Posts

3 Cara Memuliakan Tuhan dengan Emosimu

Oleh Charmain Sim.

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways to Glorify God with Your Emotions.

Masa-masa menjadi ibu menunjukkanku bahwa sebenarnya aku bukanlah orang yang kalem seperti yang kukira dulu. Semenit pertama aku kesal karena anakku tidak membereskan mainannya. Menit kedua, aku tertawa melihat tingkahnya menepuk-nepuk krayon supaya krayon-krayon itu tidur. Sukacita, frustrasi, senang, lelah, empati, tergesa-gesa, antusias, dan kesedihan—semuanya adalah emosi yang hadir setiap hari seperti roller-coaster.

Hasilnya, saat ini aku mengerti lebih baik tentang volatilitas emosi. Artinya, emosi itu bisa berubah dengan sangat cepat, mendorong dan menarikku ke berbagai arah jika aku bertindak berdasarkan apa yang kurasakan pada suatu saat. Mengalami berbagai macam emosi setiap hari membuatku merenung: apakah ada cara yang lebih baik untuk menanggapi setiap perasaanku?

Tidaklah salah untuk merasakan sesuatu. Perasaan diciptakan oleh Allah. Perasaan bisa dan harus memuliakan Allah (1 Korintus 10:31). Alkitab selalu bicara tentang seseorang secara utuh, seperti yang Yesus sampaikan di Matius 22:37, Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.”

Pertanyaannya adalah: Bagaimana? Apa artinya memuliakan Allah dengan sesuatu yang tidak berwujud seperti perasaan?

Salah satu ayat favoritku mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23).

Gambaran yang muncul ketika kita berpikir tentang “menjaga hati” adalah memasang pagar pengaman untuk menjaga hati kita dari segala sesuatu yang tidak kita inginkan. Tapi, supaya memastikan hati kita memancarkan kehidupan, kita harus melihat ke dalam pagar pengaman itu, untuk menyelidiki apa yang ada di dalamnya, yakni emosi kita. Apakah emosi kita berada di bawah naungan terang kebenaran ilahi supaya kita bisa menanggapi segala sesuatu dengan cara yang sesuai Alkitab?

Ini sama sekali bukan daftar lengkap tentang cara-cara menangani emosi kita, tetapi ada tiga kebenaran yang saat ini sedang kupelajari untuk kuterapkan pada emosiku, dalam upayaku untuk menjaga hatiku lebih baik.

1. Akui dan serahkan emosimu pada Allah

Akan lebih mudah untuk memuliakan Allah ketika kita sedang mengalami emosi yang positif. Dulu aku percaya bahwa merasa negatif itu tidak baik. Ketika aku sedih atau marah, aku memilih mengubur perasaan ini daripada mengutarakannya. Kecenderungan ini muncul karena watak alamiku, tetapi pengalamanku di masa lalu juga turut mempengaruhi bagaimana aku merespons. Namun, Alkitab menunjukkan sebaliknya, terkhusus di kitab Mazmur. Tidaklah salah untuk mengakui perasaan-perasaan kita. Faktanya, raja Daud datang kepada Allah membawa serta seluruh emosi negatifnya: ketakutan, kesedihan, kesepian, kemarahan, rasa sakit.

Tahun lalu aku bergumul dengan amarah. Dipicu hal kecil, awalnya aku berpikir untuk mengabaikan saja masalahnya. Tapi, semakin kuabaikan, semakin rasa marah itu tumbuh. Ketika aku jujur pada Tuhan, Dia membuka pandanganku untuk melihat bahwa kemarahanku lahir dari persepsiku bahwa aku gagal untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Hanya ketika aku mengakui dan jujur, di situlah Tuhan menyentuh dan membebaskanku dari belenggu kemarahan.

Aku belajar apa yang selama ini Daud ketahui: mengakui perasaan kita kepada Tuhan bukanlah suatu kelemahan. Sebaliknya, ketika kita melakukannya, kita mengaku bahwa kita membutuhkan Dia dan kita siap mendengar apa yang Allah ingin katakan buat kita. Dengan mengakui, kita turut menyatakan bahwa Allah jauh lebih besar daripada emosi yang dapat mengendalikan kita. Saat kita menjadikan Allah sebagai kekuatan dalam kelemahan kita, kita memuliakan Dia. Inilah mengapa, apa pun yang terjadi Daud tetap dapat memuji Allah (Mazmur 43:5).

2. Bicarakan firman Allah kepada emosi yang kamu rasakan

Ada saat-saat ketika aku dicengkeram rasa takut. Aku takut orang yang kukasihi meninggal. Takut akan keamanan. Takut melukai bayiku. Takut kehilangan kewarasanku. Ketakutan itu datang dalam berbagai bentuk dan ukuran dan selalu mencengkeramku. 

Tapi, tiap kali merasa takut, kubuka Alkitabku. Ayat-ayat seperti Roma 8:15 atau 2 Timotius 1:7 yang menyatakan bahwa Allah memberikan kita bukan roh ketakutan, tetapi roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan penguasaan diri, telah menolongku berjuang melawan rasa takut. Aku dikuatkan dan dibebaskan ketika menjadikan ayat tersebut doa buatku sendiri. Ketika firman itu kukatakan pada perasaanku, ketakutanku tidak langsung hilang. Namun, ketika aku terus melakukannya, pelan tapi pasti, rasa takut itu kehilangan daya cengkeramnya pada diriku.

Bukan berarti aku tidak lagi merasa takut, tapi sekarang aku bisa melihat dengan lebih baik bagaimana perasaanku sendiri mengarahkanku. Ketika perasaanku mengalihkanku menjauh dari Tuhan, aku bisa melawannya dengan senjata yang Tuhan telah berikan. Ketika aku melakukan ini, aku sedang memuliakan Dia.

3. Ubah emosimu menjadi tindakan

Meskipun perasaan kita bisa jadi indikator akan kondisi batin kita, perasaan juga bisa jadi cara Tuhan menyatakan kerinduan-Nya bagi kita agar kita bisa berjalan menuju tujuan-Nya bagi kita.

Membaca berita tentang anak-anak yang diperjualbelikan membuat kita marah. Mendengar tentang kehilangan seorang teman membuat kita sedih. Menyaksikan masalah sosial di kota kita membuat kita putus asa. Daripada berkubang dalam perasaan-perasaan itu, membanya ke hadapan Tuhan akan menolong kita memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan.

Yesus ingin pergi menyendiri, tetapi Dia tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak yang lapar sehingga Dia pun memilih melayani mereka (Markus 6:30-44). Setelah mendengar tentang reruntuhan Yerusalem, Nehemia mengubah kesedihannya menjadi tindakan nyata dengan memulai kembali pembangunan tembok kota (Nehemia 1).

Berjuang demi keadilan sosial, menghibur seorang teman, atau berlutut dalam doa syafaat—ada kalanya Roh Kudus mendorong kita untuk melakukan tindakan yang diarahkan Allah melalui emosi kita. Untuk memastikannya, kita perlu berhenti sejenak. Jika itu memang dari Roh Kudus, maka respons kita adalah taat. Itulah momen ketika letupan emosi kita bisa berubah menjadi tindakan yang memuliakan Allah.

***

Sejak aku berdamai dengan emosi-emosi dalam diriku, aku telah menemukan bahwa emosi adalah alat yang berguna untuk mengukur bagaimana kondisi batinku–dan aku ingin mengajakmu untuk melakukan yang sama. Saat kita memahami hati kita lebih baik, kita bisa mengambil langkah yang tepat untuk memuliakan Tuhan. Dari berserah kita jadi berdaya untuk taat. Perasaan kita bisa jadi sarana yang mendorong kita untuk memelihara “mata air” kehidupan dalam diri kita yang mengalirkan kasih, kebaikan, dan anugerah Tuhan.

Kiranya apa yang dituangkan keluar dari hati kita memuliakan Allah dalam segala hal.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagaimana Jika Aku Menyerobot Antrean Pulang ke Rumah Bapa?

Oleh Aris Budhiyanto

Bulan Oktober kemarin, bertepatan dengan hari peringatan kesehatan mental sedunia yang jatuh pada tanggal 10, aku banyak menemukan artikel yang membahas seputar kesehatan mental. Beberapa artikel yang kubaca membahas tentang kasus bunuh diri. Aku pun tergelitik karena tujuh tahun lalu aku pernah berpikir untuk meninggalkan dunia ini dengan sengaja.

Saat itu usiaku menginjak akhir 20-an, usia di mana seseorang mulai dianggap mapan secara finansial maupun dalam berkarier. Namun, hal itu tidak berlaku bagiku. Saat itu aku baru saja menyelesaikan pendidikan magister dan sudah beberapa bulan bergumul mencari kerja. Sedikit cerita tentang latar belakangku, sebelum memutuskan untuk melanjutkan studi, aku sudah beberapa tahun bekerja di sebuah kantor yang cukup baik di Jakarta, tapi aku meninggalkan pekerjaan lamaku dan melanjutkan studi magister untuk menjadi seorang pengajar. Keputusan ini sudah kudoakan sejak aku masih duduk di bangku kuliah. Tentu saja pilihanku ini kontroversial, terutama bagi orang tuaku karena mereka mengharapkanku bekerja di sektor industri. Namun, mereka tidak menghalangiku.

Berbulan-bulan menganggur dan mencari kerja, yang kudapat hanya penolakan. Orang tuaku yang turut mempertanyakan keputusanku dan mencoba mendorongku kembali ke pekerjaan lamaku membuatku merasa tertekan dan depresi. Bahkan aku mulai meragukan Tuhan dan keputusan yang kuambil. Malam demi malam aku berdoa. Salahkah aku memutuskan meninggalkan pekerjaan lamaku? Apakah hal yang aku doakan selama ini tidak berkenan kepada Tuhan? Jika demikian, mengapa Dia tetap menuntunku dan membawaku sampai di titik ini? Apakah Tuhan menghendaki aku untuk gagal? Apakah Tuhan tidak lagi mengasihiku? Lalu untuk apa aku hidup di dunia ini?

Saat itulah pikiran untuk meninggalkan dunia ini muncul. Aku ingin menghilang dan melepaskan diri dari semua ini. Tak jarang aku bercanda dengan teman-temanku, “bagaimana jika aku menyerobot antrean pulang ke rumah Bapa?”

Namun, puji Tuhan, Dia tidak membiarkanku mengambil keputusan yang salah. Aku masih takut akan Tuhan dan masih menyadari bahwa mengakhiri hidup bukanlah solusi akhir. Melalui teman-temanku, Tuhan menguatkan aku. Dia juga menuntunku untuk berkonsultasi ke psikolog yang melayani di gerejaku. Memang, kami tidak bisa menjawab mengapa Tuhan membiarkanku melewati semua ini, namun imanku semakin dikuatkan dan diteguhkan.

Aku menggunakan waktu menganggurku untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, berdoa, membaca firman dan mendengarkan lagu rohani, serta mengevaluasi diri hingga berserah. Aku sadar aku lebih ingin mengikuti egoku daripada mencari kehendak-Nya. Karena itulah aku marah ketika Tuhan tak kunjung menjawab doaku, hingga aku menolak semua hal baik yang Tuhan karuniakan, termasuk hidupku. Bisa dikatakan Tuhan menggunakan waktu menganggurku untuk membentuk karakterku agar aku tidak menyerah, tetapi berserah. Aku tidak lagi bersikeras untuk bisa menjadi pengajar dan mulai memikirkan pekerjaan lain jika Tuhan tidak menghendaki aku melayani di bidang pendidikan.

Saat itulah Tuhan justru menjawab doaku. Dia memberikan pekerjaan di kampus yang dulu aku menempuh studi S1. Masa-masa pergumulan itu kurasa memang Tuhan siapkan untuk menguji dan membentuk karakterku agar aku siap menjadi seorang pendidik. Setelahnya, barulah Tuhan mengutusku untuk melayani-Nya. Bukan lagi karena keinginanku, tapi atas kehendak dan kedaulatan-Nya.

Sekarang aku sudah hampir menyelesaikan studi doktoralku. Puji Tuhan, atas seizin-Nya aku diberi kesempatan untuk melanjutkan studi keluar negeri. Tentunya kehidupanku selanjutnya tidak mudah, bahkan aku juga mengalami banyak masalah yang membuatku tertekan dan depresi. Tapi, aku tidak lagi berpikiran untuk meninggalkan dunia ini karena aku punya Tuhan yang senantiasa menuntunku dan memegang erat tanganku, bahkan ketika aku melepaskan pegangan tanganku.

Melalui tulisan ini, aku berharap jika kalian sedang mengalami masalah yang sangat berat, hingga pernah berpikiran untuk meninggalkan dunia ini, kiranya ceritaku bisa menguatkan kalian dan menghilangkan pikiran itu. Meskipun aku tidak tahu apa masalah yang kalian hadapi, Tuhan tahu dan mengasihi kita semua, hingga Dia bersedia mati di kayu salib agar kita beroleh keselamatan. Jangan sia-siakan anugerah kehidupan yang tak ternilai ini.

Carilah pertolongan, melalui komunitas gereja yang dapat menjadi support system, atau ke psikolog.

Akhir kata, aku ingin membagikan ayat yang menjadi peganganku selama ini: 

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Ulangan 31:6).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sudah Sulit Cari Tempat Magang, Eh Ditambah Jadi Ketua Natal!

Oleh Ingan Girsang, Medan

Aku adalah sosok yang bisa dibilang perfeksionis, tapi seringkali aku tidak menyadarinya. Ketika teman-temanku tidak on-time saat ketemuan, itu seketika membuatku jadi bad mood. Atau, ketika ada janji yang dibatalkan tiba-tiba, padahal diri sendiri sudah mempersiapkan diri, aku pun kecewa. Hasil dari perfeksionis ini tak cuma rasa kecewa, tapi juga kecenderungan untuk menyalahkan keadaan atau diri sendiri yang ujung-ujungnya jadi beban buatku.

Saat kuliahku memasuki semester tujuh, pergulatan antara taat pada proses dan jiwa perfeksionisku beradu. Di semester itu aku diwajibkan untuk melaksanakan magang dan kupikir proses ini akan mudah. Di bulan Juli 2022, sudah banyak temanku yang mendapatkan tempat magang, sementara aku masih belum dapat karena masih mencari tempat yang sesuai dengan konsentrasi studiku. Aku memilih konsentrasi Politik Internasional yang mewajibkanku untuk mencari tempat magang di kantor pemerintahan atau perusahaan internasional. Jungkir balik dengan ekspektasiku, ternyata sangat sulit diterima dan mendapatkan tempat magang untuk konsentrasiku di kota Medan.

Kucoba daftar posisi internship di kantor konsulat India pada bulan Juli, tapi sampai Oktober belum juga ada panggilan. Saat itu aku ingat proses seleksinya. Aku duduk di depan kantor konsulat dan berkata, “Tuhan, aku yakin pasti Engkau akan menolongku dan pasti aku bisa magang. Tapi, biarlah ini atas seizin dan kehendak Tuhan.” Dengan berani dan percaya bahwa Tuhan menemani dalam setiap keadaan, aku masuk ke gedung kantor. Proses wawancara pun berhasil dan tinggal menunggu izin penerimaan dari Kementrian Luar Negeri India di New Delhi.

Tapi, sebulan dua bulan, tak kunjung berita baik kuterima sementara teman-teman seangkatanku sudah mulai magang. Dalam masa penantian ini akhirnya aku membantu dosen-dosen di jurusanku. Dalam hatiku, aku sangat khawatir jika tidak lulus di semester tujuh karena belum magang secara resmi. Dan… di tengah kondisiku yang penuh dilema itu, pengurus persekutuan memintaku untuk jadi ketua panitia Natal!

Saat itu aku hanya berpikir, “Apa ini ya Tuhan? Tempat magangku aja belum ketemu, apa yang harus kujawab ke mereka?” Dilema lain pun muncul. Kalau nanti aku diterima magang, pulang sampai sore lalu ngurus acara Natal lagi, apakah semuanya bisa berjalan baik?

Setelah bergumul, akhirnya aku menjawab bersedia jadi ketua Natal dengan anggota timku yang berjumlah empat orang. Aku hanya mengimani, “Jika Tuhan yang memilih kami, pasti Dia bakal perlengkapi.”

Dalam proses kepanitiaan ini, aku merasakan ada banyak pertumbuhan rohani dan aku benar-benar menaruh kepercayaanku pada Allah. Akhirnya, acara Natal pun berjalan baik, dan aku diterima magang di Konsulat Jenderal India di Medan. Semester itu aku diberkati Tuhan dengan IPK 4.00. Ketakutan dan kekhawatiranku akhirnya berubah jadi iman jika kita menyerahkan apa yang kita kerjakan, dan berjalan tanpa tunduk pada rasa takut, dan percaya bahwa Tuhan akan menolong dan menyertai kita.

Aku sangat meyakini bahwa ketika Tuhan menolong kita dalam peristiwa yang sebelumnya kita gumulkan dan perjuangkan, pasti di hari-hari depan Dia tetap bersama kita. Teruslah menaruh pengharapan hanya kepada Dia saja. Sebab kita sangatlah terbatas, baik dari segi kekuatan, dan kita tidak mampu mengendalikan situasi yang akan datang. Tetapi, dengan menaruh pengharapan dan penyerahan diri di dalam Dia, Kita akan mampu melangkah dengan keberanian, tanpa takut. Sebab Allah yang menolong kita dulu, adalah Allah yang sama yang terus mengawasi dan memperhatikan kita, dan seperti ada tertulis dalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat ku tanggung di dalam dia yang memberikan kekuatan kepadaku”.

Tuhan Yesus memberkati. Jangan pernah berhenti untuk berdoa, Dia Tuhan yang memperhatikan kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Untukmu yang Sedang Melewati Lorong Gelap

Oleh Yessica Anggi, Surabaya

Lorong gelap.

Itulah istilah yang kusematkan pada suatu masa ketika jalan hidupku terasa kelam. Aku pernah mengalami depresi, hilang tujuan hidup, dan kesepian. Aku tahu aku tidak bisa menyimpan semuanya sendirian, jadi kucoba untuk bercerita ke orang lain. Namun, saat itu bukannya dukungan yang kurasakan, malah penghakiman.

Kementrian Kesehatan mendefinisikan depresi sebagai sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang hati. Secara sederhana, depresi dapat dikatakan gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi perasaan, cara pikir, dan cara bertindak.

Pengalamanku dengan depresi terjadi sebagai dampak dari mengalami penolakan yang berujung kekecewaan, kegagalan dalam karier yang memaksaku memulai perjalananku dari awal lagi, juga kesepian. Aku pernah memiliki ekspektasi yang sangat tinggi buat hidupku. Aku harus jadi seperti teman-temanku yang pekerjaannya sudah lebih stabil. Soal hubungan pun aku mengatur diriku dengan ketat tanpa melihat sejauh mana kesiapan diriku. Ketika akhirnya aku terjatuh, mencari pertolongan dari orang lain terasa menakutkan karena aku takut respons mereka malah menambah rasa sakit di hati.

Sejak tahun 2022 aku bergumul dengan perasaan depresi ini, namun pelan-pelan Tuhan memberikan kedamaian hati. Dalam pekerjaanku sehari-hari di klinik perawatan pasien kanker, aku ditegur melalui cerita-cerita dari banyak pasien yang berobat. Mereka bertutur tentang beratnya perjuangan untuk bertahan dan tetap hidup. Ada seorang pasien yang bilang begini, “Aku tidak boleh nyerah, karena kehidupan yang diberikan kepadaku bukanlah kehidupan yang murah. Aku punya misi dan tugas yang belum selesai. Hidupku berharga.” Bukan hanya kata-kata itu saja yang membuatku tertegur, namun pasien itu juga mendonorkan kornea matanya! Salah satu tujuan hidupnya adalah dia ingin orang lain yang tidak bisa melihat dapat melihat indahnya dunia ini. Dengan mendonorkan korneanya, dia berharap walaupun nanti dia telah tiada, dia masih bisa menjadi berkat buat orang lain.

Cerita dan pertemuan dari orang-orang yang berjuang begitu hebat, yang tak cuma merasakan sakit di perasaannya, tapi juga di seluruh tubuh fisiknya menjadi cara Tuhan untuk membalut luka hatiku dan membuka pandanganku lebih luas. Adalah betul jika segala kepahitan hidup memaksaku masuk ke dalam lorong gelap yang panjang, tetapi imanku menolongku untuk tahu dan percaya bahwa lorong gelap itu tidak abadi. Di ujungnya, ada satu Sosok yang dalam terang-Nya menantiku untuk menikmati persekutuan erat dengan-Nya. Tuhan memberiku pemulihan meskipun semua masalah belum selesai. Saat ini aku telah bekerja kembali dan sesuai dengan janji-Nya, bila kemarin Tuhan menolongku, hari ini pun Dia akan menolong. 

Ada satu lagu yang liriknya menguatkanku.

Tuhan, Engkau memilihku
Sebelum ‘ku ada
Jemari-Mu yang menenunku
Serupa gambaran-Mu

Di saat “depresi”, pasti jalan yang kita lalui akan terasa seperti lorong gelap, namun lirik lagu itu mengajak kita untuk menyadari bahwa di balik kelamnya hidup, Tuhan merencanakan hidup yang indah dan baik buat kita. Tuhanlah yang memilihku untuk tujuan yang mulia sebelumku lahir.

Sekarang aku tahu bahwa ketika setiap orang dapat jatuh dalam depresi, kita dapat menyerahkan hidup kepada Sang Pemilik Hidup. Inilah keputusanku di tahun ini. Aku belajar untuk melepaskan kehendakku dan belajar bahwa kecewa, kesepian, dan sakit hati mungkin akan kembali kurasakan di masa depan, namun Tuhanlah yang pasti mengobatinya. Kadang kita dihancurkan untuk dibentuk kembali oleh-Nya.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang sedang bersusah hati, aku berdoa agar Tuhan menolongmu dan memberimu damai sejahtera sebagaimana dulu Dia menolongku. Tuhanlah tempat yang tepat untuk kita datang dan menyerahkan semua beban kita.

God bless you!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kutemui Tuhan di Lorong Rumah Sakit

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Sudah 24 jam lebih Frans, adikku, tak sadarkan diri. Hantaman benda tumpul yang sangat keras ke kepalanya, membuat tengkoraknya retak. Hasil CT Scan semalam menunjukkan adanya penggumpalan darah di kepala yang membuat dirinya kehilangan kesadaran dan terus kejang-kejang. Tangan dan kakinya terpaksa diikat ke tempat tidur agar posisinya terjaga dan tangannya tak mencabuti peralatan medis yang dipasang di kepala juga badannya. Tak hanya itu, dari mata kanannya yang terluka dan bengkak, masih mengalir darah segar yang membasahi perban yang melindunginya. Hematoma. Istilah asing yang kubaca pada salah satu berkas pemeriksaan yang tergeletak di meja di ujung tempat tidurnya. Operasi adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, dokter bedah saraf yang dijadwalkan untuk melakukan operasi pukul 08.00 belum tampak batang hidungnya di rumah sakit. Bahkan, sudah dua kali suster jaga di ICU/ICCU yang bolak-balik kutanyai memberi tahu perubahan jadwal operasi. 

“Pukul 10.00, Mbak!”

“Operasi dijadwalkan ulang pukul 12.00. Dokter masih melakukan operasi besar di rumah sakit yang lain.”

Sekarang sudah pukul 14.00. Pikiranku digelayuti perbincangan dengan dokter anestesi dan dokter jaga yang kutangkap ketika aku dipanggil ke ruang ICU/ICCU untuk menemui mereka. “Golden hour! Kita berkejaran dengan waktu. Peluang (hidup) pasien 40:60.“ Aku pun mengingat pesan dari pamanku yang dokter internis agar sabar mengikuti prosedur medis serta mendengar dan mengikuti setiap petunjuk dokter dengan baik ketika aku mengadu tentang jadwal operasi yang berubah-ubah saat dirinya menelepon tadi. “Sabar ya, Mbak. Kita tunggu dokter bedah.” Tepukan dokter anestesi di bahuku mengantarkan pikiranku kembali ke ruangan yang dingin dan beraroma obat itu. Ketika orang-orang menikmati tahun baru dengan berkumpul di rumah, aku memulainya di ruangan ini.

Pukul 15.00 lengking suara perawat terdengar dari ruang ICU/ICCU. “Keluarga Bapak Frans!!” Tak menunggu dipanggil dua kali, aku berlari ke depan pintu dan menampakkan muka di depan kotak kecil agar langsung dilihat suster ketika slotnya digeser.

“Saya, Suster.”

“Keluarga Bapak Frans? Dokter bedah mau bertemu, Mbak.”

Aku langsung mengenali dokternya dari seragam loreng yang melekat di badannya. Lengan bajunya dilipat hingga siku sehingga menonjolkan lengannya. Rhiza. Mataku menangkap satu kata yang disulam dengan benang hitam tebal di dada kanannya. Dia seorang dokter ahli bedah saraf terbaik di kota ini yang bertugas tetap di rumah sakit militer. Aku sedang menebak-nebak usianya tak jauh dari angka 40 ketika matanya terangkat dari berkas-berkas pasien yang dipegangnya dan melirik ke arahku, “Tindakan jam lima ya, Mbak.” Dokter Rhiza lalu menjelaskan prosedur dan proses operasi dari persiapan hingga nanti jika selesai, serta rencana selanjutnya untuk pasien. “Urgensi saat ini adalah nyawa pasien… bla… bla… bla…” Jawaban yang kuterima ketika rentetan pertanyaan seputar luka-luka serius lainnya yang perlu diperiksa, mengalir begitu saja dari mulutku. Dokter menggenggam tanganku kuat-kuat. “Doa yang kuat ya, Mbak. Saya dan tim hanyalah alat-Nya yang akan berupaya maksimal.”

Operasi hari itu selesai pukul 21.00. Frans didorong kembali ke ruang ICU/ICCU untuk pemulihan setelah sebongkah darah beku dikeluarkan dari kepalanya. Bagian tempurung kepalanya yang retak pun harus dipotong karena tak bisa lagi melindungi isi kepala. Di hari keempat, dirinya sudah sadar. Namun, dokter memberikan sedikit obat tidur agar dirinya beristirahat karena trauma dari pukulan itu membuatnya sangat kesakitan. Di hari ketujuh, Frans pindah ke kamar perawatan dan meninggalkan rumah sakit di hari keenam belas. Seminggu sekali, kami datang menemui dokter Rhiza untuk kontrol dan bersua dokter mata untuk perawatan dan operasi matanya.

Carilah TUHAN selama Ia berkenan untuk ditemui; berserulah kepadaNya selama Ia dekat! (Yesaya 55:6).

Seringkali, kita mendadak berdoa khusyuk ketika sedang menghadapi masalah yang berat. Lalu berdoa sekadarnya (bila tak ingin disebut tak lagi berdoa) ketika hidup terasa nyaman dan aman. Dilihat dari sisi siapa? Dirimu ataukah diri-Nya?

Apa yang Tuhan berikan dan tunjukkan ketika kita berdoa?

Damai Sejahtera

Ada banyak sekali omongan yang terdengar di ruang IGD, juga berbagai pembicaraan tentang kondisi Frans yang secara mata duniawi di ujung tanduk. Membawanya pergi jauh untuk menjangkau rumah sakit dengan peralatan dan pelayanan yang lebih baik hanya buang waktu saja. “Tidak usah capek-capek dan mengeluarkan biaya besar. Baru berjalan sebentar, kalian akan putar balik. Pulang (meninggal).”

Orang yang berdoa tidak terbebas dari masalah, ringan bahkan berat sekalipun. Tapi, di tengah-tengah goncangan itu, ada damai sejahtera. Rasa aman di dalam Tuhan. Rasa yang membuat hati tetap teguh dan tenang untuk mengambil keputusan-keputusan penting di saat genting.

Kekuatan

Ketidaknyamanan membuat pertumbuhan. Seorang atlet tidak mendadak bisa ikut kejuaraan tanpa melewati proses latihan. Kekuatan fisiknya terlatih lewat latihan yang dilakukan secara teratur. Sedang mentalnya, terlatih ketika mengikuti ujian lewat pertandingan. Kadang di saat latihan dan  pertandingan, ada saja yang lecet. Tapi dia harus bertahan jika ingin mencapai tujuannya. Kehidupan kerohanian pun begitu. Iman diuji bukan ketika keadaan sedang aman dan nyaman. Iman diuji lewat berbagai masalah yang Tuhan ijinkan terjadi untuk melatih pertumbuhan iman. Kekuatan untuk bertahan itu didapatkan dengan tertanam dalam-dalam pada hadirat-Nya. 

Pada waktu tunggu yang tak menentu di ruang tunggu ICU/ICCU itu, Tuhan berikan kekuatan lewat doa, baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama dengan keluarga/kerabat yang datang berkunjung. Kekuatan itu pun datang ketika berjalan dari ruang tunggu ICU/ICCU ke farmasi atau ke ruang radiologi, di toilet dan ruang lainnya dengan mulut dan hati tak berhenti untuk worship (menyembah) dan berdoa. Tuhan Maha Hadir. Dia hadir dan selalu ada kapanpun kita ingin berbincang dengan-Nya, di manapun! Termasuk di lorong-lorong rumah sakit.

Berserah Tapi Tidak Menyerah

Frans adalah pasien yang menjadi pusat perhatian sejak masuk ICU/ICCU. Di jam besuk ketika dokter bedah saraf belum datang, seorang kerabat dari salah satu pasien sekamarnya mendekati ranjang Frans. Melihat kondisinya, dia menceritakan kondisi kakaknya yang persis seperti itu setahun sebelumnya. “Dia hanya bertahan sehari, Mbak. Lewat.”

Masih berani berharap dalam situasi seperti itu? Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Aku yang sempat emosi ketika pertama kali melihat kondisi adikku, diingatkan oleh abangku untuk melepaskan pengampunan pada orang yang telah berbuat jahat, yang tidak bertanggung jawab. Tidak mudah, tapi itu yang Tuhan kehendaki agar kami bisa fokus pada proses kesembuhan Frans.

Di titik itu, aku sudah tak bisa menangis. Aku berserah. Tuhan yang pegang kendali atas kehidupan ini. Tuhan tahu yang terbaik dan Tuhan sedang mengerjakan sesuatu yang baik, apa pun itu! Jangan pernah menyerah dan berhenti berdoa.

Bagaimana kehidupan doamu saat ini?

Tidak ada orang yang ujug-ujug akrab tanpa ada yang sengaja memulai komunikasi dan ditanggapi oleh lawan bicaranya. Berdoa juga begitu. Kebiasaan berdoa harus dengan sengaja diaktifkan dan dibangun. Bagaimana mau mengenal Tuhan dengan dekat jika kita tidak pernah ‘ngobrol dengan-Nya?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Memaknai Ulang Pergumulan Hidup yang Beruntun

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Waktu kuliah dahulu, aku pernah berpikir bahwa hidup itu mirip dengan sekolah. Setelah ujian dilewati, maka hanya akan ada hari-hari penuh pelajaran yang normal. Analogi itu aku bawa ke dalam kehidupan. Aku mengira bahwa kesulitan atau persoalan berat dalam hidup laksana ujian yang diadakan setelah beberapa bulan; UTS setelah 2.5 bulan dan UAS setelah 5-6 bulan.

Sebenarnya analogi tersebut tidak sepenuhnya salah, namun saat berkuliah dulu, aku tidak memandang analogi itu secara penuh. Sehingga saat aku mendapati masalah kedua tanpa jeda yang cukup dari masalah pertama, hatiku meronta-ronta berteriak. Bertanya mengapa Tuhan tidak memberikan sedikit waktu untuk bernafas. Lebih parahnya, dulu aku pernah memandang jika masalah yang terlampau berat itu telah diberikan, maka sesudahnya akan muncul pelangi tak berkesudahan sebagai reward atas perjuangan kita menghadapi masalah yang sebelumnya.

Semua pandangan itu akhirnya harus kurombak ulang ketika aku mulai menghadapi berbagai pergumulan yang tidak ada jedanya. Waktu itu aku baru saja terkena dampak pengurangan karyawan dan harus meninggalkan lingkungan kerja yang cukup suportif, setelahnya aku dibuat bimbang dengan keputusan untuk pivot (berganti) bidang pekerjaan atau linear dengan pekerjaan sebelumnya. Setelah akhirnya memutuskan ke tempat yang baru, ada saja kerikil-kerikil di depan kaki. Entah perkara dengan budaya lingkungan kerja yang sepenuhnya baru sampai pada mengatur pendekatan dengan atasan dan rekan kerja. 

Saat hari-hari itu terjadi, pagi dan sore kulalui dengan selipan omelan-omelan yang berisi keluhanku akan hidup. Aku merasa tak mendapat waktu untuk tenang sejenak, untuk menikmati hari-hari pasca layoff. Sering aku berpikir, waktu yang tenang adalah semacam reward dari Tuhan untuk kita yang telah berhasil melewati pergumulan tersebut. Persis seperti liburan panjang di mana kita bebas melakukan yang kita suka setelah berbagai macam ujian harian, PR, ujian tengah semester, atau ujian akhir semester. 

Pergumulan ini aku bawa selama berbulan-bulan, atau mungkin sudah hampir setahun. Lewat beberapa renungan, khotbah pendeta yang menyinggung hal ini, dan bahkan percakapan dengan teman, aku sampai pada beberapa poin yang bisa menjawab pergumulan ini.

1. Pergumulan sehari-hari sejatinya adalah salib kita

Sejauh ini, memikul salib dalam Lukas 9:23 kumaknai hanya sebagai suatu penderitaan besar yang dialami orang-orang tertentu, seperti mereka yang sedang berjuang beradaptasi ketika berpindah keyakinan menjadi Kristen. Ternyata, makna memikul salib tidak melulu harus seberat itu. Memikul salib bisa kita temui dalam hal sepele yang mungkin sering terjadi, seperti menahan diri agar tidak resign demi tercukupinya kebutuhan dahulu, menahan amarah ketika jalanan macet padahal kamu harus tiba di waktu tertentu, memaafkan kesalahan orang-orang yang terlampau menyakiti hati, tidak iri dengan teman dan hal-hal lain yang mungkin membutuhkan kebesaran hatimu. Pergumulan kita sehari-hari adalah salib yang ternyata harus kita tanggung dengan sabar dan penuh pengharapan. Kenyataannya, memikul salib menjadi sebuah kewajiban dasar saat kita mengaku sebagai umat Kristen. Jelas dalam Lukas 9:23 dikatakan bahwa jika kita ingin mengikut Tuhan, maka ia harus memikul salibnya setiap hari. Ibaratnya, memikul salib itu sudah satu paket dengan menjadi Kristen. 

2. Pergumulan adalah cara agar kita berserah terus menerus pada Tuhan

Apa sih yang kita lakukan ketika menemukan masalah saat hidup lagi tenang-tenangnya? 

Jika sebelumnya kita rajin berdoa dan saat teduh, aku yakin maka kemungkinan besar kita akan memperkuat doa dan persekutuan kita dengan Tuhan. Namun jika sebelum masalah itu datang kita berada dalam keadaan yang on-off atau cenderung off dalam menjalin relasi dengan Tuhan, maka aku juga yakin lama kelamaan kita akan datang kepada Tuhan untuk meminta pertolongan-Nya. Kadangkala, pergumulan bisa ‘diciptakan’ Tuhan untuk menguji iman kita, seberapa gigih kita mengesampingkan pengertian kita dan akhirnya berserah kepada Tuhan. Mari kita ambil satu contoh pergumulan yang kita semua pernah alami: Pandemi.

Waktu pandemi terjadi, kita semua kelimpungan. Pedagang mengeluhkan omset yang menurun, pelajar yang bosan setengah mati karena pembelajaran online, guru yang menguras otak untuk menciptakan cara baru dalam mengajar online, teman-teman yang bosan akan anjuran di rumah selama berbulan-bulan walau sudah ada Zoom untuk bertemu ria dengan teman-teman lain, dan pergumulan-pergumulan lain.

Kita jenuh dan bertanya-tanya sampai kapan pandemi ini berlangsung, namun sayangnya tidak ada yang tahu dan bahkan beberapa prediksi pun melenceng. Saat itu, aku mengingat seorang sanak keluarga yang mengatakan bahwa tugas kita hanya mengusahakan yang telah dianjurkan dan menunggu harap pada Tuhan. Jelas teringat bahwa ia menganalogikan kita dan pandemi ini seperti bangsa Israel di padang gurun. Mereka mengembara 40 tahun di tanah asing. Menyedihkan, namun kita, umat Tuhan yang sekarang membaca kisah itu, tahu persis bahwa Tuhan bersama mereka selama 40 tahun itu lewat roti manna yang turun dan mukjizat-mukjizat lain. Jika Dia mengizinkan pandemi ini terjadi, maka Tuhan pulalah yang membantu kita melewati pandemi ini dalam segala pengalaman pribadi kita yang terjadi.

Sama seperti contoh pandemi ini, lewat pergumulan apapun yang terjadi, Tuhan siap sedia mendampingi dan menuntun kita, asalkan kita pun mau datang meminta kepada-Nya.

3. Pergumulan adalah natur selama kita hidup dan proses pembentukan diri

Sering kudengar nasihat yang mengatakan bahwa jika tak ada lagi masalah, berarti kita sudah tidak lagi hidup di dunia alias mati. Sehingga menemui masalah semasa hidup adalah sebuah kepastian. Pergumulan-pergumulan tersebut adalah hal yang membuat kita bertumbuh. 

Pernahkah kamu mendengar cerita klasik tentang ikan yang ketika diberi predatornya dalam akuarium ia menjadi lebih gesit dalam berenang? Hal itu mirip dengan kehidupan kita. Kadangkala, pembentukan diri menjadi lebih baik terjadi lewat pergumulan-pergumulan dalam hidup kita. Lewat kesulitan-kesulitan dalam pekerjaan, aku menemukan insight tentang menghadapi karakteristik orang-orang tertentu yang akhirnya bisa kugunakan di pengalaman selanjutnya. Lewat kesulitanku tinggal dalam ruang kamar kos yang tidak cukup luas, aku belajar skill baru untuk menata barang-barangku. Jika tampaknya pergumulan itu terlalu merepotkan dan menyusahkanmu, maukah kamu mengambil waktu sejenak dan mencoba menemukan 1 hal saja dari pergumulan ini yang bisa menjadi manfaat bagimu kelak?

Ada masa di mana aku rutin bersaat teduh dan berdoa dan ada saat di mana aku enggan untuk membuka Alkitab. Aku menyadari bahwa ada perbandingan yang khas dalam dua masa itu. Biasanya saat dalam pergumulan, aku akan lebih banyak merasa overthinking ketika aku sedang tidak rutin berdoa. Tentu ada pergumulan yang datang dalam masa-masa rutin berdoa, namun ketika pikiran-pikiran tersebut datang menghampiri, aku bisa lebih baik mengobservasinya dan memilah-milah mana yang benar-benar perlu dipikirkan, mana yang tidak. Istilah kerennya, aku bisa lebih mindful ketika sedang dekat dengan Tuhan dan itu lebih baik dalam membantuku menavigasi pergumulan.

Satu hal yang perlu kita terima, bahwa perasaan sedih kita saat pergumulan datang adalah hal yang valid, tapi aku yakin, Tuhan yang mengawasi kita selalu berharap bahwa dalam pergumulan itu kita akan selalu mengingat-Nya dan meyakini, Tuhan jugalah yang membantu kita untuk menghadapi pergumulan itu. Mengutip Roma 5 : 4-5: 

“Dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Terserah Pada-Mu, Tuhan

Oleh Meili Ainun, Jakarta

Kalau seseorang bertanya, “Mau makan apa hari ini?” apa jawabanmu? 

Mungkin kamu akan menjawab dengan spesifik, tapi mungkin pula kamu menjawab dengan tersenyum lalu bilang, “Ya, terserahlah…” Jawaban ‘terserah’ itu berarti kita membiarkan orang lain yang memikirkan dan memutuskan pilihan. Tapi, kadang pilihan yang dibuat malah tidak sesuai dengan yang kita inginkan, lalu kita pun mengomel. Kita lupa kalau sebelumnya kita sudah menjawab “terserah”.

Ketika merenungkan fenomena “terserah” yang sering terjadi dalam obrolan-obrolan kita, aku lantas berpikir tentang Tuhan. Bagaimana dengan Tuhan? Bukankah kita juga dengan mudahnya berkata “terserah” pada-Nya ketika kita minta Dia menyatakan kehendak-Nya buat kita? Bila mau jujur, kurasa sulit untuk menjawab Tuhan dengan kata “terserah” karena dalam diri kita sendiri masih ada keinginan agar kehendak kita sendiri yang terjadi. 

Alkitab memberi kita teladan tentang “terserah” dari Maria, ibu Yesus. Alkitab memang tidak mencatat Maria menjawab Tuhan dengan kata “terserah” secara langsung, tapi sikap Maria selanjutnya menunjukkan apa arti menyerahkan pilihan dan keputusan yang sebenarnya pada Tuhan.

Dalam Matius 1:18-25 dan Lukas 1:26-38, Maria dikisahkan sebagai seorang gadis yang tinggal di desa kecil bernama Nazaret di Galilea. Maria telah bertunangan dengan Yusuf. Baik Maria dan Yusuf, keduanya berasal dari garis keturunan keluarga Daud. Maria kemudian mendapatkan pesan dari malaikat Gabriel. 

Kedatangan Gabriel terjadi tiba-tiba. Setelah mengucapkan salam, Malaikat Gabriel menyampaikan pesan yang dibawanya kepada Maria yaitu dia akan mengandung, melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan dinamai Yesus. Maria terkejut, karena sekalipun dia telah bertunangan namun dia belum menikah, maka dia mengatakan “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Lukas 1:34) Maka malaikat itu menjawab, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang MahaTinggi akan menaungi engkau, sebab itu anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Lukas 1:35).

Yang menarik adalah respon Maria terhadap perkataan Malaikat Gabriel. Dia menjawab, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38).

Maria menyebut dirinya sebagai hamba Tuhan, suatu kesadaran bahwa dirinya adalah hamba yang harus tunduk kepada otoritas (dalam hal ini terlebih lagi ada otoritas ilahi yaitu Allah). Dan ketika dia mengatakan “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu”, ada unsur iman dan ketaatan di dalamnya. 

Apakah iman Maria adalah iman yang buta? Apakah Maria tidak tahu risiko apa yang harus dihadapinya saat dia harus hamil di luar nikah? 

Maria dengan jelas tahu risiko apa yang harus dihadapinya bila dirinya ketahuan telah hamil sebelum menikah. Beberapa risiko yang dapat terjadi adalah Maria bisa dibuang atau diasingkan dari masyarakat, bahkan dapat dikeluarkan dari ikatan keluarga, kesalahpahaman masyarakat Yahudi yang mungkin mempertanyakan kesucian keluarganya, risiko putus tunangan dengan Yusuf, bahkan mungkin juga ancaman hukuman mati (kehamilan di luar nikah adalah pelanggaran berat bagi orang Yahudi, seperti tercatat pada Ulangan 22:23-24). 

Kita dapat melihat iman Maria bukan iman buta. Terlepas dari semua risiko yang mungkin dia hadapi, Maria tunduk pada kehendak Tuhan. Dia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Dia rela untuk mempercayakan perjalanan hidupnya kepada rencana Allah sekalipun rencana itu akan mengubah seluruh hidupnya.

Maria tidak hanya menunjukkan imannya, dia juga menampilkan ketaatan. Tidak ada bantahan, perdebatan, atau mencoba mengelak, Maria memilih untuk patuh pada kehendak Allah. Dia melakukan apa yang Allah minta dengan sepenuh hatinya.

Ketika kita memilih berserah di dalam melakukan kehendak Tuhan, hal itu tentu menyenangkan hati-Nya. Tuhan senang kepada orang-orang yang melakukan kehendak-Nya. Bukan hanya itu, saat kita memilih berserah, ketakutan dan kekhawatiran kita mungkin akan tetap ada, tetapi itu tidak lagi menguasai kita karena kita tahu kepada Siapa kita percaya, yakni pada Dia yang telah menyatakan kehendak-Nya. Hidup dapat menjadi jauh lebih damai dan tenang untuk dijalani. Dan tanpa kita sadari, sikap berserah yang kita jalankan dapat menjadi berkat bagi sesama kita. Hidup kita menjadi kesaksian bagi orang-orang di sekeliling kita. 

Meskipun berserah kepada kehendak Tuhan bukan hal yang mudah dilakukan, marilah kita berusaha untuk terus mencobanya. Mengatakan “Terserah pada-Mu, Tuhan” tidak lagi sekadar ucapan, tetapi dengan iman dan ketaatan.

Menantikan Pertolongan Allah

Oleh Aldi Darmawan Sie, Jakarta

Ketika mengalami permasalahan, respons alami kita sebagai manusia adalah mencari jalan keluar. Caranya bisa beragam, tapi yang biasanya kita lakukan adalah dengan mencari pertolongan orang lain. Tidak ada yang salah dengan cara ini.

Namun, ketika membaca dan merenungkan Yesaya 30:8-17, aku menemukan perspektif yang menarik. Allah melalui nabi Yesaya menegur bangsa Israel, bahkan menghukum mereka karena di tengah situasi terjepit, bangsa Israel malah mencari pertolongan kepada bangsa Mesir. Allah pada ayat ke-9 lantas menyebut Israel sebagai bangsa pemberontak, suka berbohong, dan enggan mendengar pengajaran-Nya. Aku bertanya-tanya: apa yang salah dengan tindakan bangsa Israel ini? Bagaimana seharusnya kita mencari pertolongan ketika berada dalam situasi terjepit?

Firman Allah yang disampaikan melalui nabi Yesaya ini ditulis sebagai respons atas tindakan bangsa Israel yang kala itu sedang menghadapi tekanan hebat dari keadikuasaan Asyur. Alih-alih percaya dan menantikan pertolongan dari Allah YHWH, Israel malah menolak firman Allah dan meminta pertolongan pada bangsa Mesir. Peringatan demi peringatan firman Allah melalui nabi telah digaungkan pada mereka, namun tetap saja bangsa Israel menolak percaya dan mencari pertolongan dari bangsa yang pernah memperbudak dan memahitkan hidup mereka di masa lampau.

Sebagai pembaca kitab Yesaya di masa kini, kita mungkin bisa dengan mudah menilai salah tindakan bangsa Israel yang tidak mencari Allah. Tetapi, jika kita bayangkan situasi pada masa tersebut, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Dalam keadaan terjepit, sepertinya lebih mudah bagi bangsa Israel untuk mencari pertolongan dari apa yang mereka lihat daripada dari apa yang tidak mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Mungkin mereka melihat Mesir sebagai bangsa yang tangguh dan besar, atau super-power pada zaman itu. Mesir memiliki senjata perang yang mumpuni, dan strategi perangnya pun dianggap apik untuk menaklukkan Asyur. Besar kemungkinan inilah yang mendorong Israel untuk datang kepada Mesir, bahkan dengan rela hati memberikan kekayaan mereka demi mendapatkan pertolongan (ayat 6).

Kontras dengan pemikiran bangsa Israel, nabi Yesaya dengan begitu kuat menggambarkan dan menekankan tentang atribut Allah. Allah bukan hanya kudus, tetapi Mahakudus (The Holy One). Dalam perikop ini, tiga kali Yesaya menyebutkan atribut tersebut. Karena Allah yang bangsa Israel sembah adalah kudus, mereka pun dituntut untuk hidup kudus bagi Allah. Kekudusan itu harus diekspresikan dengan menghidupi kehidupan yang berbeda, terkhusus daripada bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah. Pada masa itu, perlengkapan perang seperti senjata, kuda-kuda, kereta besi, dan baju perang dianggap sebagai kunci memenangkan pertempuran. Namun, bagi Allah YHWH, kunci memenangkan perang adalah dengan percaya kepada-Nya. Itulah yang dituntut Allah dari bangsa Israel. Tindakan ini merupakan perwujudan dari keberserahan diri mereka kepada Allah Yang Mahakudus.

Ketika Israel menyimpang, Allah bukannya diam. Seruan pertobatan diberitakan pada mereka, tetapi Israel tetap menolak percaya pada Allah (ayat 15). Akibatnya dapat kita lihat dalam ayat 13 dan 14. Dosa mereka mengakibatkan ganjaran berupa kehancuran yang tiba-tiba dan sekejap. Ayat sebelumnya juga mengatakan, dengan datang ke Mesir, Israel bukannya mendapatkan pertolongan, malah mendapatkan malu (ayat 5), karena sesungguhnya pertolongan dari Mesir tidak akan berguna dan percuma (ayat 7). Terakhir, Israel menelan pil pahit berupa ditaklukkan oleh Asyur (ayat 16-17).

Belajar dari ketidakpercayaan Israel

Setelah merenungkan perikop itu, aku bertanya pada diriku sendiri. “Sebagai umat Allah Yang Mahakudus, ketika aku mengalami berbagai kesulitan, pertolongan siapa yang aku nantikan?”

Di dalam buku “Mengasihi Yang Mahakudus”, Aiden Wilson Tozer mengatakan, “Apa yang kita pikir tentang Allah, menjelaskan setiap aspek kehidupan kita.” Secara sederhana, kalimat itu dapat diartikan respons dan tindakan kita mencerminkan apa yang kita percayai tentang Allah. Tidak jarang untuk melepaskan diri dari masalah kita malah mencari pelarian, sesuatu yang tidak menyelesaikan masalah itu sendiri. Kita memberi diri untuk terjerat pada kecanduan gawai, pornografi, dan sederet hal lainnya. Respons tersebut sejatinya mencerminkan isi hati kita dan apa yang kita percayai tentang Allah.

Setelah merefleksikan seruan Allah melalui Nabi Yesaya ini, pesan yang menggema bagiku adalah percayalah kepada Allah dan nantikan pertolongan-Nya. Suara pertobatan dari Nabi Yesaya ini patut kita hidupi, bahwa “Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu” (ayat 15). Sumber kekuatan kita sebagai umat Allah di dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan, tidak terletak dari hebatnya pikiran kita dalam mengelola permasalahan kita, bukan juga dari kecanggihannya teknologi, dan bukan juga dari pertolongan orang lain, tetapi berasal dari Allah sendiri. Maka dari itu, respons yang tepat bagi kita, sebagai umat Allah Yang Mahakudus itu, adalah dengan percaya dan menantikan Allah.

Hal yang dapat kita lakukan sebagai wujud kita percaya dan menantikan pertolongan Tuhan adalah berdoa. Kita belajar menantikan pertolongan Allah di masa-masa sulit dengan datang kepada-Nya melalui doa. Kita belajar menyerahkan segala ketakutan dan kekhawatiran kita ke dalam tangan-Nya melalui doa. Di dalam doa juga, kita membuka ruang untuk mengalami pertolongan Tuhan yang sering kali tidak terlihat oleh mata jasmani, tetapi dapat kita rasakan melalui mata batiniah. Dengan berdoa, kita dibawa untuk semakin mengenal Allah, Yang Mahakudus dan rancangan-Nya bagi kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Belajar Mengasihi Mereka yang Tak Seiman

Tinggal dalam lingkungan homogen membuatku takut dengan orang yang berbeda iman. Di tempat kerja, aku merasa takut didiskriminasi. Tapi, kutahu ini pandangan yang salah dan Tuhan menolongku untuk mengubahnya.

Dilemaku Ketika Aku Divonis Menderita Penyakit Kista

Oleh Noviani Yunita Sari, Malang

Setahun lalu, sebuah penyakit kista coklat bernama endometriosis yang dikhawatirkan oleh banyak perempuan muncul di rahimku. Dokter menganjurkanku untuk operasi dan berkat kasih karunia Tuhan, operasi tersebut berjalan lancar.

Akan tetapi, satu tahun berselang sejak operasi itu, sebuah kabar mengejutkan kembali datang. Pada tanggal 16 September 2017, kista itu muncul kembali dan ternyata sudah melengket pada saluran kemih dan juga ususku sehingga dokter tidak menganjurkan pengobatan dengan tindakan operasi lagi. Satu-satunya jalan yang dianjurkan oleh dokter spesialis kandungan adalah dengan menikah, karena apabila nanti aku hamil dan melahirkan anak, kista itu akan luruh bersamaan dengan keluarnya bayi dari rahim. Tidak hanya satu dokter, melainkan ada empat dokter spesialis yang menganjurkanku demikian.

Kondisi ini membuatku terjebak dalam dilema. Di satu sisi, meski aku sudah memiliki kekasih, aku belum siap untuk menikah. Usiaku baru 22 tahun dan aku masih ingin melanjutkan studiku di salah satu sekolah teologia di Malang dan menjadi pelayan Tuhan. Lalu, peraturan kampusku juga tidak mengizinkan mahasiswanya menikah selama masa studi. Tapi, di sisi lainnya, beberapa kerabat, keluarga, dan bahkan dosenku mendesak aku untuk menuruti anjuran dokter tersebut dengan alasan demi kesehatanku.

Desakan untuk menikah membuatku merasa frustrasi dan bertanya-tanya: “Apakah aku harus menikah dan meninggalkan studi yang sedang kutempuh? Jika tidak, mengapa Tuhan mengizinkan penyakit ini ada dalam diriku?”

Aku belum siap, demikian juga dengan kekasihku karena dia merasa belum mapan secara ekonomi. Jikalau pun kami sampai menikah, kurasa pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan yang terpaksa. Namun, keluargaku tetap merasa bahwa ini adalah jalan yang terbaik sehingga mereka pun mendiskusikan rencana pernikahan ini dengan keluarga kekasihku. Bahkan, ketika mengetahui perihal penyakitku, pihak kampus pun berjanji memberikan dispensasi khusus buatku untuk tetap bisa melanjutkan studi walau sudah menikah.

Akhirnya, dalam kondisiku yang frustrasi, aku sempat terpikir untuk menuruti saja desakan keluargaku. Namun, pada suatu pagi saat aku merenungkan firman Tuhan, ada satu ayat yang sangat menegur dan mengingatkanku. “Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Akan tetapi, aku bersyukur karena di tengah kondisi dilematis dan sebelum rencana pernikahan itu benar-benar dilaksanakan, ayahku memberiku nasihat. “Untuk mengambil keputusan, tanya Tuhan! Mintalah hikmat dari Tuhan untuk mengambil keputusan itu. Dan, tetaplah percaya bahwa setiap rencana Tuhan itu indah. Dia tidak akan membuat rancangan kecelakaan untuk anak-anak-Nya. Jika kamu telah berdoa sungguh-sungguh dan tetap harus mengambil jalan untuk menikah, yakinlah bahwa itu pun ada dalam kendali Tuhan.”

Perkataan ayahku membuat hatiku yang semula penuh kekhawatiran menjadi lebih tenang. Aku belajar untuk percaya bahwa Tuhan memegang kendali atas segala sesuatu dalam kehidupanku sehingga aku tidak perlu lagi merasa takut ataupun khawatir. Sejak saat itu, selama satu minggu berdoa dengan sungguh-sungguh, juga berpuasa supaya aku dapat mengambil keputusan yang terbaik.

Satu minggu berlalu dan aku kembali kembali ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi penyakitku. Saat itu aku hanya bisa pasrah pada Tuhan. Apapun hasil pemeriksaan hari ini, aku mau menerimanya dengan lapang dada dan tetap percaya bahwa inilah yang terbaik yang Tuhan izinkan terjadi kepadaku.

Namun, saat aku masuk ke ruangan USG, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dokter yang memeriksaku berkata dengan terkejut, “Loh? Ini kok?” Jantungku berdegup kencang. Ada apa lagi denganku, aku bertanya pada dokter. Dengan tatapan heran, dokter itu menjawab, “Ini…ini hilang. Kistanya hilang! Rahimmu bersih dan semuanya baik-baik saja!” Perkataan dokter ini membuat air mataku menetes dan aku hanya bisa berucap, “Tuhan, terima kasih! Engkau sungguh luar biasa!”

Singkat cerita, setelah melakukan rangkaian pemeriksaan lainnya, penyakit kista yang bercokol di dalam rahimku dinyatakan telah hilang sepenuhnya. Dari peristiwa ini, aku sadar bahwa jalan Tuhan tidak dapat diselami oleh pikiran manusia. Empat dokter spesialis kandungan telah mengatakan bahwa jalan kesembuhanku hanya dengan menikah dan melahirkan anak. Namun, Tuhan memiliki rencana lain. Dia memberikanku kesembuhan.

Aku percaya bahwa jalan pikiran Allah seringkali tidak bisa kita pahami. Ketika Allah memberikanku mukjizat kesembuhan, aku percaya Dia melakukannya seturut hikmat dan kebaikan-Nya. Akan tetapi, apabila kala itu Allah tidak memberikanku kesembuhan, aku tetap percaya bahwa Allah tetap berlaku baik untukku dan Dia akan menyertaiku untuk mengatasi pergumulan yang kuhadapi.

Melalui pengalaman ini, aku belajar untuk senantiasa mengandalkan Allah dalam setiap keputusan yang kuambil dan tetap percaya bahwa Allah merancangkan masa depan yang baik untukku.

Apakah yang menjadi pergumulanmu hari ini? Janganlah takut dan khawatir. Mari kita datang kepada Tuhan dan menyerahkan segalanya hanya kepada-Nya supaya keputusan apapun yang kita ambil boleh menjadi sesuatu yang berkenan kepada-Nya.