Posts

Merangkak Perlahan-lahan, Berjalan Tertatih-tatih

Oleh Elvira Sihotang, Jakarta

Bagiku, Januari tahun ini adalah Desember kedua, atau November kedua, atau Oktober kedua. Aku tidak merayakan malam tahun baru seperti di tahun sebelumnya. Tahun ini aku hanya mengingat bahwa aku berbaring di tempat tidurku jam 12,mendengar gemuruh dan melihat warna-warni meriah kembang api di tengah langit, menerka-nerka apa yang ada di Januari.

Hingga tulisan ini diketik, aku berjalan hanya berbekal moto ‘berjalan pelan-pelan’ sambil sesekali tersedu mengelola rintangan-rintangan.

Desember lalu, aku terdiagnosa mengalami suatu kondisi medis tertentu. Lalu di Januari ini, di tengah-tengah masa pendidikanku, aku mengalami kesulitan-kesulitan di tugas akhirku. Puncaknya kemarin, aku disarankan untuk memetakan kembali bab awalku hingga proses analisa data. Rasa letih yang tertumpuk-tumpuk untuk memahami materi tugas akhir selama sebulan ini rasanya tidak terbayar, porak-poranda dan aku merasa bodoh.

Sebanyak apapun kutipan tentang menjadi kuat dan bersabar nyatanya tidak berhasil membuat air mataku tertahan. Sesering-seringnya aku mendengar ayat dan khotbah tentang bertahan di masa sulit nyatanya tetap membuatku bertanya apakah aku akan berakhir dengan menyedihkan. Hingga kadang dalam tangisku, aku merasa gagal menjadi seorang anak Tuhan. Dalam tangisku, aku merasa sering lalai mempercayai bahwa Tuhan mendampingiku.

Judul tulisan ini aku dapatkan ketika aku menaiki ojek motor untuk menempuh perjalanan yang aku lupa, entah ke gereja, entah ke tempat bekerjaku. Di perjalanan itu pun, pengemudi motor beberapa kali hampir menabrak motor di depannya. Namun entah apa yang terjadi, reaksiku datar, tidak ketakutan dan mengelus dada seperti biasanya. Kupandang datar motor di depan motor kami dan tersenyum tipis sendiri; rupanya aku masih diberi kesempatan hidup, pikirku saat itu.

Perjalanan itu memutar ulang semua kejadian perjalanan yang pernah aku tempuh, termasuk dalam seminggu terakhir ini. Mungkin sudah berulang kali aku menemukan diriku berada di belakang supir yang hampir menabrak kendaraan di depannya, menyenggol pengemudi sampingnya, atau mungkin hampir terhalang truk saat membelok ke tikungan. Dalam beberapa kesempatan aku berpikir bahwa saat itu terjadi, aku merasa memilki kemungkinan besar untuk tertabrak atau tersenggol, tapi ternyata sampai tulisan ini aku ketik, aku terselamatkan oleh hal-hal itu semua; satu hal yang sungguh aku syukuri di tengah semua kejadian di bulan Januari ini. Dalam kesempatan kesekian kalinya di atas  motor dengan segala kebrutalannya, aku merasa bahwa kesempatan untuk hidup inilah yang harusnya membuat aku terdorong untuk berjalan, tidak peduli seberapa pelan langkah kaki ini bergantian maju.

Kujalani hari-hari dengan rutinitas seperti biasa, tapi itulah yang mungkin Tuhan inginkan, berjalan sebisanya sambil berharap kepada Tuhan. Kupandang bangunan tempat pendidikanku dengan lekat walau datar. Mungkin inilah yang Tuhan inginkan. Bersyukur untuk kesempatan yang ada di tengah kesulitan lain yang ada. 

Setiap hari, di akhir-akhir hari ini, aku selalu merasa ada yang mengancam nyawa dan jiwaku. Mulai dari perjalanan dengan ojek online yang selalu brutal sampai pada tangisan berulang-ulang saat merawat diriku dan mengerjakan tugas. Kadang aku berpikir, saat aku di tengah motor itu, Tuhan akan mengambil nyawaku. Ia pasti sudah lelah melihatku hanya menangis dan bertanya sendu tentang rencana-Nya. Tapi nyatanya kejadian brutal berulang kali itu tak membuatku mati, menghembuskan nafas terakhir, atau hilang mendadak. Aku masih dengan sadar membuka mata di pagi hari, melihat jam di HP, menyibak korden dari jendela, dan bersiap-siap untuk mandi. Pernah aku tanyakan kenapa Tuhan tak selesai denganku, tapi rasanya tak kutemukan suara dalam tiap pertanyaan itu.

Sampailah aku di momen bahwa mungkin Tuhan tak akan menjawab pertanyaanku. Ketika aku membuka mata di pagi hari aku tersadarkan bahwa Tuhan masih memberiku nafas dan lambat laun menyadari bahwa izin-Nya atas hidupku tidak mungkin salah. Bahwa Tuhan mengetahui pasti kapan aku akan pergi dan sampai kapan aku masih dapat beraktivitas di dunia ini. Sampailah aku tersadar bahwa nafasku di pagi hari adalah jawaban Tuhan untuk diriku yang selalu bertanya apakah aku masih kuat menjalani ini semua.

Kutangisi kesadaran itu dengan memahami bahwa langkah kakiku mungkin akan berat atau bahkan enggan bergerak di momen-momen tertentu, namun dalam segala rintangan itu, kutemui jawaban bahwa bukan kakiku yang menjadi andalanku, atau motivasi yang kubuat, atau otakku untuk semua rencana yang kubuat. Kutemui jawaban bahwa harapan pada Tuhanlah yang memampukan kakiku berjalan atau otakku bekerja mencari cara. Bahwa Tuhan akan memberikan kesanggupan yang cukup saat aku berjalan atau hikmat yang cukup saat aku berpikir. Dalam kelemahanku, aku belajar mendongak sungguh-sungguh pada Tuhan. Jika hari ini aku diberikan kesempatan hidup, maka Tuhan mengizinkan itu terjadi dan padaku ada tanggung jawab untuk menjalaninya sepenuh hati, dengan harapan yang kuat akan pertolongan Tuhan.

Pada teman-teman yang mungkin mengalami hal yang sama, aku berdoa semoga kita semua terus mau berjalan walaupun tertatih-tatih, bahkan merangkak, jika perlu, dengan perlahan-lahan. Karena jika kita melihat rintangan yang tak mudah dan kita belum menyelesaikan rintangan, namun olehnya kita masih diberi kesempatan hidup, apakah yang perlu kita pikirkan selain rasa syukur bahwa Tuhan melihat kita masih mampu untuk menghadapinya?

Semoga di ujung segala rintangan, kita temukan cahaya dan kasih Tuhan memeluk kita lembut, menepuk pundak kita untuk menyelamati kita, bahwa kita tidak menyerah untuk segala pergumulan yang pernah kita temui.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kami Mengarahkan Hati Kami Kepada Tuhan

Oleh Aris Budhiyanto

Itulah jawaban umat dalam liturgi pengutusan saat pendeta berkata, “Arahkanlah hatimu kepada Tuhan.”

Meskipun sudah bertahun-tahun aku mendengar dan mengucapkan kalimat tersebut, aku tidak sepenuhnya memahami makna dari mengarahkan hati kepada Tuhan. Namun, aku bersyukur Tuhan memberiku kesempatan untuk belajar mengarahkan hatiku kepada-Nya, khususnya selama setahun terakhir.

Tahun 2023 merupakan tahun yang kujalani dengan penuh pergumulan terkait dengan pasangan hidup dan kuliahku. Aku berharap mendapatkan pasangan yang takut akan Tuhan dan aku juga bisa menyelesaikan kuliahku. Namun, kenyataan berkata lain. Semuanya itu tidak terjadi hingga tahun 2023 berakhir. Teman yang kudoakan untuk menjadi pasangan hidup memutuskan untuk tetap menjadi teman; dan publikasi artikel, yang menjadi tiket kelulusan studiku, sampai saat ini belum nampak titik terangnya.

Dalam menjalani hari-hari itu, aku bertanya kepada Tuhan: apa yang salah dengan doa dan harapanku? Teman yang kudoakan bukanlah orang yang tidak baik, melainkan anak Tuhan yang sungguh-sungguh mau mencari Tuhan. Terkait studiku, aku setiap hari bekerja keras untuk bisa menyelesaikannya. Bukankah ketika studiku berjalan lancar dan aku lulus dengan hasil yang memuaskan, hal itu juga menjadi kemuliaan bagi Tuhan? Menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspektasiku membuatku kehilangan sukacita dan damai sejahtera, bahkan hingga kesulitan tidur. Terkadang rasa iri hati dan kecewa timbul di hatiku saat melihat teman-temanku berhasil menyelesaikan studi mereka, atau saat melihat teman-teman yang lain membagikan postingan mereka dengan keluarga kecil mereka.

Dalam menghadapi saat-saat itu, doa adalah satu-satunya senjata melawan perasaan itu sekaligus tempat perlindunganku. Aku belajar untuk berdoa dengan benar dengan membaca buku-buku dan mendengarkan podcast, bahkan aku bergabung dalam persekutuan doa di gereja. Mendoakan orang lain membuatku tidak lagi memfokuskan diri pada masalahku, melainkan aku belajar untuk memuliakan Tuhan, mengakui dosa-dosaku dan melihat bagaimana cara Tuhan bekerja menjawab doa-doa yang kami panjatkan. Aku mulai memeriksa hatiku kembali. Apakah benar semua yang kudoakan itu untuk kemuliaan Tuhan, atau aku justru berusaha menjamin kenyamanan hidupku dan memvalidasi kebahagiaanku dengan keluarga dan studi atau karir yang sukses? Melalui khotbah di gereja dan artikel yang aku baca, aku menyadari bahwa menginginkan hal baik bisa membawa ke dalam dosa saat hal itu menjadi berhala dan aku lebih menginginkannya daripada mencari kehendak Tuhan. Jujur kuakui, itulah yang terjadi pada diriku sehingga aku merasa gelisah dan khawatir ketika tidak mendapatkan hal yang aku inginkan.

Seorang teman berkata bahwa Yesus adalah jawaban dari segala doa dan pergumulan kita. Ketika kita memandang Yesus dan percaya pada-Nya maka Dia akan memberikan damai sejahtera kepada kita. Aku setuju dengan pendapatnya. Tuhan ingin agar kita memiliki relasi dengan-Nya. Bukankah sungguh luar biasa ketika Tuhan yang begitu mulia mengizinkan kita, yang bukan siapa-siapa, meminta kepada-Nya dalam Matius 7:7-8.  Namun perlu diingat juga bahwa Dia akan memberikan kepada kita apa yang baik seturut kehendak-Nya, bukan keinginan kita. Hal itu telah dibuktikan dengan pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menyelamatkan kita dari dosa. Tanpa kita minta, Tuhan telah menganugerahkan keselamatan yang sebenarnya tidak layak kita dapatkan.

Bagiku mengarahkan hati kepada Tuhan adalah memandang pengorbanan Yesus di kayu salib. Kematian-Nya memberikanku keselamatan dan hidup yang kekal bersama Tuhan, bukan hanya nanti di surga tetapi juga saat ini, di dunia (Yoh 17:3), sehingga aku tidak perlu lagi mencari keselamatan, kenyamanan atau validasi dari sumber yang lain. Memang hal itu tidak berarti masalahku akan selesai dengan sendirinya, tetapi aku tidak perlu takut, cemas dan khawatir karena aku berjalan bersama Tuhan, dan hanya Dia yang dapat memberikan sukacita, kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.

Aku ingin membagikan lirik lagu Turn Your Eyes Upon Jesus yang juga sangat memberkatiku:

Turn your eyes upon Jesus,

Look full in His wonderful face,

And the things of earth will grow strangely dim,

In the light of His glory and grace.

Ketika kita memandang pada Yesus dan melihat wajah-Nya yang mulia, segala hal duniawi akan meredup, tersamarkan oleh sinar-Nya yang teramat mulia.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Cek Ulang: Di Mana Peran Tuhan dalam Resolusimu?

Oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT 

Hey pembaca setia WarungSaTeKaMu! Selamat tahun baru semuanya! Tidak terasa setahun berlalu begitu cepat dan kita sudah memasuki tahun yang baru lagi. Pastinya, kita memiliki harapan baru untuk kita wujudkan dalam tahun ini, atau biasa kita sebut “resolusi”.

Ngomongin soal resolusi dan harapan, ada yang menuliskannya, ada yang tidak; ada yang mempublikasikannya, diceritakan, tapi ada juga yang tidak. Namun, aku yakin jauh di dalam lubuk hati masing-masing, kita semua berharap hal-hal baiklah yang akan terjadi sepanjang setahun ke depan.

Untuk Dia, dan bersama Dia

Tahun lalu banyak gagalnya deh…

Ini harapan tahun lalu, masukin lagi deh di tahun ini…

Ada banyak banget suara dalam pikiranku. Ketika aku membuat resolusi, aku bertanya-tanya: bagaimana selama ini aku memandang Tuhan? Apakah Tuhan ikut hadir di sana? Apakah aku berjalan bersama-Nya, atau hanya mengharap Dia mengabulkan keperluan dan keinginanku?

Jujur, saat menulis ini, aku sendiri sedang mempertanyakan semua hal di atas kepada diriku sendiri sambil kucoba menjawabnya dengan terus terang.

Tahun 2023 lalu terkadang hubunganku dengan Tuhan sepertinya terasa transaksional. Aku menjadikan Tuhan seakan-akan sebagai menteri kesehatan, keuangan, dan pertahananku. Aku berelasi dengan-Nya, menjadikan persekutuanku sebagai cara ‘memaksa’-Nya untuk ikut apa mauku… dan kulupakan apa yang jadi kerinduan-Nya buatku.

Disiplin rohani yang kulakukan pelan-pelan menjadi kendor karena alasan yang kubuat sendiri. Di tengah kesibukan, kupakai waktu bermain hp terlalu lama hingga larut malam. Karena mengantuk, saat teduh pun “besok saja deh.” Ini hanyalah salah satu contoh ketidaktaatan yang seringkali menutup pintu-pintu berkat, yang membuatku gagal dalam merealisasikan setiap harapan yang seharusnya bisa kuraih. Kok bisa begitu? Sederhananya, ketidaktaatan membuat kita tidak lagi fokus kepada tujuan awal. Keberadaan Tuhan pun kita jadikan samar dalam proses hidup kita, sampai akhirnya kita hilangkan peran-Nya. Kadang juga saat hidup kita baik-baik saja, kita mulai membangun kerajaan kita sendiri. Kita ambil alih peran Tuhan sehingga hasilnya pun berantakan.

Kalau teman-teman pernah membaca artikel berjudul “Tuhan Utus, Tuhan Urus“, itu adalah artikel pertamaku di WarungSaTeKaMu. Kala itu aku baru dua minggu tinggal di desa terpencil di provinsi NTT sebagai guru pedalaman. Aku begitu bersemangat, dan kini sudah dua tahun aku menjalani panggilanku. Sebagai kesaksianku, sekalipun aku tahu apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidupku, tapi ada masa-masa di mana aku merasa sangat menderita—ingin pulang, bahkan berkali-kali aku menanyakan apakah memang di sini panggilanku, dan wadahnya melalui pekerjaanku saat ini sudah tepat? Kondisi di pedalaman yang tidak seperti diharapkan membuatku memikirkan keraguan ini. Entah karena lingkungannya, anak-anak yang kulayani, atau rekan kerja yang kadang sangat menjengkelkan.

Sampai akhirnya aku sadar satu hal… Hanya ketika kita taat dan fokus pada Tuhan, kita akan menemukan damai sejahtera. Damai yang tidak bisa ditemukan di dunia ini, hanya ada di dalam Dia. Damai yang bukan tergantung kondisi, tapi bagaimana kita tetap beriman kepada-Nya yang membuat kita memperoleh sukacita itu.

“Kalau kita tahu kita menderita karena kebenaran, tidak apa-apa. Jangan sampai sudah menderita, tapi tidak di dalam Tuhan pula.”

Kutemukan kalimat ini yang pesannya benar-benar menamparku. Betapa pentingnya hubungan di dalam Tuhan itu. Hubungan menentukan pengenalan, dan pengenalan kepada Kristus menentukan kenyamanan menjalani hidup serta pola pikir yang berubah.

Teman-teman, tahun ini mungkin banyak sekali resolusi yang sudah kita buat. Sekalipun demikian, kita tetap saja tidak tahu apakah akan lebih banyak berkat daripada cobaan; sukacita daripada dukacita; tawa daripada tangis; pertemuan daripada perpisahan; mendapat daripada melepaskan, dan begitu banyak hal lainnya.

Satu hal yang pasti, Dia, Kristus tidak akan meninggalkan kita berjalan sendirian. Bisakah Tuhan memberikan yang baik saja? Sebenarnya bisa saja, tapi hal itu tidak akan pernah membuat kita belajar dan naik kelas. Maka, Dia akan selalu izinkan banyak hal yang tidak enak agar kita terus bergantung kepada-Nya, melihat kuasa-Nya, dan semakin menyatakan kemuliaan-Nya.

Jadi, yuk, kita cek ulang di mana kita meletakkan peran Tuhan? Sebaik apapun resolusi tanpa Dia, semua hanya akan jadi kesia-siaan.

Semoga bukan hanya tahun yang baru ya, tapi kita juga harus turut ikut baru. Percuma tahun baru kalau diri kita masih terus hidup dalam manusia lama kita. Hehehehe😊

Selamat menjalani hidup kita bersama Tuhan, setiap hari.

“Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih.” (2 Yohanes 1:3).

Gently Reminder Buat Kamu Hari Ini

Untuk mengawali tahun yang baru ini, kiranya firman Tuhan berikut dapat menjadi harapan dan semangat baru untuk kita semua. Amin. 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Cara Memuliakan Tuhan dengan Emosimu

Oleh Charmain Sim.

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways to Glorify God with Your Emotions.

Masa-masa menjadi ibu menunjukkanku bahwa sebenarnya aku bukanlah orang yang kalem seperti yang kukira dulu. Semenit pertama aku kesal karena anakku tidak membereskan mainannya. Menit kedua, aku tertawa melihat tingkahnya menepuk-nepuk krayon supaya krayon-krayon itu tidur. Sukacita, frustrasi, senang, lelah, empati, tergesa-gesa, antusias, dan kesedihan—semuanya adalah emosi yang hadir setiap hari seperti roller-coaster.

Hasilnya, saat ini aku mengerti lebih baik tentang volatilitas emosi. Artinya, emosi itu bisa berubah dengan sangat cepat, mendorong dan menarikku ke berbagai arah jika aku bertindak berdasarkan apa yang kurasakan pada suatu saat. Mengalami berbagai macam emosi setiap hari membuatku merenung: apakah ada cara yang lebih baik untuk menanggapi setiap perasaanku?

Tidaklah salah untuk merasakan sesuatu. Perasaan diciptakan oleh Allah. Perasaan bisa dan harus memuliakan Allah (1 Korintus 10:31). Alkitab selalu bicara tentang seseorang secara utuh, seperti yang Yesus sampaikan di Matius 22:37, Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.”

Pertanyaannya adalah: Bagaimana? Apa artinya memuliakan Allah dengan sesuatu yang tidak berwujud seperti perasaan?

Salah satu ayat favoritku mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23).

Gambaran yang muncul ketika kita berpikir tentang “menjaga hati” adalah memasang pagar pengaman untuk menjaga hati kita dari segala sesuatu yang tidak kita inginkan. Tapi, supaya memastikan hati kita memancarkan kehidupan, kita harus melihat ke dalam pagar pengaman itu, untuk menyelidiki apa yang ada di dalamnya, yakni emosi kita. Apakah emosi kita berada di bawah naungan terang kebenaran ilahi supaya kita bisa menanggapi segala sesuatu dengan cara yang sesuai Alkitab?

Ini sama sekali bukan daftar lengkap tentang cara-cara menangani emosi kita, tetapi ada tiga kebenaran yang saat ini sedang kupelajari untuk kuterapkan pada emosiku, dalam upayaku untuk menjaga hatiku lebih baik.

1. Akui dan serahkan emosimu pada Allah

Akan lebih mudah untuk memuliakan Allah ketika kita sedang mengalami emosi yang positif. Dulu aku percaya bahwa merasa negatif itu tidak baik. Ketika aku sedih atau marah, aku memilih mengubur perasaan ini daripada mengutarakannya. Kecenderungan ini muncul karena watak alamiku, tetapi pengalamanku di masa lalu juga turut mempengaruhi bagaimana aku merespons. Namun, Alkitab menunjukkan sebaliknya, terkhusus di kitab Mazmur. Tidaklah salah untuk mengakui perasaan-perasaan kita. Faktanya, raja Daud datang kepada Allah membawa serta seluruh emosi negatifnya: ketakutan, kesedihan, kesepian, kemarahan, rasa sakit.

Tahun lalu aku bergumul dengan amarah. Dipicu hal kecil, awalnya aku berpikir untuk mengabaikan saja masalahnya. Tapi, semakin kuabaikan, semakin rasa marah itu tumbuh. Ketika aku jujur pada Tuhan, Dia membuka pandanganku untuk melihat bahwa kemarahanku lahir dari persepsiku bahwa aku gagal untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Hanya ketika aku mengakui dan jujur, di situlah Tuhan menyentuh dan membebaskanku dari belenggu kemarahan.

Aku belajar apa yang selama ini Daud ketahui: mengakui perasaan kita kepada Tuhan bukanlah suatu kelemahan. Sebaliknya, ketika kita melakukannya, kita mengaku bahwa kita membutuhkan Dia dan kita siap mendengar apa yang Allah ingin katakan buat kita. Dengan mengakui, kita turut menyatakan bahwa Allah jauh lebih besar daripada emosi yang dapat mengendalikan kita. Saat kita menjadikan Allah sebagai kekuatan dalam kelemahan kita, kita memuliakan Dia. Inilah mengapa, apa pun yang terjadi Daud tetap dapat memuji Allah (Mazmur 43:5).

2. Bicarakan firman Allah kepada emosi yang kamu rasakan

Ada saat-saat ketika aku dicengkeram rasa takut. Aku takut orang yang kukasihi meninggal. Takut akan keamanan. Takut melukai bayiku. Takut kehilangan kewarasanku. Ketakutan itu datang dalam berbagai bentuk dan ukuran dan selalu mencengkeramku. 

Tapi, tiap kali merasa takut, kubuka Alkitabku. Ayat-ayat seperti Roma 8:15 atau 2 Timotius 1:7 yang menyatakan bahwa Allah memberikan kita bukan roh ketakutan, tetapi roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan penguasaan diri, telah menolongku berjuang melawan rasa takut. Aku dikuatkan dan dibebaskan ketika menjadikan ayat tersebut doa buatku sendiri. Ketika firman itu kukatakan pada perasaanku, ketakutanku tidak langsung hilang. Namun, ketika aku terus melakukannya, pelan tapi pasti, rasa takut itu kehilangan daya cengkeramnya pada diriku.

Bukan berarti aku tidak lagi merasa takut, tapi sekarang aku bisa melihat dengan lebih baik bagaimana perasaanku sendiri mengarahkanku. Ketika perasaanku mengalihkanku menjauh dari Tuhan, aku bisa melawannya dengan senjata yang Tuhan telah berikan. Ketika aku melakukan ini, aku sedang memuliakan Dia.

3. Ubah emosimu menjadi tindakan

Meskipun perasaan kita bisa jadi indikator akan kondisi batin kita, perasaan juga bisa jadi cara Tuhan menyatakan kerinduan-Nya bagi kita agar kita bisa berjalan menuju tujuan-Nya bagi kita.

Membaca berita tentang anak-anak yang diperjualbelikan membuat kita marah. Mendengar tentang kehilangan seorang teman membuat kita sedih. Menyaksikan masalah sosial di kota kita membuat kita putus asa. Daripada berkubang dalam perasaan-perasaan itu, membanya ke hadapan Tuhan akan menolong kita memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan.

Yesus ingin pergi menyendiri, tetapi Dia tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak yang lapar sehingga Dia pun memilih melayani mereka (Markus 6:30-44). Setelah mendengar tentang reruntuhan Yerusalem, Nehemia mengubah kesedihannya menjadi tindakan nyata dengan memulai kembali pembangunan tembok kota (Nehemia 1).

Berjuang demi keadilan sosial, menghibur seorang teman, atau berlutut dalam doa syafaat—ada kalanya Roh Kudus mendorong kita untuk melakukan tindakan yang diarahkan Allah melalui emosi kita. Untuk memastikannya, kita perlu berhenti sejenak. Jika itu memang dari Roh Kudus, maka respons kita adalah taat. Itulah momen ketika letupan emosi kita bisa berubah menjadi tindakan yang memuliakan Allah.

***

Sejak aku berdamai dengan emosi-emosi dalam diriku, aku telah menemukan bahwa emosi adalah alat yang berguna untuk mengukur bagaimana kondisi batinku–dan aku ingin mengajakmu untuk melakukan yang sama. Saat kita memahami hati kita lebih baik, kita bisa mengambil langkah yang tepat untuk memuliakan Tuhan. Dari berserah kita jadi berdaya untuk taat. Perasaan kita bisa jadi sarana yang mendorong kita untuk memelihara “mata air” kehidupan dalam diri kita yang mengalirkan kasih, kebaikan, dan anugerah Tuhan.

Kiranya apa yang dituangkan keluar dari hati kita memuliakan Allah dalam segala hal.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagaimana Jika Aku Menyerobot Antrean Pulang ke Rumah Bapa?

Oleh Aris Budhiyanto

Bulan Oktober kemarin, bertepatan dengan hari peringatan kesehatan mental sedunia yang jatuh pada tanggal 10, aku banyak menemukan artikel yang membahas seputar kesehatan mental. Beberapa artikel yang kubaca membahas tentang kasus bunuh diri. Aku pun tergelitik karena tujuh tahun lalu aku pernah berpikir untuk meninggalkan dunia ini dengan sengaja.

Saat itu usiaku menginjak akhir 20-an, usia di mana seseorang mulai dianggap mapan secara finansial maupun dalam berkarier. Namun, hal itu tidak berlaku bagiku. Saat itu aku baru saja menyelesaikan pendidikan magister dan sudah beberapa bulan bergumul mencari kerja. Sedikit cerita tentang latar belakangku, sebelum memutuskan untuk melanjutkan studi, aku sudah beberapa tahun bekerja di sebuah kantor yang cukup baik di Jakarta, tapi aku meninggalkan pekerjaan lamaku dan melanjutkan studi magister untuk menjadi seorang pengajar. Keputusan ini sudah kudoakan sejak aku masih duduk di bangku kuliah. Tentu saja pilihanku ini kontroversial, terutama bagi orang tuaku karena mereka mengharapkanku bekerja di sektor industri. Namun, mereka tidak menghalangiku.

Berbulan-bulan menganggur dan mencari kerja, yang kudapat hanya penolakan. Orang tuaku yang turut mempertanyakan keputusanku dan mencoba mendorongku kembali ke pekerjaan lamaku membuatku merasa tertekan dan depresi. Bahkan aku mulai meragukan Tuhan dan keputusan yang kuambil. Malam demi malam aku berdoa. Salahkah aku memutuskan meninggalkan pekerjaan lamaku? Apakah hal yang aku doakan selama ini tidak berkenan kepada Tuhan? Jika demikian, mengapa Dia tetap menuntunku dan membawaku sampai di titik ini? Apakah Tuhan menghendaki aku untuk gagal? Apakah Tuhan tidak lagi mengasihiku? Lalu untuk apa aku hidup di dunia ini?

Saat itulah pikiran untuk meninggalkan dunia ini muncul. Aku ingin menghilang dan melepaskan diri dari semua ini. Tak jarang aku bercanda dengan teman-temanku, “bagaimana jika aku menyerobot antrean pulang ke rumah Bapa?”

Namun, puji Tuhan, Dia tidak membiarkanku mengambil keputusan yang salah. Aku masih takut akan Tuhan dan masih menyadari bahwa mengakhiri hidup bukanlah solusi akhir. Melalui teman-temanku, Tuhan menguatkan aku. Dia juga menuntunku untuk berkonsultasi ke psikolog yang melayani di gerejaku. Memang, kami tidak bisa menjawab mengapa Tuhan membiarkanku melewati semua ini, namun imanku semakin dikuatkan dan diteguhkan.

Aku menggunakan waktu menganggurku untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, berdoa, membaca firman dan mendengarkan lagu rohani, serta mengevaluasi diri hingga berserah. Aku sadar aku lebih ingin mengikuti egoku daripada mencari kehendak-Nya. Karena itulah aku marah ketika Tuhan tak kunjung menjawab doaku, hingga aku menolak semua hal baik yang Tuhan karuniakan, termasuk hidupku. Bisa dikatakan Tuhan menggunakan waktu menganggurku untuk membentuk karakterku agar aku tidak menyerah, tetapi berserah. Aku tidak lagi bersikeras untuk bisa menjadi pengajar dan mulai memikirkan pekerjaan lain jika Tuhan tidak menghendaki aku melayani di bidang pendidikan.

Saat itulah Tuhan justru menjawab doaku. Dia memberikan pekerjaan di kampus yang dulu aku menempuh studi S1. Masa-masa pergumulan itu kurasa memang Tuhan siapkan untuk menguji dan membentuk karakterku agar aku siap menjadi seorang pendidik. Setelahnya, barulah Tuhan mengutusku untuk melayani-Nya. Bukan lagi karena keinginanku, tapi atas kehendak dan kedaulatan-Nya.

Sekarang aku sudah hampir menyelesaikan studi doktoralku. Puji Tuhan, atas seizin-Nya aku diberi kesempatan untuk melanjutkan studi keluar negeri. Tentunya kehidupanku selanjutnya tidak mudah, bahkan aku juga mengalami banyak masalah yang membuatku tertekan dan depresi. Tapi, aku tidak lagi berpikiran untuk meninggalkan dunia ini karena aku punya Tuhan yang senantiasa menuntunku dan memegang erat tanganku, bahkan ketika aku melepaskan pegangan tanganku.

Melalui tulisan ini, aku berharap jika kalian sedang mengalami masalah yang sangat berat, hingga pernah berpikiran untuk meninggalkan dunia ini, kiranya ceritaku bisa menguatkan kalian dan menghilangkan pikiran itu. Meskipun aku tidak tahu apa masalah yang kalian hadapi, Tuhan tahu dan mengasihi kita semua, hingga Dia bersedia mati di kayu salib agar kita beroleh keselamatan. Jangan sia-siakan anugerah kehidupan yang tak ternilai ini.

Carilah pertolongan, melalui komunitas gereja yang dapat menjadi support system, atau ke psikolog.

Akhir kata, aku ingin membagikan ayat yang menjadi peganganku selama ini: 

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Ulangan 31:6).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sudah Sulit Cari Tempat Magang, Eh Ditambah Jadi Ketua Natal!

Oleh Ingan Girsang, Medan

Aku adalah sosok yang bisa dibilang perfeksionis, tapi seringkali aku tidak menyadarinya. Ketika teman-temanku tidak on-time saat ketemuan, itu seketika membuatku jadi bad mood. Atau, ketika ada janji yang dibatalkan tiba-tiba, padahal diri sendiri sudah mempersiapkan diri, aku pun kecewa. Hasil dari perfeksionis ini tak cuma rasa kecewa, tapi juga kecenderungan untuk menyalahkan keadaan atau diri sendiri yang ujung-ujungnya jadi beban buatku.

Saat kuliahku memasuki semester tujuh, pergulatan antara taat pada proses dan jiwa perfeksionisku beradu. Di semester itu aku diwajibkan untuk melaksanakan magang dan kupikir proses ini akan mudah. Di bulan Juli 2022, sudah banyak temanku yang mendapatkan tempat magang, sementara aku masih belum dapat karena masih mencari tempat yang sesuai dengan konsentrasi studiku. Aku memilih konsentrasi Politik Internasional yang mewajibkanku untuk mencari tempat magang di kantor pemerintahan atau perusahaan internasional. Jungkir balik dengan ekspektasiku, ternyata sangat sulit diterima dan mendapatkan tempat magang untuk konsentrasiku di kota Medan.

Kucoba daftar posisi internship di kantor konsulat India pada bulan Juli, tapi sampai Oktober belum juga ada panggilan. Saat itu aku ingat proses seleksinya. Aku duduk di depan kantor konsulat dan berkata, “Tuhan, aku yakin pasti Engkau akan menolongku dan pasti aku bisa magang. Tapi, biarlah ini atas seizin dan kehendak Tuhan.” Dengan berani dan percaya bahwa Tuhan menemani dalam setiap keadaan, aku masuk ke gedung kantor. Proses wawancara pun berhasil dan tinggal menunggu izin penerimaan dari Kementrian Luar Negeri India di New Delhi.

Tapi, sebulan dua bulan, tak kunjung berita baik kuterima sementara teman-teman seangkatanku sudah mulai magang. Dalam masa penantian ini akhirnya aku membantu dosen-dosen di jurusanku. Dalam hatiku, aku sangat khawatir jika tidak lulus di semester tujuh karena belum magang secara resmi. Dan… di tengah kondisiku yang penuh dilema itu, pengurus persekutuan memintaku untuk jadi ketua panitia Natal!

Saat itu aku hanya berpikir, “Apa ini ya Tuhan? Tempat magangku aja belum ketemu, apa yang harus kujawab ke mereka?” Dilema lain pun muncul. Kalau nanti aku diterima magang, pulang sampai sore lalu ngurus acara Natal lagi, apakah semuanya bisa berjalan baik?

Setelah bergumul, akhirnya aku menjawab bersedia jadi ketua Natal dengan anggota timku yang berjumlah empat orang. Aku hanya mengimani, “Jika Tuhan yang memilih kami, pasti Dia bakal perlengkapi.”

Dalam proses kepanitiaan ini, aku merasakan ada banyak pertumbuhan rohani dan aku benar-benar menaruh kepercayaanku pada Allah. Akhirnya, acara Natal pun berjalan baik, dan aku diterima magang di Konsulat Jenderal India di Medan. Semester itu aku diberkati Tuhan dengan IPK 4.00. Ketakutan dan kekhawatiranku akhirnya berubah jadi iman jika kita menyerahkan apa yang kita kerjakan, dan berjalan tanpa tunduk pada rasa takut, dan percaya bahwa Tuhan akan menolong dan menyertai kita.

Aku sangat meyakini bahwa ketika Tuhan menolong kita dalam peristiwa yang sebelumnya kita gumulkan dan perjuangkan, pasti di hari-hari depan Dia tetap bersama kita. Teruslah menaruh pengharapan hanya kepada Dia saja. Sebab kita sangatlah terbatas, baik dari segi kekuatan, dan kita tidak mampu mengendalikan situasi yang akan datang. Tetapi, dengan menaruh pengharapan dan penyerahan diri di dalam Dia, Kita akan mampu melangkah dengan keberanian, tanpa takut. Sebab Allah yang menolong kita dulu, adalah Allah yang sama yang terus mengawasi dan memperhatikan kita, dan seperti ada tertulis dalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat ku tanggung di dalam dia yang memberikan kekuatan kepadaku”.

Tuhan Yesus memberkati. Jangan pernah berhenti untuk berdoa, Dia Tuhan yang memperhatikan kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Untukmu yang Sedang Melewati Lorong Gelap

Oleh Yessica Anggi, Surabaya

Lorong gelap.

Itulah istilah yang kusematkan pada suatu masa ketika jalan hidupku terasa kelam. Aku pernah mengalami depresi, hilang tujuan hidup, dan kesepian. Aku tahu aku tidak bisa menyimpan semuanya sendirian, jadi kucoba untuk bercerita ke orang lain. Namun, saat itu bukannya dukungan yang kurasakan, malah penghakiman.

Kementrian Kesehatan mendefinisikan depresi sebagai sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang hati. Secara sederhana, depresi dapat dikatakan gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi perasaan, cara pikir, dan cara bertindak.

Pengalamanku dengan depresi terjadi sebagai dampak dari mengalami penolakan yang berujung kekecewaan, kegagalan dalam karier yang memaksaku memulai perjalananku dari awal lagi, juga kesepian. Aku pernah memiliki ekspektasi yang sangat tinggi buat hidupku. Aku harus jadi seperti teman-temanku yang pekerjaannya sudah lebih stabil. Soal hubungan pun aku mengatur diriku dengan ketat tanpa melihat sejauh mana kesiapan diriku. Ketika akhirnya aku terjatuh, mencari pertolongan dari orang lain terasa menakutkan karena aku takut respons mereka malah menambah rasa sakit di hati.

Sejak tahun 2022 aku bergumul dengan perasaan depresi ini, namun pelan-pelan Tuhan memberikan kedamaian hati. Dalam pekerjaanku sehari-hari di klinik perawatan pasien kanker, aku ditegur melalui cerita-cerita dari banyak pasien yang berobat. Mereka bertutur tentang beratnya perjuangan untuk bertahan dan tetap hidup. Ada seorang pasien yang bilang begini, “Aku tidak boleh nyerah, karena kehidupan yang diberikan kepadaku bukanlah kehidupan yang murah. Aku punya misi dan tugas yang belum selesai. Hidupku berharga.” Bukan hanya kata-kata itu saja yang membuatku tertegur, namun pasien itu juga mendonorkan kornea matanya! Salah satu tujuan hidupnya adalah dia ingin orang lain yang tidak bisa melihat dapat melihat indahnya dunia ini. Dengan mendonorkan korneanya, dia berharap walaupun nanti dia telah tiada, dia masih bisa menjadi berkat buat orang lain.

Cerita dan pertemuan dari orang-orang yang berjuang begitu hebat, yang tak cuma merasakan sakit di perasaannya, tapi juga di seluruh tubuh fisiknya menjadi cara Tuhan untuk membalut luka hatiku dan membuka pandanganku lebih luas. Adalah betul jika segala kepahitan hidup memaksaku masuk ke dalam lorong gelap yang panjang, tetapi imanku menolongku untuk tahu dan percaya bahwa lorong gelap itu tidak abadi. Di ujungnya, ada satu Sosok yang dalam terang-Nya menantiku untuk menikmati persekutuan erat dengan-Nya. Tuhan memberiku pemulihan meskipun semua masalah belum selesai. Saat ini aku telah bekerja kembali dan sesuai dengan janji-Nya, bila kemarin Tuhan menolongku, hari ini pun Dia akan menolong. 

Ada satu lagu yang liriknya menguatkanku.

Tuhan, Engkau memilihku
Sebelum ‘ku ada
Jemari-Mu yang menenunku
Serupa gambaran-Mu

Di saat “depresi”, pasti jalan yang kita lalui akan terasa seperti lorong gelap, namun lirik lagu itu mengajak kita untuk menyadari bahwa di balik kelamnya hidup, Tuhan merencanakan hidup yang indah dan baik buat kita. Tuhanlah yang memilihku untuk tujuan yang mulia sebelumku lahir.

Sekarang aku tahu bahwa ketika setiap orang dapat jatuh dalam depresi, kita dapat menyerahkan hidup kepada Sang Pemilik Hidup. Inilah keputusanku di tahun ini. Aku belajar untuk melepaskan kehendakku dan belajar bahwa kecewa, kesepian, dan sakit hati mungkin akan kembali kurasakan di masa depan, namun Tuhanlah yang pasti mengobatinya. Kadang kita dihancurkan untuk dibentuk kembali oleh-Nya.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang sedang bersusah hati, aku berdoa agar Tuhan menolongmu dan memberimu damai sejahtera sebagaimana dulu Dia menolongku. Tuhanlah tempat yang tepat untuk kita datang dan menyerahkan semua beban kita.

God bless you!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kutemui Tuhan di Lorong Rumah Sakit

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Sudah 24 jam lebih Frans, adikku, tak sadarkan diri. Hantaman benda tumpul yang sangat keras ke kepalanya, membuat tengkoraknya retak. Hasil CT Scan semalam menunjukkan adanya penggumpalan darah di kepala yang membuat dirinya kehilangan kesadaran dan terus kejang-kejang. Tangan dan kakinya terpaksa diikat ke tempat tidur agar posisinya terjaga dan tangannya tak mencabuti peralatan medis yang dipasang di kepala juga badannya. Tak hanya itu, dari mata kanannya yang terluka dan bengkak, masih mengalir darah segar yang membasahi perban yang melindunginya. Hematoma. Istilah asing yang kubaca pada salah satu berkas pemeriksaan yang tergeletak di meja di ujung tempat tidurnya. Operasi adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, dokter bedah saraf yang dijadwalkan untuk melakukan operasi pukul 08.00 belum tampak batang hidungnya di rumah sakit. Bahkan, sudah dua kali suster jaga di ICU/ICCU yang bolak-balik kutanyai memberi tahu perubahan jadwal operasi. 

“Pukul 10.00, Mbak!”

“Operasi dijadwalkan ulang pukul 12.00. Dokter masih melakukan operasi besar di rumah sakit yang lain.”

Sekarang sudah pukul 14.00. Pikiranku digelayuti perbincangan dengan dokter anestesi dan dokter jaga yang kutangkap ketika aku dipanggil ke ruang ICU/ICCU untuk menemui mereka. “Golden hour! Kita berkejaran dengan waktu. Peluang (hidup) pasien 40:60.“ Aku pun mengingat pesan dari pamanku yang dokter internis agar sabar mengikuti prosedur medis serta mendengar dan mengikuti setiap petunjuk dokter dengan baik ketika aku mengadu tentang jadwal operasi yang berubah-ubah saat dirinya menelepon tadi. “Sabar ya, Mbak. Kita tunggu dokter bedah.” Tepukan dokter anestesi di bahuku mengantarkan pikiranku kembali ke ruangan yang dingin dan beraroma obat itu. Ketika orang-orang menikmati tahun baru dengan berkumpul di rumah, aku memulainya di ruangan ini.

Pukul 15.00 lengking suara perawat terdengar dari ruang ICU/ICCU. “Keluarga Bapak Frans!!” Tak menunggu dipanggil dua kali, aku berlari ke depan pintu dan menampakkan muka di depan kotak kecil agar langsung dilihat suster ketika slotnya digeser.

“Saya, Suster.”

“Keluarga Bapak Frans? Dokter bedah mau bertemu, Mbak.”

Aku langsung mengenali dokternya dari seragam loreng yang melekat di badannya. Lengan bajunya dilipat hingga siku sehingga menonjolkan lengannya. Rhiza. Mataku menangkap satu kata yang disulam dengan benang hitam tebal di dada kanannya. Dia seorang dokter ahli bedah saraf terbaik di kota ini yang bertugas tetap di rumah sakit militer. Aku sedang menebak-nebak usianya tak jauh dari angka 40 ketika matanya terangkat dari berkas-berkas pasien yang dipegangnya dan melirik ke arahku, “Tindakan jam lima ya, Mbak.” Dokter Rhiza lalu menjelaskan prosedur dan proses operasi dari persiapan hingga nanti jika selesai, serta rencana selanjutnya untuk pasien. “Urgensi saat ini adalah nyawa pasien… bla… bla… bla…” Jawaban yang kuterima ketika rentetan pertanyaan seputar luka-luka serius lainnya yang perlu diperiksa, mengalir begitu saja dari mulutku. Dokter menggenggam tanganku kuat-kuat. “Doa yang kuat ya, Mbak. Saya dan tim hanyalah alat-Nya yang akan berupaya maksimal.”

Operasi hari itu selesai pukul 21.00. Frans didorong kembali ke ruang ICU/ICCU untuk pemulihan setelah sebongkah darah beku dikeluarkan dari kepalanya. Bagian tempurung kepalanya yang retak pun harus dipotong karena tak bisa lagi melindungi isi kepala. Di hari keempat, dirinya sudah sadar. Namun, dokter memberikan sedikit obat tidur agar dirinya beristirahat karena trauma dari pukulan itu membuatnya sangat kesakitan. Di hari ketujuh, Frans pindah ke kamar perawatan dan meninggalkan rumah sakit di hari keenam belas. Seminggu sekali, kami datang menemui dokter Rhiza untuk kontrol dan bersua dokter mata untuk perawatan dan operasi matanya.

Carilah TUHAN selama Ia berkenan untuk ditemui; berserulah kepadaNya selama Ia dekat! (Yesaya 55:6).

Seringkali, kita mendadak berdoa khusyuk ketika sedang menghadapi masalah yang berat. Lalu berdoa sekadarnya (bila tak ingin disebut tak lagi berdoa) ketika hidup terasa nyaman dan aman. Dilihat dari sisi siapa? Dirimu ataukah diri-Nya?

Apa yang Tuhan berikan dan tunjukkan ketika kita berdoa?

Damai Sejahtera

Ada banyak sekali omongan yang terdengar di ruang IGD, juga berbagai pembicaraan tentang kondisi Frans yang secara mata duniawi di ujung tanduk. Membawanya pergi jauh untuk menjangkau rumah sakit dengan peralatan dan pelayanan yang lebih baik hanya buang waktu saja. “Tidak usah capek-capek dan mengeluarkan biaya besar. Baru berjalan sebentar, kalian akan putar balik. Pulang (meninggal).”

Orang yang berdoa tidak terbebas dari masalah, ringan bahkan berat sekalipun. Tapi, di tengah-tengah goncangan itu, ada damai sejahtera. Rasa aman di dalam Tuhan. Rasa yang membuat hati tetap teguh dan tenang untuk mengambil keputusan-keputusan penting di saat genting.

Kekuatan

Ketidaknyamanan membuat pertumbuhan. Seorang atlet tidak mendadak bisa ikut kejuaraan tanpa melewati proses latihan. Kekuatan fisiknya terlatih lewat latihan yang dilakukan secara teratur. Sedang mentalnya, terlatih ketika mengikuti ujian lewat pertandingan. Kadang di saat latihan dan  pertandingan, ada saja yang lecet. Tapi dia harus bertahan jika ingin mencapai tujuannya. Kehidupan kerohanian pun begitu. Iman diuji bukan ketika keadaan sedang aman dan nyaman. Iman diuji lewat berbagai masalah yang Tuhan ijinkan terjadi untuk melatih pertumbuhan iman. Kekuatan untuk bertahan itu didapatkan dengan tertanam dalam-dalam pada hadirat-Nya. 

Pada waktu tunggu yang tak menentu di ruang tunggu ICU/ICCU itu, Tuhan berikan kekuatan lewat doa, baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama dengan keluarga/kerabat yang datang berkunjung. Kekuatan itu pun datang ketika berjalan dari ruang tunggu ICU/ICCU ke farmasi atau ke ruang radiologi, di toilet dan ruang lainnya dengan mulut dan hati tak berhenti untuk worship (menyembah) dan berdoa. Tuhan Maha Hadir. Dia hadir dan selalu ada kapanpun kita ingin berbincang dengan-Nya, di manapun! Termasuk di lorong-lorong rumah sakit.

Berserah Tapi Tidak Menyerah

Frans adalah pasien yang menjadi pusat perhatian sejak masuk ICU/ICCU. Di jam besuk ketika dokter bedah saraf belum datang, seorang kerabat dari salah satu pasien sekamarnya mendekati ranjang Frans. Melihat kondisinya, dia menceritakan kondisi kakaknya yang persis seperti itu setahun sebelumnya. “Dia hanya bertahan sehari, Mbak. Lewat.”

Masih berani berharap dalam situasi seperti itu? Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Aku yang sempat emosi ketika pertama kali melihat kondisi adikku, diingatkan oleh abangku untuk melepaskan pengampunan pada orang yang telah berbuat jahat, yang tidak bertanggung jawab. Tidak mudah, tapi itu yang Tuhan kehendaki agar kami bisa fokus pada proses kesembuhan Frans.

Di titik itu, aku sudah tak bisa menangis. Aku berserah. Tuhan yang pegang kendali atas kehidupan ini. Tuhan tahu yang terbaik dan Tuhan sedang mengerjakan sesuatu yang baik, apa pun itu! Jangan pernah menyerah dan berhenti berdoa.

Bagaimana kehidupan doamu saat ini?

Tidak ada orang yang ujug-ujug akrab tanpa ada yang sengaja memulai komunikasi dan ditanggapi oleh lawan bicaranya. Berdoa juga begitu. Kebiasaan berdoa harus dengan sengaja diaktifkan dan dibangun. Bagaimana mau mengenal Tuhan dengan dekat jika kita tidak pernah ‘ngobrol dengan-Nya?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu