Posts

Kehilangannya, tapi Menemukan-Mu

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

Rintik hujan sore itu mengingatkanku akan kejadian tepat satu minggu lalu. Rasanya seakan baru kemarin kejadian itu berlangsung. Sangat cepat, dan tanpa basa-basi. Aku duduk di bingkai jendela kamar kosku. Titik-titik hujan di kaca jendela terasa menenangkan. Di luar hujan deras dan orang-orang tampak berlarian di jalanan meskipun mereka memegang payung di tangan.

Aku menghembuskan napas. Menyisakan kabut tipis di kaca jendela.

Seminggu lalu, aku berhenti bekerja. Maksudku, aku diberhentikan dari pekerjaanku. Yahh, aku sekarang pengangguran.

Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta yang cukup besar di kota ini. Aku belum terlalu lama bekerja di tempat ini namun aku bersyukur mendapat posisi yang cukup baik di tim audit perusahaan ini. Aku mendapat rekan kerja yang ramah dan dapat diandalkan, serta gaji yang cukup besar. Namun setelah beberapa waktu, aku kemudian mulai mengerti banyak hal yang seharusnya tidak begitu.

Kali pertama—setelah beberapa waktu, aku bertugas menyusun laporan keuangan. Aku menyadari terdapat perbedaan nominal pada laporan keuangan yang aku susun dengan laporan keuangan yang kami bahas dalam rapat akhir bulan, tapi aku mengira aku yang mungkin salah dalam membuatnya dan Kepala Tim berbaik hati memperbaikinya.

Kali berikutnya kami diminta menambahkan sesuatu ke dalam daftar uang keluar, yang sebenarnya kami semua tahu kami tidak pernah mengeluarkan dana untuk sesuatu itu.

Hal itu terjadi berulang kali hingga suatu waktu aku merasa perlu untuk mengonfirmasinya pada ketua tim.

Dan, tebak apa yang dikatakan padaku?

“Andini, kinerja kamu selama ini saya perhatikan cukup bagus, kamu tidak begitu banyak bicara tapi laporan yang kamu buat teliti dan akurat. Jadi tugas kamu adalah tetap melakukan apa yang sudah kamu lakukan selama ini. Setiap laporan yang telah saya terima adalah tanggung jawab saya untuk mengelolanya. Saya senang memiliki kamu di tim ini, mungkin tahun depan kamu sudah bisa mendapat promosi.” Katanya dengan lembut dan senyuman yang manis. Hatiku mencelos, lalu dengan kikuk keluar dari ruangannya.

Itu bukan kali pertama aku melakukannya. Beberapa waktu kemudian aku melakukannya lagi dan mulutku langsung ditutup dengan beberapa kalimat yang menyuruhku untuk segera keluar.

Suatu waktu ketika makan siang bersama dengan rekan kerja yang lain, aku menyampaikan hal itu kepada mereka. Dan apa yang kudengar dari mereka tidak begitu berbeda.

“Itu hal yang lumrahlah di lingkungan kerja seperti kita ini, Din! Kita tahu sama tahu saja. Yang penting kan tidak merugikan kita, gaji kita lancar, kerjaan kelar, bonus besar. Simple kan?”

Aku terdiam mendengarnya. Sementara yang lain mengangguk-angguk setuju.

Aku menghembuskan napas berat. Tampaknya aku sendirian.

Beberapa waktu aku membiarkan hal itu terus terjadi dan aku mulai mengikuti arus yang ada. Aku lelah berkoar-koar tentang hal itu sementara yang lain tampak tidak terusik sama sekali. Aku berusaha menjalani hari-hari kerja dengan menutup mata dan telingaku akan hal-hal seperti itu. Aku hampir nyaman menjalaninya dan memang menyenangkan ketika hidup ini berjalan dengan mulus.

Malam hari di hari Rabu minggu lalu, aku pulang dengan perasaan tidak nyaman. Aku benar-benar gelisah. Aku tahu sesuatu sedang tidak beres dalam caraku menjalani pekerjaanku dalam beberapa waktu terakhir ini tapi aku berpura-pura dan mengabaikannya. Aku tahu Tuhan memerintahkan aku menyatakan kebenaran tapi aku terlalu takut. Besok akan ada rapat akhir bulan seperti biasa dan harusnya ini kesempatan yang baik untukku mencoba menyampaikannya. Aku mulai menyusun skenario-skenario di kepalaku, beserta kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.

Aku menghembuskan napas, lalu mengambil suatu keputusan.

Keesokan paginya, aku pun mengangkat tangan dan mengutarakan semuanya. Dan, cepat saja. Tidak perlu waktu lama dan basa-basi semuanya terjadi.

Aku pulang siang itu dan aku terduduk di ujung tempat tidur, tertegun, dan aku mulai menangis.

Mengapa aku harus berada di lingkungan kerja yang seperti ini? Megapa aku harus menyatakan kebenaran sementara orang lain tampak menikmatinya? Selama ini aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan pekerjaan ini dan aku memang takut kehilangannya. Aku takut tidak akan mendapatkan pekerjaan seperti ini lagi. Aku ragu untuk menjalani hidup tanpa kepastian akan pekerjaan dan penghasilan yang baik. Aku menginginkan hidup aman dan mulus. Sekarang bagaimana aku akan menjalani hidup? Aku.. tampaknya aku ragu akan pemeliharaan-Mu.

Tapi malam itu aku mulai tersadar.

Kalau hidup selalu berjalan mulus, kapan aku belajar bergantung pada-Mu?

Kalau aku selalu berada di lingkungan yang baik-baik saja, kapan aku punya kesempatan untuk menyaksikan-Mu?

Kapan aku punya kesempatan untuk mengakui eksistensi-Mu dalam setiap musim hidupku?

Kapan lagi aku belajar untuk tetap berpengharapan sekalipun rasanya tidak ada lagi harapan?

Aku akhirnya tersenyum dan merasa lega. Kehilangan pekerjaan memang menyakitkan, tapi tidak sebanding dengan sukacita karena menemukan wajah-Nya yang penuh kasih.

Dan, di sinilah aku. Yahh satu minggu ini di cukup menyenangkan juga, satu minggu untuk melakukan hal-hal yang disukai, mencoba hal-hal baru, beristirahat. Sebelum esok harus mulai berburu lowongan pekerjaan lagi.

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatila dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2).

Podcast KaMu Episode 15: Jatuh Bangun Mencari Panggilan Tuhan

Menemukan panggilan hidup tak selalu jadi perjalanan yang mudah, termasuk buat Yeshua Abraham. Ada fase-fase ketika dia patah semangat, juga kebingungan apakah hobi dan passionnya dalam dunia musik itu selaras dengan kehendak Tuhan atau tidak.

Namun, ada satu kunci yang menjadikan perjalanan mencari panggilan hidup itu berbuah, yakni KETAATAN.

Saat kita taat, berarti kita ikut mengimani bahwa apa yang Tuhan rancangkan tidak akan gagal. Tuhan ingin kita melewati proses demi proses supaya kita mengalami kepuasan di dalam Dia dan menjadi berkat buat sesama kita.

Sebuah Pengingat Mengapa Aku Diutus Pergi Jauh

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan

“Kamu yakin bakalan pergi? Gak usah muluk-muluk lah soal hidup. Bapak rasa kamu belum semandiri itu selama ini. Tapi, kalau kamu memang mau pergi sejauh itu, jangan sampai nanti kamu nyusahin orangtua atau diri sendiri.”

Mendengar kata-kata itu, aku merasa seakan duniaku runtuh. Rasanya sakit sekali tidak didukung oleh orang tuaku, dan aku merasa mereka tidak mengenalku. Padahal aku sudah berusaha memperbaiki hidupku selama beberapa tahun terakhir sejak aku menerima Yesus.

Belum lagi perkataan dari teman-teman dan keluargaku lainnya yang turut menyakiti hatiku.

“Gue shock sih, dengar kabar kalau lo tiba-tiba mau pergi ke sana dengan alasan mau melayani. Soalnya lo aja masih sering banyak ngeluh. Yakin lo, San?” Dia adalah salah seorang teman yang sudah cukup lama kukenal.

“Eh! Kata Ibu, Santi mau ikut volunteer tenaga medis ke Pedalaman ya? Pelayanan sih pelayanan San. Tapi, kamu yakin? Bukan cuma mau eksplor tempat aja, nih? Katanya pulau itu cantik, sih. Jangan sampai setengah-setengah lho, takutnya nanti ngerepotin keluarga.” Demikian ucapan bibiku yang datang ke rumah untuk membicarakan hal itu, tanpa basa-basi.

Belum saja aku pergi, sudah banyak kata-kata yang bukan berupa dukungan, melainkan kata-kata yang membuatku harus menahan air mata di depan mereka.

Kupikir tidak ada yang akan mendukungku. Namun, ada satu sahabat yang mendukungku, yang percaya kalau aku tidak salah dengan apa yang sedang kurasakan—tentang bagaimana Tuhan memang memanggilku melayani sebagai volunteer di daerah itu. Dia adalah Konnang.

“Gapapa San. Wajar kok semua orang, bahkan orang tuamu tidak mendukungmu. Kan memang tidak banyak orang yang dipanggil atau dipilih Tuhan untuk pelayanan seperti ini. Restu orang tua memang penting, tapi kalau suara Tuhan untuk kamu pergi lebih kuat, percayalah Tuhan akan membuktikan kalau Dia sendiri yang akan turun tangan untukmu.”

Kata-kata itu membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah dengan keputusanku.

Itulah sekelumit pergumulan yang kuhadapi sebelum keberangkatanku mengikuti apa yang jadi panggilan hatiku. Namaku Santi. Aku seorang tenaga medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di kotaku. Tapi suatu hari, aku memutuskan berhenti untuk ikut sebuah pelayanan misi di sebuah pulau, tepatnya di suatu tempat terpencil di Indonesia. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.

Dulu, kehidupan sebagai orang Kristen memang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang jemaat yang rajin ke gereja dan jarang terlibat dalam kepengurusan pelayanan. Tapi, pertemuanku dengan Yesus beberapa tahun lalu adalah alasan yang membuatku mengambil keputusan ini. Sejak hari itu, ada dorongan di hati untuk lebih peduli dan lebih aktif di beberapa kegiatan rohani yang kuyakin pastilah itu buah dari mengenal-Nya.

“Tapi, pertemuan dengan Yesus sekalipun tidak membuat kita langsung berubah 100%. Begitu pun dengan pandangan orang lain soal hidup kita yang lama, San,” tambah Konnang.

Karena ucapan itu, aku sedikit lebih lega untuk menanggapi kalimat-kalimat yang belakangan ini aku dengar dari orang-orang yang sebenarnya kuharapkan untuk mendukungku. Mereka tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga benar untuk langsung menghakimiku lebih dulu.

Akhirnya, dengan restu setengah hati dari orang tuaku, aku berangkat.

Aku pun sampai di sebuah pulau yang penduduknya sama sekali tidak terlalu mengenal kecanggihan teknologi dan modernisasi kota. Kutatap mereka semua yang menyambut kedatangan timku. Saat itu hatiku bergetar, seakan berkata “inilah jawaban mengapa aku pergi.”

Lusuh, kumuh, kurang gizi, dan tanpa alas kaki. Seperti kurang diurus. Namun, senyum mereka seakan menyampaikan harapan bahwa kedatangan kami membawa dampak yang berarti buat hidup mereka.

Hari-hari di sana tidak mudah untuk kulalui. Jatuh bangun kualami, namun aku tetap kuat bertahan menyelesaikan sebuah misi yang sudah Tuhan percayakan ini. Tempat untuk mengobrol selain Tuhan, tetaplah Konnang, sahabatku yang Tuhan kirimkan untuk menemani perjalanan kisah ini. Dan Konnang tidak pernah melupakanku, sekalipun aku pergi ke tempat terpencil ini.

“Halo! Selamat Tahun baru, ya! Gak kerasa banget kita udah dua tahun gak ketemu, San. Apa ceritamu kali ini? “ tanya Konnang tanpa basa-basi mengawali pembicaraan kami.

“Selamat tahun baru, Konnang!” Aku menjawabnya dengan semangat. “Iya, ya. Gak kerasa aku udah dua tahun di sini, dan sisa waktuku sebagai volunteer tinggal enam bulan lagi. Tapi, tau gak sih, Nang, kadang aku masih belum percaya kalau aku bisa sampai di tahap ini. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, aku pasti udah pulang sejak lama. Tapi, pengharapan itu emang jadi alasan yang mengalahkan semua kekhawatiran dan ketakutanku, Nang. Dan buahnya, semakin hari aku merasa semakin kuat.”

Begitu jawabku. Aku pun menyadari, semakin banyak kata-kata bijak yang dapat kuucapkan, dan aku tahu kata-kata itu lahir dari semua pengalamanku ini.

“San, tau gak apa yang paling menarik dari kisahmu? Dulu, aku bilang ke kamu biar Tuhan yang membuktikan kalau Dia yang akan turun tangan dalam perjalananmu. Waktu itu aku hanya menyemangatimu untuk mengambil keputusan. Tapi, rasanya sekarang aku makin mempercayai hal itu buat hidupku, sekalipun pasti perjalanan ceritaku dan ceritamu berbeda.”

Ya, benar! Apa yang Konnang katakan sungguh benar.

Enam bulan kemudian, aku pulang ke kampung halamanku. Masa melayaniku di tempat terpencil itu sudah habis.

Dan ketika aku baru saja sampai di bandara kota tempat tinggalku, keluarga dan orang-orang yang kurindukan langsung memelukku dengan hangat. Air mata mereka pun turut membasahi baju putih yang kukenakan hari itu. Mereka menyambutku dengan sangat hangat. Dan aku bersyukur, mereka juga bangga atas apa yang telah kulakukan.

Bertahan dan bermegah dalam kesengsaraan memang tidak mudah, tapi ketaatan dan ketekunan akan menjadikan kita berpengharapan. Dan pengharapan dalam Yesus tidak mengecewakan.

Terima Kasih Yesusku, karena Engkau menjadi pembelaku. Karena Engkau juga, aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.

Malam itu, seperti biasanya aku menulis. Kututup buku journey-ku dengan kalimat itu sambil tersenyum bangga mengingat kasih setia-Nya yang tidak pernah ada habisnya.

Hidup Kekristenan Itu Seperti Lari Estafet, Bukan Lari Cepat

Oleh Philip Roa

Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Christian Life is a Marathon not a Sprint

Gerejaku selalu mengawali setiap tahun dengan berdoa dan berpuasa. Inilah momen yang dinantikan oleh sebagian besar jemaat. Kami saling bertanya tentang apa pokok doa yang ingin didoakan. Salah satu topik yang paling sering kudengar adalah keinginan untuk punya relasi yang lebih intim dengan Tuhan. 

Tapi, bagaimana caranya kita lebih mendekat pada Tuhan dengan cara yang lebih konsisten? Bukan sekadar konsep “new year, new me” yang biasanya menguap setelah sebulan atau bahkan seminggu.

Jawabannya adalah bagaimana kita membangun suatu kebiasaan. Ketika kita menetapkan tujuan, kita sering membayangkan hasil akhirnya tanpa berpikir bagaimana membangun langkah-langkah kecil dan pondasi supaya bisa mencapai ke sana. Kadang tanpa kita sadari, kita mencari jalan pintas yang lebih cepat. Namun, jika tujuan kita adalah ingin mendekat pada Tuhan, maka ini bukanlah tentang hasil akhir semata. Ini adalah tentang relasi, perjalanan sepanjang hidup yang harus kita jalani dengan tekun setiap harinya. 

Ada satu kutipan yang cukup terkenal, “Kehidupan rohani itu seperti lari estafet, bukan lari cepat.” 

Inilah beberapa pondasi dasar yang telah kudapat selama bertahun-tahun yang selalu kuingat setiap kali aku berpikir tentang bagaimana mendekat pada Tuhan:

Usahakan untuk selalu meluangkan waktu

Di zaman ketika orang-orang ingin kepuasan instan, cara kita mengharapkan pelayanan yang cepat dari restoran fast-food atau kedai kopi bisa saja mempengaruhi cara kita berelasi dengan Tuhan. Kita mungkin mendekati-Nya seperti kita meminta seorang barista menyajikan kopi kita dengan sempurna. 

Di awal perjalanan imanku, aku diajari bahwa Tuhan adalah kawan dan sumber berkat, yang membuatku berfokus pada apa yang bisa kudapat dari-Nya. Pola pikir ini mempengaruhi juga bagaimana aku bersaat teduh. Aku akan membaca ayat dan renungan secara cepat, lalu berdoa dengan kalimat pembuka “Tuhan terima kasih buat hari ini” dilanjutkan dengan daftar permintaan. 

Singkatnya, Tuhan bukanlah sosok yang aku rindukan untuk meluangkan waktu bersama. Dia hanya kuhampiri untuk memenuhi kebutuhanku. 

Dengan pertolongan pembimbing rohani beberapa tahun setelahnya, aku pun punya pemahaman yang lebih baik tentang relasi bersama Tuhan dan betapa pentingnya meluangkan waktu bersama-Nya. Seperti relasi dengan manusia yang kita upayakan, relasi dengan Tuhan pun perlu dipelihara secara sadar dengan berusaha dan meluangkan waktu. 

Dalam Yohanes 1:1-3, Yesus yang adalah Allah pun meluangkan waktu bersama Bapa Surgawi. Injil mencatat banyak peristiwa ketika Yesus secara sengaja menarik diri dari kerumunan untuk menyendiri bersama Allah (Matius 14:23, Markus 1:35, Lukas 6:12). 

Lebih dari sekadar meluangkan waktu, Yesus menunjukkan pada kita bagaimana Dia meluangkan waktu lewat doa (Matius 6:9-13; 26:36-44). Apa yang menjadikan doa Yesus berbeda adalah Dia memprioritaskan kehendak Bapa di atas segalanya. 

Seperti Yesus, kita pun harus meluangkan waktu bersama Bapa supaya kita dapat mengenal hati-Nya, supaya kita memprioritaskan agenda-Nya (Yohanes 4:34). 

Aku selalu ingat apa yang pembimbing rohaniku bagikan beberapa tahun lalu: “Jika sesuatu penting buatmu, kamu tidak mencari waktu, tapi kamu menciptakan waktu buatnya.” Pemahaman ini mengubah pandanganku tentang saat teduh bersama Tuhan dan menolongku untuk memutuskannya menjadi aktivitas pertamaku di pagi hari. Tuhan layak kita utamakan, dan aku tak dapat memberi-Nya perhatian, penyembahan, dan pengabdian, jika yang kupersembahkan hanyalah sisa-sisa waktuku saja. 

Seiring aku mempelajari Alkitab, aku belajar untuk berusaha lebih mengerti konteks dari suatu ayat dan mengerti bagaimana orang-orang dalam Alkitab memahami Allah. Dari sinilah aku melihat bahwa Tuhan itu adil dan kudus, juga murah hati dan berbelas kasih. Semakin aku mengerti siapa Tuhan, semakin aku termotivasi untuk memprioritaskan Dia di hidupku. 

Merenungkan ayat atau bacaan

Yosua 1:8 memberitahu kita untuk merenungkan firman Tuhan supaya kita bertindak hati-hati dan mengalami berkat dari ketaatan. Untuk merenungkan, membutuhkan waktu yang disiapkan secara khusus dan kesiapan mental supaya kita bisa berpikir lebih dalam tentang apa yang kita baca.

Merenungkan firman Tuhan mungkin tak masuk prioritas ketika segala sesuatu telah menyita perhatian kita. Hal yang bisa menolong adalah menciptakan waktu-waktu luang dari waktu-waktu jeda atau kosong di dalam keseharian. Semisal, saat aku sedang naik angkutan umum ke tempat kerja atau saat jam istirahat aku merenungkan apa yang kubaca di pagi harinya. Aku juga mencoba menemukan tempat heningku sendiri. Aku mematikan notifikasi HP, atau kadang aku membawa Alkitab untuk membaca ulang perikop dan menelaah kembali kata-kata kunci yang kutemukan menarik. 

Tapi, bagaimana jika kamu adalah orang yang tidak bisa diam dan pikiranmu suka melayang ke mana-mana? Aku tahu beberapa orang yang seketika saja melamun saat badannya menempel di kasur. 

Sejauh ini aku merasakan bahwa berseru pada Allah (tentu di tempat yang tersembunyi) menolongku untuk berfokus. Ketika kusadari pikiranku mulai melantur, aku akan berseru pada Tuhan. Aku akan menceritakan bagaimana hari-hariku, atau apa yang membebaniku, yang sedang aku gumulkan, atau apa pun yang melayang di pikiranku. Hal yang sama juga kulakukan saat membaca Alkitab. Membaca dengan bersuara menolongku lebih konsentrasi. 

Satu bacaan yang kurenungkan terambil dari Matius 28:18-20 yang juga jadi perikop kunci buat gerejaku. Aku melihat bagaimana Yesus memberikan otoritas pada ayat 18 sebelum Dia memberikan perintah di ayat 19 dan 20. Penting buat para murid-Nya untuk mengerti bahwa otoritas untuk mengajar datang dari Kristus supaya mereka sadar bahwa inilah perintah, bukan sekadar saran. 

Seiring aku merenungkan implikasi dari perintah ini, aku memahami bahwa sebagai orang Kristen tugasku bukan sekadar datang ibadah di gereja. Tapi sebagai murid Kristus yang aktif, tugasku adalah membawa orang-orang datang pada-Nya. Dan, jika aku harus mengajar orang lain untuk taat, maka aku perlu memahami sendiri apa artinya menjadi taat. 

Pada akhirnya, Yesuslah yang memberikan misi kepada para murid sebagai sebuah kelompok di mana mereka melakukan misi ini bersama-sama. Aku pun dipanggil untuk melakukaan ini bersama dengan saudara saudariku dalam Kristus. 

Apa yang Alkitab katakan

Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku”

Mudah untuk menggambarkan keintiman bersama Tuhan sebagai sekadar meluangkan waktu bersama-Nya dan merenungkan firman-Nya, padahal ada yang kita lupakan: ketaatan. Alkitab mengatakan bahwa menjadi kawan sekerja Allah (tentunya ini relasi yang akrab) berarti kita menaati dan mengikut Dia (Yohanes 15:13-15).

Kaitan antara ketaatan dengan keintiman selalu mengingatkanku akan kisah Abraham, Musa, dan Maria. Ketika Abraham menaati panggilan Allah untuk pergi dari kampung halamannya, dia melihat bagaimana Allah melindungi dan mencukupi dia. Allah memberkati Abraham dengan memberinya Ishak di usia senjanya. Setelah Musa menaati panggilan Allah untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, dia menyaksikan pekerjaan Allah melalui tulah, laut Teberau terbelah, dan berkat-berkat lainnya selama masa pengembaraan. Maria pun menaati Allah ketika dia dipanggil untuk menjadi ibu dari Yesus. Melalui Maria, nubuatan Perjanjian Lama pun tergenapi. 

Dari ketaatan ketiga tokoh itu, mereka diberkati dan merasakan kebaikan Tuhan buat diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka. 

Dalam kehidupan pribadiku, aku mengalami sendiri bagaimana keintiman dengan Tuhan melibatkan juga upayaku untuk melatih iman. Aku menaati Tuhan dengan mengambil langkah yang Dia tetapkan buatku dan mempercayai-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu pada waktu-Nya. 

Dari perenunganku di Matius 18:18-20, aku bisa melihat bagaimana sulitnya memuridkan orang lain. Itu butuh pengorbanan besar. Aku perlu mengorbankan waktu-waktuku dalam setiap minggunya untuk menjangkau orang lain daripada cuma berdiam di kamar bermain gim atau membaca buku. 

Tapi, aku juga tahu bahwa membaca dan merenungkan firman Tuhan akan jadi sia-sia jika aku tidak taat. 

Jadi, aku pun menerima panggilan menjadi ketua komsel. Meskipun perjalananku tidak selalu lancar, 12 tahun ke belakang sungguh memuaskan, bagaimana aku, seorang lelaki muda mengenal dan mengasihi Allah. Menjadi seorang pemimpin juga menolongku untuk bertumbuh sebagai pengikut Kristus. Itu memotivasiku untuk bertanggung jawab atas kepemimpinanku dan anggota kelompokku. Aku telah melihat akan pentingnya tergabung dalam komunitas karena itulah yang akan menghibur, menegur, dan menguatkan satu sama lain. 

Menjadi intim dengan Tuhan bukanlah sekadar resolusi atau pokok doa ketika orang-orang bertanya apa yang jadi target rohaniku. Keintiman itu bisa diraih jika kita mengejarnya secara aktif. Meskipun terasa berat untuk keluar dari zona nyaman, mengenal Tuhan dengan dalam sungguhlah berkat dan hadiah yang indah.

Tentang Keinginan Kita dan Jawaban Tunggu

Oleh Hilary Charletsip
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Won’t God Give Me What I Want?

Lima menit.

Hanya dalam lima menit, aku bisa memesan segelas kopi, mendapatkannya, lalu mencium aromanya yang harum, dan menyeruput macchiato caramel yang enak itu.

Dalam lima menit juga, aku dapat mencari sebuah barang secara online, menambahkannya ke keranjang, membayarnya, dan menerimanya esok hari.

Kalau aku ingin menonton acara favoritku? Tinggal buka Netflix.

Kita tentunya punya banyak keinginan, tak cuma tentang barang fisik yang dapat dibeli. Keinginan kita juga berkaitan pada hal-hal yang tak berwujud yang kita capai dalam hidup— harapan, impian, dan permohonan doa kita kepada Bapa yang baik

Aku ingin menikah.
Aku ingin liburan.
Aku ingin…. Ini itu banyak sekali.

Kalau aku sendiri, sejujurnya aku hanya ingin satu hal karena ini yang terus menerus dikatakan orang buatku. Apakah aku siap duduk di belakang meja selama 40 jam seminggu sampai 30 tahun ke depan? Sama sekali tidak. Tapi, itulah yang akan dilakukan oleh seorang mahasiswa yang baru lulus.

Di tahun terakhir kuliahku, aku magang di sebuah perusahaan yang menawariku pekerjaan full-time, lengkap dengan fasilitas tunjangan. Aku bahkan tidak perlu wawancara. Tapi, lewat obrolan dengan orang-orang dewasa, doa, dan sedikit rasa ragu, aku tahu aku tidak akan cocok bekerja di situ seterusnya. Kutolak tawaran itu tanpa punya rencana cadangan, tapi aku percaya Tuhan akan menolongku.

Namun, berbulan-bulan setelah aku menolak tawaran kerja itu, hatiku merasa aku salah ambil keputusan. Semakin aku berdoa supaya dapat pekerjaan tetap, semakin aku tahu kalau usahaku belum akan membuahkan hasil dalam waktu dekat. Satu lamaran mengarahkanku ke lamaran lainnya tanpa proses wawancara, sementara perusahaan yang aku dambakan malah tidak pernah meresponsku.

Pergumulanku mencari pekerjaan tetap pun berlangsung selama empat setengah tahun. Ada banyak wawancara dan penolakan, air mata, dan saat-saat di mana aku menjadi sangat frustasi dengan setiap prosesnya. Terkadang aku mencoba bertindak sendiri, lelah mempercayai Tuhan. Setiap hari aku gelisah, kurang tidur, terburu-buru, dan cemas.

Melalui empat setengah tahun yang berat itu aku sadar bahwa terkadang Tuhan memakai tiap masa untuk menguatkan kita… untuk mempersiapkan kita menghadapi apa yang akan terjadi nantinya.

Kita ingin pekerjaan itu, tapi kita tidak punya keterampilan yang sesuai untuk mencapai apa yang Tuhan ingin kita lakukan di posisi itu. Jika memang posisi itu yang Tuhan kehendaki, Tuhan pasti akan mengizinkan kita diproses lebih dulu supaya kita memiliki kualitas dan keterampilan yang sesuai. Inilah yang terjadi selama empat setengah tahun bekerja secara kontrak. Tuhan membentukku, memperlengkapiku, dan mengenalkanku kepada orang-orang yang membawa pengaruh baik di hidupku, yang akhirnya membawaku pada posisiku sekarang ini. Tuhan tidak sedang meninggalkanku, tapi Dia sedang membawaku keluar dari zona nyaman untuk menjadikanku kompeten sesuai dengan rencana-Nya.

Masa-masa bekerja selama berjam-jam sembari dituntut juga untuk multi-tasking mengajariku tentang prioritas dan ketekunan—tetap melakukan apa yang jadi tugasku sampai selesai. Tugas untuk melakukan presentasi di grup networking—yang meskipun mengintimidasi—membantuku mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum yang sekarang kulakukan setiap minggu dalam pekerjaanku.

Jika Tuhan seketika saja memberikan apa yang kita inginkan, mungkin kita tidak pernah menikmati proses yang menjadikan kita lebih unggul. Atau, mungkin juga kita tidak siap melaksanakan apa yang jadi kehendak-Nya.

Selama menjalani pekerjaan kontrak, Kolose 3:23 menjadi ayat yang kupegang teguh:

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Tidak masalah di mana aku berada atau apa yang kulakukan—entah aku menikmatinya atau tidak—aku tidak menganggap pekerjaanku hanya sebagai bekerja untuk orang-orang di sekitarku. Aku menganggapnya bekerja untuk Tuhan dan bersinar untuk-Nya. Pola pikir ini membantuku menumbuhkan kesabaran.

Ketika aku frustasi, aku ingat bahwa Tuhan selalu punya alasan tentang mengapa Dia mengizinkanku berada pada suatu waktu dan tempat. Entah apa yang kulakukan adalah untuk waktu singkat, atau waktu lama, aku akan berusaha bekerja dengan baik dan membayangkan Tuhan berada tepat di tempat kerja bersamaku. Kita mungkin tidak mengerti alasannya sekarang, tapi Mazmur 37:7-9 berkata: “Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia;… jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.”

Jika kamu sedang berdoa dan menanti, janganlah patah semangat. Tuhan akan mengubah masa gersang menjadi musim yang berbuah. Itu mungkin bukan masa depan yang kita impikan atau bayangkan, tetapi marilah kita beriman dan percaya pada waktu Tuhan dan rencana-Nya.

Jika kita belum mendapat kerja, belum menemukan pasangan, atau tidak bisa pergi liburan—apa pun itu, itu karena Tuhan sangat mengasihi kita. Dia terlalu mengasihi kita untuk memberikan sesuatu yang belum siap kita terima. Dia terlalu mencintai kita untuk memberikan sesuatu yang belum bisa kita tangani. Dia terlalu mengasihi kita untuk mengizinkan kita menetap, atau menyimpang dari jalan yang telah Dia tetapkan untuk kita masing-masing. Mungkin rasanya berbeda, mungkin tidak nyaman, tetapi bagaimana pun, apa yang Tuhan sediakan bagi kita itu adalah baik.

Menunggu akan yang terbaik dari Tuhan mungkin tidak sesingkat dan senyaman menunggu pesanan kopi kita disajikan dalam lima menit. Tapi, bukankah menunggu akan tetap jadi menyenangkan jika kita bisa sembari menghirup aromanya, dan mengamat-amati barista memproses kopinya sampai tersaji sempurna?

Membongkar Ulang Makna Sukses

Oleh Jovita Hutanto

Bulan Januari buatku adalah bulan yang terasa intens. Teman-teman di sekitarku sudah pasang ancang-ancang membuat ini itu untuk capai target sepanjang tahun. Seram rasanya buatku.

Tapi, kurasa tak cuma teman-temanku. Banyak dari kita pun mulai memikirkan goals dan resolusi supaya hidup kita makin dengan dengan kesuksesan. Atau, pada ekstrem yang lain, ada pula orang yang memosisikan diri di kubu ‘bohwat’. Istilah ini sering digunakan oleh teman-teman etnis Tionghoa yang berarti keadaan ketika seseorang sudah bingung mau berbuat apa lagi.

Terlepas dari di kubu mana kita berada, jika bicara soal sukses kurasa semua orang ingin sukses. Itu mimpi semua orang. Tapi, sebelum kita bergerak mengejar sukses, izinkan aku mengkaji ulang definisi dan standar dari sebuah kesuksesan.

Apa sih arti sukses buat kamu? Apakah itu banyak uang? Jadi terkenal? Punya gelar pendidikan tinggi? Punya usaha? Bisa mengubah dunia? Apa pun yang jadi dambaan kita, setiap kita punya standar hidup sukses yang berbeda. Namun, apakah kita bisa yakin bahwa yang kita inginkan itu adalah sukses yang sesungguhnya? Untuk menemukan jawaban yang benar, kita harus kembali pada Alkitab dan melakukan sedikit riset mengenai definisi sukses dari point of view Alkitab, alias dari sudut pandang Allah sendiri.

Aku mengambil satu contoh dari tokoh yang kisahnya pasti familiar kita dengar. Tokoh ini bernama Yusuf. Dalam Perjanjian Lama, dia dikisahkan menderita kemalangan bertubi-tubi. Dari seorang anak kesayangan ayahnya, dia dibuang dan dijual oleh saudara-saudaranya yang iri kepadanya. Tetapi, menariknya, pada teks Kejadian 39:2, tertulis demikian: “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Jika kita tilik ayat ini dari terjemahan bahasa Inggris versi ESV, tertulis: “The LORD was with Joseph, and he became a succesful man…” Terjemahan ESV secara gamblang menggunakan kata success.

Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa kalimat yang digunakan bukanlah kalimat sebab-akibat. Bukan “sebab Tuhan menyertai Yusuf”, akibatnya “ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa penyertaan Tuhan akan selalu diikuti oleh keberhasilan Yusuf. Penggunaan kata “tetapi” menjadi kalimat penghubung yang mengkontraskan kalimat sebelum dan sesudahnya.

Isi ayat sebelumnya berkata, “Adapun Yusuf telah dibawa ke Mesir; dan Potifar, seorang Mesir, pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja, membeli dia dari tangan orang Ismael yang telah membawa dia ke situ” (Kejadian 39:1). Penggunaan kata “tetapi” pada ayat selanjutnya memperkuat konsep penyertaan Tuhan yang sifatnya independen (atau mandiri), tidak bergantung pada malangnya latar belakang hidup Yusuf dan Yusuf pun tetap berhasil dalam setiap pekerjaannya.

Ada hal lain lagi yang menarik buatku dari ayat ini, yaitu terdapat kata “selalu”. Tidak seperti manusia yang tidak pasti dan tidak bisa diandalkan, dari kisah Yusuf kita yakin bahwa penyertaan Tuhanlah yang selalu mendatangkan kesuksesan. Inilah kunci keberhasilan yang paling jitu.

Nah, apa sih hidup yang disertai Tuhan?

Kata “serta” mengandung unsur partisipasi aktif dari pihak yang menyertai, yaitu “Tuhan”. Artinya, sebagai umat Kristen sudah sepatutnya kita melibatkan Dia dalam setiap langkah kita, bahkan menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada Tuhan. Cukup abstrak ya konsep melibatkan Tuhan ini kalau kita pikir-pikir. Tapi, yuk kita kembali lagi ke cerita Yusuf.

Di ayat-ayat berikutnya, saat Yusuf digodai untuk meniduri istri Potifar, Yusuf menolak. Yusuf mengatakan, “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kejadian 39:9).

Coba perhatikan. Yusuf tidak berkata bahwa dosa tersebut akan menjadi pertanggungjawaban dia terhadap Potifar, tetapi pada Allah. Yusuf menunjukkan jelas bahwa hidupnya tertuju pada Tuhan, meskipun konteksnya dia berada di Mesir dan di istana Potifar

Sampai di sini, kita bisa simpulkan bahwa hidup di dalam penyertaan Tuhan adalah hidup yang menjadikan Tuhan Yesus tuan atas setiap aspek hidup kita.

Lantas, apa sih indikator sukses itu?

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa kesuksesan Yusuf merupakan status dan harta yang diberikan Potifar kepadanya. Aku kira ini merupakan asumsi yang salah besar. Jangan kita salah kaprahkan ya bonus dari Tuhan dengan arti kesuksesan yang Tuhan maksud.

Coba kita baca baik-baik, pada Kejadian 39:2, yang tertulis adalah “berhasil dalam pekerjaannya”, bukan berhasil mendapatkan uang atau harta. “Berhasil dalam pekerjaannya” dalam pengertian lain adalah Yusuf telah menggenapi kehendak dan panggilan-Nya. Bahkan, Alkitab menyatakan bahwa Yusuf tetap berhasil saat dia dipenjarakan Potifar tanpa status dan harta (Kejadian 39:20-23). Dalam situasi apa pun kita ditempatkan, jika kita hidup dalam penyertaan Tuhan, maka Dia akan memberikan kebijaksanaan-Nya kepada kita agar kita dapat mensukses pekerjaan yang telah Dia titipkan. Status dan harta yang Yusuf terima pada akhirnya hanyalah bonus semata yang Tuhan berikan karena dia telah berhasil menggenapi pekerjaan Tuhan.

Jadi, cukuplah jelas di sini bahwa standar hidup sukses itu adalah pemenuhan target Tuhan, bukan target kita sendiri.

Hidup di dalam penyertaan Tuhan itu merupakan relasi dua arah, antara kita dengan Tuhan, dan titik fokusnya kepada Tuhan. Kalau bahasa yang lebih mendaratnya itu, berjalan dan berjuang bersama Tuhan dan untuk Tuhan. Tapi, di sinilah pr beratnya buat kita. Tuhan tidak terlihat wujudnya, maka bentuk perjalan dan perjuangan bersama Tuhan itu memerlukan skill “melek jiwa”, atau bahasa kerennya “mindfulness”.

Penyertaan Tuhan itu senantiasa, tetapi seringkali kasusnya bukan Tuhan yang tidak mau menyertai, tetapi kitanya yang tidak mau disertai atau kerap kali kita malah melupakan Tuhan di dalam keseharian kita. Kalau mau dipikir-pikir, seberapa banyak dari kita yang melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yang kita ambil? Seberapa sering kita menggumulkan firman-Nya? Memang terdengar klise dan mungkin sudah banyak dari kita yang rajin berdoa dan baca Alkitab. Tapi, jujur aja nih. Apakah kita memaknai aktivitas tersebut? Susah loh untuk membentuk sebuah habit yang penuh arti. Jujur, aku pun sering lupa kalau sudah doa makan atau belum saking aku sudah terbiasa dan kurang memaknai artinya lagi. Bahkan, kurasa kita ini sering loh seperti zombie, yang gak sadar hari-hari lewat begitu saja. (Hayoo, ngaku yang sering nanya hari ini hari apa, gak taunya sudah Jumat lagi aja.) Mungkin jika aku berimajinasi Tuhan itu seperti anak gaul, mungkin Dia akan berkata, “sadar woy, sadar.”

Tentunya skill mindfullness alias melek jiwa ini adalah proses yang panjang dan sulit karena dibutuhkan disiplin, konsistensi, dan anugerah Tuhan. Disiplin berdoa dan bergumul. Konsisten bertanya apakah aku melakukan ini untuk diriku atau Tuhanku; dan tidak lupa memohon anugerah Tuhan supaya kita sering-sering dibuat melek dan yang paling penting supaya kita bisa diatur karena kita sendiri adalah orang-orang keras kepala.

Tips jitu yang agak guyon dariku ialah kita bisa setting wallpaper HP kita diganti jadi kalimat yang mengingatkan kita sama Tuhan. Semisal kita tulis, “Inget Tuhan!” Setiap pagi kebanyakan kita mengawali aktivitas dengan…. Buka HP! Betul sekali! Jadi, pas pagi-pagi kita membuka HP dan lihat tulisan “inget Tuhan”, cepat-cepatlah kita berdoa. Kalau lagi kesel dan buka HP, lihat tulisan “inget Tuhan”, eits gak boleh marah-marah. Mesti sabar. Mau tidur, main HP dong pastinya, lihat lagi tulisan “inget Tuhan”, lalu coba refleksikan hari ini kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan.”

Capek tapi kan ya diingetin terus? Buatku ya capek sih. Tapi, kalau ingat inilah jurus jitu hidup sukses, harusnya kita nggak akan capek lagi dong ya hehehe.

Goals-goals yang kita bilang kesuksesan itu bukanlah tuntutan karena Tuhan sebenarnya tidak pernah menuntut kita untuk mencapai impian-impian tersebut. Kalau kita bilang itu tuntutan masyarakat, yuk kita sama-sama saling mengingatkan bahwa yang pegang kunci surga sudah pasti bukan teman atau keluarga kita hehe. Jangan salah pahamkan tuntutan yang kita buat sendiri dengan tuntutan yang memang dari Tuhan karena keduanya bagaikan langit dan bumi.

Ekspektasi sukses kita seringkali sifatnya fana dan tidak sesuai dengan maunya Tuhan. Ingat, Dia adalah Tuhan loh! Kalau Dia ingin berikan, maka sekejap maka saja kita akan mendapatkannya. Apa yang Tuhan utamakan adalah proses dan perjalanan keseharian kita bersama Dia.

Resolusiku di tahun ini sesuai dengan pesan yang sudah kusampaikan kepada kita semua, yaitu lebih setia, melek jiwa, dan berjalan bersama Tuhan. Bukan berarti kita hidup tanpa goals ya. Maksudku, kita tidak perlu menjadikan goals kita sebagai standar patokan arti kesuksesan.

Fokus kita hidup seharusnya tertuju pada proses kita berjalan dan berjuang dengan Tuhan Yesus setiap harinya, supaya bisa berhasil memenuhi panggilan-Nya. Kalau memang ternyata semua goals tercapai, aku menganggap semuanya itu bonus dari Tuhan.

Buat tim ‘bohwat’, gak ada salahnya kok dengan ide “just surviving”, yang penting ditambah jadi “just surviving with God.”

Tahun 2023 kita bisa fokuskan resolusi kita pada satu yang pokok: setia berjalan bersama Tuhan semaksimal mungkin.

Eben Haezer: Sampai di Sini Tuhan Menolong Kita

Oleh Meliani Chandra

Ketika aku mengalami pergumulan, ketika aku dapat melewati fase-fase berat, aku selalu teringat kata yang tertulis di judul tulisan ini. Kali ini aku mau bercerita tentang penyertaan dan pertolongan Tuhan selama dua tahun pertamaku bekerja.

Saat itu aku adalah seorang fresh graduate dari jurusan kesehatan. Berawal dari penantian panjang dalam mendapatkan pekerjaan tetap, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja di salah satu rumah sakit swasta di daerah Tangerang. Sebenarnya sangat banyak pertimbangan yang aku gumulkan apakah aku sebaiknya mengambil kesempatan ini atau tidak. Di satu sisi, aku merasa inilah jawaban dari doaku, kerinduanku untuk bekerja di bidang klinis. Namun di sisi lain, jika aku bekerja di sana, aku harus meninggalkan rumah dan tinggal di Tangerang (jam kerja shifting membuatku sulit untuk pulang pergi Jakarta-Tangerang setiap hari) dan meninggalkan banyak hal : 1) quality time bersama keluarga; 2) persekutuan di mana aku bertumbuh sejak kecil, serta pelayanan dan orang-orang di dalamnya; 3) pendapatan yang lebih besar dibanding yang sekarang (ya memang karena dulu kerja siang malam). Ditambah lagi, sistem kerja yang shifting; yang tidak mengenal weekend dan tanggal merah. Namun, setelah aku bercerita ke beberapa orang terdekat, menggumulkan, serta mendoakan, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kesempatan ini.

Pada saat awal masuk, rasanya super duper berat untuk dijalani. Mulai dari jobdesc pekerjaan yang kurang sesuai ekspektasi, pengalaman yang minim dengan tuntutan kerja yang tinggi, dituntut untuk cepat bisa, senioritas tinggi, waktu kerja yang shifting dan antimainstream (ketika aku libur, teman-temanku masuk, mereka libur, aku yang masuk), jadi anak rantau (walaupun cuma jarak Jakarta-Tangerang) yang tidak punya teman karena aku masih junior, dan lain-lainnya. Bisa dibilang, setiap hari aku ingin cepat-cepat libur supaya bisa pulang ke Jakarta.

Selain itu, dalam kehidupan spiritual aku pun harus beradaptasi. Sejak bekerja di tempat ini aku harus terbiasa bekerja di hari Minggu. Memang ada saat-saat tertentu aku bisa dapat libur di hari Minggu. Namun, di masa-masa awal, hal ini terasa begitu berat (sampai sekarang juga masih menjadi pergumulan tersendiri). Dinas di hari Minggu membuatku kejar-kejaran dengan waktu. Jangankan persekutuan. Jangankan pelayanan. Bisa ibadah saja sudah bersyukur.

Ya, begitulah kurang lebih pergumulanku di masa awal aku mulai bekerja. Untuk survive saja rasanya sulit dan mau menyerah. Seringkali aku bertanya, “Apa benar ini maunya Tuhan? Sepertinya ini hanya keinginanku saja. Sepertinya aku salah memilih jalan.”

Tapi … dalam dua tahun inilah aku mengalami apa yang namanya diproses Tuhan. Proses itu memang tidak enak, ibarat logam yang dipanasi, dilelehkan, dan ditempa. Aku percaya Tuhan memprosesku untuk menjadi lebih indah melalui masa-masa tidak enak dan menyakitkan yang kualami. Dia mengajarkan aku banyak hal. Dia mengizinkan aku untuk menikmati pengalaman-pengalaman berharga. Sangat jelas dan nyata penyertaan dan pertolongan-Nya di dalam kehidupanku (dan tentunya kita semua).

Inilah empat hal yang kupelajari yang aku ingin bagikan buatmu.

1. Di dalam kelemahanlah kuasa Tuhan sempurna

Ketika aku berada di titik terendah, stres dalam beradaptasi dengan pekerjaan, Tuhan menyediakan keluarga, teman-teman terdekat yang selalu mendukung dan mendoakan, yang tidak bosan-bosannya mendengarkan cerita dan keluh kesahku. Merekatidak mencibir aku payah karena mengeluh terus dan merasa tidak sanggup, tapi selalu membangkitkan semangat dan kepercayaan diri yang sudah hampir rusak. Di dalam kelemahan dan keterbatasanku, ketika aku merasa tidak bisa apa-apa, justru Tuhan yang memampukan aku untuk melewati satu demi satu rintangan, bukan dengan caraku, tapi dengan cara-Nya yang di luar akal manusia. Ia mengizinkan aku mengalami “kesengsaraan” untuk membentuk diriku menjadi tekun dan tahan uji, serta selalu berharap pada Tuhan.

2. Harta yang paling berharga adalah keluarga

Walaupun seminggu sekali aku selalu pulang setiap libur, tetap saja rasanya 1 hari dalam seminggu itu kurang untuk quality time bersama keluarga. Belum lagi, aku juga harus membagi waktu untuk bersosialisasi dan temu kangen dengan teman-teman. Walaupun jaraknya hanya Jakarta-Tangerang, aku menyadari bahwa tinggal bersama keluarga itu paling membuatku nyaman dan aman.

3. He makes all things beautiful in HIS time

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya (Pengkhotbah 3:1). Yup. Ayat ini benar sekali. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari (Pengkhotbah 3:4).

Tuhan tidak membiarkan aku berlarut-larut dalam kesedihan dan keputusasaan. Perlahan-lahan, badai pun mereda dan terbit pelangi yang indah.

Ketika kita dengan sungguh-sungguh belajar dan berusaha, tentu hasil tidak akan mengkhianati usaha. Ketika saat ini aku bisa memberikan konsultasi dan edukasi ke banyak orang, bahkan ketika mereka bisa pulang dengan sehat, di situ aku merasa “It’s only by HIS Grace!” Bahkan, Tuhan berikan aku bonus untuk mencicipi berkat yang tidak pernah aku harapkan sebelumnya, sebuah prestasi yang tidak pernah terpikirkan sedikit pun. Siapalah aku, kalau bukan Tuhan yang memanggil? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang memampukan? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang membentuk dan memproses? Layakkah seorang ciptaan dan alat untuk memegahkan diri? Tentu tidak! Yang keren dan hebat itu ya Penciptanya, Allah sendiri.

Dalam hal kebutuhan spiritual pun, perlahan-lahan aku lebih dapat mengatur jadwal hari Mingguku untuk dapat beribadah, bersekutu, dan melayani. Kuncinya tetap berdoa dan berusaha. Walaupun tidak sebebas dulu sebelum bekerja, tapi kondisi saat ini lebih baik dibanding waktu baru masuk bekerja. Terpujilah Tuhan!

4. Pelayanan adalah anugerah

Memang hidup ini adalah pelayanan. Pelayanan itu tidak terbatas pada konteks kehidupan bergereja. Aku setuju. Tapi bagiku, ikut kebaktian seminggu sekali saja tidaklah cukup. Aku butuh persekutuan, aku butuh pembinaan, aku butuh pelayanan. Persekutuan, pembinaan, maupun pelayanan membantuku semakin menikmati dan mengenal Allah. Dan, di sini aku kembali menegaskan bahwa pelayanan adalah anugerah. Tidak semua orang bisa melayani. Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk melayani. Tidak semua orang memiliki kesehatan untuk dapat melayani. Maka dari itu, ketika kita masih diberi waktu, masih diberi kesempatan, masih diberi kesehatan oleh Tuhan, mari kita beri diri untuk dipakai-Nya.

Kira-kira, inilah yang bisa kubagikan. Masih banyak berkat Tuhan yang tidak kuceritakan di sini, karena terlalu banyak berkat dan pertolongan Tuhan di dalam kehidupanku.

Satu hal kuyakini, Tuhan yang telah menolong kita sampai disini, Tuhan yang sama akan senantiasa menolong kita sampai kapanpun. Semoga bisa menjadi berkat bagi teman-teman yang membaca. GBU.

Bagaimana Mencari Tahu Apakah Pekerjaan Kita Berkenan Buat Tuhan atau Tidak?

Oleh Hendra Winarjo

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya, “Kerjaanku sekarang ini sesuai gak ya sama kehendak Tuhan?

Pertanyaan ini tentu wajar untuk kita tanyakan, apalagi kalau kita sudah kuliah semester akhir atau sedang bingung dengan apa yang sedang dikerjakan sekarang. Sebagai pelayan Tuhan yang melayani jemaat, aku pun cukup sering mendapat pertanyaan serupa khususnya oleh teman-teman mahasiswa dan fresh graduate. Nampaknya ada kekhawatiran jika pekerjaan kita—baik nanti ataupun sekarang—itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, apalagi jika tidak mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.

Mencari jawaban dari pertanyaan itu tidak selalu mudah. Mungkin jawaban kebanyakan orang terkesan menyederhanakan, “Kalau kamu mau menghubungkan pekerjaanmu dengan pekerjaan Tuhan, maka kerjakan saja apa yang jadi panggilanmu.” Pada dasarnya, aku setuju bahwa sebagai orang Kristen kita wajib mengerjakan apa yang jadi panggilan (vocation) kita. Tetapi, kita mungkin keliru jika mengekslusifkan kata ‘panggilan’ itu hanya berfokus pada suatu bidang tertentu saja. Martin Luther dan John Calvin, dua tokoh reformasi gereja juga mengajar bahwa Tuhan tidak hanya memanggil umat-Nya untuk melayani sebagai pendeta, tetapi Tuhan memanggil dan memperlengkapi tiap umat-Nya dalam berbagai profesi atau ladang pekerjaan masing-masing.

Pemisahan antara pekerjaan yang ‘rohani’ dan ‘sekuluer’ adalah kekeliruan. Tidak semua pekerjaan yang dianggap pekerjaan “sekuler” sungguh-sungguh “duniawi,” serta tidak semua pekerjaan “rohani” sungguh-sungguh “rohani.” Misalnya, rasul Paulus menyebutkan bahwa pekerjaan atau aktivitas kita bahkan dimulai dari hal yang paling sederhana seperti makan atau minum, semuanya dapat memuliakan Allah (1Kor. 10:31). Artinya, bagi Paulus, asalkan segala sesuatu kita kerjakan untuk kemuliaan Allah, maka untuk apa kita perlu memisahkan secara tajam antara pekerjaan rohani atau sekuler, sebab semuanya itu pada akhirnya diarahkan bagi Tuhan.

Akan tetapi, aku tidak setuju apabila kita akhirnya jadi menyimpulkan kalau pekerjaan yang yang berkenan pada Tuhan itu sebatas mengerjakan apa yang kita yakini sebagai panggilan kita lalu menolak hal-hal lain yang sebenarnya dapat kita kerjakan. Tidak semua orang punya jawaban yakin dan spesifik dari pertanyaan, “Apa kamu sudah tahu apa panggilan Tuhan atas hidupmu?” meskipun, memang ada sebagian orang Kristen yang sudah tahu secara pasti mereka dipanggil untuk menjadi seorang dokter, desainer, pengusaha, atau bahkan pendeta, dan lain sebagainya. Juga, yang pasti lainnya adalah Allah tidak mungkin memanggil umat-Nya untuk berprofesi sebagai penjahat, pembunuh, dan hal-hal lain yang tidak kudus, yang tidak memuliakan nama-Nya.

Nah, lantas bagaimana buat orang yang tidak tahu pasti apa yang jadi panggilan hidupnya? Apakah mereka tidak dapat memuliakan Tuhan melalui apa yang mereka kerjakan sekarang?

Jawabannya ialah tentu Tuhan dapat dimuliakan meskipun kita sendiri mungkin ragu dengan pekerjaan kita. Pekerjaan Tuhan bersifat luas, dan itu tidak melulu bicara sesuatu yang kita senang untuk lakukan. Ketika Allah memanggil Gideon untuk memimpin Israel berperang melawan Midian, Gideon tidaklah suka akan panggilan ini. Dia seorang yang penakut, tetapi Tuhan menyertainya dan menjadikan Gideon berkat bagi seisi bangsanya. Atau, ada pula contoh lain ketika Allah memakai Babel, bangsa yang tidak mengenal-Nya untuk menghukum orang Israel karena dosa dan pelanggaran mereka. Babel dipakai Allah untuk mengerjakan keadilan-Nya meskipun mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang ‘dipakai’ Tuhan. Kita yang hidup di masa kini dapat dengan mudah mengetahui dari teks Alkitab bahwa dari perspektif Allah, Babel dipakai-Nya untuk menggenapi rencana Allah.

Jadi, meskipun saat ini kita masih bingung dengan apa yang jadi panggilan Allah bagi kita, kita dapat dengan setia melakukan apa yang Tuhan sudah berikan bagi kita untuk kita kerjakan. Kita masih bisa mengerjakan pekerjaan Allah dan memuliakan-Nya, dengan atau tanpa kita mengetahui terlebih dulu dengan pasti serta spesifik apa panggilan Tuhan atas hidup kita, asalkan kita juga memakai pekerjaan kita saat ini untuk menghadirkan sifat-sifat Allah, seperti keadilan atau pun kasih Allah kepada sesama. Dengan cara inilah, kita tetap dapat menghubungkan pekerjaan kita dengan pekerjaan Tuhan, sambil berdoa agar Tuhan menunjukkan kepada kita apa panggilan Tuhan atas hidup kita.

Mari kita belajar dari tokoh Hong Du Sik dalam film drama Hometown Cha Cha Cha. Sekalipun Hong Du Sik tidak memiliki sebuah pekerjaan tetap, tetapi melalui pekerjaan serabutannya, seperti menjadi fotografer, kuli bangunan, tukang paket, dan lain seterusnya, ia dapat menolong banyak penduduk desa Gongjin di Korea Selatan. Mungkin bagi sebagian orang Kristen, orang seperti Hong Du Sik tidak mengerjakan pekerjaan Tuhan, sebab ia tidak mengerjakan satu pekerjaan spesifik yang menjadi panggilannya. Namun, sebetulnya orang seperti Hong Du Sik sedang mengerjakan pekerjaan Tuhan, bahkan memuliakan Tuhan, karena apa yang ia kerjakan itu telah menghadirkan kasih Allah kepada sesamanya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 10:31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Imanku Bertumbuh dari Balik Kegagalan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Aku bersyukur terlahir sebagai seorang anak petani yang kerap merasakan pasang surut kehidupan yang tak mudah tetapi terus dilakoni agar tetap menjadi harapan demi keberlangsungan hidup itu sendiri. Ketika musim menanam padi hendak dimulai, aku menyaksikan langsung bagaimana proses yang dilakukan oleh para petani yang dimulai dari pesemaian bibit hingga memperoleh hasil akhir yakni tuaian padi.

Terlepas dari serangkaian proses sampai padi siap dituai, ada satu hal yang menarik perhatianku hingga menjadi sebuah perenungan bagiku ketika aku memaknai kegagalan dalam perspektif iman. Aku memperhatikan terkadang benih padi yang disemaikan ayahku serta para petani lainnya, ada yang bertumbuh dengan sempurna, bertumbuh sebagian, hingga ada pula yang gagal tumbuh sama sekali. Padahal, semua padi itu berasal dari benih yang sama dan melalui proses persemaian yang sama. Namun, ternyata tidak sedikit benih yang tidak layak dijadikan bibit padi siap tanam.

Seperti benih padi yang gagal tumbuh, kegagalan juga menghampiri hidupku. Akan tetapi, jika benih padi yang gagal tumbuh itu tidak ada lagi artinya sebab tidak akan pernah menghasilkan tuaian baru, maka lain halnya dengan kegagalanku. Kegagalanku justru sungguh berarti dan memberiku harapan baru.

Bagaimana aku memaknai kegagalanku, sehingga menjadi pondasi yang kuat untuk menjalani hari-hariku baik sekarang pun di masa menjelang? Iman seperti apa yang membuatku teguh di tengah kesukaran hidup untuk berjuang mendapatkan pekerjaan yang baru? Melalui tulisan ini, Aku berharap kiranya kita semua tetap teguh beriman dan tidak hilang harapan untuk setiap perjuangan yang sedang berlangsung.

Awal September kemarin, menjadi perjuangan pertamaku untuk mendapatkan pekerjaan baru pasca resign dari tempat kerja sebelumnya. Dengan semangat yang membara, aku membulatkan tekad untuk mengikuti serangkaian proses seleksi pegawai yayasan pada salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup jauh dari tempat tinggalku. Aku sungguh bersemangat mempersiapkan sejumlah berkas. Demi pekerjaan ini, aku menempuh perjalanan lintas kabupaten agar bisa memenuhi persyaratan administratif.

Aku bersemangat dan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan karena satu hal. Jika aku bisa mendapat pekerjaan ini, aku bisa tetap menunaikan tanggung jawab pelayananku di gereja tempatku berjemaat. Aku yakin motivasiku ini selaras dengan firman Tuhan, karena aku tahu bahwa bekerja juga adalah wujud pelayanan. Aku sungguh ingin melayani Tuhan di tempat kerjaku, juga di gereja, agar hidupku bisa berbuah seperti yang diserukan oleh rasul Paulus: “Tetapi jika aku harus hidup di dunia, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22b).

Akan tetapi, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak.

Lagi, namaku tidak tertera dalam daftar pengumuman hasil akhir tes. Padahal, aku dan beberapa temanku berpendapat bahwa soal yang diujikan tidaklah sesulit soal-soal setingkat rekruitmen BUMN atau seleksi CPNS. Lagipula, beberapa materi yang telah kupelajari selama 2 minggu sangat membantuku dalam menjawab sejumlah soal yang diujikan. Bahkan, sesi wawancara pun berjalan dengan lancar.

Kuakui, perjuangan yang berawal dengan penuh semangat tetapi berujung pada kegagalan ini, membuatku berkecil hati. Aku telah kehilangan pekerjaan saat memutuskan untuk memilih resign karena SK kontrak kerjaku tak lagi diperpanjang, juga agar aku bisa mencari pekerjaan baru dengan upah kerja yang jauh lebih baik.

Perasaan khawatir juga melintas di benakku. Aku takut tidak punya penghasilan, sementara hidup menuntut banyak kebutuhan. Aku takut kesehatan mentalku terganggu, bila aku terlalu lama menganggur.

Aku teringat pada kisah kegagalan serupa yang telah menerpaku setahun lalu bahkan pada tahun-tahun sebelumnya. Sejujurnya, secara fisik aku lelah tak berdaya tatkala meratapi kegagalan-kegagalan tersebut. Aku berpikir, mungkinkah kegagalan kali ini adalah kesalahanku atau mungkin nasibku selalu sial? Kendati demikian, ada satu hal yang memampukanku berdiri teguh sejauh ini yakni iman.

Bagi Tuhan, tak ada yang mustahil. Hati kecilku menyerukan dengan lantang kata-kata ini. Seruan iman dan pengharapan ini seakan menyulap hatiku yang dingin menjadi hangat merekah. Seperti judul tulisanku “Imanku Bertumbuh dari Balik Kegagalan, aku bertanya pada diriku: andaikata iman itu bisa dihitung atau bisa berwujud benda, apakah imanku hanya sebiji benih padi saja? Tidak sebulir, apalagi segenggam? Jika benar ia hanya sebiji benih padi saja, apakah ia benar-benar bertumbuh dengan baik sehingga olehnya kelak terbit harapan baru yakni tuaian benih-benih padi bernas?

Kitab Ibrani 11:1 menuliskan dengan jelas bahwa: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Aku belajar lebih dalam tentang iman dan kegagalan yang kualami ini. Aku yakin sepenuhnya bahwa saat kita hidup beriman, tidak berarti kita tidak lagi mengalami kegagalan dan bila kita mengalami kegagalan, bukan berarti kita tidak beriman. Iman menjadi dasar dari setiap pengharapan kita. Andaikata aku tahu sebelumnya bahwa aku tidak lolos, untuk apa aku rela berlelah-lelah mengikuti serangkaian seleksi itu? Aku menyadari bahwa meski hatiku gundah gulana karena gagal mendapatkan pekerjaan, Tuhan tetap mengasihiku dengan membangkitkan dan menyegarkan kembali imanku.

Kegagalan ini sungguh membuat imanku bertumbuh.

Betapa tidak, aku belajar bahwa bukan soal besar kecilnya iman yang kita miliki, tetapi bagaimana kita menghidupi iman itu; apakah kita tetap percaya dan taat. Aku percaya bahwa rancangan-Nya jauh lebih baik daripada keinginanku. Aku yakin bahwa Ia tetap setia pada janji-Nya tentang rancangan masa depan yang penuh damai sejahtera. Aku perlu taat sepenuhnya kepada-Nya ke mana saja Ia membawaku dan memberiku pekerjaan baru kelak.

Kini, dengan sukacita aku mau mengatakan bahwa bukan perkara lolos atau tidak melainkan bagaimana iman yang kumiliki itu—bahkan bila hanya sebiji benih padi—makin bertumbuh dengan baik, makin membawaku pada rancangan dan tujuan-Nya semata sehingga aku tidak harus meratapi kegagalanku dan tidak perlu berkecil hati. Senada dengan iman, aku teringat akan perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya tentang Iman sebesar biji sesawi.

“…Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana,-maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Matius 17:20).

Ketika gagal, aku bersyukur bahwa Tuhan tidak hanya membangkitkan dan menyegarkan kembali imanku, tetapi juga Ia menerbitkan harapan baru bagiku untuk terus berjuang dan tidak menyerah hingga suatu waktu aku mendapatkan pekerjaan baru. Harapan itu diteguhkan oleh firman-Nya: “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku” (Yesaya 49 : 16)

Sekarang, aku sungguh mengimani bahwa pengharapan dan iman percaya kita, pun ketaatan kita kepada-Nya, akan memandu dan membuat kita sampai pada tujuan, tidak hanya kesuksesan tetapi juga kemuliaan kekal. Aku pun mengerti bahwa kegagalan bukanlah kesalahan melainkan sebuah momen yang menolong kita untuk bersyukur dalam segala hal, sekaligus menumbuhkan iman dan pengharapan kita jauh melebihi dari semua hal yang kasat mata. Kiranya, hari demi hari iman kita terus bertumbuh dari Firman-Nya.

Kepada semua teman-temanku yang mengalami kegagalan sepertiku, aku mau berkata bahwa janganlah terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaan sebab ketika kita hidup di dunia, pencapaian kesuksesan bukanlah prioritas utama. Lebih daripada kesuksesan duniawi, sejatinya aku dan kamu sedang berjuang menghidupi iman di dalam Kristus untuk mencapai tujuan akhir yaitu hidup kekal bersama-Nya selamanya di sorga kelak.

Terpujilah Tuhan