Dalam Rasa Kesalmu, Janganlah Terbit Penghakiman

Sebuah cerpen oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Guys! Vika keterlaluan banget! Pasti dia lagi pergi ke Jakarta buat nonton konser oppa kesayangannya. Parah! Masa dia lebih milih oppa daripada Tuhan sih?” ucap Cika dengan tatapan tajam. Ia adalah pengurus di persekutuan pemuda gereja.  

Bukan tanpa alasan Cika kesal dengan Vika. Hari ini ada event spesial di persekutuan pemuda. Segala hal sudah disiapkan dengan matang dan persiapan-persiapan di awal pun berjalan lancar. Tapi, Vika—seorang yang harusnya punya peran penting—mendadak tidak hadir dan tidak memberikan alasan jelas. Akibatnya, event yang diharapkan berjalan sempurna pun jadi tidak berjalan maksimal. 

Mendengar luapan emosi Cika, teman-teman lain yang hadir saat itu pun ikut tersulut. Mendadak dan tanpa alasan jelas, dua poin ini yang menjadi bara panas di hati teman-teman persekutuan. “Iya betul!” tanggap Ape. “Dia mah bukan cuma suka doang sama K-pop, tapi udah kecanduan. Ini bukan sekali dua kali loh dia lebih bela oppa-nya itu daripada Tuhan!”

Sebenarnya semua orang di gereja tahu bahwa Vika memang pecinta segala hal yang berbau Korea. Dia mengoleksi souvenir, mulai dari poster, majalah, sampai sederet film-film dan lagu yang dia simpan di folder khusus di drive. Tak ada yang mempermasalahkan kesukaannya ini. Namun, ketika beberapa bulan terakhir dia mulai kurang aktif di persekutuan, teman-temannya pun berspekulasi apa gerangan yang menjauhkan Vika dari mereka. Mau dicari tahu sebabnya, tapi mereka memang jarang terlibat deep-talk dengannya. Dimulai dengan perasaan tidak tahu yang berevolusi menjadi kepo tapi tak menemukan fakta apa pun, terbitlah tudingan bahwa kesukaan Vika akan K-pop yang jadi biang keladinya. 

“Emang dia pernah berbuat apa aja sih sampai kalian bisa bilang kecanduan?” Uma berusaha menenangkan. Sebagai salah satu senior, dia peka menangkap bahwa diskusi ini tak lagi kondusif. Dia kesal juga dengan Vika, tapi tak ingin menyalahkannya sebelum tahu sebab yang benar.

“Dia pernah beli satu album lagu tuh. Kalau belinya satu sih ya gapapa. Tapi masalahnya, dia beli sampe satu dus! Alasannya? Supaya dia bisa menang undian tiket fan sign sama itu oppanya,” jawab Ape sambil pandangannya menatap satu per satu orang yang hadir, membuat mereka kaget mengetahui kalau Vika se-”addict” itu sama idolanya.

“Gak cuma itu!” Cika ikut menambahi. “Dia juga pernah datang ke persekutuan sambil matanya bengkak. Waktu aku tanya, dia bilangnya abis nangis semaleman gara-gara oppa-nya kalah di acara penghargaan.” 

Bagaikan api tersiram minyak, emosi kekesalan teman-teman terasa panas membara. Sebelum yang lain menimpali dengan rumor atau spekulasi yang mereka anggap fakta, Hela yang dari tadi diam mengangkat suaranya. “Kalian sudah coba bicara ke Kak Efa belum sih soal ini? Dia kan pembina pemuda, harusnya kalau kita share ini ke dia, dia bisa bantu tegur Vika.” 

“Sudah, Hel. Tapi ya gitu. Si Vika masih aja kecanduan. Gak berubah sama sekali,” jawab Cika. 

Diskusi evaluasi hari itu berjalan tanpa solusi selain menuding Vika sebagai penyebab tunggal tidak sempurnanya acara. Semenit dua menit ruangan menjadi hening. Rasa lelah ditambah kesal mau tak mau menguras energi semua orang  yang hadir. Tak lama kemudian, Kak Efa pun datang. Dia melihat suasana dan raut wajah adik-adik rohaninya yang muram. 

Kak Efa menorehkan segaris senyum di wajahnya, kemudian dia berdiri di sebelah Cika dan berkata, “Guys, good job buat hari ini. It’s okay kalau acaranya tidak 100% berhasil, yang penting pesan firman Tuhan yang mau kita sampaikan ke peserta yang hadir bisa mereka terima.”

Namun bukannya jadi lebih cair, suasana malah makin muram. Kak Efa tahu Vika tidak hadir, tapi belum ngeh kalau semua orang dongkol karena absennya dia. 

“Gara-gara Vika pokoknya kak!” celetuk Ape. 

“Loh…” Kak Efa mengernyitkan dahi. “Kenapa kalian jadi kesel banget sama Vika?” 

Pertanyaan ini ramai-ramai dijawab dengan segudang spekulasi dan tudingan tentang Vika. Kak Efa meminta mereka semua tenang dan cukup satu orang saja yang bicara. Cika pun ditunjuk untuk menjadi juru bicara.

“Vika gak berubah kak, malah tambah parah. Kalau pun kami yang tegur, pasti dia gak mau denger, malah bisa-bisa kami yang kena marah balik sama dia.” 

“Iyalah, namanya juga itu K-popnya udah jadi candu,” timpal Ape. “Pantesan aja dia sampe sekarang gak punya pacar. Gimana mau punya? Standarnya aja halu!” 

“Stop ya teman-teman…” Kak Efa menghela nafas. “Kalian ini kan lagi evaluasi pasca event, kenapa jadi gosipin orang ya?”

Semua yang hadir terdiam. “Vika yang hari ini gak hadir pasti membuat kita kesal, kakak paham. Dan kalau kalian bilang Vika tidak bisa dinasehati dan sebagainya, itu bukan artinya kita bebas menebar spekulasi tentang dia loh. Sekarang kakak tanya, ada gak dari antara kalian yang pernah sungguh-sungguh duduk dan dengerin cerita dari Vika?” 

Semuanya menggelengkan kepala. Di balik hobinya mengoleksi beragam album K-Pop, Kak Efa tahu Vika adalah sosok pemudi yang hangat. Dalam beberapa kesempatan setelah ibadah pemuda, Kak Efa pernah mengobrol dengan Vika, bahkan ada satu waktu ketika mereka akhirnya pergi makan malam berdua. Di situ Vika bercerita bahwa mengidolakan K-Pop hanyalah sekadar hiburan buatnya. Vika anak tunggal dalam keluarga. Ibunya telah tiada dan sehari-hari dia hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Menonton drama, mendengarkan lagu, dan kumpul dengan sesama fans adalah hal-hal yang membuat Vika tidak lagi merasa sepi. Di gereja Vika belum bisa terlalu dekat dengan yang lain karena dia merasa tak punya hobi yang sama. Hanya dia seorang yang begitu menyenangi Korea-koreaan.

Tak cuma di persekutuan pemuda, ketika orang-orang tergabung dalam satu komunitas, tumbuh pula rasa kebersamaan dan kesepakatan-kesepakatan tak tertulis. Semisal, ada agenda untuk pergi bersama, muncul julukan-julukan khusus buat seseorang, atau sesederhana muncul ikatan untuk selalu melakukan suatu acara bersama-sama. Ketika salah seorang anggota tiba-tiba mundur, atau tak sepakat dengan kebanyakan orang yang ada di sana, kecenderungan yang muncul ialah orang tersebut dianggap berbeda. Bahkan, pada beberapa kasus, bisa jadi dia dijadikan bahan omongan.

Jika sudah tiba pada tahapan itu, komunitas tak lagi jadi tempat yang aman untuk anggotanya menjadi diri sendiri. Membiarkan omongan negatif hingga spekulasi bertebaran akan menggerus kasih persaudaraan di dalamnya. 

Kak Efa pun melanjutkan narasinya. “Teman-teman semua, kakak tahu kita kesal. Tapi sekali lagi, kakak mohon kita ingat kalau kita adalah persekutuan anak-anak muda, orang-orang percaya. Membicarakan keburukan Vika gak akan membuat kita menemukan solusi untuk membuat teamwork kita lebih baik, ataupun membuat Vika jadi sadar. Yang ada malah membuat kita makin berjarak dengan dia.”

Statement Kak Efa rupanya ampuh memutus spekulasi panjang di ruangan itu. Mungkin mereka pun sudah kelelahan juga. “Malam ini kalian pulang, doakan Vika. Minta juga hikmat dari Tuhan untuk mengarahkan kita bagaimana nanti bisa menasihati Vika. Entah nanti Vika akan berubah atau tidak setelah mendengar nasihat kita, yang penting adalah kita menyampaikannya dengan baik dan tidak membicarakan keburukannya.” 

Ape, Cika, dan dua orang yang sedari tadi vokal membicarakan Vika pun mengangguk-ngangguk. “Iya kak, terima kasih sarannya. Kami akan ikuti,” jawab mereka kompak. 

Dalam hati Kak Efa bersyukur karena Roh Kudus memberkati ucapannya. Dalam perasaan kesal mudah sekali untuk berspekulasi dan berbicara keburukan orang lain, tetapi Alkitab mengingatkan kita agar janganlah kita buru-buru menghakimi (Matius 7:1).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bagikan Konten Ini
3 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *