Posts

Nenek Lois di Belakang Layar

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang cenderung mudah memberikan sanjungan kepada mereka yang berdiri di atas panggung megah, mengenakan pakaian bagus, dan mendapat sorotan lampu. Namun, sangat sering kita melupakan orang-orang yang berdiri di belakang layar, yang telah menghabiskan begitu banyak tenaga untuk menyiapkan pertunjukan hebat tersebut.

Sebagai contoh, berapa banyak dari kita yang mengenal seorang penemu terkenal dengan segala pencapaiannya, tetapi tidak mengetahui siapa sosok ibu luar biasa yang menjadi kunci kesuksesannya? Setelah dia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap kurang pintar oleh pihak sekolah, ibunya mengambil keputusan untuk membaktikan diri mengajari anak laki-lakinya itu. Singkat cerita, hari ini kita semua mengenal Thomas Alva Edison, sang penemu lampu pijar. Namun, bagaimana dengan ibunya?

Bagiku, pujian untuk Edison adalah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan, tetapi mengabaikan sosok ibu di belakangnya adalah penghinaan terhadap kerja keras dan kesetiaan.

Siapa dari kita yang telah membaca Kitab Suci dan tidak mengenal sosok Timotius? Reputasinya yang baik telah membuat banyak orang memberikan nama itu untuk anak-anak mereka. Dia adalah anak rohani rasul Paulus, sekaligus merupakan penerima pertama dari dua surat (1 dan 2 Timotius) dalam Kitab Suci Perjanjian Baru yang kita miliki. Bahkan terlepas dari ketidaksempurnaan semua manusia, termasuk Timotius, kurasa dia telah menjadi semacam role model bagi banyak anak muda Kristen. Namun, bagaimana dengan ibu dan neneknya, Eunike dan Lois?

Dalam tulisan ini, aku akan menyoroti Lois dan tidak akan berbicara terlalu banyak mengenai Eunike karena berbagai alasan. Salah satunya, karena aku melihat di lingkunganku, nama Eunike terdengar lebih populer ketimbang nama Lois. Bahkan bertahun-tahun yang lalu, ketika sedang menempuh pendidikan, aku pernah tinggal di sebuah rumah seorang anak kecil bernama Eunike yang mana di desanya itu terdapat banyak orang dengan nama yang sama.

Nama Lois hanya disebut satu kali di dalam Kitab Suci (2 Timotius 1:5). Mungkin ini yang menjadi alasan sebagian orang untuk tidak terlalu banyak membahas sosok ini. Padahal, kita seharusnya tidak lalai memerhatikan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus ketika dia menyebutkan nama wanita tua ini di dalam suratnya itu.

“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2 Timotius 1:5).

Dalam bagian itu, kita melihat sang rasul memberikan pujian kepada Timotius atas imannya yang tulus ikhlas. Namun, dia juga memberikan catatan tambahan yang tidak kalah pentingnya. Sebenarnya, apa yang dia tambahkan di sana merupakan alasan yang sangat kuat mengapa Timotius bisa menjadi manusia yang berkualitas. Tentu saja, iman dan karakter Timotius tidak jatuh dari langit. Allah bekerja sedemikian rupa menggunakan orang-orang dalam lingkungan Timotius untuk mempersiapkannya menjadi seorang prajurit-Nya.

Keluarga menjadi tempat vital yang akan membentuk seorang manusia. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang “berantakan” tidak mungkin menjadi manusia yang berguna. Apa yang kumaksud adalah pengaruh keluarga benar-benar sangat kuat dalam memengaruhi cara berpikir seseorang. Aku mempunyai seorang teman yang sangat angkuh. Aku sering terheran-heran dengan apa yang tiba-tiba bisa terlontar dari mulutnya. Dia sangat senang merendahkan orang lain, termasuk menghina ras dan tampilan fisik seseorang. Sekarang aku tahu alasannya, ternyata orang tuanya juga begitu. Sekali lagi, tidak semua kasus bisa seperti ini. Kita tahu, ada faktor-faktor lain yang juga dapat mengubah situasi. Namun kamu menangkap poinku, kan?

Timotius adalah produk dari Eunike dan Eunike adalah produk dari Lois. Nenek ini benar-benar sangat mengagumkan. Dia telah membentuk dua generasi yang telah menjadi tiang kokoh gereja mula-mula. Kita dapat dengan yakin menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan oleh Eunike kepada anaknya, Timotius, adalah apa yang telah dia terima dari ibunya Lois.

Lois bukan hanya berhasil “mewariskan” imannya kepada Eunike, tetapi dia telah menjadikan Eunike seorang ibu sekaligus guru yang ulung. Tanpa bermaksud merendahkan, tetapi bukankah ada beberapa orang berprofesi guru yang tidak berhasil mendidik anaknya sendiri? Namun, Lois mendidik Eunike menjadi seorang pendidik yang menghasilkan pendidik muda baru bernama Timotius. Lois adalah wanita hebat di belakang layar kesuksesan Timotius.

Apresiasi yang diberikan Paulus kepada Lois bukanlah sesuatu yang main-main. Betapa signifikannya ketika dia mengatakan bahwa iman Timotius yang tulus ikhlas itu adalah iman yang pertama-tama hidup dalam diri Lois. Paulus tahu, harga yang telah dibayar oleh seorang Lois untuk mengajari generasi penerusnya. Paulus tahu, “manusia-manusia hebat” tidak dididik dalam satu malam. Diperlukan segunung kesabaran untuk mengajarkan kebenaran kepada orang lain. Dibutuhkan teladan yang bersungguh-sungguh untuk “memperkokoh” ajaran yang kita bagikan. Ingat, pada saat itu kekristenan menjadi hal yang tidak disukai oleh pemerintah Roma yang politeistik, dan di dalam kesulitan itulah Lois bekerja keras melawan arus kencang.

Kerja keras dan kesetiaan Lois seharusnya mengingatkan kita pada apa yang Kristus telah lakukan di atas salib-Nya. Sang Raja yang telah mengorbankan nyawa-Nya untuk menyelamatkan Lois, Eunike, Timotius, engkau, dan aku.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Gently Reminder Buat Kamu Hari Ini

Untuk mengawali tahun yang baru ini, kiranya firman Tuhan berikut dapat menjadi harapan dan semangat baru untuk kita semua. Amin. 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tebak-tebak Karakter Orang Diliat dari Alkitabnya~

Buku tebel yang setia mendampingi perjalanan iman kita yaa Alkitab ❤️

Kamu tipe yang baca Alkitab yang gimana nih? Yuk simak 🤩

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Penjaga Jiwa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Khina melihatnya lebih dulu. Tepat ketika kakinya dan Erik menjejak di lantai empat, Rino tampak berdiri beberapa langkah di depan mereka. Kepalanya ditutup dengan kupluk abu-abu. Seutas tali rafiah yang ujungnya membentuk simpul digenggam dengan kedua tangannya, melingkar di lehernya. Satu ujung yang lain terikat pada tiang balkon. Sekali lompat… selesai. Rino yang tak menyangka kemunculan Khina dan Erik, menghentikan usahanya sejenak namun tangannya terkepal kuat-kuat menggenggam ujung tali di lehernya itu. Khina melirik Erik.

“Rik, buruan cari guru!” Suara Khina mendadak parau, napasnya memburu. Erik balik badan, bergegas turun. Khina mencoba berpikir cepat, kata-kata apa yang hendak dikeluarkannya untuk menenangkan Rino agar tak gegabah bertindak. Di hatinya, Khina terus merapalkan doa. Ia minta Roh Kudus yang tuntun setiap kata yang meluncur dari mulutnya. Dadanya berdebar lebih cepat dan mendadak terasa sesak. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya.

“Rino, hidup kamu terlalu berharga untuk kamu selesaikan dengan cara begini.”

“Gak ada yang peduli sama aku, Khina…” suara Rino tercekat di tenggorokan. Ia buru-buru melempar pandangannya ketika bersirobok dengan mata Khina. Ada sesuatu di mata itu yang membuatnya kembali tunduk menyembunyikan wajahnya yang pias.

“Tuhan Yesus sayang kamu, Rino. Kami semua sayang sama kamu. Aku dan Erik mencari kamu karena sayang sama kamu.”

“Hitam. Pendek dan… kata-kata itu… yang selalu dilontarkan teman-teman untuk mengolok-olok kondisi fisikku. Itu menyakitkan, Khina. Selama ini aku berusaha meredam emosiku. Segala sesuatu ada batasnya kan, Khin? Aku… Aku… gak kuat… arrghhh…” Suara Rino tenggelam oleh tangisnya yang pecah.

“Rino, percayalah…” Khina bergeming beberapa detik. Di ingatannya muncul Roma 8:18, firman yang dibacanya beberapa hari kemarin. Pelan, kakinya mendekat dua langkah, “… Semua penderitaan yang kita alami sekarang, tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Khina tak berkedip memerhatikan tangan Rino yang perlahan melonggarkan ikatan tali rafiah di lehernya. Rino sesenggukan. Bahunya naik turun setiap kali air matanya jatuh. Di waktu yang bersamaan, Erik yang muncul dengan beberapa orang guru, mendekati dan merangkul Rino menjauh dari tali yang nyaris membuatnya kehilangan seorang kawan. “Hidupmu berharga, bro.”

***

Beberapa hari sebelum kejadian di lantai empat itu, Khina merasa gagal mengerjakan tugasnya menjangkau jiwa-jiwa baru untuk diajak bergabung ke kelompok selnya. Padahal, tiap doa Khina telah sungguh-sungguh meminta Tuhan kirimkan jiwa. Ia juga telah melakukan promosi di tiap ibadah. Bukannya bertambah, malahan beberapa kawan komselnya tak bisa hadir di kegiatan mingguan mereka. Itu membuatnya sedih.

Rasa tak nyaman yang mengusik hati Khina dan Erik ketika menyadari Rino tak ada di kelas saat mereka hendak ulangan, adalah pekerjaan Roh Kudus. Bisa saja mereka mengabaikan rasa itu dan terus tinggal di dalam kelas hingga pelajaran selesai. Namun, ketidaknyamanan itu membuat mereka berinisiatif mencari Rino ke balkon lantai empat.

Lalu Tuhan menyuruh aku menyampaikan pesan-Nya kepada tulang-tulang yang kering itu, “Aku Tuhan Yang Mahatinggi meniupkan napas ke dalam dirimu supaya kamu hidup kembali. Kutaruh urat dan daging padamu serta Kubalut kamu dengan kulit. Kamu akan Kuberi napas sehingga hidup. Maka tahulah kamu bahwa Akulah Tuhan.” (Yehezkiel 37:4-6 BIMK).

Kadang, kegelisahan adalah cara Tuhan mau pakai kita. Kejadian di sekolah siang itu menjadi pengalaman spiritual yang sangat berharga bagi Khina. Karena lewat kejadian itu, Tuhan mengajarkannya tak sekadar meminta jiwa. Tapi, bagaimana menanggapi kegelisahan yang Tuhan taruh di hatinya untuk menjadi penjaga jiwa dan menyelamatkan jiwa rapuh yang Tuhan sudah berikan dan tempatkan di dekatnya.

Pernahkah kamu gelisah, jenuh, bahkan menjadi tak sabaran mengerjakan sesuatu yang hasilnya tak jua tampak dan rasanya jauh dari harapan?

Setiap orang Kristen memiliki panggilan untuk mengerjakan tugas mulia yaitu, Amanat Agung (Matius 28:19-20). Sebuah tugas yang bukan sekadar menjangkau jiwa baru. Tetapi, bagaimana melatih diri sendiri menjadi murid yang mau buka hati, mau taat, mau dibentuk karakternya lewat masalah yang Tuhan izinkan terjadi di hidup kita; sebelum kita menyaksikan pekerjaan Tuhan di hidup kita kepada orang lain. Masalah akan terus datang! Berterima kasihlah pada masalahmu, sabar dan setialah berproses. Tuhan sudah menyiapkan master plan untuk hidup kita sampai kekekalan.

Yuk! Latih kuping rohani agar peka dengan suara Tuhan dengan tekun membaca firman. Karena cara pandang dan pikiran Tuhan, berbeda dengan manusia. Mari sama-sama belajar dari pengalaman spiritual Khina.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Jawaban buat Pertanyaan yang Menggantung di Pikiranmu

Pikiran kita sering mendikte kita, seperti yang terjadi ketika para murid Yesus terombang-ambing di tengah badai. Ketika mereka melihat Yesus berjalan di atas air, ketakutanlah mereka semua. Namun, Yesus berseru, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

Pikiran-pikiran buruk dalam diri kita tidaklah sepenuhnya mendefinisikan diri kita. Peganglah firman Tuhan dan temukan damai sejahtera di dalamnya.

Art space ini diterjemahkan dari @ymi_today dan didesain oleh @yelloizmello

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

5 Cara untuk Menjaga Diri Tetap Berakar di dalam Firman Tuhan

Menjaga firman Tuhan untuk terus berakar di dalam kita tidaklah cukup hanya dengan membacanya. Kita perlu pertolongan Roh Kudus ketika melakukannya. Namun tak cukup sampai situ, kita juga perlu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan membagikannya juga pada orang lain.

Kiranya cara-cara berikut dapat menolongmu untuk tetap bertumbuh dan berakar dalam firman Tuhan 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menilik Relevansi “Ritual” Kristen dalam Realisasinya di Kehidupan Kita

Oleh Jefferson

Apa yang kamu bayangkan ketika membaca kata “ritual”? Apakah gambaran yang muncul di dalam benakmu adalah imam yang mempersembahkan korban bakaran di atas altar? Atau kamu justru teringat ibadah Minggu yang setiap elemen liturginya ditata sedemikian rupa? Atau barangkali kamu malah membayangkan rutinitasmu setiap pagi sebelum memulai hari?

Gambaran-gambaran di atas adalah ilustrasi dari tiga definisi “ritual” menurut kamus Oxford (silakan Google define ritual kalau ingin membaca ketiga artinya lebih lanjut). Mengapa aku membuka dengan membicarakan definisi? Karena aku mengamati adanya perluasan makna “ritual” di masa kini, di mana rutinitas kita sehari-hari yang tak ada hubungannya sama sekali dengan praktik-praktik keagamaan pun dapat dianggap sebagai suatu “ritual”. Praktik “ritual” seolah-olah sudah kehilangan kekhususan dan kesakralannya di zaman kita.

Tapi, apa implikasi dari pandangan ini? Ketika membicarakan praktik-praktik “ritual”, terutama dalam konteks Kekristenan, tanpa kita sadari kita mungkin saja telah menganggap itu sebagai norma kehidupan bergereja yang tidak perlu dimengerti lebih dari pelaksanaannya. Kita bahkan mungkin merasa praktik-praktik “ritual” Kristen tidak lagi relevan sehingga kita tidak perlu lagi mempraktikkannya. Praktik-praktik “ritual” seperti aksesoris yang elok dipakai tapi pada hakikatnya tak punya nilai tambah yang tinggi.

Setelah menelusuri paham ini lebih jauh, apakah kamu juga melihat bahaya yang mengintai di baliknya? Ada suatu reduksionisme yang mendasari pandangan ini yang tidak berusaha untuk memahami makna di balik unsur-unsur dalam “ritual” Kristen terlebih dulu dan malah langsung loncat kepada kesimpulan. Menurutku, praduga ini akhirnya tidak dapat menjawab dengan memuaskan apakah praktik “ritual” Kristen saat ini masih relevan.

Dari relevansi menuju realisasi

Awalnya aku ingin membicarakan tentang relevansi dari dua praktik “ritual” Kristen, yang aku persempit cakupannya pada baptisan dan Perjamuan Kudus (alasannya dapat kamu baca di sini). Namun, setelah menulis beberapa lama, aku merasa jawaban yang sedang kusiapkan sama tidak memuaskannya dan malah beresiko jatuh juga ke dalam reduksionisme yang aku amati di atas. Syukurnya, lewat “kegagalan” ini Tuhan menuntunku untuk melihat bahwa perluasan pengertian “ritual” memiliki dasar yang tersembunyi di dalam Firman-Nya. 

Apa maksudnya? Memang saat ini kata dan praktik “ritual” dalam konotasi keagamaan jadi kehilangan—atau paling tidak berkurang—kesakralannya, namun perspektif bahwa rutinitas kita sehari-hari pun bisa dianggap sebagai “ritual” sebenarnya memberi ruang bagi kita untuk bersaksi kepada dunia. Bersaksi tentang apa? Bahwa pada kenyataannya tidak ada pemisahan antara yang kita sebut “kudus” dengan “duniawi”, bahwa setiap detik dan jengkal dari kehidupan kita dengan segala kesepelean dan keduniawiannya merupakan bagian dari “ritual” yang kita persembahkan kepada Allah.

Sampai di sini seharusnya kamu dapat menebak perikop Alkitab mana yang ingin kuangkat.

Bukan sembarang “persembahan”

Mengingat tempatnya dalam struktur kitab Roma, tidaklah heran kalau Roma 12:1–2 adalah salah satu perikop yang paling sering dikutip sebagai aplikasi khotbah. Setelah menjelaskan dasar-dasar Kekristenan sepanjang 11 pasal dari suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menggeser fokusnya kepada bagaimana pengikut Kristus bisa menerapkan dasar-dasar itu dalam kehidupan mereka secara pribadi dan komunal. Ayat 1–2 merumuskan prinsip utama dari aplikasi-aplikasi yang ia jabarkan di sepanjang sisa suratnya:

(1) Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: Itulah ibadahmu yang sejati. (2) Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.”

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa kita sepatutnya menyelaraskan kehidupan kita dengan kehendak Tuhan, karena lewat kasih karunia-Nya Ia telah menyelamatkan kita lewat iman kepada anak-Nya (pasal 4–7) dari maut dan kerusakan dosa (pasal 1–3), dan diadopsi ke dalam keluarga sang Raja (pasal 8–11). Tapi bagaimana caranya kita bisa hidup seperti itu? Ayat 1 menjawab, dengan mempersembahkan tubuh [kita] sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah: Itulah ibadah [kita] yang sejati.”

Dari pilihan kata-kata Paulus saja kita bisa melihat mengapa aku sengaja memilih perikop ini untuk membahas tentang “ritual” Kristen. Namun, alasanku lebih dalam dari sekadar pilihan kata yang dipakai dalam praktik “ritual”. Dr. Andrew Spurgeon dalam khotbahnya di gerejaku di awal September menunjukkan bahwa kata “persembahan” yang digunakan di ayat 1 pada dasarnya serupa dengan yang dipakai untuk korban sajian di Imamat 2.

Apa signifikansi dari diksi ini? Dalam Perjanjian Lama, korban sajian tidak dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa kepada Tuhan, seperti yang mungkin selama ini kita pahami tentang persembahan. Korban sajian justru dipersembahkan di altar setelah korban bakaran sebagai ucapan syukur atas anugerah dan kasih karunia-Nya yang terus memenuhi kebutuhan mereka, terutama dalam perjalanan memasuki tanah perjanjian.

Mendengar tentang “persembahan” di Roma 12:1–2 dalam konteks korban sajian di Imamat 2, aku jadi teringat diskusi dalam kelompok pemuridan yang kupimpin beberapa bulan lalu. Kami sedang mempelajari kitab Roma menggunakan pendekatan induktif dan baru saja selesai membahas pasal pertama di kitab Roma. Di antara poin-poin pembelajaran yang aku dapatkan selama mempelajari Roma 1 bersama kelompok, aku mengingat bahwa manusia dalam kerusakan total karena dosa tidak mau dan tak dapat memuliakan ataupun mengucap syukur kepada Tuhan (ay. 21). Maka poin penerapan yang paling berkesan hari itu buatku adalah untuk terus memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada-Nya sebagai anak-Nya yang telah Ia tebus dari perbudakan dosa (bdk. 8:12–17).

Kehidupan kita sebagai ucapan syukur yang hidup

Pembelajaran-pembelajaran Firman yang dipisahkan waktu ini akhirnya menuntunku untuk melihat bahwa kehidupan kita yang telah ditebus oleh darah Kristus pada dasarnya adalah persembahan “ritual”, bukan sebagai usaha kita untuk menyogok Tuhan dan mengusahakan keselamatan dengan kekuatan kita sendiri tapi sebagai pengucapan syukur seumur hidup kita kepada Ia yang telah beranugerah untuk menyelamatkan kita. Perhatikan bahwa yang Allah tebus adalah segenap keberadaan kita, baik “tubuh” kita yang dulu mati karena dosa tetapi sekarang hidup karena Kristus (12:1), maupun “budi” kita yang dulunya mati-matian menolak-Nya tapi sekarang Ia perbarui sehingga dapat membedakan “apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan sempurna” (12:2).

Mengingat korban sajian pada umumnya dipersembahkan setelah korban bakaran, dan bahwa Kristus sebagai Imam Besar telah melakukan segala ritual penebusan dosa yang seharusnya kita jalankan tetapi tak mampu kita penuhi oleh karena kerusakan total akibat dosa (Ibr. 9:11–28), bukankah masuk akal bagi kita yang telah ditebus-Nya untuk mempersembahkan segenap keberadaan kita sebagai “korban sajian” bagi-Nya? Maka setiap tindakan, pikiran, dan perkataan, termasuk rutinitas kita sehari-hari serta praktik baptisan dan Perjamuan Kudus, merupakan persembahan syukur kita yang memuliakan Kristus atas pengorbanan-Nya di atas kayu salib.

Ada banyak penerapan dan perenungan lebih jauh yang dapat kamu kembangkan sendiri dari apa yang telah kubagikan di sini. Dr Andrew Spurgeon sendiri mengakhiri khotbahnya di gerejaku dengan empat aplikasi: dengan tanpa pamrih menggunakan karunia Roh kita untuk melayani sesama (12:3–8), mengasihi sesama dengan tulus (12:9–21), dengan tanpa syarat menundukkan diri kepada otoritas yang telah Tuhan tunjuk (13:1–14), serta menerima satu sama lain apa adanya tanpa prasangka (14:1–15:13). Aku sendiri ingin menyoroti dengan singkat aplikasi yang signifikansinya kurasakan lagi sejak kembali ke dunia kerja: work-rest balance (keseimbangan bekerja dan beristirahat), yang sudah pernah kubahas di artikel lain

Walaupun pekerjaanku saat ini adalah kelanjutan dari apa yang aku pelajari selama kuliah S-2, ada banyak hal yang masih tidak aku mengerti di bidang baruku (aku berganti haluan dari konsultansi lingkungan hidup ke sustainable finance) sehingga aku jadi sering lembur di kantor untuk mengejar ketinggalanku dalam proyek. Kesibukan selama 1,5 bulan terakhir membuatku lebih mengapresiasi waktu-waktu istirahat yang Tuhan berikan, di mana aku bisa merenungkan pekerjaan-Nya yang sedang ia kerjakan lewatku di bidang baru ini dan memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekelilingku. Ketika segenap kehidupan telah kita persembahkan sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan, niscaya ada sukacita dan damai sejahtera yang Ia sediakan untuk kita di tengah kesibukan dan penderitaan kita.

Akhir kata, apakah praktik-praktik “ritual” Kristen masih relevan di masa kini? Jawaban yang aku coba sampaikan secara tidak langsung dalam tulisan ini adalah “Ya”, dengan tegas dan penuh sukacita. “Karena itu, baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31).

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu yang mengasihi-Nya dengan kasih yang tidak binasa, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Rumah Bapa Adalah Rumah Pengampunan

Oleh Ernest Martono, Jakarta 

Dalam kurun waktu dua minggu, kami menyulap sebuah hotel menjadi ‘rumah’. Hotel itu berada di Jakarta Utara dan kami sewa untuk sebuah acara besar yang pesertanya berasal dari mancanegara. Ratusan kamar menampung tamu hampir seribu orang. Pengamanannya pun cukup ketat sebab setiap penghuni kamar diwajibkan memakai penanda identitas dan bagi yang tidak memakai akan ditanya-tanya oleh petugas. Tak ada tamu lain di hotel itu selain kami; para peserta, panitia, tim, pekerja hotel, dan relawan sepertiku. 

Aku dan tim relawan yang lain bertugas membantu kebutuhan setiap peserta. Kami mendengar, mengarahkan, menemani, dan melayani dengan kemampuan bahasa Inggris kami yang terbatas. Namun, itu tidak menyurutkan sukacita kami untuk melayani teman-teman seiman dari berbagai macam suku, bangsa, dan negara. Kami saling bertukar cerita, bahasa, dan kebudayaan. Kebersamaan selama dua minggu itu segera menciptakan ikatan antar kami semua. Termasuk dengan pekerja hotel yang siap sedia menjawab kebutuhan kami akan makan dan tempat istirahat. Kami tidak pernah kekurangan makanan, bahkan seringkali bersisa. Setiap hari kamar kami dibersihkan. Bayangkan setiap malam ketika kami kembali ke kamar setelah sesi yang panjang, kami menemukan lantai kamar kami sudah bersih dan wangi. Selimut sudah terlipat baru dan siap dipakai. Salah seorang teman kami berkata, “sudah seperti pulang ke rumah,” ketika dia kembali ke hotel setelah sejenak berkunjung ke kantor. 

“Seperti pulang ke rumah…” 

Perkataannya mewakili perasaanku juga. Selama di hotel aku mengalami feels like home. Aku mulai menganalisa mengapa aku bisa merasa seperti itu meskipun aku tahu ini bukanlah rumahku. Kutemukan semua kenyamanan ini membuatku terlena dan kerasan alias betah. Di hotel, aku dimanjakan. Aku tidak merasa kekurangan apapun. Aku tidak perlu memikirkan harus makan apa dan bagaimana mendapatkannya karena semua sudah ada yang memikirkan dan menyiapkannya. Aku tidak perlu merasa takut karena ada satpam hotel yang akan menjamin tidak akan ada orang asing yang masuk. Memang aku di situ hadir sebagai pelayan, tapi aku juga dilayani oleh pelayanan temanku di divisi lain. Kami saling melayani.

Jika memang semua itu membuatku merasa berada di rumah, bagaimana dengan Tuhan yang juga memberikan kepadaku hal yang sama? Aku mulai merenung apakah aku bisa menganggap Tuhan sebagai rumahku? Aku pun berpikir apakah aku kerasan dan terlena dengan semua kebaikan Tuhan? Bukankah Tuhan juga merawat, memelihara, melayani, dan memperhatikan setiap kebutuhan hidupku? Bahkan lebih dari itu Tuhan memberikan sesuatu lebih daripada sekedar kenyamanan yang dicari-cari manusia. 

Aku teringat sebuah kisah perumpamaan di dalam Alkitab. Kita sudah tahu kisahnya ketika anak bungsu memilih pergi dari rumah dan menghancurkan hidupnya sendiri. Di dalam perjuangannya mempertahankan hidup, satu hal yang dia ingat adalah rumah bapanya.

“Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” (Lukas 15:17-19).

Anak bungsu yang kelaparan ini harus berebut makanan dengan babi. Tentu ini adalah kondisi yang jauh berbeda dengan diriku yang berada di hotel saat itu. Namun, satu hal yang aku pelajari, anak bungsu ini ingat bahwa di rumah bapanya makanan begitu berlimpah. Dia lantas kembali ke rumah bapanya untuk mendapatkan makanan dan sekadar mencari penghidupan yang sedikit lebih layak.

Namun, sesampainya di rumah, ternyata sang bapa memberikan hal yang jauh lebih baik dari yang bisa dia minta dan bayangkan. Sang anak bungsu diberikan sebuah pesta dan segala kebutuhannya dipulihkan. Satu hal yang tidak boleh luput dari mata, di balik semua sukacita itu, sang bapa telah memberikan pengampunan pada anak bungsu. 

Mengingat kisah ini, memang benar Tuhan, yang kita sapa sebagai Bapa, merawat dan memelihara hidup kita. Rumah Bapa penuh dengan segala bentuk pemeliharaan yang kita perlukan. Memikirkan itu saja sudah membuat sukacita. Apalagi ketika kita tahu bahwa di rumah Bapa ada pengampunan. Penuh dengan kasih Bapa yang mengampuni.

Kembali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, apakah Tuhan merupakan rumah untukku? Memang benar aku sebagai manusia berdosa bisa saja lari menjauh dari Tuhan. Aku bisa “pergi jauh” dan “keluar rumah” dalam waktu lama. Terkadang aku begitu enggan datang kembali kepada Tuhan sekalipun kondisi hidupku sudah sama seperti anak bungsu dalam perumpamaan. Sudah tidak karuan, tidak punya harapan, dan bisa saja pelan-pelan mati dalam kesengsaraan. Namun, kisah ini mengingatkanku  bahwa, “Di rumah Bapaku penuh dengan pengampunan.” 

Kisah ini mendorongku untuk terus kembali berani pulang ke rumah bapa sekalipun aku sudah pergi terlalu jauh. Sudah berdosa terlalu dalam. Sudah berkali-kali keluar masuk ke dalam rumah pengampunan itu. Oleh karena aku membutuhkan pengampunan itu jauh lebih daripada makanan yang berlimpah. Pertanyaan yang terus akan aku ulang dalam hatiku, apakah aku merasa Tuhan adalah rumah bagiku? Apakah aku feels like home ketika berada di sisi-Nya?

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥