Posts

Tantangan Mengasihi Keluargaku yang Berbeda Denganku

Tantangan-Mengasihi-Keluargaku-yang-Berbeda-Denganku

Oleh Katarina Tathya Ratri, Jakarta

Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan oleh siapa dan dari keturunan apa. Aku pun demikian. Aku tidak pernah memilih untuk lahir dari kedua orangtua yang memiliki keyakinan iman berbeda. Awalnya, kehidupan keluarga kami baik-baik saja hingga terjadilah sebuah peristiwa yang mengubahkan kehidupan kami.

Waktu itu, dalam keadaan pas-pasan kami tinggal di sebuah rumah kecil yang berukuran 3×3 meter. Ayahku bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan ibuku bekerja sebagai staf HRD di perusahaan tekstil. Setiap sore aku selalu menyambut mereka dengan riang dan bertanya, “Bawa oleh-oleh, ngga?” Kemudian mereka memberiku roti isi coklat pisang, atau kadang mereka hanya pulang membawa senyuman.

Kehidupan keluarga kami yang baik-baik saja itu mulai terguncang ketika ayahku terkena PHK. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ayah mencoba merintis berbagai jenis usaha, mulai dari berjualan tanaman hias, membuka tempat fotokopi, hingga membuka warnet. Tapi, semuanya gagal dan justru membuat keluarga kami terlilit utang dan makin kekurangan. Akhirnya, untuk tetap mendapatkan uang, kami menyewakan rumah tinggal kami kepada orang lain. Kami terpaksa pindah dan menumpang di rumah orangtua ibuku.

Waktu itu aku masih duduk di bangku SMP. Melihat ibuku yang harus membanting tulang bekerja dan ayahku yang hanya diam di rumah, hatiku menjadi sedih. Ayah memang bukan tipe seorang yang ulet. Ketika bisnis yang dirintisnya semuanya gagal, ia mudah menyerah. Lama-kelamaan, utang-utang yang tidak segera dilunasi itu semakin menumpuk karena ayah sampai saat itu tidak bekerja apapun. Aku jadi tidak respek terhadap ayahku dan sering melontarkan kata-kata kasar kepadanya sebagai ungkapan kemarahanku.

Permasalahan tidak berhenti di situ. Kedua orangtuaku menganut iman yang berbeda. Ayah adalah seorang Katolik, sedangkan ibuku Muslim. Kakek dan nenek dari ibuku seringkali menyakiti aku karena aku seorang Kristen. Karena aku bertumbuh di lingkungan yang demikian, aku jadi tidak terlalu peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan agama. Sejak kecil, aku tidak mendapatkan teladan rohani dari ayah, apalagi dari ibuku. Aku hanya mengenal Tuhan sedikit-sedikit dari pelajaran agama di sekolah.

Sebenarnya, pada mulanya aku tidak memilih untuk menjadi orang Kristen. Waktu itu, syarat kedua orangtuaku yang menikah beda agama adalah anak pertama mereka harus langsung dibaptis. Sampai aku beranjak SMA, aku tidak memedulikan siapa Tuhan yang aku sembah. Hingga di tahun 2012, Tuhan menjamah hatiku. (Kisah sebelumnya sudah kutuliskan di sini). Dia memulihkan setiap luka di hatiku dengan cara-Nya yang ajaib dan saat itu aku berkomitmen untuk mau mengenal-Nya lebih dalam lagi. Namun, belum sempat aku memperbaiki hubungan dengan ayahku, Tuhan sudah terlebih dahulu memanggilnya. Ayahku meninggal dunia karena serangan jantung. Sejak saat itu, aku berjanji untuk belajar mengasihi siapapun di dalam hidupku, sekalipun mereka memperlakukanku dengan buruk. Sejujurnya aku menyesal karena belum sempat meminta maaf kepada ayahku. Bahkan, yang membuatku teramat sedih adalah di hari lebaran terakhir, ketika semua anggota keluarga saling bermaaf-maafan, aku malah tidak mau menjabat tangan ayahku.

Tahun-tahun berlalu, sembari melanjutkan kuliah di Yogyakarta, aku bekerja sekaligus melayani Tuhan dengan mengajar anak-anak di desa di kawasan Gunungkidul. Suatu hari, aku pulang ke rumah. Dengan wajah bahagia, aku bercerita pada ibuku tentang pelayanan yang kulakukan di tengah tanggung jawabku untuk kuliah dan bekerja. Tapi, respons yang kudapat ternyata di luar ekspektasiku. Bukan dukungan atau ungkapan rasa bangga, ibu malah memarahiku dan perbincangan kami menjadi debat sengit yang membuat ibu menangis. Bagiku, membantu anak-anak yang kekurangan itu adalah pekerjaan mulia, tapi bagi keluargaku itu kebodohan. Bagi mereka, tidak seharusnya aku meluangkan waktuku untuk melakukan pelayanan seperti itu karena keadaan keluarga kami tidak berkelimpahan.

Aku mengerti kalau ibu sudah berjuang keras menghidupi aku dan adikku. Aku juga paham akan kekhawatirannya apabila keluarga kami kekurangan. Tapi, lebih daripada itu aku juga tahu bahwa aku tidak perlu khawatir karena Tuhan setia memelihara aku sebagaimana firman-Nya berkata, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (Matius 6:26).

Aku mengamini dan mengimani firman itu, tetapi keluargaku tidak. Berkali-kali Tuhan menolongku ketika aku kekurangan di tempat perantauan. Di tengah kepadatan waktuku antara kuliah dan bekerja, Tuhan menuntunku senantiasa dan dia mengajariku untuk tidak menyerah. Aku bisa membuktikan pada ibuku bahwa aku bisa membiayai sendiri hidupku dan tetap menolong orang lain yang kekurangan. Aku juga bisa buktikan kepadanya bahwa aku bisa lulus kuliah dengan nilai yang memuaskan dan tetap konsisten melakukan pelayanan. Semuanya itu kulakukan bukan supaya aku menyombongkan diri, tapi aku ingin supaya keluarga boleh melihat bahwa Tuhan sesungguhnya tidak pernah meninggalkanku.

Sekarang, aku telah menyelesaikan studiku dan aku amat bersyukur karena Tuhan memberiku pekerjaan dengan pendapatan yang lebih daripada cukup. Tapi, tugasku belum selesai sampai di situ. Aku masih belajar untuk mencintai keluarga dengan tulus. Di sela-sela pekerjaanku, aku menyempatkan diriku untuk pulang ke kampung halaman. Meskipun aku tidak pernah memilih untuk dilahirkan di keluarga ini, tapi aku percaya bahwa mereka adalah yang terbaik yang Tuhan berikan. Pengalaman demi pengalaman yang terjadi inilah yang melatih diriku untuk menjadi pribadi yang kuat.

Dari apa yang aku alami, aku belajar untuk tetap mengasihi siapapun. Ketika pilihan iman yang kuambil membuatku berbeda dari keluargaku, mengasihi mereka adalah teladan yang Tuhan Yesus ajarkan kepadaku. Memang, mengasihi itu mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Tapi, aku mau belajar dan terus belajar. Maukah kamu mengasihi keluargamu hari ini?

Baca Juga:

Alasanku Berhenti Berbuat Curang

Pernahkah kamu berbuat curang? Aku pernah. Sebagai siswa SMA, Waktu itu aku sering mencontek, hingga suatu ketika seorang guru memergokiku. Aku merasa amat malu karena ketahuan mencontek dan setelahnya berjanji untuk menjaga diriku dari berbuat curang.

Ketika Pekerjaan yang Kudapat Ternyata Tidak Sesuai Harapanku

ketika-pekerjaan-yang-kudapat-ternyatan-tidak-sesuai-harapanku

Oleh Katarina Tathya Ratri, Jakarta

Bulan Maret 2017 adalah bulan yang begitu menguras energiku. Sudah lima bulan berlalu sejak aku pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai Area Manager di sebuah perusahaan swasta bidang makanan dan minuman, tapi aku masih belum juga merasa nyaman dengan rutinitas yang kulakukan. Setiap hari aku bertugas untuk mengontrol beberapa gerai dan memastikan bahwa kualitas, pelayanan, kebersihan, dan penjualan yang dilakukan oleh karyawan di sana itu memenuhi standar. Apabila mereka tidak melakukan pekerjaannya dengan tepat, aku harus menegur dan memberikan instruksi kepada mereka.

Dulu aku berekspektasi bahwa aku akan mudah beradaptasi dengan orang-orang baru di sekelilingku, tapi kenyataan justru berbicara sebaliknya. Iklim kerja yang tidak bersahabat seringkali membuatku menangis. Jadwal kerjaku tidak jelas, kadang aku harus masuk saat hari libur dan bekerja dari pagi hingga larut malam. Sulit bagiku untuk menegur karyawan-karyawan yang berbuat salah karena aku baru bergabung dengan perusahaan ini selama lima bulan, sedangkan mereka yang menjadi bawahanku ternyata sudah bekerja jauh lebih lama daripada aku. Selain itu ada juga yang usianya lebih tua dariku. Terkadang ketika ditegur, mereka malah menjawabku dengan kalimat-kalimat yang tidak sopan.

Aku menceritakan beban pekerjaan ini kepada teman-teman dekat dan pacarku. Mereka memberiku semangat dan kata-kata motivasi, tapi aku rasa itu tidak berpengaruh banyak buatku. Akhirnya, berbagai ide nakal pun aku lakukan untuk sebisa mungkin menghindar dari pekerjaan ini, salah satunya adalah dengan bolos kerja. Saat pertama kali aku bolos bekerja, jantungku berdebar keras. Aku takut karena aku tahu perbuatan ini adalah salah, tapi aku berusaha mengabaikan rasa bersalah itu dan memilih untuk bolos saja.

Di suatu hari Minggu, aku pergi ke gereja dan khotbah hari itu membahas kisah tentang Yosua ketika ia ditunjuk sebagai pengganti Musa. Salah satu ayat yang disebutkan oleh pendeta di gerejaku hari itu diambil dari Ulangan 31:6, “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab Tuhan Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Saat mendengar ayat itu, aku teringat akan pergumulan dalam pekerjaan yang sedang kuhadapi. Sesungguhnya ayat itu menguatkanku dan aku berjanji untuk menghadapi pergumulanku dengan semangat.

Tapi, ketika tiba di hari Senin dan menghadapi realita kembali, seketika itu juga nyaliku menciut dan aku merasa diriku kalah lagi. Lagi-lagi aku berusaha mencari-cari cara dan kesempatan untuk mangkir dari kewajibanku. Aku berdoa, memohon ampun kepada Tuhan, kemudian menyerah lagi. Begitu terus terjadi.

Ketika Tuhan menegurku

Hingga suatu malam aku jatuh sakit, badanku demam tinggi dan aku merasa begitu lemas. Aku menelepon pacarku yang berada di Bandung. Ketika dia mengetahui kalau aku terbaring sakit, dia memutuskan untuk segera berangkat ke Jakarta keesokan harinya dan membawaku ke sebuah klinik. Setelah diperiksa, dokter di klinik itu mengatakan bahwa sakit yang aku alami ini bisa jadi karena aku terlalu stress dengan tekanan dari lingkungan kerjaku. Aku mengangguk seakan setuju dengan pendapat sang dokter.

Setelah keadaanku berangsur pulih, aku dan pacarku menyimpulkan bahwa mungkin kami perlu refreshing sejenak untuk melepaskan diri dari kepenatan. Dalam perjalanan kami berkeliling kota, di atas bus TransJakarta ternyata ponsel pacarku dicopet dan kami baru menyadari itu sesaat setelah turun dari bus. Saat itu aku merasa bersalah, sedih, dan marah bercampur jadi satu hingga aku menangis. Anehnya dia yang sedang kehilangan ponsel itu justru tenang dan bisa tersenyum. Kemudian dia berkata kalau dia percaya bahwa segala sesuatu itu akan mendatangkan kebaikan sekalipun terlihat buruk. Mendengar perkataannya itu, aku menjadi malu sendiri. Hari itu aku menyadari bahwa selama ini ternyata aku belum sepenuhnya berserah pada rencana Tuhan.

Sejak saat itu, aku berusaha mengingat kembali apa yang dulu menjadi motivasiku untuk datang dan bekerja di tempat ini, yaitu untuk mengasah kemampuanku menjadi seorang pemimpin. Aku tahu sejak awal bahwa pekerjaan ini tidak mudah, menjadi pemimpin di tengah orang-orang yang secara usia dan pengalaman jauh di atasku. Namun, pekerjaan yang tidak mudah ini bukan berarti bahwa aku tidak mampu mengatasinya. Aku teringat akan sebuah ayat yang selalu kujadikan pedoman dalam bekerja, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakuku, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Timotius 4:12).

Firman itu memantapkan kembali langkahku untuk berani mengambil risiko dalam pekerjaan ini. Aku tahu bahwa lewat pekerjaan ini Tuhan sedang menempa aku dan membentuk aku sesuai dengan kehendak-Nya. Aku diizinkan untuk merasa sedihnya dari tidak dihargai ketika instruksiku diabaikan, susahnya mengatur banyak orang dengan pengalamanku yang minim, hingga lelahnya memenuhi berbagai tuntutan dari atasanku yang di luar kapasitasku sebelumnya.

Jika melihat buruknya responku terhadap tantangan yang aku alami, bagiku sudah selayaknya aku mendapat hukuman atau bahkan dipecat. Tapi, sebaliknya, Tuhan tidak meninggalkanku saat aku terjatuh dan berbuat salah. Tuhan mengangkatku kembali dan memberiku kekuatan yang baru. Saat ini Tuhan mengizinkan aku untuk melewati fase yang lebih tinggi lagi dalam pekerjaan yang Dia sedang percayakan kepadaku. Meskipun tidak mudah untuk dilalui, namun aku berkomitmen untuk terus belajar berserah kepada-Nya.

Sekarang, setiap kali sebelum aku memulai bekerja, aku selalu menyempatkan diri untuk masuk hadirat Tuhan lewat berdoa. Jika dulu aku berdoa supaya bisa terhindar dari tantangan, sekarang aku berdoa supaya Tuhan boleh menguatkanku mempersiapkan mental dan rohaniku supaya aku boleh tetap tersenyum dan bersukacita sekalipun aku mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari karyawan-karyawan di bawahku.

Baca Juga:

Ketika Peristiwa Nyaris Celaka Mengubahkan Pandanganku Tentang Kehidupan

Pernahkah terpikir olehmu kapan kamu akan menghembuskan nafasmu yang terakhir? Beberapa minggu yang lalu aku mengalami peristiwa yang nyaris saja merenggut nyawaku. Peristiwa itulah yang pada akhirnya mengubah cara pandangku tentang kehidupan yang aku jalani sekarang.

Dipulihkan Karena Doa

Dipulihkan-karena-doa

Oleh Katarina Tathya Ratri, Jakarta

Hari itu adalah hari terakhir di tahun 2011 ketika aku berjalan menyusuri jalanan di kota kecil tempat kelahiranku. Berbeda dari malam tahun baru sebelumnya yang aku lewati dengan berhura-hura, hari itu aku berjalan sendirian tanpa tujuan yang jelas. Aku tak peduli dengan orang-orang yang memadati jalanan untuk melihat kembang api, aku hanya ingin sesuatu yang berbeda untuk melewatkan tahun baru.

Langkah kakiku terhenti di depan sebuah jalan kecil yang menuju sebuah gereja. Hati kecilku bicara supaya aku melangkah ke dalam gereja itu. Tapi, aku merasa enggan karena itu bukan gereja yang pernah kusinggahi sebelumnya. Lagipula sejak duduk di bangku SMP, aku jarang pergi beribadah ke gereja. Namun, suara hatiku semakin keras dan aku memutuskan masuk ke dalam gereja itu.

Ketika aku tiba di dalam gereja, satu hal yang kuingat adalah berdoa. Sudah lama aku tidak berdoa, dan malam itu aku mau kembali berdoa. Kupejamkan mata dan mengarahkan hati kepada hadirat-Nya. Aku merasakan damai yang melingkupi hatiku dan tak mampu kujelaskan dengan kata-kata. Malam itu aku berdoa dengan khusyuk karena aku begitu rindu untuk bertemu Sang Pencipta.

Aku percaya bahwa rasa damai yang melingkupiku waktu itu mengingatkanku kalau Tuhan ingin aku kembali pada-Nya. Dalam keheningan itu aku menyadari kalau selama ini aku menganggap doa hanya sebagai kewajiban saja sehingga aku tidak memiliki kerinduan untuk melakukannya.

Doa yang kunaikkan malam itu mengubahkan hidupku. Selama ini aku mencari pelarian dari situasi rumah yang membuatku muak. Aku pergi bersama teman-teman untuk merokok, menonton video porno, hingga pulang larut malam. Hari itu Tuhan menegurku untuk kembali pada-Nya. Lewat doa, aku mengucap janji untuk berbalik pada-Nya dan meninggalkan cara hidupku yang lama.

Aku berusaha menjaga komitmenku untuk setia pada Tuhan walaupun godaan untuk kembali ke kehidupan yang lama terus datang. Setiap hari aku terus berdoa pada-Nya memohon kekuatan, dan seiring berjalannya waktu aku menjadi semakin senang berdoa. Doa adalah nafas hidupku sehingga aku akan merasa sesak jika aku melewatkannya.

Setiap kali aku berdoa, aku tidak hanya melaporkan pada-Nya masalah-masalah yang kualami, tapi lebih dari sekadar melapor, aku mendiskusikan masalahku dengan Tuhan, mengucap syukur atas pemeliharaan-Nya, dan berdoa juga untuk orang-orang lain. Aku percaya kalau Tuhan maha mengetahui, tapi aku merasa perlu untuk mengungkapkan isi hatiku kepada-Nya supaya hati dan cara pikirku berubah sesuai dengan kehendak Tuhan.

Komitmenku untuk meninggalkan cara hidup yang lama seringkali membuatku khawatir. Aku takut jika harus kehilangan teman-teman sepermainan, tapi firman Tuhan dalam Filipi 4:6-7 mengingatkanku, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”

Aku mengalami sendiri bagaimana damai sejahtera Tuhan turun atas diriku. Ketika aku harus menghadapi ujian sidang skripsi, aku sangat takut karena ada mahasiswa sebelumku yang dinyatakan gagal. Aku khawatir kalau-kalau aku akan dinyatakan gagal juga. Alih-alih rasa khawatir semakin menguasai diriku, aku berdoa dan mengucap syukur atas proses yang bisa kulalui. Damai sejahtera Tuhan memenuhiku, dan aku yakin kalau Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk studiku.

Sejatinya, bukan Tuhanlah yang membutuhkan doa kita, tetapi kita yang butuh berdoa kepada Tuhan. Apapun kekhawatiranmu, ungkapkanlah kepada-Nya, sebab ada tertulis, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Baca Juga:

Ketika Membaca Alkitab Terasa Membosankan

“Sebenarnya membaca Alkitab itu hanya persoalan waktu. Kalau aku bisa membaca tiga atau empat pasal dalam sehari, aku dapat membaca seluruh Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu dalam waktu setahun. Sederhana, bukan? Tapi tidak sesederhana itu. Sudah 14 bulan melakukannya, dan aku bahkan belum menyelesaikan setengahnya. Apa yang salah?”