Posts

Mengapa Harus Tunggu Nanti?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Anita melirik notifikasi pesan di ponselnya.
Pesan sama yang muncul tepat jam 08.00 setiap pagi.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 22 November 2022: Kisah Para Rasul 15-16.

“Ok. Akan kubaca nanti kalau sempat,” janji Anita setelah membaca pesan itu. Namun biasanya dia tidak pernah sempat. Sebagai desainer interior yang baru mulai bergabung dengan salah satu perusahaan besar, tugas dan tanggung jawab Anita tidaklah kecil. Meski usianya baru menginjak pertengahan 20-an, pengalaman kerja Anita cukup banyak mengingat dia sudah mulai bekerja sebagai freelancer sejak kuliah. Maka tidak heran bila Anita dipercayai untuk berbicara dengan beberapa klien penting, dan sketsa desainnya cukup diminati oleh atasan dan para kliennya. Anita juga menyukai tantangan untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai standar perusahannya. Karena itu, bekerja dengan durasi sesuai jam kantor tidak akan cukup bagi Anita. Waktu seakan tidak pernah cukup untuk pekerjaannya, apalagi melakukan hal lain.

Anita baru sampai lagi di rumah saat malam pekat sudah menyapa. Orang-orang serumah pun sudah tidur. Hanya keheningan yang terdengar. Setelah mandi, Anita akan merebahkan badannya yang lelah dan baru membalas pesan-pesan dalam ponselnya. Kembali dia membaca sekilas pesan yang diterimanya tadi pagi.

Dengan menguap, Anita bergumam, “Oh, iya. Baca Alkitab. Tapi… aku ngantuk. Besok saja, ya Tuhan. Tentu Kau tidak ingin aku membaca dengan tidak fokus, bukan?” Ponsel itu diletakkan dan dia segera tidur.

Keesokan pagi, pesan yang sama muncul kembali dengan bacaan Alkitab yang berbeda. Kadang Anita merasa kagum pada sie kerohanian di gerejanya. Setiap hari dengan setia, dia mengirimkan pesan di grup obrolan gereja. Mengingatkan setiap orang untuk membaca Alkitabnya. Sedikit perasaan bersalah menghinggapi Anita ketika menyadari dia tidak pernah membaca Alkitabnya lagi.

Bukannya Anita tidak pernah berusaha membaca Alkitab. Salah satu resolusi akhir tahun lalu yang dia tuliskan adalah membaca Alkitab setiap hari. Dengan tekad bulat, dia berjanji akan melakukannya. Apalagi gereja menyediakan fasilitas reminder dengan mengirimkan pesan bacaan Alkitab setiap hari dalam grup obrolan gereja, Anita merasa dia mampu melakukannya. Dan dia memang dengan setia melakukannya bahkan dia berhasil menyelesaikan kitab Imamat yang buat sebagian besar orang sulit dibaca.

Namun, ketika Anita diterima bekerja dan beban pekerjaan mulai menekannya, kebiasaan membaca Alkitab setiap pagi perlahan jadi hilang. Anita masih bangun pagi seperti kebiasaannya, namun sekarang dia berangkat kerja lebih awal. Bahkan sarapan pun tidak sempat, karena mengejar waktu untuk sampai di kantor sepagi mungkin.

Awal-awal kerja dia masih mengusahakan buat membaca Alkitab setelah pulang kerja, namun dia tidak kuasa menahan kantuk. Pikirnya, “lebih baik aku tidur sebentar, nanti aku baru lanjut baca lagi”, tapi ternyata dia baru bangun keesokan paginya.

Bukannya Anita pasrah begitu saja dengan keadaan. Pernah dia memaksa diri membaca Alkitab meskipun sudah ngantuk berat. Tapi, yang namanya halangan selalu ada-ada saja. Baru saja dia membaca sebentar, ponselnya berbunyi. Atasannya menghubunginya.

“Pasti ini yang penting,” pikirnya.

Benar rupanya. Di luar jam kerja pun, masih ada sederet kerjaan penting yang didelegasikan buatnya. Begitu dia meletakkan ponselnya, dia langsung memikirkan apa yang harus dikerjakannya besok. Dan… pembacaan Alkitab pun terlupakan.

Hasrat untuk membaca Alkitab masih belum padam, namun terus tertunda, sampai pada akhirnya Anita tidak lagi berusaha membaca Alkitab sama sekali.

Sambil diliputi sedikit rasa bersalah, Anita berdoa: “Tuhan, Engkau pasti mengerti kesibukan kerjaku. Aku akan baca kalau sudah tidak sibuk.”

Sementara kesibukan kerja Anita terus berjalan, pesan pengingat pembacaan Alkitab pun selalu muncul setiap pagi tanpa absen.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 2 Desember 2022: 1 Korintus 12-14.

Notifikasi ini tak lagi mengundang urgensi. “Ah…sudah Desember ya. Kalau begitu, nanti saja di awal tahun, aku mulai baca.” Pikirnya tahun ini sudah hampir habis, lebih baik keputusan baca Alkitab lebih tepat dijadikan resolusi tahun depan saja. Sekaligus ini bisa jadi bahan refleksi buat ibadah akhir tahun di gereja.

Sejak pikiran itu muncul, semua pesan pengingat diabaikannya karena toh nanti semua akan dimulai dari awal lagi. Fokus Anita bergeser sepenuhnya pada pekerjaannya yang makin hari makin sibuk. Klien-klien berdatangan sampai akhir pekan pun harus dipakai buat kerja.

Seminggu sebelum tahun berganti, akhirnya ada waktu liburan yang diberikan kepada semua karyawan. Dia lalu berencana liburan ke luar kota bersama keluarga. Saat dia mencari rekomendasi tempat wisata di ponselnya, muncullah notifikasi yang sudah lama tidak digubrisnya.

Selamat Natal.
Mengapa harus tunggu nanti?
Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 26 Desember 2022 : 1 Yohanes 1-5.

Anita membaca pesan itu. Pesan biasa, yang saking terlalu biasanya tak lagi dibacanya. Tapi, hari itu ada sesuatu yang menyentaknya. Mengapa harus tunggu nanti?

Anita merasa pernah mendengar kalimat itu, tetapi di mana dan kapan? Oh, iya. Bukankah itu tema khotbah Natal kemarin? Dengan sederhana, hamba Tuhan dalam khotbahnya menyampaikan banyak orang tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dengan alasan masih banyak waktu. Nanti saja percaya kepada Tuhan Yesus jika sudah mau meninggal. Tetapi, tidak ada yang tahu kapan manusia akan meninggal. Jangan sampai terlambat.

Cuplikan khotbah itu bergema kuat di pikiran Anita. Memang dia sudah percaya Tuhan Yesus sehingga tak perlu takut lagi akan keselamatannya, tapi hati kecilnya berbicara lembut kalau ada pesan lain yang ingin disampaikan dari khotbah itu.

Sebagian orang menunggu untuk dapat percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi ada yang sudah percaya namun juga masih menunggu. Salah satunya menunggu untuk menaati perintah-Nya, menunggu untuk membangun relasi yang intim dengan-Nya, menunggu untuk berani menyerahkan segala yang ada dalam hidupnya untuk jadi kepunyaan Allah.

Perenungan ini menuntun Anita pada pertanyaan, apakah dia juga menunggu untuk taat? Teringat olehnya pembacaan Alkitab itu. Ah…ya. Bukankah dia terus menundanya? Bahkan dia bertekad menunggu sampai awal tahun. Mengapa harus tunggu nanti? Pesan itu muncul kembali dalam benaknya. Mengapa harus menunggu? Mengapa tidak mulai saja sekarang?

Alasan klasiknya adalah selalu tentang tidak ada waktu. “Sekarang, bukankah aku ada waktu? Mengapa aku harus menunggu sampai awal tahun? Mengapa tidak sekarang saja?”

Tersentak oleh kesadaran baru yang diterimanya, Anita segera meletakkan ponselnya, meraih Alkitab dan mulai membuka 1 Yohanes. “…jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain…

Ayat ini mengalir pelan, menyusuri dinding-dinding hati Anita yang tebal tetapi lelah dihujam oleh segudang pekerjaan dan tuntutan. Ada bagian-bagian dari surat Yohanes yang kurang dapat dia mengerti, tapi dia terus membacanya. Ada setitik rasa lega yang terselip bahwa dia bisa memulai kembali membaca Alkitanya.

Sekarang bagaimana agar dia bisa meneruskannya? Anita mulai memikirkan strategi yang harus dia lakukan, terutama jika kesibukan kerja kembali menghampirinya lagi. Dia tahu dia perlu belajar memprioritaskan kembali apa yang paling penting dalam hidupnya.

Membaca Alkitab bukanlah ritual belaka, tetapi ini menunjukkan apa yang kita tempatkan pertama dan utama di hati kita. Memilih untuk memberi waktu terbaik buat Tuhan dan merenungkan sabda-Nya ibarat memberi air dan pupuk pada sebuah tanaman. Jika teratur dilakukan, maka tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

“Tuhan, ampunilah aku yang berdosa ini. Tuntunlah aku untuk hidup seturut yang Engkau kehendaki. Amin.”

Ilmu Teologi: Bukan Cuma untuk Pendeta, Ini Ilmu Tentang Hidup yang Berfokus pada Tuhan

Oleh Jovita Hutanto

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya apakah tujuan hidupmu, atau merenungkan bagaimana hidup setelah kematian? Apakah kamu juga yakin bahwa Tuhan kitalah satu-satunya yang benar dan hidup?

Pada suatu momen dalam hidup, kita semua pasti pernah berpikir tentang pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun, tak semua mendapat jawaban yang pasti dan memuaskan. Bagi kebanyakan orang, hidup selalu menyajikan ruang-ruang kosong, pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab.

Merenungkan hal ini, aku ingat bahwa filsuf Agustinus pernah berkata, “My heart is restless until it rests in You”. Jika diterjemahkan, artinya, “hatiku gelisah sampai aku menemukan peristirahatan di dalam-Mu.” Perkataan Agustinus menggemakan kembali suatu kenyataan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan satu ruang kosong di hatinya, di mana ruang tersebut hanya bisa diisi dengan kepuasan yang datangnya dari Tuhan. Namun, seringkali manusia mencari pemenuhan atas ruang kosong itu dengan mengejar kesenangan dan kepuasaan sesaat tanpa sungguh-sungguh mencari tahu apa yang jadi esensi dari kehidupan.

Ada beberapa pertanyaan sederhana yang bisa kita tanyakan ke diri sendiri. Apa yang membuat kita semangat bangun di pagi hari untuk menjalankan tugas dan kewajiban kita? Lalu, apa motivasi kita dalam melakukan hal tersebut?

Pertanyaan ini terkesan remeh, tapi sebenarnya ini menyangkut fondasi kehidupan kita yang seharusnya kita ketahui dan pahami. Jawaban yang tepat dapat kita temukan dari Alkitab.

Mempelajari Teologi, bukan sekadar membaca Alkitab

Semasa sekolah, aku banyak bergumul akan ujung dari hidup ini. Jujur, aku murid yang cukup rajin belajar, sampai di satu titik aku muak dengan rutinatis yang sifatnya fana. Memang para senior dan guru banyak mengingatkan agar kita belajar dengan baik agar kelak dapat pekerjaan yang baik dan meraih mimpi kita. Namun, setelah mendapatkan pekerjaan yang baik dan seluruh mimpi tercapai, apa yang akan jadi finish line-nya?

Kematian.

Walaupun aku diajarkan oleh guru sekolah minggu tentang adanya new creation (ciptaan baru setelah kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya), aku tidak mengerti cara menikmati prosesnya bersama Tuhan di luar gereja. Di situlah timbulnya sebuah kerinduan untuk memaknai rutinitas hidup yang fana ini. Aku sadar aku perlu mencari Tuhan dalam keseharianku dan merenungkan teks Alkitab dengan lebih sungguh-sungguh. Akhirnya aku bertekad lebih rajin membaca Alkitab dan buku-buku kekrsitenan lainnya dan aku mulai menjumpai banyak topik kontroversial di dalam Alkitab bermunculan. Salah satu contoh topiknya adalah konsep predestinasi (mengapa Tuhan hanya memilih sebagian?) atau mengapa kematian Tuhan Yesus harus di atas kayu salib? Bahkan tulisan Alkitab itu sendiri sering menimbulkan pertanyaan, layaknya cerita pemanggilan arwah Samuel, atau percakapan antara Tuhan dengan Iblis di kitab Ayub. Pertanyaan berat seperti ini mulai menumpuk seiring aku banyak membaca, sampai di satu titik saya mulai meragukan imanku sendiri. Keraguan ini menimbulkan gejolak ketidaktenangan hatiku akan sosok satu-satunya yang bisa diandalkan, yaitu Tuhan Yesus. Tuhan menanamkan dalam hati rasa haus dan kerinduan untuk menjawab seluruh pertanyaan ini dan aku memutuskan untuk mempelajari ilmu teologi.

Ketika Alkitab menyajikan jawaban atas beragam pertanyaan dalam hidup, hal yang sepatutnya kita lakukan bukanlah sekadar membacanya sambil lalu. Alkitab diberikan Tuhan untuk kita pelajari, tetapi banyak orang berpikir bahwa mempelajari Alkitab atau ilmu teologi itu hanya tugas dari hamba Tuhan. Padahal, mempelajari teologi adalah kewajiban orang Kristen. Alkitab itu bagaikan buku manual bagi orang-orang percaya, buku panduan hidup yang lengkap karena isinya bukan hanya memberikan cerita nyata yang baik dan benar saja, namun juga menyatakan sisi buruk dari realita kehidupan manusia berdosa. Apapun yang kita hadapi di muka bumi ini bukanlah hal yang baru lagi; prinsipnya sama, hanya alur cerita nya saja yang berbeda.

Alkitab bersifat kontekstual bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi umat yang percaya. Belajar ilmu ketuhanan tidak hanya diperuntukan mereka yang terpanggil menjadi pendeta, namun untuk kita semua yang ingin mempertanggung-jawabkan iman kita di hadapan Tuhan. Kamu dan aku, sebagai umat percaya tentu ingin mempertanggung jawabkan siapa dan apa yang kita percayai, betul kan? Oleh sebab itu aku lebih senang menggunakan parafrase “ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan Yesus” daripada “ilmu teologi” yang terdengar dan terkesan lebih tabu, bahkan untuk kalangan komunitas Kristen sendiri.

Dengan mempelajari ilmu teologi, kita menjadi lebih memahami penulisan Alkitab di dalam konteks yang benar. Alkitab tidak ditujukan secara eksklusif agar dapat dimengerti oleh segelintir orang yang mempelajarinya. Dengan pertolongan Roh Kudus, pesan firman Tuhan yang terkandung di Alkitab dapat kita mengerti dengan membacanya. Namun, untuk mendapatkan pengertian yang lebih utuh kita perlu menyingkap banyak hal terselubung dalam Alkitab, yang tentu kita bisa pahami lebih detail dan jelas lagi jika kita mempelajari di dalam konteks yang benar, baik konteks geografis, sejarah, maupun kultur di zaman tersebut. Bukan hanya menerima ilmu mentahnya saja, ‘Ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan Yesus’ juga mengajarkan kita cara membaca dan menganalisis teks Alkitab. Tujuannya adalah supaya kita dapat mengerti maksud dan alasan dari si penulis menuliskan surat/teks tersebut. Setelah mengerti keseluruhan dari pasal atau kitab tersebut, barulah kita dapat merenungkan dan merefleksikan apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada diri kita masing-masing melalui pembacaan tersebut.

Pengertian akan Alkitab yang benar akan mengonfirmasi iman kita kepada Tuhan. Dengan pengertian yang lebih menyeluruh ini, pemahaman kita akan siapa diri kita dan panggilan pribadi kita akan lebih diperluas dan diperjelas. Secara tidak sadar, ilmu yang kita pelajari akan mempengaruhi cara pandang kita dalam kehidupan keseharian kita. Dengan perlahan, perspektif kita akan dibentuk menjadi lebih sesuai dengan kehidupan Kristiani yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kamu dan aku dibuat menjadi lebih peka akan Dia dan mengetahui beban apa yang Tuhan telah titipkan dalam hidup kita.

Ingat bahwa Tuhan adalah pencipta kita, pengenalan akan Tuhan itu erat hubungannya dengan pengenalan akan diri. Semakin kita mengenal Tuhan, semakin kita mengenal diri lebih baik lagi. Semakin kita mengenal diri lebih baik lagi, semakin kita tahu apa yang harus kita lakukan di dalam hidup. Pengetahuan akan Tuhan itu kunci kehidupan pribadi kita semua.

Dari pengalaman pribadiku, ‘Ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan’ ini mengubah perspektif dan cara hidupku. Setelah mempelajari kesinambungan Alkitab dengan realita kehidupan, tentu imanku kepada Tuhan Yesus lebih diyakinkan. Aku pun menjadi lebih mengerti dengan arti hidup yang sesungguhnya, lebih semangat menjalani hari-hariku karena aku tahu jelas tujuan hidupku.

Di kala pergumulan dan kesusahan datang melanda, ilmu yang telah kupelajari membantu memperlengkapi imanku. Selain itu, ilmu yang telah aku pelajari juga sangat membantuku dalam keseharianku membaca alkitab, khususnya dalam cara menganalisis teks-teksnya. Jika membandingkan buku refleksi renunganku pada saat aku masih bersekolah dengan yang sekarang (sudah bekerja), aku melihat banyak perubahan dari segi analisis teks dan refleksi ke kehidupan pribadiku. Meski memang umur mempengaruhi cara pikir dan daya tangkapku, namun aku percaya ilmu yang aku telah pelajari juga menambah pengetahuan Alkitabku dan meningkatkan kemampuanku dalam menganalisis teks demi teks yang tertulis di Alkitab. Aku menjadi lebih paham dan berpikir lebih kritis untuk setiap pembacaan, sehingga respons penerapan ke kehidupan pribadiku pun menjadi lebih konkrit dan terjalani.

Saat ini, walau aku bekerja di bidang usaha yang tentunya sangat tidak berkaitan dengan gelar ilmu yang aku pelajari (psikologi dan teologi), aku dapat mengintegrasikan prinsip kekristenanku dalam menjalani bisnis kecil keluargaku, sehingga hari-hariku menjadi lebih spesial dan bermakna.

Di dalam bisnis, persaingan sengit kadang membuat kita menghalakan segala cara untuk mencapai goal dan profit. Namun, aku terus diingatkan untuk mengaplikasikan prinsip Kristus dalam usahaku (Christ-centered business). Mottoaku adalah serving while earning profit. Bisnis memang bertujuan meraih profit, tapi aku juga mengutamakan pelayanan kepada manusianya, baik itu client maupun karyawanku. Aku berusaha memberikan pelayanan yang terbaik dan bertanggung-jawab atas produk-produk yang aku jual. Pada beberapa kesempatan, aku juga memperlakukan karyawanku sebagai seorang teman sehingga terbentuk relasi yang baik. Memang awalnya konsep melayani dalam dunia bisnis ini terasa aneh, namun setelah 3 tahun menjalaninya, melayani para client dan karyawanku juga merupakan pelayanan yang nyata sebagaimana aku melayani di gereja.

Bagaimana denganmu? Apa yang akan kamu lakukan untuk semakin memperdalam pengenalan imanmu?

5 Tips Mengelola Uang di Masa-masa Sulit

Uang kuliah naik, tapi uang jajan tetep
Dulu beli bensin 10 ribu udah full tank, sekarang tydack~

Inflasi tidak terhindarkan. Semua bertambah mahal. Tapi, di sinilah kita ditantang untuk hidup bijaksana. Mengelola uang dengan cermat sembari percaya teguh akan pemeliharaan Tuhan.

Yuk simak 5 tips dalam artspace ini.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

Bagaimana Mendengar Suara Tuhan di Zaman Sekarang?

Oleh Andrew Koay
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How I Discovered The Key To Hearing God’s Voice

“Tuhan bilang sama aku…”

Selama aku hidup sebagai orang Kristen, aku sering mendengar orang-orang di sekitarku mengucapkan kata-kata di atas. Mereka akan bersaksi tentang bagaimana Tuhan secara dramatis telah mengubah jalan hidup mereka melalui suara yang dapat didengar. Teman-teman sebayaku pun suka berdiskusi tentang bagaimana mereka sering mendengar Tuhan berbicara dan mengarahkan mereka pada keputusan sehari-hari.

Secara pribadi, aku tidak pernah mengalami pengalaman rohani yang sedekat itu dengan-Nya. Jujur, aku cemburu. Jika Pencipta alam semesta berbicara dengan teman-temanku, aku juga ingin ikut serta dalam percakapan itu.

Kebingungan soal mendengar suara Tuhan sebenarnya bukanlah hal baru, malah dalam pendapatku sendiri kita memang perlu bisa mendengar suara-Nya. Seperti teman-temanku yang tampaknya membuat banyak keputusan—entah yang penting atau remeh—berdasar suara Tuhan, bagaimana kita bisa tahu keputusan kita tepat atau tidak kalau kita tidak dengar suara-Nya?

Apa aku salah pilih jurusan kuliah sehingga pilihan karierku pun salah?
Apakah cara berpakaianku salah?
Apakah aku melewatkan penunjuk Ilahi?

Aku sangat ingin punya pengalaman seperti teman-temanku. Untuk meraihnya, aku membaca buku-buku, menghabiskan waktu sendiri di ruangan yang gelap, juga menerima tantangan dari seorang pendeta untuk percaya Yesus dengan harapan supaya aku bisa mendengar suara Tuhan secara langsung.

Sampai tibalah aku pada suatu momen. Waktu itu aku baru mulai kuliah dan ikut persekutuan Kristen di kampus. Setelah beberapa waktu, salah satu staf yang bernama Joel mengajakku bertemu dan membaca Alkitab di saat jam makan.

Siapa sangka. Di situlah aku akhirnya mendengar Tuhan berbicara kepadaku dengan jelas dan pasti. Tidak ada keraguan bahwa itu bukanlah Dia.

Selama ini aku tidak menyadarinya… bahwa kunci untuk mendengar suara-Nya telah ada di depanku sepanjang waktuku hidup. Hari itu, saat Joel dan aku membuka Alkitab, kami membaca surat Paulus untuk jemaat Kolose. Kata-kata yang ada di sana bukan sekadar tulisan… tetapi melaluinya Allah yang hidup berbicara kepada kita.

Kami mempelajari Alkitab secara mendalam, berpikir keras tentang apa yang Paulus coba sampaikan kepada jemaat Kolose, dan bagaimana tiap ayat dalam surat itu mendukung tujuan ini—untuk mengingatkan mereka akan kuasa Kristus dan kecukupan kita ada dalam Dia, dan meyakinkan mereka bahwa tidak ada hal lain yang dibutuhkan seorang Kristen untuk menjadi benar di hadapan-Nya. Dua ribu tahun yang lalu, Tuhan berbicara melalui Paulus kepada jemaat Kolose, dan ketika kami berusaha untuk memahami apa yang Dia katakan saat itu, Dia juga sedang berbicara tentang pesan yang sama kepada kami.

Aku menyadari bahwa mendengar Tuhan berbicara berarti membuka firman-Nya dan melihat apa yang ditulis-Nya untuk kita.

Dulu ketika aku berusaha keras untuk mendengar Tuhan berbicara, secara tidak sadar aku menurunkan Alkitab ke tingkat yang lebih rendah. Aku menganggap sabda firman-Nya seperti suara-suara lahiriah lain yang mudah ditangkap telinga. Aku bingung dengan kata-kata temanku dulu yang bilang ‘mendengar suara Tuhan’ sehingga aku lupa bahwa suara-Nya dapat didengar melalui Alkitab.

Alkitab berisikan kata-kata yang diilhamii oleh Allah. Meskipun Alkitab ditulis oleh manusia, Tuhanlah yang melakukan pekerjaan itu dan berbicara melalui penulisnya. Artinya, ketika Paulus menulis kepada jemaat Kolose untuk mengingatkan mereka akan suatu kebenaran, Allahlah yang berbicara melalui Paulus kepada mereka, dan Tuhan yang sama juga sedang berbicara melalui firman kepada kita hari ini.

Kebenaran inilah yang memberiku kepastian tentang imanku. Sepanjang upayaku untuk mencari tahu bagaimana mendengar suara-Nya, ada banyak waktu ketika aku berpikir bahwa akhirnya aku mungkin mendengar Dia berbicara. Aku sering membayangkan kalau nanti aku pasti bisa mendengar suara Tuhan secara audibel dan aku menjawab, “Apa, Tuhan? Apakah Engkau mau aku pergi ke restoran itu hari ini?”

Meski suara seperti itu sering dianggap sebagai suara Tuhan, aku tak bisa sungguh yakin jika itu adalah Tuhan yang berbicara. Namun, saat aku membaca dan mempelajari Alkitab, aku bisa yakin 100 persen bahwa itulah sabda Sang Pencipta alam semesta buatku. Keyakinan inilah yang menjadi dasar iman kita. Dengan firman-Nya kita bisa punya keteguhan hati untuk membuat keputusan sulit sembari yakin bahwa tindakan kita berkenan pada-Nya.

Alkitab itu kaya, tetapi kita hanya akan menemukan kekayaan yang akan membuat iman kita bertumbuh jika kita bersedia menggalinya. Aku tidak pernah bisa menanyakan apakah Tuhan ingin saya melakukan sesuatu karena saya dapat membacanya dengan jelas di dalam Alkitab. Kita yang hidup pada zaman kini mungkin tak akan mendengar suara Tuhan menjawab kita dengan menggelegar ketika kita bertanya boleh tidak melakukan ini dan itu… tetapi kita selalu menemukan jawabannya dari apa yang kita baca di Alkitab. Hubunganku dengan Tuhan pun tak cuma bergantung pada pengalaman pribadi, tetapi berakar pada keyakinan bahwa Roh Kudus yang bekerja dalam hatiku melalui firman yang kubaca.

Aku yakin meskipun komunikasi dengan Tuhan di luar Alkitab mungkin ada, itu tidak dapat menggantikan—atau bahkan sama pentingnya dengan—cara Tuhan berbicara pada kita melalui Alkitab. Seperti yang dikatakan John Piper, seorang teolog Kristen, “Ada sesuatu yang sangat salah ketika kata-kata yang kita dengar di luar Kitab Suci lebih kuat dan lebih berpengaruh pada kita daripada firman Allah yang diilhami-Nya.” Lagipula, jika kita bertanya-tanya apa yang ingin Tuhan katakan pada kita, bukankah seharusnya kita mulai dengan apa yang telah dengan sengaja Dia berikan untuk jadi petunjuk kita?

Aku mungkin tidak punya petunjuk khusus tentang kehidupan sehari-hariku seperti yang mungkin dimiliki teman-temanku. Tetapi dengan mendengar apa yang Tuhan katakan melalui Alkitab, aku jadi lebih akrab dengan karakter-Nya, dan ini melengkapiku untuk membuat keputusan sehari-hari yang aku tahu akan sejalan dengan apa yang Dia perintahkan untuk kita lakukan.

Misalnya, ketika memutuskan kalau aku harus mengambil pekerjaan part-time sementara masih kuliah, aku mempertimbangkan apa yang Dia katakan kepada orang-orang Tesalonika dalam 1 Tesalonika 4:11-12, untuk bertanggung jawab dan tidak menjadi beban bagi orang lain dalam Gereja. Namun, aku juga mempertimbangkan apa misi para murid—untuk menyebarkan Injil dan mendorong sesama dalam Kristus. Apakah dengan memiliki pekerjaan paruh waktu masih memungkinkanku untuk mencapai hal-hal tersebut?

Jadi, hari ini aku tidak lagi iri atau menginginkan pengalaman yang teman-temanku miliki, karena aku tahu bahwa tiap hari ketika aku membuka Alkitab, Tuhan berbicara padaku. Tidak dapat disangkal, jelas, dan menakjubkan. Aku tahu pasti bahwa ini adalah firman Tuhan yang hidup, yang memegang alam semesta di telapak tangan-Nya.

Menemukan Kebenaran Tuhan dari Sebuah Riset Lapangan

Oleh Edwin Petrus, Medan

Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir dari sebuah sekolah tinggi teologi yang berada di Malang, Jawa Timur. Kini, aku sedang menjalani praktik pelayanan setahun di sebuah gereja di kota asalku. Inilah kewajiban akademis terakhir yang harus aku selesaikan sebelum nantinya aku bisa diwisuda.

Ketika kuliah, ada sebuah kalimat yang begitu melekat dalam ingatanku, yang seringkali diucapkan oleh seorang dosenku ketika ia mengajar. Dosen ini memiliki suatu kebiasaan untuk mengawali kelas pertamanya dari setiap semester dengan memperlihatkan sebuah diagram. Aku pun sudah bisa menebak kata-kata pertama yang akan beliau utarakan ketika menjelaskan isi dari diagram tersebut. Beliau pasti berkata “all truth is God’s truth” (segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan).

Meski kalimat ini selalu terngiang-ngiang di kepalaku di setiap semester, aku memiliki sebuah tanda tanya besar tentang apa yang dimaksudkan dengan “segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan.” Rasa penasaran tentang kalimat ini menjadi semakin besar ketika aku berada di tingkat akhir dan mulai merencanakan untuk membuat penelitian lapangan sebagai tesisku.

Berbeda dengan teman-temanku yang memilih studi literatur sebagai metode penelitian mereka, aku menggunakan metode penelitian kualitatif. Simpelnya, kalau teman-temanku hanya perlu membaca buku untuk menyusun skripsi atau tesis mereka, aku perlu melakukan wawancara terhadap pemimpin kelompok kecil di gereja untuk memperoleh data.

Dalam pengerjaan tesis ini, pernyataan sang dosen kembali terngiang-ngiang di kepalaku,

“Akankah aku menemukan kebenaran Tuhan melalui wawancara dengan para pemimpin kelompok kecil gereja ini? Bukankah mereka hanya orang awam?”

“Teman-temanku yang melakukan studi literatur mungkin lebih memiliki peluang untuk menemukan kebenaran Tuhan,” pikirku demikian.

Pertanyaan ini tetap tidak terjawab. Namun, aku tetap mengerjakan penelitianku. Setelah mempersiapkan sejumlah pertanyaan wawancara dan mendapatkan lampu hijau dari dosen pembimbing, akupun segera membuat janji wawancara dengan para partisipan riset. Aku mengerjakan riset ini dengan mengikuti seluruh kaidah yang digariskan oleh metode penelitian kualitatif. Di bawah bimbingan sang dosen, aku mengumpulkan dan mengolah data dari hasil wawancara. Sampai akhirnya, aku bisa menarik kesimpulan dari penelitian ini.

Aku bersyukur dengan pertolongan Tuhan yang telah memimpinku untuk bisa menyelesaikan penelitian ini. Namun, aku tetap belum menemukan kebenaran Allah dari hasil risetku. Aku malah merasa bahwa tesisku kurang berbobot karena tidak ada kutipan-kutipan dari buku-buku teologi yang ditulis oleh teolog-teolog ternama.

Sampai suatu hari, aku mendengar sebuah renungan singkat dari seorang dosen lain yang membagikan kisahnya di dalam meneliti beberapa gereja yang telah dibuka kembali setelah kondisi pandemi COVID-19 mereda. Di dalam renungan tersebut, beliau berkata bahwa pertemuannya dengan para pemimpin gereja telah membuka matanya untuk melihat kebenaran dan karya Tuhan di dalam gereja-Nya selama masa pandemi. Pada saat yang sama, di dalam pikiranku, seperti ada tombol rewind yang ditekan. Aku diajak untuk kilas balik ke momen-momen ketika aku mendengarkan para partisipan risetku yang menceritakan kendala mereka di dalam memimpin kelompok kecil.

Aku teringat dengan satu kalimat yang sama, yang diucapkan oleh seluruh partisipan risetku: “Aku bukan pemimpin.” Di kala mereka merasa tidak mampu dan tidak percaya diri untuk memuridkan umat Tuhan, aku juga mendengar kisah-kisah perjuangan mereka untuk terus berkarya bagi Tuhan. Setiap partisipan menjumpai kendala-kendala yang berbeda di kelompok mereka. Mereka juga berkisah tentang kegentaran di dalam menjalankan tugas pemuridan ini, tetapi mereka tidak pernah putus asa. Apalagi di saat pandemi melanda, tantangan-tantangan baru pun muncul dan memuridkan jemaat gereja terasa menjadi semakin berat. Namun, para pemimpin kelompok kecil ini terus bersandar pada Tuhan dan pemeliharaan Tuhan sungguh nyata bagi setiap pelayan-Nya.

Pada saat itu, mataku terbuka untuk melihat kebenaran Tuhan yang tersimpan di dalam lembaran-lembaran hasil penelitianku. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku meminta maaf dan sekaligus menaikkan ucapan syukur di hadapan Tuhan. Aku meminta pengampunan dari Tuhan karena memandang sebelah mata terhadap pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh para pemimpin kelompok kecil di gereja. Di benakku, kebenaran Tuhan itu hanya ada di dalam Alkitab dan buku-buku teologi yang ditulis oleh para sarjana Alkitab. Namun, aku melupakan bahwa Tuhan juga dapat menyatakan kebenaran-Nya melalui para jemaat awam yang melayani di gereja. Lagipula, para pemimpin kelompok kecil ini adalah orang-orang yang bukan hanya “tahu” Amanat Agung Yesus, tetapi mereka juga adalah “pelaku” dari firman tersebut. Dengan penuh dedikasi, mereka memuridkan saudara-saudara seiman untuk menjadi murid-murid Kristus.

Di kemudian hari, ketika aku merenungkan bagian pendahuluan dari Injil Lukas (Luk. 1:1-4), aku kembali disadarkan bahwa Injil tersebut disusun oleh seorang peneliti lapangan yang mengumpulkan data melalui metode kualitatif. Lukas menyelidiki keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi mata Injil. Mereka pasti bukan hanya para rasul yang 24 jam melayani bersama Yesus. Para saksi mata ini mungkin adalah salah satu dari lima ribu orang yang pernah diberi makan oleh Yesus dengan lima roti dan dua ikan. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang yang pernah disembuhkan oleh Yesus dari sakit penyakit. Ada kemungkinan, salah satu saksi Injil ini adalah wanita yang pernah diampuni dosanya oleh Yesus. Kita memang tidak mengetahui identitas dari mereka yang menjadi sumber informasi bagi Lukas. Namun, dengan ilham (baca: inspirasi) yang diberikan oleh Roh Kudus, Lukas telah membukukan sebuah Injil dari penuturan para saksi mata ini, sehingga kita dapat mengetahui kebenaran Allah.

Kawan, aku bersyukur atas anugerah Tuhan yang telah menyatakan kebenaran-Nya kepadaku melalui sebuah riset. Aku juga berterima kasih kepada Dia yang mengizinkanku untuk melihat karya-Nya yang tidak berkesudahan di dalam komunitas orang percaya. Aku bersukacita kalau aku bukan hanya sekadar menyelesaikan riset ini karena tuntutan akademis, tetapi aku beroleh kesempatan untuk mengenal Tuhan dengan semakin dalam.

Bagaimana dengan kamu, kawan? Sudahkah kamu merasakan karya pemeliharaan Tuhan yang tidak berhenti tercurah di dalam hidupmu? Adakah kamu melihat kebenaran-Nya yang disingkapkan dalam hidupmu? Aku berdoa, kiranya Tuhan membuka hatimu untuk melihat dan merasakan kasih dan kebenaran-Nya di dalam hidupmu.

Bekal untuk Masa Depan

Oleh Bintang Lony Vera

Aku bersyukur, Tuhan menyediakan tempat untukku bertumbuh. Sejak awal masa perkuliahan, aku bergabung dalam sebuah kelompok kecil. Di sana, aku ditolong untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus. Setiap semester, kakak rohaniku, Kak Ana, sering sekali membagikan buku-buku bacaan, yang dapat aku gunakan untuk membantuku mencerna materi kuliah. Teman-teman kelompok kecilku, Kristin, Wira, Rugun, Yohana, dan Ibeth, bersama mereka, aku bisa membagikan pergumulan dan bersama-sama mengikuti Persekutuan Mahasiswa Kristen.

Kelompok kecil juga menjadi teman yang mendampingi pertumbuhan rohaniku lewat pembacaan dan pendalaman Alkitab, padahal sebelumnya aku bukanlah orang yang gemar mendalami Alkitab. Kalaupun aku membukanya, Alkitab itu hanya kubaca. Di kelompok kecil inilah baru aku mendalami langkah-langkah praktis yang membuatku memahami firman Tuhan. Dari pemahaman yang baik, aku bisa lebih mudah untuk mengaplikasikannya.

Bertahun-tahun setelahnya, aku tidak menyangka kalau pengalamanku bertumbuh melalui pengenalan akan firman Tuhan menolongku untuk memperlengkapi orang lain, generasi yang lebih muda.

Aku bekerja sebagai seorang guru di sekolah yang dinaungi oleh sebuah yayasan Katolik. Meskipun peserta didikku berasal dari berbagai latar belakang agama yang berbeda, mereka mengikuti program belajar dan kegiatan siswa yang berlandaskan nilai-nilai iman Kristiani. Salah satunya adalah pada pagi hari jam 07.30 WIB, setiap kelas akan berkumpul di ruang virtual untuk membaca renungan harian. Sebelum pandemi, kami juga melakukannya sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, namun hanya dengan membaca buku renungan yang telah disediakan dari sekolah. Momen belajar daring yang dilakukan semenjak Maret 2020 ternyata memberikan kami kesempatan lebih.

Dibantu ketua kelas dan wakilnya, aku membuat jadwal, sehingga mereka dapat memimpin renungan harian secara bergantian. Pemimpin renungan bertugas membagikan tautan Zoom, sesaat sebelum renungan dimulai. Setelah berkumpul di ruang virtual, biasanya kami akan mendengarkan sebuah lagu pujian. Kemudian, pemimpin membacakan perikop dan renungan hari itu bagi kami semua. Setelah membaca perikop, kami dapat melakukan pendalaman Alkitab. Kebetulan, situs tersebut juga memuat pertanyaan, games, dan proyek ketaatan yang bisa digunakan untuk semakin memahami Firman Tuhan.

Misalnya, pada Renungan Harian 5 November 2021, saat itu perikop bacaan kami diambil dari Kejadian 18:16-33, tentang Abraham yang sedang tawar-menawar dengan Tuhan, agar Tuhan berbelas kasihan kepada Sodom dan Gomora.

Renungan hari itu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, seperti: Siapakah yang berjalan bersama dengan Abraham dalam bacaan hari ini? (Kejadian 18:1,16) Apa rencana Tuhan pada Sodom dan Gomora? (Kejadian 18:20) Mengapa Tuhan hendak menghancurkan Sodom dan Gomora? (Kejadian 18:20) Apakah Abraham diam saja mendengar rencana Tuhan itu? (Ayat 23-33). Pertanyaan yang dimuat juga disertai ayat yang dapat membantu untuk menjawab.

Aku mengira, anak-anak akan kebingungan, karena harus membaca kembali ayat-ayat penunjuk berulang kali, lalu menjawab pertanyaan. Sebaliknya, mereka cukup antusias.

Perikop tersebut menceritakan bagaimana Abraham berulang kali melakukan tawar-menawar dengan Tuhan, agar Sodom dan Gomora tidak dihukum. Beberapa dari mereka tampak penasaran dan heran, mengetahui bahwa Tuhan dapat sedekat itu dengan Abraham, bahkan Tuhan mau mengampuni Sodom dan Gomora, jika ada sejumlah kecil orang yang masih berbakti pada-Nya. Saat mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang ada, aku melihat mereka semakin memahami bahwa Tuhan dapat mengampuni, dan di saat yang sama, bersikap adil untuk mendidik manusia. Aku menyadari, saat itu Tuhan sedang bekerja bagi anak-anak peserta didikku. Dia sedang menyatakan diri-Nya, melalui pendalaman Alkitab yang kami lakukan.

Pada akhir bacaan, akan ada tugas atau proyek ketaatan. Hari itu, proyek ketaatan kami adalah mendoakan orang-orang di sekitar, agar tidak mendukakan hati Tuhan, tidak melakukan kesalahan yang sama, seperti yang dilakukan oleh penduduk Sodom dan Gomora. Kebiasaan ini kami lakukan setiap hari Senin sampai Jumat, sebelum kegiatan belajar dimulai. Aku merasakan dampak dari pendalaman Alkitab secara langsung. Mereka jadi lebih aktif belajar dan tidak malu bertanya, karena sudah terbiasa dengan diskusi. Kemampuan mengobservasi informasi dan menginterpretasi pesan dari sebuah bacaan yang dimiliki anak-anak juga semakin meningkat. Mereka bertumbuh semakin cerdas dan cermat melalui pendalaman Alkitab.

Pengalamanku ini membuatku terkagum. Aku percaya kebiasaan menggali Alkitab ini dapat menjadi bekal terbaik bagi anak-anak untuk menyongsong masa depan. Sebab, segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2 Korintus 3:16-17).

Dengan Firman Tuhan yang dibaca, dipahami, dan dilakukan, dapat memperlengkapi mereka dan juga aku dalam melakukan pekerjaan baik yang Tuhan percayakan.

Bagaimana denganmu? Sudahkah kamu membaca, merenungkan, dan mengaplikasikan nilai-nilai firman Tuhan dalam hidupmu?

2 Hal yang Perlu Kita Pahami Saat Berdoa

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

“Tuhan, jika Engkau berkenan, tembuskanlah pendaftaranku sebagai dosen tetap di universitas tersebut.”

Begitulah kurang lebih isi doaku setiap hari, memohon agar aku diterima menjadi dosen tetap. Setelah kurang lebih satu bulan aku mengirimkan lamaran, aku dinyatakan tidak lolos dalam seleksi dokumen. Aku berpikir: apakah ada yang salah dengan isi doaku sehingga Tuhan tidak menjawab doaku?

Apakah ada yang salah dengan isi doaku? Pertanyaan seperti ini gampang masuk ke pikiranku ketika doa-doaku tidak dijawab oleh Tuhan. Jika ada doa yang dijawab dan tidak, lantas, bagaimana isi doa yang berkenan kepada Tuhan sehingga aku dapat selalu bersukacita di dalam-Nya walaupun Dia tidak menjawab doa-doaku?

Melalui persekutuan bersama mentor rohaniku, aku diajarkan akan beberapa hal yang sering dilupakan ketika aku meminta sesuatu kepada Tuhan di dalam doa. Hal-hal inilah yang aku akan bagikan kepada teman-teman sekalian.

1. Kita berdoa bukan hanya untuk meminta sesuatu pada Tuhan, tapi juga meminta-Nya mengubah hati kita, agar kita bisa menerima sepenuhnya kehendak-Nya

Walaupun aku tahu bahwa Tuhan berdaulat penuh atas hidupku, acap kali aku tidak berdoa agar Tuhan mengubah hatiku supaya aku bisa menerima apa pun pemberian-Nya. Malahan, isi-isi doaku kebanyakan diisi dengan banyak permintaan, terutama yang berkaitan dengan masa depan pekerjaanku.

Kita boleh meminta sesuatu dalam doa, tetapi kita juga tidak boleh lupa ada hal yang perlu kita sampaikan dalam doa. Mentor rohaniku selalu mengajariku untuk berdoa agar Tuhan memberikan kedamaian atas hasil apa pun yang diberikan-Nya. Ia memberikan contoh tentang Tuhan Yesus yang berdoa di taman Getsemani (Matius 26:36-46, Markus 14:32-42, Lukas 22:39-46). Tuhan Yesus memang berdoa meminta kepada Allah Bapa untuk mengambil cawan dari pada-Nya, tetapi Dia juga berdoa agar kehendak Allah Bapa yang tergenapi di dalam kehidupan-Nya. Walaupun Allah Bapa tidak mengambil cawan itu, Allah Bapa memberikan kekuatan kepada Yesus terhadap penderitaan yang akan dialami-Nya. Kita tahu dengan jelas bahwa ada rencana Allah mengenai keselamatan semua orang melalui penyaliban Yesus.

Lukas 22:42-43
Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi. Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya.

Isi doa Tuhan Yesus di taman Getsemani mengajariku betapa pentingnya iman di dalam doa. Iman yang benar tidak hanya percaya bahwa Tuhan sanggup mengabulkan doa-doa kita, tetapi Tuhan juga berkuasa sepenuhnya atas kehidupan kita. Ketakutan yang dialami Tuhan Yesus menjelang penyaliban di kayu salib membuat-Nya lebih bersungguh-sungguh berdoa (Lukas 22:44).

Ketika kita berdoa kepada Tuhan untuk memberikan kita kekuatan terhadap ketakutan, kelemahan, dan kekhawatiran di dalam kehidupan, kita akan bertumbuh di dalam iman kita kepada-Nya. Penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan akan membuat kita mengalami apa makna sesungguhnya kasih karunia Tuhan di dalam kehidupan kita. Paulus yang menyerahkan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan tahu dengan jelas makna hidup di bawah kasih karunia Tuhan.

2 Korintus 12:8-9
Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.

Terhadap pengajaran yang aku terima dari mentorku, aku berusaha mengaplikasikannya di kehidupanku dengan berdoa agar aku selalu bisa bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan kepadaku dan tidak membandingkan diriku dengan orang lain di sekitarku.

2. Kita berdoa bukan hanya untuk hal-hal besar, tetapi juga mencurahkan segala isi hati kita kepada Tuhan

Orang percaya yang benar-benar berserah kepada Tuhan selalu menceritakan kepada Tuhan segala pergumulan di dalam hatinya. Ia berterus terang tentang apa isi hatinya dan mencurahkan segala pikirannya kepada Tuhan (Mazmur 62:9).

Filipi 4:6-7
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Perkataan “segala hal” di Filipi 4:6-7 dengan jelas mengajar kita untuk mengucapkan kepada Tuhan apa pun yang kita khawatirkan—dari hal-hal yang terkecil sampai yang terbesar di dalam kehidupan kita. Ketika kita terbiasa berdoa dari hal-hal terkecil, banyak hal dapat kita alami di dalam kehidupan kita. Kita bertumbuh di dalam iman, dan kita akan bergantung lebih pada-Nya. Amsal 3:5-6 menasihati kita untuk mengakui Dia dalam segala langkah kita. Melibatkan Tuhan dalam urusan-urusan kecil dalam hidup kita akan menolong kita untuk tidak bersandarkan pada pengertian kita sendiri. Kita akan lebih memahami makna sesungguhnya dari ‘aku ada saat ini karena kasih karunia Tuhan, dan tanpa Tuhan aku bukan apa-apa’ (1 Korintus 15:10).

Doa adalah bentuk kita berkomunikasi bersama Tuhan. Dengan membiasakan diri berdoa dari hal-hal kecil, kita membangun interaksi yang erat bersama Tuhan. Seiring dengan kita bertumbuh di dalam kehidupan doa, kita akan mampu memprioritaskan Tuhan sebagai yang paling penting di dalam kehidupan kita.

Tuhan Yesus selalu memprioritaskan hubungan-Nya bersama Allah Bapa melalui doa. Ketika Tuhan Yesus akan memilih dua belas rasul, Ia berdoa semalaman kepada Allah Bapa (Lukas 6:12-13). Apa yang di doakan Yesus selama Ia berdoa semalaman kepada Allah Bapa?
Pemilihan dua belas rasul adalah salah satu hal penting di dalam pelayanan Kristus di dunia. Ketika Yesus berdoa semalaman, walaupun tidak tertulis secara eksplisit di Alkitab, aku percaya bahwa Yesus mencurahkan segala isi hati-Nya kepada Allah Bapa dan berusaha memilih rasul berdasarkan kehendak Allah Bapa.

Apakah kita mau mencurahkan segala isi hati kita dan berdoa kepada Tuhan untuk bisa membedakan kehendak Tuhan di dalam kehidupan kita?

Lukas 6:12-13
Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul.

Kekhawatiranku terhadap pekerjaan dan masa depanku sering membuatku lupa untuk melihat hal-hal kecil yang terjadi di kehidupanku sehari-hari. Melalui pembelajaran yang aku terima, aku berusaha untuk menyelidiki bagaimana isi hatiku sehari-hari dan menuangkan semuanya di hadapan Tuhan. Keluhan-keluhan seperti urusan administrasi sekolah, interaksi dengan mahasiswa, penelitian yang tidak berjalan mulus aku berusaha membawa semuanya kepada Tuhan di dalam doa.

Sebagai penutup, walaupun kita tahu apa isi doa yang berkenan kepada Tuhan, kehidupan doa kita tidak akan bertumbuh kalau tidak melatih diri kita untuk berdoa. Kita bisa memulainya dengan menentukan terlebih dahulu waktu yang sesuai untuk berdoa dan selalu memohon kepada Tuhan untuk memberikan kita semangat untuk tetap berdoa.

Andrew Murray dalam bukunya tentang doa menulis, “Tanpa pengaturan waktu doa, semangat berdoa akan tumpul dan lemah. Tanpa doa yang terus-menerus, waktu doa yang ditentukan tidak akan berhasil.”

Aku berharap dan berdoa aku dan teman-teman selalu bertumbuh di dalam kehidupan doa. Tetaplah berdoa (1 Tesalonika 5:17).

Baca Juga:

Tentang Doa yang Tidak Terkabul: Apakah Kita Kurang Sungguh Berdoa?

Seseorang telah gigih berdoa, tapi jawaban doanya tidak sesuai harapannya. Padahal, Alkitab bilang bila doa orang benar itu besar kuasanya. Apa yang bisa kita gali dari fenomena ini?

Studi Alkitab, Yuk!

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Kapan terakhir kali kamu melakukan pemahaman Alkitab (PA) atau studi Alkitab?

Mungkin ada yang menjawab, “Studi Alkitab kan tugasnya pendeta, pemimpin pelayanan, atau mereka yang kuliah di teologia atau di seminari. Memangnya kita harus ya?” Atau mungkin jawaban lainnya, “Aku sering sih nonton atau dengar khotbah tentang studi Alkitab di channel-channel YouTube atau podcast oleh pembicara-pembicara favoritku. Bukannya itu sudah termasuk memahami Alkitab?”

Jawaban itu mungkin mewakili kita yang jarang atau enggan membaca Alkitab. Namun, di tengah dunia yang semakin maju, apakah penting untuk membaca Alkitab yang tulisannya sudah berusia ribuan tahun itu?

Alkitab bukan sekadar buku atau kitab. Ketika kita membaca dan belajar memahaminya, itu menjadi salah satu disiplin rohani bagi semua orang Kristen, termasuk aku dan kamu. Kata ‘disiplin’ dalam bahasa Inggris ditulis ‘discipline’. Dalam kamus Merriam-Webster, ‘discipline’ diartikan sebagai pola perilaku atau latihan yang teratur untuk memperbaiki, membentuk, dan menyempurnakan karakter mental dan moral kita. Jadi, disiplin rohani merupakan latihan yang dilakukan secara teratur untuk memperbaiki, membentuk, dan menyempurnakan kerohanian kita.

Untuk memudahkan kita memahami pentingnya disiplin rohani, kita bisa analogikan dengan para binaragawan atau atlet yang setiap hari melakukan latihan fisik supaya otot-otot mereka terbentuk dan terlatih sehingga siap menghadapi lawan. Begitu juga disiplin rohani akan melatih mental rohani kita supaya siap menghadapi lawan kita, yaitu si Iblis yang berjalan di sekeliling kita seperti singa yang mengaum-aum mencari mangsanya (1 Petrus 5:8). Tuhan Yesus pun mengingatkan murid-muridnya untuk, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah (Matius 26:41).” Mengapa? “Karena keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera… keinginan daging adalah perseteruan dengan Allah… Mereka (yang menuruti keinginan daging) tidak mungkin berkenan kepada Allah (Roma 8:6-8).“

Karena tubuh kita ini lemah dan berdosa, kita harus rajin melatihnya dan membentuknya semakin kuat melalui disiplin rohani. Nah, salah satunya adalah melalui studi Alkitab mandiri. Lalu, bagaimana cara memulainya? Tenang, studi Alkitab sebenarnya bisa dimulai dengan beberapa langkah sederhana kok.

  1. Mulailah dengan menemukan ayat berkesan

    Menemukan ayat berkesan adalah cara pertama yang diajarkan kepadaku untuk studi Alkitab waktu duduk di bangku SMA. Kita hanya perlu memilih satu ayat yang paling berkesan dan alasannya. Cara ini cukup sederhana dan mudah. Namun, dari satu ayat berkesan ini, kita masih bisa memahami bagian tersebut dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut, 1) Apa fakta tentang Allah yang didapat dari ayat tersebut?; 2) Apa fakta tentang manusia yang didapat dari ayat tersebut?, 3) Apa hal baru yang dipelajari?; 4) Apa penerapan dalam kehidupan sehari-hari?; 5) Pertanyaan apa yang muncul dari ayat/perikop ini? Jika ada pertanyaan yang muncul, kita bisa menanyakan kepada kakak rohani atau mendiskusikannya dengan peer study kita.

  2. Kembangkan dengan metode “OIA” (“Observasi, Interpretasi, dan Aplikasi”)

    Setelah kita sudah mulai terbiasa merefleksikan satu ayat Firman Tuhan, kita tentu tidak puas hanya mendalami satu ayat saja. Karena itu, kita akan mulai belajar memahami satu perikop di dalam Alkitab. Nah, pertama-tama mulailah dengan melakukan pengamatan (observasi). Caranya adalah dengan mengamati hal-hal yang tersurat (tertulis) secara jelas di Alkitab melalui pertanyaan-pertanyaan 5W1H (what, where, when, who, why, dan how). Misal, apa peristiwa yang terjadi di perikop tersebut? Di mana dan kapan peristiwa tersebut berlangsung? Siapa saja tokoh yang terlibat? Mengapa ia melakukan hal itu? Bagaimana ia merespons kejadian itu? Dst.. Kemudian, kita bisa mulai memberikan kesan atau pendapat (interpretasi) berupa makna-makna tersirat dari perikop tersebut. Misalnya, Petrus dan murid-murid Yesus yang pertama segera meninggalkan jala mereka, lalu mengikut Yesus (Markus 1:18), itu berarti ketaatan harus dilakukan dengan segera. Terakhir, buatlah penerapan (aplikasi). Penerapan yang jelas atau konkret harus selalu dibuat di akhir studi Alkitab karena Allah memanggil kita untuk menjadi pelaku Firman, bukan pendengar saja (Yakobus 1:22).

  3. Pahami konteks bacaan

    Memahami konteks bacaan sebenarnya adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam studi Alkitab. Secara sederhana, memahami konteks bacaan adalah mengenal segala latar belakang yang “membersamai” penulisan teks yang kita baca, misalnya siapa penulisnya kitab/surat yang dibaca, latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya ketika teks tersebut ditulis, atau pun konflik yang mungkin terjadi pada saat itu. Misalnya, ketika dikatakan bahwa Yusuf hendak menceraikan Maria dengan diam-diam (Matius 1:19) padahal mereka belum menikah. Perlu dipahami bahwa konteks pada waktu itu di budaya orang Yahudi, pasangan yang sudah bertunangan sudah berada dalam satu ikatan atau komitmen pernikahan, tetapi mereka belum tinggal satu rumah. Memahami konteks akan sangat berguna ketika kita menginterpretasikan makna bacaan. Informasi mengenai konteks bacaan dapat kita akses di web/aplikasi/Alkitab cetak yang dilengkapi dengan studi Alkitab, kamus Alkitab, konkordansi, dan jangan lupa untuk juga membandingkan teks dengan versi terjemahan Alkitab lainnya.

  4. Ajaklah teman atau partner

    Memiliki kelompok studi Alkitab juga penting sebagai teman diskusi untuk lebih memahami bagian yang dipelajari. Namun, perlu diperhatikan bahwa studi Alkitab ini pada dasarnya adalah disiplin rohani kita secara mandiri. Jadi, fungsi kelompok atau partner adalah mendiskusikan hasil studi Alkitab pribadi masing-masing. Anggota kelompok studi Alkitab akan saling belajar mendengarkan dan memperkaya hasil PA satu sama lain.

Studi Alkitab pribadi akan sangat berbeda dengan (hanya) menjadi pendengar saja dan “menelan” hasil interpretasi orang lain. Ketika kita melakukan studi Alkitab mandiri, kita akan berjumpa secara langsung dengan kebenaran Firman Tuhan, kemudian mencecap, mengunyah, dan menikmati setiap sari-sari yang terkandung di dalam firman tersebut. Jadi, sudah siapkah kamu untuk memulai studi Alkitab mandirmu? Mulailah merencanakan jadwal yang teratur untuk mendalami firman-Nya, ajak beberapa teman untuk melakukan proyek yang sama, dan saling berbagilah serta saling mendorong dalam kasih dan dalam setiap pekerjaan baik (Ibrani 10:24).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Apakah Kesepian itu Dosa?

Apakah merasa kesepian itu dosa? Atau, apakah dosa itu hanya berkaitan dengan apa yang kita lakukan untuk merespons kesepian itu? Dan, jika tidak baik bagi seorang pria atau wanita untuk sendiri, apakah dosa jika memang mereka memilih untuk hidup sendiri?

3 Miskonsepsi Tentang Pertumbuhan Rohani

Karya seni ini merupakan kolaborasi WarungSaTeKaMu dan Lara Lynch

Pernahkah kamu merasa pertumbuhan imanmu seolah jalan di tempat? Kamu mencari Tuhan lewat berdoa dan membaca Alkitab, pun tak ada dosa yang kamu sembunyikan… tapi rasanya kok tetap hambar? Kamu pun bingung apakah hari ini kamu telah menjadi semakin serupa dengan Kristus dibandingkan minggu lalu atau tidak.

Kamu tidak sendirian! Tapi, mari ambil waktu sejenak untuk menyelidiki kembali apakah pertumbuhan rohani itu. Kita bertumbuh secara rohani ketika Allah, melalui anugerah-Nya, bekerja dalam hidup kita untuk membuat kita semakin serupa dengan Kristus (Efesus 2:8-9). Ketika kita merasa stagnan, marilah meresponsnya dengan berpaling pada Dia yang mampu mengubah kita, bukan kepada upaya kita untuk mengubah keadaan.

Seiring kita mengejar Kristus, memohon pertolongan-Nya agar kita bertumbuh dalam kebaikan, pengetahuan, penguasaan diri, dan kasih (2 Petrus 1:5-8), kita pun perlu waspada terhadap miskonsepsi yang dapat menjauhkan kita dari pertumbuhan sejati.

Miskonsepsi #1
Ini tentang tahu betul isi Alkitab

Petrus bicara tentang bertumbuh dalam pengetahuan (2 Petrus 1:5, 3:18), dan pengetahuan Alkitabiah adalah sesuatu yang diinginkan dan perlu diupayakan. Alkitab adalah cara utama untuk mengetahui siapakah Tuhan itu.

Namun, “pengetahuan” hanyalah salah satu poin yang mengindikasikan pertumbuhan rohani. Kebanyakan kita mungkin teringat akan seseorang di gereja atau kelompok sel kita yang tampaknya tahu semua isi Alkitab, tapi juga angkuh. Orang seperti itu tentu tidak memiliki kualifikasi lainnya untuk disebut dewasa secara rohani.

Dalam Yohanes 14:23, Yesus memberitahu kita, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku.” Mengetahui isi Alkitab akan menolong kita untuk mengenal pengajaran Yesus, tetapi yang lebih penting adalah bukan sekadar tahu, tapi menaatinya.

Saat kita membaca Alkitab hari demi hari, marilah tanyakan pada diri kita sendiri, apa yang ayat ini katakan tentang Allah? Apa maknanya buatku? Dan yang paling penting, bagaimana aku bisa menghidupinya?

Miskonsepsi #2
Ini tentang mempraktikkan disiplin rohani dengan rajin

Petrus mendorong kita untuk “mengupayakan segala hal” untuk bertumbuh secara rohani. Paulus juga berkata, “…tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Filipi 2:12). Kerja keras adalah bagian dari pertumbuhan rohani. Kita tahu cara-cara mendasarnya: baca Alkitab, berdoa, bersekutu dengan sesama orang percaya, dan lain sebagainya.

Tetapi, janganlah kita terjebak dalam pola pikir seolah berlomba untuk menjadi yang paling rajin untuk tampak paling baik. Banyak dari kita mungkin pernah mengalaminya, ketika kita sangat giat melakukan kegiatan rohani tanpa sungguh-sungguh menaruh hati dan mencari Tuhan di dalamnya.

Yang sesungguhnya paling penting adalah bersungguh hati menjalin relasi dengan Allah. Kita dipanggil untuk “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Seiring kita setia membaca Alkitab, berdoa, dan bergereja, mintalah agar Allah membaharui hati kita setiap kali kita melakukan aktivitas tersebut, agar setiap harinya kita semakin mengasihi-Nya.

Miskonsepsi #3
Ini tentang pertumbuhan yang bisa diukur setiap harinya

Kadang kita berpikir kalau pertumbuhan rohani itu proses yang lurus dan progresif, yang artinya kita pasti lebih dewasa hari ini daripada kemarin. Lagipula, jika kita tidak mengalami kemajuan dalam relasi kita dengan Allah, tentunya itu sebuah kemunduran, bukan?

Jika kita sudah memberikan seluruh hati kita untuk mencari-Nya, tapi kita seolah tak mendengar apa pun dari-Nya, atau tak merasa dekat dengan-Nya, apakah itu karena kita melakukan kesalahan?

Kebenarannya adalah, kita semua melewati berbagai musim kehidupan. Bahkan Daud, seorang yang berkenan di hati Allah (Kisah Para Rasul 13:22), melalui masa-masa sukar hingga dia mempertanyakan,

“Berapa lama lagi, TUHAN, Kauupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” (Mazmur 13:2).

Jika Allah terasa jauh, atau membaca Alkitab terasa hambar, atau kita tak mampu berkata-kata untuk berdoa, itu tidak berarti kita berhenti bertumbuh. Yakobus mendorong kita bahwa pencobaan terhadap iman kita menimbulkan ketekunan, dan kita perlu “biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4).

Jadi, kendati masa-masa sulit kita alami, marilah kita meneladani Daud, “Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu” (Mazmur 13:6a). Allah yang akan melengkapi kita untuk mencapai tujuan-Nya.

Marilah kita terus mencari-Nya, membangun relasi dengan-Nya, mempercayai-Nya untuk melengkapi kita dengan pengatahuan dan kebaikan, serta dengan setia bertekun meskipun kita tak melihat hasilnya. Kita tahu Allah mengasihi kita, dan Dia tetap bekerja, bahkan saat ini, untuk membawa kita mendekat pada-Nya.