Posts

Menemukan Kebenaran Tuhan dari Sebuah Riset Lapangan

Oleh Edwin Petrus, Medan

Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir dari sebuah sekolah tinggi teologi yang berada di Malang, Jawa Timur. Kini, aku sedang menjalani praktik pelayanan setahun di sebuah gereja di kota asalku. Inilah kewajiban akademis terakhir yang harus aku selesaikan sebelum nantinya aku bisa diwisuda.

Ketika kuliah, ada sebuah kalimat yang begitu melekat dalam ingatanku, yang seringkali diucapkan oleh seorang dosenku ketika ia mengajar. Dosen ini memiliki suatu kebiasaan untuk mengawali kelas pertamanya dari setiap semester dengan memperlihatkan sebuah diagram. Aku pun sudah bisa menebak kata-kata pertama yang akan beliau utarakan ketika menjelaskan isi dari diagram tersebut. Beliau pasti berkata “all truth is God’s truth” (segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan).

Meski kalimat ini selalu terngiang-ngiang di kepalaku di setiap semester, aku memiliki sebuah tanda tanya besar tentang apa yang dimaksudkan dengan “segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan.” Rasa penasaran tentang kalimat ini menjadi semakin besar ketika aku berada di tingkat akhir dan mulai merencanakan untuk membuat penelitian lapangan sebagai tesisku.

Berbeda dengan teman-temanku yang memilih studi literatur sebagai metode penelitian mereka, aku menggunakan metode penelitian kualitatif. Simpelnya, kalau teman-temanku hanya perlu membaca buku untuk menyusun skripsi atau tesis mereka, aku perlu melakukan wawancara terhadap pemimpin kelompok kecil di gereja untuk memperoleh data.

Dalam pengerjaan tesis ini, pernyataan sang dosen kembali terngiang-ngiang di kepalaku,

“Akankah aku menemukan kebenaran Tuhan melalui wawancara dengan para pemimpin kelompok kecil gereja ini? Bukankah mereka hanya orang awam?”

“Teman-temanku yang melakukan studi literatur mungkin lebih memiliki peluang untuk menemukan kebenaran Tuhan,” pikirku demikian.

Pertanyaan ini tetap tidak terjawab. Namun, aku tetap mengerjakan penelitianku. Setelah mempersiapkan sejumlah pertanyaan wawancara dan mendapatkan lampu hijau dari dosen pembimbing, akupun segera membuat janji wawancara dengan para partisipan riset. Aku mengerjakan riset ini dengan mengikuti seluruh kaidah yang digariskan oleh metode penelitian kualitatif. Di bawah bimbingan sang dosen, aku mengumpulkan dan mengolah data dari hasil wawancara. Sampai akhirnya, aku bisa menarik kesimpulan dari penelitian ini.

Aku bersyukur dengan pertolongan Tuhan yang telah memimpinku untuk bisa menyelesaikan penelitian ini. Namun, aku tetap belum menemukan kebenaran Allah dari hasil risetku. Aku malah merasa bahwa tesisku kurang berbobot karena tidak ada kutipan-kutipan dari buku-buku teologi yang ditulis oleh teolog-teolog ternama.

Sampai suatu hari, aku mendengar sebuah renungan singkat dari seorang dosen lain yang membagikan kisahnya di dalam meneliti beberapa gereja yang telah dibuka kembali setelah kondisi pandemi COVID-19 mereda. Di dalam renungan tersebut, beliau berkata bahwa pertemuannya dengan para pemimpin gereja telah membuka matanya untuk melihat kebenaran dan karya Tuhan di dalam gereja-Nya selama masa pandemi. Pada saat yang sama, di dalam pikiranku, seperti ada tombol rewind yang ditekan. Aku diajak untuk kilas balik ke momen-momen ketika aku mendengarkan para partisipan risetku yang menceritakan kendala mereka di dalam memimpin kelompok kecil.

Aku teringat dengan satu kalimat yang sama, yang diucapkan oleh seluruh partisipan risetku: “Aku bukan pemimpin.” Di kala mereka merasa tidak mampu dan tidak percaya diri untuk memuridkan umat Tuhan, aku juga mendengar kisah-kisah perjuangan mereka untuk terus berkarya bagi Tuhan. Setiap partisipan menjumpai kendala-kendala yang berbeda di kelompok mereka. Mereka juga berkisah tentang kegentaran di dalam menjalankan tugas pemuridan ini, tetapi mereka tidak pernah putus asa. Apalagi di saat pandemi melanda, tantangan-tantangan baru pun muncul dan memuridkan jemaat gereja terasa menjadi semakin berat. Namun, para pemimpin kelompok kecil ini terus bersandar pada Tuhan dan pemeliharaan Tuhan sungguh nyata bagi setiap pelayan-Nya.

Pada saat itu, mataku terbuka untuk melihat kebenaran Tuhan yang tersimpan di dalam lembaran-lembaran hasil penelitianku. Aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku meminta maaf dan sekaligus menaikkan ucapan syukur di hadapan Tuhan. Aku meminta pengampunan dari Tuhan karena memandang sebelah mata terhadap pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh para pemimpin kelompok kecil di gereja. Di benakku, kebenaran Tuhan itu hanya ada di dalam Alkitab dan buku-buku teologi yang ditulis oleh para sarjana Alkitab. Namun, aku melupakan bahwa Tuhan juga dapat menyatakan kebenaran-Nya melalui para jemaat awam yang melayani di gereja. Lagipula, para pemimpin kelompok kecil ini adalah orang-orang yang bukan hanya “tahu” Amanat Agung Yesus, tetapi mereka juga adalah “pelaku” dari firman tersebut. Dengan penuh dedikasi, mereka memuridkan saudara-saudara seiman untuk menjadi murid-murid Kristus.

Di kemudian hari, ketika aku merenungkan bagian pendahuluan dari Injil Lukas (Luk. 1:1-4), aku kembali disadarkan bahwa Injil tersebut disusun oleh seorang peneliti lapangan yang mengumpulkan data melalui metode kualitatif. Lukas menyelidiki keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi mata Injil. Mereka pasti bukan hanya para rasul yang 24 jam melayani bersama Yesus. Para saksi mata ini mungkin adalah salah satu dari lima ribu orang yang pernah diberi makan oleh Yesus dengan lima roti dan dua ikan. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang yang pernah disembuhkan oleh Yesus dari sakit penyakit. Ada kemungkinan, salah satu saksi Injil ini adalah wanita yang pernah diampuni dosanya oleh Yesus. Kita memang tidak mengetahui identitas dari mereka yang menjadi sumber informasi bagi Lukas. Namun, dengan ilham (baca: inspirasi) yang diberikan oleh Roh Kudus, Lukas telah membukukan sebuah Injil dari penuturan para saksi mata ini, sehingga kita dapat mengetahui kebenaran Allah.

Kawan, aku bersyukur atas anugerah Tuhan yang telah menyatakan kebenaran-Nya kepadaku melalui sebuah riset. Aku juga berterima kasih kepada Dia yang mengizinkanku untuk melihat karya-Nya yang tidak berkesudahan di dalam komunitas orang percaya. Aku bersukacita kalau aku bukan hanya sekadar menyelesaikan riset ini karena tuntutan akademis, tetapi aku beroleh kesempatan untuk mengenal Tuhan dengan semakin dalam.

Bagaimana dengan kamu, kawan? Sudahkah kamu merasakan karya pemeliharaan Tuhan yang tidak berhenti tercurah di dalam hidupmu? Adakah kamu melihat kebenaran-Nya yang disingkapkan dalam hidupmu? Aku berdoa, kiranya Tuhan membuka hatimu untuk melihat dan merasakan kasih dan kebenaran-Nya di dalam hidupmu.

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Oleh Jefferson, Singapura

Dalam pekerjaanku sebagai konsultan lingkungan hidup, aku sering melakukan kerja lapangan di berbagai habitat. Survei lingkungan ini umumnya dilakukan di siang hari, tapi baru-baru ini aku mendapat kesempatan untuk melakukan survei di malam hari.

Walaupun lingkup pekerjaan survei malam sama dengan survei siang—yaitu mengamati hewan dan tumbuhan apa saja yang ada di lokasi—perbedaan dalam hal pencahayaan memberikan kesan yang amat berbeda. Di siang hari, aku merasa jauh lebih aman karena dapat mengamati sekelilingku dengan jelas sehingga dapat mengantisipasi ancaman hewan liar, cuaca, maupun dahan jatuh dengan baik. Sebaliknya, di malam hari aku jauh lebih waswas, menyorotkan senter ke berbagai arah untuk mengamati berbagai spesies nokturnal sekaligus memastikan aku aman dari bahaya apa pun.

Namun bukan alam saja yang membuatku gelisah ketika melakukan survei malam.

Sambil berjalan menelusuri salah satu rute pengamatan, seorang kolega menanyakan kesanku mengikuti survei malam untuk pertama kalinya.

“Kamu takut gak, Jeff?” tanyanya.

Aku mengangguk singkat.

“Terhadap ancaman natural atau supernatural?”

Aku termenung sejenak sebelum menjawab dengan enggan, “Keduanya.”

“Apakah kamu takut kegelapan?”

Sebagai orang Indonesia, seharusnya aku cukup akrab dengan situasi mati lampu. Cahaya malam Singapura juga seharusnya cukup kuat untuk menerangi hampir seluruh pelosok negeri. Belum lagi identitasku sebagai pengikut Kristus, Tuhan atas segala ciptaan, baik yang natural maupun supernatural. Mengapa aku masih takut kegelapan?

Setelah mengamatinya dengan lebih saksama, kegelapan malam waktu itu tidak terasa biasa buatku karena:

  • Kami sedang berada di tengah-tengah hutan di salah satu pojok pulau;
  • Waktu tercepat untuk keluar situs dari lokasi kami adalah sekitar 20 menit;
  • Ada banyak babi hutan dan anjing liar yang berkeliaran di hutan itu, yang kami ketahui dari survei siang;
  • Semua senter sedang dimatikan dan kami sedang berdiri sediam mungkin karena ingin mengecek apakah ada kunang-kunang di sekitar tempat itu; dan
  • Walaupun cahaya malam Singapura membantu mata beradaptasi terhadap kegelapan di sekeliling, kami tetap tidak dapat melihat lingkungan sekitar dengan jelas.

Menghadapi situasi seperti itu, aku percaya sebagian besar dari kita akan secara alamiah merasakan rasa takut, sekecil apa ketakutan itu. Indera-indera kita serasa dipaksa bekerja lebih keras untuk memastikan keamanan diri ini.

Di tengah-tengah kegelapan yang mencekam, menariknya aku secara sadar mengamati dan merenungkan kondisi ini dan bagaimana aku bereaksi terhadapnya. Aku tidak yakin mengapa aku menanggapinya demikian, sampai aku menengadah ke langit dan melihat bulan yang bersinar terang di atas langit, yang kuabadikan berikut:

Saat itu juga aku memahami apa yang Tuhan sedang ingin sampaikan padaku dalam kaitannya dengan Paskah yang akan kita peringati beberapa hari lagi. Semuanya itu terangkum dalam satu ayat yang mendadak bergema keras dalam benakku:

“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (Yesaya 9:1).

“Berjalan di dalam kegelapan”: pilihan Yehuda

Kamu mungkin heran dengan ayat yang kukutip di atas, yang umumnya lebih sering dibagikan dan dibahas di momen perayaan Natal. Tapi kalau kita mempertimbangkan latar belakang ayat ini dari perikop-perikop sebelumnya, kita dapat melihat jelas hubungan ayat ini dengan Paskah.

Di Yesaya 7, TUHAN memerintahkan Raja Ahas untuk meminta pertanda dari-Nya (7:11) setelah Ia menjanjikan akhir daripada musuh-musuh Yehuda—Kerajaan Aram dan Israel—yang menggetarkan hati seluruh rakyat Yehuda (7:2). Perintah ini Ia berikan untuk menguatkan iman Raja Ahas yang lemah, yang pada akhirnya benar-benar berpaling dari Tuhan dan bergantung pada Kerajaan Asyur untuk menghadapi ancaman Aram dan Israel (2 Raj. 16:1-9).

Namun, apa daya, Raja Ahas menolak belas kasihan Tuhan ini dengan menjawab, “Aku tidak mau meminta, aku tidak mau mencobai TUHAN” (ay. 12). Lelah terhadap ketidakpercayaan Raja Ahas (ay. 13), Yesaya menubuatkan kelahiran Imanuel sang Mesias yang akan terjadi setelah Aram dan Israel jatuh oleh tangan Asyur (ay. 14-16). Asyur sendiri akan menjadi ancaman yang lebih besar dari keduanya dan meruntuhkan Kerajaan Yehuda.

Pasal 8 menceritakan penggenapan nubuatan TUHAN ini: kelahiran Maher-Syalal Has-Bas anak Yesaya sebagai pertanda jangka pendek daripada akhir Aram dan Israel (ay. 1-4), Asyur yang akan datang menindas Yehuda (ay. 5-8), kemenangan sang Imanuel dan kehancuran musuh-musuh TUHAN di masa depan (ay. 9-10), dan panggilan kepada sisa Kerajaan Yehuda (ay. 16-18) untuk percaya dan bernaung di dalam TUHAN (ay. 11-15) di tengah-tengah kebobrokan bangsa yang meletakkan iman mereka pada roh-roh peramal dan orang-orang mati (ay. 19-20). Oleh karena pilihan mereka sendiri, bangsa pilihan Allah akan mengalami “kesesakan dan kegelapan”, di mana mereka akhirnya akan dibuang ke dalam kegelapan pekat (ay. 21-22).

Kalau pasal 8 berakhir di sana, siapa pun yang membaca pasti juga ikutan sesak menyaksikan nasib tragis Yehuda. Mereka yang adalah umat pilihan Allah berpaling dari-Nya dan memilih untuk percaya kepada ilah-ilah palsu. Di saat yang sama, TUHAN menjanjikan sisa orang-orang yang masih percaya kepada-Nya, tapi akankah mereka bertahan hingga kesudahannya di tengah dunia yang gelap?

Terang yang bersinar di tengah kegelapan

“Tetapi tidak selamanya akan ada kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu TUHAN merendahkan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka di kemudian hari Ia akan memuliakan jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain” (Yesaya 8:23).

Ayat terakhir dari pasal 8 tersebut memberikan sebuah plot twist dan mempersiapkan kita yang membaca untuk melihat Terang harapan di tengah kegelapan kelam (9:1). Sisa umat yang masih percaya kepada-Nya dilipatgandakan Allah menjadi sekumpulan besar yang menaikkan sorak penuh sukacita seperti waktu panen (9:2), kuk, gandar, dan tongkat penindasan dipatahkan-Nya (9:3), dan semua musuh Ia umpankan ke dalam api (9:4) melalui tangan sang Raja Damai, Imanuel (9:5).

Pendengar-pendengar pertama dari nubuatan—yang ditulis kira-kira 2800 tahun yang lalu— tentunya sudah tiada ketika Tuhan Yesus datang, mati di atas kayu salib, dan bangkit, tapi mereka merasakan langsung apa yang dimaksud Firman Tuhan dengan “kesesakan dan kegelapan”. Sambil merenungkan Yesaya 9:1 ketika survei malam, aku membayangkan kondisi penduduk Yehuda di zaman itu, yang malam harinya hanya diterangi bulan, lilin, dan api unggun. Tidak hanya kegelapan secara fisik, secara rohani mereka sedang mengalami suatu krisis. Kerajaan Aram dan Israel sedang bersekongkol untuk menghabisi mereka. TUHAN telah berbicara melalui nabi-Nya Yesaya, tetapi Raja Ahas menolak-Nya mentah-mentah dan menyiapkan siasat perlawanan dengan bergantung pada Asyur. Rakyat pun diperhadapkan dengan pilihan untuk tetap setia kepada TUHAN atau mengikuti kebebalan Raja Ahas.

Perenungan tentang pilihan respons penduduk Yehuda di masa lampau ini lalu membawaku untuk merenungkan pilihan respons manusia di masa kini terhadap pesan yang Allah sampaikan dalam Firman-Nya yang melewati batasan ruang dan waktu. Kita mengetahui bahwa kira-kira 800 tahun setelah dinubuatkan, jauh setelah Aram dan Israel “ditinggalkan kosong” (7:16), pertanda yang ditolak oleh Raja Ahas benar-benar datang sebagai anak laki-laki dari seorang perawan (7:14). Terang ilahi itu sendiri, oleh karena kasih-Nya kepada umat ciptaan-Nya yang selama ini hilang dalam kegelapan, memutuskan untuk menjadi sama seperti kita dan tinggal di antara kita. Kegelapan yang telah menguasai bumi sejak lama pun berusaha melenyapkannya dengan menyalibkan-Nya di atas kayu salib, tetapi Ia bangkit tiga hari kemudian sebagai Raja Damai yang mengalahkan kegelapan. Dunia ini masih gelap, tetapi layaknya bulan yang bersinar terang dan memberikanku sedikit rasa aman di malam aku melakukan survei, Terang Kristus bersinar cemerlang dan menyatakan kebenaran yang memberi pengharapan: Realita sebenarnya adalah diri-Nya, bukan kegelapan. Walaupun sekeliling kita gelap dan membuat kita terdisorientasi dan takut, selama kita membuka mata lebar-lebar dan memfokuskan diri kepada Tuhan Yesus, kita dapat hidup di dalam damai sejahtera-Nya yang tidak akan berkesudahan (9:6).

Merangkul atau menjauhi Terang: pilihan kita(?)

Sebuah kutipan populer berbunyi demikian, “Terang bersinar paling cemerlang di tengah-tengah kegelapan yang paling pekat.” Di momen Paskah di atas kayu salib sekitar 2000 tahun yang lalu, kalimat itu mengambil wujud nyata dalam pribadi Kristus yang tergantung di atas kayu salib dan bangkit tiga hari kemudian untuk menyatakan kemuliaan Allah di tengah kegelapan dunia yang telah dicemarkan dosa.

Inilah Terang itu, Terang yang menghangatkan, memberi pengharapan, dan melenyapkan segala kegelapan di dalam dan di luar diri manusia. Terang itu selalu ada di sekeliling kita. Bahkan, di tengah-tengah wabah COVID-19 yang membuat kegelapan dunia terlihat lebih pekat, Terang itu terlihat bersinar lebih cemerlang. Tuhan Yesus bukanlah solusi langsung atas segala permasalahan yang kita hadapi, tetapi Ia “adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah” (2 Kor. 1:20). Melalui karya kematian dan kebangkitan-Nya, setiap janji Allah telah digenapi sehingga “segala sesuatu [termasuk wabah COVID-19 ini] mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28).

Pertanyaannya adalah, apakah kita mau membuka mata dan merangkul realita Terang itu, atau menjauhi-Nya seperti Raja Ahas? Apakah kita mengasihi Kristus sang Terang dan hidup dalam kepatuhan kepada-Nya sebagai Tuhan kita, atau menolak Kristus dan memilih untuk hidup dalam kegelapan, menyembah hal-hal yang bukan Allah seperti kebanyakan rakyat Yehuda di zaman Raja Ahas?

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Saat Ibadah Menjadi Online, Apakah Hati Kita Connect pada Tuhan?

Ketika peribadahan berubah menjadi online, muncul pro dan kontra. Namun, kiranya kita bisa melihat fenomena tak sebatas boleh dan tidak.

Yuk baca artikel ini.

Jika Firman Allah itu Hidup dan Berkuasa, Mengapa Tidak Terjadi Apa-Apa Saat Aku Membacanya?

Penulis: Sheila May

benarkah-firman-hidup-dan-berkuasa

Adakalanya hari bisa menjadi sangat berat.

Entah bagaimana, masalah-masalah seolah bersepakat untuk berkumpul di dalam hidupku. Aku tidak melihat ada jalan keluar, semua terasa buntu. Dalam keadaaan yang begitu kacau, aku membuka Alkitab dan sangat berharap mendapat kekuatan. Mataku tertuju pada Yesaya 40:31.

Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”

Aku merasa seperti sedang berdiri dengan setumpuk permasalahan di pundakku, lalu tepat di hadapanku, ada sebuah papan besar bertuliskan ayat ini. Firman yang sangat indah! Aku membacanya sekali….

Kekacauan itu masih tinggal di kepalaku.

Aku membacanya sekali lagi…

Kepenatan itu masih melekat di hatiku.

Aku membacanya lagi… lagi… dan lagi… Tidak ada yang terjadi. Masalahku masih pada tempatnya.

Aku tertawa keras di dalam hati. Rajawali yang naik terbang? Berlari dan tidak menjadi lesu, berjalan dan tidak menjadi lelah? Aku tidak dapat membohongi diriku sendiri, yang kurasakan adalah sebaliknya.

Sebuah pertanyaan melintasi pikiranku, “Jika firman Allah itu hidup dan berkuasa mengapa tidak terjadi apa-apa saat aku membacanya?”

Aku duduk dan terdiam, berusaha mengorek-ngorek isi hatiku yang terdalam. Jika firman Allah tak pernah salah, itu berarti ada yang salah dengan diriku. Apa yang sebenarnya aku harapkan saat membaca Alkitab?

Tiba-tiba aku mengendus aroma busuk dalam hatiku. Aku tersadar, aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan apa yang ingin Allah sampaikan melalui firman-Nya. Aku hanya ingin masalah-masalah yang ada segera terselesaikan dan tidak menganggu hidupku lagi. Firman Allah baru kuanggap “hidup dan berkuasa” jika keinginanku itu terpenuhi. Pertanyaan awalku tadi sebenarnya berbunyi: Jika firman Allah itu hidup dan berkuasa, mengapa masalahku tidak selesai saat aku membaca firman-Nya? Mengapa lama sekali masalah ini ada di hidupku? Mengapa?

Papan besar berisi ayat Alkitab dari Yesaya 40:31 itu masih terpampang jelas di hadapanku. Namun, di bawahnya kini muncul sebuah ayat yang lain.

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16).

Roh Kudus membuat pikiranku terang benderang. Jelas sekali firman Allah tidak ditujukan untuk memenuhi keinginanku, tetapi untuk memperbarui keinginanku. Firman Allah tidak diberikan untuk mengubah situasi hidupku, tetapi untuk mengubah responsku terhadap situasi.

Firman Allah hidup dan berkuasa. Sanggup membersihkan sampah busuk di sudut hati yang menghalangiku melihat kebaikan Allah di tengah segala masalah yang melanda. Allah mengizinkan aku menghadapi masalah demi masalah dalam perjalanan hidupku, bukan karena Dia tidak peduli atau karena Dia tidak berkuasa. Dia mau aku bertumbuh dalam kebenaran dan firman-Nya akan menolongku dalam perjalanan itu!

Hari-hariku masih kerap terasa berat. Namun, kini aku mendapatkan kekuatan baru. Masalah-masalahku masih ada pada tempatnya. Namun, kini pandanganku tidak lagi dibatasi oleh semua itu. Seperti “rajawali yang naik terbang” ke tempat yang lebih tinggi, kini aku dapat melihat jauh ke depan, melampaui masalah-masalahku. Melihat tujuan Allah yang sedang mengajarku, mengoreksi kesalahanku, memperbaiki sikap-sikapku, dan mendidikku dalam kebenaran, dengan firman-Nya yang hidup dan berkuasa. Sebab itu, aku mau terus melangkah maju dan tidak berdiam dalam lesu. Masalah sebesar apa pun tidak bisa membuatku berada di luar genggaman tangan Allah.