Posts

Lockscreen Yohanes 3:16

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).

Yuk download dan gunakan lock screen ini di HP kamu.
Klik di sini untuk melihat koleksi lock screen WarungSaTeKaMu

Lockscreen ini dibuat oleh Stella Yohana (@letstakeanap_id) untuk sobat muda di WarungSaTeKaMu.

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Penulis: James Bunyan, UK
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Is Christianity just a “Get Out Of Hell Free” Card?

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”—Yohanes 3:16

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?

Secara singkat, jawabannya adalah “ya”! Tetapi juga “tidak”.

Yohanes 3:16 menjelaskan sebuah kebenaran yang luar biasa tentang Yesus. Siapa pun yang percaya kepada Yesus tidak akan binasa, namun beroleh hidup yang kekal. Kebenaran yang luar biasa ini harus selalu kita ingat baik-baik.

Menghindari neraka jelas ada dalam ajaran Kristen. Tetapi, saya ingin mengatakan bahwa kekristenan itu jauh lebih luas, tidak sekadar mengajar kita bagaimana caranya menghindari neraka.

Bahkan sesungguhnya, memangkas kabar baik yang dibawa Yesus hingga orang berasumsi bahwa ada hanya ada satu konsekuensi yang akan mengikuti keputusan mereka mengikut Yesus (terhindar dari neraka), itu sangat berbahaya. Mengapa? Karena dengan demikian kita sedang membuang banyak sekali karunia rohani yang sesungguhnya disediakan Allah.

Untungnya, Alkitab tidak membiarkan kita melakukannya.

Injil Yohanes tidak membiarkan kita melakukannya.

Bahkan Yohanes 3:16 juga tidak membiarkan kita melakukannya.

Jika hidup kita menunjukkan bahwa menghindari neraka adalah satu-satunya kebenaran yang penting dalam Kekristenan, kita telah menyingkirkan beberapa kebenaran penting yang ditunjukkan di dalam ayat ini.

1. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini …”

Jika iman demi menghindari neraka itu benar, kekristenan adalah iman yang sangat individualis dan juga sangat egois. Bukankah bicara tentang surga itu berarti bicara tentang saya dan kenyamanan saya? Yesus mati bagi saya dan itu tidak ada hubungannya dengan orang lain.

Lalu, mengapa kita perlu ke gereja? Satu-satunya kesamaan saya dengan orang lain yang datang ke gereja adalah: mereka juga telah mengambil asuransi yang sama. Hubungan saya dengan orang Kristen lainnya tak ubahnya seperti hubungan saya dengan orang lain yang membeli pakaian di toko yang sama. Pilihan yang bagus. Tetapi setelah itu, biarkan saya menjalani kehidupan saya sendiri.

Bersyukur bahwa kehidupan yang individualis sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bisa dipilih oleh seorang Kristen. Yohanes 3:16 mengatakan bahwa kasih Allah begitu besar akan dunia ini. Tujuan Allah memberikan Anak-Nya yang tunggal bukan untuk membuat kita menjadi orang-orang yang individualis. Tujuan-Nya amat sangat besar: Yesus datang supaya seisi dunia ini beroleh kesempatan untuk menerima hidup kekal—itu berarti segala suku bangsa, segala kelompok usia, dan segala macam latar belakang.

Dan dari orang-orang yang tidak terhitung banyaknya itulah Allah membangun Gereja-Nya. Almarhum John Stott, seorang pendeta di London, pernah menulis, “Karena tujuan-Nya … bukanlah untuk sekadar menyelamatkan individu-individu yang terisolasi satu sama lain—bila demikian kita akan terus mengalami kesepian—melainkan untuk membangun Gereja-Nya.”

Kekristenan itu bukan hanya tentang kita, tetapi tentang semua orang di seluruh penjuru dunia; mereka perlu mendapatkan kesempatan yang sama dengan kita. Kekristenan itu juga bukan sekadar upaya menghindari neraka, melainkan tentang menjadi bagian dari sebuah komunitas baru yang dibangun Allah di dalam Yesus. Kekristenan itu berarti mengasihi, menyambut, dan menerima semua orang lain yang percaya kepada Yesus.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini.

2. “… sehingga Dia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal…”

Jika kamu adalah seorang yang percaya bahwa kekristenan itu hanyalah semacam garansi “bebas dari neraka”, itu berarti kamu mengakui bahwa Allah mengaruniakan Yesus bagimu—Dialah yang kamu butuhkan untuk bisa masuk ke surga. Cukup sampai di situ. Setelah Yesus mati bagimu, Dia tidak lagi berguna bagimu.

Untungnya, Alkitab tidak hanya bicara tentang apa yang dilakukan Yesus di masa lalu. Yesus juga adalah Tuhan yang bangkit, yang secara terus-menerus mengasihi, membangun, dan membentuk umat-Nya dengan kuasa Roh Kudus.

Dan, tidak hanya berhenti sampai di situ!

Orang-orang yang percaya bahwa kekristenan itu hanya semacam garansi “bebas dari neraka” tahu bahwa surga adalah tempat orang Kristen bisa mengalami segala sesuatu yang paling baik di jagat raya ini. Apa sebenarnya yang paling berharga bagi orang-orang Kristen? Bukankah yang paling berharga adalah Pribadi yang disebutkan Alkitab telah memimpin kita dalam iman dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan?

Alkitab sesungguhnya berkata bahwa pada akhir zaman, manusia-manusia yang telah diperbarui sebagai umat Tuhan akan mendapatkan tempat di sekitar takhta Yesus, menyembah Dia dengan penuh sukacita selamanya. Saat bicara tentang surga, kita tidak sedang berbicara tentang sebuah tempat yang nyaman untuk pensiun; tetapi tempat kita akan berjumpa dengan Pribadi terpenting di dalam hidup kita.

Pernahkah kamu berpikir bahwa suatu hari nanti, kamu tidak perlu lagi membaca Alkitab untuk memahami siapa Yesus? Pada akhirnya, kamu akan dapat memandang-Nya, muka dengan muka!

Bila hal itu tidak membuatmu bersemangat, mungkin kamu telah salah mengerti apa yang menjadi pokok utama kekristenan. Yesus bukan sekadar sarana yang dapat kita gunakan untuk mencapai tujuan—Dialah pokok utama kekristenan.

3. “…supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Kekristenan sama sekali bukan sebuah asuransi untuk sebuah kehidupan di masa depan yang tidak mempengaruhi kehidupan kita di masa kini. Ketika kita memutuskan untuk mengikut Yesus, tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan kita, baik itu di masa lalu, masa kini, atau masa depan, yang akan tetap sama. Naluri kita, prioritas-prioritas kita, karakter kita, semuanya akan mengalami perubahan total melampaui apa yang bisa kita bayangkan, dan tidak ada satu bagian pun dari masa depan kita yang tidak menjadi milik Tuhan. Kehidupan yang akan berlanjut dalam kekekalan itu sudah dimulai segera setelah kita percaya kepada Yesus.

Kehidupan kita harus berubah, hmm… kedengarannya tidak nyaman ya? Tiba-tiba kekristenan menjadi sesuatu yang tidak mudah, apalagi murahan! Mungkin kamu bertanya-tanya, benarkah iman kepada Kristus sedemikian berharga?

Dalam Yohanes 17 kita membaca bahwa hidup yang kekal itu adalah mengenal Sang Bapa, satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus yang telah diutus-Nya. Artinya, tidak ada yang lebih baik daripada mengenal dan dikenal oleh Pribadi yang telah menciptakan jagat raya dan segala isinya, Pribadi yang dengan penuh kasih menempatkan bintang-bintang pada posisi yang tepat, dan yang telah memikirkan tentang kita sebelum orang lain memikirkan kita.

Mengapa iman yang sekadar menghindari neraka itu jelas tidak cukup? Karena iman yang demikian membuat kita tidak bisa melihat kebenaran yang luar biasa ini: setiap kita diciptakan untuk mengenal dan menaati Allah yang Mahakasih, yang berkuasa atas segala sesuatu, serta untuk dikenal oleh-Nya.

Iman yang sekadar menghindari neraka jelas tidak sebanding dengan iman Kristen yang sejati.

4 Cara Berhenti Mengasihani Diri

Penulis: Yahya A. Tioso

Aku punya banyak sekali alasan untuk mengasihani diri sendiri. Salah satu alasan terbesar adalah kondisiku yang tunarungu sejak lahir. Aku tunarungu berat dan tidak bisa bicara hingga usia sekolah. Orangtuaku kemudian menyekolahkan aku ke SLB-B Pangudi Luhur. Sejak kecil, aku selalu merasa paling nyaman di rumah bersama keluargaku dan di sekolah bersama teman-teman tunarungu. Aku sering merasa minder jika harus berinteraksi di tempat umum, misalnya saat memesan makanan di food court. Aku takut ditertawakan karena merasa suaraku bakal terdengar aneh dan orang tidak akan mengerti apa yang kukatakan. Sebab itu, aku sering meminta orang tua atau kakak memesankan makanan untukku. Aku menempatkan diri sebagai “korban”, pihak yang harus dikasihani orang lain, dan tidak berani melakukan banyak hal. “Apa boleh buat, aku ‘kan tunarungu, jadi memang perlu ditolong,” alasanku setiap kali. Saat itu aku tidak menyadari bahwa sikap mengasihani diri sendiri yang terus menerus dilakukan setiap hari justru bisa merusakku, membuatku kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi dan talenta yang Tuhan berikan di dalam diriku.

Tetapi, Tuhan bekerja menunjukkan kasih dan kuasa-Nya yang tidak terbatas di dalam hidupku yang serba terbatas. Dia mengajarku untuk mengganti kebiasaan mengasihani diri sendiri itu dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai firman-Nya. Kupikir, empat kebiasaan berikut ini dapat menolongmu juga setiap kali perasaan mengasihani diri datang menghampiri:

1. Mengandalkan Tuhan dalam segala hal.
Setelah lulus dari SLB-B, orangtua menyekolahkan aku ke SMP Jubilee, sebuah sekolah normal yang tidak menyediakan penanganan khusus bagi siswa tunarungu seperti aku. Sekolah ini termasuk sekolah nasional plus yang memiliki kurikulum bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Meski aku tahu orangtuaku telah banyak berdoa minta petunjuk Tuhan sebelum menyekolahkan aku di sana, tetap saja aku merasa takut. Aku merasa orang normal pasti jauh lebih pintar dan lebih kuat daripada aku.

Benar saja, saat mulai bersekolah di sana, aku merasa sangat frustrasi. Dunia tunarungu dan dunia normal itu sangat berbeda. Aku selalu merasa sendirian dan terkucil. Tidak ada teman sekelas yang mengajakku berbicara atau mendekati aku. Aku sama sekali tidak mengerti pelajaran yang diberikan karena gurunya berbicara terlalu cepat. Semua di luar kemampuanku. Aku sering sekali menangis di toilet. Di sekolahku dulu, para guru berbicara pelan-pelan dan aku mengerti pelajaran yang mereka berikan. Teman-teman tunarungu selalu memahamiku, bisa bermain dan ngobrol denganku. Semua menyenangkan dan mudah.

Suatu kali aku memberanikan diri mengangkat tangan dan meminta guru mengulangi kalimat yang tidak aku mengerti. Spontan, teman-teman sekelas tertawa mendengar suaraku. Aku menjadi makin minder dan menutup diri. Aku tidak mau berbicara lagi di sekolah. Kesehatanku mulai terganggu karena stres. Aku sering sakit diare. Namun, ketika dibawa ke rumah sakit, obat diare yang diberikan tidak efektif. Dokter menyimpulkan bahwa penyebab sakitku bukanlah bakteri, melainkan stres.

Di puncak stres aku minta orangtuaku untuk memindahkan aku ke sekolah khusus tunarungu. Mereka tidak setuju. Mereka bertanya, apa yang kubutuhkan agar bisa tetap bertahan. Aku langsung menjawab, “Satu teman.” Mereka pun mengajakku berdoa dengan sungguh-sungguh, meminta satu teman dari Tuhan.

Dan, Tuhan mendengar! Tanpa kuduga, ada satu teman yang kemudian menghampiriku dan bertanya apakah aku bisa bicara.

“Bisa sedikit,” kataku.

Teman itu sangat baik dan mau belajar berkomunikasi denganku. Ia minta aku mengulangi ucapanku jika ia tidak dapat menangkap maksudku. Bila setelah tiga kali diulang ia masih juga belum mengerti, barulah aku menulis apa yang kumaksudkan di sebuah buku. Demikian pula sebaliknya. Jika ia berbicara kepadaku dan aku tidak memahami maksudnya hingga tiga kali, ia juga akan menuliskannya di sebuah buku. Perlahan-lahan aku mulai berani bicara lagi.

Sungguh ini merupakan jawaban Tuhan yang luar biasa dan sangat sesuai dengan kebutuhanku untuk beradaptasi di sekolah. Aku terkagum-kagum. Pengalaman itu membuat imanku bertumbuh makin kuat. Aku percaya bahwa Tuhan itu hidup, dan Dia mendengarkan doa anak-anak-Nya. Aku dapat bergantung kepada-Nya dalam segala hal. Ketika masalah datang, aku belajar untuk tidak mengasihani diri, tetapi segera datang kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya.

2. Mengucap syukur.
Sikap mengasihani diri membuat kita berfokus pada hal-hal yang negatif dan lalai memperhatikan kebaikan-kebaikan Tuhan. Kita sibuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita menyalahkan situasi, menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan Tuhan.
“Mengapa Tuhan menciptakan aku seperti ini?”
“Mengapa aku tidak secantik/setampan orang lain?”
“Mengapa Tuhan mengizinkan aku dilahirkan di keluarga ini dan bukan di keluarga itu?”
“Mengapa orang tuaku tidak sebaik orangtua temanku?”
“Seandainya aku seperti orang itu, hidup pasti jauh lebih menyenangkan dan lebih mudah.

Mengucap syukur adalah sikap hati yang mengubah fokus tersebut.

Tuhan membuka mataku untuk melihat bahwa sebenarnya ada begitu banyak hal yang bisa kusyukuri setiap hari. Dia memberiku keluarga yang menyayangi aku, tempat untuk tinggal, makanan yang cukup, kesempatan bersekolah, teman-teman yang baik, guru-guru yang sabar, dan banyak lagi.

Yang lebih luar biasa, Dia mengizinkan aku mengenal-Nya dan mengalami kasih-Nya. Firman Tuhan memberitahukan bahwa Dia menciptakan setiap orang—termasuk aku—secara istimewa (Mazmur 139:13-14). Karena begitu besar kasih-Nya kepada dunia ini, Dia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16). Kalau Tuhan itu tidak baik, tidak mengasihi kita, Yesus tidak akan turun ke dunia dan mati di kayu salib, dan kita tidak akan punya kesempatan menjadi anak-anak-Nya.

Ketika aku mulai berfokus pada kebaikan Tuhan, hatiku menjadi ringan dan penuh sukacita. Masalah yang aku hadapi jadi tampak sangat kecil dibandingkan dengan semua yang sudah Tuhan berikan kepadaku. Masalah-masalah itu memang tidak serta-merta pergi, tetapi aku mendapatkan kekuatan untuk menghadapinya bersama dengan Tuhan. Fokusku tidak lagi tertuju pada masalah, tetapi pada kebesaran Tuhan.

3. Menyerahkan hak pribadiku kepada Tuhan.
Sikap mengasihani diri membuat kita merasa berhak untuk diperhatikan, ditolong, dilayani, diberi perlakuan istimewa. Kita berfokus pada diri kita sendiri, dan kecewa ketika orang lain tidak memenuhi harapan kita. Aku pribadi mendapati diriku sering mengeluh, ”Ah, mengapa tidak ada orang yang memperhatikan aku, membantu aku, dan mau menjadi temanku?” Secara tidak sadar aku berharap orang lain melakukan ini dan itu untukku karena aku tunarungu. Ketika semua harapan itu tidak terwujud, aku menjadi sangat stres.

Aku ingat saat aku mulai kuliah di Malaysia dan untuk pertama kalinya harus hidup jauh dari keluarga dan teman-temanku di sana. Aku merasa sangat tertekan dan sulit beradaptasi. Aku berdoa, tetapi situasiku tidak kunjung membaik. Di tengah rasa frustrasi itu, Tuhan berbicara di dalam hatiku, “Anak-Ku, serahkan semua hak pribadimu kepada-Ku. Hak untuk diperhatikan. Hak untuk dibantu. Hak untuk mempunyai teman.”

Aku sungguh terkejut dengan permintaan Tuhan yang menurutku aneh dan sangat bergumul untuk menanggapi-Nya. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk taat. Aku menyerahkan semua hak pribadiku kepada Tuhan, sekalipun aku belum begitu memahami apa artinya itu.

Keesokan harinya, hatiku berubah drastis. Aku menjadi sangat tenang. Pikiranku yang tadinya frustrasi kini diliputi damai sejahtera. Aku baru mengerti maksud Tuhan. Menyerahkan hak pribadi berarti aku tidak lagi menuntut orang lain untuk membantu, memperhatikan, dan memberiku perlakuan yang khusus karena situasiku. Sebaliknya, aku belajar percaya bahwa Tuhan akan menyediakan semua kebutuhanku pada waktu-Nya. Sebuah perubahan pola pikir yang radikal! Namun melaluinya, aku sungguh mengalami bagaimana Tuhan menyediakan semua yang terbaik bagi anak-anak-Nya!

4. Menerima dan mempercayai apa yang Tuhan rancangkan atas hidupku.
Waktu kecil, aku sering bertanya kepada mama, “Mengapa aku dilahirkan tunarungu?” Mama biasanya menjawab, “Oh karena mama sakit waktu hamil.” Tetapi, jawaban itu tidak pernah memuaskan aku. Suatu hari, aku bertanya lagi. Mama membuka Alkitab, lalu mengajak aku membaca Yohanes 9:1-3 bersamanya:

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Jawaban Yesus sungguh luar biasa. Banyak yang berpikir bahwa cacat adalah hukuman atas dosa, baik dosa orang cacat itu sendiri ataupun dosa orangtuanya. Namun, Yesus menegaskan bahwa kondisi cacat itu berasal dari Allah sendiri, karena ada pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam diri orang tersebut.

Hatiku diliputi rasa tenteram mendengar jawaban itu. Aku menjadi tenang karena tahu bahwa aku bukan sebuah produk gagal. Tuhan punya rencana dengan menciptakan aku dalam kondisi yang tunarungu. Aku belum mengerti bagaimana pekerjaan Tuhan dapat dinyatakan di dalam hidupku, tetapi aku berusaha belajar dan melakukan segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Aku mau hidup untuk menyenangkan Tuhan.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai mendapatkan lebih banyak teman dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Tanpa disangka, aku bahkan menjadi langganan juara 1. Aku kemudian mendapat kesempatan belajar di luar negeri, bekerja, dan bahkan membangun rumah tangga sendiri.

Menengok ke belakang, aku mulai mengerti bagaimana Tuhan menyatakan pekerjaan-Nya melalui hidupku. Jika orang normal bisa berprestasi, itu hal biasa. Tetapi, jika orang seperti aku yang susah berkomunikasi dan sulit menangkap apa yang disampaikan guru di kelas sampai bisa meraih juara pertama, jelas itu bukan hal yang bisa kulakukan dengan kemampuan sendiri.

Aku pernah melihat orang yang tidak punya tangan, tetapi bisa melukis dengan kaki jauh lebih indah daripada orang normal, membuat banyak orang takjub. Kupikir, Tuhan memakai orang cacat dan mereka yang dianggap lemah oleh dunia untuk menyatakan bahwa Dia sungguh HIDUP. Kesadaran ini membuatku tidak lagi punya alasan untuk mengasihani diri sendiri. Kelemahanku ternyata justru menjadi sarana Tuhan menyatakan kebesaran-Nya kepada banyak orang. Tuhan sanggup memakai situasi terburuk untuk mendatangkan kebaikan bagi anak-anak-Nya (Roma 8:28).

Temukan kisah lengkapnya di http://godisnotdeaf.com/

Natal—Saatnya Memilih untuk Mengasihi

memilih-untuk-mengasihi

Oleh Melisa Marianni Manampiring, Jakarta

Bicara tentang Natal tidak bisa lepas dari yang namanya “kasih”. Natal selalu identik dengan pernyataan kasih Allah bagi dunia melalui kelahiran Sang Juruselamat. Salah satu ayat Alkitab yang sering dikutip (bahkan mungkin sudah dihafal) tentang kasih Allah ini adalah Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Sebagai para pengikut Kristus, kita tahu bahwa kita dipanggil untuk hidup serupa dengan-Nya. Namun, masing-masing kita mungkin memiliki pergumulan tersendiri tentang hidup di dalam kasih.

Aku sendiri punya teman yang cukup dekat dan sangat aku kasihi. Seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat bahwa ia bukan orang yang mudah untuk dikasihi. Tak jarang tingkah lakunya membuatku kecewa. Aku pun mulai ragu apakah aku bisa terus mengasihinya. Aku menyadari bahwa ternyata perasaanku bisa berubah-ubah, tak menentu, menurut keadaan yang ada di sekelilingku. Ketika ia baik kepadaku, melakukan hal yang menyenangkan hatiku, dengan mudah “kasih” bisa meluap dalam hatiku. Namun, ketika ia tidak memberi respons yang kuharapkan, “kasih” pun bisa menguap dengan segera.

Memilih untuk mengasihi. Itulah komitmen yang kemudian aku ambil setelah bergumul panjang dalam doa. Aku mengambil komitmen untuk tetap mengasihinya, terlepas dari apapun yang ia lakukan. Komitmenku itu tidak lantas membuat keadaan berjalan mulus. Aku masih jatuh bangun dalam menata perasaanku yang berubah-ubah. Adakalanya aku merasa sudah melakukan yang terbaik, namun tanggapan yang kuterima malah mengecewakan. Jujur, aku merasa sakit, dan sempat berpikir untuk mundur. Namun, pengalaman itulah yang kemudian dipakai Allah untuk mengajariku tentang kebesaran kasih-Nya.

Memilih untuk mengasihi. Bukankah itu inisiatif nyata yang ditunjukkan Allah dalam peristiwa Natal? Manusia yang telah jatuh dalam dosa jelas bukan pribadi-pribadi yang mudah untuk dikasihi. Kebaikan Allah ditanggapi dengan tidak semestinya. Segala yang terbaik telah disediakan Allah, namun manusia memilih jalannya sendiri, menganggap sepi kasih Allah. Sakit hati yang aku rasakan jelas tak sebanding dengan sakit hati Allah. Dapat saja Allah memilih untuk berhenti mengasihi manusia. Namun, Natal menunjukkan hal yang sebaliknya. Allah menunjukkan betapa Dia adalah kasih, dan kasih-Nya itu tidak bergantung pada manusia. Dia datang kepada dunia yang telah cemar, dengan kasih yang tidak tercemar.

Pengalaman ini menolongku memahami arti kasih yang diajarkan dalam Alkitab. Kasih yang tak sebatas perasaan belaka. Kasih yang tidak bergantung pada situasi dan tanggapan orang lain. Kasih yang tak diberikan karena aku ingin balas dikasihi, tetapi karena aku mau taat pada kebenaran—seperti yang diajarkan Alkitab: Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu (1 Petrus 1:22). Kasih yang demikian jelas tidak dapat dihasilkan oleh kekuatanku sendiri, tetapi harus berasal dari Allah, Sang Sumber Kasih.

Seiring dengan berbagai kesibukan perayaan Natal yang sedang berlangsung, sederetan pertanyaan terasa menggelitik di hati: Masihkah Natal menggetarkan hati kita dengan kasih sejati yang ditunjukkan Allah? Ataukah semua perayaan itu akan berlalu sebagai rutinitas tahunan yang biasa-biasa saja, tidak berdampak apa-apa dalam hidup kita? Apakah kita lebih banyak menuntut perhatian dan kasih dalam hari-hari ini, ataukah kita bersedia lebih banyak membagikan perhatian dan kasih kepada orang lain?

Harapanku, Natal akan menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang memilih untuk mengasihi di tengah dunia yang haus akan kasih. Kristus telah menunjukkan kasih itu melalui kedatangan-Nya pada hari Natal. Dan, kita dipanggil untuk mengikuti jejak-Nya.

Selamat Natal 2017!

Baca Juga:

Ketika Aku Minder Karena Usiaku

Aku adalah anak ketika dari delapan bersaudara. Ketika tiba saatnya untukku masuk ke SD, orangtuaku menundanya karena aku harus menjaga adik-adikku. Akibatnya, saat akhirnya aku sekolah, usiaku pun jadi lebih tua daripada teman-teman lainnya dan inilah yang membuatku menjadi amat minder.

Bukan Lagi Aku, Melainkan Kristus

Penulis: Abyasat Tandirura
Ilustrator: Galih Reza Suseno

Bukan-Aku-Melainkan-Kristus

Menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi adalah keputusan terbesar dan terpenting yang pernah aku buat dalam hidupku, karena aku yakin, hanya di dalam Yesus saja aku beroleh keselamatan dan hidup yang kekal (Kisah Para Rasul 4:12, Yohanes 3:16). Akan tetapi, dalam menjalani hidup sehari-hari aku sadar bahwa aku tidak lebih baik dari orang lain. Sering aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku benar-benar telah menjadi pengikut-Nya?

Salah satu contoh sederhana, aku tahu bahwa ketika aku menyebut Yesus sebagai Tuhan, itu artinya Yesus harus menjadi pusat dari seluruh hidupku, baik itu dalam pikiran, tutur kata, dan perbuatanku. Yesus harus menjadi yang terutama dalam hidupku. Namun, kenyataannya, susah untuk menomorsatukan Tuhan dalam hidup setiap hari. Seringkali, kemalasan mengalahkan niatku untuk bersaat teduh di pagi hari. Sibuk, buru-buru, tidak sempat. Ada saja alasan yang membuatku sulit meluangkan waktu untuk berbicara dengan Tuhan dalam doa secara teratur. Aku bahkan sempat malu jika kelihatan sedang berdoa di tempat umum.

Sebagai pengikut Kristus, aku tahu bahwa aku harus meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan mulai bertumbuh serupa Kristus. Namun terus terang, menjadi serupa Kristus itu tidak mudah. Sulit sekali untuk merendahkan hati dan membangun sikap mengampuni saat orang lain menyakitiku. Rasanya hampir mustahil menanggalkan sikap “suka marah-marah” yang sudah begitu lama ada dalam diriku. Menyontek adalah jalan pintas yang jauh lebih menarik daripada bertekun untuk belajar secara teratur dan memohon hikmat dari Tuhan. Berfokus pada diri sendiri dan semua pergumulan pribadiku jauh lebih mudah daripada memperhatikan kepentingan orang lain, apalagi mendoakan mereka.

Aku mulai mengerti mengapa Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Lukas 9:23). Memiliki identitas sebagai seorang Kristen saja ternyata tidak menjamin seseorang menjadi seorang pengikut Kristus sejati. Adakalanya, keakuan kita menggeser Tuhan dari takhta-Nya dalam hidup kita. Kita hanya menganggap-Nya sebagai “tamu” yang datang sewaktu-waktu, bukan “Raja” yang berhak mengendalikan hidup kita sepanjang waktu.

Alkitab memberitahukan bahwa Yesus Kristus mati dan bangkit untuk menjadikan kita sebagai ciptaan yang baru (2 Korintus 5:17). Itu berarti meninggalkan cara hidup kita yang lama dan memulai pola hidup baru. Kita tidak lagi dikuasai oleh keinginan daging kita, tetapi oleh Yesus. Menyangkal diri dan memikul salib setiap hari berarti bersedia meninggalkan zona nyaman kita agar dapat mengikut Yesus. Kita berkata “tidak” pada kehendak pribadi agar dapat berkata “ya” pada kehendak Yesus. Kita berani dan konsisten menerapkan kebenaran yang sudah kita tahu, sekalipun risikonya kita mungkin harus “menderita” seperti Yesus.

Bagiku pribadi, ini adalah proses seumur hidup. Setiap hari adalah perjuangan iman untuk memusatkan diri pada Kristus. Setiap hari adalah proses jatuh bangun untuk sungguh-sungguh mengikut Dia. Kita pasti akan gagal jika hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Namun, kita bersyukur ada Roh Kudus yang menyertai dan menolong setiap orang yang percaya kepada Kristus. Bersama Rasul Paulus, kita bisa berkata, “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia 2:20).

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Kebenaran apa yang sebenarnya sudah kamu tahu, tetapi tidak pernah atau sangat jarang kamu lakukan hingga hari ini? Apa yang membuatmu sulit melakukannya?