Posts

Penjaga Jiwa

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Khina melihatnya lebih dulu. Tepat ketika kakinya dan Erik menjejak di lantai empat, Rino tampak berdiri beberapa langkah di depan mereka. Kepalanya ditutup dengan kupluk abu-abu. Seutas tali rafiah yang ujungnya membentuk simpul digenggam dengan kedua tangannya, melingkar di lehernya. Satu ujung yang lain terikat pada tiang balkon. Sekali lompat… selesai. Rino yang tak menyangka kemunculan Khina dan Erik, menghentikan usahanya sejenak namun tangannya terkepal kuat-kuat menggenggam ujung tali di lehernya itu. Khina melirik Erik.

“Rik, buruan cari guru!” Suara Khina mendadak parau, napasnya memburu. Erik balik badan, bergegas turun. Khina mencoba berpikir cepat, kata-kata apa yang hendak dikeluarkannya untuk menenangkan Rino agar tak gegabah bertindak. Di hatinya, Khina terus merapalkan doa. Ia minta Roh Kudus yang tuntun setiap kata yang meluncur dari mulutnya. Dadanya berdebar lebih cepat dan mendadak terasa sesak. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya.

“Rino, hidup kamu terlalu berharga untuk kamu selesaikan dengan cara begini.”

“Gak ada yang peduli sama aku, Khina…” suara Rino tercekat di tenggorokan. Ia buru-buru melempar pandangannya ketika bersirobok dengan mata Khina. Ada sesuatu di mata itu yang membuatnya kembali tunduk menyembunyikan wajahnya yang pias.

“Tuhan Yesus sayang kamu, Rino. Kami semua sayang sama kamu. Aku dan Erik mencari kamu karena sayang sama kamu.”

“Hitam. Pendek dan… kata-kata itu… yang selalu dilontarkan teman-teman untuk mengolok-olok kondisi fisikku. Itu menyakitkan, Khina. Selama ini aku berusaha meredam emosiku. Segala sesuatu ada batasnya kan, Khin? Aku… Aku… gak kuat… arrghhh…” Suara Rino tenggelam oleh tangisnya yang pecah.

“Rino, percayalah…” Khina bergeming beberapa detik. Di ingatannya muncul Roma 8:18, firman yang dibacanya beberapa hari kemarin. Pelan, kakinya mendekat dua langkah, “… Semua penderitaan yang kita alami sekarang, tidak dapat dibandingkan sama sekali dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Khina tak berkedip memerhatikan tangan Rino yang perlahan melonggarkan ikatan tali rafiah di lehernya. Rino sesenggukan. Bahunya naik turun setiap kali air matanya jatuh. Di waktu yang bersamaan, Erik yang muncul dengan beberapa orang guru, mendekati dan merangkul Rino menjauh dari tali yang nyaris membuatnya kehilangan seorang kawan. “Hidupmu berharga, bro.”

***

Beberapa hari sebelum kejadian di lantai empat itu, Khina merasa gagal mengerjakan tugasnya menjangkau jiwa-jiwa baru untuk diajak bergabung ke kelompok selnya. Padahal, tiap doa Khina telah sungguh-sungguh meminta Tuhan kirimkan jiwa. Ia juga telah melakukan promosi di tiap ibadah. Bukannya bertambah, malahan beberapa kawan komselnya tak bisa hadir di kegiatan mingguan mereka. Itu membuatnya sedih.

Rasa tak nyaman yang mengusik hati Khina dan Erik ketika menyadari Rino tak ada di kelas saat mereka hendak ulangan, adalah pekerjaan Roh Kudus. Bisa saja mereka mengabaikan rasa itu dan terus tinggal di dalam kelas hingga pelajaran selesai. Namun, ketidaknyamanan itu membuat mereka berinisiatif mencari Rino ke balkon lantai empat.

Lalu Tuhan menyuruh aku menyampaikan pesan-Nya kepada tulang-tulang yang kering itu, “Aku Tuhan Yang Mahatinggi meniupkan napas ke dalam dirimu supaya kamu hidup kembali. Kutaruh urat dan daging padamu serta Kubalut kamu dengan kulit. Kamu akan Kuberi napas sehingga hidup. Maka tahulah kamu bahwa Akulah Tuhan.” (Yehezkiel 37:4-6 BIMK).

Kadang, kegelisahan adalah cara Tuhan mau pakai kita. Kejadian di sekolah siang itu menjadi pengalaman spiritual yang sangat berharga bagi Khina. Karena lewat kejadian itu, Tuhan mengajarkannya tak sekadar meminta jiwa. Tapi, bagaimana menanggapi kegelisahan yang Tuhan taruh di hatinya untuk menjadi penjaga jiwa dan menyelamatkan jiwa rapuh yang Tuhan sudah berikan dan tempatkan di dekatnya.

Pernahkah kamu gelisah, jenuh, bahkan menjadi tak sabaran mengerjakan sesuatu yang hasilnya tak jua tampak dan rasanya jauh dari harapan?

Setiap orang Kristen memiliki panggilan untuk mengerjakan tugas mulia yaitu, Amanat Agung (Matius 28:19-20). Sebuah tugas yang bukan sekadar menjangkau jiwa baru. Tetapi, bagaimana melatih diri sendiri menjadi murid yang mau buka hati, mau taat, mau dibentuk karakternya lewat masalah yang Tuhan izinkan terjadi di hidup kita; sebelum kita menyaksikan pekerjaan Tuhan di hidup kita kepada orang lain. Masalah akan terus datang! Berterima kasihlah pada masalahmu, sabar dan setialah berproses. Tuhan sudah menyiapkan master plan untuk hidup kita sampai kekekalan.

Yuk! Latih kuping rohani agar peka dengan suara Tuhan dengan tekun membaca firman. Karena cara pandang dan pikiran Tuhan, berbeda dengan manusia. Mari sama-sama belajar dari pengalaman spiritual Khina.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tuhan Tidak Sedang Naif, Ketika Memberimu Kesempatan Kedua

Dihakimi, dinilai buruk, dan dimusuhi adalah bentuk cancel culture yang dialami seseorang dianggap berperilaku tidak menyenangkan.

Apakah kamu pernah mengalaminya? Atau justru menjadi salah satu orang yang tanpa kamu sadari “mengenyahkan” hidup orang lain?

Yuk, simak art space berikut.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hoaks, Asal Viral, dan Penghakiman: Bagaimana Film Budi Pekerti Menunjukkan Kondisi Masyarakat Kita

Oleh Sandyakala Senandika

Kalau kamu belum menonton film berjudul “Budi Pekerti”, mungkin kamu penasaran ini film apa karena kesan dan review mulai bermunculan di media sosial. Dan, kalau kamu sudah menontonnya, mungkin kamu merasa gereget dengan warganet yang mengakibatkan hidup Ibu Prani dan keluarganya porak poranda dalam sekejap, ibarat puting beliung yang menerbangkan atap rumah seisi kampung.

Mengambil setting kota Yogyakarta kala masa pandemi, film besutan sutradara Wregas Bhanuteja ini menyajikan fenomena buruk dari budaya kita bermedia sosial: bagaimana suatu peristiwa dibingkai, dilepas dari konteksnya, dan diviralkan begitu saja hingga melahirkan hoaks yang kemudian menghancurkan kehidupan korbannya.

Sedikit spoiler, Ibu Prani Siswoyo yang diperankan Sha Ine Febriyanti adalah guru Bimbingan Penyuluhan (BP) di suatu SMP. Dia guru yang gaul, melek teknologi, dan dicintai karena metodenya yang selalu memberikan “refleksi” alih-alih hukuman pada murid-muridnya yang bermasalah. Tapi, di balik pengabdiannya sebagai guru, Ibu Prani punya segudang beban. Suaminya, Didit Wibowo yang diperankan Dwi Sasono mengalami depresi yang mengarah bipolar lantaran usahanya hancur dihantam pandemi. Untuk pengobatan, tabungan mereka pun terkuras, sampai-sampai uang bayar kontrakan pun harus dipakai lebih dulu.

Konflik panas dimulai saat Ibu Prani sedang mengantre makanan kue putu Mbok Rahayu yang terkenal. Ibu Prani menegur seorang yang menyerobot antrean, tapi orang itu tak terima. Peristiwa cekcok itu direkam oleh orang-orang yang ada di pasar dan kemudian diunggah. Celakanya, bagian yang menjadi viral adalah momen ketika Ibu Prani mengucap “Ah suwi,” yang artinya “ah lama”. Tapi, karena diucap dengan cepat, frasa itu terdengar seperti “asu..i” yang dalam bahasa Jawa berarti “anjing”.

Pasca viralnya video itu, kehidupan Bu Prani berubah total. Hoaks bermunculan di mana-mana. Kedua anaknya, Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda) pun terkena getahnya.

Belantara Maya yang Ganas

Artikel karya Dwi Bayu Radius yang dimuat di harian Kompas.id menuliskan bahwa secepat jemarinya bergerak, pengguna media sosial menomorsatukan pembenaran, bukan kebenaran.

Dalam teori komunikasi massa, ada teori yang disebut agenda setting. Teori ini berkata bahwa media tidak mengabarkan suatu peristiwa secara utuh, melainkan membingkainya (framing) agar memenuhi kepentingan mereka sendiri. Dalam konteks saat ini ketika setiap orang dapat berperan menjadi media lantaran panggung bernama medsos, kepentingan yang lahir adalah klik dan viralitas. Orang berlomba-lomba ingin jadi pahlawan yang seolah sedang memperjuangkan sesuatu tetapi abai terhadap konteks. Warganet yang cepat terbakar emosinya pun menjadi faktor yang menyuburkan konten menjadi viral.

Kita dapat dengan mudah menjumpai konten atau peristiwa viral setiap harinya. Meskipun ada konten-konten viral yang baik seperti Twitter do your magic yang mampu mengungkap orang hilang atau kasus penipuan, tapi tak sedikit pula yang berakhir pada bully atau perundungan. Pada Juni 2022 seorang perempuan muda dihujat habis-habisan oleh warganet lantaran ada seseorang yang merekam diam-diam peristiwa ketika seorang petugas kebersihan di mal menolongnya membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak kotoran anjing. Konteks sebenarnya adalah petugas tersebut dengan rela hati menawarkan pertolongan. Tetapi, pada unggahan yang dipotong, dibingkai, dan diviralkan itu dibumbui caption bernada iba, seolah si perempuan itu merendahkan petugas kebersihan.

Vox Populi tak selalu Vox Dei

Ada ungkapan bahasa Latin yang berkata: Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan ini kerap dipakai dalam dunia politik yang menegaskan bahwa suara mayoritas bisa jadi representasi dari kehendak Tuhan.

Namun, dalam konteks bermasyarakat kita di masa sekarang, sebagai orang Kristen kita perlu mengingat bahwa kebenaran dan kehendak Allah tidak berbicara soal jumlah suara mayoritas. Semisal, ketika seisi kelas sepakat membeli kunci jawaban ujian nasional, tidak berarti mencontek itu menjadi benar. Atau, ketika orang berbondong-bondong menerobos lampu merah di suatu perempatan yang sibuk, itu tidak berarti lampu merah tersebut menjadi salah.

Tidak mudah untuk berdiri teguh ketika hampir semua orang di sekeliling kita melakukan yang berbeda. Inilah yang disebut sindrom mob mentality, yaitu pola pikir atau kecenderungan ketika seseorang mengikuti atau meniru sekelompok orang tanpa mengerti hal tersebut salah atau benar. Dalam Alkitab, kita dapat melihat perilaku mob mentality ini dalam kasus Stefanus, martir Kristen pertama. Dalam Kisah Para Rasul 6:8-15, dikisahkan bahwa anggota rumah ibadah Yahudi tak sanggup melawan hikmat Stefanus dalam perdebatan. Alhasil mereka menebarkan berita palsu, menuduh Stefanus telah menghujat Musa dan Allah supaya Stefanus dihukum. Massa pun mengamuk karena merasa tersakiti oleh Stefanus. Pada pasal 7 ayat 54-60, dituturkan akhirnya Stefanus diserbu, dihalau ke luar kota, dan dirajam hingga meninggal.

Kisah Stefanus adalah contoh yang relevan hingga sekarang, tentang bagaimana berita bohong dapat dengan mudah disebarkan dan memantik emosi massa. Hari-hari ini, ketika zaman telah berkembang pesat, kecenderungan untuk menelan mentah-mentah berita bohong itu tetap ada. Dalam konteks media sosial, mungkin kita tidak merajam seseorang dengan batu, tetapi dengan kata-kata hujatan yang kita ketikkan dengan begitu luwesnya. Ganasnya tindakan ini dipengaruhi juga oleh pola pikir mob mentality yang turut diperparah dengan mudahnya seseorang menyembunyikan identitas atau jati dirinya menggunakan akun alter atau anonim. Tak cuma kritik atas karya, tapi juga menyerang pribadi seseorang. Jika kita mudah terpancing emosinya saat bermedsos, Pemazmur mengundang kita untuk “jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu” (Mazmur 34:14).

Ketika warganet dengan semangat merundung seseorang lalu menghukumnya dengan cancel-culture karena satu peristiwa yang kita tak ketahui konteks utuhnya, kita perlu berhenti sejenak: apakah kita perlu menanggapi peristiwa tersebut dan menuturkannya kepada orang lain? Atau, cukup melihat dan menyimpannya dalam hati? Untuk memutuskan ini kita membutuhkan hikmat ilahi (Amsal 2:6), yang menolong kita untuk bisa mengidentifikasi apa yang terbaik yang dapat dan perlu kita lakukan.

Hikmat ilahi jugalah yang akan memampukan kita untuk menyaring apa yang baik dari dunia maya, khususnya media sosial. Kejadian-kejadian dan budaya buruk yang hadir di sini tidak berarti bahwa dunia maya adalah dunia yang mutlak rusak, tetapi ini adalah dunia yang di dalamnya terbuka luas kesempatan untuk kita dapat memuridkan dan dimuridkan. Meski tidak segaduh konten-konten negatif, ada banyak tokoh dan konten yang digerakkan oleh visi mulia, yang tidak menjadikan klik dan viral sebagai tujuan.

Menutup tulisan ini, aku teringat akan kisah ketika para gembala cepat-cepat berangkat menjumpai Maria, Yusuf, dan bayi Yesus (Lukas 2:8-20). Saat tiba di sana, para gembala pun bercerita tentang kejadian luar biasa yang baru saja mereka alami: para malaikat tampak bersama bala tentara surga dan memuji Allah. Coba kita bayangkan. Jika kita adalah para gembala yang sedang duduk-duduk menjaga domba di padang rumput luas kala malam, mungkin kita akan kaget dan seolah tak percaya didatangi malaikat, lalu kita pun dengan segala macam ekspresi menceritakannya pada orang lain. Menariknya, pada ayat 19 dituliskan bahwa Maria memilih menanggapi cerita para gembala itu dengan tenang, dia “menyimpan semua hal itu di dalam hatinya dan merenungkannya”.

Pada dunia yang sangat berisik dan telah tersapu tsunami informasi, dengan hikmat dan tuntunan Roh Kudus barangkali kita dapat melakukan apa yang Maria telah lakukan, yakni menyimpan apa yang telah kita lihat, dengar, atau rasakan dalam hati kita dan merenungkannya terlebih dulu sebelum kita memutuskan apakah kita perlu meneruskannya pada orang lain, atau menyimpannya di dalam hati.

Ketika di depanku tersaji suatu peristiwa,

Kiranya terbitlah lebih dulu kesabaran untuk melihat, mencerna, memilah, serta memutuskan apakah itu patut kututurkan ulang, atau sekadar kusimpan dalam hati.

Agar dari dalamku, janganlah lahir penghakiman yang mendahului pengertian.

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Diam, Tak Bisa Melawan

Oleh Nurafni

Orangtua kemungkinan besar akan bangga ketika mengetahui anaknya dapat bersekolah di sekolah favorit. Tak cuma orangtuanya, anaknya pun tentulah merasa bangga. Itulah perasaanku ketika aku diterima di sekolah favorit sewaktu SMP. Ketika teman-teman SD-ku beserta orangtua mereka meremehkan dan berkata bahwa mustahil aku dapat bersekolah di sana, tetapi Tuhan Yesus berkehendak lain dan melunturkan stigma mereka tentangku.

Perasaan bahagia dan berharap besar akan kehidupan SMP-ku untuk berjalan lancar terus mengelilingiku, karena aku satu-satunya murid dari SD-ku dan lingkunganku yang dapat masuk ke sekolah tersebut. Awalnya aku berpikir bahwa aku dapat menjalani masa-masa remajaku ini dengan baik dan penuh tawa. Saat kelas VII, aku ditempatkan Tuhan di kelas yang seru dan nyaman dengan teman-teman yang kocak. Bisa dibilang aku sangat bahagia sewaktu kelas VII ini.

Tetapi keadaan kemudian berbanding terbalik ketika aku menginjak kelas VIII. Di mana setiap pergantian kelas setiap siswa akan diacak sehingga aku mempunyai teman dan lingkungan baru dalam suasana kelas yang baru juga. Kali ini, aku ditempatkan Tuhan dengan orang-orang yang suka mengolok orang lain untuk menjadi bahan hiburannya. Aku termasuk ke dalam bahan hiburan dan tawaan mereka karena warna kulitku yang lebih gelap. Hampir setiap hari dalam kelas itu aku selalu diolok-olok. Bahkan di saat jam pelajaran pun saat guru sedang menjelaskan, mereka berbisik-bisik sambil menatapku dan sambil melontarkan kata-kata hinaan. Mereka memandangku seolah-olah aku adalah sebuah ‘barang’ yang buluk dan telah usang. Bahkan lebih dari itu, aku seakan-akan seperti monster di hadapan mereka. Kata-kata mereka yang menyakitkan terus terngiang bahkan membuatku menangis seketika itu juga. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya tertunduk dan mengambil earphone dan mendengarkan lagu “Hanya dekat kasih-Mu Bapa”. Dalam penggalan lirik tersebut terdapat kalimat. “walau dunia melihat rupa, namun Kau memandangku, sampai kedalaman hatiku”. Aku pun merasa tenang dan dikuatkan walaupun hatiku menangis. Aku menyadari bahwa cara Allah memandangku berbeda dari cara dunia. Mengetahui Allah tidak memandang fisikku memberiku kekuatan untuk menjalani kehidupan masa remajaku.

Meskipun aku sempat kecewa pada diri sendiri dan kepada Tuhan yang membiarkan hal ini terjadi padaku, namun hal itu tidak membuat Tuhan menunda pekerjaan tangan-Nya. Aku pun diberi kekuatan untuk mulai membiasakan diri dengan hinaan serta olokan mereka yang melukai perasaanku hampir tiap hari sepanjang kehidupan SMP-ku. Tetapi aku lantas tidak bersedih lagi karena hal-hal itu. Rasa sakitku diganti dengan perasaan kagum kepada Tuhan atas penyertaan-Nya melalui orangtua yang baik, menghiburku dan mendukungku. Ketika aku kembali berpikir saat ini, kenapa sewaktu aku mengalami perundungan aku tidak melawan dan menghajar mereka? Kenapa aku lemah sekali? Kenapa aku malah menyiksa diriku sendiri karena perkataan mereka? Oh mungkin karena aku merasa tidak dapat melawan mereka, temanku tidak ada yang membelaku.

Tetapi setelah berpikir sampai saat ini aku menemukan jawaban yang Tuhan berikan padaku. Bahwa penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi atasku tidak melebihi kekuatanku. Bahkan lebih daripada itu, penderitaan yang aku alami tidaklah seberapa besar dari apa yang telah Tuhan Yesus alami. Dia dihina, dicaci, diludahi bahkan disalibkan. Yesus yang tidak mengenal dosa menerima perlakuan tidak manusiawi itu dan tidak melawan. Yesus taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib. Mengapa aku bersungut-sungut? Mengapa aku merasa menyesal karena tidak melawan?

Aku pun menyadari bahwa melalui penderitaan yang kualami tersebut, Tuhan Yesus ingin supaya aku lebih mengenal Dia satu-satunya pribadi yang tidak pernah meninggalkanku. Tuhan Yesus ingin menunjukkan bahwa manusia dapat mengecewakan, tetapi Dia tidak. Bahkan sekalipun aku merasa ditinggalkan namun Dia tak pernah jauh dariku. Hal ini dibuktikan dengan aku bisa melewati kehidupan SMP-ku dan Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya dengan memberikanku kepandaian dan nilai yang cukup memuaskan. Memang aku tidak diterima di kehidupan teman-temanku. Tetapi Tuhan Yesus menerimaku apa adanya dan Dia mengizinkanku untuk membuat orangtuaku bangga.

Dari pergumulan ini aku belajar bahwa lebih baik berlindung kepada Tuhan daripada percaya kepada manusia (Mazmur 108:8). Sedekat atau seakrab apa pun kita dengan teman kita, mereka belum tentu dapat menolong kita. Hanya Tuhan yang dapat menolong dan menjadi sandaran kita. Namun bukan berarti kita menjadi membenci teman kita. Aku sekalipun tidak membenci teman-temanku yang tidak beraksi menolongku saat aku diperolok. Aku menyadari bahwa mereka hanyalah manusia terbatas dan mungkin saat itu mereka juga sedang merasakan pergumulan atau penderitaan tersendiri. Dengan begitu pula, aku mulai menjadi akrab dengan Kristus dan merasakan ketenangan sejati hanya dari pada-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menemukan Passion: Kombinasi Sukacita dan Derita

Passion biasanya identik dengan apa yang kita senangi. Tapi, seiring proses ketika kita dihadapkan dengan tantangan dan rintangan, apakah kita tetap setia melakukan passion tersebut?

Mengalami Kehadiran Allah Ketika Menghadapi Bullying

Oleh Meysinta Sitompul* Semarang

Boss Wadulan” (Wadulan yang berarti tukang ngadu dalam bahasa jawa)

Dua kata itu dipakai teman-temanku untuk menjulukiku sewaktu masih duduk di bangku SMP. “Wadulan” berasal dari bahasa Jawa, artinya “tukang ngadu”. Aku masih ingat betul rasanya ketika kata “Boss Wadulan” itu diucapkan teman-temanku ketika aku lewat. Entah mau menuju kelas, kantin, atau ruang manapun setiap bertemu teman-teman aku selalu diteriakkan dengan dua kata tersebut.

Aku pernah menjadi korban bullying sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Sekolahku adalah sekolah swasta yang memiliki peraturan ketat dan menanamkan prinsip kedisiplinan bagi seluruh siswanya. Salah satu aturannya adalah setiap siswanya dilarang membawa hand-phone (HP) ke sekolah. Namun, banyak siswa yang melanggar. Mereka membawa HP dan menyembunyikannya di laci-laci tas mereka. Berawal dari kesalahpahaman teman-temanku, mereka semua menuduhku telah “mewadulkan” teman-temanku yang membawa HP ke pihak BK. Padahal sejujurnya mereka tidak mengerti kisah yang sesungguhnya.

Kisah ini berawal pada saat aku tak bisa berbohong kepada guru yang bertanya kepadaku. “Non, teman sekelasmu ndak yo ada yang bawa HP ke sekolah?”

Pada saat itu aku ingat betul aku sempat terdiam dan berpikir cepat. Jika aku membela temanku berarti aku telah berbohong kepada guru yang menjadi orang tuaku di sekolah. Namun, jika aku jujur, sebetulnya aku sudah mengira bahwa aku akan mendapat respons tidak menyenangkan dari temanku.

Pada saat itu aku tak menyangka akan di-bully habis-habisan secara mental, perkataan, bahkan fisik sampai aku lulus SMP. Aku ingat betul ketika satu kelas bahkan satu angkatan mulai merundungku. Aku tidak memiliki teman di kelas, setiap ada tugas kelompok tidak ada satu pun yang mau menerimaku. Bahkan bagi mereka adalah hal yang “sial” ketika harus sekelompok denganku. Selain dirundung lewat perkataan, mereka juga pernah merundungku secara fisik. Aku masih ingat betul nama, wajah, dan ekspresi mereka ketika merundungku. Di kelas aku dihempas menggunakan pintu saat aku hendak masuk ke kelas. Sakit betul rasanya karena pintu itu mengenai hidungku walaupun aku langsung refleks mengelak ke belakang.

Pernah juga sewaktu aku duduk di bangku kelas 9, kelasku ada di koridor bawah, aku disiram air oleh teman-temanku yang kelasnya di koridor atas. Sakit rasanya ketika tidak ada satu pun teman yang mau mengerti bahkan semua menyalahkanku yang dikira “wadulan”. Aku yang biasanya ceria dan mudah tertawa menjadi siswa pendiam dan banyak menahan beban sendiri karena tidak ada satu pun yang mau mengerti dan mau menjadi seorang pendengar. Setiap hari aku ke sekolah dengan perasaan takut.

Sewaktu aku SMP, aku belum mengerti banyak tentang peran Tuhan di tengah pergumulan. Sifatku yang labil membuatku kemudian menjauh dari Tuhan. Aku merasa, “Ah mereka yang membullyku juga percaya Yesus tapi buktinya Tuhan gak negor dia… katanya Tuhan baik mana buktinya?…” Namun seiring berjalannya waktu aku sadar ada banyak bukti bahwa Tuhan tetap menyertaiku hingga aku lulus dan masuk ke SMA favorit di kotaku.

Meskipun teman-teman sekolahku merundungku, Tuhan menganugerahiku dengan kedua orang tua yang selalu menyemangatiku saat aku takut. Dan, meskipun saat itu aku belum mengerti tentang peranan Tuhan dalam pergumulanku, Tuhan nyatanya tidak meninggalkanku. Saat hatiku disakiti, Roh Kudus memberiku penghiburan dan kekuatan agar hatiku dapat berkata, “Ampuni mereka”. Roh Kuduslah yang memampukanku.

Lukas 17:4 berkata, “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” Mengampuni orang lain memang berat, namun janganlah berhenti untuk mengampuni orang lain.

Aku bersyukur telah dimampukan-Nya melalui masalah tersebut sehingga aku bisa lebih dewasa sekarang. Jika ada di antara kamu yang mengalami perundungan atau penolakan dari rekan-rekanmu, tetaplah semangat. Ingat kita tidak berjalan sendiri, namun ada Tuhan yang melindungi kita dari berbagai pencobaan. Jika hatimu berduka, kiranya Roh Kudus menghibur dan menguatkanmu sehingga kamu mampu untuk mengampuni mereka dan beroleh damai sejahtera dari Allah.

Tuhan Yesus memberkati.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Penelitian tugas akhirku sedianya akan dilakukan di rumah sakit. Tapi, karena pandemi ini, aku tidak bisa melakukan penelitian dan terancam tak lulus tepat waktu. Namun, di masa-masa inilah aku belajar menikmati kedamaian dari Tuhan.

Kisahku sebagai Korban Bullying yang Berharga di Mata Allah

Oleh Suparlan Lingga

“Emang dipikirnya dia itu siapa?”
“Sombong benar orang itu.”
“Kata-katanya sungguh menyakitkan hatiku, ingin rasanya kusumpal dan kurobek mulutnya itu.”
“Ah, kenapa orang-orang itu suka memandang remeh diriku, aku harap mereka lenyap dari muka bumi ini!”

Beberapa ungkapan di atas menggambarkan kondisi dan perasaan hatiku ketika dulu masih belum mengenal Allah secara pribadi. Ketika masih SMA, aku sering merasa marah, kecewa, dan dendam dengan perkataan dan perilaku teman sekelasku yang suka merundung (bully) dan mengolok-olok orang lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik perundungan, mengolok-olok, meremehkan, dan sebagainya memang kerap terjadi di berbagai sekolah, tak terkecuali sekolahku. Berhadapan setiap hari dengan orang-orang yang suka merundung tersebut rasanya selalu membuatku ingin marah, kesal, dan juga kecewa. Aku tidak suka dengan realitas hidup seperti ini.

Namun, sebenarnya yang menjadi persoalan utama bukanlah orang-orang yang mengolok-olokku itu, melainkan caraku menyikapi mereka. Untuk membalas perilaku mereka, aku merasa perlu menonjolkan eksistensi diri agar mereka tidak memandang rendah diriku, bahkan kalau bisa supaya mereka takut kepadaku. Aku menantang siapa saja yang kuanggap meremehkanku, bahkan mengajak mereka berkelahi secara fisik. Aku juga bergabung dengan kelompok atau geng siswa yang dianggap nakal. Kupikir, dengan cara ini aku bisa menunjukkan siapa diriku.

Selanjutnya, di sekolah pun aku menjadi anak yang bandel. Aku mulai ikut-ikutan bolos dengan teman-teman satu geng, malas belajar, dan sering tidak mengerjakan tugas. Beberapa kali wali kelasku memberikan peringatan, bahkan sampai membuat surat panggilan untuk orangtua, tapi surat itu tidak pernah kusampaikan. Nilai raporku pun menjadi buruk. Puncaknya, aku tidak bisa mengikuti ujian caturwulan karena belum membayar uang sekolah. Uang yang seharusnya kubayarkan ke sekolah malah kupakai jalan-jalan dan berjudi. Akhirnya, keluargaku memutuskan untuk memindahkanku dari sekolah tersebut.

Meski sebenarnya aku menolak, namun aku tidak memiliki pilihan lain dan aku pun menuruti keputusan keluargaku yang memindahkanku ke sebuah kota kecil. Namun, siapa sangka bahwa kepindahanku inilah yang justru membawaku kepada pengalaman baru. Kebetulan, di kota itu aku tinggal di sebuah keluarga Kristen yang taat. Mereka mengajakku beribadah ke gereja, berdoa bersama, dan saat teduh setiap pagi. Awalnya, aku melakukannya dengan setengah hati dan cenderung ingin menolak. Namun, mereka tetap mengajakku dengan lembut hingga lama-kelamaan aku mulai tergugah dan mengikuti ajakan mereka. Di sini aku mulai belajar untuk membaca dan memahami Alkitab dengan sungguh-sungguh. Aku juga mulai ikut persekutuan anak muda yang membantu imanku terus bertumbuh dalam Kristus. Kepindahan ke kota kecil inilah yang memberiku kesempatan untuk mengenal dan menerima Kristus dalam hidupku.

Hal paling mendasar yang kurasakan ketika mengenal Kristus secara pribadi adalah perubahan cara pandangku terhadap diriku sendiri. Aku diingatkan bahwa Alalh sangat mengasihiku. Aku adalah ciptaan-Nya yang berharga, seperti tertulis demikian: “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:4). Allah telah menunjukkan kasih-Nya secara nyata kepadaku melalui pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menebus dosa-dosaku.

Mengetahui kebenaran bahwa Allah begitu mengasihiku membuatku tidak perlu cepat marah dan dendam ketika diperlakukan tidak baik oleh siapapun. Aku tidak perlu merasa berkecil hati atau cepat tersinggung ketika merasa ada orang yang menganggap remeh diriku. Aku juga belajar bahwa segala kemarahan, sakit hati, kekecewaan, dan dendam yang kurasakan sebelumnya merupakan salah satu wujud dari egoku sendiri.

Dengan cara pandang yang baru ini, maka aku bisa membuat perubahan dalam menjalani hidupku. Ketika ada orang yang memperlakukanku dengan tidak baik, aku tidak akan segera marah, melainkan mencoba mengendalikan diri dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai bagian dari pembelajaran hidupku. Ketika ada orang lain yang memandang remeh diriku, aku tidak langsung berkecil hati ataupun sakit hati. Dengan memohon hikmat Allah, aku belajar untuk lebih bijak ketika menghadapi berbagai perlakuan yang kurang menyenangkan.

Puji Tuhan, dengan perubahan-perubahan inilah akhirnya aku bisa melanjutkan sekolahku dengan baik. Allah menolongku untuk menjadi seorang siswa yang bersemangat. Dan, karena pertolongan-Nya pula aku bisa meninggalkan pergaulan dan kebiasaanku yang buruk. Akhirnya, aku bisa menyelesaikan SMA dengan nilai yang bagus dan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri. Setelah lulus kuliah, aku bekerja selama beberapa tahun dan melanjutkan kembali studi pasca-sarjanaku di Amerika Serikat.

Ini semua karena kebaikan Allah semata. Aku percaya dan mengimani bahwa diriku berharga di hadapan-Nya. Hidup kita berharga bagi Allah.

Baca Juga:

Dilemaku Ketika Aku Divonis Menderita Penyakit Kista

Setahun lalu, sebuah penyakit kista coklat bernama endometriosis yang dikhawatirkan oleh banyak perempuan muncul di rahimku. Dokter menganjurkanku untuk operasi dan berkat kasih karunia Tuhan, operasi tersebut berjalan lancar. Akan tetapi, setahun berselang, penyakit itu kambuh kembali dan sudah melengket pada usus dan saluran kemihku.