Posts

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku (Bagian 2)

Oleh Cana

“Wah, setelah 3 tahun tidak bekerja akhirnya aku dapat pekerjaan! Aku senang kegirangan karena namaku muncul di pengumuman final CPNS 2021.”

Sekitar tahun 2019, tepat tiga tahun yang lalu aku menulis artikel pertamaku di WarungSaTeKaMu dengan judul “Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku”. Jika menengok di masa itu, sungguh sulit untuk menerima semua hal yang tak sesuai harapan. Aku yang saat itu bekerja di sebuah universitas swasta ternama terpaksa tidak bisa mengajar hingga akhirnya bekerja dengan posisi staf administrasi. Aku sungguh merasa tertolak dan sempat berpikir mengakhiri hidup. Setahun kemudian, kontrak kerjaku pun tak dilanjutkan oleh pihak kampus. Aku pengangguran dan tak terasa tiga tahun sudah aku tidak bekerja pada suatu instansi atau lembaga (meskipun sekarang aku telah jadi ibu rumah tangga). Selama itu juga aku terus bergumul dan merenungkan apakah Tuhan akan memberikan kesempatan lagi untuk dapat bekerja? Dan apakah aku memang dipanggil bekerja sebagai dosen?

Melalui pengalaman sebelumnya yang sungguh sangat tidak mudah dilewati, Tuhan mengajariku tentang nilai diri yang sejati dan sebuah sikap rendah hati. Dengan latar belakang pendidikanku dan segala pencapaian yang telah aku peroleh, aku merasa sangat bernilai dan berharga. Bahkan saat diterima di universitas ternama ini aku merasa sangat bangga dengan diriku… namun Tuhan sungguh baik karena Dia memproses dan mengajariku bahwa nilai diriku tidaklah ditentukan dari pekerjaanku.

Perjalanan karierku mengharuskanku mengalami jatuh bangun dan penuh dengan air mata. Namun, dari sinilah aku belajar bahwa nilai diri yang sejati tidak seharusnya dilekatkan pada sebuah prestasi atau posisi. Sebelumnya, pekerjaan bagiku adalah sebuah prestasi dan pencapaian. Jika aku memiliki posisi di pekerjaan yang bagus maka aku merasa berharga, bernilai dan berguna. Akan tetapi, jika tidak maka sebaliknya—aku akan merasa tertolak. Melalui proses itu, aku belajar bahwa pekerjaan seharusnya dipandang sebagai sebuah “kendaraan” untuk membantu kita sampai ke tujuan yaitu melakukan visi atau panggilan-Nya bagi kita.

Aku pun akhirnya mengerti bahwa pekerjaan seharusnya bisa dipandang sebagai sebuah anugerah (pemberian dari Tuhan) sehingga aku tak perlu merasa minder atau super. Minder karena merasa tidak mampu dan tak layak mendapatkan pekerjaan ini atau super karena merasa sangat mampu dan arogan. Status pekerjaan nyatanya adalah sebuah kondisi yang bisa sangat mudah berubah dan dinamis. Mungkin karena pergantian atasan atau kondisi pandemi seperti sekarang ini. Jadi sudah selayaknya kita tidak melekatkan nilai diri kita padanya.

Setelah lama tidak bekerja, aku memberanikan diri untuk melamar sebagai dosen CPNS 2021. Tahapan dan seleksi demi seleksi kulalui. Tentu masih diwarnai dengan perasaan yang pesimis dan tak berani berharap banyak. Namun aku mencoba untuk berusaha semaksimal mungkin menggunakan waktu yang ada untuk belajar dan berserah pada-Nya. Pengumuman final pun keluar dan namaku adalah salah satu yang muncul.

Sungguh aku merasa terkejut, tak percaya, bingung, bersyukur dan senang. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa menjadi salah satu peserta yang diterima di seleksi CPNS kali ini. Mengingat sudah tiga kali aku mencoba tes CPNS, namun berakhir gagal. Namun, kali ini aku diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk memiliki “kendaraan” agar bisa berjalan menuju panggilan-Nya bagiku—untuk mengajar orang lain, menanamkan nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan firman-Nya bagi peserta didik. Dengan pekerjaan di tempat baru ini pun, aku ingin terus belajar pada-Nya tentang nilai diri yang sejati dan rendah hati. Dan seperti yang dikatakan dalam firman-Nya “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).

Gimana Kalau Kamu Gak Pernah Menemukan Passionmu?

Oleh Jiaming Zeng
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What If I Can’t Find My Passion?

“Gimana cara menemukan passion?”

Pertanyaan itu kuketik di Google, di tahun pertama kuliah pasca-sarjana. Kutanya dosenku, teman sebayaku. Kata mereka, passion itu sesuatu yang membuat kita antusias di pagi hari; sesuatu yang saat kita mau tidur pun, masih terbayang di pikiran; atau, sesuatu yang ingin sekali kamu lakukan sepanjang hidupmu. Itu semua kata mereka, bukan kataku.

Ada satu hal yang selalu kupikirkan tentang passion. Inilah yang dulu kuceritakan ke orang tuaku ketika aku masih kecil. Ini jugalah yang kucari tahu di Google, saat aku berdebat tentang keputusan-keputusan hidupku di tahun pertama kuliah doktoral. Aku selalu ingin jadi penulis. Aku membayangkan diriku menulis novel fiksi seperti J.K Rowling atau Jane Austen.

Namun, bagi orang tua Asia, menulis bukanlah pilihan karier yang gemilang. Lagipula, aku suka matematika, memecahkan masalah, dan mengerjakan proyek-proyek riset. Tapi, aku tidak memikirkan angka-angka sebelum tidur. Pun rumus-rumus matematika tidak muncul di pagi hari saat aku bangun. Faktanya, aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku jika bekerja di bidang matematika sepanjang usiaku.

Dilema ini menyiksaku selama setahun pertama. Apakah artinya hidup jika aku tidak mengerjakan apa yang kusuka? Apa jadinya jika aku dapat gelar Ph.D tapi di bidang yang bukan minatku?

Kebenarannya: tak peduli seberapa besar passion menggerakkan kita, seberapa cinta kita pada pekerjaan… kita selalu bertanya pada diri kita sendiri seperti yang dikatakan Pengkhotbah: untuk apakah kita berjerih lelah? Apakah artinya? (Pengkotbah 2:20-23). Bahkan Raja Salomo, dengan kesuksesan dan kebijaksanaannya, tak mampu menemukan makna dari perbuatan tangannya.

Pekerjaan—atau status, relasi, hobi—bukanlah tempat di mana kita harus menemukan makna. Makna datang dari relasi kita dengan Allah. Pengejaran kita akan passion, atau hal lain takkan pernah sungguh-sungguh memuaskan kita. Namun, kita bisa menemukan sukacita dan kepuasan dalam pekerjaan, seperti yang Salomo amati: “setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagianya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya–juga itupun karunia Allah” (Pengkhotbah 5:19).

Menemukan sukacita dalam berjerih lelah

Bagiku, krisis menemukan passion tidak hilang dalam semalam. Aku tetap melanjutkan studi doktoral. Aku mengambil kelas-kelas wajib, menyelesaikan tiap tugas, dan berusaha mencari topik untuk disertasi. Aku bisa bertahan di sana karena itu adalah pekerjaanku.

Seiring dengan fokusku yang bergeser dari ambisi pribadi, sikapku terhadap penelitianku juga mulai berubah. Aku mulai melihat langkah potensial dan aplikatif dari model matematikaku. Alih-alih mengembangkan algoritma, aku lebih tertarik untuk mencari penerapan praktis agar bisa diterapkan di dunia nyata.

Area penelitian yang kupilih adalah pelayanan kesehatan. Usul ini diberikan dari pembimbingku, tapi awalnya aku menolak. Memikirkan pertumbuhan sel kanker atau menganalisa efek dari kemoterapi pada kematian pasien terasa mengerikan buatku. Namun, seiring aku bekerja dan belajar, aku sadar kalau hari-hariku yang membosankan di depan komputer bisa menjadi penjelajahan menantang, yang memberikan dampak pada hidup para pasien.

Pekerjaanku bukanlah tentangku atau tentang pengejaranku akan passion. Hasil dari kerjaku bisa menolong orang-orang dalam mengambil keputusan tentang kesehatan mereka. Dan, di sinilah aku menemukan sukacitanya. Tuhan selalu menempatkanku di tempat yang tepat. Tapi sebelumnya, aku tidak bisa melihatnya. Barulah saat aku mengalihkan fokusku dari diriku sendiri kepada Tuhan, aku sadar bahwa Dia memberiku sesuatu yang tidak hanya kunikmati sendiri, tapi juga bisa menolong orang lain.

Tujuan utama dalam bekerja bukanlah untuk memuaskan kita, tapi untuk kita menjadi penatalayan dari apa yang Tuhan telah berikan pada kita di dunia ini. Dalam pengejaran kita mencari passion, kita seringkali menjadi buta dari apa yang Tuhan telah siapkan buat kita. C.S Lewis berkata:

“Give up yourself, and you’ll find your real self. Lose your life and you will save it. […] Nothing that you have not given awal will ever be really yours.”

Lepaskan dirimu, maka akan kau temukan dirimu yang sesungguhnya. Lepaskan hidupmu, maka kau akan mendapatkannya. Sesungguhnya tidak ada yang tidak kau lepaskan yang pernah benar-benar menjadi milikmu.

Untuk menemukan passion, kita harus melepaskan ambisi kita, dan bukalah diri untuk menerima apa yang Tuhan telah tetapkan buat kita.

Membarui konsep kita tentang passion

Sikap melepaskan mengubah hati dan pikiran kita. Kita akhirnya dapat melihat lebih banyak daripada sebelumnya. Seiring aku belajar melepas berhala dalam diriku, Tuhan menunjukkanku bahwa ada lebih banyak kebebasan ketika aku berfokus pada-Nya. Caraku dulu untuk menemukan passion adalah salah dan terlalu menyederhanakan. Hidup dan impian jauh lebih rumit dan dipenuhi banyak kemungkinan lebih dari yang bisa kubayangkan. Dan…ketika Tuhan adalah penulis hidupku, Dia memberiku kebebasan untuk percaya dan taat pada suara-Nya lebih dari pada suara hatiku sendiri.

Ketika aku belajar percaya dan taat bimbingan-Nya, aku melihat Tuhan pun sebenarnya peduli akan mimpi-mimpiku di masa kecil. Ketika aku siap, Dia akan menuntunku kembali pada impian itu pada cara yang tak terduga. Contohnya, Tuhan memberiku kesempatan untuk menulis bagi-Nya lewat majalan kampus. Memang bukan novel fiksi yang kubayangkan, tapi tulisan tentang kasih dan penyertaan-Nya. Dan… di sinilah aku sekarang, menulis buatmu. Hidupku saat ini memang tidak seperti impianku dulu, tetapi aku yakin apa yang Tuhan berikan selalu lebih masuk akal daripada pikiranku.

Di tahun pertamaku aku tak pernah menemukan apa yang jadi passion-ku, tapi aku belajar bahwa ada cerita yang lebih besar. Melalui prosesnya, aku menemukan kebebasan, penghiburan, dan sukacita dari pekerjaanku. Tak ada yang tahu bagaimana kelak aku akan menulis atau tetap bekerja di riset. Yang kutahu adalah perjalanan ini masih berlangsung. Aku percaya Tuhan selalu ada untuk membimbing dan menunjukkanku jalan. Lagipula, Tuhanlah yang menenun hal-hal kecil yang kita lakukan menjadi sebuah kisah yang jauh lebih besar dan hebat dari apa pun yang kita bayangkan.

Kulukai Orang Lain dengan Keegoisanku

Oleh Sari, Jakarta

Setiap tanggal 10 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Media sosial dipenuhi dengan twibbon untuk memperingati hari itu. Masa-masa sekarang yang dirasa sulit, ditambah dengan hadirnya pandemi, turut memberikan pengaruh besar pada kesehatan mental orang-orang di seluruh dunia.

Aku pribadi pun merasakan dampaknya. Makin hari, aku semakin menyadari bahwa bukan hanya kesehatan fisik dan rohani saja yang penting, melainkan kesehatan mental yang sering kuabaikan juga penting. Aku melihat orang-orang di sekitarku pun mulai aware. Mereka mulai melakukan konseling kepada konselor-konselor professional. Ketika aku dan kamu gagal menyadari pentingnya merawat kesehatan mental, maka saat kendala datang, bisa saja kita melakukan pengobatan atau pencegahan dengan cara yang tidak tepat. 

Saat kondisiku tidak stabil 

Pada suatu momen, aku menyadari bahwa kondisi mentalku sangat tidak stabil. Aku bekerja dengan gelisah, aku takut salah… dan ketika atasanku mendapati aku melakukan kesalahan, aku langsung panik. Tidak jarang aku menyalahkan orang lain. Aku tidak lagi menikmati apa yang aku kerjakan, fokusku saat itu adalah bagaimana pekerjaanku bisa cepat selesai, tidak ada yang salah dan berharap berakhir dengan pujian yang diberikan baik oleh rekan kerja dan atasanku. Tapi melakukan itu semua rasanya sangat melelahkan, hingga di kondisi yang ekstrem aku tidak menyukai ketika orang lain mengerjakan pekerjaan dengan baik dan dipuji oleh atasanku. Aku ingin berada di posisi yang paling baik dari semuanya, aku ingin hanya aku yang bisa diandalkan. Aku menjadi orang yang lebih suka dihargai dan dipandang lebih dari orang lain. Bukan dalam pekerjaan saja, ketika berinteraksi dengan teman sepermainan dan keluarga pun aku merasakan hal yang sama.

Di tengah kondisi itu, aku pun tidak lagi menikmati relasiku bersama Tuhan. Aku tetap bersaat teduh, namun seadanya. Aku tetap berdoa, namun tidak menikmati doa-doaku. Fokusku adalah hanya bagaimana aku bisa mendapatkan promosi di pekerjaanku. Tetapi, syukur kepada Allah yang mengaruniakan Roh Kudus yang pelan-pelan menggelisahkanku dan menolongku untuk melihat apa yang salah dengan diriku di tengah-tengah perjuangan menikmati doa, baca Alkitab dan ibadah yang kulakukan. 

Di ibadah Minggu yang aku ikuti secara daring, tema khotbah yang diangkat membahas bagaimana ambisi terhadap kedudukan merupakan musuh dan hal yang paling tidak disukai oleh Allah. 

Di awal khotbahnya, sang pendeta memulai dengan kalimat, “dosa pertama berhubungan dengan kuasa.” Allah membuang malaikat Lucifer dari kerajaan sorga karena kesombongannya (Yehezkiel 28:17-18). Kejatuhan manusia dalam dosa pun dimulai ketika Iblis menggoda Hawa, yang menyingkapkan sisi kesombongan manusia yang ingin menjadi seperti Allah dengan memakan buah pengetahuan baik dan buruk (Kejadian 3). 

Banyak orang melakukan berbagai cara agar mendapati posisi atau kedudukan yang diinginkannya, salah satunya aku. Aku melakukan banyak cara agar aku bisa dipromosi secepatnya sampai tidak menyadari bahwa aku sedang melukai diriku, sesama bahkan terlebih Tuhan. Hidupku dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan, takut kalau posisi itu akhirnya diberikan kepada orang lain. 

Aku lantas teringat kepada sebuah kisah di Alkitab, yaitu kisah Saul dan Daud. Ketika Saul menjadi raja dan Daud yang baru saja mengalahkan Goliat. Orang-orang Israel merayakan kemenangan Daud mengalahkan Goliat dan ketika itu perempuan-perempuan yang hadir menari dan menyanyi, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa (1 Samuel 18:7).” Seketika itu juga, Saul menjadi marah dan benci kepada Daud hingga berencana untuk membunuhnya. Padahal kalau dipikir-pikir, Saul saat itu adalah raja Israel yang sah, dia telah dipilih dan diurapi, tetapi dia ketakutan bilamana suatu hari Daud merebut kedudukannya sebagai raja di Israel. Kisah ini menjadi salah satu bukti bahwa lagi-lagi manusia sangat ambisius terhadap kedudukan dan manusia berani melakukan banyak cara untuk mendapatkan serta mempertahankannya.

Di tengah dunia yang mendorong kita untuk memamerkan apa yang kita lakukan dan apa yang kita miliki, menjadi hal yang tak mudah untuk bijak memandang pencapaian dan kedudukan kita. Kita tergoda meletakkan identitas kita pada posisi, kekayaan, dan status. Ketika tidak mendapatkan apa yang orang lain punya kita menjadi minder bahkan dalam kondisi yang ekstrem menjadi depresi hingga mau mengakhiri hidup. Dalam kondisiku saat itu, satu hal yang aku sadari adalah semakin aku mengejar, semakin aku merasakan kekosongan. Dan lagi-lagi, aku diingatkan bahwa jiwa kita hanya dapat dipuaskan oleh Allah. Jika kita mengejar apa yang ada di tengah dunia ini akan tidak ada habis-habisnya dan itu sangat melelahkan.

Dan di ibadah Minggu yang kuikuti itu, aku juga diingatkan bahwa Allah selalu punya rencana buat anak-anak-Nya, bagian yang sudah ditentukan Allah untuk menjadi bagian kita akan tetap menjadi bagian kita sesusah dan semustahil apapun itu. Tetapi, kalau memang ketika kita sudah berjuang untuk mendapatkannya dan memang Allah tidak merencanakannya buat kita selelah apapun kita mengejarnya maka itu tidak akan menjadi bagian kita. Salah satu hamba Tuhan pernah mengatakan demikian, “teruslah berdoa sampai Tuhan menjawab. Asal doa itu sesuai kehendakNya, mustahil tidak dijawab.”

Teman-teman, kondisi ini bukanlah kondisi yang mudah untuk diatasi. Aku pun masih sangat bergumul hingga saat ini. Tetapi, aku jadi diingatkan kembali bahwa aku tetap berharga di mata-Nya sekalipun aku tidak memiliki apa yang sedang diperjuangkan oleh dunia. Aku merasakan lelahnya mengejar apa yang dikejar oleh dunia ini, dan aku merasakan jadi orang yang paling jahat ketika mulai melukai orang lain dengan keegoisanku. 

Kondisi apa yang sedang teman-teman alami yang membuat teman-teman merasa tidak berharga, tidak dihargai bahkan tidak dianggap oleh orang lain hingga berniat sampai mengakhiri hidup? Berdoa dan minta ampunlah kepada Tuhan, Dia tetap mengasihi kita. Kita berharga di mata-Nya dan Dia selalu mengerjakan bagian-Nya dengan sempurna dalam hidup kita.

Kala kucari damai
Hanya kudapat dalam Yesus
Kala kucari ketenangan
Hanya kutemui didalam Yesus

Tak satupun dapat menghiburku
Tak seorangpun dapat menolongku
Hanya Yesus jawaban hidupku

Bersama Dia hatiku damai
Walau dalam lembah kekelaman
Bersama Dia hatiku tenang
Walau hidup penuh tantangan

Terjatuh di Tempat Aku Membangun

Oleh Agustinus Ryanto 

Di suatu pelatihan yang pernah kuikuti, pembicaranya bilang begini, “Jangan bandingkan diri kita dengan orang lain, bandingkanlah dengan diri kita sendiri versi kemarin.”

Wow. Kutipan itu segera kucatat di HP, juga di pikiran. Benar, gumamku. Memang kalau membandingkan diri dengan orang lain ya nggak akan ada habisnya toh.

Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan, kutipan yang kupupuk di otak ini bekerja efektif. Ia membuat hari-hari kerjaku yang monoton terasa berwarna. Aku merasa diriku versi hari ini sudah mengalami banyak kemajuan dibanding yang dulu.

Sampai tibalah di bulan Agustus, pada momen ketika orang tuaku sakit. Mau tak mau, aku harus pulang untuk merawat mereka. Kupulanglah ke rumah dengan naik motor, supaya sampai di kota asalku, aku bisa mudah wira-wiri.

Aku telah bekerja lima tahun pada sebuah lembaga nirlaba yang aku cintai. Meskipun aku tak terlalu suka dengan rutinitas kerjaanku yang monoton—kebanyakan duduk di depan laptop, kesepian hampir di sepanjang hari, tapi aku tahu apa yang kulakukan memberi dampak bagi orang lain, kendati dampaknya memang tak kasat mata dan tak langsung. Oleh karena itulah, aku memutuskan bertahan dan mengembangkan diri di tempat ini saban tahun berganti. Singkat kata, aku percaya bahwa inilah jalan yang memang saat ini perlu aku tempuh.

Seminggu setelah urusan mengurus orang tuaku rampung, datanglah sebuah pesan yang ditujukan buatku.

Pesan ini kubaca pelan-pelan. Narasinya lembut, tetapi aku bingung akan intensinya. Apakah itu bertujuan untuk memotivasiku atau menggugat apa yang sedang kukerjakan sekarang. 

Konotasi yang kutangkap dari teks-teks itu adalah bahwa aku seorang yang egois, yang hanya mementingkan diri sendiri. Usiaku tahun ini 27 tahun, tidakkah aku terpikir untuk memiliki karir yang lebih menghasilkan secara finansial? Tidakkah aku ingin berbakti lebih pada orang tuaku? Aku tahu pesan itu muncul sebagai respons atas caraku menangani orang tuaku yang sakit. Karena tak punya mobil, aku membawa ayahku ke rumah sakit dengan menaiki taksi daring, sementara ibuku pergi ke laboratorium rontgen dengan naik motor. Cara ini dianggapnya tak elok bagiku yang sudah lulus sarjana, yang seharusnya mendapatkan sesuatu yang lebih bonafide. Tetapi, dalam hati aku membela diri, aku tak sanggup melakukan itu semua. Terlalu banyak faktor yang saling berkelindan yang membuatku sendiri kadang bertanya-tanya mengapa aku terlahir di keluarga ini—terpecah oleh perceraian yang diteruskan turun-temurun sejak buyut, utang dari bank, kepahitan, kekerasan rumah tangga, dan lainnya, yang memikirkannya membuatku semaput. 

Dadaku seperti tertikam. Jari-jemariku kelu. 

Aku tak ingin memantik keributan, tapi ingin sekali membalas pesan itu dengan membela diri. Lagipula, kepada sang pengirim pesan, aku tak pernah dibiayai hidup olehnya, sehingga apa gerangan dia mengomentari jalan karirku. Tapi, kutenangkan diriku. HP kumatikan dan aku berdiam. Setelah tenang, kubalaslah pesan itu dengan sopan. Kuucapkan terima kasih atas intensi baiknya memikirkanku, sembari kuluruskan keadaannya mengapa setelah lima tahun bekerja aku belum mampu membeli kendaraan roda empat ataupun rumah. 

Namun, hari-hariku setelahnya tak lagi sama. Pesan yang dikirim sore itu menghancurkan kepercayaan diriku. 

Setiap hari, aku dihantui imaji akan kegagalan. Aku menghukum diriku dengan merasa aku seorang yang melarat, bodoh, tak mampu membayar bakti pada orang tua dengan memberi mereka kenyamanan ragawi. Perasaan gagal itu semakin menjadi-jadi ketika Instagram yang sedianya kujadikan wadah untuk mengekspresikan jiwa petualanganku seolah berubah jadi arena pamer dari teman-temanku, yang menumpukkan bara panas ke atas kepalaku. Lihat tuh, si dia udah tinggi jabatannya. Aduh, keren banget ya dia udah bisa beli rumah, beli mobil. Duh, dia ajak orang tuanya liburan ke sana sini. Lalu aku membandingkannya dengan diriku sendiri. Kubandingkan yang telah punya mobil denganku yang cuma ada motor. Kubandingkan yang telah menikah dan punya rumah enak denganku yang masih LDR beda kota dengan baik bus malam. 

Bak diberondong peluru, akhirnya aku tumbang. Pahitlah hatiku, patahlah semangatku, sakitlah badanku. Menatap layar laptop yang biasanya kulakukan dengan tatapan tajam kini menjadi sayu. Langkahku gontai. Agar kepahitan ini tak semakin menjadi, kuputuskan untuk memutus kontakku dengan dunia maya sejenak. Aku keluar dari Instagram, dan selama tiga minggu hanya berkomunikasi menggunakan WhatsApp saja. 

Menolong? Agak. Menyembuhkan? Tidak. 

Perasaan gagal itu muncul sejatinya bukan karena aku secara de facto telah gagal dalam pertempuran hidup. Tetapi, karena aku membangun harga diriku pada tempat yang tidak teguh, pada tempat yang value-nya berubah-ubah seiring waktu: yakni apa kata orang. Aku tidak menampik bahwa kita ingin selalu tampil berhasil di depan orang, dan cenderung menutupi kerapuhan kita. Tetapi, keberhasilan seperti apakah yang sebenarnya patut disebut berhasil? Indikatornya tentu berbeda-beda. Bagi seorang yang hidup dalam kepahitan sejak kecil, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membuka pintu maaf dan mengizinkan damai dari pengampunan mengisi hari-harinya. Bagi seorang yang telah gagal dalam hubungan asmara, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membangun relasi yang teguh dan utuh di tengah segala kendala yang merintanginya. 

Abraham Maslow mencetuskan teori piramida kebutuhan, dengan kebutuhan fisiologis ada di dasar dan kebutuhan aktualisasi diri di puncak piramida. Teori ini bilang kalau setelah satu tingkatan kebutuhan dipenuhi, manusia akan mulai memenuhi kebutuhan lainnya. Kebutuhan aktualisasi diri letaknya ada di puncak, tidak ada lagi kebutuhan di atasnya yang perlu dipenuhi. Ini berarti, menurutku, apabila kebutuhan ini dipenuhi dengan sumber atau cara yang tak tepat, itu akan menjadikan kita terjebak dalam upaya pemenuhan yang tiada berakhir. Kesadaran ini menghantamku. Jika kebutuhan untuk membuktikan diriku pada orang lain didasarkan pada apa kata orang, bukankah itu akan jadi proses yang tak akan berujung? Bukankah omongan orang selalu berubah dari hari ke hari? Bukankah omongan orang itu sifatnya dangkal karena mereka tak melihat seluruh realitas hidup kita? 

Aku pun pulang kembali ke rumah dengan keadaan fisik yang sangat lelah. Dari subuh sampai siang aku memotret upacara pernikahan. Ini adalah kerja sambilanku yang puji syukur, diberkati Tuhan dengan pesanan dari banyak klien. Melihatku kelelahan dan meringkuk di kasur seperti orang meninggal, ibuku bilang, “Jangan terlalu capek!”

Kubilang lagi, “Nggak kok, biasa ini mah.” 

“Tapi itu kemaren Senen bisa sampe diare, ke wc sampe belasan kali terus lemes?”

“Ah, itu kan gara-gara salah makan,” sanggahku. “Ya udah, hayu kita pergi deh cari makan dulu,” kuajak ibuku pergi motoran keliling kota. Aku mau traktir dia makan enak. 

Ibuku di usianya yang hampir enam dekade masih sangat aktif. Dia terbiasa motoran sendirian ke luar kota. Siang itu dia mengajak aku makan ikan bakar di tepi waduk, yang jaraknya nyaris dua jam naik motor. Perjalanan kami lalui dengan sensasi panas dingin—panas saat matahari tak tertutup awan, dan dingin karena basah saat diterpa hujan. 

“Mama nggak menuntut anak harus gimana-gimana, kalian yang jalanin hidup, kalian yang atur sendiri,” tuturnya. 

“Maksud?” tanyaku mengernyit. 

Karena bulan sebelumnya aku pernah bertutur soal perasaan gagalku ini, dia menjawab dengan lebih lugas. “Kamu nggak perlu pusing-pusing harus bayar utang atau beliin harta ini itu. Itu kesalahan bukan kesalahan kamu, bukan kamu yang harus pusingin. Yang penting kamu bisa hidup, nggak utang sama orang lain, dan cukup…” 

Kupandangi muka air waduk yang tak berombak. Ikan nila aneka warna tampak di permukaannya. Seperti itulah kurasa tenangnya hatiku. 

Aku tahu betul masa lalu ibuku tidak baik. Ia lahir dalam keluarga yang dikoyak perceraian. Dia tak diasuh oleh ibu bapak kandungnya sejak balita. Luka itu membuatnya kembali terluka dengan perceraian di usia dewasa mudanya. Tapi, dia tahu bahwa aku, sebagai anaknya yang paling bontot, ingin berusaha membahagiakannya dengan beragam benda yang kupikir akan membuatnya senang. 

“Kamu begini aja udah seneng kok mama…” 

Pelan-pelan bangkitlah kesadaran dalam diriku bahwa matematikaku dengan matematika Tuhan terkadang berbeda cara. Dalam rumusku, untuk menjadi bahagia dan sukses harus meraih prestasi lahiriah yang dipandang oleh banyak orang sehingga namaku harum. Tetapi, rumus Tuhan lain cerita. Mungkin Dia memang belum memberiku limpahan harta lahiriah, tapi Dia selalu memberikan apa yang aku dan ibuku butuhkan, sebagaimana Dia memelihara burung-burung di udara (Matius 6:26). Ibuku bilang kalau meski dia tidak punya mobil, tapi Tuhan memberinya kesehatan dan kekuatan untuk punya fisik yang prima, yang masih awas dan kuat untuk naik motor tiap hari. 

“Bayangin kalau kena stroke, mau punya mobil mahal sekalipun juga, memang kepake?” guyonnya. 

Kesadaran ini membawaku kembali pada soal panggilan. Kuyakini lagi bahwa panggilan hidup setiap orang itu unik. Tuhan, Sang Ilahi yang memanggil setiap kita, tentu punya maksud dan tujuan-Nya bagi kita masing-masing. Tidak semua pekerjaan memberikan kelimpahan materi, tetapi jika pekerjaan itu berasal dari-Nya dan kita melakukannya bersama-Nya, selalu ada kecukupan dan damai sejahtera setiap hari bagi kita. 

Untuk saat ini, inilah panggilanku. Untuk besok hari, aku tak tahu, dan aku perlu mencari tahunya. Dengan apa? Dengan mengerjakan apa yang diberikan padaku sekarang dengan sebaik mungkin, agar ketika nanti Dia memanggilku untuk satu tanggung jawab yang lebih besar, aku telah siap laksana seorang prajurit yang diutus ke palagan dengan gagah berani. 

Hari ini aku belajar kembali untuk membangun diriku pada tempat yang lebih teguh. 

3 Masalah Ketika Identitas Kita Ditentukan dari Pekerjaan yang Kita Lakukan

Oleh Andrew Laird
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Problems When We Tie Our Identity To Our Work

Pertanyaan apa yang biasanya kamu tanyakan ketika bertemu dengan seseorang pertama kali? Kutebak sih, biasanya setelah bertanya nama, satu pertanyaan yang mungkin muncul adalah, “Kamu kerja apa?” 

Tapi, pernahkah kamu cermati bagaimana respons dari orang-orang? Biasanya, jawabannya bukan “Aku kerja sebagai pengacara,” tapi “Aku pengacara”. Kita hidup di dunia yang berpikir, “Aku adalah apa yang aku lakukan”, di mana identitas kita terikat pada apa yang kita kerjakan. 

Pemikiran ini mungkin rasanya cuma hal kecil, tapi setidaknya ada tiga masalah yang muncul dari pemikiran ini yang bisa berdampak hebat buat kita. 

Apa saja masalahnya? Dan yang lebih penting, apa solusinya?

  1. Itu membawa konsekuensi negatif dari individualisme

Titik awal dari pemikiran kalau “Aku adalah apa yang aku lakukan” adalah ciri khas dari budaya yang dibentuk oleh individualisme yang berkembang di Barat. 

Salah satu cara untuk mendefinisikan individualisme adalah dengan memikirkan diri sendiri, “diri sendiri adalah tujuannya.”[1]. Siapakah aku itu dimulai dan diakhiri olehku. Aku membentuk takdirku. Aku membentuk diriku. Generasi di atas kita mendefinisikan diri mereka dalam hubungan dengan komunitas mereka. Tapi, dalam konsep individualisme Barat, akulah yang membentuk identitasku sendiri. Nilai-nilai diriku ditentukan dari apa yang mampu aku raih dan selesaikan.

Apa artinya ini bagi pekerjaan kita? Itu menjadi identitas kita. Kalau pekerjaan kita bagus, tentu ini tidak jadi masalah. Tapi, ketika pekerjaan kita mengalami kemunduran, melekatkan nilai diri kita pada apa yang kita kerjakan menjadi beban yang menghancurkan diri kita. 

  1. Itu adalah cara hidup yang menghancurkan 

James Suzman dalam bukunya, Work: A History of How We Spend Our Time [2], menuliskan kisah pilu dari Prof. Vere Gordon Childe, seorang arkeolog yang mengakhiri hidupnya sendiri ketika dia menyimpulkan bahwa dia tidak memiliki “kontribusi lebih yang berguna” di pekerjaannya.

Tapi, bukan cuma Profesor Childe yang berpikir begitu. Ada kaitan yang tragis antara kekecewaan, kegagalan dalam kerja, pensiun, dan bunuh diri. Ketika pekerjaan menjadi nilai diri kita, itu akan menghancurkan kita ketika pekerjaan itu mengecewakan. 

Beban yang kita tempatkan pada diri sendiri ini dapat kita lihat dalam berbagai situasi. Aku ingat pernah menerima email dari seorang wanita yang sakit selama beberapa waktu. Isi emailnya terdapat kalimat, “Aku tidak berguna”, karena dia tidak bisa melakukan apa yang diminta, lantas dia menganggap dirinya tak berguna. 

Namun, jika seandainya yang terjadi sebaliknya—pekerjaan kita berjalan baik, yang ada malah membuat kita menjadi berbangga diri. Jika aku adalah tujuan dari hidupku sendiri, maka setiap sukses yang kuraih adalah suksesku sendiri. Kebanggaan yang berlebih akan membawa masalah sendiri. 

Timothy Keller merangkum dua bahaya yang bercabang dari meletakkan nilai diri kita pada pekerjaan: “Ketika pekerjaan adalah identitas kita, kesuksesan akan masuk ke kepalamu dan kegagalan akan masuk ke hatimu.” [3]. “Aku adalah apa yang kulakukan” adalah cara hidup yang menghancurkan.

  1. Meletakkan nilai diri kita pada komunitas, ini juga bukan solusi

Kita mungkin berpikir konsep individualisme ini begitu destruktif, jadi sepertinya melihat diri kita dengan cara pandang yang lebih komunal (kita meletakkan identitas kita pada keluarga atau komunitas yang jadi bagian kita) adalah solusinya. 

Dalam bukunya yang berjudul Selfie, Will Storr menelusuri akar individualisme Barat dan budaya komunal atau kebersamaan yang biasanya hadir dalam budaya Asia. Dia merangkum, “Diri orang-orang Asia itu meleleh [membaur] ke dalam diri orang-orang lain yang mengelilinginya.” Jadi, ketika bicara soal pekerjaan, tidaklah asing untuk mendefinisikan diri dalam kaitan dengan perusahaan atau tempat bekerja.” Contohnya, Will bertemu dengan seorang pria di Jepang yang mengenalkan dirinya bukan sebagai “David”, tapi “David yang kerja di Sony.” 

Identitas yang diletakkan pada korporat bukan pula jadi solusi. Angka bunuh diri di Asia Timur itu tinggi. Kenapa? Karena di budaya Asia, jika kamu gagal, maka kelompokmu juga gagal. Storr kembali menjelaskan, “Ketika satu individu mengakhiri hidupnya sendiri, kehormatan akan dikembalikan ke kelompoknya… seorang CEO yang bunuh diri terdengar masuk akal bagi orang-orang Jepang” [4]. 

Hanya Yesus jawabannya

Jadi, ketika individualisme Barat atau konsep komunalisme tidak bisa jadi solusi, ke mana kita harus berpaling? Hanya Injil yang membebaskan kita dari beban “aku adalah apa yang kulakukan”. Kebebasan itu tidak dimulai dari identitas kita, tapi dari identitas Yesus. 

Satu hal yang luar biasa, kebenaran mendasar dari iman Kristen adalah siapa yang “di dalam Kristus” mendapatkan identitas-Nya. Identitas Kristus adalah identitas kita. Kebenaran-Nya adalah kebenaran kita. Memahami identitas kita dimulai dengan memahami identitas Kristus. 

Seperti apakah identitas-Nya itu? Allah Bapa berkata ketika Kristus dibaptis, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17). Ketika Bapa melihat Anak, keputusan-Nya adalah kasih dan sukacita. Dan, itulah ketetapan yang Allah berikan untukmu, bagi setiap orang yang ada di dalam Kristus. Prestasi dan pencapaian kita bukanlah sumber identitas kita. Status dan identitas kita dianugerahkan dari Seseorang di luar kita [5]. 

Apakah kamu melihat perubahan revolusioner yang dibawa dari konsep ini kepada caramu memandang pekerjaan dan dirimu sendiri? Dengan percaya diri yang teguh dalam Kristus, pekerjaan kita tidak lagi menjadi sumber identitas, tapi menjadi ekspresi dari identitas kita. Menghidupi kepercayaan dari kasih dan anugerah Allah, alih-alih berupaya keras melakukan pembuktian kepada orang lain, kamu menjadikan pekerjaanmu sebagai ladang untuk menunjukkan identitasmu dalam Kristus. Inilah perubahan radikal yang dibawa oleh Injil dalam kehidupan dan pekerjaan kita. 

Apa salah satu cara praktis agar kita dapat mengubah cara pandang yang salah dan menerima identitas yang kita miliki dalam Kristus?

Kita bisa memulai dengan bertanya, “Bagaimana aku merespons ketika pekerjaanku dikritisi?” 

Tidak ada kritik yang menyenangkan, tapi dari kritik ini kita bisa melihat bagaimana cara pandang kita. Jika kritik itu membuat kita merasa gagal dan kalah, atau kritik itu membangkitkan amarah dan kita mencari cara untuk membela diri, bisa jadi itu petunjuk kalau kita mengaitkan identitas kita pada apa yang kita kerjakan (kadang kritik itu tidak cuma mengkritik pekerjaannya, tapi orangnya juga). Mengetahui bagaimana kita merespons dapat menolong kita untuk berhenti dan memikirkan ulang di mana kita meletakkan identtias kita. Jika kita meletakkannya pada tempat yang salah, perbaikilah itu dengan meletakkannya pada Kristus. 

 

Catatan kaki:

[1] LucFerry, A Brief History of Thoughts, 122

[2] James Suzman, A Work History on How We Spend Our Time, 177

[3] twitter.com/timkellernyc/status/510539614818680832

[4] Will Store, How the West Become Self-Obsessed, 81

[5] Dikutip dari course bertema “I Am What I Do? A Theology of Work and Personal Identity”.

Ketika Identitas Diriku Kuletakkan pada Ucapan Orang Lain

Oleh Veronica*, Depok

“Hey, kok lo goblok banget sih!” teriak Meredith*. Ucapan itu dilontarkannya sebagai tanggapan atas ceritaku kemarin malam kalau aku mendapat nilai tertinggi se-tim-ku untuk tes kecerdasan yang diadakan kantorku.

Teriakan itu menohokku. Aku, lulus dari perguruan tinggi ternama, bekerja di perusahaan impian, bahkan menjadi salah satu kandidat terbaik di sana. Seketika aku merasa tidak berharga. Rasanya prestasi di sana sini yang telah kuraih tak artinya di hadapan Meredith.

Meredith adalah salah satu anggota keluargaku. Sejak orang tuaku pergi ke luar kota setelah aku lahir, dialah yang mengasuhku hingga saat ini. Lahir sebagai anak tentara pejuang kemerdekaan dan menikah dengan seorang tentara pula, membentuknya menjadi wanita yang keras dan kuat. Hal itu pula yang menjadi pedomannya saat membesarkanku, sampai kadang dia lupa bahwa aku butuh kelemahlembutan. Caranya mendidikku adalah dengan menuntutku untuk selalu jadi yang terbaik. Pernah saat itu ketika SMP aku meraih peringkat 28 ketika semester 1, dan melesat menjadi peringkat 2 di semester 2. Kalian tahu apa katanya? “Kok gak ranking 1?”.

Ketidakpuasannya atas prestasiku tidak terjadi hanya sekali, melainkan terus berulang. Lama-lama aku jadi marah. Ketika SMA, aku berjuang habis-habisan untuk bisa kuliah di luar kota atau bahkan di luar negeri, agar bisa jauh darinya. Namun, perjuanganku kandas.

Aku berkuliah tidak jauh dari rumah, dan setiap hari aku masih bertemu dengannya—dia, yang tidak pernah memberi apresiasi atas setiap prestasiku secara langsung. Meski teman-teman dan keluarga besarku beberapa kali mengapresiasi keberhasilanku, namun dia tetap bergeming. Uniknya, perkataan orang-orang lain rasanya tidak berpengaruh buatku, hanya apresiasi dari Meredithlah yang kutunggu.

Kembali ke ceritaku tentang pagi tadi, perasaan tidak berharga dalam diriku pun mencuat. Aku duduk diam termenung. Dalam perenunganku itu, aku mendapati bahwa meskipun orang-orang lain mengapresiasiku dengan baik, aku meletakkan identitasku pada ucapan Meredith. Aku terjebak dalam pikiran bahwa semua yang kulakukan akan cukup, ketika dia sudah bilang itu cukup. Aku akan merasa bahwa aku berharga adalah ketika dia memberikan apresiasinya kepadaku. Mungkin sikap ini muncul sebagai sebuah upaya ‘pembuktian’ kalau aku orang yang hebat, yang mampu memenuhi semua tuntutannya.

Aku sendiri kurang tahu persis apa yang menyebabkan Meredith bersikap begitu, tetapi aku bisa memahami mungkin dia ingin agar aku selalu jadi yang terbaik. Tetapi, menjadi yang terbaik tidak selalu melulu mendapatkan posisi pertama, bukan?

Setelah aku menyadari hal itu, aku teringat akan dua hal berikut.

Pertama, aku teringat ketika Tuhan menciptakan manusia di hari ke-6 dan mengatakan bahwa ciptaan-Nya “sungguh amat baik”. Saat aku memejamkan mata dan mengulang kalimat itu dalam hati, mataku mulai berkaca-kaca. Aku, yang diciptakan oleh Tuhan, disebut oleh Ia sendiri bahwa aku “sungguh amat baik”. Aku mengulanginya dalam hatiku, “aku, sungguh amat baik”. Kalimat itu kemudian membuatku menyadari bahwa aku, bahkan tanpa prestasi-prestasi lahiriahku, sudah sungguh amat baik bagi Penciptaku. Ia, yang menenunku dalam rahim ibu-ku, mengenal hingga kedalaman hatiku, mengasihiku, menyatakan bahwa aku sudah sungguh amat baik. Artinya, meski aku belum melakukan apa-apa, aku berharga. Dan itu, sudah cukup.

Pemahaman bahwa Allah menciptakanku dengan amat baik ini bukan berarti aku berdiam diri dan menolak berkarya, tetapi dari pemahaman inilah aku bisa berkarya bukan untuk mengejar gengsi atau pengakuan dari orang lain, melainkan sebagai ekspresi syukur dan bakti pada Allah yang telah menciptakanku baik adanya.

Yang kedua, dosa membuatku dan semua manusia seharusnya layak menerima hukuman berupa kebinasaan. Namun, ada Pribadi yang memberi diri menggantikan untuk mati karena dosa yang bukan milik-Nya. Ada Pribadi, yang mau berkorban untukku, bahkan ketika aku sedang gagal. Ada Pribadi, yang tetap mengasihiku, ketika aku nyatanya sangat jauh dari berprestasi. Ada Pribadi, yang karena kasih-Nya sungguh besar, tidak hanya lagi menyatakan dengan perkataan, namun dengan nyawa-Nya sendiri yang dikorbankan.

Kira-kira, apakah mungkin Allah mengorbankan diri-Nya untuk sesuatu yang tidak berharga? Aku rasa tidak. Artinya, aku berharga. Dalam kegagalan pun, aku dipandang-Nya berharga. Dan itu, sudah cukup.

Kedua hal itu mengingatkanku, bahwa ketika aku belum berbuat apa-apa, hingga ketika aku berbuat kesalahan yang berujung maut, aku berharga. Dengan atau tanpa prestasi, aku berharga. Dengan atau tanpa pengakuan orang lain, aku berharga.

Perenunganku diakhiri dengan senyum kecil menandai kesadaranku bahwa aku berharga. Namun kemudian, aku berbisik kecil dalam doa kepada Tuhan, berkata

“Ya Tuhan, terimakasih sudah menolongku menyadari bahwa aku berharga, dengan atau tanpa prestasi, dengan atau tanpa pengakuan. Tapi Tuhan, sejujurnya, aku masih berharap suatu hari nanti, ada perkataan yang diucapkan olehnya “aku bangga sama kamu”. Boleh kah, Tuhan?

Tapi kiranya bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak-Mu.”

Amin.

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Gak Adil! Memangnya Aku Penjaga Adikku?

Menjadi anak tengah, merasa diabaikan oleh orang tua, membuatku sempat sakit hati dengan keluargaku. Namun, dari pengalaman ini aku mendapat pemahaman tentang apa itu keadilan.

Berkat di Balik Tirai Kesuraman

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Baru saja Ianuel pulang memimpin sebuah kelompok pendalaman Alkitab, Benu sudah menunggunya di taman tempat mereka biasa mengobrol. Benu bilang penting, ingin bicara. Segera Ian beranjak dari kamarnya menuju teras. Setelah berpamitan dengan Ibu, Ian menyalakan motornya.

“Baru pulang sudah pergi lagi. Mau ke mana kamu?”

“Hmm… pelayanan, Pah. Tadi sudah pamit Ibu,” kata Ian ragu.

“Pelayanan mulu. Waktu buat keluarga kapan? Ini, kan, weekend.”

“Sebentar, kok, Pah. Ke taman biasa,” Ianuel berusaha menenangkan ayahnya.

“Sebentar tapi, sampai malam. Pulang cepet. Kalau sudah pada tidur, tidak ada yang akan bukain pintu,” ayah Ian memunggunginya menuju ruang TV.

Telah satu tahun Ian tidak mendengar ayahnya berbicara seperti itu. Terakhir kali, pada hari Ian terkunci di luar rumah karena pulang hampir tengah malam. Sejak saat itu Ian mulai mengatur waktu kegiatannya dengan teliti. Dia tahu, jika ayahnya mengucapkannya lagi, berarti sang ayah benar-benar memaksudkannya. Mengganjal. Namun, Ian harus pergi.

Bagi Ian bertemu Benu adalah sebuah bagian dari panggilannya. Panggilan yang dimulai dari keputusan Ian satu setengah tahun lalu untuk bekerja di suatu lembaga Kristen yang melayani kaum muda. Lembaga ini baru saja membuka pos rintisan di kota kecil tempat Ian tinggal. Sedangkan pusat lembaganya berada 2 jam jauhnya dari kota ini. Capek, kehabisan ide, tertekan, sedih adalah teman pelayanan Ianuel, sebab belum ada orang yang bersedia menemani pelayanannya. Ian melayani seorang diri di pos kecil tersebut. Meskipun begitu, dia mengerti bahwa lewat pos pelayanan inilah dia mengabdi kepada Tuhan.

Ayahnya sendiri sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Ian. Dia tidak bisa memahami pekerjaan Ian dan pertimbangannya. Ayahnya hanya tahu kalau anaknya suka kerja sebar-sebar ajaran Alkitab. Namun, menurut hemat ayahnya, pekerjaan tersebut sulit untuk membeli sebuah rumah untuk anak istri Ian kelak. Terang-terangan atau sindiran halus sudah dilakukannya tapi, Ian tetap tidak mengubah pilihan pekerjaanya.

Sesampainnya di taman, Ianuel menemui Benu di bangku taman. Dari bangku itulah Benu bercerita bahwa ia baru saja berkonflik hebat dengan ayahnya yang dominan lantaran ia kelupaan mematikan lampu kamar. Keduanya terlibat adu mulut dan saling merendahkan satu sama lain. Ketika konflik semakin menegang, Benu mengakhirinya dengan keluar rumah. Sambil menghisap rokoknya, Benu mengatakan bahwa ia tidak ingin lagi pulang ke rumah.

Hari itu malam Minggu dan matahari sudah semakin gelap. Taman semakin dipenuhi pengunjung dan para penjaja makanan mulai membuka lapaknya.

“Makan, yuk. Gue traktir,” ajak Ian.

Ian sudah biasa melakukan hal ini kepada para pemuda tanggung yang dilayaninya. Hanya ingin berbagi dan meringankan beban mereka yang dia layani. Mereka melipir ke tenda pecel ayam tak jauh dari taman itu. Percakapan terus mengalir tanpa ujung bersamaan dengan perut mereka yang semakin penuh. Waktu berlalu hingga pukul delapan lewat. Dalam hatinya Ian bertekad untuk pulang sebelum jam sembilan malam, sebab ia teringat pesan ayahnya. Percakapan masih berlanjut beberapa menit sebelum akhirnya Ian memberikan saran-saran praktis untuk masalah Benu dengan ayahnya.

“Memang sih, Ben, disalah mengerti oleh orang yang kita harapkan sebagai yang pertama kali memahami kita itu menyakitkan. Tapi, lari dari tanggung jawab untuk saling mencari pengertian justru akan melahirkan kesalahpahaman lainnya. Usahakan tidak mengoleksi luka sebab semua luka sudah ditanggung Yesus di atas kayu salib, Ben,” kata Ian.

“Jadi, kalau menurut Abang. Sebaiknya kamu pulang dan meminta maaf. Siapa tau dengan begitu terjadi rekonsiliasi. Abang yakin Tuhan akan bekerja. Soalnya Dia yang paling mau relasi kalian membaik. Jadi segera balik, yak, tidak perlu kelayapan lagi,” bujuk Ian sambil menepuk pundak Benu.

Benu merasa pita suaranya kusut. Dia tidak menjawab bujukan Ian yang telah pulang dengan motornya. Di taman itu Benu masih mempertimbangkan saran dari Ian sebelum akhirnya dia memutuskan pulang pada dini hari.

Di tengah perjalanan Ian terus bertanya mengapa ia perlu mengurusi anak orang lain jika relasinya sendiri dengan orang tuanya masih berjarak. Ian merasa jago bicara tapi, gagal dalam praktiknya. Dia juga ingin agar Tuhan memperbaiki relasinya dengan sang ayah. Itulah mengapa Ian memacu motornya secepat mungkin supaya sampai tepat sebelum jam 9. Dia berharap agar tidak terjadi lagi konflik pada hari ini. Namun, di jalan motornya malah menabrak sebuah roda truk.

Truk tersebut sedang menepi mengganti salah satu roda kanannya. Badan truk menghalangi lampu penerangan jalan sehingga Ian tak dapat melihat sebuah roda besar di sisi kanan truk. Ianl tak sempat lagi mengelak dan hantaman itu terjadi.

“Brakk!”

Setang motornya bengkok dan sebagian lampu depannya pecah. Ian sendiri terlempar dari motornya. Tulang tangan kirinya patah dan dahinya berdarah. Banyak orang langsung berkerumun dan segera melarikannya ke rumah sakit.

Tiga hari lamanya Ian berada di rumah sakit sebelum ia pulang diantarkan sang ibu. Keningnya dijahit dua kali dan tangannya telah dirawat dengan tepat. Untuk beberapa hari Ian perlu beristirahat menunggu luka-lukanya untuk pulih. Ayahnya tidak menyalahkan Ian atas kecelakaan tersebut. Dia hanya masih belum mengerti masa depan seperti apa yang sedang dibangun oleh anaknya. Dari ambang pintu kamar Ian sang ayah memperhatikan keadaan anaknya.

“Memang kamu kerja untuk apa, sih? Bukan apa-apa, papa cuma pikirin masa depan kamu. Kamu kan kelak jadi kepala keluarga.”

Di tempat tidur Ianuel hanya mendengarkan tegang.

“Nanti kalau sudah sembuh kamu kerja aja sama anak teman papa. Bilang ke bos kamu mau keluar. Mau cari pengalaman baru.”

Ian diam saja. Ian tahu komitmennya sedang diuji kembali. Hanya saja kali ini Ian tidak bisa menjawab. Kejadian ini membuat Ian merasa seperti kalah perang. Berkorban nyawa untuk sebuah negara yang kalah.

“Kamu keluar biaya berapa? Ditanggung sama tempat kerjamu?”

“Sekitar enam jutaan, Pah.”

Ian berhenti sampai situ dan tidak berniat menjawab pertanyaan kedua.

“Itu diganti semua?”

“Tidak tahu, Pah. Kantor juga masih kurang bulan ini.”

Ayah Ian menghela napas, semakin prihatin dengan masa depan anaknya.

“Ya, sudah kamu pikirin deh, nanti kalau kamu mau papa telepon temen papa, biar kamu kerja di tempat anaknya. Papa keluar dulu ketemu mama.”

Selonjoran di dipan, Ian masih memproses kata-kata ayahnya. Ada benarnya maksud sang ayah. Memang bujukan itu belum pernah berhasil membuat Ian mencari pekerjaan lain, tapi bukan berarti tidak pernah membuat dia ragu. Dari celah pintu, Ian dapat mengintip kedua orang tuanya sedang berdiskusi.

Tak lama kemudian ibunya melangkah menuju kamar. Nampaknya ayah Ianuel masih mencoba membujuknya kali ini lewat sang ibu. Ia lelah untuk berdiskusi tapi, sekali lagi dia harus berusaha menguatkan tekadnya kembali.

“Ian ini ada parsel. Tadi ada ojek online yang kirim.”

Ianuel tak menduga sama sekali ibunya datang hanya untuk mengantarkan parsel buah segar. Di atas keranjang anyaman bambu buah-buah tersebut disusun. Ian menerimanya. Wajahnya masih kaget tapi, hatinya tersenyum.

“Itu dari siapa ?”

“Gak tau, Mah. Tapi ini kayaknya ada suratnya deh.”

“Coba dibaca dulu.”

Ianuel membaca surat itu dan tahulah ia bahwa parsel itu berasal dari adik-adik pemuda yang selama ini dilayaninya.

“Semoga Tuhan memulihkan kondisi kak Ian seperti kami yang dipulihkan Tuhan lewat kak Ian. Kak, kami sudah urunan dan transfer. Tidak seberapa tapi semoga dapat meringankan beban Kak Ian.”

Kemudian dalam surat itu mereka mengutip penggalan ayat dari Mazmur 23. Ianuel tak tahu dari mana anak-anak itu mendapatkan dana yang jumlahnya cukup untuk mengganti biaya perawatannya dan perbaikan motornya, tapi ini menghibur hatinya. Memang perjalanan pelayanan Ian cukup terjal. Namun, dia semakin yakin bahwa dia tidak pernah ditinggal sendiri. Kekuatan dan penghiburan diberikan di saat perlu. Mengimbangi duka dengan suka. Di dalam pengabdian untuk nama Tuhan.

Baca Juga:

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Kita tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala.

Dilema Memutuskan Keluar Kerja di Tengah Pandemi

Oleh Leah Koh
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Quit My Job In The Midst Of The Pandemic

Di akhir tahun kemarin aku meninggalkan pekerjaanku sebagai guru yang sudah kutekuni selama 15 tahun—sebuah pekerjaan yang memberiku keseimbangan di tengah tuntutan antara kerja dan keluarga.

Dua tahun ke belakang, aku putus asa dan kelelahan karena kelas-kelas yang kuampu tidak berjalan dengan baik. Meskipun aku sering berdoa agar dikuatkan dan aku merasakan sukacita membangun relasi dengan murid-muridku dan menolong mereka belajar dan bertumbuh setiap hari, bekerja dengan bos yang suka mengkritik dan minim empati sungguh menghancurkan semangatku. Ditambah lagi lingkungan kerjaku yang toksik. Aku sangat takut jika membuat kesalahan, hingga kala malam aku pun susah tidur dan sesak nafas.

Ketika akhirnya pandemi datang dan lockdown diberlakukan, aku merasa lebih lega bisa bekerja di rumah, jauh dari lingkungan yang toksik. Namun, ketika sekolah kembali dibuka, aku takut. Aku tidak tahu apakah aku bisa memenuhi semua tuntutan kerjaku.

Suatu hari, ketika aku sedang sendiri di kamar mandi, kutanya Tuhan apakah aku sebaiknya keluar dari pekerjaan ini. Hatiku berbeban berat dan aku sangat ingin keluar, tapi aku tak mau jika alasanku keluar adalah karena ketakutanku dan rasa putus asaku.

Tuhan menjawab doaku. Dari Juli sampai September, aku mengalami gejolak emosi, mulai dari dibentak-bentak bosku hanya karena hal sepele, yang kemudian merembet ke hal lain. Ini saatnya, kubilang pada diriku sendiri; ini tandanya. Ini waktu untuk keluar. Jadi, dengan nasihat dari teman gerejaku dulu yang menjadi direktur HR, aku mendapat keberanian untuk mengakhiri relasiku dengan bosku di bulan September.

Menghadapi masa depan yang tak pasti

Namun, keluar kerja tidak sebebas apa yang kupikirkan dulu. Kekhawatiran mulai masuk. Aku tidak punya rencana cadangan dan tak tahu berapa lama uangku akan cukup. Masa depanku terasa suram.

Tuhan mengingatkanku dengan firman-Nya, “Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu” (Mazmur 32:8). “Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara” (Yesaya 43:18-19).

Setelah keluar kerja, aku membuat diriku sibuk dengan melakukan riset online dan membaca banyak buku, berharap mendapatkan pekerjaan di bidang pengembangan belajar tapi dalam lingkup korporat. Passion-ku adalah desain dan mengajar, jadi kupikir aku bisa mencari pekerjaan di dua bidang ini.

Tapi, berpindah bidang kerja terkhusus di masa pandemi ini susah. Aku kewalahan bagaimana belajar membuat cover-letter dan memperbaiki resume-ku, merapikan profil LinkedIn, belajar bagaimana lolos wawancara, dan lain sebagainya. Aku baru bisa tidur larut malam karena selalu khawatir akan masa depan.

Janji Allah yang memberi penghiburan

Suatu malam aku bermimpi. Aku sedang menyetir dan tersesat. Aku sangat takut hingga aku berseru pada Tuhan, memohon agar dia menolongku. Tak disangka, Tuhan hadir! Tapi, dia tidak menggantikan posisiku mengemudi. Dia hanya duduk di sampingku dan mulai mengajakku mengobrol. Anehnya rasa takutku hilang dan aku bisa mengemudi dengan tenang. Meskipun aku masih tersesat, aku tidak lagi takut karena Tuhan di sampingku. Aku tidak sendiri. Dia ada bersamaku dan aku tahu aku akan kembali ke jalan yang benar.

Meskipun itu cuma mimpi, aku merasa kembali hidup dan bersemangat saat kuceritakan kembali mimpiku ke suami dan anakku. Melalui mimpi, Allah berjanji tidak akan meninggalkanku.

Aku mulai membaca lebih banyak buku-buku Kristen dan mendengarkan khotbah untuk mengingatkanku akan siapa diriku di dalam Kristus–bahwa aku adalah anak yang disayang-Nya. Tuhan menampakkan kehadiran-Nya dalam cara yang berbeda. Dia memberiku teman-teman yang menguatkanku. Dia memberiku ketekunan untuk tetap mencari kerja, meskipun aku tidak menerima respons apa pun dari email-email yang kukirim. Aku tahu Tuhan berkarya sekalipun aku tidak melihat apa yang sedang terjadi.

Mengalami pemeliharaan Allah

Sebelum aku keluar di bulan November, aku mendaftar ke Design Education Summit yang diselenggarakan pada Februari. Di acara ini, aku menemukan sebuah organisasi yang membuatku tertarik untuk bergabung sebagai relawan fasilitator. Direktur dari organisasi itu malah menanyaiku apakah aku tertarik untuk bergabung di bidang manajerial di mana tugasku adalah mendesain program untuk anak-anak. Aku tertarik lalu mendaftar.

Prosedur setelahnya adalah aku melalui dua wawancara yang berjalan sangat lancar. Namun, di malam setelah wawancara keduaku, direktur memberi tahu bahwa organisasi itu tidak bisa mendapatkan dana hibah dari pemerintah sebelum Februari. Tanpa dana hibah itu, aku tidak bisa mendapatkan gaji yang sesuai dengan keinginanku. Tapi, tidak ada jalan lain bagiku jika aku harus menunggu sampai Februari karena di November adalah bulan terakhirku bekerja.

Aku merasa hancur. Aku pikir inilah pintu yang Tuhan telah bukakan buatku. Teman gerejaku menasihatiku untuk berdoa agar dana hibah itu bisa turun lebih cepat. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan saat itu selain menunggu dan berdoa. Lewat khotbah yang kutonton online, Tuhan menegaskan kembali janji penyertaan-Nya. Yang kuperlukan adalah meletakkan kepercayaanku pada-Nya dan memuliakan-Nya di dalam segala hal yang kulakukan.

Sekitar seminggu setelahnya, sang direktur menjadwalkan sesi Zoom denganku. Pekerjaan yang dia tawarkan tidak sesuai harapanku karena aku akan mendapatkan potongan gaji yang lumayan besar. Aku dilema antara menerima tawaran kerja dengan gaji kecil atau berusaha lagi bernegosiasi hingga menemukan titik sepakat.

Esoknya aku bertemu kembali dengan direktur. Aku teringat kisah tentang bangsa Israel ketika mereka di padang gurun–bagaimana Allah mengubah arah angin yang menyebabkan burung-burung puyuh terbang di atas kemah-kemah (Keluaran 16:12-13; Mazmur 105:40). Tuhan tentu menyediakan apa pun yang orang-orang butuhkan, sekalipun itu di tengah padang gurun, dan Dia pun tentu dapat melakukan yang sama untukku.

Temanku juga menyemangatiku untuk memilih jalan setapak yang membutuhkan iman untuk melangkah di atasnya. Dua jam sebelum pertemuanku, aku membaca kisah Daud dan Goliat. Meskipun Daud berperawakan kecil dan cuma bersenjata umban batu, dia meletakkan imannya pada Allah.

Momen-momen ini mengingatkanku akan kesetiaan-Nya dan bagaimana Dia telah menyertaiku di sepanjang perjalanan yang kulalui. ‘

Dengan berani aku pun mengikuti meeting final dengan direktur itu. Tawaran yang dia berikan sesuai dengan harapanku. Aku bahkan tidak perlu meminta! Dia berkata kalau pemerintah telah melonggarkan dana hibah tersebut selama enam bulan, sehingga itu memungkinkan bagi mereka untuk merekrutku. Aku menerima tawaran itu dengan damai di hati, meyakini bahwa Tuhanlah yang telah membawaku tiba sampai ke titik ini.

Tuhan telah mengajariku banyak hal dalam perjalanan ini. Dia menunjukkanku bahwa Dia hadir secara nyata dan mengasihiku dengan sungguh. Dia memberikan anugerah-Nya di dalam kelemahanku.

Aku harap kisahku bisa menguatkan orang-orang yang mengalami pergumulan yang sama sepertiku. Seperti Amsal 3:5-6 berkata, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Kisahmu mungkin akan berbeda dari kisahku, tapi satu jaminan yang selalu dapat kita pegang: ketika kita bersandar pada Allah, kita bisa percaya bahwa Dia setia dan Dia selalu menyediakan. Dialah Bapa kita, dan kitalah anak-anak-Nya.

Baca Juga:

Menikmati Bumi Pemberian Allah Bersama Makhluk Lain

Kita perlu menyadari kembali bahwa penduduk yang hidup di bumi bukan hanya manusia, pun pemilik bumi juga bukan manusia. Tetapi kenyataannya, sebagian manusia suka “mendadak lupa” atau justru sengaja mengabaikan keberadaan penduduk bumi lainnya.

3 Cara Tetap Setia Ketika Hidup Terasa Jalan di Tempat

Oleh Yang Ming
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways To Remain Faithful When Life Seems To Be Going Nowhere

Hatiku bergetar saat melihat deretan email masuk. Ketakutan terbesarku terwujud. Lamaran kerjaku untuk bergabung di kelompok seni internasional ditolak. Sepuluh bulan terakhir upayaku mencari kerja selalu buntu dan menyerah rasanya jadi pilihan yang baik.

Aku kecewa. Upaya-upaya kreatifku tidak membawaku pergi ke mana-mana, dan aku tetap menganggur selama berbulan-bulan meskipun aku sudah berusaha sebaik mungkin. Rasanya aku dikecewakan oleh segala hal yang kuanggap bernilai.

Beberapa hari setelahnya, aku sulit untuk berdoa dan mencari Tuhan. Aku duduk termenung di kasurku setiap malam. Perlahan aku marah pada-Nya. Ketika penderitaan ini terasa terlalu berat, akhirnya aku berseru, “Tuhan, pernahkah Engkau mengasihiku?” Aku sendiri terkejut dengan pertanyaan itu, tapi itulah yang bergema di hatiku.

Saat itu aku merasa terluka dan malu. Aku telah jadi orang Kristen bertahun-tahun, dan telah melayani dengan penuh semangat di pelayanan pemuda. Aku pun telah bersaksi akan kebaikan Tuhan ke orang-orang, tapi hari ini bagaimana bisa aku meragukan kasih-Nya buatku?

Terlepas dari amarah dan kecewaku, aku tahu hanya ada dua jalan yang bisa kuambil: berpaling pada Allah atau melarikan diri dari-Nya. Kurenungkan dua pilihan itu dan aku teringat ayat dari Yohanes 6:68. Setelah Yesus memberikan pengajaran yang cukup keras, banyak murid meninggalkan-Nya karena mereka mendapati terlalu sulit untuk mengikut-Nya. Yesus lantas bertanya pada 12 murid-Nya apakah mereka hendak ‘menyerah’ juga. Simon Petrus menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

Seperti Simon Petrus, aku memutuskan untuk tetap setia pada Allah meskipun aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidupku. Aku memulai perjalanan kesetiaanku dari tiga area ini:

1. Mengatur ulang pikiranku melalui penyembahan kepada-Nya

Ada hari-hari ketika aku sulit menyembah Tuhan. Beberapa hari aku merasa hambar, dan parahnya lagi, aku tidak tahu inti apa yang kulakukan. Tapi, melalui teladan dari Daud sang pemazmur dan Ayub—mereka sosok yang juga mengalami kekecewaan, aku sadar bahwa tidak masalah untuk tidak merasa baik di hadapan Allah karena Dia tahu apa yang sesungguhnya tersembunyi di dalam hati kita.

Ketika anak dari Daud mati karena dosanya melawan Allah, Daud “masuk ke dalam rumah TUHAN dan sujud menyembah” (2 Samuel 12:20). Pemazmur sering menuangkan pergumulannya dan dengan jujur berkata-kata di hadapan Allah, menuturkan-Nya “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: Di mana Allahmu?” (Mazmur 42:3). Ayub kehilangan anak-anaknya dan segala harta miliknya, tapi dia tetap menyembah Allah dengan tetap percaya dan berharap pada-Nya (Ayub 13:15).

Kedua teladan itu mengingatkanku bahwa meskipun gejolak emosi kita sungguh nyata, itu tidak seharusnya menjadi penentu keputusan final kita. Meskipun aku merasa sedang di titik nadir, aku mulai mengumpulkan sisa-sisa kekuatan untuk menyanyikan pujian bagi Allah. Entah itu lagu kidung jemaat atau lagu rohani kontemporer, semuanya menolongku untuk mengatur kembali pikiranku dan berfokus pada Allah. Nada-nada sederhana dipakai-Nya untuk menenangkan badai di hatiku, juga memperbaharuinya.

2. Mencari tahu tujuan Allah melalui pencobaan yang kuhadapi

Di momen-momen hening penyembahanku, aku sadar Allah senantiasa setia, tapi aku lebih memilih berjalan dengan jalurku sendiri dan dengan naif yakin bahwa rencanaku lebih baik. Alih-alih menanti Allah, aku mencari alternatif lain. Aku mencari pelarian lewat teman-temanku, membaca buku, bahkan googling mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku ingin solusi instan atas masalahku. Ketika yang kuinginkan tidak terjadi, segeralah aku kecewa dan menjauh dari Allah, berpikir kalau Dia memang meninggalkanku.

Tapi, di satu saat teduhku di pagi hari, aku menemukan kisah Gideon di Hakim-hakim 6:1-40, dan bacaan itu menyentakku betapa Allah penuh belas kasih kepada bangsa Israel yang tidak setia. Ketika mereka ditindas, Allah ada bersama mereka. Allah mendengar tangisan mereka. Itulah sebabnya Allah mengirim Gideon. Allah berdaulat dalam segala sesuatu.

Kebenaran ini memperdalam pemahamanku akan Allah. Oswald Chambers dalam teks renungannya My Utmost For His Highest menulis begini, “Kamu harus pergi menghadapi pencobaan sebelum kamu punya hak untuk mengucapkan keputusanmu, karena dengan melalui pencobaan kamu akan belajar mengenal Allah lebih baik. Allah sedang bekerja di dalam kita untuk mencapai tujuan termulia-Nya, sampai tujuan-Nya dan tujuan kita menjadi satu.”
Tujuan dari pencobaan yang kuhadapi bukan sekadar mengajariku pelajaran hidup, tapi untuk membawaku melihat karakter Allah serta tujuan mulia-Nya bagiku—yakni untuk menyembah dan memuliakan-Nya di segala hal yang kulakukan.

Perlahan aku mulai melihat Allah dalam terang yang baru. Dia menunjukkanku kesetiaan-Nya melalui hal-hal kecil yang biasanya kuabaikan. Dia memelihara kesehatanku, memenuhi kebutuhanku di masa-masa menantang ini, dan membawa orang-orang yang peduli pada kesejahteraanku. Karena semua inilah, aku tahu aku bisa bersandar pada kasih-Nya yang tak berakhir meskipun tantangan berat siap menghadang.

3. Mengingat betapa Allah telah menyukakan hatiku

Ketika hidup terasa tidak berjalan ke mana-mana, mudah untuk hanyut dalam takut dan khawatir. Ketika aku bertanya pada Allah pernahkah Dia mengasihiku, jawaban yang kudapat hanyalah kesunyian. Respons ini membuatku berandai-andai, mungkinkah Allah marah karena aku mempertanyakan kasih-Nya?

Tapi, dengan penuh kasih Dia mengingatkanku lewat Mazmur 18:16-19:

“Ia menjangkau dari tempat tinggi, mengambil aku, menarik aku dari banjir. Ia melepaskan aku dari musuhku yang gagah dan dari orang-orang yang membenci aku, karena mereka terlalu kuat bagiku. Mereka menghadang aku pada hari sialku, tetapi TUHAN menjadi sandaran bagiku; Ia membawa aku ke luar ke tempat lapang, ia menyelamatkan aku, karena Ia berkenan kepadaku.”

Aku telah berusaha keras untuk mengingat seperti apakah rasanya ketika hatiku dipuaskan oleh-Nya. Aku menyadari seharusnya aku tidak berusaha terlalu keras hanya untuk membuktikan bahwa aku cukup baik untuk dikasihi-Nya.

Selama beberapa bulan, aku telah belajar bahwa di masa-masa terkelam hidup seharusnya kita menaruh percaya pada-Nya. Dalam perjalanan kekristenanku, aku mengalami momen yang membawaku pada terobosan dan penolakan. Saat aku berjalan di lembah atau puncak, ini adalah momen yang cepat berlalu. Aku tak tahu mengapa hidupku berjalan sedemikian rupa, tetapi aku tahu Allah adalah sauh yang kuat bagi jiwaku (Ibrani 6:19), dan Dia punya tujuan bagiku. Tak peduli medan apa yang kulalui, Dialah sumber penghiburanku. Dia masih menulis kisah hidupku, kisah yang jauh lebih baik dari apa yang kupikirkan.

Setelah beberapa bulan mencari kerja, aku mendapat pekerjaan sementara di gereja. Bukan pekerjaan yang kudambakan, tetapi mungkin ini adalah pekerjaan yang baik yang bisa kulakukan di masa sekarang untuk mengembangkan talentaku melayani-Nya. Lagipula, Allah telah menujukkan padaku kesetiaan-Nya dan Dialah penolongku di masa-masa sulit. Dia telah memimpinku kepada kesempatan-kesempatan lain untuk menujukkan kemampuan kreatifku.

Jika kamu merasa kamu sedang berjalan dalam terowongan kelam dan hidupmu serasa jalan di tempat, aku ingin mendorongku untuk melihat pada kasih Allah yang tak pernah berubah untukmu. Jangan pernah lelah untuk meraih-Nya. Dialah Allah yang baik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Belajar Setia dari Aren

Aren masih duduk di bangku SD dan dia hidup dengan penyakit bawaan. Bukan hidup yang mudah tentunya, tetapi Aren ingin berbagi cerita dan semangat buat kita semua.