya dengan pengenalan akan diri. Semakin kita mengenal Tuhan, semakin kita mengenal diri lebih baik lagi. Semakin kita mengenal diri lebih baik lagi, semakin kita tahu apa yang harus kita lakukan di dalam hidup. Pengetahuan akan Tuhan itu kunci kehidupan pribadi kita semua.

Dari pengalaman pribadiku, ‘Ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan’ ini mengubah perspektif dan cara hidupku. Setelah mempelajari kesinambungan Alkitab dengan realita kehidupan, tentu imanku kepada Tuhan Yesus lebih diyakinkan. Aku pun menjadi lebih mengerti dengan arti hidup yang sesungguhnya, lebih semangat menjalani hari-hariku karena aku tahu jelas tujuan hidupku.

Di kala pergumulan dan kesusahan datang melanda, ilmu yang telah kupelajari membantu memperlengkapi imanku. Selain itu, ilmu yang telah aku pelajari juga sangat membantuku dalam keseharianku membaca alkitab, khususnya dalam cara menganalisis teks-teksnya. Jika membandingkan buku refleksi renunganku pada saat aku masih bersekolah dengan yang sekarang (sudah bekerja), aku melihat banyak perubahan dari segi analisis teks dan refleksi ke kehidupan pribadiku. Meski memang umur mempengaruhi cara pikir dan daya tangkapku, namun aku percaya ilmu yang aku telah pelajari juga menambah pengetahuan Alkitabku dan meningkatkan kemampuanku dalam menganalisis teks demi teks yang tertulis di Alkitab. Aku menjadi lebih paham dan berpikir lebih kritis untuk setiap pembacaan, sehingga respons penerapan ke kehidupan pribadiku pun menjadi lebih konkrit dan terjalani.

Saat ini, walau aku bekerja di bidang usaha yang tentunya sangat tidak berkaitan dengan gelar ilmu yang aku pelajari (psikologi dan teologi), aku dapat mengintegrasikan prinsip kekristenanku dalam menjalani bisnis kecil keluargaku, sehingga hari-hariku menjadi lebih spesial dan bermakna.

Di dalam bisnis, persaingan sengit kadang membuat kita menghalakan segala cara untuk mencapai goal dan profit. Namun, aku terus diingatkan untuk mengaplikasikan prinsip Kristus dalam usahaku (Christ-centered business). Mottoaku adalah serving while earning profit. Bisnis memang bertujuan meraih profit, tapi aku juga mengutamakan pelayanan kepada manusianya, baik itu client maupun karyawanku. Aku berusaha memberikan pelayanan yang terbaik dan bertanggung-jawab atas produk-produk yang aku jual. Pada beberapa kesempatan, aku juga memperlakukan karyawanku sebagai seorang teman sehingga terbentuk relasi yang baik. Memang awalnya konsep melayani dalam dunia bisnis ini terasa aneh, namun setelah 3 tahun menjalaninya, melayani para client dan karyawanku juga merupakan pelayanan yang nyata sebagaimana aku melayani di gereja.

Bagaimana denganmu? Apa yang akan kamu lakukan untuk semakin memperdalam pengenalan imanmu?

5 Tips Mengelola Uang di Masa-masa Sulit

Uang kuliah naik, tapi uang jajan tetep
Dulu beli bensin 10 ribu udah full tank, sekarang tydack~

Inflasi tidak terhindarkan. Semua bertambah mahal. Tapi, di sinilah kita ditantang untuk hidup bijaksana. Mengelola uang dengan cermat sembari percaya teguh akan pemeliharaan Tuhan.

Yuk simak 5 tips dalam artspace ini.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

Bagaimana Mendengar Suara Tuhan di Zaman Sekarang?

Oleh Andrew Koay
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How I Discovered The Key To Hearing God’s Voice

“Tuhan bilang sama aku…”

Selama aku hidup sebagai orang Kristen, aku sering mendengar orang-orang di sekitarku mengucapkan kata-kata di atas. Mereka akan bersaksi tentang bagaimana Tuhan secara dramatis telah mengubah jalan hidup mereka melalui suara yang dapat didengar. Teman-teman sebayaku pun suka berdiskusi tentang bagaimana mereka sering mendengar Tuhan berbicara dan mengarahkan mereka pada keputusan sehari-hari.

Secara pribadi, aku tidak pernah mengalami pengalaman rohani yang sedekat itu dengan-Nya. Jujur, aku cemburu. Jika Pencipta alam semesta berbicara dengan teman-temanku, aku juga ingin ikut serta dalam percakapan itu.

Kebingungan soal mendengar suara Tuhan sebenarnya bukanlah hal baru, malah dalam pendapatku sendiri kita memang perlu bisa mendengar suara-Nya. Seperti teman-temanku yang tampaknya membuat banyak keputusan—entah yang penting atau remeh—berdasar suara Tuhan, bagaimana kita bisa tahu keputusan kita tepat atau tidak kalau kita tidak dengar suara-Nya?

Apa aku salah pilih jurusan kuliah sehingga pilihan karierku pun salah?
Apakah cara berpakaianku salah?
Apakah aku melewatkan penunjuk Ilahi?

Aku sangat ingin punya pengalaman seperti teman-temanku. Untuk meraihnya, aku membaca buku-buku, menghabiskan waktu sendiri di ruangan yang gelap, juga menerima tantangan dari seorang pendeta untuk percaya Yesus dengan harapan supaya aku bisa mendengar suara Tuhan secara langsung.

Sampai tibalah aku pada suatu momen. Waktu itu aku baru mulai kuliah dan ikut persekutuan Kristen di kampus. Setelah beberapa waktu, salah satu staf yang bernama Joel mengajakku bertemu dan membaca Alkitab di saat jam makan.

Siapa sangka. Di situlah aku akhirnya mendengar Tuhan berbicara kepadaku dengan jelas dan pasti. Tidak ada keraguan bahwa itu bukanlah Dia.

Selama ini aku tidak menyadarinya… bahwa kunci untuk mendengar suara-Nya telah ada di depanku sepanjang waktuku hidup. Hari itu, saat Joel dan aku membuka Alkitab, kami membaca surat Paulus untuk jemaat Kolose. Kata-kata yang ada di sana bukan sekadar tulisan… tetapi melaluinya Allah yang hidup berbicara kepada kita.

Kami mempelajari Alkitab secara mendalam, berpikir keras tentang apa yang Paulus coba sampaikan kepada jemaat Kolose, dan bagaimana tiap ayat dalam surat itu mendukung tujuan ini—untuk mengingatkan mereka akan kuasa Kristus dan kecukupan kita ada dalam Dia, dan meyakinkan mereka bahwa tidak ada hal lain yang dibutuhkan seorang Kristen untuk menjadi benar di hadapan-Nya. Dua ribu tahun yang lalu, Tuhan berbicara melalui Paulus kepada jemaat Kolose, dan ketika kami berusaha untuk memahami apa yang Dia katakan saat itu, Dia juga sedang berbicara tentang pesan yang sama kepada kami.

Aku menyadari bahwa mendengar Tuhan berbicara berarti membuka firman-Nya dan melihat apa yang ditulis-Nya untuk kita.

Dulu ketika aku berusaha keras untuk mendengar Tuhan berbicara, secara tidak sadar aku menurunkan Alkitab ke tingkat yang lebih rendah. Aku menganggap sabda firman-Nya seperti suara-suara lahiriah lain yang mudah ditangkap telinga. Aku bingung dengan kata-kata temanku dulu yang bilang ‘mendengar suara Tuhan’ sehingga aku lupa bahwa suara-Nya dapat didengar melalui Alkitab.

Alkitab berisikan kata-kata yang diilhamii oleh Allah. Meskipun Alkitab ditulis oleh manusia, Tuhanlah yang melakukan pekerjaan itu dan berbicara melalui penulisnya. Artinya, ketika Paulus menulis kepada jemaat Kolose untuk mengingatkan mereka akan suatu kebenaran, Allahlah yang berbicara melalui Paulus kepada mereka, dan Tuhan yang sama juga sedang berbicara melalui firman kepada kita hari ini.

Kebenaran inilah yang memberiku kepastian tentang imanku. Sepanjang upayaku untuk mencari tahu bagaimana mendengar suara-Nya, ada banyak waktu ketika aku berpikir bahwa akhirnya aku mungkin mendengar Dia berbicara. Aku sering membayangkan kalau nanti aku pasti bisa mendengar suara Tuhan secara audibel dan aku menjawab, “Apa, Tuhan? Apakah Engkau mau aku pergi ke restoran itu hari ini?”

Meski suara seperti itu sering dianggap sebagai suara Tuhan, aku tak bisa sungguh yakin jika itu adalah Tuhan yang berbicara. Namun, saat aku membaca dan mempelajari Alkitab, aku bisa yakin 100 persen bahwa itulah sabda Sang Pencipta alam semesta buatku. Keyakinan inilah yang menjadi dasar iman kita. Dengan firman-Nya kita bisa punya keteguhan hati untuk membuat keputusan sulit sembari yakin bahwa tindakan kita berkenan pada-Nya.

Alkitab itu kaya, tetapi kita hanya akan menemukan kekayaan yang akan membuat iman kita bertumbuh jika kita bersedia menggalinya. Aku tidak pernah bisa menanyakan apakah Tuhan ingin saya melakukan sesuatu karena saya dapat membacanya dengan jelas di dalam Alkitab. Kita yang hidup pada zaman kini mungkin tak akan mendengar suara Tuhan menjawab kita dengan menggelegar ketika kita bertanya boleh tidak melakukan ini dan itu… tetapi kita selalu menemukan jawabannya dari apa yang kita baca di Alkitab. Hubunganku dengan Tuhan pun tak cuma bergantung pada pengalaman pribadi, tetapi berakar pada keyakinan bahwa Roh Kudus yang bekerja dalam hatiku melalui firman yang kubaca.

Aku yakin meskipun komunikasi dengan Tuhan di luar Alkitab mungkin ada, itu tidak dapat menggantikan—atau bahkan sama pentingnya dengan—cara Tuhan berbicara pada kita melalui Alkitab. Seperti yang dikatakan John Piper, seorang teolog Kristen, “Ada sesuatu yang sangat salah ketika kata-kata yang kita dengar di luar Kitab Suci lebih kuat dan lebih berpengaruh pada kita daripada firman Allah yang diilhami-Nya.” Lagipula, jika kita bertanya-tanya apa yang ingin Tuhan katakan pada kita, bukankah seharusnya kita mulai dengan apa yang telah dengan sengaja Dia berikan untuk jadi petunjuk kita?

Aku mungkin tidak punya petunjuk khusus tentang kehidupan sehari-hariku seperti yang mungkin dimiliki teman-temanku. Tetapi dengan mendengar apa yang Tuhan katakan melalui Alkitab, aku jadi lebih akrab dengan karakter-Nya, dan ini melengkapiku untuk membuat keputusan sehari-hari yang aku tahu akan sejalan dengan apa yang Dia perintahkan untuk kita lakukan.

Misalnya, ketika memutuskan kalau aku harus mengambil pekerjaan part-time sementara masih kuliah, aku mempertimbangkan apa yang Dia katakan kepada orang-orang Tesalonika dalam 1 Tesalonika 4:11-12, untuk bertanggung jawab dan tidak menjadi beban bagi orang lain dalam Gereja. Namun, aku juga mempertimbangkan apa misi para murid—untuk menyebarkan Injil dan mendorong sesama dalam Kristus. Apakah dengan memiliki pekerjaan paruh waktu masih memungkinkanku untuk mencapai hal-hal tersebut?

Jadi, hari ini aku tidak lagi iri atau menginginkan pengalaman yang teman-temanku miliki, karena aku tahu bahwa tiap hari ketika aku membuka Alkitab, Tuhan berbicara padaku. Tidak dapat disangkal, jelas, dan menakjubkan. Aku tahu pasti bahwa ini adalah firman Tuhan yang hidup, yang memegang alam semesta di telapak tangan-Nya.

Menemukan Kebenaran Tuhan dari Sebuah Riset Lapangan

Oleh Edwin Petrus, Medan

Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir dari sebuah sekolah tinggi teologi yang berada di Malang, Jawa Timur. Kini, aku sedang menjalani praktik pelayanan setahun di sebuah gereja di kota asalku. Inilah kewajiban akademis terakhir yang harus aku selesaikan sebelum nantinya aku bisa diwisuda.

Ketika kuliah, ada sebuah kalimat yang begitu melekat dalam ingatanku, yang seringkali diucapkan oleh seorang dosenku ketika ia mengajar. Dosen ini memiliki suatu kebiasaan untuk mengawali kelas pertamanya dari setiap semester dengan memperlihatkan sebuah diagram. Aku pun sudah bisa menebak kata-kata pertama yang akan beliau utarakan ketika menjelaskan isi dari diagram tersebut. Beliau pasti berkata “all truth is God’s truth” (segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan).

Meski kalimat ini selalu terngiang-ngiang di kepalaku di setiap semester, aku memiliki sebuah tanda tanya besar tentang apa yang dimaksudkan dengan “segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan.” Rasa penasaran tentang kalimat ini menjadi semakin besar ketika aku berada di tingkat akhir dan mulai merencanakan untuk membuat penelitian lapangan sebagai tesisku.

Berbeda dengan teman-temanku yang memilih studi literatur sebagai metode penelitian mereka, aku menggunakan metode penelitian kualitatif. Simpelnya, kalau teman-temanku hanya perlu membaca buku untuk menyusun skripsi atau tesis mereka, aku perlu melakukan wawancara terhadap pemimpin kelompok kecil di gereja untuk memperoleh data.

Dalam pengerjaan tesis ini, pernyataan sang dosen kembali terngiang-ngiang di kepalaku,

“Akankah aku menemukan kebenaran Tuhan melalui wawancara dengan para pemimpin kelompok kecil gereja ini? Bukankah mereka hanya orang awam?”

“Teman-temanku yang melakukan studi literatur mungkin lebih memiliki peluang untuk menemukan kebenaran Tuhan,” pikirku demikian.

Pertanyaan ini tetap tidak terjawab. Namun, aku tetap mengerjakan penelitianku. Setelah mempersiapkan sejumlah pertanyaan wawancara dan mendapatkan lampu hijau dari dosen pembimbing, akupun segera membuat janji wawancara dengan para partisipan riset. Aku mengerjakan riset ini dengan mengikuti seluruh kaidah yang digariskan oleh metode penelitian kualitatif. Di bawah bimbingan sang dosen, aku mengumpulkan dan mengolah data dari hasil wawancara. Sampai akhirnya, aku bisa menarik kesimpulan dari penelitian ini.

Aku bersyukur dengan pertolongan Tuhan yang telah memimpinku untuk bisa menyelesaikan penelitian ini. Namun, aku tetap belum menemukan kebenaran Allah dari hasil risetku. Aku malah merasa bahwa tesisku kurang berbobot karena tidak ada kutipan-kutipan dari buku-buku teologi yang ditulis oleh teolog-teolog ternama.

Sampai suatu hari, aku mendengar sebuah renungan singkat dari seorang dosen lain yang membagikan kisahnya di dalam meneliti beberapa gereja yang telah dibuka kembali setelah kondisi pandemi COVID-19 mereda. Di dalam renungan tersebut, beliau berkata bahwa pertemuannya dengan para pemimpin gereja telah membuka matanya untuk melihat kebenaran dan karya Tuhan di dalam gereja-Nya selama masa pandemi. Pada saat yang sama, di dalam pikiranku, seperti ada tombol rewind yang ditekan. Aku diajak untuk kilas balik ke momen-momen ketika aku mendengarkan para partisipan risetku yang menceritakan kendala mereka di dalam memimpin kelompok kecil.

Aku teringat dengan satu kalimat yang sama, yang diucapkan oleh seluruh partisipan risetku: “Aku bukan pemimpin.” Di kala mereka merasa tidak mampu dan tidak percaya diri untuk memuridkan umat Tuhan, aku juga mendengar kisah-kisah perjuangan mereka untuk terus berkarya bagi Tuhan. Setiap partisipan menjumpai kendala-kendala yang berbeda di kelompok mereka. Mereka juga berkisah tentang kegentaran di dalam menjalankan tugas pemuridan ini, tetapi mereka tidak pernah putus asa. Apalagi di saat pandemi melanda, tantangan-tantangan baru pun muncul dan memuridkan jemaat gereja terasa menjadi semakin berat. Namun, para pemimpin kelompok kecil ini terus bersandar pada Tuhan dan pemeliharaan Tuhan sungguh nyata bagi setiap pelayan-Nya.

Pada saat itu, mataku terbuka untuk melihat kebenaran Tuhan yang tersimpan di dalam lembaran-lembaran hasil penelitianku. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku meminta maaf dan sekaligus menaikkan ucapan syukur di hadapan Tuhan. Aku meminta pengampunan dari Tuhan karena memandang sebelah mata terhadap pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh para pemimpin kelompok kecil di gereja. Di benakku, kebenaran Tuhan itu hanya ada di dalam Alkitab dan buku-buku teologi yang ditulis oleh para sarjana Alkitab. Namun, aku melupakan bahwa Tuhan juga dapat menyatakan kebenaran-Nya melalui para jemaat awam yang melayani di gereja. Lagipula, para pemimpin kelompok kecil ini adalah orang-orang yang bukan hanya “tahu” Amanat Agung Yesus, tetapi mereka juga adalah “pelaku” dari firman tersebut. Dengan penuh dedikasi, mereka memuridkan saudara-saudara seiman untuk menjadi murid-murid Kristus.

Di kemudian hari, ketika aku merenungkan bagian pendahuluan dari Injil Lukas (Luk. 1:1-4), aku kembali disadarkan bahwa Injil tersebut disusun oleh seorang peneliti lapangan yang mengumpulkan data melalui metode kualitatif. Lukas menyelidiki keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi mata Injil. Mereka pasti bukan hanya para rasul yang 24 jam melayani bersama Yesus. Para saksi mata ini mungkin adalah salah satu dari lima ribu orang yang pernah diberi makan oleh Yesus dengan lima roti dan dua ikan. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang yang pernah disembuhkan oleh Yesus dari sakit penyakit. Ada kemungkinan, salah satu saksi Injil ini adalah wanita yang pernah diampuni dosanya oleh Yesus. Kita memang tidak mengetahui identitas dari mereka yang menjadi sumber informasi bagi Lukas. Namun, dengan ilham (baca: inspirasi) yang diberikan oleh Roh Kudus, Lukas telah membukukan sebuah Injil dari penuturan para saksi mata ini, sehingga kita dapat mengetahui kebenaran Allah.

Kawan, aku bersyukur atas anugerah Tuhan yang telah menyatakan kebenaran-Nya kepadaku melalui sebuah riset. Aku juga berterima kasih kepada Dia yang mengizinkanku untuk melihat karya-Nya yang tidak berkesudahan di dalam komunitas orang percaya. Aku bersukacita kalau aku bukan hanya sekadar menyelesaikan riset ini karena tuntutan akademis, tetapi aku beroleh kesempatan untuk mengenal Tuhan dengan semakin dalam.

Bagaimana dengan kamu, kawan? Sudahkah kamu merasakan karya pemeliharaan Tuhan yang tidak berhenti tercurah di dalam hidupmu? Adakah kamu melihat kebenaran-Nya yang disingkapkan dalam hidupmu? Aku berdoa, kiranya Tuhan membuka hatimu untuk melihat dan merasakan kasih dan kebenaran-Nya di dalam hidupmu.