“Dengan Segenap Keberadaan”: Mengenal Tuhan Lewat Disiplin Rohani Belajar

Oleh Jefferson

Setahun lalu, aku menulis tentang bagaimana aku belajar mengikut Kristus dari menggemari klub sepak bola Liverpool. Saking gemarnya aku terhadap Liverpool, aku pun hafal berbagai prestasi, strategi perekrutan, taktik permainan mereka, dll. Meskipun begitu, relasiku dengan Liverpool berhenti hanya pada “sebatas tahu”; aku tidak mengenal pemain-pemain maupun staf kepelatihan Liverpool secara pribadi.

Ilustrasi ini menunjukkan bahwa kita akan mencari tahu, mempelajari, dan mengingat hal-hal yang menarik perhatian kita, mungkin bahkan dengan antusiasme yang melebihi gairah kita terhadap Tuhan Allah sendiri.

“Bukannya tidak antusias, Jeff, tapi aku takut akan jadi sombong kalau tahu terlalu banyak,” mungkin respons ini muncul di benakmu.

Memang benar bahwa “[p]engetahuan membuat sombong…” (1 Kor. 8:1), tetapi balasan di atas yang terkesan rendah hati pun adalah bentuk arogansi yang terselubung: Aku terlalu “rendah” untuk kebenaran Allah. Arogansi inilah yang Paulus saksikan dalam orang-orang sebangsanya yang tidak mau percaya kepada Yesus. Mereka memiliki semangat untuk Allah, tetapi tidak berdasarkan pengertian; mereka hanya peduli dengan kebenaran versi mereka sendiri (Rom. 10:2-3). Ilusi pengetahuan inilah yang menghasilkan kesombongan.

Namun, jika kita menilik pada surat Paulus yang lain dalam 1 Korintus 8, ada jenis pengetahuan yang tidak menghasilkan kesombongan. Pengetahuan ini tidak hanya membuat kita menjadi rendah hati (ay. 2), tetapi juga melahirkan kasih yang membangun orang lain (ay. 1). Dari manakah asalnya? Allah yang adalah kasih (1 Yoh. 4:8) yang lebih dulu (1 Yoh. 4:19) mengenal dan mengasihi kita (ay. 3). Pemahaman “belajar” dalam konteks kasih Allah inilah yang akan kita pelajari lebih dalam.

Ketika membicarakan tentang “mengasihi Allah”, rasanya tidak mungkin kita tidak kembali kepada pernyataan Tuhan Yesus tentang kedua hukum yang pada mana “tergantung semua hukum Taurat dan kitab para nabi”. Kamu tentu tahu perikop mana yang kumaksud, bukan?

Belajar dari Tuhan Yesus tentang Belajar sebagai Penerapan Hukum yang Terutama

Matius 22:15–46 mencatat peristiwa yang kusebut “pertandingan intelektual empat ronde” antara Yesus dengan beberapa kaum cendekiawan pada masa-Nya. Dari pengalamanku mengikuti lomba debat Inggris SMA, pihak yang bergerak pertama biasanya memiliki kans menang yang lebih tinggi. Itulah yang “lawan tanding” Yesus coba lakukan dalam tiga babak pertama. Dengan maksud untuk “menjerat Yesus dengan ucapan-Nya” (ay. 15), mereka mengambil inisiatif serangan. Sayangnya, setiap peluru yang mereka tembakkan tidak sanggup untuk membuat lubang sekecil ujung jarum pun pada tembok pertahanan Yesus:

  1. Tentang hal membayar pajak kepada kaisar (ay. 15–21), Ia menjawab, “[B]ayarlah kepada kaisar hal-hal milik kaisar, dan kepada Allah hal-hal yang adalah milik Allah” (ay. 21);
  2. Terhadap pertanyaan orang Saduki tentang kebangkitan dari kematian (ay. 23–33), Yesus menghardik, “Kamu tersesat, tidak mengerti Kitab Suci ataupun kuasa Allah” (ay. 29) sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang kebangkitan orang mati; dan
  3. Terakhir, seorang ahli Taurat menguji Tuhan dengan satu pertanyaan sulit, “[P]erintah manakah yang terpenting dalam Hukum Taurat?” (ay. 36). Maka keluarlah Hukum yang Terutama itu dari mulut Yesus (ay. 37–39 TB):Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Inilah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Tuhan Yesus tidak hanya dapat melawan semua serangan yang datang kepada-Nya dengan penuh hikmat, Ia bahkan balik menyerang orang-orang Farisi pada ronde terakhir tentang hubungan Mesias dengan Raja Daud (ay. 41–46). Poin penting dari perikop ini bukanlah tentang Yesus yang menang telak dalam debat intelektual dengan orang Farisi dan ahli Taurat. Sebaliknya, perikop ini menunjukkan bagaimana Yesus dalam keilahian-Nya sebagai Anak Allah pun memberikan diri-Nya untuk mempelajari Taurat Bapa-Nya sebagai seorang pembelajar yang (bdk. Yoh. 7:15–16; Luk. 24:25–27). Meskipun Alkitab tidak mencatat tentang masa kecil Tuhan dengan lengkap, satu peristiwa yang Lukas catat terjadi ketika Yesus berumur 12 tahun berakhir begini: “Yesus pun bertumbuh semakin besar dan semakin bijaksana. Ia juga semakin disukai Allah dan manusia” (Luk. 2:52).

Karena tujuan kita mempraktikkan disiplin rohani adalah agar kita menjadi semakin dengan Kristus, adalah wajar bagi kita untuk bertanya, “Bagaimanakah aku dapat belajar sebagaimana Tuhan Yesus belajar?” Tentunya tidak dengan cara yang persis sama dengan bangsa Yahudi 2000 tahun lalu. Kita yang hidup di abad ke-21 dapat belajar seperti Kristus belajar dengan menarik prinsip-prinsip yang Ia praktikkan, yang lalu kita kontekstualisasikan untuk kehidupan masa kini. Itulah yang aku lakukan ketika membagikan tentang 7 tindakan menebus waktu dalam artikel .

Jadi, apakah prinsip pembelajaran yang Tuhan Yesus pegang?

Dari kehidupan Tuhan, penjelasan-Nya tentang Hukum yang Terutama, dan bagian-bagian Alkitab yang kukutip di awal, aku mendapati bahwa disiplin rohani belajar dapat diterapkan lewat dua tindakan:

LEARN (belajar) = Love + EARN

#1. Love (Mengasihi) Allah dengan segenap keberadaan kita (ay. 37)

Kalau kamu pernah membaca kitab-kitab Musa dengan saksama, kamu pasti bisa langsung menyadari bahwa kedua Hukum yang Terutama dikutip Yesus dari sana. Hukum pertama bisa kita temukan di Ulangan 6:4–5:

Dengarlah, hai Israel. TUHAN adalah Allah kita. TUHAN adalah satu. Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.

Perhatikan bahwa Tuhan Yesus tidak sedang salah mengutip ketika Ia hanya mengurutkan hati, jiwa, dan akal budi (ay. 37). Sementara bahasa Yunani (yang lazim dipakai oleh orang Yahudi di masa Yesus) dan modern menggunakan dua kata terpisah untuk emosi (“hati”) dan penalaran (“akal budi”) manusia, keduanya adalah satu dalam bahasa Ibrani (“hati” / lêbâb). Di sisi lain, “jiwa” berarti “energi kehidupan” sementara “kekuatan” digunakan dalam artian “sangat”, derajat superlatif yang menerangkan kata kerja utama “kasihilah”. Dengan kata lain, hukum pertama memerintahkan kita untuk mengasihi Allah dengan segenap keberadaan kita: dengan setiap perbuatan, pikiran, dan perasaan kita, setiap saat, tanpa terkecuali. Dalam pengertian ini, tindakan kita mengasihi Allah dapat diwujudkan dengan mendisiplinkan diri untuk semakin mengenal Dia yang telah mengenal dan mengasihi kita (1 Kor. 8:3) bahkan sejak sebelum kita dikandung dalam rahim ibu (Mzm. 139:14–17). Kamu tidak sedang salah baca: salah satu cara kita mengasihi Kristus adalah dengan belajar.

Sayangnya, mungkin belajar—yang identik dengan membaca buku—adalah kegiatan yang (paling) kita benci sambil bertumbuh dewasa. Apa daya, sistem pendidikan masa kini pada umumnya memang berfokus hanya pada melatih nalar tanpa memperhatikan pertumbuhan perasaan dan kejiwaan. C. S. Lewis dalam bukunya The Abolition of Man memperingatkan bahwa menganakemaskan pertumbuhan nalar serta mengucilkan perkembangan emosi dan mental pada akhirnya hanya akan menghasilkan “manusia-manusia tanpa dada”. Sekitar 80 tahun setelah peringatan Lewis, kita mengamati dua hasil perkembangan yang kusebut di awal: antara kita menjadi sombong karena merasa tahu segala sesuatu (1 Kor. 8:1–2) atau karena merasa terlalu “rendah” untuk tahu lebih dalam tentang Allah (Rom. 10:2–3).

Puji Tuhan, kuasa keselamatan Kristus mengisi lubang di dada kita itu lewat berbagai cara belajar dan juga lewat praktik disiplin rohani! Belajar dalam terang Kristus (Mzm. 36:10) tidak selalu dilakukan dengan membaca buku; setiap orang memiliki gaya belajar dan metode masing-masing yang paling pas untuknya, e.g. mempraktikkan teori langsung di lapangan, mendengarkan podcast, merenung dalam jurnal, dan berdiskusi dengan sesama. Selain itu, praktik disiplin rohani yang lain adalah cara-cara langsung dari Allah untuk kita belajar makin mengenali dan mengasihi-Nya. Ketika kita untuk belajar dengan berbagai metode, seluruh keberadaan kita bersekutu dengan Allah (1 Kor. 13:12) yang memenuhi alam semesta dengan kemuliaan-Nya (Hab. 2:14), yang mengasihi dengan mengirimkan Anak-Nya yang tunggal sebagai ganti korban dosa (Yoh. 1:29).

Ketika akal budi, jiwa, dan hati kita berpadanan dan saling melengkapi untuk mengenal dan mengasihi Allah dengan segenap kekuatan, kita tahu pasti bahwa kita tidak akan pernah bisa mengenal Allah yang mulia sebagaimana mestinya di masa kini. Bukannya menjadi sombong, kita malah menjadi rendah hati dan bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus (2 Pet. 3:18, bdk. Ams. 9:9–10). Lebih lagi, lewat pembelajaran dari berbagai sumber, baik dari pengalaman kita sendiri maupun buku dan kesaksian orang lain, akal budi kita diperbaharui sehingga “dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna” (Rom. 12:1–2). Menjadi semakin serupa Kristus lewat pembelajaran berarti bertumbuh dalam hikmat Tuhan sehingga kita dapat menavigasi hidup seturut dengan kehendak-Nya, baik dalam membuat keputusan, menunggu Tuhan, maupun setia dalam melayani-Nya.

Inilah kebenaran mendasar tentang disiplin rohani belajar: pengetahuan yang benar, jika dipadankan dengan perasaan dan tindakan yang benar, akan menghasilkan kasih kepada Allah yang membangun sesama dan memberikan sukacita terbesar dengan “dikenal oleh Allah” (1 Kor. 8:3).

Tetapi bagaimanakah kasih kita kepada Allah lewat disiplin rohani belajar dapat membangun sesama?

#2. EARN the favour of men / “Disukai… manusia” (Luk. 2:52; bdk. ay. 39, Yoh. 7:15)

Dalam kitab Injil, terkesan bahwa banyak orang berbondong-bondong datang kepada Tuhan Yesus terutama untuk disembuhkan. Meskipun begitu, kesembuhan bukanlah alasan utama orang-orang mencari dan mengikuti Yesus. Matius 4:23 mencatat urutannya dengan jelas: mereka datang kepada Yesus terutama untuk mendengar-Nya mengajar dan memberitakan Injil Kerajaan Allah. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan dan pengenalan Yesus akan Allah Bapa merupakan bahan bakar-Nya untuk mengasihi dan menyembuhkan orang-orang yang datang kepada-Nya.

Lewat peristiwa kehidupan Tuhan Yesus di atas, kita melihat bahwa tindakan mengenal dan mengasihi Allah dengan benar akan menumbuhkan kasih kepada orang-orang yang Ia kasihi. Imamat 19:18 yang dikutip Tuhan Yesus di Matius 22:39 menegaskan mengapa Allah memerintahkan kita untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri: “[Dialah] TUHAN”. Apa maksudnya? atau, lebih tepatnya, siapakah TUHAN ini? Semua buku yang ada di dunia tidak bisa mendeskripsikan-Nya: Ia yang adalah empunya alam semesta (Mzm. 24:1), yang menciptakan manusia menurut rupa-Nya (Kej. 1:26–27), yang menebus dosa seluruh dunia dengan darah-Nya (1 Yoh. 1:17) dan menyambut mereka yang kembali kepada-Nya (Luk. 15:20).

Jadi Allah mau kita mengasihi sesama supaya kita, orang-orang yang telah ditebus-Nya dari dosa (2 Kor. 5:21), menjadi serupa dengan Kristus dalam kasih-Nya (Ef. 5:1–2). Lebih lagi, kita mengasihi seperti Kristus mengasihi supaya orang lain pun dapat mengenal dan mengasihi Yesus (1 Kor. 9:19–23) yang pada-Nya ada “ada kepenuhan sukacita” dan “kebahagiaan selama-lamanya” (Mzm. 16:11). Tapi bagaimana caranya orang lain dapat mengenal Tuhan Yesus lewat kita kalau kita sendiri tidak mengenal-Nya secara pribadi? Di sinilah pentingnya disiplin rohani belajar.

Sekali lagi, kita belajar bukan untuk menyombongkan diri atau dikagumi orang-orang, tetapi supaya bisa menjangkau orang lain lewat pengetahuan kita dan membagikan Injil kepada mereka. Dari pengalaman pribadiku, aku belajar bahwa dalam pelaksanaannya kita tidak bisa hanya memiliki pengetahuan yang bertambah; kita perlu menumbuhkan kasih dan kepedulian yang tulus kepada sesama (1 Kor. 13:1–2). Pemimpin kelompok pemuridanku dulu sering mengingatkan kami, Orang-orang tidak akan memperdulikan seberapa banyak yang kamu tahu sampai mereka tahu seberapa dalam kamu memperdulikan mereka.

Pengetahuan yang tunduk pada kasih Kristus: inilah yang aku coba terapkan dalam pekerjaanku sebagai konsultan lingkungan hidup, memimpin kelompok pemuridan, ketika memfasilitasi kelompok baca buku, dalam berelasi dengan teman-teman dan kolega-kolega, serta lewat berbagai tulisanku. Sangatlah mudah bagi kita untuk terlarut dalam seluk-beluk doktrin Tritunggal, argumen apologetis, dan pengalaman rohani sehingga kita melupakan tujuan akhir dari semuanya itu: kasih yang membangun (1 Kor. 8:1), yang mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri (Mat. 22:39), yang merendahkan diri sebagaimana Tuhan Yesus telah merendahkan diri-Nya (Flp. 2:1–8) agar orang-orang di sekitar kita memberikan diri “diperdamaikan dengan Allah” demi Kristus (2 Kor. 5:20b).

“Jadi [kita] ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati [sesama kita] dengan perantaraan [kita]” (2 Kor. 5:20a TB).

Belajar adalah Sebuah Disiplin

Untuk menutup seri disiplin rohani ini, aku ingin mengingatkanmu bahwa disiplin rohani pada dasarnya adalah sebuah “disiplin”. Untuk mempraktikkan disiplin rohani, kita perlu meminta kasih karunia dari Allah supaya kita dapat mengingini maupun mengerjakan hal-hal yang menyenangkan-Nya (Flp. 2:13). Don Whitney dalam buku “10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen” mengingatkan, Mereka yang tidak mencoba untuk belajar hanya akan mendapatkan pengetahuan rohani dan alkitabiah secara kebetulan atau karena kemudahan. Kita harus menjadi pelajar yang disiplin dan intensional kalau kita ingin menjadi serupa dengan Yesus.

Tanpa disiplin dalam mempraktikkan disiplin rohani, hubungan kita dengan Tuhan tak akan pernah melebihi relasiku dengan para pemain Liverpool: tahu tentang, tetapi tidak mengenal.

Tanpa disiplin dalam mempraktikkan disiplin rohani, hubungan kita dengan Tuhan tak akan pernah melebihi relasiku dengan para pemain Liverpool: tahu tentang, tetapi tidak mengenal.

Akhir kata, doa Paulus dalam Efesus 3:16–21 menjadi doaku bagi kita semua yang berjuang untuk menjadi semakin serupa dengan Yesus Kristus lewat berlatih “hidup dalam kesalehan” (1 Tim. 4:7):

Aku berdoa supaya sesuai dengan kekayaan kemuliaan-Nya, Ia berkenan mengaruniakan kepadamu kekuatan di dalam batinmu, dengan kuasa melalui Roh-Nya, sehingga Kristus berkenan tinggal di dalam hatimu melalui iman sehingga kamu berakar dan berdasar dalam kasih, dan agar kamu bersama semua orang kudus dapat memahami betapa lebar, dan panjang, dan tinggi, dan dalamnya kasih Kristus. Dengan demikian, kamu dapat mengenal kasih Kristus yang melampaui pengetahuan sehingga kamu dipenuhi dengan seluruh kepenuhan Allah. Bagi Dia, yang sanggup melakukan jauh lebih melimpah daripada semua yang kita minta atau pikirkan, sesuai dengan kuasa yang bekerja di dalam kita. Bagi Dialah kemuliaan dalam jemaat dan dalam Yesus Kristus bagi seluruh generasi sampai selama-lamanya. Amin.

Tuhan Yesus menyertai kamu dalam setiap pembelajaran dan pekerjaan baik (2 Kor. 9:8), soli Deo Gloria.

Pertanyaan refleksi:

  1. Bagaimanakah kamu memandang pengetahuan dan aktivitas belajar selama ini? Sebagai jalan untuk mengenal Allah lebih dalam atau pemicu kesombongan?
  2. Pembelajaran apa saja yang kamu dapatkan dari penjelasan di atas tentang Hukum yang Terutama (Mat. 22:37–40)?
  3. Bagaimanakah kamu akan mulai mempraktikkan disiplin rohani belajar sebagai L + EARN?

Bagikan Konten Ini
0 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *