Merangkak Perlahan-lahan, Berjalan Tertatih-tatih
Oleh Elvira Sihotang, Jakarta
Bagiku, Januari tahun ini adalah Desember kedua, atau November kedua, atau Oktober kedua. Aku tidak merayakan malam tahun baru seperti di tahun sebelumnya. Tahun ini aku hanya mengingat bahwa aku berbaring di tempat tidurku jam 12,mendengar gemuruh dan melihat warna-warni meriah kembang api di tengah langit, menerka-nerka apa yang ada di Januari.
Hingga tulisan ini diketik, aku berjalan hanya berbekal moto ‘berjalan pelan-pelan’ sambil sesekali tersedu mengelola rintangan-rintangan.
Desember lalu, aku terdiagnosa mengalami suatu kondisi medis tertentu. Lalu di Januari ini, di tengah-tengah masa pendidikanku, aku mengalami kesulitan-kesulitan di tugas akhirku. Puncaknya kemarin, aku disarankan untuk memetakan kembali bab awalku hingga proses analisa data. Rasa letih yang tertumpuk-tumpuk untuk memahami materi tugas akhir selama sebulan ini rasanya tidak terbayar, porak-poranda dan aku merasa bodoh.
Sebanyak apapun kutipan tentang menjadi kuat dan bersabar nyatanya tidak berhasil membuat air mataku tertahan. Sesering-seringnya aku mendengar ayat dan khotbah tentang bertahan di masa sulit nyatanya tetap membuatku bertanya apakah aku akan berakhir dengan menyedihkan. Hingga kadang dalam tangisku, aku merasa gagal menjadi seorang anak Tuhan. Dalam tangisku, aku merasa sering lalai mempercayai bahwa Tuhan mendampingiku.
Judul tulisan ini aku dapatkan ketika aku menaiki ojek motor untuk menempuh perjalanan yang aku lupa, entah ke gereja, entah ke tempat bekerjaku. Di perjalanan itu pun, pengemudi motor beberapa kali hampir menabrak motor di depannya. Namun entah apa yang terjadi, reaksiku datar, tidak ketakutan dan mengelus dada seperti biasanya. Kupandang datar motor di depan motor kami dan tersenyum tipis sendiri; rupanya aku masih diberi kesempatan hidup, pikirku saat itu.
Perjalanan itu memutar ulang semua kejadian perjalanan yang pernah aku tempuh, termasuk dalam seminggu terakhir ini. Mungkin sudah berulang kali aku menemukan diriku berada di belakang supir yang hampir menabrak kendaraan di depannya, menyenggol pengemudi sampingnya, atau mungkin hampir terhalang truk saat membelok ke tikungan. Dalam beberapa kesempatan aku berpikir bahwa saat itu terjadi, aku merasa memilki kemungkinan besar untuk tertabrak atau tersenggol, tapi ternyata sampai tulisan ini aku ketik, aku terselamatkan oleh hal-hal itu semua; satu hal yang sungguh aku syukuri di tengah semua kejadian di bulan Januari ini. Dalam kesempatan kesekian kalinya di atas motor dengan segala kebrutalannya, aku merasa bahwa kesempatan untuk hidup inilah yang harusnya membuat aku terdorong untuk berjalan, tidak peduli seberapa pelan langkah kaki ini bergantian maju.
Kujalani hari-hari dengan rutinitas seperti biasa, tapi itulah yang mungkin Tuhan inginkan, berjalan sebisanya sambil berharap kepada Tuhan. Kupandang bangunan tempat pendidikanku dengan lekat walau datar. Mungkin inilah yang Tuhan inginkan. Bersyukur untuk kesempatan yang ada di tengah kesulitan lain yang ada.
Setiap hari, di akhir-akhir hari ini, aku selalu merasa ada yang mengancam nyawa dan jiwaku. Mulai dari perjalanan dengan ojek online yang selalu brutal sampai pada tangisan berulang-ulang saat merawat diriku dan mengerjakan tugas. Kadang aku berpikir, saat aku di tengah motor itu, Tuhan akan mengambil nyawaku. Ia pasti sudah lelah melihatku hanya menangis dan bertanya sendu tentang rencana-Nya. Tapi nyatanya kejadian brutal berulang kali itu tak membuatku mati, menghembuskan nafas terakhir, atau hilang mendadak. Aku masih dengan sadar membuka mata di pagi hari, melihat jam di HP, menyibak korden dari jendela, dan bersiap-siap untuk mandi. Pernah aku tanyakan kenapa Tuhan tak selesai denganku, tapi rasanya tak kutemukan suara dalam tiap pertanyaan itu.
Sampailah aku di momen bahwa mungkin Tuhan tak akan menjawab pertanyaanku. Ketika aku membuka mata di pagi hari aku tersadarkan bahwa Tuhan masih memberiku nafas dan lambat laun menyadari bahwa izin-Nya atas hidupku tidak mungkin salah. Bahwa Tuhan mengetahui pasti kapan aku akan pergi dan sampai kapan aku masih dapat beraktivitas di dunia ini. Sampailah aku tersadar bahwa nafasku di pagi hari adalah jawaban Tuhan untuk diriku yang selalu bertanya apakah aku masih kuat menjalani ini semua.
Kutangisi kesadaran itu dengan memahami bahwa langkah kakiku mungkin akan berat atau bahkan enggan bergerak di momen-momen tertentu, namun dalam segala rintangan itu, kutemui jawaban bahwa bukan kakiku yang menjadi andalanku, atau motivasi yang kubuat, atau otakku untuk semua rencana yang kubuat. Kutemui jawaban bahwa harapan pada Tuhanlah yang memampukan kakiku berjalan atau otakku bekerja mencari cara. Bahwa Tuhan akan memberikan kesanggupan yang cukup saat aku berjalan atau hikmat yang cukup saat aku berpikir. Dalam kelemahanku, aku belajar mendongak sungguh-sungguh pada Tuhan. Jika hari ini aku diberikan kesempatan hidup, maka Tuhan mengizinkan itu terjadi dan padaku ada tanggung jawab untuk menjalaninya sepenuh hati, dengan harapan yang kuat akan pertolongan Tuhan.
Pada teman-teman yang mungkin mengalami hal yang sama, aku berdoa semoga kita semua terus mau berjalan walaupun tertatih-tatih, bahkan merangkak, jika perlu, dengan perlahan-lahan. Karena jika kita melihat rintangan yang tak mudah dan kita belum menyelesaikan rintangan, namun olehnya kita masih diberi kesempatan hidup, apakah yang perlu kita pikirkan selain rasa syukur bahwa Tuhan melihat kita masih mampu untuk menghadapinya?
Semoga di ujung segala rintangan, kita temukan cahaya dan kasih Tuhan memeluk kita lembut, menepuk pundak kita untuk menyelamati kita, bahwa kita tidak menyerah untuk segala pergumulan yang pernah kita temui.
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥