Demi Cinta, Aku Akhirnya Berserah, Menyerah, dan Terserah
Oleh Edwin Petrus, Medan
“Sudah, kamu berserah sama Tuhan saja, ikut saja apa maunya Tuhan!” Itulah yang selalu aku dengar dari pacarku setiap kali aku menceritakan pergumulan berat yang sedang aku hadapi. Dan tiap kali juga, aku merespons pacarku dengan pernyataan: “Aku tahu kok, dan aku sudah berserah. Ya sudah, aku ikut saja dengan yang Tuhan mau.”
Aku mencoba untuk berdamai dengan kondisi yang ada. Aku memaksakan diri untuk mengerjakan “apa yang Tuhan mau.” Namun, aku sendiri tidak menikmati hari-hariku. Rasanya aku ingin menyerah. Aku menceritakan lagi segala keluh kesahku, dan pacarku kembali mengulangi kata-kata yang sama. Aku pun membalasnya lagi dengan jawaban yang sama. Selama lebih kurang enam bulan, pergumulan ini sering mewarnai pembicaraan kami. Gara-gara isu ini, perbincangan kami memanas dan memicu pertengkaran.
Sampai suatu kali, di sebuah acara makan malam pernikahan, aku bertemu dan duduk semeja dengan seorang saudara di gereja. Di sela-sela percakapan, dia bertanya: “Bro, kamu tahu gak apa yang membuat aku akhirnya bisa keluar dari masalah-masalah hidupku selama ini?” Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Tatapan mataku langsung terfokus kepadanya. Aku sangat menantikan sebuah jawaban yang tidak biasa. Aku berharap bisa segera keluar dari rentetan panjang problema hidupku yang sudah membuat aku lelah.
“Berserah sama Tuhan saja. Aku rasanya plong dan lega banget ketika aku berserah sama Tuhan. Terserah Tuhan mau ngapain!” Sambil tersenyum, saudara itu berkata-kata dengan santai. Kemudian, dia pun melanjutkan kisah hidupnya tentang bagaimana Tuhan memampukan dia untuk mengatasi perkara-perkara yang sulit ketika dia menyerah dan membiarkan Tuhan yang mengerjakan apa yang dipandang baik oleh-Nya.
Kawan, aku percaya kalau kamu ada di posisiku saat itu, kamu juga pasti akan kesal dengan jawaban yang itu-itu lagi. Awalnya aku juga tidak puas hati, sampai suatu hal membuka hati dan pikiranku.
Singkat cerita, seperti biasa, aku dan pacarku pasti selalu mengobrol sembari menanti jam tidur. Aku kembali mengangkat isu tentang masalahku yang belum selesai. Pacarku tampaknya sudah kehabisan akal untuk menasihatiku. Dia terdiam sejenak. Aku pun terdiam karena tidak tahu lagi harus mengucapkan apa.
Dalam keheningan itu, ada satu kata yang terlintas dalam pikirkanku: pride (kesombongan). Sel-sel di otakku memberikan respons yang cepat terhadap kata itu. Tidak lama kemudian, aku melanjutkan obrolan dengan pacarku: “Jangan-jangan, selama ini aku sombong dengan kemampuan diriku. Aku bilang aku cinta Tuhan. Aku mau mengasihi Tuhan. Aku bilang berserah sama Tuhan. Tapi, aku tidak mau menyerah pada apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Aku justru mau bangun pride dalam diriku, bukan mau terserah sama maunya Tuhan.”
Kawan, malam itu aku disadarkan oleh Tuhan, kalau selama ini cintaku kepada Tuhan masih lemah dan rapuh. Dengan gampangnya, aku sanggup menghafalkan hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Namun, ketika Tuhan memintaku untuk mempercayakan seluruh hidupku kepada rencana baik-Nya, aku masih enggan.
Aku teringat dengan kisah seorang murid Yesus, Simon Petrus, yang dicatat di Injil Yohanes pasal 21. Pengalaman iman dari Petrus ini terjadi pasca kebangkitan Yesus. Pada saat itu, Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya untuk di pantai danau Tiberias. Dari kisah ini, aku merefleksikan tiga hal:
1. Berserah kepada Sang Cinta
Petrus dan beberapa murid Yesus yang lain pergi ke tengah danau untuk menangkap ikan. Sudah semalaman mereka menjala, tetapi pulang dengan tangan kosong. Yesus datang dan meminta mereka untuk menebarkan jala di sebelah kanan. Ketika Petrus menyadari bahwa Pribadi yang menyapa mereka adalah Yesus yang dikasihinya, dia dan teman-temannya kembali ke danau untuk sekali lagi menebarkan jala. Mirip dengan peristiwa yang terjadi kira-kira tiga tahun silam, ketika Petrus dan teman-temannya dipanggil untuk mengikuti Yesus, mereka mendarat dengan sejumlah banyak ikan.
Petrus juga pernah “ngotot” pada Yesus saat mereka makan malam bersama sebelum Yesus disalibkan. Yesus mengingatkannya untuk waspada karena iman mereka akan digoyahkan pada malam itu. Dengan lantang dan sombong, Petrus menjamin bahwa kasihnya kepada Sang Cinta, Yesus, tidak mungkin tergantikan. Namun, nyatanya itu hanya sekadar ucapan. Demi menjaga keselamatan dirinya, Petrus menyangkal Yesus sebanyak tiga kali dengan berkata bahwa ia tidak mengenal Yesus.
Petrus amat kecewa dengan dirinya yang gagal menyatakan kasih kepada Sang Cinta. Karena itu, Petrus memastikan dirinya untuk tidak lagi mengecewakan Yesus. Petrus berserah pada apa yang diminta oleh Sang Guru yang dicintainya. Dia mengikuti arahan Yesus untuk menebarkan jala di sebelah kanan, dan dia berhasil menangkap 153 ekor ikan yang besar. Jala yang dipakainya pun tidak koyak sama sekali (Yohanes 21: 11). Ketika Petrus berserah dan mengerjakan apa yang dikehendaki oleh Sang Cinta, dia menemukan bahwa kehendak Sang Cinta adalah yang terbaik bagi dirinya.
2. Menyerah demi Sang Cinta
Tiga tahun yang lalu, Petrus diminta Yesus untuk meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Karena itu, Petrus tidak lagi berurusan dengan bidang perikanan. Yesus memanggil Petrus untuk mengemban tugas yang lebih besar: tidak lagi menjala ikan, tapi menjala manusia bagi kerajaan Allah.
Namun, bingung dan sedih dirasakan Petrus dan rekan-rekannya karena kematian Yesus di kayu salib. Mereka tidak mengerti bahwa memang inilah rancangan Allah sejak semula untuk memberikan anugerah keselamatan kepada manusia berdosa. Yesus telah menang terhadap kuasa dosa dan bangkit dari kematian. Walaupun Yesus sudah bangkit dan pernah menampakkan diri kepada para murid-Nya, Petrus masih ragu. Dalam pikiran Petrus, terbesit ide untuk kembali menaiki kapal dan pergi menangkap ikan (Yohanes 21:1-3).
Yesus menghampiri Petrus untuk mengonfirmasi seberapa serius Petrus mengasihi-Nya. Tiga kali berturut-turut, Yesus bertanya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku?” Petrus memberikan respons yang sama: “Aku mengasihi Engkau.” Jikalau demikian, Petrus perlu menyerah pada dirinya demi Sang Cinta. Petrus bukan hanya berserah untuk siap mengerjakan perintah Sang Cinta, tetapi menyerahkan seluruh hidupnya dengan penuh komitmen demi Sang Cinta. Sang Cinta memintanya untuk menggembalakan domba-domba-Nya.
3. Terserah kepada Sang Cinta
Di akhir percakapan dengan Petrus, Yesus menunjukkan kepadanya sebuah konsekuensi dari berserah demi cinta dan menyerah kepada cinta. Yesus memberikan sebuah penggambaran yang mengenaskan tentang akhir hidup Petrus. Ketika Petrus sudah menjadi tua, dia akan diikat dan dibawa ke tempat yang tidak dikehendaki olehnya (Yohanes 21:18-19). Para penafsir Alkitab meyakini bahwa ilustrasi ini berkaitan dengan kematian Petrus yang juga dalam kondisi tersalib. Bahkan, Petrus sendiri merasa ia tidak layak tersalib sebagaimana Yesus tersalib, sehingga ia meminta untuk disalib secara terbalik.
Setelah itu, Petrus melihat seorang murid yang dikasihi oleh Yesus. Orang tersebut adalah Yohanes, sang penulis Injil. Petrus mempertanyakan akhir hidup dari saudaranya ini kepada Yesus. Yesus menjawab Petrus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu….” (Yohanes 21:22). Tampaknya, nasib Yohanes ini jauh lebih baik dari Petrus. Para pakar sejarah Alkitab mencatat bahwa Yohanes adalah murid Yesus yang usia hidupnya paling panjang.
Di tahap akhir ini, ketika Petrus sudah bisa berserah kepada Sang Cinta dan menyerah demi Sang Cinta, dia sudah tidak lagi mempermasalahkan bagaimana Sang Cinta merancang hidupnya. Petrus sudah belajar untuk berkata, “Terserah pada Sang Cinta saja!” Sebab, dia meyakini bahwa Sang Cinta memiliki rencana yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Kitab Kisah Para Rasul menarasikan antusiasme dan kegigihan dari Petrus yang dipenuhi oleh kasih dari Sang Cinta untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Petrus tidak pantang menyerah untuk mewartakan nama Yesus walaupun dia diperhadapkan dengan tantangan dan masalah yang datang silih berganti. Sampai pada akhirnya, oleh karena Sang Cinta, dia harus mengorbankan nyawanya.
***
Dari kisah Simon Petrus di Yohanes 21, aku menyadari bahwa ketidakmampuanku untuk menemukan solusi dan jalan keluar yang permanen terhadap masalah hidupku dikarenakan ketidakmauanku untuk melepaskan diriku dan menuruti kehendak-Nya. Aku mempertahankan ego dan kesombonganku untuk menyelesaikan masalahku. Selama ini, aku hanya mengaku di bibir saja kalau aku mau mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi; tetapi pada praktiknya, aku justru mau Tuhan yang mengikuti pikiran dan rancanganku sebagai pilihan yang terbaik. Padahal, Yesus sendiri menawarkan: “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).
Kawan, aku telah menemukan jawaban yang telah kucari-cari selama ini.
Ternyata, hal yang membuatku berat dalam menjalani pergumulanku adalah egoku sendiri. Aku mengerti kalau untuk berserah kepada Sang Cinta, menyerah demi Sang Cinta, dan terserah kepada Sang Cinta memang tidak mudah. Namun, aku sadar, justru Sang Cinta itu sendirilah yang menarikku untuk bisa mengalami cinta-Nya ketika aku bersedia menyerahkan keegoisan dan kesombonganku.
Lagipula, aku percaya jikalau Tuhan mengizinkan masalah dan pergumulan terjadi dalam hidup kita, Tuhan tidak pernah tinggal diam karena Dia sendiri yang berjanji: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).