Posts

4 Cara Menjumpai Tuhan di Kehidupan Sehari-hari

Oleh Justin

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Ways We Can See God In Everyday Life

Aku sering mengalami momen-momen di siang hari ketika aku asyik sendiri dan lupa kalau Tuhan sebenarnya selalu ada bersamaku. “Lupa” ini sering terjadi saat aku melakukan kegiatan yang tampaknya “duniawi”—pekerjaan, tugas kuliah, hobi.

Salah satu hobiku adalah mendengarkan musik klasik, terutama ketika aku sedang bekerja, supaya aku lebih rileks. Dalam playlist yang biasanya kuputar acak, kadang ada lagu yang enak, yang tiba-tiba terputar seperti, “The Lark Ascending” dari Vaughan William—dan untuk sesaat, aku seperti  dibawa ke dunia yang berbeda, dunia yang penuh dengan keagungan dan keindahan. Musik yang indah mengingatkanku bahwa ada lebih banyak hal dalam hidup ini daripada apa yang terlihat oleh mata, dan aku pun mengingat Dia yang menciptakan segala keindahan.

Momen-momen seperti ini membuatku sadar, seperti yang Yakub alami di Betel, bahwa Tuhan ada di sini, bersama kita, meskipun kita tidak mengetahuinya (Kejadian 28:16). Aku mengakui bahwa Tuhan selalu menyertaiku, di mana pun aku berada dan apa pun yang aku lakukan (Yeremia 23:24; Mazmur 139:7-10).

Saat kita sadar bahwa Tuhan senantiasa hadir, kita dapat memiliki cara pandang surgawi dan kita pun mampu merenungkan kasih dan kesetiaan-Nya yang tak pernah berakhir. 

Jadi, bagaimana kita dapat “melihat” Allah dengan lebih baik dalam kehidupan kita sehari-hari? Kita dapat berdoa, memohon agar Tuhan menolong fokus dan perhatian kita kepada-Nya. 

Berikut adalah empat cara agar kita dapat melihat lebih banyak tentang Allah:

1. Lihatlah Allah dalam ciptaan-Nya

Setiap kali aku melihat seekor burung hinggap di ambang jendela, atau melihat matahari bersinar, atau merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajah, aku memandang semua itu sebagai pengingat akan Sang Pencipta dan betapa menakjubkannya Dia menciptakan semua ini untuk kesenangan-Nya dan kesenangan kita.

Alkitab berkata, “Langit memberitakan kemuliaan Allah” (Mazmur 19:1). Dia membuat rumput tumbuh (Mazmur 104:14), menurunkan hujan pada waktunya (Yeremia 5:24), dan menentukan batas-batas gelombang laut (Ayub 38:10-11).

Selain mengingatkan kita akan keberadaan dan kuasa Allah, ciptaan mengajarkan kita untuk memandang Allah sebagai pemelihara dan penolong kita. Yesus mengajak kita untuk merenungkan bagaimana Allah memberi makan burung-burung di udara dan memberi pakaian kepada bunga bakung di padang, sehingga kita tidak perlu khawatir dengan apa yang kita makan dan kenakan (Matius 6:25-33). Kita dapat melihat ke bukit-bukit dan mengingat bahwa Allah yang sama yang menciptakannya adalah Allah yang menolong kita (Mazmur 121:1-2).

Aku pun merasa beruntung karena aku kuliah di kampus yang banyak ruang terbuka hijaunya. Setiap kali aku stres ketika menghadapi ujian, aku akan pergi ke area yang dekat dengan alam untuk melihat burung-burung yang melompat-lompat di atas rumput atau memandangi pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Atraksi sederhana dari alam menolongku untuk mengingat bahwa Pencipta alam semesta ada di sini bersamaku. Dialah yang menjadi sumber dari segala kebijaksanaan dan pengertian, dan apa pun hasil ujianku nanti, semuanya akan baik-baik saja.

2. Melihat Allah di dalam berkat-berkat-Nya

Dunia adalah anugerah dari Allah buat kita, tapi kadang kita tidak merasa dunia ini se-spesial itu karena kita membandingkannya dengan berkat-berkat khusus yang Tuhan berikan pada kita masing-masing, seperti makanan apa yang kita makan, pakaian apa  yang kita kenakan, di mana tempat tinggal kita, dan sebagainya. 

Setiap kali aku merenungkan berkat-berkat yang kuterima, entah itu secangkir kopi, atau sesendok besar es krim, kulatih diriku untuk meluap dalam rasa syukur. Makanan dan minuman bisa saja dikonsumsi dengan sikap hambar, seolah itu hanya ‘rutinitas’ supaya kita bertahan hidup, tapi pada kenyataannya, saat kita makan, kita menikmati berbagai macam rasa dan aroma. Tuhan memberi kita indera pengecap untuk menikmati semua ini! Tidaklah mengherankan jika pada pernikahan di Kanan, Yesus tidak membuat sembarang anggur, tetapi anggur yang baik (Yohanes 2:1-10). 

Jika kita menikmati manisnya madu dan mendapatkan energi darinya, terlebih lagi manisnya firman Tuhan (Mazmur 119:103) dan nutrisi rohani yang kita dapatkan dari tiap firman Allah. Janji-janji Allah menyenangkan jiwaku, sebab janji-janji itulah yang memberiku kekuatan dan keberanian untuk menghadapi masa depan. 

Jika kita menikmati kebersamaan dengan sahabat-sahabat kita, persahabatan dengan Yesus, sahabat kita yang sejati, tentulah memberi kita sukacita sejati. Aku telah diberkati dengan teman-teman yang baik hati, penuh kasih, dan penyayang, yang selalu bersamaku dalam suka dan duka. Aku bersyukur atas kehadiran mereka. Melalui mereka, Allah menunjukkan kasih setia-Nya padaku. Dan, aku semakin bersukacita karena Yesus yang melebihi segalanya yang dapat kubayangkan. 

Bapa kita tahu bagaimana memberi kita pemberian yang baik (Yakobus 1:17). Meskipun kita mungkin menganggap remeh sebagian besar berkat-berkat-Nya, sudah sepatutnya kita lebih menghargai tiap berkat-Nya dan berterima kasih kepada sang Pemberi yang memberkati kita setiap hari.

3. Melihat Allah di dalam pekerjaan

Allah telah menugaskan pekerjaan kepada manusia bahkan sebelum kejatuhan dalam dosa (Kejadian 2:15). Pekerjaan adalah bagian dari rancangan Allah, yang berarti pekerjaan bukanlah suatu beban. Masing-masing kita memiliki panggilan yang diberikan Tuhan untuk kita kerjakan di bumi ini. Sebagai contoh, ketika kita memesan makanan dari sebuah restoran, kita diberkati oleh pekerjaan petani, koki, dan semua orang yang terlibat dalam proses produksi makanan tersebut. Melalui pemeliharaan-Nya, Tuhan dapat menggunakan pekerjaan kita untuk memberkati orang lain.

Pekerjaanku terkait pengelolaan keuangan sebuah bisnis kecil dengan sekitar sepuluh karyawan. Sekilas pekerjaanku tampak sekadar memantau arus kas sepertinya tidak terlalu berdampak dibandingkan dengan pekerjaan lain yang lebih hebat, tetapi aku telah belajar bahwa Tuhan dalam hikmat-Nya yang tak terbatas memberikan pekerjaan yang berbeda kepada setiap orang sesuai dengan tujuan-Nya. Bahkan ketika aku menulis ini, aku sejatinya sedang mengkhotbahkan kebenaran ini kepada diriku sendiri, dan aku pun berdoa agar aku dapat lebih melihat Tuhan dalam pekerjaanku, dan memandang pekerjaanku lebih dari sekadar sarana untukku mendapatkan penghasilan.

Seperti yang dikatakan A.W. Tozer, “Bukan apa yang dilakukan seseorang yang menentukan apakah pekerjaannya itu sakral atau sekuler, melainkan mengapa ia melakukannya.” Aku tahu bahwa dalam pekerjaanku, pada akhirnya aku bertanggung jawab kepada Tuhan, dan setiap pekerjaan kecil yang dilakukan sepenuh hati, entah itu menulis cek belanja atau mengecek kembali arus kas keuangan, tidak akan luput dari perhatian-Nya. 

Meskipun pekerjaan kita seringkali tidak menyenangkan dan suram karena kita dan seisi dunia telah jatuh dalam dosa (Kejadian 3:17-19), kita dapat yakin bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati bagi Tuhan akan mendapatkan upahnya (Kolose 3:23-24). Apa pun pekerjaan yang kita lakukan, besar atau kecil, dibayar atau tidak dibayar, kita tahu bahwa jerih payah kita di dalam Tuhan tidak sia-sia (1 Korintus 15:58) dan kita dapat meminta kasih karunia untuk memperlengkapi kita dalam setiap pekerjaan baik (2 Korintus 9:8).

4. Melihat Allah dalam pencobaan

Pencobaan dan penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan Kristen (Kisah Para Rasul 14:22), entah itu penyakit ragawi, masalah keuangan, penganiayaan, atau bahkan hal-hal kecil yang membuat kita tidak nyaman. Momen-momen penderitaan ini berfungsi sebagai pengingat bahwa dunia ini bukanlah rumah kita yang kekal, rumah kita pada akhirnya adalah bersama Bapa.

Setiap kali aku merasa tidak enak badan, entah itu migrain, mual, atau asam lambungku kumat, aku merasa terhibur karena mengetahui bahwa di surga, tubuh kemuliaan kelak tidak akan mengenal sakit atau nyeri. Meskipun penyakit-penyakit yang sering terjadi ini terkadang membuat frustrasi, semua ini mengajariku untuk lebih rendah hati dan lebih bergantung hanya pada Tuhan saja. 

Setiap pencobaan adalah kesempatan untuk kembali mempercayai Allah dan bersandar pada kasih karunia-Nya yang amat mencukupi di dalam kelemahan kita (2 Korintus 12:9). Ketika kita mengalami banyak penderitaan, kita didorong untuk tidak berkecil hati, mengingat bahwa kemuliaan kekal sedang dipersiapkan bagi kita, dan hadiah surgawi yang tak terlihat itu bersifat kekal (2 Korintus 4:16-18).

Ketika kita mencari Tuhan dengan lebih sungguh-sungguh dalam keseharian kita, kiranya kita dapat mengalami sukacita persekutuan dengan-Nya. Ketahuilah, Dia menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Matius 28:20).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Membongkar Ulang Makna Sukses

Oleh Jovita Hutanto

Bulan Januari buatku adalah bulan yang terasa intens. Teman-teman di sekitarku sudah pasang ancang-ancang membuat ini itu untuk capai target sepanjang tahun. Seram rasanya buatku.

Tapi, kurasa tak cuma teman-temanku. Banyak dari kita pun mulai memikirkan goals dan resolusi supaya hidup kita makin dengan dengan kesuksesan. Atau, pada ekstrem yang lain, ada pula orang yang memosisikan diri di kubu ‘bohwat’. Istilah ini sering digunakan oleh teman-teman etnis Tionghoa yang berarti keadaan ketika seseorang sudah bingung mau berbuat apa lagi.

Terlepas dari di kubu mana kita berada, jika bicara soal sukses kurasa semua orang ingin sukses. Itu mimpi semua orang. Tapi, sebelum kita bergerak mengejar sukses, izinkan aku mengkaji ulang definisi dan standar dari sebuah kesuksesan.

Apa sih arti sukses buat kamu? Apakah itu banyak uang? Jadi terkenal? Punya gelar pendidikan tinggi? Punya usaha? Bisa mengubah dunia? Apa pun yang jadi dambaan kita, setiap kita punya standar hidup sukses yang berbeda. Namun, apakah kita bisa yakin bahwa yang kita inginkan itu adalah sukses yang sesungguhnya? Untuk menemukan jawaban yang benar, kita harus kembali pada Alkitab dan melakukan sedikit riset mengenai definisi sukses dari point of view Alkitab, alias dari sudut pandang Allah sendiri.

Aku mengambil satu contoh dari tokoh yang kisahnya pasti familiar kita dengar. Tokoh ini bernama Yusuf. Dalam Perjanjian Lama, dia dikisahkan menderita kemalangan bertubi-tubi. Dari seorang anak kesayangan ayahnya, dia dibuang dan dijual oleh saudara-saudaranya yang iri kepadanya. Tetapi, menariknya, pada teks Kejadian 39:2, tertulis demikian: “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Jika kita tilik ayat ini dari terjemahan bahasa Inggris versi ESV, tertulis: “The LORD was with Joseph, and he became a succesful man…” Terjemahan ESV secara gamblang menggunakan kata success.

Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa kalimat yang digunakan bukanlah kalimat sebab-akibat. Bukan “sebab Tuhan menyertai Yusuf”, akibatnya “ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa penyertaan Tuhan akan selalu diikuti oleh keberhasilan Yusuf. Penggunaan kata “tetapi” menjadi kalimat penghubung yang mengkontraskan kalimat sebelum dan sesudahnya.

Isi ayat sebelumnya berkata, “Adapun Yusuf telah dibawa ke Mesir; dan Potifar, seorang Mesir, pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja, membeli dia dari tangan orang Ismael yang telah membawa dia ke situ” (Kejadian 39:1). Penggunaan kata “tetapi” pada ayat selanjutnya memperkuat konsep penyertaan Tuhan yang sifatnya independen (atau mandiri), tidak bergantung pada malangnya latar belakang hidup Yusuf dan Yusuf pun tetap berhasil dalam setiap pekerjaannya.

Ada hal lain lagi yang menarik buatku dari ayat ini, yaitu terdapat kata “selalu”. Tidak seperti manusia yang tidak pasti dan tidak bisa diandalkan, dari kisah Yusuf kita yakin bahwa penyertaan Tuhanlah yang selalu mendatangkan kesuksesan. Inilah kunci keberhasilan yang paling jitu.

Nah, apa sih hidup yang disertai Tuhan?

Kata “serta” mengandung unsur partisipasi aktif dari pihak yang menyertai, yaitu “Tuhan”. Artinya, sebagai umat Kristen sudah sepatutnya kita melibatkan Dia dalam setiap langkah kita, bahkan menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada Tuhan. Cukup abstrak ya konsep melibatkan Tuhan ini kalau kita pikir-pikir. Tapi, yuk kita kembali lagi ke cerita Yusuf.

Di ayat-ayat berikutnya, saat Yusuf digodai untuk meniduri istri Potifar, Yusuf menolak. Yusuf mengatakan, “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kejadian 39:9).

Coba perhatikan. Yusuf tidak berkata bahwa dosa tersebut akan menjadi pertanggungjawaban dia terhadap Potifar, tetapi pada Allah. Yusuf menunjukkan jelas bahwa hidupnya tertuju pada Tuhan, meskipun konteksnya dia berada di Mesir dan di istana Potifar

Sampai di sini, kita bisa simpulkan bahwa hidup di dalam penyertaan Tuhan adalah hidup yang menjadikan Tuhan Yesus tuan atas setiap aspek hidup kita.

Lantas, apa sih indikator sukses itu?

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa kesuksesan Yusuf merupakan status dan harta yang diberikan Potifar kepadanya. Aku kira ini merupakan asumsi yang salah besar. Jangan kita salah kaprahkan ya bonus dari Tuhan dengan arti kesuksesan yang Tuhan maksud.

Coba kita baca baik-baik, pada Kejadian 39:2, yang tertulis adalah “berhasil dalam pekerjaannya”, bukan berhasil mendapatkan uang atau harta. “Berhasil dalam pekerjaannya” dalam pengertian lain adalah Yusuf telah menggenapi kehendak dan panggilan-Nya. Bahkan, Alkitab menyatakan bahwa Yusuf tetap berhasil saat dia dipenjarakan Potifar tanpa status dan harta (Kejadian 39:20-23). Dalam situasi apa pun kita ditempatkan, jika kita hidup dalam penyertaan Tuhan, maka Dia akan memberikan kebijaksanaan-Nya kepada kita agar kita dapat mensukses pekerjaan yang telah Dia titipkan. Status dan harta yang Yusuf terima pada akhirnya hanyalah bonus semata yang Tuhan berikan karena dia telah berhasil menggenapi pekerjaan Tuhan.

Jadi, cukuplah jelas di sini bahwa standar hidup sukses itu adalah pemenuhan target Tuhan, bukan target kita sendiri.

Hidup di dalam penyertaan Tuhan itu merupakan relasi dua arah, antara kita dengan Tuhan, dan titik fokusnya kepada Tuhan. Kalau bahasa yang lebih mendaratnya itu, berjalan dan berjuang bersama Tuhan dan untuk Tuhan. Tapi, di sinilah pr beratnya buat kita. Tuhan tidak terlihat wujudnya, maka bentuk perjalan dan perjuangan bersama Tuhan itu memerlukan skill “melek jiwa”, atau bahasa kerennya “mindfulness”.

Penyertaan Tuhan itu senantiasa, tetapi seringkali kasusnya bukan Tuhan yang tidak mau menyertai, tetapi kitanya yang tidak mau disertai atau kerap kali kita malah melupakan Tuhan di dalam keseharian kita. Kalau mau dipikir-pikir, seberapa banyak dari kita yang melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yang kita ambil? Seberapa sering kita menggumulkan firman-Nya? Memang terdengar klise dan mungkin sudah banyak dari kita yang rajin berdoa dan baca Alkitab. Tapi, jujur aja nih. Apakah kita memaknai aktivitas tersebut? Susah loh untuk membentuk sebuah habit yang penuh arti. Jujur, aku pun sering lupa kalau sudah doa makan atau belum saking aku sudah terbiasa dan kurang memaknai artinya lagi. Bahkan, kurasa kita ini sering loh seperti zombie, yang gak sadar hari-hari lewat begitu saja. (Hayoo, ngaku yang sering nanya hari ini hari apa, gak taunya sudah Jumat lagi aja.) Mungkin jika aku berimajinasi Tuhan itu seperti anak gaul, mungkin Dia akan berkata, “sadar woy, sadar.”

Tentunya skill mindfullness alias melek jiwa ini adalah proses yang panjang dan sulit karena dibutuhkan disiplin, konsistensi, dan anugerah Tuhan. Disiplin berdoa dan bergumul. Konsisten bertanya apakah aku melakukan ini untuk diriku atau Tuhanku; dan tidak lupa memohon anugerah Tuhan supaya kita sering-sering dibuat melek dan yang paling penting supaya kita bisa diatur karena kita sendiri adalah orang-orang keras kepala.

Tips jitu yang agak guyon dariku ialah kita bisa setting wallpaper HP kita diganti jadi kalimat yang mengingatkan kita sama Tuhan. Semisal kita tulis, “Inget Tuhan!” Setiap pagi kebanyakan kita mengawali aktivitas dengan…. Buka HP! Betul sekali! Jadi, pas pagi-pagi kita membuka HP dan lihat tulisan “inget Tuhan”, cepat-cepatlah kita berdoa. Kalau lagi kesel dan buka HP, lihat tulisan “inget Tuhan”, eits gak boleh marah-marah. Mesti sabar. Mau tidur, main HP dong pastinya, lihat lagi tulisan “inget Tuhan”, lalu coba refleksikan hari ini kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan.”

Capek tapi kan ya diingetin terus? Buatku ya capek sih. Tapi, kalau ingat inilah jurus jitu hidup sukses, harusnya kita nggak akan capek lagi dong ya hehehe.

Goals-goals yang kita bilang kesuksesan itu bukanlah tuntutan karena Tuhan sebenarnya tidak pernah menuntut kita untuk mencapai impian-impian tersebut. Kalau kita bilang itu tuntutan masyarakat, yuk kita sama-sama saling mengingatkan bahwa yang pegang kunci surga sudah pasti bukan teman atau keluarga kita hehe. Jangan salah pahamkan tuntutan yang kita buat sendiri dengan tuntutan yang memang dari Tuhan karena keduanya bagaikan langit dan bumi.

Ekspektasi sukses kita seringkali sifatnya fana dan tidak sesuai dengan maunya Tuhan. Ingat, Dia adalah Tuhan loh! Kalau Dia ingin berikan, maka sekejap maka saja kita akan mendapatkannya. Apa yang Tuhan utamakan adalah proses dan perjalanan keseharian kita bersama Dia.

Resolusiku di tahun ini sesuai dengan pesan yang sudah kusampaikan kepada kita semua, yaitu lebih setia, melek jiwa, dan berjalan bersama Tuhan. Bukan berarti kita hidup tanpa goals ya. Maksudku, kita tidak perlu menjadikan goals kita sebagai standar patokan arti kesuksesan.

Fokus kita hidup seharusnya tertuju pada proses kita berjalan dan berjuang dengan Tuhan Yesus setiap harinya, supaya bisa berhasil memenuhi panggilan-Nya. Kalau memang ternyata semua goals tercapai, aku menganggap semuanya itu bonus dari Tuhan.

Buat tim ‘bohwat’, gak ada salahnya kok dengan ide “just surviving”, yang penting ditambah jadi “just surviving with God.”

Tahun 2023 kita bisa fokuskan resolusi kita pada satu yang pokok: setia berjalan bersama Tuhan semaksimal mungkin.

Eben Haezer: Sampai di Sini Tuhan Menolong Kita

Oleh Meliani Chandra

Ketika aku mengalami pergumulan, ketika aku dapat melewati fase-fase berat, aku selalu teringat kata yang tertulis di judul tulisan ini. Kali ini aku mau bercerita tentang penyertaan dan pertolongan Tuhan selama dua tahun pertamaku bekerja.

Saat itu aku adalah seorang fresh graduate dari jurusan kesehatan. Berawal dari penantian panjang dalam mendapatkan pekerjaan tetap, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja di salah satu rumah sakit swasta di daerah Tangerang. Sebenarnya sangat banyak pertimbangan yang aku gumulkan apakah aku sebaiknya mengambil kesempatan ini atau tidak. Di satu sisi, aku merasa inilah jawaban dari doaku, kerinduanku untuk bekerja di bidang klinis. Namun di sisi lain, jika aku bekerja di sana, aku harus meninggalkan rumah dan tinggal di Tangerang (jam kerja shifting membuatku sulit untuk pulang pergi Jakarta-Tangerang setiap hari) dan meninggalkan banyak hal : 1) quality time bersama keluarga; 2) persekutuan di mana aku bertumbuh sejak kecil, serta pelayanan dan orang-orang di dalamnya; 3) pendapatan yang lebih besar dibanding yang sekarang (ya memang karena dulu kerja siang malam). Ditambah lagi, sistem kerja yang shifting; yang tidak mengenal weekend dan tanggal merah. Namun, setelah aku bercerita ke beberapa orang terdekat, menggumulkan, serta mendoakan, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kesempatan ini.

Pada saat awal masuk, rasanya super duper berat untuk dijalani. Mulai dari jobdesc pekerjaan yang kurang sesuai ekspektasi, pengalaman yang minim dengan tuntutan kerja yang tinggi, dituntut untuk cepat bisa, senioritas tinggi, waktu kerja yang shifting dan antimainstream (ketika aku libur, teman-temanku masuk, mereka libur, aku yang masuk), jadi anak rantau (walaupun cuma jarak Jakarta-Tangerang) yang tidak punya teman karena aku masih junior, dan lain-lainnya. Bisa dibilang, setiap hari aku ingin cepat-cepat libur supaya bisa pulang ke Jakarta.

Selain itu, dalam kehidupan spiritual aku pun harus beradaptasi. Sejak bekerja di tempat ini aku harus terbiasa bekerja di hari Minggu. Memang ada saat-saat tertentu aku bisa dapat libur di hari Minggu. Namun, di masa-masa awal, hal ini terasa begitu berat (sampai sekarang juga masih menjadi pergumulan tersendiri). Dinas di hari Minggu membuatku kejar-kejaran dengan waktu. Jangankan persekutuan. Jangankan pelayanan. Bisa ibadah saja sudah bersyukur.

Ya, begitulah kurang lebih pergumulanku di masa awal aku mulai bekerja. Untuk survive saja rasanya sulit dan mau menyerah. Seringkali aku bertanya, “Apa benar ini maunya Tuhan? Sepertinya ini hanya keinginanku saja. Sepertinya aku salah memilih jalan.”

Tapi … dalam dua tahun inilah aku mengalami apa yang namanya diproses Tuhan. Proses itu memang tidak enak, ibarat logam yang dipanasi, dilelehkan, dan ditempa. Aku percaya Tuhan memprosesku untuk menjadi lebih indah melalui masa-masa tidak enak dan menyakitkan yang kualami. Dia mengajarkan aku banyak hal. Dia mengizinkan aku untuk menikmati pengalaman-pengalaman berharga. Sangat jelas dan nyata penyertaan dan pertolongan-Nya di dalam kehidupanku (dan tentunya kita semua).

Inilah empat hal yang kupelajari yang aku ingin bagikan buatmu.

1. Di dalam kelemahanlah kuasa Tuhan sempurna

Ketika aku berada di titik terendah, stres dalam beradaptasi dengan pekerjaan, Tuhan menyediakan keluarga, teman-teman terdekat yang selalu mendukung dan mendoakan, yang tidak bosan-bosannya mendengarkan cerita dan keluh kesahku. Merekatidak mencibir aku payah karena mengeluh terus dan merasa tidak sanggup, tapi selalu membangkitkan semangat dan kepercayaan diri yang sudah hampir rusak. Di dalam kelemahan dan keterbatasanku, ketika aku merasa tidak bisa apa-apa, justru Tuhan yang memampukan aku untuk melewati satu demi satu rintangan, bukan dengan caraku, tapi dengan cara-Nya yang di luar akal manusia. Ia mengizinkan aku mengalami “kesengsaraan” untuk membentuk diriku menjadi tekun dan tahan uji, serta selalu berharap pada Tuhan.

2. Harta yang paling berharga adalah keluarga

Walaupun seminggu sekali aku selalu pulang setiap libur, tetap saja rasanya 1 hari dalam seminggu itu kurang untuk quality time bersama keluarga. Belum lagi, aku juga harus membagi waktu untuk bersosialisasi dan temu kangen dengan teman-teman. Walaupun jaraknya hanya Jakarta-Tangerang, aku menyadari bahwa tinggal bersama keluarga itu paling membuatku nyaman dan aman.

3. He makes all things beautiful in HIS time

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya (Pengkhotbah 3:1). Yup. Ayat ini benar sekali. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari (Pengkhotbah 3:4).

Tuhan tidak membiarkan aku berlarut-larut dalam kesedihan dan keputusasaan. Perlahan-lahan, badai pun mereda dan terbit pelangi yang indah.

Ketika kita dengan sungguh-sungguh belajar dan berusaha, tentu hasil tidak akan mengkhianati usaha. Ketika saat ini aku bisa memberikan konsultasi dan edukasi ke banyak orang, bahkan ketika mereka bisa pulang dengan sehat, di situ aku merasa “It’s only by HIS Grace!” Bahkan, Tuhan berikan aku bonus untuk mencicipi berkat yang tidak pernah aku harapkan sebelumnya, sebuah prestasi yang tidak pernah terpikirkan sedikit pun. Siapalah aku, kalau bukan Tuhan yang memanggil? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang memampukan? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang membentuk dan memproses? Layakkah seorang ciptaan dan alat untuk memegahkan diri? Tentu tidak! Yang keren dan hebat itu ya Penciptanya, Allah sendiri.

Dalam hal kebutuhan spiritual pun, perlahan-lahan aku lebih dapat mengatur jadwal hari Mingguku untuk dapat beribadah, bersekutu, dan melayani. Kuncinya tetap berdoa dan berusaha. Walaupun tidak sebebas dulu sebelum bekerja, tapi kondisi saat ini lebih baik dibanding waktu baru masuk bekerja. Terpujilah Tuhan!

4. Pelayanan adalah anugerah

Memang hidup ini adalah pelayanan. Pelayanan itu tidak terbatas pada konteks kehidupan bergereja. Aku setuju. Tapi bagiku, ikut kebaktian seminggu sekali saja tidaklah cukup. Aku butuh persekutuan, aku butuh pembinaan, aku butuh pelayanan. Persekutuan, pembinaan, maupun pelayanan membantuku semakin menikmati dan mengenal Allah. Dan, di sini aku kembali menegaskan bahwa pelayanan adalah anugerah. Tidak semua orang bisa melayani. Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk melayani. Tidak semua orang memiliki kesehatan untuk dapat melayani. Maka dari itu, ketika kita masih diberi waktu, masih diberi kesempatan, masih diberi kesehatan oleh Tuhan, mari kita beri diri untuk dipakai-Nya.

Kira-kira, inilah yang bisa kubagikan. Masih banyak berkat Tuhan yang tidak kuceritakan di sini, karena terlalu banyak berkat dan pertolongan Tuhan di dalam kehidupanku.

Satu hal kuyakini, Tuhan yang telah menolong kita sampai disini, Tuhan yang sama akan senantiasa menolong kita sampai kapanpun. Semoga bisa menjadi berkat bagi teman-teman yang membaca. GBU.

Bagaimana Mencari Tahu Apakah Pekerjaan Kita Berkenan Buat Tuhan atau Tidak?

Oleh Hendra Winarjo

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya, “Kerjaanku sekarang ini sesuai gak ya sama kehendak Tuhan?

Pertanyaan ini tentu wajar untuk kita tanyakan, apalagi kalau kita sudah kuliah semester akhir atau sedang bingung dengan apa yang sedang dikerjakan sekarang. Sebagai pelayan Tuhan yang melayani jemaat, aku pun cukup sering mendapat pertanyaan serupa khususnya oleh teman-teman mahasiswa dan fresh graduate. Nampaknya ada kekhawatiran jika pekerjaan kita—baik nanti ataupun sekarang—itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, apalagi jika tidak mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.

Mencari jawaban dari pertanyaan itu tidak selalu mudah. Mungkin jawaban kebanyakan orang terkesan menyederhanakan, “Kalau kamu mau menghubungkan pekerjaanmu dengan pekerjaan Tuhan, maka kerjakan saja apa yang jadi panggilanmu.” Pada dasarnya, aku setuju bahwa sebagai orang Kristen kita wajib mengerjakan apa yang jadi panggilan (vocation) kita. Tetapi, kita mungkin keliru jika mengekslusifkan kata ‘panggilan’ itu hanya berfokus pada suatu bidang tertentu saja. Martin Luther dan John Calvin, dua tokoh reformasi gereja juga mengajar bahwa Tuhan tidak hanya memanggil umat-Nya untuk melayani sebagai pendeta, tetapi Tuhan memanggil dan memperlengkapi tiap umat-Nya dalam berbagai profesi atau ladang pekerjaan masing-masing.

Pemisahan antara pekerjaan yang ‘rohani’ dan ‘sekuluer’ adalah kekeliruan. Tidak semua pekerjaan yang dianggap pekerjaan “sekuler” sungguh-sungguh “duniawi,” serta tidak semua pekerjaan “rohani” sungguh-sungguh “rohani.” Misalnya, rasul Paulus menyebutkan bahwa pekerjaan atau aktivitas kita bahkan dimulai dari hal yang paling sederhana seperti makan atau minum, semuanya dapat memuliakan Allah (1Kor. 10:31). Artinya, bagi Paulus, asalkan segala sesuatu kita kerjakan untuk kemuliaan Allah, maka untuk apa kita perlu memisahkan secara tajam antara pekerjaan rohani atau sekuler, sebab semuanya itu pada akhirnya diarahkan bagi Tuhan.

Akan tetapi, aku tidak setuju apabila kita akhirnya jadi menyimpulkan kalau pekerjaan yang yang berkenan pada Tuhan itu sebatas mengerjakan apa yang kita yakini sebagai panggilan kita lalu menolak hal-hal lain yang sebenarnya dapat kita kerjakan. Tidak semua orang punya jawaban yakin dan spesifik dari pertanyaan, “Apa kamu sudah tahu apa panggilan Tuhan atas hidupmu?” meskipun, memang ada sebagian orang Kristen yang sudah tahu secara pasti mereka dipanggil untuk menjadi seorang dokter, desainer, pengusaha, atau bahkan pendeta, dan lain sebagainya. Juga, yang pasti lainnya adalah Allah tidak mungkin memanggil umat-Nya untuk berprofesi sebagai penjahat, pembunuh, dan hal-hal lain yang tidak kudus, yang tidak memuliakan nama-Nya.

Nah, lantas bagaimana buat orang yang tidak tahu pasti apa yang jadi panggilan hidupnya? Apakah mereka tidak dapat memuliakan Tuhan melalui apa yang mereka kerjakan sekarang?

Jawabannya ialah tentu Tuhan dapat dimuliakan meskipun kita sendiri mungkin ragu dengan pekerjaan kita. Pekerjaan Tuhan bersifat luas, dan itu tidak melulu bicara sesuatu yang kita senang untuk lakukan. Ketika Allah memanggil Gideon untuk memimpin Israel berperang melawan Midian, Gideon tidaklah suka akan panggilan ini. Dia seorang yang penakut, tetapi Tuhan menyertainya dan menjadikan Gideon berkat bagi seisi bangsanya. Atau, ada pula contoh lain ketika Allah memakai Babel, bangsa yang tidak mengenal-Nya untuk menghukum orang Israel karena dosa dan pelanggaran mereka. Babel dipakai Allah untuk mengerjakan keadilan-Nya meskipun mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang ‘dipakai’ Tuhan. Kita yang hidup di masa kini dapat dengan mudah mengetahui dari teks Alkitab bahwa dari perspektif Allah, Babel dipakai-Nya untuk menggenapi rencana Allah.

Jadi, meskipun saat ini kita masih bingung dengan apa yang jadi panggilan Allah bagi kita, kita dapat dengan setia melakukan apa yang Tuhan sudah berikan bagi kita untuk kita kerjakan. Kita masih bisa mengerjakan pekerjaan Allah dan memuliakan-Nya, dengan atau tanpa kita mengetahui terlebih dulu dengan pasti serta spesifik apa panggilan Tuhan atas hidup kita, asalkan kita juga memakai pekerjaan kita saat ini untuk menghadirkan sifat-sifat Allah, seperti keadilan atau pun kasih Allah kepada sesama. Dengan cara inilah, kita tetap dapat menghubungkan pekerjaan kita dengan pekerjaan Tuhan, sambil berdoa agar Tuhan menunjukkan kepada kita apa panggilan Tuhan atas hidup kita.

Mari kita belajar dari tokoh Hong Du Sik dalam film drama Hometown Cha Cha Cha. Sekalipun Hong Du Sik tidak memiliki sebuah pekerjaan tetap, tetapi melalui pekerjaan serabutannya, seperti menjadi fotografer, kuli bangunan, tukang paket, dan lain seterusnya, ia dapat menolong banyak penduduk desa Gongjin di Korea Selatan. Mungkin bagi sebagian orang Kristen, orang seperti Hong Du Sik tidak mengerjakan pekerjaan Tuhan, sebab ia tidak mengerjakan satu pekerjaan spesifik yang menjadi panggilannya. Namun, sebetulnya orang seperti Hong Du Sik sedang mengerjakan pekerjaan Tuhan, bahkan memuliakan Tuhan, karena apa yang ia kerjakan itu telah menghadirkan kasih Allah kepada sesamanya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 10:31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Ketika Kutemukan Bagian yang Hilang dari Kesuksesan

Oleh Michele Ong
Artikel ini dalam bahasa Inggris: When I Found The Missing Piece To Success

Beberapa waktu lalu, aku mulai merenungkan apa artinya sukses.

Semua dimulai ketika ayahku berkomentar betapa suksesnya salah satu sepupu jauhku yang berprofesi sebagai ahli bedah. Aku ingat, aku pernah memberi tahu ayahku—dengan agak kesal—bahwa lulusan seni bisa sama suksesnya seperti rekan-rekan mereka yang belajar kedokteran. Maksudku, lihatlah sutradara film dari Selandia Baru, Taika Waititi. Dia sukses! Aktor Inggris, Tom Hiddleston begitu memuji Waititi dan mengaguminya karena kecakapannya. Tom juga menyukai film Waititi, Hunt For The Wilderpeople.

Namun, komentar itu tetap membuatku berpikir tentang definisi sukses.

Apakah dengan memiliki jumlah saldo rekening yang besar, pakaian, sepatu mahal, dan tinggal di apartemen mewah? Apakah dengan melepaskan pekerjaan yang nyaman dan penghasilan tetap untuk menjadi sukarelawan di negara dunia ketiga? Atau apakah dengan memiliki keluarga, menetap di rumah yang bagus, dan menikmati kehidupan sosial yang baik bersama keluarga dan teman?

Aku mencari di Google, “Apa itu sukses?”, dan mendapatkan 1,040,000 hasil pencarian. Hal pertama yang menarik perhatianku adalah playlist pembicaraan yang menampilkan orang-orang terkemuka yang berbagi ide dan definisi tentang kesuksesan mereka. Dua dari mereka menonjol secara khusus.

Yang pertama adalah penulis Amerika, Elizabeth Gilbert, yang menulis memoar populer pada tahun 2006, yaitu Eat Pray Love. Baginya, kesuksesan berarti gigih dalam menghadapi rintangan. Gilbert menerima banyak surat penolakan selama enam tahun sebelum dia menerbitkan buku pertamanya. Namun, sama seperti penolakan-penolakan yang menghancurkannya itu, dia tidak pernah melihat berhenti sebagai pilihan.

Yang kedua adalah pemain dan pelatih bola basket Amerika, John Wooden, yang mendefinisikan kesuksesan sebagai “ketenangan pikiran yang dicapai hanya melalui kepuasan diri dengan mengetahui bahwa kamu melakukan yang terbaik untuk menjadi yang terbaik yang kamu mampu”.

Setelah mendengar kedua pembicaraan tersebut, aku merasa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang membuat hidup menjadi sukses. Rumus sukses banyak bicara tentang mengatasi kesulitan dan menjadi yang terbaik semampu kita. Dan prinsip-prinsip ini selaras dengan apa yang diajarkan Alkitab. Alkitab memperingatkan tentang kemalasan (Amsal 6:10-11; Amsal 10:4) dan mendorong kita untuk memberikan yang terbaik dalam segala hal yang kita lakukan, memahami bahwa kita bekerja untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23-24).

Tapi, tetap saja aku merasa ada yang kurang dalam “rumus sukses” ini.

Jadi, aku melihat buku favoritku sepanjang waktu, The Purpose Driven Life, ditulis oleh pendeta Amerika, Rick Warren. Dia menulis bahwa manusia tidak diciptakan hanya untuk mengonsumsi sumber daya atau untuk “mendapatkan” hasil maksimal dari kehidupan, namun Tuhan telah menciptakan kita untuk membuat perbedaan dalam hidup dengan memberi dan melayani. Bunda Teresa, contohnya. Dia tidak memiliki rumah besar, tapi karya-karyanya telah mempengaruhi jutaan orang di sekitarnya.

Dan tentu saja, ada Yesus sendiri. Ia dilahirkan dalam kehidupan yang sederhana, tanpa kemegahan atau kemewahan. Dia mengabdikan hidup-Nya untuk membantu dan melayani orang lain, melakukan banyak mukjizat di antara mereka untuk menunjukkan kuasa dan kasih Bapa-Nya. Kemudian, Yesus menunjukkan tindakan pelayanan dan pengorbanan terbesar, yaitu menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Sampai hari ini, nama-Nya dikenang dan satu tindakan tanpa pamrih-Nya terus mengubah kehidupan di seluruh dunia. Apakah itu kehidupan yang sukses?

Jadi, jika kehidupan Yesus adalah lambang kesuksesan, kita dapat yakin bahwa Tuhan tidak mengukur kesuksesan kita dengan kekayaan materi kita. Dia juga tidak mengukur kesuksesan kita dengan perbuatan baik yang kita lakukan atau pencapaian yang kita miliki.

Meski begitu, tidak salah jika kita diberkati dengan penghasilan yang lumayan, prestasi yang membanggakan, atau jika kita ingin menjadi relawan di masyarakat. Aku mengenal beberapa pengusaha dan wiraswasta yang mendapatkan gaji besar dan menyumbang sebagian dari pendapatan mereka ke gereja sebagai sarana pelayanan mereka. Ada juga orang yang terpanggil untuk menjadi misionaris dan meninggalkan kenyamanan rumah mereka untuk melayani di lingkungan yang asing. Di mata Tuhan, kedua kelompok itu sama berharga dan suksesnya karena motivasi mereka sama—melayani dan memberi kepada Tuhan.

Aku tahu, kesuksesan dapat dengan mudah didefinisikan berdasarkan gaji, jabatan, dan pencapaian dalam hidup kita. Aku pun jatuh ke dalam perangkap ini sesekali, dan membandingkan pekerjaanku dengan pekerjaan teman-temanku yang memiliki jam terbang tinggi. Terkadang aku bahkan merasa malu karena tidak mengambil bagian dalam tiap misi besar di hidupku, dan merasa seperti aku telah gagal mencapai “kesuksesan”.

Tetapi aku harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri bahwa Tuhan tidak peduli dengan hal-hal tersebut. Akan ada hari ketika kita harus berdiri di hadapan Tuhan untuk memberikan pertanggungjawaban tentang bagaimana kita hidup. Akankah kita dapat berdiri dengan percaya diri di hadapan-Nya karena mengetahui bahwa kita telah melayani-Nya dengan sepenuh hati dan memberikan yang terbaik kepada-Nya? Jika demikian, aku benar-benar percaya bahwa itulah tanda kehidupan yang sukses!

Menjadi Produktif Tidak Berarti Mengabaikan Waktu-waktu Beristirahat

Oleh Sarah Tso
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Rest Without Feeling Guilty

Teman-temanku mengenalku sebagai seorang yang sangat produktif. Aku tumbuh besar di keluarga yang selalu mengingatkan anggotanya untuk “jangan cuma diam saja.” Alhasil, beristirahat menjadi aktivitas yang tak kusuka karena kuanggap sebagai “nggak ngapa-ngapain”. Dalam kamus hidupku, setiap hari pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan.

Terlepas dari budaya keluarga yang menghargai produktivitas setiap waktu, hal lain yang membuatku enggan menikmati momen-momen jeda atau istirahat adalah media sosial. Kita melihat teman kita memposting hobi atau prestasi (naik jabatan, menikah, punya anak), dan kita lantas membandingkan diri kita dengan mereka. Sebelum kita sadar, kita sudah terjebak dalam perangkap membanding-bandingkan.

Kita juga sulit mengendalikan diri kita sendiri. Kita merasa lebih berpengalaman dan bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik. Akhirnya, alih-alih mendelegasikan tanggung jawab ke orang lain, kita malah menanggungnya sendirian.

Ketika hari yang kita jalani terasa kurang produktif menurut pandangan kita, kita pun merasa bersalah dan berpikir: “harusnya aku bisa melakukan lebih”, “duh, aku gak fokus lagi”. Belum cukup sampai di situ, kita lalu khawatir akan hari esok: “Mending aku kelarin semua sekarang, atau besok malah numpuk.” Jadi, bagaimana kita bisa menikmati momen istirahat yang tenang tanpa khawatir?

Allah menghendaki kita untuk beristirahat, dan pemahaman ini membawaku merenung tentang Yesus, tentang bagaimana Dia menjalani hidup-Nya semasa di bumi. Juruselamat kita tahu batasan-batasan dalam tubuh manusia. Dia berfokus pada misi-Nya, tapi Dia tahu Siapa yang sungguh memegang kendali. Itulah mengapa Yesus mengerti bagaimana cara beristirahat.

Inilah 3 poin yang kupelajari:

1. Fokuslah pada misi utama hidup dan karuniamu supaya kamu tidak mengiyakan segala sesuatu

Ketika Yesus melayani di bumi, Dia tidak memaksa diri-Nya untuk menyembuhkan semua orang sakit dan memberitakan Injil ke semua orang yang ada di wilayah-Nya. Yang Yesus lakukan adalah memperlengkapi para murid dan menunjukkan tanda-tanda mukjizat untuk menegaskan kebenaran Injil. Yesus tahu bagaimana membangun batasan dan mempercayakan Allah untuk meneruskan misi-Nya melalui para murid yang dimampukan oleh Roh Kudus (Kis 1:8).

Belajar dari teladan Yesus untuk menemukan apa misi Tuhan buat hidupku telah membebaskanku dari godaan untuk melakukan segala sesuatu sendirian.

Belakangan ini aku mengenali karunia rohani dan panggilan hidupku melalui sebuah kelas pelatihan yang kuambil (tentang The Significant Woman). Karuniaku adalah memberi dorongan semangat, mentoring, mengajar, dan menulis. Semua ini menolongku untuk sadar bahwa misi utamaku adalah untuk membimbing orang-orang dewasa muda dan menolong mereka menemukan tujuan hidup dalam Kristus.

Ketika misi utama itu tampak jelas bagiku, aku mulai berfokus dalam menulis dan mentoring. Hal-hal lain yang tak selaras dapat kukesampingkan lebih dulu. Saat aku mengerti bagaimana Tuhan membentukku untuk melayani-Nya, aku bisa dengan yakin berkata “tidak” tanpa merasa bersalah pada hal-hal yang memang tak bisa kulakukan. Hasilnya, aku punya waktu-waktu berharga untuk mengerjakan tugas kerajaan-Nya dan menikmati waktu istirahatku.

Kalau kamu belum menemukan apa yang jadi karunia rohani dan misi hidupmu, aku sangat mendorongmu untuk mencarinya dengan bimbingan seorang mentor atau kelompok komselmu.

2. Temukan aktivitas yang menolongmu recharge secara rohani dan fisik

Yesus tahu cara terbaik untuk menghindari rasa kewalahan dan beristirahat dengan benar. Caranya adalah dengan terhubung dan berserah kepada Allah secara teratur (Lukas 5:16). Yesus secara intensional mencari tempat-tempat tenang untuk berdoa dan meluangkan waktu dengan Bapa Surgawi. Dia juga mendorong para murid untuk melakukan yang sama (Markus 6:31).

Aku merasa recharge ketika aku merenungkan kebaikan Tuhan dan melihat ciptaan-Nya dari dekat. Aku suka bertemu para sahabat dan mengobrol deep-talk, berdoa bersama sebelum makan, jalan-jalan di alam, mempelajari lagu baru, atau menulis puisi tentang ciptaan-Nya. Sebagai seorang yang melakukan perencanaan, aku menjadwalkan waktu-waktu itu semua di kalenderku. Kalau tidak terjadwal, maka tidak akan kesampaian.

Beristirahat tidak selalu tentang tidak melakukan apa pun. Beristirahat bisa berupa memprioritaskan apa yang akan menolongmu untuk memulihkan kembali jiwa dan ragamu.

3. Ganti kritik atas dirimu sendiri dengan menerima karya-Nya di kayu salib

Dalam tahun-tahunku tumbuh besar, aku suka mengkritik. Aku menaruh ekspektasi tinggi buat diriku sendiri karena aku memegang prinsip “selalu ada ruang untuk meningkatkan kualitas diri” dan aku bisa melakukan yang lebih baik. Pelatih basketku juga pernah bilang, kalau aku tidak kerja keras hari ini, maka orang lainlah yang akan mendapat kesempatan.

Tanpa kusadari, pemikiran ini kuterapkan dalam caraku beriman. Aku melihat diriku dan orang lain sebagai sosok yang kurang berharga di mata Tuhan, dan Tuhan menjadi sosok yang susah disenangkan.

Barulah saat aku ikut konferensi Father Heart, cara pandangku berubah dan aku mengerti apa artinya menjadi anak Allah (Yohanes 1:12; 1 Yohanes 3:1). Allah bergirang karena aku (Zefanya 3:17), Dia menyediakan apa yang tak pernah kupikirkan (1 Korintus 2:9). Semuanya diberikan karena karya Kristus di kayu salib.

Kita cenderung mengukur diri kita dengan standar orang lain atau standar kita sendiri yang kita tetapkan lebih tinggi, lalu merasa bersalah ketika kita tidak sanggup mencapainya.

Untuk menjaga hati kita dari jebakan membanding-bandingkan diri yang tiada akhirnya, kita harus ingat bahwa yang paling penting dalam sejarah telah dituntaskan-Nya (Yohanes 19:30, Ibrani 9:12). Kita tidak perlu membuktikan diri berharga melalui kerja keras kita karena Allah telah membuat kita berharga lebih dulu (Roma 8:28-39). Kita dapat bersandar pada pekerjaan-Nya yang telah tuntas dan melayani dalam kasih setia-Nya yang berlimpah.

Artinya, kita dapat berdoa memohon hikmat untuk mengetahui kapan harus bersusah payah dan menuntaskan pekerjaan dan kapan harus membangun batasan serta mempercayakan pada Allah pekerjaan-pekerjaan kita yang belum dapat kita selesaikan. Dalam kedua situasi itu, kita mengakui Yesus adalah Tuan (Kolose 3:23) sehingga apa pun yang kita lakukan bukanlah supaya kita diterima atau menyenangkan orang lain, tapi sebagai persembahan bagi Tuan yang kita layani.

Teruntuk saudara dan saudariku, kalau kamu hari ini ingin beristirahat tapi dilanda rasa bersalah, kuingatkan kamu akan janji dari Yesaya 26:3, “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya”.Fokuskan pikiranmu pada Tuhan hari ini, percaya sepenuhnya, supaya kamu mengalami damai dan momen istirahat yang sejati ketika kamu tahu bahwa Dia sungguh peduli.

3 Teladan Produktivitas dari Tokoh Alkitab

Oleh Philip Roa
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Productivity Tips From 3 Bible Characters

Dunia digital membuat pekerjaan kita seolah tiada habisnya. Artikel dari American Psychological Association tahun 2022 mencatat statistik yang menyoroti tingkat kelelahan dan stres yang tinggi di semua industri.

Dari 1.500 orang yang disurvey, hasilnya:

  • Sekitar 19% mencatat kurangnya usaha dalam pekerjaan mereka.
  • Sekitar 26% merasa kurang berenergi.
  • Hampir 40% merasa kelelahan kognitif (lelah berpikir).
  • Lebih dari 30% berjuang dalam kelelahan emosional.
  • 44% merasa lelah secara fisik–meningkat hampir 40% dibandingkan tahun 2019.

Produktivitas, kelelahan, dan kejenuhan menjadi kata-kata yang tak asing dalam perbendaharaan bahasa di otak kita. Aku pun berpikir, inilah saatnya untuk menilai cara dan prinsip kerja kita berdasarkan kebenaran Alkitab. Kutemukan tiga tokoh yang menyelesaikan tugasnya sembari tetap mengupayakan kewarasan di dalam proses kerja yang berat.

1. Musa: Belajar untuk mendelegasikan tugas/meminta pertolongan

Kalau kamu merasa habis tenaga setelah ikut Zoom berjam-jam (meskipun pesertanya kurang dari 10 orang), coba bayangkan bagaimana Musa setiap hari berbicara kepada ribuan orang. Konteksnya, saat itu populasi bangsa Israel diperkirakan mencapai 2 juta jiwa, dan Musa menangani semua persilisihan mereka sendirian.

Mertua Musa, Yitro, melihat bahwa Musa pasti akan kewalahan (ayat 17-18), maka dia mengusulkan agar Musa memilih para pemimpin yang kepada mereka Musa dapat mendelegasikan tugas-tugasnya. Tujuan utamanya agar Musa dapat fokus pada perannya sebagai nabi dan pemimpin Israel.

Aku mengelola kelompok PA kecil yang terdiri dari delapan orang dan menurutku nasihat Yitro amat menolong. Dulu aku selalu memimpin setiap sesi dan mengoordinasikan segalanya sendirian, tapi aku telah belajar untuk membagi tugasku kepada mereka yang kulatih untuk menjadi pemimpin selanjutnya. Ketika aku memiliki orang lain yang mendukungku, itu tak hanya mengurangi stres, tapi juga melengkapi timku untuk bertumbuh. Sekarang aku punya dua murid yang juga memimpin kelompok komsel mereka sendiri, dan dua lainnya sedang belajar untuk mulai merintis.

Nasihat Yitro tidak cuma berlaku bagi para manajer atau kelompok komsel, tapi kepada setiap kita! Kalau kamu merasa kewalahan, bolehkah aku menyarankan beberapa tips di bawah ini?

  •  Jika kamu sudah bekerja, bicarakan pada atasanmu tentang beban kerjamu. Kamu bisa berikan usulan pribadimu tentang bagaimana kamu dapat bekerja lebih baik, atau mengatur ulang prioritas kerjamu. Cara ini lebih baik daripada kamu bersungut-sungut setiap hari tanpa mengomunikasikan permasalahan utamanya pada atasanmu.
  • Kalau kamu dapat kesempatan atau tanggung jawab baru, pertimbangkan juga untuk bertanya pada atasan/pemimpinmu apakah mungkin untuk berbagi tugas dengan anggota tim yang lain.
  • Kalau kamu merasa terjebak/stagnan dalam pekerjaanmu, mintalah nasihat dari anggotamu tentang bagaimana mengerjakan suatu tanggung jawab… terkhusus dari mereka yang sudah pernah menyelesaikannya.

Ingatlah, meminta tolong bukanlah tanda kelemahan (Pengkhotbah 4:9-10).

2. Paulus: Mengatasi kecemasan dengan menyerahkannya pada Yesus

Kamu butuh pola pikir yang benar untuk mengalahkan kebiasaan buruk yang mengarahkanmu pada bekerja berlebihan… atau sebaliknya: kurang berusaha! Riset-riset menunjukkan bahwa kecemasan bisa menurunkan performa kerja, tapi bisa juga mendorong seseorang untuk bekerja secara over. Kamu mungkin bekerja mati-matian, tapi tetap saja tidak maksimal kalau kamu mengerjakannya dengan cemas.

Kecemasan bicara tentang ketidaktahuan akan masa depan—di mana kita akan kerja dan apakah penghasilannya cukup, dan sebagainya. Alkitab mendorong kita untuk tidak khawatir akan apa pun juga, tetapi menyerahkannya dalam doa dan permohonan pada Allah (Filipi 4:6-7).

Selama beberapa waktu aku mendoakan Tuhan mencukupi kebutuhan finansialku agar aku dan pacarku bisa menikah. Kami tidak ingin meminta bantuan uang dari keluarga. Di masa ketika inflasi dan biaya hidup meningkat, aku butuh Tuhan untuk mengatasi kekhawatiranku akan tak punya cukup uang untuk biaya menikah nanti (juga untuk kehidupan berkeluarga kelak).

Syukurlah, doaku dijawab Tuhan. Aku naik jabatan setelah disahkan menjadi karyawan tetap. Ini meneguhkanku bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita ketika kita sungguh menyerahkan beban dan kekhawatiran kita pada-Nya.

Mudah bagi kita untuk menganggap klise apa yang tertulis di Filipi 4:6-7, tetapi coba membacanya dengan seksama dan perlahan. Ayat itu bicara tentang damai sejahtera Allah memelihara “hati dan pikiran” (ayat 7).

Damai-Nya melindungi kita dari pikiran-pikiran yang penuh kekhawatiran. Ketika kita tahu kita memiliki Bapa yang mengasihi, yang peduli dan mengasihi, kekhawatiran kita akan berkurang. Kita pun akan terbebas dari kecenderungan untuk bekerja terlalu keras dalam upaya untuk menjaga diri kita sendiri.

3. Yesus: Ketahui kapan harus beristirahat atau berhenti

Tahukah kamu bahwa Tuhan Yesus sendiri mempraktikkan kebiasaan kerja yang sehat dengan menolak orang di akhir hari kerja-Nya yang panjang? (Matius 14:22-23). Yesus memberi waktu agar diri-Nya dan murid-Nya beristirahat. Dalam keilahian-Nya, Yesus juga manusia seratus persen sehingga tubuh-Nya masih merasakan lelah, lapar, dan haus seperti kita.

Tanpa beristirahat, kita takkan bisa sungguh produktif. Artinya, istirahat berupa mengesampingkan sejenak tugas dan tanggung jawab untuk kegiatan yang sehat seperti tidur, rekreasi, dan waktu bersama Tuhan adalah bagian dari produktivitas juga.

Kita perlu mengatur batasan waktu kerja, terlebih bagi kita yang bekerja secara remote. Sudahi pekerjaanmu setelah jam kerja berakhir. Bagi mereka yang ada di posisi pimpinan juga dapat menginisiasi budaya kerja yang sehat dengan meneladankan jam masuk dan pulang yang tepat, agar tim kita pun mengikutinya. Bahkan untuk kelompok komsel, kita juga bisa menerapkannya.

Hal lain yang kupelajari ialah, jika sesuatu tidak sangat-sangat mendesak, aku bisa mengerjakannya di besok paginya. Selama bertahun-tahun aku kerja, aku juga belajar untuk mengatur waktu-waktuku dengan bijak, tidak mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam.

Saat kita bekerja untuk Tuhan, kita harus produktif dalam cara yang menunjukkan kesetiaan pada apa yang kita punya seperti talenta dan waktu. Tunjukkan juga bahwa dalam upaya kita, kita tidak melupakan istirahat dan menikmati buah dari usaha tersebut. Pengkotbah 3:13 berkata, adalah baik untuk makan, minum, dan menemukan kepuasan dalam pekerjaan kita—tak sekadar menghabiskan seluruh waktu kita buat kerja. Kepuasan adalah karunia Tuhan, dan marilah kita dengan senang hati menerimanya supaya hadir sukacita yang mendorong kita hidup lebih produktif.

Berhenti Mencari Tahu Apa yang Jadi “Panggilan” Hidupmu dan Mulailah Menghidupi Hidup itu Sendiri

Artikel ini ditulis oleh YMI

Momen ketika kamu berhasil menemukan panggilan hidupmu sering digambarkan sebagai momentum besar yang akan mengubah hidupmu selamanya. Jadi, kita pun terus mencarinya, menanti, dan berharap momen itu datang. Kita membayangkan kelak kita melakukan pekerjaan yang mengubah hidup–menulis cerita-cerita tentang kaum marjinal, membuka rumah singgah atau yayasan buat anak-anak yang rentan, atau pergi melakukan perjalanan misi.

Pengejaran kita yang tanpa henti untuk menemukan panggilan hidup sedikit banyak dipengaruhi juga oleh media yang kita konsumsi, yang bilang mimpi harus dikejar, dan suara hati yang berbisik harus didengar supaya kita tahu tujuan hidup kita yang lebih besar.

Lantas kita meminta kelompok komsel untuk mendoakan kita, membaca apa pun yang membuat kita tahu mana yang kehendak Tuhan supaya kita menemui panggilan-Nya… atau bisa juga ikut kuis-kuis tentang kepribadian supaya tahu apa sih yang sebenarnya jadi ‘panggilan’ kita.

Tapi…hari-hari berlalu… ‘panggilan’ itu masih entah di mana. Bos kita di tempat kerja masih saja toxic, teman kita sudah dipromosikan jabatannya… dan kita sendiri dengan tak sabar menanti kapan weekend karena sudah capek kerja.

Setiap hari kita terus memberi tahu diri kita kalau hidup akan berubah—perjalanan kita akan lebih mulus, minim masalah, pokoknya yang baik-baik—itulah yang kita deskripsikan sebagai menemukan ‘panggilan’.

Tapi… gimana kalau panggilan itu sebenarnya sudah ada di depan kita? Gimana kalau Tuhan sudah menunjukkanya dengan jelas? Gimana kalau kita coba menikmati hidup di tempat di mana Tuhan sudah letakkan kita, dengan rendah hati melayani orang-orang di sekitar kita, serta melakukan segala sesuatunya tanpa mengharap balasan?

Maukah kamu menghidupi panggilan semacam itu?

1. “Panggilan” kita adalah tentang melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, meskipun itu tidak menyenangkan

Kita bermimpi pekerjaan kita membuat suatu proyek yang mengubah dunia, tapi kenyataannya kita berdiri dua jam di depan mesin fotokopi, mencetak ratusan lembar laporan untuk rapat besok. “Hadeh, gak seharusnya aku kerja gini…” kita menggerutu sembari menendang mesin printer yang macet.

Dalam Alkitab, Yusuf dipanggil untuk menjadi pemimpin di Mesir, tetapi ada momen ketika dia harus melewatkan hari-harinya di penjara—yang ditafsirkan oleh para ahli sejarah selama 12 tahun!—atas tindakan yang tidak dia lakukan. Namun, Yusuf setia pada tempat di mana Tuhan menempatkan dia (Kej 39,40), dan pada waktu-Nya, dia menjadi orang kedua di Mesir setelah Firaun (Kej 41:37-43). Pada akhirnya, Yusuf bisa membawa keluarganya ke Mesir dan menyelamatkan mereka dari kelaparan (Kej 46).

Seperti Yusuf, apa yang kita lakukan sekarang mungkin terasa kurang berkesan dan seolah tidak mengubah dunia, tapi Tuhan telah menempatkan kita pada suatu peran untuk sebuah tujuan. Bisa jadi yang kita lakukan sekarang adalah batu loncatan untuk rencana-Nya kelak, dan masa-masa sekarang adalah momen terbaik untuk melatih diri kita.

Setialah pada tempat di mana kamu berada dan lakukan yang terbaik—meskipun tugasmu cuma sekadar memfotokopi ratusan lembar dokumen laporan untuk suatu rapat yang membosankan—dan izinkan Tuhan memimpinmu pada tahap selanjutnya sesuai waktu-Nya.

2. Panggilan kita adalah untuk menaati apa yang Tuhan telah perintahkan untuk kita lakukan

Rasanya keren membayangkan kelak ada begitu banyak orang yang terinspirasi oleh kita saat kita menghidupi ‘panggilan’ kita. “Bukan, itu bukan aku, itu Tuhan”, kata kita di depan ribuan orang yang mendengarkan cerita kesaksian kita.

Namun, dalam pencarian akbar kita akan panggilan, apakah kita telah melewatkan satu panggilan terbesar? Bagaimana jika pada akhirnya “panggilan” kita adalah untuk hidup menjadi serupa dengan Kristus dan menghidupi hidup yang membawa orang lain kepada-Nya.

Efesus 5:1 berkata kita adalah ‘penurut Allah’, dan kita dipanggil untuk hidup sebagai umat Allah yang kudus (Ef 5:3). Ssemua itu dimulai dengan melakukan apa yang Dia telah perintahkan kita untuk lakukan—saling mengasihi (1 Yoh 4:7), mengampuni yang telah menyakiti (Ef 4:32), peduli pada yang lemah dan terpinggirkan (Yak 1:27)—semua inilah panggilan-Nya bagi kita.

Jadi, bagaimana kita mau mengasihi teman kerja yang menyebalkan? Apakah kita menjauhinya, menyumpahi supaya semua yang menyakiti kita kena sial? Atau, apakah kita dengan murah hati memberi pada orang yang butuh?

Orang-orang di sekitar kita mengamati apa yang kita bicarakan, lakukan, cara kita menghadapi cobaan, stres, juga kepahitan hidup. Hal-hal yang kita lakukan (atau tidak) menunjukkan pada orang-orang siapa Tuhan yang kita sembah dan layani.

Kita mungkin gak akan pernah mendapat standing ovation dari melakukan semua hal di atas, tapi dalam banyak cara, mungkin apa yang kita perbuat menjadi cara-Nya untuk mengubah hidup seseorang. Kelak saat kita tiba di surga, kita mendengar Tuhan berbicara, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat 25:23).

3. “Panggilan” kita adalah menggunakan setiap kesempatan yang ada sebaik mungkin

Kita pernah mendengar kesaksian tentang orang-orang yang merasa mendapat ‘beban yang luar biasa’ yang Tuhan tanamkan di hati untuk melakukan ini dan itu. Dari situlah mereka tahu kalau itu panggilan mereka. Jadi, kita pun menanti ‘panggilan’ itu datang dengan cara yang sama.

Tapi di saat yang sama, kita menolak ikut serta jadi relawan. Kita bilang “aku doain dulu ya” pada orang yang telah mengajak.

Seiring Tuhan mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9), kita akan menjumpai sesuatu yang menggugah hati ketika kita memberi diri untuk mengamil kesempatan yang ada. Contohnya, peduli pada hewan-hewan yang ditelantarkan bisa mendorong kita untuk kelak jadi aktivis yang menyuarakan tanggung jawab pada setiap orang yang berkeputusan memelihara hewan. Peduli yuang dimaksud itu tak cuma banyak cerita di medsos, tapi misalnya kamu ikut aktif merawat seekor anjing berkutu yang terlantar lama.

Panggilan kita mungkin tidak muncul dengan segera, tiba-tiba nongol setelah kita berdoa, atau setelah kita ikut tes kepribadian yang ke-100 kali… bisa jadi panggilan itu tersembunyi di pojokan jika kita memutuskan untuk menjelajahi setiap kesempatan yang datang pada kita.

Arti dari semua ini bukannya kita harus menyerah atas impian dan hasrat yang kita ingin raih (Tuhan menempatkan dua hal itu tentu dengan alasan), tapi kita bisa berhenti mencarinya dengan cara yang serampangan. Kita bisa menemukan panggilan dengan mulai hidup di sini, di saat ini dan melakukan apa yang Tuhan telah berikan pada kita. Saat kita sungguh merenungkan apa yang Tuhan mau kita lakukan, inilah sebenarnya panggilan-Nya juga.

Apa yang Tuhan Lakukan Saat Aku Menantang-Nya?

Oleh Gabrielle Meiscova

“Ya Bapa, tolong.. Jika kau mengizinkan aku untuk menjadi seorang copywriter di sana, aku akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Mu dalam hidupku.”

Itulah permintaanku pada Tuhan, alias aku menantang-Nya dengan sebuah jaminan. Menulis untuk Tuhan. Itulah intinya. Sesuatu yang sekarang ini menjadi tujuan hidupku.

Sudah hampir setahun aku berusaha keras mencari pekerjaan. Ratusan CV yang kutebarkan via email atau website tak kunjung mendapatkan jawaban. Segala harapan yang tertulis di dalam CV tersebut biasanya hanya diakhiri dengan balasan rejection letter. Seketika aku menyetujui ungkapan dunia yang mengatakan bahwa hidup itu keras. Boleh dibilang, aku berada di posisi terendah dalam hidup, alias depresi.

Saat itu, aku berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan permintaanku agar dapat diterima kerja di salah satu perusahaan digital agency. Mengapa aku memohon pada Bapaku seperti itu? Karena aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku menyerahkan tubuh, jiwa, raga, dan impianku ke dalam tangan-Nya. Aku tidak sanggup mengerjakan semua ini seorang diri. Saat aku berserah pada-Nya, Ia mendengar keluh kesahku. Sang Bapa berbisik lewat pikiranku, dan tiba-tiba aku mengingat ayat emas dari Alkitab, yang menjadi pedomanku saat katekisasi.

“Karena itu Aku berkata kepadamu: Apa saja yang kau minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Markus 11 : 24).

Iman! Itulah yang menjadi permasalahanku selama ini. Sebelum Markus 11:24 menegurku, jujur saja, aku ragu akan karya Bapa yang akan digenapkan dalam hidupku. Aku sering mengatur Tuhan agar Ia memberikan pekerjaan sesuai dengan apa yang aku inginkan, tanpa mempercayai dan mengimani kalau Tuhan akan memberikannya padaku di saat yang tepat, di waktu yang tepat. Saat itu, aku tidak ingat kalau keimananku pupus ditelan kebisingan dunia, karena terlalu banyak menghabiskan waktu di sosial media. Aku dibutakan oleh Iblis lewat quotes di media sosial, kalau hidup ini adalah milikku sendiri dan akulah yang harus mengatur hidupku akan berjalan ke arah mana. Aku tidak sadar kalau Tuhan yang rela mati di kayu salib untuk menebus dosaku adalah pemilik kehidupanku selama ini. Ia pun tidak akan meninggalkan anak-Nya berjalan sendirian.

Ada sebuah gambar yang kutemukan di explore Instagram, di mana ada seorang anak kecil yang sedang melukis sebuah tulisan PLAN bersama dengan Tuhan di sampingnya. Gambar itu memberikan kesadaran dalam diriku, kalau selama ini Tuhan bekerja dalam hidupku, dan aku sendiri memiliki tugas untuk membangun masa depanku bersama dengan-Nya. Selama ini, aku tidak melibatkan Tuhan dalam setiap rencana yang kubuat untukku dan masa depanku. Aku sungguh egois dan berpikiran sempit kala itu. Saat aku sadar akan kesalahanku selama ini, aku meminta pengampunan dari Tuhan, lalu Ia menjawabnya lewat sebuah ingatan dari kalimat yang pernah kubaca dalam sebuah buku, sebagai berikut. “Saat pertama kali main sepeda, kita pasti pernah terjatuh sehingga pengalaman saat terjatuh itulah yang membuat kita ingin terus mencoba mengayuh sepeda sampai berhasil mengendarainya.”

Tuhan mengampuni aku yang tidak beriman pada-Nya, dengan memberikan pemahaman bahwa tak apa jika kita terjatuh, sebab Ia sendiri yang akan menolong. Saat jatuh pun, Tuhan akan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk kita. Kadang manusia memang harus terjatuh, agar ia bisa menyadari kalau tangan Tuhan senantiasa terulur untuk orang yang meminta pertolongan-Nya.

Dalam Matius 14:22-33, diceritakan bahwa Petrus yang adalah salah satu dari ke-12 murid Yesus, pernah menantang-Nya agar ia bisa berjalan di atas air, saat para murid mengira bahwa Ia adalah hantu. Pada ayat 28 tertulis, “Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia : Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Tak disangka-sangka, Tuhan Yesus malah menyuruh Petrus untuk berjalan di atas air, walaupun pada akhirnya sang murid menjadi takut dan mulai tenggelam, hingga akhirnya Tuhan Yesus mengulurkan tangan-Nya untuk menolong Petrus. Kisah ini mengingatkan aku pada diriku sendiri, saat aku menantang Tuhan untuk memberikan pekerjaan sebagai copywriter itu padaku.

Saat aku mengerti apa yang diinginkan Tuhan dalam hidupku, segalanya terasa lebih mudah. Aku jadi banyak mengucap syukur atas berkat yang Ia berikan, dan saat aku mempertaruhkan masa depan pekerjaanku kepada-Nya dengan jaminan akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Nya, Ia memberikan pekerjaan itu padaku. Tuhan mengizinkan aku untuk melayani-Nya lewat tulisanku.

Aku masih harus banyak belajar, khususnya dalam menulis, tapi aku sudah sadar kalau pekerjaan yang kulakukan bersama dengan Tuhan akan berjalan secara maksimal, saat aku melibatkan-Nya dalam tiap tulisanku.

“Allah sanggup melakukan segala perkara. Dulu, sekarang, dan selamanya kuasa-Nya tidak berubah.”

Ya Tuhan, ajar aku memiliki kepekaan untuk mengerti apa yang Kau kehendaki dalam hidupku. Tetaplah bimbing anak-Mu ini untuk terus menjalani hidup ini sampai menuju kekekalan bersama dengan Engkau, ya Bapa.