Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat

Oleh: Alex Tee
(artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Ways To Know She Is The One To Marry)

5-ways-to-know-she's-the-one-to-marry-2

Kamu yakin ia adalah calon istri yang tepat?”

Pertanyaan semacam ini sangat sering kuterima saat sedang berpacaran. Sejujurnya​​, tanggapan pertama yang muncul di pikiranku adalah, “Aku nggak tahu“, karena rasanya terlalu lancang jika aku mengaku-ngaku lebih tahu dari Tuhan siapa pasangan yang tepat bagiku. Tetapi, tidak berarti aku kemudian sembarangan saja menjalin hubungan. Setidaknya lima hal berikut telah menolongku untuk memiliki kemantapan hati dengan pasanganku.

1. Ia tidak mendorongku berubah menjadi sosok yang ia inginkan, tetapi yang Tuhan inginkan.
Aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti aktor Korea favoritnya, Lee Min Ho. Aku pun tidak sekaya atau sepintar teman-temannya. Namun, ia tidak pernah membanding-bandingkan aku dengan mereka. Sebaliknya, dengan lembut ia selalu mengingatkan aku untuk menjadi seorang pria yang Tuhan kehendaki. Sebagai pelayan Tuhan penuh waktu, sering kali aku ingin berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih bergengsi. Tetapi, ia selalu mengingatkan aku bahwa bukanlah suatu kebetulan aku terlibat dalam pelayanan penuh waktu untuk kaum muda. Sungguh adalah suatu berkat yang luar biasa jika pekerjaan itu dipercayakan kepadaku meskipun aku bukan orang yang paling cerdas dan pintar bicara menurut ukuran dunia. Butuh kerendahan hati yang besar dari sisiku untuk menerima kata-kata itu. Tetapi, butuh keberanian yang lebih besar dari sisinya untuk bisa mengutarakannya dan mendorong aku menjadi orang yang tekun mengikuti kehendak Tuhan.

2. Ia mendengarkan Tuhan.
Ketika Tuhan berbicara, kita harus berusaha mendengarkan-Nya sebaik mungkin. Ketika dua orang sedang marah, apa pun yang dikatakan oleh salah satu pihak sering kali tidak didengarkan dengan baik, karena tiap pihak hanya memikirkan hak dan kepentingannya sendiri. Tetapi, ketika fokus kita terarah kepada Tuhan, kita tahu bahwa firman-Nya lebih penting daripada hak-hak kita; firman-Nya akan mengarahkan perasaan dan perkataan kita untuk memberi respons yang tepat. Setiap kali aku merasa tidak dapat berkomunikasi dengan pasanganku, Tuhan tidak pernah gagal untuk berbicara kepadanya melalui firman-Nya, dan memampukannya memberi tanggapan yang tepat, bahkan ketika kami sedang bertengkar hebat.

3. Ia terbuka dan jujur ​dalam membagikan pemikirannya.
Salah satu “aturan” pertama yang kami tetapkan pada awal hubungan kami adalah untuk selalu terbuka dan jujur terhadap satu sama lain​​. Aku pun takjub menyadari betapa nyamannya kami bisa saling berbagi segala sesuatu tentang hidup, mulai dari acara-acara yang kami ikuti hingga hal-hal yang telah melukai hati. Bayangkan jika kita harus menyembunyikan semua pemikiran dan rahasia terdalam kita dari orang yang seumur hidup akan mendampingi kita. Sangat tidak nyaman bukan? Sangat penting kita bisa saling terbuka dengan pasangan kita—tahu bahwa ketika kamu jujur kepadanya, kamu tidak akan dihakimi atau ditertawakan, sebaliknya kamu akan dimaafkan dan dihiburkan.

4. Ia ikut aktif memelihara hubungan kami, tidak sekadar mengikuti atau hanya menerima semua yang aku katakan dan lakukan.
Butuh dua tangan untuk bertepuk tangan. Butuh dua pihak yang sama-sama aktif untuk memelihara sebuah hubungan. Pasanganmu tidak bisa menjadi seorang yang hanya mengiyakan segalanya, tetapi harus menjadi seorang yang bisa ikut bertukar pikiran denganmu. Aku bersyukur bahwa dalam hubungan kami, pasanganku tidak mengizinkan aku menjadi seorang yang angkuh. Ia juga tidak berperilaku seperti seorang putri yang tidak bisa menerima kata “tidak”. Aku bersyukur ia sering kali mempertanyakan keputusan-keputusanku, mencoba memahami cara berpikirku, serta membantu mempertajam pemikiranku, agar pada kali berikutnya, aku dapat membuat keputusan yang lebih baik.

5. Ia suka (atau belajar menyukai) apa yang kusukai.
Menjalin sebuah hubungan tidak berarti harus mengakhiri semua hobi dan kegemaran pribadi kita. Tidak juga berarti kamu harus menemukan seseorang yang semua kesukaannya sama persis denganmu. Pada dasarnya aku menyukai olahraga (salah satu olahraga favoritku adalah basket), sementara pasanganku justru takut terhadap bola karena trauma buruk di masa kecil. Perbedaan ini tidak membuatku harus berhenti bermain basket. Pasanganku selama ini sangat mendukung; terkadang ia juga ikut bermain untuk belajar menikmati apa yang aku nikmati.

Alkitab berbicara tentang bagaimana “seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya” (Kejadian 2:24). Prinsip yang dibicarakan di sini adalah pergi dan meninggalkan hal yang lama untuk memulai sesuatu yang baru bersama orang yang kita kasihi. Jika kamu merasa tidak mampu meninggalkan kebiasaan lama atau kecenderungan pribadimu, menyerahkan “ruang pribadimu” untuk belajar menyukai apa yang disukainya, serta membuka seluruh isi hatimu kepadanya, mungkin kamu sebenarnya hanya ingin berteman saja, tidak ingin menjadikannya pasangan hidupmu.

Apakah ini terdengar seperti usaha yang mustahil dan sulit? Jangan berkecil hati! Perjalanan “pergi dan meninggalkan hal yang lama untuk memulai sesuatu yang baru” ini pada praktiknya sangat menyenangkan, lebih daripada apa yang dapat kamu bayangkan.

 
 
Baca juga artikel oleh Tracy tentang Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Suami) yang Tepat.

Menguak Misteri Masa Depan

Oleh: Yuliani Trifosa

misteri-masa-depan

Siapa yang tidak ingin tahu tentang masa depan? Jika saja kita punya informasi lebih dulu tentang apa yang akan terjadi, bukankah kita dapat mempersiapkan diri lebih baik dan bersikap lebih arif?

Sebab itu, wajar saja kalau banyak orang senang dengan yang namanya ramalan. Termasuk aku dan keluargaku yang adalah keturunan Tionghoa. Menurut astrologi Tionghoa, karakter dan nasib seseorang itu ditentukan oleh yang namanya shio (sama seperti zodiak dalam astrologi Yunani). Shio dihitung menurut kalender bulan dan dilambangkan dengan 12 hewan. Setiap kali hari raya Imlek (Tahun Baru China) menjelang, selalu ada saja kerabat yang memberi kami buku tentang shio, atau yang meramalkan hal-hal di tahun mendatang berdasarkan shio.

Setiap kali ramalan shio dibacakan, aku dan semua anggota keluargaku pasti sangat antusias mendengarkan. Kami bersemangat ingin tahu tentang masa depan yang masih merupakan misteri bagi kami.

Namun, seiring dengan bertumbuhnya pengenalanku akan Tuhan, aku mulai berpikir bahwa kebiasaan ini bukanlah sesuatu yang benar. Memercayai ramalan shio berarti kita menggantungkan hidup kita pada perhitungan yang dibuat oleh manusia. Padahal, bukankah masa depan kita ada di tangan Tuhan, Sang Pencipta dan Pemilik hidup kita? Kegelisahan kita akan masa depan mungkin sekali mencerminkan keraguan kita akan pengaturan Tuhan. Apakah pengaturan-Nya cukup baik untukku? Bila kurang baik, apa yang bisa aku lakukan untuk memperbaikinya? Sebuah cara pikir yang berpusat pada diri kita sendiri dan mengecilkan wewenang Sang Pencipta semesta.

Sejak saat itu, aku bertekad melepaskan keterikatanku dengan ramalan, dan belajar memercayakan masa depanku ke dalam tangan Tuhan. Aku yakin Sang Pencipta tak pernah merancangkan sesuatu yang buruk. Segala sesuatu yang diperkenankan-Nya terjadi dapat dipakai-Nya untuk kebaikanku, menempaku makin kuat, membentukku makin indah dan sesuai dengan rencana-Nya.

Alkitab berkata: “Aku ini [TUHAN] mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11)

Kita hanya bisa melihat sebatas mata dan pikiran kita. Tetapi, Tuhan tahu segalanya. Dan, sekalipun Dia tidak memberikan detail peristiwa yang akan kita alami hari demi hari, Dia memberikan gambaran masa depan yang pasti dihadapi semua orang di dunia ini (baca Wahyu 20:11-15; 21:1-8). Daripada sibuk mencari tahu perhitungan manusia yang serba tak pasti, bukankah lebih baik kita mempersiapkan diri untuk menghadapi apa yang menurut Tuhan pasti akan terjadi?

Mengasihi Itu Tidak Mudah

Oleh: Deborah Tao
(artikel asli dalam bahasa Mandarin: 「愛」難,愛人更難)

Mengasihi-Itu-Tidak-Mudah

Kasih adalah konsep yang selalu sulit kumengerti. Dengan kondisi keluarga seperti yang kuhadapi, kasih adalah sesuatu yang terlalu indah untuk dibayangkan, terlalu jauh untuk diraih.

Ketika aku berusia 14 tahun, ibuku menikah lagi. Aku bersama ibu dan adikku lalu bermigrasi dari China ke Singapura untuk tinggal bersama ayah tiriku yang adalah warga negara Singapura. Saat itu aku bertanya-tanya dalam hati: Mengapa ibu menikah lagi? Mungkin ia sangat mencintai ayah tiriku itu.

Tetapi, ternyata ibuku malah sering bertengkar dengan ayah tiriku. Ibuku memang mudah naik darah dan keras kepala. Ketika konflik terjadi di antara mereka, barang-barang di rumah akan beterbangan, diikuti suara kaca yang pecah. Setiap kali mereka ribut, aku akan menyelinap keluar dari rumah untuk jalan-jalan sejenak. Namun, tetap saja suara-suara penuh kemarahan itu terdengar di seputar kompleks tempat kami tinggal. Perkelahian mereka kerap membekaskan luka di tubuh ayah tiriku dan mengundang kunjungan polisi. Sudah sering aku menangis dan berkata kepada ibuku bahwa aku rindu punya keluarga yang harmonis, tetapi jawabannya selalu meremukkan hati: “Itu tidak akan pernah terjadi”.

Parahnya lagi, hidup di Singapura tidaklah seperti yang kami bayangkan. Aku harus bisa mencukupkan diri dengan uang dua dolar sehari. Sebaik apa pun aku membaginya, tetap saja aku sering menahan lapar. Bisa punya cukup makan sehari sudah membuatku bahagia, sangat kontras dengan teman-temanku yang berusaha keras mengurangi makanan mereka demi menjaga bentuk tubuh. Kebiasaan mereka sangat menggangguku. Setiap kali aku melihat orang membuang-buang makanan, rasanya ingin sekali aku menggantikan mereka untuk memakannya sampai habis.

Demi mengisi perut, aku mulai bekerja paruh waktu pada umur 15 tahun. Pagi hingga siang hari aku sekolah, lalu malamnya aku bekerja sebagai seorang pelayan hotel. Sebagai konsekuensinya, aku hanya bisa beristirahat 4-5 jam setiap harinya. Namun, sekalipun sudah bekerja keras, aku tetap saja hampir tidak bisa memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Bisa dibilang tiga tahun itu adalah masa-masa tersulit dalam hidupku dan aku selalu merasa kelelahan.

Aku sangat sedih dengan kondisi hidupku, sekaligus sangat iri dan benci kepada mereka yang dilahirkan dalam keluarga bahagia. Aku bertekad suatu hari nanti akan meninggalkan keluargaku dan menjalani kehidupan yang kudambakan.

Demi mencapai tujuanku, aku mulai bekerja lebih keras agar bisa menabung. Bahkan pada hari sebelum ujian pun, aku tetap pergi bekerja seperti biasa. Aku belajar lebih giat agar dapat meraih apa yang kucita-citakan. Hidupku sarat dengan keletihan dan kemarahan. Aku berjalan tanpa arah dan kehilangan tujuan hidup.

Tak kuat lagi menanggung kesengsaraan dalam hidup, aku akhirnya memutuskan untuk menyerah. Namun, pada hari aku hendak mengakhiri hidupku, aku bertemu dengan seorang pendeta. Ia memberitahuku bahwa Tuhan mencintaiku. Saat itu aku berpikir, “Kalau benar Tuhan ada, Dia tidak mungkin membiarkan aku menderita seperti ini.”

Jadi aku bertanya kepada pendeta itu, “Bisakah Anda memberiku alasan mengapa aku harus tetap hidup?” Ia menjawab, “Jika kamu terus hidup, kamu dapat menolong banyak orang untuk hidup lebih baik.” Hatiku bergetar. Momen itu memperbarui tujuan hidupku, Tuhan memberiku alasan untuk tetap hidup.

Aku pun mulai menghadiri kebaktian di gereja dan mengenal banyak saudara-saudari seiman dalam Kristus. Kami saling mendukung seperti layaknya sebuah keluarga. Melalui proses membaca dan mendalami Alkitab, aku belajar apa artinya mengasihi diri sendiri, memaafkan diri sendiri, dan melepaskan beban masa lalu.

Dulu aku tidak tahu bagaimana cara menghargai hidupku sendiri, juga tidak tahu bagaimana bersikap sabar dan baik terhadap orang lain. Aku tidak bisa menerima kesalahan, aku seorang yang perfeksionis. Keangkuhanku seperti tembok yang tidak dapat ditembus—tebal dan keras.
Namun, setelah mengenal Yesus, karakterku mulai diproses dan diubahkan. Yesus mengajarku untuk mengasihi, untuk menerima perbedaan, dan untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang lain, sembari memberi diriku sendiri waktu untuk belajar dan memperbaiki diri. Aku juga belajar untuk rendah hati, menanggalkan kesombonganku, dan melepaskan diri dari kepahitan masa lalu.

Setelah beberapa waktu berlalu, aku memberi diri menjadi volunter, dan bertemu banyak orang yang juga telah kehilangan tujuan hidup mereka. Atas kasih karunia Tuhan, kesaksian hidupku menguatkan mereka untuk memulai kehidupan yang baru.

Mengingat kehidupanku yang dulu, sungguh tidak pernah terpikir olehku bahwa Tuhan akan menyediakan sebuah keluarga lain (dalam Kristus) untukku (dan anggota keluarga besar ini terus bertambah!). Seiring aku bertumbuh makin dekat dengan Tuhan, aku juga belajar untuk mengampuni ibuku. Aku mulai bisa memahami bahwa ia sebenarnya juga menderita; ia menyakiti kami dengan tutur lakunya karena ia sendiri tidak mengenal Tuhan. Bila aku berada pada posisinya, mungkin aku juga akan memiliki sikap yang sama.

Aku bersyukur kepada Tuhan atas damai dan sukacita yang telah Dia diberikan kepadaku sejak aku mengenal Dia secara pribadi. Kiranya Tuhan juga memberikan berkat yang sama bagi Saudara.

Tentang Cinta dan Pernikahan: Siapakah “Jodohku”?

Oleh: Kezia Lewis
(artikel asli dalam bahasa Inggris: Of Love And Marriage: Who Is “The One”?)

Of-Love-and-Marriage--Who's-the-One-

 
Aku baru menikah selama 4 tahun dari 34 tahun usiaku, jadi jelas aku bukan seorang pakar tentang cinta dan pernikahan. Namun, karena aku sudah menikah, aku sering ditanyai oleh banyak teman yang masih lajang: “Bagaimana kamu tahu bahwa Jason, suamimu, adalah ‘jodohmu’?”

Jadi, bagaimana aku tahu?

Dulu aku juga suka menanyakan hal yang sama. Aku sangat percaya bahwa Tuhan menyediakan seorang pria tertentu bagiku. Aku ada dalam sebuah perjalanan panjang untuk menemukan jodohku itu. Tetapi, pada saat yang sama aku pun bertanya-tanya: ”Bagaimana aku bisa mengenali siapa jodohku, orang yang tepat untukku?”

Aku bergumul cukup lama dengan pertanyaan ini. Bagaimana gerangan aku bisa tahu apakah pria di depanku adalah orang yang seharusnya kunikahi? Perasaan seperti apa yang seharusnya aku punya? Tanda apa yang harus aku cari?

Aku terus berusaha mencari jawabannya hingga akhirnya aku menemukan betapa cacatnya gagasanku tentang cinta dan pernikahan. Pada akhirnya aku menyadari bahwa yang namanya “jodoh” itu sebenarnya tidak ada.

Jika Allah telah menentukan satu orang tertentu menjadi jodohmu, itu artinya pilihanmu sangat sempit dan sulit ditemukan. Siapa gerangan orangnya? Allah tidak pernah memberikan detail yang spesifik dalam Alkitab tentang seperti apa orang itu. Aku percaya bahwa jika kamu memiliki hubungan yang selaras dengan Tuhan, dan hidup menurut jalan-Nya, Dia akan memimpinmu kepada beberapa orang yang mungkin dapat menjadi pasanganmu. Ya, benar. Beberapa. Tidak hanya satu, tetapi banyak. Seorang pria atau wanita yang adalah seorang pengikut Kristus sejati dapat saja menjadi suami atau isterimu karena kalian berdua sudah memiliki Kristus sebagai fondasi yang sama untuk membangun hubungan. Yang membuat orang itu memenuhi syarat untuk menjadi pasanganmu adalah hubungan yang sungguh-sungguh dimilikinya dengan Yesus. Hubungan tersebut dapat terlihat dengan cara yang berbeda-beda dalam hidup tiap-tiap orang. Namun, itulah yang mendasar. Hal-hal lainnya adalah pelengkap, ibarat hiasan gula di atas sebuah kue.

Kemudian, Tuhan mau kamu membuat sebuah pilihan. Kamu bertanya kepada Tuhan apakah pria atau wanita ini adalah “jodohmu”, sebaliknya Tuhan juga meminta kamu memilih apakah pria atau wanita ini adalah orang yang tepat buatmu. Inilah salah satu keindahan menjadi anak Tuhan: Dia memberimu kebebasan untuk membuat pilihan. Dia bukanlah seorang diktator yang memberi perintah, dan kamu hanya mengikuti. Tuhan memberimu kapasitas untuk berpikir dan menginginkan. Jadi, aku berani berkata: Pilihlah seseorang. Pilihlah untuk mencintai dan untuk menjanjikan cinta. Janganlah pemikiran untuk menemukan “jodoh” membuatmu hidup penuh keraguan untuk melangkah.

Aku tidak menikahi “jodohku”. Tetapi, karena aku memilih suamiku, ia pun menjadi “jodohku.” Aku menikahi seorang pria yang dibawa Tuhan ke dalam perjalanan hidupku, orang yang kupilih untuk kucintai, orang yang kulihat dapat melayani dan bertumbuh bersamaku.

Aku mendorongmu untuk mendoakan seorang pasangan hidup, untuk memohon hikmat dari Tuhan saat kamu membuat keputusan. Tuhan mau kita berdoa dalam menemukan pasangan hidup. Tetapi, yang lebih penting lagi, kita seharusnya berdoa agar kita semakin memahami bahwa pernikahan itu bukan tentang seorang yang kita nikahi atau tentang pemenuhan kebahagiaan kita (bukan berarti Tuhan tidak menghendaki kita bahagia). Pernikahan itu pada akhirnya adalah tentang apa yang Allah inginkan kita lakukan dalam hidup agar dapat mencerminkan kemuliaan-Nya. Pernikahan adalah tentang Allah yang menunjukkan kasih yang tidak berkesudahan bagi kita dan bagi gereja/umat-Nya (Efesus 5:21-33).

Meskipun menantikan “orang yang tepat” atau “jodoh” dari Tuhan kedengaran romantis, baik, dan bahkan mungkin alkitabiah, kamu sungguh tak perlu menunggu. “Pribadi yang tepat”, yang sungguh kita butuhkan dan yang dapat memuaskan hasrat hati kita sepenuhnya, sudah ada bersama dengan kita 一Yesus. Di dalam Dia, kita sudah menjadi pribadi yang utuh.

Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Suami) yang Tepat

Oleh: Tracy Phua
(artikel asli dalam bahasa Inggris: 5 Ways To Tell He Is The One To Marry)

5-ways-to-know-he-is-the-one-to-marry

Berkencan bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan melelahkan—bagaimana kamu tahu bahwa orang yang berkencan denganmu adalah orang yang tepat menjadi pasangan hidupmu? Inilah pertanyaanku sekitar 16 bulan yang lalu. Hari ini, aku bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada semua anggota keluarga yang sudah menolongku dalam mengambil keputusan pada saat itu. Pengalamanku belum banyak, tetapi berikut ini setidaknya ada lima tanda yang telah menolongku mengenali apakah cowok yang berpacaran denganku dapat serius kupertimbangkan sebagai pasangan hidup.

1. Ia mendengarkan. Aku belajar bahwa para pria pada dasarnya suka mencarikan solusi. Sejak kecil aku melihat ayah dan para pamanku selalu siap memberikan solusi setiap kali para wanita di rumah menunjukkan ketidakberdayaan mereka dalam situasi-situasi tertentu. Sayangnya, kebanyakan pria cenderung berlebihan dalam memberikan solusi, terutama ketika suasana hati pasangan mereka sedang kacau. Biasanya yang diinginkan para wanita ketika mereka sedang merasa lelah dan marah hanyalah kesediaan para pria untuk mendengarkan dan hadir untuk mereka. Mereka tidak ingin para pria menawarkan solusi pada saat yang tidak tepat, tanpa mempedulikan apa yang sedang mereka rasakan. Para wanita ingin ada sosok yang menemani dan membuat mereka merasa tenang. Dan, cara terbaik untuk itu adalah mendengarkan mereka meluapkan apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka.

2. Ia peduli dengan apa yang kamu pedulikan. Pada awal hubungan, kebanyakan pria akan memperhatikan segala sesuatu yang melibatkan pasangan mereka. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, adakalanya mereka berhenti melakukannya, bahkan mulai menganggap hal-hal tertentu sebagai sesuatu yang biasa. Seseorang yang dapat mendampingimu seumur hidupmu akan menjadikan apa yang kamu pedulikan sebagai kepeduliannya juga. Ketika ia tahu bahwa ada peristiwa penting yang harus kamu hadiri, ia juga akan hadir untuk memberikan dukungan. Bagi aku pribadi, momen itu adalah ketika pacarku (yang sekarang menjadi suamiku) datang pada pemakaman nenekku. Nenekku sangat berarti untukku, dan kehadiran pacarku saat aku kehilangan nenek sangatlah berarti untukku.

3. Ia cepat meminta maaf. Seorang bernama Garrett McCoy sekali waktu pernah berkata, “Lebih baik aku minta maaf sekarang kepadamu karena tidak bersikap sepatutnya, daripada nanti aku harus berhadapan dengan murka Tuhan.” Seorang yang cepat minta maaf menunjukkan kedewasaannya dengan mengakui kesalahan dan menunjukkan keinginannya untuk memulihkan hubungan. Ia tidak dikendalikan oleh keangkuhan maskulinnya, tetapi bersedia mengakui kelemahannya dan bertumbuh bersama dalam hubungan itu. Aku pribadi percaya bahwa dalam berbagai situasi, pernyataan “maafkan aku” dapat lebih bernilai dibandingkan pernyataan “aku sayang kamu.”

4. Ia bisa berhubungan baik dengan keluargamu. Keluargaku adalah bagian yang sangat penting bagi hidupku, sebab itu aku sangat berharap suamiku dapat diterima dengan baik oleh mereka. Aku bersyukur para tanteku sangat senang dengan pacarku (yang sekarang menjadi suamiku), dan membuatkan masakan kesukaannya setiap kali kami datang mengunjungi mereka. Sebaliknya ia juga suka membantu para tanteku saat mereka perlu memperbaiki sesuatu di rumah. Mendapat jempol dari keluarga memberi rekomendasi dan bukti bahwa ia punya karakter yang baik. Jika ia punya karakter yang baik, separuh pertandingan sudah dimenangkan.

5. Ia takut akan Tuhan. Aku sering mendengar ungkapan ini:“A couple that prays together, stays together.” [Pasangan yang berdoa bersama, akan tetap bersama]. Aku bersyukur bahwa aku dan suamiku telah berdoa bersama secara teratur bahkan sebelum kami menikah. Selain itu, aku sangat bersyukur melihat kecintaannya pada Tuhan tercermin dari ketaatannya. Selama 9 bulan pernikahan, aku telah melihat sendiri bagaimana ia menyediakan waktu secara khusus setiap pagi bersama Tuhan, membaca Alkitab secara teratur, dan sering mendiskusikan Firman Tuhan denganku. Sikapnya menginspirasiku untuk lebih rajin dalam kehidupan doa dan saat teduhku sendiri.

Sembilan bulan ini mengajarku bahwa pernikahan melibatkan dua orang yang tidak sempurna, yang berdosa, yang tidak bisa menjadi satu dengan sendirinya. Butuh pihak ketiga, yaitu Allah, untuk menyatukan keduanya.

Jadi, menikahlah dengan seseorang karena siapa yang berusaha ia ikuti/teladani dalam hidupnya, dan bergabunglah dalam perjalanannya. Banyak yang telah memberi kami peringatan bahwa jalan ke depan bukanlah jalan yang mudah, sarat dengan sukacita juga dukacita. Tetapi, kami dapat melaluinya dengan berani, karena selain punya teman seperjalanan, kami juga memiliki Kristus di pusat pernikahan kami, dan yang lebih penting lagi, di pusat hidup kami masing-masing.

 
Baca juga artikel oleh Alex tentang Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat.

Sharing: Satu Hal Apa yang Ingin Kamu Perbaiki Dalam Hubunganmu dengan Orang Lain?

featured-2015-02-sharing-inside

Ayo sharingkan kesaksianmu melalui kolom komentar di bawah ini.

Memperbarui Resolusi Setiap Hari

Oleh: Melody Tjan

Have-you-given-up-on-your-new-year-resolutions

Mungkin kamu pernah mendengar ungkapan, “Keledai saja tidak akan jatuh pada lubang yang sama.” Pada dasarnya ungkapan ini hendak mendorong kita untuk belajar dari kesalahan, jangan sampai mengulang kebodohan yang sama. Tapi, jujur saja, bukankah sering kita mendapati diri kita mengulangi kegagalan yang serupa dengan tahun-tahun sebelumnya?

Aku teringat duduk di dalam kelompok kecil setiap tahun baru tiba, menuliskan resolusi kami dalam berbagai bidang kehidupan. Kami menuliskan harapan yang indah dan tekad yang hebat, seperti:

Aku ingin memperbaiki HPdT dengan menata lagi waktu teduhku secara teratur.
Aku mau olahraga tiap hari untuk menjaga tubuh yang Tuhan berikan tetap sehat.”
Aku akan menabung lebih banyak dan mengurangi belanja.”
Aku bertekad membaca seluruh Alkitab selama tahun ini.”
Aku mau membagikan Kristus di lingkungan tempat tinggalku.”
Aku ingin bertumbuh menjadi orang yang lebih sabar dan penuh kasih.”
Aku tidak akan menunda-nunda pekerjaan.
Aku ingin lebih cepat mendengarkan dan lebih lambat untuk bicara atau marah-marah.

Lalu, dalam beberapa minggu berikutnya, kami akan nyengir sambil membagikan perjuangan kami menjalankan resolusi masing-masing. Kami punya banyak alasan pemaaf yang baik. Urusan keluarga yang banyak. Tidak punya cukup waktu. Terlalu banyak beban kerja. Hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi tanpa diduga. Kami menghadapi orang-orang yang sulit. Tiap kali kami bertemu, kami punya banyak alasan baru. Entah bagaimana, semangat tahun baru kami menguap dengan cepat seiring dengan mulai datangnya berbagai tugas dan masalah baru. Tanpa diminta, tidak ada lagi yang membicarakan soal resolusi tahun baru dalam pertemuan-pertemuan sesudahnya. Setidaknya sampai tahun baru kembali tiba, dan pemimpin kami membagikan lagi lembar resolusi tahun baru untuk diisi.

Aku tidak tahu apa yang menjadi pengalamanmu. Tetapi kandasnya resolusi-resolusi yang pernah aku buat (dan gagalnya lebih dari sekali), sangat mudah menyurutkan semangatku pribadi. Aku tahu aku seharusnya berusaha hidup serupa Kristus, menjadi teladan bagi sesama, tetapi faktanya, aku sangat mudah menyimpang, sangat mudah jatuh. Menyedihkan sekali! Selama beberapa tahun kemudian aku menyerah, berhenti membuat resolusi. Untuk apa membuat rencana-rencana hebat jika sudah jelas nanti akan gagal juga? Kita hidup dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, tidak ada yang sempurna. Jadi, tak perlulah berpikir panjang, nikmati saja apa yang ada di depanmu.

Tapi, Tuhan baik! Firman-Nya mengingatkan kita bahwa kegagalan tak seharusnya menghalangi kita membuat resolusi untuk melakukan apa yang baik, apa yang dapat menolong kita untuk bertumbuh dalam kedewasaan rohani. Rasul Paulus yang punya hasrat besar untuk mengenal Kristus lebih dalam dan melayani-Nya secara total pun mendapati dirinya pernah gagal. Ia telah mengajar orang untuk bersukacita di dalam Tuhan, beriman kepada-Nya, dan menghidupi panggilan-Nya. Namun, ia mengakui bahwa itu tidak berarti ia sendiri sudah sempurna dalam semua itu (Flp. 3:12). Tempatkan diri kita pada posisi Paulus. Resolusi yang ia buat untuk mengikuti Kristus telah menggantikan reputasinya yang hebat dengan deraan cambuk dan borgol di penjara (bandingkan Flp.3:4-7). Belum lagi ia harus menghadapi rasa iri dan permusuhan dari orang-orang yang seharusnya menolongnya sebagai saudara-saudara seiman (Flp.1:15). Sangat bisa dimaklumi jika Paulus memilih untuk menyerah dan menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja. Tetapi, sepertinya Paulus membuat resolusi baru setiap hari karena ia bertekad untuk: “melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.” (Flp.3:13). Paulus mengarahkan pandangannya pada sukacita besar yang telah disediakan Allah dalam anugerah-Nya di masa yang akan datang: “[Aku] .. berlari-lari pada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Paulus tidak membiarkan kegagalan melumpuhkan semangatnya. Ia terus berlari maju karena ia yakin bahwa tujuan-tujuan Allah dalam dirinya pasti akan digenapi. Tuhan akan menyediakan anugerah yang cukup untuk setiap hari yang ia jalani!

Apa pun situasi yang kita hadapi, mari memperbarui komitmen kita (atau buatlah sebuah komitmen baru) di hadapan Tuhan. Tuliskan. Tempelkan di tempat yang mudah dilihat tiap hari. Bila perlu, tambahkan catatan kecil seperti yang kudapatkan dari seorang pendeta berikut: “Jika aku gagal, aku tidak akan berkubang dalam keputusasaan. Aku akan menyemangati diriku dalam kasih karunia Allah, bertobat, dan memulai lagi.” Mari menjadi orang-orang Kristen yang bersemangat tahun ini! Bersemangat mengejar keserupaan dengan Kristus sepanjang 365 hari ke depan. Kita mungkin pernah gagal di babak sebelumnya. Namun, jangan biarkan kegagalan melumpuhkan kita. Ambil waktu untuk membuat resolusi baru dan arahkan pandangan kita pada anugerah Allah, pada upah besar yang telah disediakan-Nya bagi setiap orang yang setia hingga akhir!

Dia Hadir … dan Memberi Anugerah!

Oleh: Leokristi

dia-hadir

Mungkin kamu merasa hari-harimu adalah hari-hari biasa. Tidak ada yang istimewa. Kamu bangun pagi, siap-siap ke sekolah (atau kerja), mengerjakan tugas, ngobrol dengan temen, begitu seterusnya tiap hari. Semua yang terjadi ya memang sudah sewajarnya terjadi.

Itulah yang kurasakan selama bertahun-tahun. Masa sekolahku adalah masa yang tak jauh berbeda seperti anak-anak pada umumnya. Sejak TK, SD, SMP hingga SMA aku bersekolah di sekolah swasta bersama dengan kakak perempuanku, putri dari saudara perempuan ibuku. Usia kami sama, hanya saja aku dua bulan lebih muda darinya. Saat TK, SD, dan SMP kami satu sekolah, bahkan satu kelas, hanya saja saat SMP kami berbeda kelas. Hingga akhirnya Ujian Nasional untuk SMP tiba. Kami lulus bersama, namun dengan hasil yang berbeda. Nilai kakakku ada jauh di atas nilaiku. Hal ini yang membuatnya dapat bersekolah di SMA Negeri, sedangkan aku hanya dapat bersekolah di SMA swasta. Mungkin kelihatannya sepele. Tetapi tidak bagiku. Aku cukup terpukul dan merasa minder saat itu. Selama ini aku merasa lebih baik dari kakakku. Nilai-nilai ujian harianku biasanya selalu di atas kakak perempuanku. Namun, kali ini, aku kalah. Aku tidak bisa meraih apa yang aku inginkan.

Hari-hari awalku di SMA terasa sangat berat. Suatu hari aku membaca Alkitab, dan aku sampai pada firman Tuhan yang berkata “Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya.” (Matius 21:22). Setiap malam aku membaca ayat ini, aku tulis dalam secarik kertas, aku ucapkan dengan mulutku. Aku seperti mensugesti diriku sendiri berdasarkan ayat firman Tuhan ini dengan mengatakan, “aku akan memperoleh apa yang aku minta kepada Tuhan asalkan aku berdoa dengan penuh kepercayaan kepada Allah”. Setiap malam, sebelum aku tidur aku berdoa “Tuhan izinkanlah aku untuk masuk sekolah negeri”. Aku bahkan pernah menulis impianku ini dalam catatan harianku.

Hari pun berlalu. Dan aku mulai melupakan doa yang pernah aku ucapkan di awal masuk SMA itu. Bertahun-tahun tumbuh di lingkungan sekolah berlatar belakang Kristen dan Katolik, aku tentu saja percaya bahwa Tuhan itu ada. Aku berdoa dan membaca Alkitab. Tetapi, apakah Tuhan benar-benar mendengarkan? Entahlah… Aku tidak berani berharap banyak. Masa SMA-ku pun berjalan seperti biasa, normal seperti anak SMA pada umumnya. Pada tahun terakhir, aku mendapat tawaran dan dorongan dari guru BP-ku untuk mengisi sebuah formulir pendaftaran dan membuat surat lamaran untuk masuk universitas melalui jalur PMDK atau masa itu disebut PSSB. Sekali lagi aku tidak berani berharap banyak. Takut kecewa.

Namun, Tuhan memakai momen itu untuk mengajarku bahwa Dia sungguh ada, Dia memegang kendali atas hidupku, dan Dia memperhatikan kerinduan hatiku.

Beberapa waktu kemudian, di luar dugaan, aku diberitahu bahwa aku diterima di sebuah universitas negeri di Semarang. Aku tertegun. Rasanya sangat luar biasa. Ini anugerah! Hadiah yang tak terbayangkan! Pemberian yang sangat hebat! Saat teman-teman lain masih bingung harus meneruskan ke mana, aku sudah dinyatakan diterima masuk ke universitas negeri yang pernah kuimpikan. Betapa hatiku melimpah dengan ucapan syukur.

Ya, hari-hari kita bisa saja terasa datar. Kita menaikkan doa-doa kita setiap hari tanpa ada sesuatu yang istimewa terjadi. Kita lalu ragu apakah Tuhan benar menyertai dan memperhatikan hidup kita. Sebagian orang bahkan mungkin berhenti berdoa dan akhirnya meninggalkan Tuhan. Kenyataannya, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Memang tak selalu Dia menjawab doa menurut waktu dan cara yang kita tentukan. Itu karena Dia Tuhan! Dia tahu apa yang dilakukan-Nya! Kita saja yang kadang-kadang merasa lebih tahu dari Tuhan, dan bahkan mungkin mencoba mengatur Tuhan kapan dan bagaimana Dia harus menjawab doa-doa kita. Lucu ya? Padahal, Allah kita adalah Allah yang Mahabijak dan Mahakuasa, Mahabaik dan Mahapemurah. Jelas Dia tahu hal terbaik yang kita perlukan!

Seandainya Tuhan langsung memberikan apa yang aku inginkan, mungkin saja sampai hari ini aku tidak memahami apa artinya anugerah. Mungkin aku akan merasa sudah sewajarnya aku meraih semua yang aku peroleh, karena aku berusaha keras untuk itu. Mungkin aku akan selalu merasa diri lebih baik dari orang lain dan tidak mengandalkan Tuhan. Mungkin aku akan menjalani hari-hariku begitu saja tanpa ucapan syukur dari hati. Namun, dengan mengizinkanku mengalami kegagalan dan kekecewaan, Tuhan mengajarku untuk melihat setiap hari dan setiap kesempatan sebagai anugerah yang tak ternilai dari-Nya.

Tiga Pertanyaan yang Sering Terlupakan dalam Resolusi Kita

Oleh: Christine E
(artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things We Miss in Our Resolution-Making)

yang-terlupakan-dalam-resolusi

Aku senang tahun baru datang segera setelah perayaan Natal. Setelah mengingat kelahiran Sang Juruselamat yang datang untuk mati bagi dosa-dosa kita, kita diperhadapkan pada awal yang baru—tahun yang penuh dengan harapan baru. Karena aku kini hidup di dalam Kristus, aku dapat menjalani setiap hari dengan harapan baru.

Aku yakin aku bukan satu-satunya orang yang bertekad untuk menjadi lebih baik dan bertumbuh lebih bijak dalam 12 bulan ke depan. Izinkan aku mengajukan beberapa pertanyaan dan membagikan beberapa resolusi tahun baruku.

Pertama, apakah resolusi tahun baru kita menyentuh masalah-masalah yang mendasar dalam hidup kita?
Kita bisa saja membuat resolusi untuk berolahraga tiga hari seminggu, tetapi jika kita tidak benar-benar mengevaluasi cara pandang kita terhadap kehidupan, kita akan tetap saja makan fast food setiap ada kesempatan. Kita butuh lebih dari sekadar melatih sebuah kebiasaan baru di tahun 2015; setiap kita juga butuh perubahan dalam sikap hidup. Apakah resolusi tahun baru kita menyentuh masalah-masalah yang mendasar dalam hidup kita? Salah satu resolusiku di tahun baru berkaitan dengan hal ini. Setiap mengakhiri hari, aku ingin merenungkan kembali apa yang sudah kualami, dan memilih satu hal untuk disyukuri. Tentu saja aku bisa bersyukur untuk banyak hal. Tetapi aku ingin memulai dengan hal yang sederhana. Aku akan berfokus pada satu hal setiap hari, dan memuji Tuhan untuk hal itu.

Kedua, apakah resolusi tahun baru kita berfokus pada diri kita sendiri, atau kita juga melihat hal-hal di luar diri kita?
Aku akan berolahraga. Aku akan meraih nilai-nilai yang lebih baik. Aku akan membuat catatan harian. Apakah resolusi-resolusi kita ini memberi pengaruh kepada dunia di sekitar kita? Setelah merenungkannya, aku membuat sebuah resolusi tahun baru untuk mengenal teman baru di gereja. Kedengarannya sederhana, bukan? Mungkin, tetapi aku ingin lebih dari sekadar mengetahui nama dan pekerjaan (atau sekolah) mereka. Aku akan mendekati seseorang yang tidak terlalu aku kenal, dan selama 12 bulan ke depan, aku ingin belajar memperhatikan mereka sebagai saudara-saudaraku di dalam Kristus. Aku ingin suatu waktu nanti mendapat kehormatan untuk turut andil dalam perjalanan hidup mereka—berbagi suka dan duka—melihat bagaimana Tuhan berkarya di dalam dan melalui hidup mereka. Aku belum tahu siapa yang akan kudekati, dan jujur saja aku tidak tahu bagaimana nantinya kerinduanku ini bisa terwujud—ini membawa aku memikirkan pertanyaanku yang ketiga dan terakhir.

Yang terakhir namun yang tak kalah penting, sudahkah kita menyerahkan resolusi kita kepada Tuhan?
Apakah kita mendoakannya? Apakah kita berharap Tuhan akan terlibat dan bekerja dalam hidup kita melalui resolusi-resolusi tersebut? Aku menyadari bahwa seringkali aku akan membuat sebuah keputusan besar (seperti bagaimana aku akan melewatkan 12 bulan ke depan) tanpa meminta nasihat Tuhan. Terkait hal ini, aku membuat resolusi untuk belajar berdoa secara konsisten. Sepanjang hari aku sudah sering berdoa, mulai dari doa yang panjang sebelum tidur hingga ucapan syukur sekilas ketika aku melihat langit yang biru. Tetapi, kita diminta untuk berdoa senantiasa (1 Tes 5:17 BIS), atau dengan kata lain, berdoa dengan tidak putus-putusnya. Aku ingin untuk senantiasa bercakap-cakap dengan Tuhan, seolah-olah Dia berada di ruangan yang sama denganku, karena memang sesungguhnya Dia ada di mana pun aku berada. Aku ingin mengundang-Nya terlibat dalam setiap hal yang aku lakukan, besar atau kecil, dan belajar peka melihat bagaimana Dia bekerja dalam hidupku. Aku menyerahkan resolusi-resolusiku ini kepada-Nya, dan tahu bahwa Dia akan melakukan hal-hal yang besar tahun ini. Dengan sukacita aku sangat menantikan bagaimana Tuhan akan mengubahku melalui komitmen-komitmen ini, dan apa yang akan Dia kerjakan melalui hamba-Nya yang sederhana ini.

Itu dia tiga resolusiku untuk tahun ini. Apa resolusimu?