Posts

Solusi Bagi yang Lemah Niat: Meminta Hati yang Baru

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Bulan Januari sudah habis dan sudah berapa banyak janji yang gagal kita tepati?

Hampir setiap awal tahun kita membuat resolusi tapi, banyak yang gagal melakukannya. Kita frustasi menghadapi diri kita yang lemah niat. Kita berusaha mencari jalan keluar dan pertolongan. Kita mencari tutorial, membaca tips-tips, termasuk mendengarkan kata-kata motivator.

Kebanyakan dari self-help tersebut mendorong kita untuk berjuang lebih keras. Pasang banyak strategi: pakai pengingat, tulis di catatan, cicil target, dan masih banyak lagi. Namun, entah kenapa masih banyak target yang meleset. Banyak yang mengusulkan untuk menemukan driving force. Namun, seperti apa wujud kekuatan tersebut? Bagaimana mendapatkannya?

Sewaktu aku melihat resolusi yang tersebar di sosial media, ada kesamaan dengan resolusi dengan yang kubuat. Aku mulai bertanya resolusi apa yang harus dibuat oleh orang percaya? Jangan-jangan resolusi yang kubuat tidak ada bedanya dengan apa yang dunia cari. Mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, menikah, mendapatkan pendapatan lebih banyak, mengurangi berat badan, tidak lagi mau datang terlambat, itu semua adalah hal baik hanya saja semua itu pun dicari juga oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah.

Lantas bagaimana seharusnya orang percaya membuat resolusi?

Di tahun 2022 lalu ada sebuah kejadian viral, seorang nenek ditendang oleh anak-anak sekolah. Banyak pihak merespons ini, tapi ada satu komentar seorang podcaster yang menarik perhatianku. “Karena semakin banyak anak-anak kayak gitu, semakin kecil saingan kamu untuk menjadi orang sukses,” demikian komentarnya. Aku mulai berpikir, kalau seandainya menendang seorang nenek akan diganjar hadiah sebesar 1 milyar, akankah orang akan melakukannya? Apakah tidak menendang seorang nenek hanya agar menjadi orang sukses? Aku rasa ada alasan yang lebih baik daripada sekedar menjadi orang sukses.

Namun, sayangnya ketika kita membuat resolusi, kebanyakan dari kita membangun gambaran ideal serupa dunia. Banyak motivator yang mendorong kita untuk menjadi orang sukses, tapi itu bukan segalanya. Gambaran ideal yang kita kejar tersebut berasal dari keinginan hati kita. Keinginan inilah yang memberi kita motivasi untuk membuat resolusi dan mengerjakannya. Masalahnya adalah hati kita telah dinodai oleh dosa, sehingga perbuatan yang sekalipun terlihat baik dapat dimotivasi oleh keinginan egois. Lihat saja contoh di atas tadi. Mengapa tidak menendang seorang nenek? Karena tindakan seperti itu menghalangi saya menjadi orang sukses. Jadi sebenarnya yang dikejar adalah sebuah pamrih kesuksesan.

Jarang sekali kita memiliki resolusi untuk memiliki hati dan keinginan yang baru, keinginan yang telah dikuduskan Tuhan. Kalau kita mau jujur, sebenarnya kita tidak mau punya keinginan sama seperti yang Tuhan inginkan. Hati kita begitu lemah dan mandul untuk mengikuti keinginan hati Tuhan. Dosa telah melumpuhkannya. Oleh sebab itu Tuhan berjanji:

“Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat” (Yehezkiel 11:19).

Ayat ini merupakan sebuah penghiburan bagi kita. Hati yang baru bukanlah sebuah hal yang harus kita usahakan. Itu adalah sebuah pemberian dari Tuhan. Tangan Tuhan sendiri yang akan mengusahakannya untuk kita. Kita dibentuk Tuhan menjadi manusia yang baru dengan keinginan-keinginan yang baru. Ini adalah identitas kita. Bagian kita adalah menghidupi manusia baru tersebut.

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).

Jadi ketika kita menuliskan resolusi di tahun ini coba tanyakan sebagai seorang manusia baru, apa yang seharusnya aku inginkan? Apa yang seharusnya aku kejar? Apakah resolusi yang aku buat sesuai dengan gambaran manusia baru atau justru sama persis dengan yang dunia tawarkan?

Menuliskan resolusi bukan hanya sekadar menuliskan janji. Dari janji yang kita buat itulah kita bisa tau apa yang paling kita rindukan ada di dalam hidup kita. Apa yang paling kita cari dan berharga untuk hidup kita. Semoga kita bisa terus teliti memperhatikan isi hati kita dan mengarahkannya sesuai dengan keinginan Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mengapa Harus Tunggu Nanti?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Anita melirik notifikasi pesan di ponselnya.
Pesan sama yang muncul tepat jam 08.00 setiap pagi.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 22 November 2022: Kisah Para Rasul 15-16.

“Ok. Akan kubaca nanti kalau sempat,” janji Anita setelah membaca pesan itu. Namun biasanya dia tidak pernah sempat. Sebagai desainer interior yang baru mulai bergabung dengan salah satu perusahaan besar, tugas dan tanggung jawab Anita tidaklah kecil. Meski usianya baru menginjak pertengahan 20-an, pengalaman kerja Anita cukup banyak mengingat dia sudah mulai bekerja sebagai freelancer sejak kuliah. Maka tidak heran bila Anita dipercayai untuk berbicara dengan beberapa klien penting, dan sketsa desainnya cukup diminati oleh atasan dan para kliennya. Anita juga menyukai tantangan untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai standar perusahannya. Karena itu, bekerja dengan durasi sesuai jam kantor tidak akan cukup bagi Anita. Waktu seakan tidak pernah cukup untuk pekerjaannya, apalagi melakukan hal lain.

Anita baru sampai lagi di rumah saat malam pekat sudah menyapa. Orang-orang serumah pun sudah tidur. Hanya keheningan yang terdengar. Setelah mandi, Anita akan merebahkan badannya yang lelah dan baru membalas pesan-pesan dalam ponselnya. Kembali dia membaca sekilas pesan yang diterimanya tadi pagi.

Dengan menguap, Anita bergumam, “Oh, iya. Baca Alkitab. Tapi… aku ngantuk. Besok saja, ya Tuhan. Tentu Kau tidak ingin aku membaca dengan tidak fokus, bukan?” Ponsel itu diletakkan dan dia segera tidur.

Keesokan pagi, pesan yang sama muncul kembali dengan bacaan Alkitab yang berbeda. Kadang Anita merasa kagum pada sie kerohanian di gerejanya. Setiap hari dengan setia, dia mengirimkan pesan di grup obrolan gereja. Mengingatkan setiap orang untuk membaca Alkitabnya. Sedikit perasaan bersalah menghinggapi Anita ketika menyadari dia tidak pernah membaca Alkitabnya lagi.

Bukannya Anita tidak pernah berusaha membaca Alkitab. Salah satu resolusi akhir tahun lalu yang dia tuliskan adalah membaca Alkitab setiap hari. Dengan tekad bulat, dia berjanji akan melakukannya. Apalagi gereja menyediakan fasilitas reminder dengan mengirimkan pesan bacaan Alkitab setiap hari dalam grup obrolan gereja, Anita merasa dia mampu melakukannya. Dan dia memang dengan setia melakukannya bahkan dia berhasil menyelesaikan kitab Imamat yang buat sebagian besar orang sulit dibaca.

Namun, ketika Anita diterima bekerja dan beban pekerjaan mulai menekannya, kebiasaan membaca Alkitab setiap pagi perlahan jadi hilang. Anita masih bangun pagi seperti kebiasaannya, namun sekarang dia berangkat kerja lebih awal. Bahkan sarapan pun tidak sempat, karena mengejar waktu untuk sampai di kantor sepagi mungkin.

Awal-awal kerja dia masih mengusahakan buat membaca Alkitab setelah pulang kerja, namun dia tidak kuasa menahan kantuk. Pikirnya, “lebih baik aku tidur sebentar, nanti aku baru lanjut baca lagi”, tapi ternyata dia baru bangun keesokan paginya.

Bukannya Anita pasrah begitu saja dengan keadaan. Pernah dia memaksa diri membaca Alkitab meskipun sudah ngantuk berat. Tapi, yang namanya halangan selalu ada-ada saja. Baru saja dia membaca sebentar, ponselnya berbunyi. Atasannya menghubunginya.

“Pasti ini yang penting,” pikirnya.

Benar rupanya. Di luar jam kerja pun, masih ada sederet kerjaan penting yang didelegasikan buatnya. Begitu dia meletakkan ponselnya, dia langsung memikirkan apa yang harus dikerjakannya besok. Dan… pembacaan Alkitab pun terlupakan.

Hasrat untuk membaca Alkitab masih belum padam, namun terus tertunda, sampai pada akhirnya Anita tidak lagi berusaha membaca Alkitab sama sekali.

Sambil diliputi sedikit rasa bersalah, Anita berdoa: “Tuhan, Engkau pasti mengerti kesibukan kerjaku. Aku akan baca kalau sudah tidak sibuk.”

Sementara kesibukan kerja Anita terus berjalan, pesan pengingat pembacaan Alkitab pun selalu muncul setiap pagi tanpa absen.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 2 Desember 2022: 1 Korintus 12-14.

Notifikasi ini tak lagi mengundang urgensi. “Ah…sudah Desember ya. Kalau begitu, nanti saja di awal tahun, aku mulai baca.” Pikirnya tahun ini sudah hampir habis, lebih baik keputusan baca Alkitab lebih tepat dijadikan resolusi tahun depan saja. Sekaligus ini bisa jadi bahan refleksi buat ibadah akhir tahun di gereja.

Sejak pikiran itu muncul, semua pesan pengingat diabaikannya karena toh nanti semua akan dimulai dari awal lagi. Fokus Anita bergeser sepenuhnya pada pekerjaannya yang makin hari makin sibuk. Klien-klien berdatangan sampai akhir pekan pun harus dipakai buat kerja.

Seminggu sebelum tahun berganti, akhirnya ada waktu liburan yang diberikan kepada semua karyawan. Dia lalu berencana liburan ke luar kota bersama keluarga. Saat dia mencari rekomendasi tempat wisata di ponselnya, muncullah notifikasi yang sudah lama tidak digubrisnya.

Selamat Natal.
Mengapa harus tunggu nanti?
Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 26 Desember 2022 : 1 Yohanes 1-5.

Anita membaca pesan itu. Pesan biasa, yang saking terlalu biasanya tak lagi dibacanya. Tapi, hari itu ada sesuatu yang menyentaknya. Mengapa harus tunggu nanti?

Anita merasa pernah mendengar kalimat itu, tetapi di mana dan kapan? Oh, iya. Bukankah itu tema khotbah Natal kemarin? Dengan sederhana, hamba Tuhan dalam khotbahnya menyampaikan banyak orang tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dengan alasan masih banyak waktu. Nanti saja percaya kepada Tuhan Yesus jika sudah mau meninggal. Tetapi, tidak ada yang tahu kapan manusia akan meninggal. Jangan sampai terlambat.

Cuplikan khotbah itu bergema kuat di pikiran Anita. Memang dia sudah percaya Tuhan Yesus sehingga tak perlu takut lagi akan keselamatannya, tapi hati kecilnya berbicara lembut kalau ada pesan lain yang ingin disampaikan dari khotbah itu.

Sebagian orang menunggu untuk dapat percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi ada yang sudah percaya namun juga masih menunggu. Salah satunya menunggu untuk menaati perintah-Nya, menunggu untuk membangun relasi yang intim dengan-Nya, menunggu untuk berani menyerahkan segala yang ada dalam hidupnya untuk jadi kepunyaan Allah.

Perenungan ini menuntun Anita pada pertanyaan, apakah dia juga menunggu untuk taat? Teringat olehnya pembacaan Alkitab itu. Ah…ya. Bukankah dia terus menundanya? Bahkan dia bertekad menunggu sampai awal tahun. Mengapa harus tunggu nanti? Pesan itu muncul kembali dalam benaknya. Mengapa harus menunggu? Mengapa tidak mulai saja sekarang?

Alasan klasiknya adalah selalu tentang tidak ada waktu. “Sekarang, bukankah aku ada waktu? Mengapa aku harus menunggu sampai awal tahun? Mengapa tidak sekarang saja?”

Tersentak oleh kesadaran baru yang diterimanya, Anita segera meletakkan ponselnya, meraih Alkitab dan mulai membuka 1 Yohanes. “…jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain…

Ayat ini mengalir pelan, menyusuri dinding-dinding hati Anita yang tebal tetapi lelah dihujam oleh segudang pekerjaan dan tuntutan. Ada bagian-bagian dari surat Yohanes yang kurang dapat dia mengerti, tapi dia terus membacanya. Ada setitik rasa lega yang terselip bahwa dia bisa memulai kembali membaca Alkitanya.

Sekarang bagaimana agar dia bisa meneruskannya? Anita mulai memikirkan strategi yang harus dia lakukan, terutama jika kesibukan kerja kembali menghampirinya lagi. Dia tahu dia perlu belajar memprioritaskan kembali apa yang paling penting dalam hidupnya.

Membaca Alkitab bukanlah ritual belaka, tetapi ini menunjukkan apa yang kita tempatkan pertama dan utama di hati kita. Memilih untuk memberi waktu terbaik buat Tuhan dan merenungkan sabda-Nya ibarat memberi air dan pupuk pada sebuah tanaman. Jika teratur dilakukan, maka tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

“Tuhan, ampunilah aku yang berdosa ini. Tuntunlah aku untuk hidup seturut yang Engkau kehendaki. Amin.”

Renungan untuk Kaum Rebahan

Oleh Giovanni Elvaretta, Bandung

Kegiatan yang paling aku nikmati ketika hari libur adalah rebahan. Bangun pagi hari, berjalan ke meja untuk bersaat teduh sejenak, lalu kembali lagi ke kasur menikmati dinginnya udara pagi yang menempel di seluruh bagian kasur dan bantal. Ah, nikmat sekali rasanya. Tapi, oh! Aku lupa. Rebahanku jadi lebih nikmat jika ditambah dengan melihat Instagram, TikTok, atau YouTube di gadget kesayangan. Rasanya hidupku sangat nyaman.

Konten-konten menarik yang tersaji di media sosial membuatku lupa waktu. Rasa penasaran untuk mencari tahu tidak luntur, “Ada hal menarik apa lagi? Ada hal lucu apalagi? Ada info viral apalagi?”. Tanpa terasa, setengah hari sudah berlalu! Setengah hari itu dijalani hanya dengan rebahan–menikmati dunia media sosial yang belum tentu terjadi dalam kehidupan nyataku.

Kalau dipikir-pikir, apa gunanya kegiatan rebahan yang kulakukan itu? Apakah ada hal positif yang bisa kudapat? Pikiranku sontak menjawab, oh tentu! Ada berbagai konten positif di media sosial yang bisa kuterapkan di hidupku…tapi, perlukah sampai menghabiskan setengah hari hanya untuk mencari konten-konten itu?

Mengatakan bahwa aku mencari inspirasi dari konten-konten positif agaknya hanyalah dalih yang kusebut untuk menutupi sifat buruk yang terselubung di balik rebahanku: rasa malas yang kunikmati. Aku rela menghabiskan setengah dari satu hari yang Tuhan berikan buatku hanya untuk melakukan aktivitas yang mendorongku jadi semakin malas. Kurasa aku telah membuang sia-sia waktu yang telah Tuhan berikan.

Dalam perenunganku akan kemalasanku itu, aku tertegur oleh isi dari Amsal 6:6-15. Petikan ayat yang tak asing kita dengar dari perikop itu berkata, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakuknya dan jadilah bijak” (ayat 6). Dalam perikop itu, penulis Amsal hendak memberikan nasihat kepada si pemalas dan memberitahukan akibat dari kemalasan yang dipelihara. Semut, hewan yang hidupnya tidak diatur maupun diawasi oleh manusia mampu bekerja produktif untuk mengumpulkan makanan. Secara sederhana, penulis Amsal menyiratkan bahwa semut menggunakan waktu hidup mereka dengan baik.

Bagiku pribadi, penulis Amsal dengan tepat memberikan contoh pelajaran hidup dari si semut. Sebagai anak Allah yang mempunyai hidup yang lebih berwarna dari semut, seharusnya aku dapat memaknai hidupku dengan lebih sungguh. Sebagai anak Allah yang mempunyai relasi yang dekat dengan Allah, seharusnya aku dapat menggunakan waktu yang Tuhan berikan dengan bijaksana, dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan-Nya. Waktuku, waktumu, adalah waktu yang sangat berharga dari Tuhan dan tidaklah pantas untuk disia-siakan dengan kemalasan.

Penulis Amsal juga mengingatkan bahwa kemalasan yang dipelihara akan mendatangkan ganjaran, yaitu kemiskinan dan kebinasaan (ayat 11). Kemalasan memang terasa nyaman dilakukan, tapi tanpa disadari ia akan mencegah dan menjerat kita dari melakukan sesuatu yang lebih berguna. Alih-alih berolahraga di pagi hari, kita rebahan bermenit-menit lagi sampai hampir terlambat berangkat kerja. Alih-alih mengerjakan tugas sekarang, kita menundanya sampai akhirnya kita kewalahan di detik-detik terakhir. Malas belajar menjadikan kita miskin pengetahuan. Malas bekerja menjadikan kita miskin pengalaman. Malas memperbaiki diri menjadikan kita semakin miskin dalam karakter. Dan yang lebih parah, apabila kita malas mencari kebenaran firman-Nya, kita akan miskin hikmat, miskin dari kedekatan relasi dengan Allah. Kemiskinan yang mewujud dalam berbagai bentuk itulah yang akan berbuah kebinasaan.

Mungkin tidak ada orang yang menegur sikap malasku. Bahkan, mungkin pula tak ada yang tahu kalau aku sedang menikmati dan memelihara kemalasan. Namun, firman Tuhan tidak pernah meleset untuk menegur aku dan kamu.

Yuk teman-teman, bersama-sama kita coba memakai waktu hidup kita dengan bijak dan produktif. Hidup kita hanya sekali dan kita punya waktu yang terbatas. Sekalipun pandemi membuat kegiatan kita banyak di rumah, kita tidak seharusnya terus-terusan berleha-leha sesuka hati, tapi marilah pakai waktu dengan bijak dan berguna. Jangan biarkan kemalasan dan rebahan yang kita pupuk malah membawa kita kepada kesusahan di kemudian hari.

Salam rajin! God bless.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Sekaranglah Kesempatan Kedua Itu!: Disiplin Rohani Menebus Waktu

Bagaimana kita menatalayani waktu ialah salah satu disiplin rohani terpenting zaman ini, terlebih kita tahu bahwa hari Tuhan sudah semakin dekat.

Yuk baca artikel ketiga dari #SeriDisiplinRohani ini.

Bertobat dari Kemalasan

Oleh Michael*

Dua tahun lalu setelah lulus S-1, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku. Aku tidak bekerja ke kota besar seperti yang teman-temanku lakukan, sebab sepeninggal papaku, mamaku tinggal seorang diri di rumah sementara kakak-kakakku sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota.

Aku dan mamaku menjalankan usaha toko kelontong yang sekarang kami kelola berdua. Karena usia mama semakin lanjut, dia memintaku untuk mengelola toko ini. Tapi, aku menolaknya dengan alasan aku belum siap, toh mamaku masih sanggup untuk mengelolanya sendiri.

Aktivitas yang kulakukan sehari-hari adalah bermalas-malasan. Pagi dan siang aku bermain game dan nonton YouTube, sore-sore aku bersepeda, dan malamnya kuhabiskan menonton tv. Tak ada satu pun kegiatanku membantu mamaku di toko.

Teguran

Pada tanggal 28 Oktober 2019, ketika mamaku sedang menjaga toko, dia merasakan sakit di dada. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat, dan dia pun muntah. Aku panik dan segera membawa mamaku ke rumah sakit dan memberitahu kakak-kakakku.

Di rumah sakit, mamaku segera mendapat pertolongan pertama dan harus dirawat inap. Kakakku yang pertama segera menyusul ke rumah sakit. Sesampainya di sana, dia memintaku untuk pulang saja ke rumah dan membuka toko sementara dia yang akan mendampingi mama sampai diperbolehkan pulang. Aku berdalih, kupikir biarkan saja tokoku tutup yang penting aku bisa menjaga mamaku. Namun, kemudian aku teringat, bagaimana pun juga pengobatan di rumah sakit membutuhkan biaya. Dari mana lagi kami mendapatkan uang jika tidak menjalankan usaha toko kelontong.

Pikiranku kalut. Aku seperti menghadapi dua dilema. Aku pun merasa ini seperti teguran dari Tuhan atas kemalasan yang selama ini kupelihara. Aku ingat petikan ayat Alkitab yang berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah” (Wahyu 3:19).

Aku masih belum beranjak dari ranjang yang disediakan rumah sakit. Tiba-tiba, ada semut yang menggigit lenganku. Aku tak tahu dari mana datangnya semut itu, tapi seketika itu juga aku ingat lagi petikan ayat Alkitab, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen. Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu?” (Amsal 6:6-9).

Dua ayat yang terlintas di benakku membuatku merasa malu pada diriku sendiri, bersalah kepada mamaku, dan aku menyesal. Tetapi, aku juga seperti diteguhkan bahwa ini dapat menjadi titik balik hidupku.

Buah teguran adalah perubahan

Aku mulai membenahi hidupku. Aku tidak lagi bangun dengan malas-malasan. Aku bangun di pagi hari dan segera menyiapkan tokoku untuk melayani pembeli. Siang hari yang biasanya kuisi dengan main game atau menonton YouTube, sekarang kugunakan untuk mencatat stok-stok barang, menghitung penghasilan, juga menolong pelayanan publikasi di gerejaku. Sore hari yang biasanya kugunakan untuk bersepeda, kini kugunakan untuk menemani mamaku seraya aku melayani pembeli di toko. Dan, malam hari yang biasanya kuisi menonton tv, kini menjadi waktu pribadiku untuk bersaat teduh.

Aku percaya, peristiwa mamaku jatuh sakit bukan karena Tuhan ingin menghukumku, tetapi Tuhan mengasihi mamaku. Tuhan mengizinkan sakit itu terjadi agar aku dan mamaku dapat melihat kasih dan penyertaan-Nya yang sempurna, dan peristiwa ini juga jadi momen untukku menyadari bahwa cara hidupku yang bermalas-malasan adalah cara hidup yang tidak berkenan kepada Tuhan.

Tuhan mampu menolong kita keluar dari jerat kemalasan, tetapi kita sendirilah yang memutuskan untuk keluar dari jerat itu atau berkubang di dalamnya. Segala dorongan dari luar tidak akan banyak menolong bila kita tidak punya niatan yang sungguh.

Teman-teman yang terkasih yang membaca tulisan ini, apabila kalian sedang terjerat oleh rupa-rupa kemalasan, aku berdoa kiranya kamu punya tekad yang kuat untuk melepaskannya. Aku juga memohon doa darimu juga untuk kesembuhan mamaku.

“Hai anak-Ku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi” (Amsal 3:11-12).

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Menyikapi Fenomena Public Figure yang Mendadak Kristen

Ketika seorang tokoh publik menjadi Kristen, bagaimana seharusnya kita merespons? Apakah dia sungguh menjadi orang Kristen? Apakah dia sungguh-sungguh mengalami transformasi spiritual terlepas dari caranya menjalani hidup? Atau, apakah itu hanya akal-akalan dia saja untuk mendongkrak popularitas?

Rahasia untuk Tidak Mengeluh

Hari ke-11 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:14-18

2:14 Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan,

2:15 supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,

2:16 sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah.

2:17 Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian.

2:18 Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku.

Tidaklah sulit untuk mengingat kapan terakhir kali aku menggerutu tentang sesuatu atau seseorang—kemarin, lebih tepatnya. Aku sedang melewati masa-masa sulit di kantorku dan aku pun mengeluh. Semakin aku menggerutu, semakin aku merasa tidak bahagia; semakin aku merasa tidak bahagia, semakin banyak aku menggerutu.

Itu bukanlah hidup dan sikap yang Tuhan ingin kita jalani, baik itu di rumah, di gereja, di sekolah, atau di kantor. Tuhan, melalui Paulus, mendorong kita untuk “berperilaku yang layak bagi Injil Kristus” (Filipi 1:27). Kita dapat membuktikan kesetiaan kita kepada Kristus dengan cara menaati Tuhan dengan hormat. Dan satu cara untuk menghidupi ketaatan kita adalah melakukan semuanya “tanpa mengeluh atau membantah” (2:14).

Ya, ketika Paulus mengatakan semuanya, ia serius: bahkan ketika kita diminta melakukan hal yang tidak kita mengerti atau tidak kita suka, ketika doa-doa kita tidak dijawab, dan ketika kita sedang melewati kesulitan dan penganiayaan. Semuanya.

Ketika aku membaca ayat-ayat ini, aku teringat bagaimana orang Israel dulu menggerutu dan mempertanyakan pemimpin mereka saat berada di tengah padang gurun (Keluaran 15:24, 16:8). Sikap orang-orang Israel yang sering mengeluh dan mempertanyakan Tuhan akan situasi mereka merupakan suatu bentuk ketidaktaatan. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak percaya kepada Tuhan. Begitu juga segala keluh kesah dan gerutuan kita. Ketika kita melakukannya, semuanya itu tidak hanya diarahkan kepada sesuatu atau seseorang saja, tetapi kita juga melakukannya kepada Tuhan sendiri.

Gerutuan kita bukan hanya merupakan sebuah bentuk ketidaktaatan, itu juga adalah sebuah kesaksian yang buruk bagi orang-orang sekitar kita. Sebagai orang-orang Kristen yang adalah bagian—tapi terpisah dari—dunia ini, kita seharusnya bersinar layaknya terang, mengikuti teladan Kristus (Yohanes 8:12). Tapi, seringkali kita gagal hidup seperti itu. Ketika aku mengeluh kepada teman sekerjaku, aku bertanya-tanya, siapakah yang mereka lihat: Kristus hidup di dalamku, atau aku yang berlaku layaknya salah satu dari mereka?

Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa menemukan kekuatan untuk melakukan semuanya tanpa mengeluh?

Dengan berpegang kepada firman Tuhan (ayat 16), kata Paulus. Bukan hanya itu, kita sudah dijanjikan bahwa Tuhan akan memungkinkan dan melengkapi kita untuk melakukan kehendak-Nya melalui Roh Kudus (Filipi 2:13).

Ketika kita bisa menahan diri dari menggerutu, mungkin kakak rohani atau pemimpin rohani kita pun turut berbangga atas kita. Paulus mendorong para jemaat Filipi untuk hidup taat dalam Tuhan, agar ia punya alasan untuk berbangga ketika Kristus kembali. Buah yang dihasilkan para jemaat Filipi sangat membahagiakan Paulus (ayat 17), dan merupakan bukti bahwa pengorbanannya untuk mereka tidaklah sia-sia.

Tidaklah mudah untuk menghentikan diri kita sendiri dari mengeluh tentang hal-hal yang tidak kita sukai. Bagiku, masih sulit sekali untuk mengendalikan ucapanku ketika aku mengalami hari yang buruk di kantor, terutama ketika semua orang sekitarku sedang mengeluh karena frustrasi. Tapi ketika aku mengingat identitasku dalam Kristus—bahwa aku telah dikuatkan untuk hidup berbeda dari yang lain—aku sedang belajar untuk mengendalikan kata-kataku setiap hari. Alih-alih marah dan melontarkan kata-kata kasar, aku memilih untuk diam sejenak. Alih-alih mengomel kepada orang-orang di sekitarku, aku menenangkan diri dan berdoa. Aku pun mengalami kebahagiaan dan ketenangan yang didapat dari mengikuti-Nya dengan taat dan beristirahat dalam kekuasaan-Nya.

Memang tidak mudah. Tapi, ketika kita berdoa dan merenungkan tentang mengapa dan bagaimana, kita dapat menghindar dari tingkah laku tersebut. Kita akan tahu bahwa kepuasan yang kita dapatkan dari menggerutu dan mengeluh tidak sebanding dengan hidup dalam sikap yang layak di hadapan firman Tuhan, dan kebahagiaan yang dirasakan oleh pemimpin kita, diri kita, dan Kristus sendiri.—Wendy Wong, Singapura

Handlettering oleh Vivi Lio

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pernahkah kamu merasa tergoda untuk mengeluh dan marah-marah? Apa yang terjadi ketika kamu melakukannya?

2. Adakah hal-hal dalam kehidupanmu yang membuatmu susah untuk tidak mengeluh atau marah-marah? Tuliskanlah semuanya itu dan doakanlah.

3. Apakah kita bersinar terang bagaikan bintang di tengah-tengah dunia yang penuh dengan orang yang jahat? Apakah cara kita untuk dapat bersinar di dalam dunia seperti itu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Wendy Wong, Singapura | Hari yang sempurna menurut Wendy adalah menyantap peanut buter, hiking, naik sepeda, atau saat teduh bersama Tuhan. Sebagai seoang penulis, Wendy berharap tiap tulisannya jadi alat untuk memuliakan Tuhan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Kejenuhan, Celah Si Jahat Untuk Hambat Produktivitas

Oleh Santina Sipayung, Batam

Berjam-jam duduk di kelas. Berhari-hari mengerjakan tugas. Berbulan-bulan menyelesaikan skripsi. Bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama. Tak dapat dipungkiri, menjalani rutinitas atau mengerjakan sesuatu dalam jangka waktu yang lama seringkali membuat kita merasa jenuh.

Sebenarnya, apa itu kejenuhan?

Kejenuhan adalah sindrom yang ada pada tataran emosi. Area kejenuhan pada mental ialah perasaan kehilangan idealisme, gagal sebagai pribadi, dan menyebabkan kesulitan berkonsentrasi. Kejenuhan pada mental dapat ditandai dengan tidak lagi memiliki pengharapan dan cepat menuduh diri sendiri. Bahkan, citra diri di dalam Kristus terkadang dapat terkikis karena kondisi mental yang negatif. Apabila dibiarkan berlarut-larut, kejenuhan bisa menjadi stres yang berkepanjangan dan dapat menyebabkan sakit jiwa.

Kejenuhan yang terjadi pada tataran mental turut berimbas pada area fisik. Kondisi fisik yang menurun karena kejenuhan turut menyebabkan kecenderungan darah tinggi serta serangan otak karena kelelahan. Kelelahan tersebut juga dapat menyebabkan migrain, sakit kepala, dan flu yang tidak kunjung sembuh.

Orang yang mengalami kejenuhan seringkali memiliki kesulitan untuk menyelesaikan aktivitas yang sudah dimulai atau malas melakukan rutinitas yang seharusnya dijalani. Ia jadi cepat bosan, tidak sabar, dan sulit menghargai diri sendiri dan orang lain. Iblis dapat menggunakan celah kejenuhan untuk menurunkan produktivitas dan membuat kita tidak lagi bergairah dalam menjalankan aktivitas rohani maupun pelayanan-pelayanan kita.

Lalu, siapakah orang yang rentan mengalami kejenuhan?

Orang yang rentan mengalami kejenuhan adalah orang-orang yang ambisius, pernah memiliki akar pahit, dan orang yang tidak sanggup berkata “tidak” pada orang lain. Ketiga hal tersebut memberi tekanan pada diri mereka yang berujung pada depresi.

Kejenuhan menjadikan kita kesulitan bertumbuh dan menghalangi peluang kita untuk maju. Oleh karena itu, tentu saja kejenuhan harus diatasi. Berikut adalah langkah konkret yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kejenuhan.

1. Sadari dan akui kejenuhan itu

Langkah pertama untuk mengatasi kejenuhan adalah menyadari perasaan jenuh dan belajar untuk mengakui kejenuhan yang kita rasakan. Seringkali kita berusaha untuk menyangkal kejenuhan dan berusaha untuk terus memforsir diri kita agar dapat menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan dalam rutinitas kita, meski tidak lagi dapat mencapai hasil yang maksimal.

2. Kenali diri dan ketahui kapasitas diri

Setelah menyadari kejenuhan, selanjutnya kita perlu mengenali diri sendiri. Apa saja kondisi yang membuat diri kita jenuh? Kita dapat sejenak berhenti dari aktivitas kita untuk merenung. Jangan lupa juga untuk berdoa dan ceritakan pergumulan kita kepada Tuhan.

Selain itu, kita juga harus mengetahui kapasitas diri kita dan memohon bimbingan Tuhan sebelum memutuskan untuk berkegiatan. Pekerjaan dan aktivitas yang bertumpuk dapat kita bagi menjadi pekerjaan prioritas, mendesak, dapat ditunda, atau pekerjaan yang dapat ditinggalkan. Mengenali kesibukan kita akan membantu kita mengenal Allah yang menganugerahkan setiap aktivitas yang kita miliki. Kita dapat menyerahkan diri dan hidup kita sepenuhnya ke tangan Tuhan karena kita adalah kepunyaan-Nya. Ketika kita membiarkan Allah mengambil alih hidup kita dan melakukan semuanya untuk Tuhan, niscaya kita dapat terlepas dari kejenuhan.

3. Mencari tahu kegiatan untuk keluar dari kejenuhan

Pertanyaan kedua untuk direnungkan adalah, kegiatan apa yang dapat membantu kita untuk mengatasi kejenuhan? Melakukan hobi bisa menjadi solusi untuk mengatasi rasa jenuh. Misalnya, ketika mulai bosan belajar atau mengerjakan tugas selama berjam-jam, selingi dengan bermain musik, berolahraga, menggambar, atau hobi lainnya.

Dalam konteks membaca Alkitab atau bersaat teduh, ada orang yang bisa mengatasi jenuh dengan bersaat teduh dari kitab tertentu (Amsal) selama sebulan, tetapi ada juga yang lebih suka membaca renungan dari kitab yang berbeda-beda setiap harinya. Ada juga yang lebih suka menonton video khotbah dibandingkan membaca buku, atau berselang-seling setiap harinya agar tidak jenuh.

Ketika merasa jenuh, ingatlah bahwa kita tidak pernah sendiri. Tuhan Yesus membuka tangan-Nya lebar-lebar dan menanti kita untuk mencurahkan isi hati kita pada-Nya. Dalam Matius 11:28, Ia berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita. Saatnya datang pada-Nya dengan penuh kerendahan hati dan izinkan Tuhan memegang kendali hidup kita. Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Tuhan Membentukku Lewat Pekerjaan yang Tak Sesuai dengan Passionku

Ketika pekerjaanku tidak sesuai passionku, yang terpikir olehku adalah resign. Tapi, Tuhan membuatku bertahan di pekerjaan itu sampai waktu tia tahun lebih! Dan, tak kusangka, pekerjaan ini dipakai-Nya untuk membentukku.

Doa Mengubah Segalanya

Oleh: Yuvita Apolonia Ginting

Doa Mengubah Segalanya

Sebagai seorang Kristen, aku tahu bahwa doa itu penting. Allah mengundang kita untuk berdoa (Yeremia 29:12), dan Yesus sendiri selalu mengutamakan doa (Markus 1:35). Namun, aku selalu saja punya alasan untuk tidak berdoa.

Saat aku mulai kuliah di tempat yang jauh dari orangtua, aku tak hanya malas berdoa, aku bahkan mulai malas ke gereja. Beradaptasi sebagai seorang perantau di Jakarta bukanlah hal yang mudah bagiku sebagai seorang anak perempuan yang jauh dari keluarga. Ada saja alasan untuk mengabaikan hubunganku dengan Tuhan: banyak tugas dari kampus, keasyikan main game, mau mengurusi toko online yang kurintis sejak SMA, tidak punya kendaraan untuk ke gereja, dan sebagainya. Aku merasa sudah cukup aku ikut persekutuan mahasiswa di kampus setiap hari Jumat.

Makin lama aku hidup jauh dari Tuhan, makin kurasakan hidupku tidak terarah, tanpa tujuan yang jelas. Aku merasa kelelahan melakukan banyak hal, namun tidak melihat hasil apa pun. Pada satu titik, aku akhirnya memutuskan untuk datang kembali ke gereja.

Selama ibadah aku berusaha keras agar dapat berkonsentrasi. Bergadang main game membuatku sangat mengantuk. Namun, hari itu, Tuhan menyentakku dengan menjawab doa seorang pria di sebelahku. Matanya yang rabun berangsur menjadi bisa melihat 50% pada saat itu juga. Jika Tuhan dapat menolongnya, bukankah Dia juga dapat menolongku? Keringat dingin membasahi tubuhku, dan aku mulai menangis. Aku memohon Tuhan menjamah dan melepaskan aku dari kebiasaan-kebiasaan yang membelengguku. Tidak hanya aku, tetapi juga keluargaku. Aku diingatkan akan anggota keluarga ayahku yang masih menyembah setan. Oh Tuhan, tolong lepaskan kami … bawa kami kembali memiliki hubungan yang benar dengan-Mu

Hari itu aku dan keluargaku juga didoakan secara khusus oleh para pelayan di gereja. Aku merasa Tuhan sungguh menjamah hati dan tubuhku. Masalahku tidak serta merta lenyap, namun damai yang luar biasa kini melingkupi hatiku.

Malam harinya aku tidak bisa tidur, entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang belum aku lakukan. Ada dorongan yang kuat di dalam hatiku untuk berdoa. Dengan gemetar aku menumpahkan segala kekalutan yang menguasai pikiranku kepada Tuhan, termasuk usaha toko online yang sangat kuharapkan dapat meringankan biaya kuliahku.

Begitu selesai berdoa, aku tersentak, karena ada bunyi pesan masuk di hp-ku. Ada orang yang baru saja berbelanja di toko onlineku. Kebetulan? Kupikir tidak. Tuhan sedang mengajarku untuk bergantung kepada-Nya, menyerahkan segala kebutuhanku kepada-Nya.

Sejak hari itu, hidupku tidak pernah sama lagi. Doa mengubah segalanya. Hubungan pribadiku dengan Tuhan diperbaharui. Bila sebelumnya aku selalu punya alasan untuk tidak berdoa, kini aku selalu menemukan alasan untuk berdoa. Doa menjadi pengalaman memercayakan diri ke dalam tangan Tuhan yang memegang kendali atas segala sesuatu, menjadi ungkapan hati seorang anak kepada Bapa yang mengasihinya. Kini aku menjadi lebih sabar dan tenang menghadapi masalah, karena aku tahu aku tidak menghadapinya sendirian. Meski penghasilanku tak seberapa, aku bisa memberi perpuluhan dengan sukacita, karena aku tahu Tuhan memperhatikan dan memeliharaku selalu.

Bagaimana doa membuat perbedaan dalam hidupmu?