Posts

Sebuah Penyakit yang Meruntuhkan Keegoisanku

sebuah-penyakit-yang-meruntuhkan-keegoisanku

Oleh Amanda, Bali

Terkadang, sulit bagi kita untuk melihat apa sesungguhnya rencana Tuhan untuk kita saat ini. Kita mungkin bersungut-sungut dan bertanya mengapa hal-hal ini terjadi? Mengapa harus seperti ini? Bahkan, tidak jarang kita marah atas segala sesuatu yang terjadi di luar keinginan kita.

Sebelas tahun yang lalu, aku merasa hidupku begitu sempurna. Aku tinggal di luar negeri, memiliki pekerjaan yang menjanjikan, serta keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungku. Begitu nyamannya kehidupanku saat itu, hingga tidak pernah terpikir olehku untuk kembali pulang ke tanah air Indonesia.

Setelah lulus dari bangku SMA, aku melanjutkan pendidikanku di Singapura. Ketika aku lulus dari universitas, aku memilih untuk menetap di perantauan. Aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang manajer retail di Singapura. Tapi, pekerjaan itu sejujurnya bukanlah passionku, sehingga di tengah kesibukan kerja aku pun mengambil kursus singkat untuk menjadi seorang make up artist atau penata rias profesional.

Ketika virus ganas menyerangku

Di tahun 2012, ketika aku baru saja terbangun di pagi hari, aku merasakan setengah dari wajahku tidak dapat digerakkan. Hari-hari sebelumnya memang ada sesuatu yang aneh dengan kondisi fisikku. Sepanjang hari terdengar suara berdengung tanpa henti di telingaku. Ketika aku memeriksakan diri ke pihak medis, diagnosa dokter pada mulanya menyebutkan bahwa suara itu disebabkan karena sinusitis—peradangan pada dinding sinus, yaitu rongga kecil yang terletak di belakang tulang pipi dan dahi.

Akan tetapi, ternyata penyakit itu sesungguhnya bukan sinusitis. Dokter yang menanganiku kemudian berkata bahwa aku terserang penyakit Bell’s Palsy. Penyakit inilah yang menyebabkan setengah dari wajahku lumpuh. Sebetulnya, penyakit Bell’s Palsy dapat sembuh dalam rentang waktu dua hingga empat minggu, tapi kasusku ini berbeda. Di belakang telingaku telah tumbuh suatu kelenjar yang ternyata sudah merusak saraf telinga dan wajahku.

Hari itu juga, dokter memutuskan untuk melakukan operasi terhadapku. Keluarga dan teman-temanku tidak mengira bahwa penyakit yang menyerangku saat itu adalah Bell’s Passy. Mereka mengira bahwa operasi yang kulakukan adalah operasi sinusitis.

Saat itu aku merasa sedih dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat selanjutnya. Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa Dia mengizinkan ini terjadi kepadaku? Setengah dari wajahku sama sekali tidak dapat digerakkan. Aku tidak bisa menutup salah satu mataku, bahkan minum pun harus dengan bantuan sedotan.

Para pengidap penyakit Bell’s Passy pada umumnya dapat sembuh secara total, tapi tidak denganku. Kelenjar yang telah tumbuh di belakang telingaku telah menginfeksi saraf-saraf, sehingga sampai hari ini pun wajahku belum pulih seutuhnya. Aku merasa sedih dan malu dengan keadaan wajahku.

Seharusnya saat itu aku marah kepada Tuhan, tapi entah mengapa, hatiku merasa bersyukur atas penyakit yang menimpaku. Waktu itu aku berpikir kalau bukan karena pertolongan Tuhan, mungkin dokter pada hari itu tidak dapat menolongku.

Kebaikan Tuhan mengalahkan rasa kecewaku

Setelah mengetahui bahwa aku menderita penyakit ini, kedua orangtuaku memaksaku untuk kembali pulang ke Indonesia. Keputusan itu amat berat bagiku. Singapura telah menjadi zona nyamanku. Aku menemukan pekerjaan dan lingkungan yang kurasa amat cocok denganku. Aku merasa hidupku begitu mulus tanpa masalah, tapi secara tidak kusadari, kehidupan itu telah membuatku menjadi sangat egois.

Sekembalinya di Indonesia, dukungan dari teman-teman dan keluarga terus mengalir seraya aku terus berjuang lewat terapi-terapi rutin yang kulakukan. Ketika aku merasakan bahwa orang-orang di sekitarku begitu peduli, aku sadar bahwa sejatinya Tuhan memiliki rencana atas hidupku. Wajahku belum sembuh secara sempurna, tetapi dari penyakit ini aku belajar bahwa Tuhan tidak meninggalkanku sendirian dalam lembah kekelaman.

Tuhan mempertemukanku dengan seorang lelaki yang mau menerima keadaanku apa adanya dan saat ini kami telah menikah. Tak hanya sampai di situ, ada begitu banyak kebaikan Tuhan lainnya yang terus aku rasakan. Dulu, dari pekerjaanku di Singapura, aku mendapatkan gaji yang amat besar. Namun, karena pekerjaan itu bukanlah passionku, jadi di sela-sela pekerjaan aku pun mengikuti kursus make up artist. Sekarang, aku amat bersyukur karena kursus singkat yang pernah kuikuti dulu di Singapura ternyata menjadi berguna saat ini. Sambil terus melakukan pengobatan atas wajahku, dengan penuh sukacita aku bekerja sebagai seorang make up artist yang adalah passionku. Aku sadar bahwa Tuhan meniti dengan indah setiap momen-momen kehidupanku, dan rancangan-Nya selalu tepat pada waktu-Nya.

Jika dulu penyakit ini tidak menimpaku, mungkin aku tidak akan pernah kembali ke Indonesia dan melakukan pekerjaan yang memang sesuai dengan passionku. Keadaan apapun yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini, percayakan dan serahkan semuanya kepada Tuhan dan yakinlah bahwa suatu saat kita akan melihat rencana-Nya yang indah.

Dahulu aku adalah seorang yang egois dan tidak pernah sekalipun memikirkan orang lain. Tetapi, sekarang ketika aku membuka mataku, aku melihat kebaikan Tuhan hadir di setiap kehidupan kita.

“Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya” (Mazmur 33:21).

Baca Juga:

Manakah yang Lebih Baik, Menikah atau Tetap Single?

Topik seputar pernikahan nampaknya menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan di mana-mana. Sebagai seorang single, kadang itu membuatku jadi penasaran dan bertanya. Hal apakah yang bisa mendorongku melepas status singleku untuk terikat dalam pernikahan dengan seseorang?

Pekerjaanku Bukanlah Passionku, Tapi Inilah Cara Tuhan Membentukku

Pekerjaanku-Bukanlah-Passionku-Tap- Inilah-Cara-Tuhan-Membentukku

Oleh Gracea Elyda Safaret Sembiring, Yogyakarta

Ketika aku diwisuda pada September 2015, kupikir itu adalah momen yang paling berbahagia dalam hidupku. Aku membayangkan akan masa depanku yang cerah setelah menyandang gelar sarjana. Aku bisa bekerja dengan segera di perusahaan-perusahaan bonafide yang aku inginkan. Tapi, momen bahagia itu perlahan pudar menjadi hari-hari penuh perjuangan tatkala aku harus bergumul mencari pekerjaan selama hampir tujuh bulan.

Setelah melepas status sebagai mahasiswa, dengan segera aku berganti status menjadi seorang jobseeker alias pencari kerja. Perjuanganku untuk mendapatkan pekerjaan kulakukan dengan mendatangi bursa pameran kerja, baik itu di dalam ataupun luar kota. Selain itu, setiap hari aku selalu mencari-cari lowongan kerja di beragam portal karier yang tersedia di internet. Selama enam bulan itu aku berjuang keras mondar-mandir mencari pekerjaan, dan saat memasuki bulan ketujuh akhirnya aku mendapatkan pekerjaan pertamaku.

Sebuah pertentangan idealisme

Tiga bulan pertama menjadi seorang jobseeker, idealismeku masih begitu tinggi. Aku hanya mau melamar kerja di perusahaan-perusahaan yang menurutku bonafide. Dalam sebuah pameran bursa kerja, aku mendaftarkan diriku ke sebuah bank. Namun, aku tidak mengetahui kalau pada hari itu juga langsung diberikan pengumuman untuk maju ke tahap wawancara keesokan harinya.

Di hari kedua pameran bursa kerja, aku tidak sengaja melihat bahwa ada namaku tercantum di papan pengumuman seleksi wawancara. Di sana tertulis bahwa jadwal wawancaraku akan berlangsung kurang dari 15 menit lagi sehingga aku pun segera berlari menuju lokasi wawancara. Tapi, ternyata wawancara sudah selesai. Aku memohon supaya bisa mengikuti seleksi wawancara di tahap selanjutnya, tapi pihak panitia seleksi tidak mengizinkan. Ketika aku keluar ruangan, perasaanku begitu campur aduk hingga aku pun menangis.

Setelah memasuki bulan keempat pencarian kerja, idealismeku yang semula begitu tinggi pun mulai menurun. Aku mulai pasrah, lalu sebagai seorang pencari kerja yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan, aku jadi lebih sering khawatir, bingung, dan bosan. Apalagi, orangtuaku juga menuntutku untuk segera bekerja.

Ketika pekerjaan tidak sesuai dengan passionku

Setelah melewati masa penantian selama beberapa bulan, akhirnya aku diterima bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang staf bagian keuangan. Sudah satu tahun aku lewati bekerja di sana, namun hingga kini sejujurnya aku belum merasakan damai sejahtera. Pekerjaan ini membuatku merasa tidak menjadi diri sendiri. Aku merasa bahwa aku tidak bisa mengembangkan talenta yang sudah Tuhan berikan, belum lagi faktor internal perusahaan tempatku bekerja yang membuatku semakin merasa tidak nyaman.

Aku tahu bahwa keputusanku untuk bekerja di tempat ini bukanlah karena pilihan yang kuambil dengan sepenuh hati. Aku sungkan kepada orangtuaku karena aku tidak ingin mereka melihatku menganggur terlalu lama. Belum lagi tekanan-tekanan dari lingkungan sekitar ketika mengetahui kalau aku tak juga kunjung bekerja, lalu aku sendiri pun sudah merasa bosan. Ketika tawaran bekerja di perusahaan ini datang, aku pikir ini adalah langkah yang tepat untukku.

Sesungguhnya, passionku adalah mengajar anak-anak, bukan melakukan pekerjaan yang kulakukan sekarang ini. Untuk menghidupi passion itu, aku sempat mendaftarkan diriku untuk mengikuti program Indonesia Mengajar, namun hanya berhenti sampai di tahap direct assessment. Kegagalan itu membuat perasaanku campur aduk, dan akhirnya aku mengambil keputusan “just do it” saja dan mengambil tawaran kerja di perusahaanku yang sekarang.

Kejutan-kejutan dari Tuhan

Terkadang aku bertanya-tanya kepada Tuhan tentang apa yang sebenarnya Dia ingin aku lakukan untuk-Nya. Sepanjang perjalanan hidupku, aku telah melihat banyak kejutan yang Dia berikan, yang jauh dari dugaanku semula.

Kejutan itu bermula dari akhir masa sekolahku dulu. Ketika lulus SMA, aku ingin mengambil kuliah di Jurusan Komunikasi ataupun Jurnalistik. Namun, setelah mengikuti beberapa kali seleksi, aku gagal. Sebagai anak SMA yang baru lulus, fokusku saat itu adalah harus bisa kuliah di tahun itu juga di perguruan tinggi negeri supaya tidak membebani orang tua. Akhirnya aku pun mengambil Jurusan Diploma Teknik Sipil di Yogyakarta yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Setelah lulus, aku melanjutkan program ekstensi di Surabaya untuk mendapatkan gelar sarjana di jurusan yang sama.

Saat melanjutkan kuliah ekstensi itulah aku bertemu dengan seorang dosen yang kukagumi karena menurutku beliau adalah sosok yang beritegritas. Aku berdoa supaya skripsiku nanti bisa dibimbing olehnya, dan Tuhan mengabulkan doaku. Tapi, teman-temanku mengatakan kalau skripsi yang kukerjakan itu bukan teknik sipil banget karena lebih membahas ke bidang ekonomi teknik. Dan saat ini, sebagai seorang Sarjana Teknik aku malah bekerja sebagai staf bagian keuangan di perusahaan desain interior. Tapi, sebenarnya jika disambung-sambungkan dengan skripsiku, pekerjaan ini masih ada kaitannya dengan bidang studi yang kutempuh, walaupun sedikit.

Keputusanku untuk menikmati pekerjaanku yang sekarang

Jika berbicara tentang passion, aku tahu beban apa yang ada di hatiku. Di tahun pertamaku kuliah, aku menjadi seorang pengajar les gratis yang diselenggarakan oleh persekutuan yang aku ikuti. Pengalaman itu membukakan mataku tentang kondisi anak-anak yang tinggal di daerah perkampungan. Hatiku menjadi luluh setiap kali melihat anak-anak yang terbaikan itu. Hingga hari ini, sekalipun pekerjaan yang kudapat bukanlah di bidang pendidikan, aku masih merasakan perasaan yang sama terhadap anak-anak yang terabaikan itu.

Aku menyadari mungkin untuk saat ini Tuhan memang belum mengizinkanku untuk bekerja sepenuhnya melayani anak-anak terabaikan itu. Untuk menghidupi passionku, di samping pekerjaan utamaku sebagai staf bagian keuangan, aku pun bergabung dengan komunitas Teaching and Traveling 1000 Guru Jogja, lalu mengikuti mission trip yang diselenggarakan oleh persekutuanku, dan juga menjadi panitia di Kelas Inspirasi Yogyakarta.

Kadang, tatkala aku merasa terbeban dengan pekerjaanku, komunitas-komunitas yang aku ikuti inilah yang menguatkanku dan membuatku mampu bertahan di pekerjaanku yang sekarang. Aku bersyukur karena walaupun pekerjaan utamaku bukanlah passionku, tapi aku beroleh kesempatan untuk menyalurkan passionku lewat komunitas-komunitas yang aku ikuti.

Sampai saat ini aku masih bergumul dengan pekerjaanku, tapi aku mau belajar untuk setia, dengar-dengaran dengan suara Tuhan, dan mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan yang adalah Sang Pencipta. Kadangkala memang rencanaku tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi sebagaimana firman-Nya berkata, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9). Aku mau belajar untuk setia dan taat pada apa yang jadi rancangan-Nya.

Di masa depan nanti aku masih memiliki cita-cita untuk suatu saat bisa bekerja di lembaga-lembaga yang melayani masyarakat terutama anak-anak. Aku ingin membaktikan diriku untuk berkarya secara aktif dan menyentuh masyarakat secara langsung. Namun, sebelum tiba sampai di tahap itu, aku harus setia dan melakukan yang terbaik atas apa yang sudah Tuhan berikan kepadaku saat ini.

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Baca Juga:

Jangan Melompat, Masih Ada Harapan!

Aku baru saja bersiap akan berangkat kerja ketika polisi-polisi datang ke wilayah apartemenku. Seorang wanita tua nekat mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 10 di apartemen kediamanku. Aku mungkin tidak tahu apa penyebab dia nekat melakukan bunuh diri, namun seandainya waktu itu aku bisa mencegahnya melompat, aku akan berkata, “Jangan melompat, masih ada harapan!”

Ketika Keputusan Karierku Berbeda dari Teman-temanku

Oleh Aloysius G. Dinora, Yogyakarta

Tanganku lemas, kakiku mati langkah dan tubuhku mulai bergetar. Aku bertanya dalam hati, “Sebegitu rendahkah aku, seorang sarjana dengan predikat cum laude, mendapat sedikit lebih besar dari gaji minimum kabupaten Bantul?” Padahal baru saja aku bersukacita ketika tahu bahwa sebelum wisuda aku telah diterima bekerja di sebuah yayasan pendidikan.

Semua berubah drastis, aku menjadi begitu dilema karena ternyata pengabdian dan uang tidak bisa berjalan “bergandengan”. Aku merasa bahwa mimpi-mimpiku seolah pupus ketika menerima gaji bulanan yang bahkan lebih kecil daripada kiriman kedua orangtuaku semasa kuliah dulu. Sebenarnya, tidak ada tekanan dari siapapun perihal gaji yang aku terima, termasuk orangtuaku sekalipun. Satu-satunya tekanan itu adalah dari dalam diriku sendiri yang kusebut sebagai gengsi. Pilihan karier yang telah kupilih ini begitu dilematis dan membawa perenungan mendalam.

Mengapa aku memutuskan berkarier di dunia pendidikan

Yayasan tempatku bekerja adalah sebuah yayasan yang bergerak untuk menyalurkan bantuan berupa beasiswa kepada siswa-siswi yang tidak mampu secara ekonomi. Aku bekerja di divisi program pengembangan, sehingga tugasku adalah mengakomodasi kegiatan pengembangan untuk membentuk karakter, potensi, dan kepercayaan diri siswa-siswi dari tingkat SD hingga SMA yang menerima beasiswa.

Keputusanku untuk mengabdi dalam dunia pendidikan bukanlah datang tanpa sebab. Sebenarnya, dulu ketika kuliah, motivasiku adalah aku harus menjadi sarjana supaya nanti bisa hidup mapan, mudah, dan masa depan terjamin. Karena motivasi itu, aku pun menjadi mahasiswa pengejar nilai yang berpikir kalau dengan IPK yang tinggi maka aku akan mudah diterima di perusahaan ternama dan karierku pun akan terjamin.

Aku lahir dan dibesarkan di Buntok, sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah dan ketika aku pindah ke Yogyakarta untuk kuliah, aku melihat ada ketimpangan antara pendidikan di Jawa dan luar Jawa. Tidak banyak anak-anak di daerahku yang mampu bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Ada banyak faktor yang menghambat mereka, entah itu masalah ekonomi keluarga hingga minimnya fasilitas yang mengharuskan siswa-siswi yang ingin belajar lebih lanjut harus pergi ke kota besar.

Pengalaman itulah yang membentuk diriku untuk bertekad berkontribusi pada dunia pendidikan. Memasuki tahun kedua kuliahku di Yogyakarta, aku mendapatkan kesempatan untuk menjadi relawan di beberapa komunitas pendidikan di Yogyakarta. Aku bergabung sebagai relawan di sebuah yayasan khusus anak-anak jalanan. Tapi, dulu motivasiku menjadi relawan belum begitu tulus, dulu aku berpikir oportunis dan pragmatis, bergabung dengan kegiatan relawan seperti itu kumanfaatkan untuk sekadar menambah riwayat hidupku, atau paling tidak aku bisa pamer kepada teman-temanku di media sosial.

Sebuah kesempatan yang menegurku

Waktu berlalu aku bertemu dengan banyak orang yang peduli dengan dunia pendidikan, kami banyak berdiskusi dan sharing. Mereka bukanlah orang-orang biasa menurutku, mereka adalah lulusan-lulusan luar negeri yang aku pikir seharusnya mereka bisa saja hidup mapan dengan masuk ke perusahaan ternama dan mendapatkan gaji tinggi.

Melihat dedikasi dan keilmuan mereka yang jauh lebih tinggi dariku membuatku merasa malu akan apa yang menjadi motivasiku saat itu, mereka benar-benar memilih untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Sejak saat itulah aku berusaha memurnikan motivasiku. Aku merenung dan bertanya kepada diriku sendiri, apakah minatku untuk berkarier nanti di dunia pendidikan adalah pilihan yang benar-benar aku ingin hidupi setelah kuliah, atau hanya karena aku ikut-ikutan tren anak muda yang aktif di kegiatan sosial.

Jika sebelumnya keterlibatanku dalam kegiatan-kegiatan relawan itu hanya berfokus untuk keuntungan diriku sendiri, aku mulai mengubah pola pikirku menjadi lebih profesional. Di yayasan sosial, saat aku menjadi relawan, kami tidak sekadar mengajar anak-anak, tapi, lewat rumah belajar yang kami dirikan, kami ingin membangun persahabatan juga dengan mereka dan menjadikan pendidikan sebagai sebuah pendekatan.

Di samping keaktifanku bekerja sosial, aku juga berprinsip untuk mengembangkan kemampuan akademisku dalam perkuliahan. Bagaimana caranya aku bisa mendidik orang lain apabila aku sendiri tidak bertanggung jawab atas kuliahku sendiri? Maka untuk menjawab itu, aku pun menjadi seorang asisten dosen yang aku pikir adalah sarana yang tepat untuk mengasah kemampuanku mengajar.

Pekerjaanku adalah ibadahku

Persiapan-persiapan yang kulakukan sejak tahun-tahun terakhir kuliah membuat motivasiku yang semula hidup berkarir di korporasi berubah, tentu bukan masalah ketika seseorang memutuskan untuk bekerja di perusahaan, karena ini adalah sebuah pilihan. Aku mengambil keputusan yang cukup berbeda dibandingkan teman-teman kuliah, yang berkarir sesuai dengan jurusan saat kuliah. Aku memilih untuk bekerja di sebuah yayasan pendidikan, di kabupaten Bantul.

Harus kuakui, kadang ada orang yang memandang rendah keputusanku ini karena mereka belum mengerti apa yang menjadi idealisme yang aku pegang. Apa yang kujalani saat ini barulah permulaan, aku tidak tahu apa yang kelak akan terjadi, tapi satu hal yang aku percaya adalah pekerjaan ini disiapkan oleh Tuhan untuk menguji diriku, apakah aku sungguh-sungguh mau melayani orang lain atau tidak.

Lewat pekerjaan ini sekarang aku mendapatkan pengalaman-pengalaman baru yang mengasah kepekaan hatiku. Pekerjaanku mengajariku bahwa rezeki berupa uang sudah diatur oleh Tuhan karena Dia senantiasa mencukupi semua yang kubutuhkan. Hal paling penting yang bisa kupetik dari pekerjaanku adalah bagaimana caraku bersyukur. Bagiku, ini adalah cara Tuhan untuk membentukku, Dia memberiku bagian yang terbaik setelah aku melalui banyak kebingungan dan keputusasaan.

Waktu telah berlalu, pekerjaan ini juga telah mengajarku untuk mengentaskan egoisme dalam diriku, juga mengurangi kekhawatiranku terutama dalam hal uang. Setelah bekerja, memang gaji yang yang kudapat tidak besar, namun selalu saja ada berkat yang datang, bukan saja dari orang-orang yang aku tolong, tapi ada pekerjaan-pekerjaan sambilan lain yang ternyata mencukupi kebutuhanku.

Setiap orang pasti memiliki mimpi atau passion-nya masing-masing, namun hanya sedikit yang bisa menghidupinya, dan lebih sedikit lagi yang bisa menjadikan pekerjaannya sebagai ibadah kepada Yesus. Semoga kita senantiasa bisa menghidupi panggilan hidup, baik bekerja maupun sekolah sebagai bentuk syukur kepada Tuhan.

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6).

Baca Juga:

Untuk Meresponi Panggilan Tuhan, Aku Melepaskan Karierku Sebagai Seorang Fotografer

“Tuhan apakah Kau sedang bercanda?” Kalimat itulah yang terlintas di pikiranku ketika Tuhan menyatakan apa yang sebenarnya menjadi panggilan hidupku.Sebelumnya,aku bekerja sebagai fotografer dan penyiar radio, namun aku melepas karier itu untuk meresponi suatu panggilan yang Tuhan berikan.

Untuk Meresponi Panggilan Tuhan, Aku Melepaskan Karierku Sebagai Seorang Fotografer

Untuk-Meresponi-Panggilan-Tuhan-Aku-Melepaskan-Karierku-Sebagai-Seorang-Fotografer

Oleh Noni Elina Kristiani

“Tuhan apakah Kau sedang bercanda?” Kalimat itulah yang terlintas di pikiranku ketika Tuhan menyatakan apa yang sebenarnya menjadi panggilan hidupku. Bagaimana mungkin aku yang seorang sanguinis, suka berbicara tanpa berpikir panjang ini menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu?

Aku memiliki tekad yang besar untuk menjadi seorang fotografer profesional, tapi keluargaku sangat ingin aku bekerja di media televisi sesuai dengan program studi Televisi dan Film yang aku ambil semasa kuliah. Aku sempat melamar ke stasiun televisi beberapa kali namun gagal. Akhirnya aku mencoba untuk mengasah kemampuan fotografiku seraya terus menyimpan mimpi untuk kelak dapat memproduksi sebuah film rohani Kristen pertama di Indonesia.

Sebuah acara yang menyadarkanku akan panggilan

Di bulan Agustus 2016 aku mengikuti sebuah kamp yang ditujukan untuk mahasiswa maupun yang sudah lulus. Dalam acara ini kami dikelompokkan berdasarkan bidang pekerjaan yang kami tekuni dan kami diberikan beragam materi tentang bagaimana kami bisa menjadi saksi dalam pekerjaan masing-masing. Pembicara-pembicara yang diundang adalah anak-anak Tuhan yang profesional di bidangnya. Akhir acara diisi dengan malam doa dan panitia acara menyiapkan satu sesi untuk kami mendengar tentang wilayah-wilayah di Indonesia yang bahkan belum mendengar kabar keselamatan.

Dalam sesi itulah aku merasa terpanggil untuk bekerja di ladang Tuhan, tapi aku menolaknya. Aku tidak pernah membayangkan diriku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu. Namun, kemudian ada beban dalam hatiku terhadap jiwa-jiwa terhilang yang butuh pengenalan akan Kristus. Rasanya seperti Tuhan menaruh dukacita dalam hatiku ketika aku berusaha menolak panggilan itu. Setelah acara berakhir, aku memutuskan untuk menceritakan pergumulan hatiku kepada seorang kakak rohani dan dia mendoakanku supaya aku mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan.

Kamp telah usai dan tiba saatnya kami kembali ke dunia kerja. Aku masih tidak percaya pada panggilan Tuhan untukku hal itu membuatku sangat bersedih dan tidak berhenti menangis. Sebelum aku masuk ke dalam bus yang akan mengantarkanku ke kota tempatku bekerja, aku menyempatkan diri untuk pergi ke toilet lalu berdoa dengan berurai air mata seraya berkata, “Tuhan aku mau, terjadilah padaku apa yang menjadi kehendak-Mu.”

Kembali ke dunia kerja

Aku pun kembali ke dalam pekerjaanku sebagai seorang fotografer dan penyiar radio yang cukup menyita banyak waktuku. Dua pekerjaan yang aku tekuni ini adalah sesuatu yang menyenangkan dan merupakan minat serta bakatku, namun hal ini jugalah yang membuatku lupa akan komitmenku untuk mau dipakai Tuhan melayani jiwa-jiwa dan membawa mereka kepada Tuhan.

Di akhir tahun 2016, aku mendapatkan sebuah tawaran untuk menjadi staff penuh waktu di yayasan yang melayani siswa dan mahasiswa. Aku mengenal yayasan ini karena semasa dulu kuliah, yayasan inilah yang membinaku. Pihak yayasan itu menanyakan kepadaku apakah aku berkenan untuk menerima panggilan menjadi staff di kota kecil di Jawa Timur. Mulanya aku bingung dengan tawaran itu. Aku telah merasa nyaman tinggal dan bekerja di kota metropolitan, jadi aku pun enggan jika harus pindah ke kota kecil. Kemudian aku berdoa dan memohon pada Tuhan supaya aku ditempatkan di kota yang sesuai dengan keinginanku saja.

Tuhan tidak tinggal diam, Dia menggunakan berbagai hal untuk membawaku kembali pada panggilanku yang sesungguhnya. Di bulan Maret 2017 aku mengikuti seminar tentang pemuridan dan aku merasa bahwa di setiap sesi khotbah yang dibawakan seperti menyinggung dan mengingatkanku akan doa yang kupanjatkan ditahun 2016, ketika aku berkata mau taat kemana pun Tuhan mau menempatkanku. Tidak sampai disitu saja, aku semakin diteguhkan untuk berhenti dari pekerjaanku ketika tanpa sengaja aku membaca sebuah buku karya John Ortberg yng berjudul Jika Anda Ingin Berjalan di Atas Air, Keluarlah dari Perahu. Ketika aku membuka buku itu secara acak, mataku berhenti pada sebuah paragraf yang bertuliskan, “Kadang-kadang, dalam kedaulatan Allah, akhir dari suatu karir adalah permulaan dari panggilan hidup. Sejauh mana pekerjaan Anda saat ini mengungkapkan bakat dan hasrat Anda yang sesungguhnya?” Apa yang baru saja kubaca itu seolah menegurku tepat pada sasaran.

Memulai sebuah awal yang baru

Bulan Mei 2017 aku memantapkan hatiku untuk menerima panggilan itu dan melayani di kota kecil dimana aku ditempatkan. Berada di tempat yang sepenuhnya baru dan harus kembali beradaptasi bukanlah hal yang mudah bagiku, tapi aku mau tetap percaya bahwa Tuhan senatiasa menyertaiku. Aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku sebagai fotograrer dan penyiar radio. Ketika mendengar rencana ini, orangtuaku sangat menentangnya dan dengan berurai air mata aku menjelaskan kepada ayahku kalau aku tidak bisa menolak panggilan ini.

Aku berdoa supaya Tuhan melembutkan hati ayahku. Beberapa hari kemudian ayahku bertanya kapan aku akan berangkat dan ke kota mana aku ditempatkan. Pertanyaan itu merupakan tanda bahwa beliau telah menyetujui keputusanku. Aku takjub akan pekerjaan Tuhan yang mengubahkan hati ayahku secepat itu. Belum semua teman-temanku tahu tentang keputusanku ini, tapi aku siap untuk memberikan jawaban kepada mereka jika mereka bertanya alasan mengapa aku melepaskan pekerjaanku yang semula. Aku belajar untuk tidak terlalu mempedulikan penilaian orang lain terhadapku, tapi mempedulikan tentang bagaimana Allah menilaiku. Aku hidup untuk menyenangkan Allah, bukan manusia.

Dari pergumulanku akan panggilan hidup ini, ada beberapa hal yang ingin aku bagikan kepadamu:

1. Mengasihi Allah lebih dari apapun adalah kunci ketaatan

Sebagai seorang perempuan single berusia 23 tahun sebenarnya aku memiliki mimpi dan ekspektasi yang besar akan masa depanku. Namun, semua itu berubah ketika aku menyadari betapa besar kasih Tuhan kepadaku.

Kita bisa menulis atau mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, namun mengasihi Allah tentu lebih dari sekadar ungkapan kata. Mengasihi Allah berarti kita harus melakukan tindakan nyata yang disertai dengan iman. Allah telah lebih dahulu mengasihi kita, sehingga hidup ini merupakan persembahan bagi Allah (Roma 12:1). Apa yang akan kita korbankan bagi-Nya?

2. Kita melayani bukan karena layak, tetapi Tuhanlah yang melayakkan

Ada beberapa contoh tokoh Alkitab yang awalnya menolak untuk dipakai Tuhan. Musa, pada awalnya dia merasa dirinya tidak layak memimpin bangsa Israel (Keluaran 3:11; 4:1&10) hingga beberapa kali dia menolak panggilan Tuhan. Selain Musa, ada juga Yunus yang harus menanggung akibat dari ketidaktaatannya untuk pergi ke Niniwe. Tuhan memerintahkan Yunus untuk memperingati kota itu supaya bertobat, tapi Yunus malah pergi melarikan diri ke Tarsis hingga akhirnya dalam perjalanan perahunya diombang-ambing badai, Yunus dilemparkan ke laut dan ditelan oleh ikan besar (Yunus 1:17).

Dari kedua tokoh Alkitab itu aku belajar bahwa jika Tuhan memakai seseorang yang sempurna untuk menjadi alat-Nya, maka Dia tidak akan menemukan satupun. Namun, terpujilah Allah karena dia setia dan menyertai anak-anak-Nya. Ada banyak kesulitan untuk mentaati panggilan Tuhan, salah satunya adalah tetap mempercayai-Nya. Percayalah bahwa Tuhan sanggup bekerja di dalam kelemahan kita, karena justru di dalam kelemahan itulah kuasa-Nya menjadi sempurna (2 Korintus 12:9). Aku percaya bahwa Tuhan juga sanggup bekerja dalam setiap kelemahanku untuk mendatangkan kemuliaan bagi-Nya.

3. Kita menantikan Tuhan dengan melakukan disiplin rohani dan mendengar nasihat

Ketika aku bergumul dengan panggilan hidupku, aku melatih diriku untuk lebih giat melakukan disiplin rohani. Aku melakukan pendalaman Alkitab secara pribadi dengan menggunakan buku-buku panduan. Aku juga lebih banyak berdoa di waktu luangku dan mulai melatih diri berpuasa. Bukan sesuatu yang mudah bagiku, namun kakak rohaniku selalu mendukungku dan mengingatkanku untuk selalu dekat dengan Tuhan.

Ketika aku mengarahkan pandanganku pada Tuhan, ada banyak hal yang Dia nyatakan kepadaku. Tuhanlah satu-satunya sumber kekuatan dan hikmat. Semakin kita mendekat kepada-Nya, semakin kita bisa dengan jelas mendengar suara-Nya.

Pengambilan keputusan yang kuambil tidak lepas dari bimbingan dan nasihat beberapa orang. Tuhan juga bisa menggunakan nasihat dari orang lain untuk menolong kita mengetahui kehendak-Nya. Pilihlah orang-orang yang takut akan Allah dan mintalah nasihat dari mereka. “Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak” (Amsal 12:15).

Baca Juga:

Ketika Pekerjaan yang Kudapat Tidak Sesuai Harapanku

Sudah lima bulan berlalu sejak aku pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai Area Manager di sebuah perusahaan swasta bidang makanan dan minuman. Tapi, aku masih belum juga merasa nyaman dengan rutinitas yang kulakukan. Iklim kerja yang tidak bersahabat seringkali membuatku menangis, hingga suatu ketika ada sebuah peristiwa yang menyadarkanku akan apa yang menjadi motivasi pertamaku ketika memilih bekerja di sini.

Ketika Pekerjaan yang Kudapat Ternyata Tidak Sesuai Harapanku

ketika-pekerjaan-yang-kudapat-ternyatan-tidak-sesuai-harapanku

Oleh Katarina Tathya Ratri, Jakarta

Bulan Maret 2017 adalah bulan yang begitu menguras energiku. Sudah lima bulan berlalu sejak aku pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai Area Manager di sebuah perusahaan swasta bidang makanan dan minuman, tapi aku masih belum juga merasa nyaman dengan rutinitas yang kulakukan. Setiap hari aku bertugas untuk mengontrol beberapa gerai dan memastikan bahwa kualitas, pelayanan, kebersihan, dan penjualan yang dilakukan oleh karyawan di sana itu memenuhi standar. Apabila mereka tidak melakukan pekerjaannya dengan tepat, aku harus menegur dan memberikan instruksi kepada mereka.

Dulu aku berekspektasi bahwa aku akan mudah beradaptasi dengan orang-orang baru di sekelilingku, tapi kenyataan justru berbicara sebaliknya. Iklim kerja yang tidak bersahabat seringkali membuatku menangis. Jadwal kerjaku tidak jelas, kadang aku harus masuk saat hari libur dan bekerja dari pagi hingga larut malam. Sulit bagiku untuk menegur karyawan-karyawan yang berbuat salah karena aku baru bergabung dengan perusahaan ini selama lima bulan, sedangkan mereka yang menjadi bawahanku ternyata sudah bekerja jauh lebih lama daripada aku. Selain itu ada juga yang usianya lebih tua dariku. Terkadang ketika ditegur, mereka malah menjawabku dengan kalimat-kalimat yang tidak sopan.

Aku menceritakan beban pekerjaan ini kepada teman-teman dekat dan pacarku. Mereka memberiku semangat dan kata-kata motivasi, tapi aku rasa itu tidak berpengaruh banyak buatku. Akhirnya, berbagai ide nakal pun aku lakukan untuk sebisa mungkin menghindar dari pekerjaan ini, salah satunya adalah dengan bolos kerja. Saat pertama kali aku bolos bekerja, jantungku berdebar keras. Aku takut karena aku tahu perbuatan ini adalah salah, tapi aku berusaha mengabaikan rasa bersalah itu dan memilih untuk bolos saja.

Di suatu hari Minggu, aku pergi ke gereja dan khotbah hari itu membahas kisah tentang Yosua ketika ia ditunjuk sebagai pengganti Musa. Salah satu ayat yang disebutkan oleh pendeta di gerejaku hari itu diambil dari Ulangan 31:6, “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab Tuhan Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Saat mendengar ayat itu, aku teringat akan pergumulan dalam pekerjaan yang sedang kuhadapi. Sesungguhnya ayat itu menguatkanku dan aku berjanji untuk menghadapi pergumulanku dengan semangat.

Tapi, ketika tiba di hari Senin dan menghadapi realita kembali, seketika itu juga nyaliku menciut dan aku merasa diriku kalah lagi. Lagi-lagi aku berusaha mencari-cari cara dan kesempatan untuk mangkir dari kewajibanku. Aku berdoa, memohon ampun kepada Tuhan, kemudian menyerah lagi. Begitu terus terjadi.

Ketika Tuhan menegurku

Hingga suatu malam aku jatuh sakit, badanku demam tinggi dan aku merasa begitu lemas. Aku menelepon pacarku yang berada di Bandung. Ketika dia mengetahui kalau aku terbaring sakit, dia memutuskan untuk segera berangkat ke Jakarta keesokan harinya dan membawaku ke sebuah klinik. Setelah diperiksa, dokter di klinik itu mengatakan bahwa sakit yang aku alami ini bisa jadi karena aku terlalu stress dengan tekanan dari lingkungan kerjaku. Aku mengangguk seakan setuju dengan pendapat sang dokter.

Setelah keadaanku berangsur pulih, aku dan pacarku menyimpulkan bahwa mungkin kami perlu refreshing sejenak untuk melepaskan diri dari kepenatan. Dalam perjalanan kami berkeliling kota, di atas bus TransJakarta ternyata ponsel pacarku dicopet dan kami baru menyadari itu sesaat setelah turun dari bus. Saat itu aku merasa bersalah, sedih, dan marah bercampur jadi satu hingga aku menangis. Anehnya dia yang sedang kehilangan ponsel itu justru tenang dan bisa tersenyum. Kemudian dia berkata kalau dia percaya bahwa segala sesuatu itu akan mendatangkan kebaikan sekalipun terlihat buruk. Mendengar perkataannya itu, aku menjadi malu sendiri. Hari itu aku menyadari bahwa selama ini ternyata aku belum sepenuhnya berserah pada rencana Tuhan.

Sejak saat itu, aku berusaha mengingat kembali apa yang dulu menjadi motivasiku untuk datang dan bekerja di tempat ini, yaitu untuk mengasah kemampuanku menjadi seorang pemimpin. Aku tahu sejak awal bahwa pekerjaan ini tidak mudah, menjadi pemimpin di tengah orang-orang yang secara usia dan pengalaman jauh di atasku. Namun, pekerjaan yang tidak mudah ini bukan berarti bahwa aku tidak mampu mengatasinya. Aku teringat akan sebuah ayat yang selalu kujadikan pedoman dalam bekerja, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakuku, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Timotius 4:12).

Firman itu memantapkan kembali langkahku untuk berani mengambil risiko dalam pekerjaan ini. Aku tahu bahwa lewat pekerjaan ini Tuhan sedang menempa aku dan membentuk aku sesuai dengan kehendak-Nya. Aku diizinkan untuk merasa sedihnya dari tidak dihargai ketika instruksiku diabaikan, susahnya mengatur banyak orang dengan pengalamanku yang minim, hingga lelahnya memenuhi berbagai tuntutan dari atasanku yang di luar kapasitasku sebelumnya.

Jika melihat buruknya responku terhadap tantangan yang aku alami, bagiku sudah selayaknya aku mendapat hukuman atau bahkan dipecat. Tapi, sebaliknya, Tuhan tidak meninggalkanku saat aku terjatuh dan berbuat salah. Tuhan mengangkatku kembali dan memberiku kekuatan yang baru. Saat ini Tuhan mengizinkan aku untuk melewati fase yang lebih tinggi lagi dalam pekerjaan yang Dia sedang percayakan kepadaku. Meskipun tidak mudah untuk dilalui, namun aku berkomitmen untuk terus belajar berserah kepada-Nya.

Sekarang, setiap kali sebelum aku memulai bekerja, aku selalu menyempatkan diri untuk masuk hadirat Tuhan lewat berdoa. Jika dulu aku berdoa supaya bisa terhindar dari tantangan, sekarang aku berdoa supaya Tuhan boleh menguatkanku mempersiapkan mental dan rohaniku supaya aku boleh tetap tersenyum dan bersukacita sekalipun aku mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari karyawan-karyawan di bawahku.

Baca Juga:

Ketika Peristiwa Nyaris Celaka Mengubahkan Pandanganku Tentang Kehidupan

Pernahkah terpikir olehmu kapan kamu akan menghembuskan nafasmu yang terakhir? Beberapa minggu yang lalu aku mengalami peristiwa yang nyaris saja merenggut nyawaku. Peristiwa itulah yang pada akhirnya mengubah cara pandangku tentang kehidupan yang aku jalani sekarang.

Ketika Tuhan Menolak Proposal Hidupku

Ketika-Tuhan-Menolak-Proposal-Hidupku

Oleh Listiyani Chita Ellary, Jember

Semua orang tentu bercita-cita untuk memiliki hidup yang damai, aman, semua impian tercapai, dan tentunya tidak ada orang yang ingin hidupnya dipenuhi kerikil-kerikil tajam. Aku pun bercita-cita demikian. Sudah sejak lama aku membuat daftar rencana hidupku ke depan, mulai dari tempat kuliah, target kelulusan, nanti akan bekerja di mana, bahkan menikah di umur berapa. Semua itu telah kurencanakan dengan rapi bahkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah.

Selama bertahun-tahun aku memohon supaya Tuhan mengabulkan semua impianku itu, seolah-olah aku sedang mengajukan sebuah proposal kepada Tuhan. Namun, setelah tahun-tahun berlalu, aku terus menerus mengajukan proposal itu tanpa memohon persetujuan-Nya. Akhirnya tidak satupun proposal hidupku itu yang berjalan sesuai dengan rencanaku. Aku pun menjadi kecewa ketika ternyata Tuhan tidak mengabulkan apa yang selama ini aku impikan.

Ketika Tuhan menjawab proposal itu dengan jawaban lain

Jurusan kuliah yang kutekuni ternyata melenceng jauh dari yang aku rencanakan. Sejak sekolah dulu aku selalu membayangkan diriku menjadi seorang interior designer ternama. Namun, impianku buyar ketika orangtuaku ternyata tidak setuju dengan keinganku berkuliah di jurusan itu. Kami pun berselisih paham dan akhirnya aku memilih untuk kuliah di fakultas teknik.

Selama kuliah pun indeks prestasi yang kuraih hanya pas-pasan, bahkan di beberapa semester aku sempat mendapatkan nilai yang sangat rendah. Aku sempat menyalahkan Tuhan dan mengeluh kepada-Nya. “Tuhan, aku sudah berusaha sebisa mungkin tapi kenapa hanya hasil seperti ini yang kudapatkan?” Aku juga menyalahkan kedua orangtuaku karena mereka menuntutku untuk kuliah di jurusan yang bukan keinginanku. Jadi, kupikir wajar saja jika nilai-nilai yang kuperoleh itu pas-pasan.

Setelah melewati pergumulan sepanjang kuliah, aku pun lulus dan menyandang gelar sarjana Teknik. Tapi, permasalahan tidak berhenti di situ. Pekerjaan yang kudapatkan ternyata jauh berbeda dengan bidang yang aku pelajari selama kuliah. Kok sarjana Teknik kerjanya di bidang marketing? Pertanyaan itu sering kudengar dari orang-orang sekitarku yang akhirnya membuatku gerah dan menggerutu.

Rasa kecewaku itu masih harus ditambah ketika aku dan kekasihku harus putus setelah menjalin hubungan selama 4 tahun. Aku merasa hatiku saat itu telah hancur dan aku kembali mengeluh kepada Tuhan. “Tuhan, aku sudah merencanakan pernikahanku dengannya, tapi kenapa kami harus berpisah?” Aku sudah mengenal kekasihku dengan baik, sikap buruk maupun baiknya aku sudah tahu, bahkan aku juga sudah sangat dekat dengan keluarganya. Dan sekali lagi, Tuhan menolak kembali proposal terakhirku. Sirna sudah rencana pernikahan yang sudah aku susun dengan rapi.

Di mana Tuhan ketika aku kecewa?

Aku bertanya, “Di mana Tuhan ketika aku mengajukan banyak proposal hidupku? Tuhan diam saja kah? Atau Tuhan sudah tidak mau ambil bagian di hidupku? Kenapa semua proposal hidupku tidak satupun yang Tuhan kehendaki?”

Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benakku hingga suatu ketika aku hadir di sebuah ibadah hari Minggu. Khotbah hari itu diambil dari Yeremia 29:11 yang berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Sejenak aku merenung dan melontarkan pertanyaan kepada diriku sendiri. “Apakah selama ini semua rencanaku adalah rencana damai sejahtera? Ataukah semua rencanaku itu merupakan buah ambisiku semata?” Tentu aku hanya mengajukan permohonan, bukan lagi memohon revisi Tuhan atas semua proposal hidupku.

Aku mulai menyadari bahwa aku terpaku pada rencanaku tanpa mempedulikan rencana Tuhan yang sudah Dia rancangkan untukku. Aku telah melupakan Allah pencipta hidupku yang sudah tentu jauh lebih mengenalku bahkan sejak aku masih dalam kandungan.

Dari setiap kejadian “kegagalan proposal” ini aku menyadari banyak kesalahan yang terjadi pada diriku sendiri. Aku salah karena aku mengabaikan kehendak Tuhan tanpa bertanya terlebih dulu apakah Dia menyetujui proposalku. Aku malah bersikeras menganggap kalau proposal versiku sendiri adalah yang terbaik buatku.

Aku menyadari bahwa setiap proposal yang aku ajukan kepada Tuhan itu hanyalah ambisiku pribadi dan aku mengabaikan apakah proposal itu menyenangkan hati Tuhan? Apakah proposal hidupku itu memberi dampak baik bagi banyak orang, membuat makin mengasihi Tuhan, atau justru malah membuatku membanggakan diri dan menjauh dari Tuhan?

Kalau saja Tuhan menyetujui semua proposal hidupku, mungkin sekarang aku sudah semakin tinggi hati dan berbangga diri atas kemampuanku sendiri. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan sudah menolak bukan hanya sebagian, tapi seluruh proposal hidupku. Penolakan itu membuat aku bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Sekarang aku tidak lagi mengajukan proposal hidupku, melainkan aku menikmati Tuhan menyatakan semua rencana dan proses-Nya di dalam hidupku. Aku percaya bahwa aku sedang dibentuk-Nya untuk semakin baik dalam karakter, iman, dan cara pandangku terhadap hidup.

Kita dapat memandang kehidupan dengan cara yang berbeda ketika kita bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Kita percaya bahwa tangan Tuhan senantiasa tersedia bagi masa depan kita. Tidak ada yang patut ditakutkan dan dikhawatirkan lagi ketika kita memiliki penjamin hidup yang kekal. Sebuah kesia-siaan ketika kita hanya sibuk pada fokus pribadi tanpa mengerti tujuan kita. Apakah kita mau memuaskan keinginan diri sendiri atau menyenangkan hati Tuhan?

Aku pun mulai menyadari dan terus menghidupi firman-Nya di dalam hatiku. Bahwa bukan saja aku yang memiliki rencana melainkan Tuhan sudah berencana dan berkuasa penuh atas hidupku. Masa-masa mendatang tak perlu kucemaskan lagi, karena Sang Empunya hidup sudah memegang kendali penuh atas hidupku.

Lalu apakah aku hanya diam saja menanti kehendak Tuhan? Tentu tidak. Aku menjalani hidup dengan “proposal baru” dengan membiarkan Tuhan mengoreksi proposal-proposal baruku. Sehingga hidupku bukan hanya saja tentang aku melainkan tentang kehendak Tuhan atas hidupku.

Pekerjaanku sebagai seorang marketing bukan hal yang harus kututup-tutupi lagi. Aku bersyukur dan bangga bahwa melalui pekerjaan ini aku banyak bertemu orang dengan berbagai karakter, malah menjadi sarana untuk boleh mewartakan kasih Tuhan melalui perjumpaanku dengan mereka. Aku percaya melalui sikap yang baik, pikiran yang baik, dan tutur kata yang baik akan membawa orang-orang mencari sumber dari kebaikan tersebut dan dari situlah aku tahu bahwa Tuhan mengutusku bukan hanya mengerjakan bagianku ala kadarnya melainkan aku diutus untuk menjadi garam dan terang bagi sekelilingku.

Baca Juga:

Menikmati Anugerah Tuhan dalam Cacat Fisik yang Kualami

Perjalananku untuk menggapai cita-cita sebagai Sarjana Psikologi tidaklah mudah, terlebih karena sebuah cacat fisik yang kupunya sejak lahir. Tapi, ketika aku mengingat kembali bagaimana akhirnya aku bisa kuliah Psikologi, aku menyadari bahwa semuanya itu hanya karena anugerah Tuhan.

Tuhan, Mengapa Aku Harus Masuk Sekolah Farmasi?

tuhan-mengapa-aku-harus-masuk-sekolah-farmasi

Oleh Lovesa Oktaviana, Bandung

Ketika anak-anak seusiaku dulu begitu antusias bercita-cita ingin menjadi dokter, aku malah sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di dunia kesehatan. Sewaktu kecil dulu aku pernah melakukan tes kesehatan, tapi dokter yang memeriksaku itu galak dan kasar sehingga aku takut untuk menjadi dokter. Tapi, yang lebih mendasar adalah aku ingin hidup bebas, sedangkan dalam pandanganku dunia kesehatan itu memiliki banyak aturan dan pantangan.

Tiba saatnya aku akan melanjutkan studi ke sekolah menengah atas dan aku mendaftar di sebuah sekolah swasta. Aku sudah merencanakan untuk masuk ke program IPS saja supaya saat lulus nanti aku bisa melanjutkan kuliah ke jurusan Sastra Prancis. Itulah tekadku dulu, dan aku sendiri pun tidak tahu nantinya akan bekerja sebagai apa. Aku hanya ingin mengikuti jejak ibuku yang waktu itu pandai berbahasa Prancis.

Saat waktu pendaftaran semakin dekat, ibuku membujukku untuk masuk ke sekolah farmasi. Ibuku berkata kalau sekolah farmasi itu belum banyak diminati orang sehingga saat lulus nanti pasti banyak orang yang membutuhkan lulusan farmasi. Aku tahu kalau sebenarnya itu bukanlah satu-satunya alasan ibuku membujukku. Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara sehingga aku punya tanggung jawab terhadap masa depan adik-adikku nanti. Jika nanti aku bisa bekerja mapan tentu aku dapat meringankan beban orangtuaku.

Aku tidak tahu jelas tentang dunia farmasi. Yang aku tahu sekolah farmasi itu nantinya mirip dengan sekolah kejuruan. Aku pun menurut bujukan ibuku untuk mendaftar. “Toh hanya mendaftar, lagian belum tentu juga diterima,” ucapku dalam hati. Aku masih mendambakan masa putih abu-abuku diisi di sekolah SMA umum, sehingga selain di sekolah farmasi aku juga mendaftar di SMA swasta lainnya.

Singkatnya aku mengikuti tes di dua sekolah tersebut. Aku tidak menaruh rasa curiga apapun karena setiap soal tes bisa kukerjakan dengan mudah. Aku yakin kalau akan diterima di SMA biasa, bukan di sekolah farmasi. Tapi, aku kaget karena hasil tes menunjukkan bahwa aku lebih direkomendasikan untuk masuk ke sekolah farmasi! Aku merasa tidak terima dengan hasil itu dan kupikir kalau ibuku telah menjebak dan menipuku.

Malam itu aku berdoa kepada Tuhan supaya aku bisa menggagalkan rencana untuk sekolah farmasi. “Masa aku harus menjalani sesuatu yang aku tidak suka?” doaku pada Tuhan. Tetapi, kemudian aku berpikir bagaimana jika seandainya doaku justru dijawab terbalik oleh Tuhan? Aku bingung harus berbuat apa.

Sembari menunggu pengumuman kelulusan, perlahan Tuhan membukakan pikiranku tentang masa depan. Aku belajar untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia farmasi, tentang peluang dan tantangannya hingga aku menyadari bahwa melanjutkan ke sekolah farmasi juga bukanlah pilihan yang buruk. Aku menyadari bahwa dulu aku bukanlah orang Kristen yang sungguh-sungguh. Aku belum mengalami lahir baru, tidak terlibat pelayanan, dan hanya jemaat simpatisan. Aku belum memahami indahnya panggilan Tuhan. Aku masih berfokus pada diri sendiri karena aku belum jadi orang yang peka.

Hari yang ditunggu pun tiba dan aku harus menerima kenyataan kalau hasil final dari tes itu menunjukkan aku diterima di sekolah farmasi. Perasaanku campur aduk, entah aku harus merasa senang atau sedih. Aku tidak protes kepada ibuku, tapi berdiam diri sejenak dan bertanya dalam hati apakah aku siap untuk menjalani hari-hariku nanti.

Di masa awal sekolah aku berjuang membuat diriku terlarut dalam ritme sekolah farmasi yang padat. Aku tidak terlalu suka pelajaran-pelajaran yang diberikan dan juga sering mengeluh karena jam sekolah yang dimulai pukul 07:15 dan baru berakhir pukul 17:00 setiap hari! Ketika hasil ujian tengah semester keluar, nilaiku hanya pas-pasan. Melihat nilai itu, aku menjadi khawatir.

Sekolah tempatku belajar termasuk dalam sekolah unggulan yang memiliki segudang peraturan ketat. Ketika nilai-nilaiku tidak mencapai standar yang ditetapkan sekolah, besar kemungkinan nanti aku akan dikeluarkan. Terlepas dari ketidaksukaanku dengan dunia farmasi, aku teringat perjuangan kedua orangtuaku yang membiayai sekolahku dengan susah payah. Bagaimana perasaan mereka jika nanti aku dikeluarkan dari sekolah? Aku tidak boleh egois. Hanya karena aku tidak suka farmasi bukan berarti aku bisa bertingkah semau diriku sendiri.

Aku belajar untuk yakin bahwa Tuhan punya rencana. Dengan berdoa, aku datang dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Tuhan membuka pandanganku tentang dunia farmasi. Aku tahu bahwa Dia menempatkanku di sekolah ini bukan semata-mata karena aku adalah anak pertama yang nanti harus segera mendapatkan pekerjaan, tapi lebih dari itu, Tuhan ingin aku melayani Dia.

Saat aku mulai menikmati kehidupanku sebagai seorang siswa farmasi, aku menyadari bahwa menjadi seorang farmasis itu adalah pekerjaan yang mulia. Seorang farmasis dituntut untuk teliti, karena kesalahan sedikit saja ketika menerjemahkan isi resep dokter bisa berakibat fatal! Tapi, farmasis tidak hanya berurusan dengan obat, bisa juga berinteraksi dengan orang-orang dan memberi konsultasi.

Dari sinilah aku belajar bahwa terkadang yang orang butuhkan bukanlah obat jasmani semata, tapi juga obat rohani. Amsal mengatakan kalau hati yang gembira adalah obat yang manjur (Amsal 17:22). Aku bisa memberi mereka obat rohani dengan menjadi teman curhat mereka. Sikapku ketika melayani pasien mungkin akan mempengaruhi kesembuhannya juga. Ketika pasien yang kulayani merasa puas dan gembira, tentu itu akan membantu mengurangi sakitnya walaupun hanya sedikit.

Akhirnya aku menemukan jawaban dari pergumulanku selama ini, yaitu Tuhan mau aku melayani Dia lewat pasien-pasien yang kelak akan kutemui dalam pekerjaanku.

Tiga tahun studi di sekolah farmasi memberiku gelar AA (Asisten Apoteker) di belakang namaku, dan itu membuatku bersyukur karena Tuhanlah yang membawaku ke sana. Singkat cerita, setelah tamat dari sekolah farmasi, aku melanjutkan studi sarjanaku di Sekolah Tinggi Farmasi di kota Bandung dan sekarang kembali melanjutkan studi ke jenjang profesi apoteker.

Seringkali apa yang kita inginkan seolah tidak senada dengan apa yang Tuhan inginkan. Tetapi, percayalah bahwa ada sukacita ketika kita mau hidup di dalam rencana-Nya. Sekalipun awalnya mungkin terasa berat, tetapi kelak ketika kita setia menjalani panggilan-Nya, suatu saat kita akan beroleh sukacita dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mengapa yang kita ajukan.

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

Baca Juga:

4 Pertanyaan yang Perlu Dijawab Jika Kamu Jatuh Cinta pada yang Berbeda Iman

Aku telah beberapa kali menyukai laki-laki yang berbeda iman dan dua kali berpacaran dengan mereka. Lingkungan sosial membuatku secara alami mempunyai banyak kenalan laki-laki yang berbeda iman denganku. Aku bersekolah di sekolah negeri sejak taman kanak-kanak hingga kuliah. Oleh karena itu, mayoritas teman-temanku berbeda iman denganku.

Setahun Penuh Aku Menganggur Akibat Salah Memilih, Inilah Kisahku Mencari Pekerjaan

setahun-penuh-aku-menganggur

Oleh Claudya Elleossa

Saat aku nekad memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebelumnya yang super nyaman, aku pikir ini adalah sebuah strategi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun pada akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku ini sesungguhnya adalah wujud pelarianku dari panggilan Tuhan. Keputusanku yang salah ini membuatku menganggur selama setahun. Namun, aku juga mendapatkan hikmah yang berharga di balik semua ini. Berikut adalah kisahku.

Ketika Tuhan seolah-olah mempermainkanku dengan harapan palsu

Menjadi seorang pendidik bukanlah cita-citaku. Aku merasa ada banyak peluang yang dapat aku ambil di masa mudaku ini. Alasan itulah yang membuatku memutuskan untuk mengundurkan diri dari profesiku sebagai seorang guru dan mencoba ladang pekerjaan lain.

Di bulan-bulan awal aku menjadi pencari kerja, aku mendapatkan sebuah panggilan dari sebuah perusahaan idamanku. Aku begitu senang mendapatkan panggilan tersebut. “I make my dream come true!” Begitulah yang aku ingin segera tuliskan di segala akun media sosialku. Aku pun berhenti memasukkan lamaran kerja di tempat lain dan menunggu jadwal wawancara di perusahaan idamanku dengan antusias sembari mempersiapkan segalanya.

Seminggu berlalu. Dua minggu berlalu. Telepon yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang. Akhirnya aku harus mengakui bahwa harapanku telah kandas. Itu menjadi momen terendahku saat itu sejak aku menjadi seorang pencari kerja. Aku berpikir, lebih baik jika panggilan awal itu tidak pernah ada. Ini adalah kabar PHP alias Pemberi Harapan Palsu! Tanpa kabar itu, mungkin aku masih terus giat mencari pekerjaan di tempat lain tanpa terbuai ke langit ketujuh.

Dalam perjalanan iman yang kita lalui, mungkin kita pernah mengalami hal seperti yang kualami: Masa-masa ketika kita merasa Tuhan seolah-olah sedang mempermainkan kita dengan memberikan harapan yang pada akhirnya tak pernah terwujud. Hal yang mungkin membuat kita menjadi marah kepada-Nya. Kata-kata “jadilah padaku seturut kehendak-Mu” pun menjadi sebuah hal yang begitu berat untuk kita aminkan. Namun sesungguhnya, Tuhan tak pernah mempermainkan kita. Bagaimanapun, Tuhan itu baik. Seringkali yang menjadi kesalahan kita adalah ketika kita mengukur kebaikan Tuhan berdasarkan kenyamanan hidup kita.

Kegagalan demi kegagalan

Waktu pun berlalu dan aku akhirnya pulih dari kekecewaan yang kualami. Fokusku bergeser ke mimpi-mimpi yang lain. Ora et labora (berdoa dan bekerja) aku terapkan maksimal setiap saat untuk membuat mimpiku jadi nyata. Sayangnya, yang terjadi justru adalah kegagalan demi kegagalan.

Suatu siang, aku hanya terdiam sendiri, duduk, dan berdoa: Apa makna di balik semua ini? Di antara berbagai lamaran yang kumasukkan, hanya sedikit yang berlanjut pada panggilan. Sekalinya aku lolos sampai ke tahap akhir, aku juga gagal di tahap akhir tersebut. Aku merasa bodoh dan kacau. Aku tidak mengerti mengapa aku gagal terus-menerus. Doa dan usaha agaknya tak kurang aku haturkan. Aku pun menjadi kecewa, dan lebih buruknya, aku mulai meragukan diriku sendiri dan juga meragukan Tuhan yang aku sembah. Apa yang salah dari diriku dan apa yang mungkin telah aku lewatkan? Ini menjadi pertanyaan yang kutanyakan kepada diriku.

Mengapa aku tidak ingin menjadi guru

Dalam hening, aku mencoba memutar kembali perjalanan pencarian kerja ini. Sebuah proses yang normalnya dialami oleh para fresh graduate. Tepat setelah aku mengundurkan diri dari profesi guru, tawaran pertama yang hadir adalah tawaran untuk kembali menjadi guru namun di sekolah lain dan untuk jenjang yang berbeda. Aku menolak dengan santun saat itu, karena aku tahu jelas rencanaku ke depan. Kembali menjadi guru bukanlah sebuah pilihan bagiku.

Namun sore itu aku berpikir mengapa tawaran menjadi guru itu dibukakan kepadaku? Jangan-jangan apa yang paling aku ingkari merupakan petunjuk Tuhan yang paling nyata.

“Ah, tidak mungkin!” aku buyarkan pikiranku. “Aku tidak ingin kembali menjadi guru,” tegasku kepada diriku sendiri.

Namun meskipun pikiranku menolak untuk kembali menjadi guru, pengalamanku dahulu ketika menjadi guru terus terlintas dalam pikiranku. Aku harus mengakui bahwa pengalamanku dahulu ketika aku menjadi guru selama 16 bulan merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa. Banyak hal indah yang terjadi selama masa itu yang mungkin baru aku sadari: dicintai banyak murid dan dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Itu adalah hal yang indah! Lalu, mengapa aku ingin beralih profesi?

Aku pun mulai menemukan alasan sebenarnya yang membuatku malu menjadi guru. Aku teringat ketika kekasihku mengatakan dengan jujur bahwa ayahnya menginginkan seorang menantu dengan pekerjaan yang keren. “Oke, waktunya cari pekerjaan yang lebih kece,” itulah yang kupikirkan saat itu, demi menjadi menantu idaman sang calon mertua. Sebuah keputusan yang aku ambil semata-mata untuk menyenangkan orang lain dan dipandang baik oleh mereka. Panggilan Tuhan atas diriku pun kuabaikan.

Paradigma bahwa menjadi guru bukanlah hal yang keren semakin tertanam saat aku melihat teman-teman sejurusanku yang memiliki berbagai pekerjaan bergengsi. Seketika aku malu, merasa kecil, dan terkesan gagal menjadi seseorang yang layak dibanggakan. Kenyataannya, di negara ini atau mungkin masih banyak negara lain, profesi guru bukanlah hal yang bergengsi.

Aku yakin, dalam hidup kita, kedaulatan Tuhan selalu melingkupi kita. Aku meyakinkan diriku bahwa Tuhan tidak pernah berniat jahat. Aku pun percaya Dia memiliki alasan ketika menempatkan anak-anak-Nya di mana pun mereka berada. Jangan-jangan, ini adalah cara-Nya mengingatkanku yang keras kepala ini untuk setia kepada panggilan-Nya daripada kepada keinginan dan rencanaku sendiri.

Meskipun hatiku bahagia ketika menjadi guru, rasa malu akan pandangan orang lain kepada diriku juga masih mengganggu tidur lelapku. Aku masih berusaha mencari alasan bahwa aku tidak harus kembali menjadi guru. Di tengah keberdosaanku, aku masih percaya bahwa ada ladang lain selain pendidikan yang bisa aku garap.

Sembari memikirkan tentang apa arti panggilan, aku teringat akan seorang alumni persekutuan kampus yang pernah mengatakan bahwa kita tidak bisa mengelak dari panggilan kita yang sebenarnya. Melalui belokan-belokan yang tajam sekalipun, Tuhan bisa menarik kita kembali ke ladang yang Dia siapkan, enak atau tidak enak bagi kita.

Aku tidak meragukan kata-katanya. Satu hal yang masih sulit untuk kuterima adalah jika panggilanku ternyata di bidang yang dianggap tidak keren dan tidak menghasilkan banyak pundi rupiah. Aku pun tertawa miris ketika menyadari bahwa meskipun aku sering mengingatkan orang lain untuk taat, aku sendiri pun sulit melakukannya.

Belajar memilih untuk taat

Setelah perenungan berakhir, aku berusaha menguji hipotesis bahwa aku memang dipanggil Tuhan di dunia pendidikan. Tidak baik menjadi manusia yang hanya terus berpikir tanpa bertindak. Kevin DeYoung, dalam bukunya “Just Do Something”, mengatakan bahwa kita perlu bertindak untuk terus memperjelas apa kehendak-Nya bagi kita. Jangan hanya duduk diam merenung. Aku pun belajar memilih untuk taat dengan melamar ke beberapa sekolah. Setiap hasil yang keluar aku serahkan kepada Tuhan untuk membimbingku pada keputusan yang harus kuambil selanjutnya.

Pertama kalinya dalam 9 bulan, strategiku berjalan mulus. Upayaku menguji hipotesis tersebut menunjukkan titik terang. Empat dari enam sekolah yang aku lamar merespons dengan sangat baik. Bagiku, ini adalah petunjuk dari Sang Pencipta. Antara galau, malu, dan senang berpadu menjadi satu. Aku juga merasakan damai sejahtera, perasaan yang khas hasil dari tindakan ketaatan. Di manapun aku ditempatkan oleh-Nya, aku ingin menjalaninya dengan kemantapan hati karena aku tahu ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh-Nya.

Sebenarnya, kembali menjadi guru bukanlah akhir yang aku bayangkan. Masih terselip perasaan malu karena aku kembali menjadi guru. Tapi jika keputusan kembali menjadi guru adalah sebuah bentuk ketaatanku kepada Tuhan, aku akan menanggung segala risikonya. Pandangan miring orang lain akan diriku aku terima dengan kerendahan hati. Dari awal memang ada andil ketidaktaatan dan kesombongan yang kutunjukkan. Wajar jika aku harus menanggung konsekuensi dari kesombonganku tersebut.

Setelah perjalanan yang begitu panjang dan membosankan ini, sampailah aku pada titik di mana aku harus mengambil keputusan. Sebuah pemikiran berikut menolongku dalam mengambil keputusan. Terlampau sering aku menerima kebaikan di atas segala kelayakan, waktunya aku memberikan ketaatan di atas segala kenyamanan. Aku pun dikuatkan untuk taat kepada panggilan Tuhan bagi hidupku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali menjadi seorang guru.

Semua baik pada akhirnya

Ketika dihadapkan pada pilihan yang membingungkan, mungkin hal pertama yang perlu kita tanyakan kepada diri sendiri adalah, “Apa dan siapa yang harus kita utamakan?” Apakah itu rasa malu, gengsi, pendapat orang sekitar, atau Kristus? Yesus meminta kita untuk menyangkal diri hari lepas hari (Lukas 9:23). Sesederhana itu? Ya! Tidak mudah, tapi memang sederhana.

Perjalananku dalam mencari pekerjaan ini membuatku semakin mengenal Sang Pencipta. Dia adalah sutradara yang punya skenario terbaik melampaui segala rencana kita (Yesaya 55:8-9). Mengapa adegan ini terjadi dan mengapa adegan yang itu harus dihapus? Itu karena Dia tahu bahwa pada akhirnya, itulah yang terbaik.

Aku terkagum dengan jalan Tuhan yang Mahakreatif. Peta-Nya selalu jelas, namun kadang kacamata kita yang buram membuat kita tidak dapat membaca peta itu dengan baik. Atau sesekali Dia memang mengizinkan kita berpetualang di rimba, tak lain demi melatih ketahanan kita dan menjadikan diri kita menjadi pribadi yang lebih baik pada akhirnya.

Aku pun teringat akan kitab Ayub yang kubaca selama aku melalui proses ini. Di dalam kitab Ayub kita dapat menemukan kisah yang luar biasa indah, namun ada sebuah proses yang tidak mudah yang harus Ayub lalui. Di dalam proses tersebut, Ayub pun pernah mempertanyakan Pencipta-Nya dengan sedemikian rupa. Dia tidak memahami mengapa dia harus mendapatkan segala penderitaan yang dia alami. Dia pernah salah bersikap, namun akhirnya insaf. Aku bersyukur dapat mencicipi secuil dari ujung kuku pergumulan yang dihadapi Ayub. Semoga akhirnya aku (dan kita semua) dapat keluar sebagai seorang yang murni sama seperti Ayub, dan berujung pada kesimpulan: “Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Baca Juga:

Aku Melakukan Kesalahan Besar, Akankah Tuhan Mengampuniku?

Kembalilah kepada Tuhan yang “pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya.” Dia takkan mengabaikanmu. Jangan terjebak dalam kesalahan yang kita buat di masa lalu. Bersama-Nya, kamu dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

Ketika Aku Menyadari Bahwa Kerja Keras Bukanlah Segalanya

ketika-aku-menyadari-bahwa-kerja-keras-bukanlah-segalanya

Oleh M.D. Valley, Afrika
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Realized Working Hard Isn’t Everything

Seorang rekan kerjaku baru saja pensiun setelah bekerja di sebuah organisasi selama 35 tahun. Dia adalah salah satu orang yang bekerja setiap hari tanpa mengenal waktu dan memberikan hati dan jiwanya bagi pekerjaan yang ada padanya.

Dia adalah seorang yang sangat bergairah, kompetitif, memahami segala situasi yang terjadi, dan terlibat dalam segala hal yang ada di kantor.

Kami membuat pesta perpisahan baginya dan memberikannya sebuah kado dan sebuah kartu. Keesokan harinya, seorang pekerja baru telah mengambil alih posisinya dan emailnya telah dihapus dari mailing list para staf.

Dahulu aku juga seperti itu…

Sejujurnya, dahulu aku sebenarnya sudah ada di jalur untuk menjadi seorang pekerja seperti dia. Aku memberikan segalanya untuk pekerjaanku, aku memimpikan pekerjaanku di malam hari, dan tidak ada hal lain yang kubicarakan selain tentang pekerjaanku. Aku begitu terpaku kepada pekerjaanku sampai-sampai aku berhenti membangun kehidupan di luar pekerjaan.

Aku berhenti berelasi dengan teman-temanku karena aku selalu bekerja atau membalas email-email. Aku tidak dapat menjalin relasi yang ada karena aku selalu menjadi orang terakhir yang pulang dari kantor atau selalu memperhatikan ponselku, dengan cemas menunggu pesan yang aku perlu tanggapi. Aku menjadi kesal jika aku diberitahu bahwa ada hal-hal lain yang penting di hidup ini dan aku harus belajar untuk sedikit lebih hidup.

Hingga suatu hari, aku jatuh sakit dan harus berhenti bekerja selama beberapa waktu. Hanya seorang rekan kerjaku yang menanyakan keadaanku melalui sebuah pesan teks. Aku tidak punya siapa-siapa yang dapat kuajak bicara, tidak ada seorang pun yang menolongku, dan karena aku telah mengabaikan Tuhan, aku merasa sungkan untuk datang kepada-Nya juga. Saat itu, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam hidup ini, dan bahwa aku bukan diciptakan untuk bekerja mengejar keuntungan materi. Aku diciptakan untuk bersekutu (1 Korintus 1:9) dan memuliakan Allah (Yesaya 43:7).

Sebuah pertemuan yang lain

Setelah pencerahan itu, aku mengatur sebuah pertemuan dengan temanku yang sudah pensiun. Dia menceritakan bahwa dia tidak tahu harus berbuat apa setelah pensiun. Dia bercerai karena pekerjaannya, dan sudah lama dia meninggalkan semua hobinya untuk memenuhi tuntutan pekerjaan dan ambisinya. Dia telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengejar tenggat waktu dan promosi karir, dan seringkali dia merasa segala hal di kantor dapat menjadi hancur jika dia tidak ada di sana untuk menjaganya.

Namun saat dia pensiun, dia menyadari bahwa semua usaha yang dia lakukan adalah sia-sia. Posisinya dengan mudah digantikan oleh orang lain. Karena mengejar karir, dia telah kehilangan fokus akan hal-hal lainnya. Dia kehilangan teman-temannya, keluarganya, dan kemampuan untuk “berfungsi” di luar kantor.

Dia menceritakan bahwa kesalahannya adalah memusatkan pandangannya kepada hal-hal yang berjangka pendek saja. Karena dia begitu terpaku untuk mengejar kesuksesan dalam pekerjaan, dia telah gagal untuk melihat jauh ke depan dan juga gagal menyadari bahwa akan tiba hari di mana dia akan meninggalkan pekerjaan tersebut.

Kini dia baru menyadari bahwa membangun keluarga, komunitas, dan iman adalah sesuatu yang lebih penting daripada jabatan yang dia dapatkan. Menghasilkan dampak bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya, mengenal tetangga-tetangganya, melayani Tuhan, menjangkau mereka yang terhilang, adalah pencapaian yang jauh lebih tinggi daripada gaji yang didapatkannya di akhir bulan.

Cerita itu begitu berdampak bagi diriku

Cerita itu juga memotivasiku untuk merefleksikan kehidupanku sendiri. Membaca kitab Amsal dan Pengkhotbah, aku belajar bahwa untuk segala sesuatu ada masanya (Pengkhotbah 3); pekerjaan tidak boleh mengambil seluruh hidupku. Dan jikalau bukan Tuhan yang memberkati pekerjaanku, pekerjaanku akan menjadi sia-sia dan hanya menimbulkan frustrasi, tidak peduli seberapa keras pun aku bekerja (Mazmur 127). Dari pengalaman pribadiku, aku juga menyadari bahwa sama seperti Tuhan yang memberikanku pekerjaan itu, Dia juga mampu untuk mengambilnya atau memberikanku pekerjaan lain.

Aku tidak berkata bahwa kita tidak perlu bekerja keras—Alkitab memanggil kita untuk bekerja dengan rajin (Amsal 6:6-11)—namun tujuanku haruslah untuk mengagungkan Tuhan di atas segala hal lainnya. Dalam segala hal yang kukerjakan, aku berdoa agar Dia memberikanku anugerah untuk “mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya”, dan percaya bahwa segala hal yang aku butuhkan akan diberikan juga kepadaku (Matius 6:33).

Keamananku terletak bukan di mana aku berada dan apa yang aku lakukan, tapi dengan siapa aku bersama. Hidup bukanlah tentang mengetahui segala hal; hidup adalah tentang mempercayai Dia yang berkuasa atas hidup kita. Ketika kita sungguh-sungguh belajar mempercayai Tuhan dan percaya akan cara-Nya bekerja di dalam hidup kita, kita takkan disibukkan lagi akan hal-hal kecil yang ada di sini saat ini, dan kita akan belajar untuk melihat gambaran yang lebih besar dan menyadari bahwa hidup kita bukanlah ada di tangan kita—tapi di tangan Tuhan. Kita perlu menghidupi hidup kita sesuai dengan cara yang dikehendaki Tuhan.

Sekarang, aku memilih untuk meminta Tuhan untuk memakai diriku bagi kemuliaan-Nya, untuk menjadikanku tangan dan kaki-Nya (1 Korintus 12:12-31) dalam cara apa pun yang menyenangkan-Nya. Aku mencoba untuk melihat gambaran besarnya dan tidak fokus kepada apa yang keinginan dagingku dan dunia katakan sebagai sesuatu hal yang penting.

Hal itu membuatku berkomitmen untuk menetapkan waktu untuk meninggalkan kantor setiap hari. Sebisa mungkin, aku mencoba untuk tidak berada di kantor melebihi jam 7 malam. Ada saat-saat di mana aku perlu lembur, tapi aku pastikan itu tidak menjadi sebuah kebiasaan. Aku juga mulai menerima ajakan bertemu dengan teman-temanku, menulis, menjadi sukarelawan untuk hal-hal yang dekat dengan hatiku, dan melayani Tuhan di gereja. Aku juga berjanji kepada Tuhan untuk tidak bekerja dan memeriksa emailku di hari Minggu.

Melakukan perubahan ini membutuhkan waktu tapi aku bertekad untuk tidak menjadikan pekerjaanku menjadi berhalaku. Aku diciptakan bagi Tuhan. Dia bagaikan tukang periuk dan aku adalah tanah liatnya (Roma 9:21).

Baca Juga:

Mengampuni Musuh Kita, Mungkinkah?

Suatu sore di tahun 2015, seorang anak muda berjalan masuk ke dalam sebuah gereja. Para peserta rutin acara Pendalaman Alkitab mingguan gereja itu pun menyambutnya dan acara pun dimulai dan berjalan selama satu jam. Tiba-tiba, anak muda itu berdiri, mengambil sebuah pistol, dan menembaki semua orang di dalam ruangan itu. Dia menembaki setiap orang beberapa kali, mengeluarkan ungkapan rasisme, dan pergi meninggalkan gereja itu. Sembilan orang tewas malam itu, termasuk pendeta senior gereja itu.