Setahun Penuh Aku Menganggur Akibat Salah Memilih, Inilah Kisahku Mencari Pekerjaan

setahun-penuh-aku-menganggur

Oleh Claudya Elleossa

Saat aku nekad memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebelumnya yang super nyaman, aku pikir ini adalah sebuah strategi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun pada akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku ini sesungguhnya adalah wujud pelarianku dari panggilan Tuhan. Keputusanku yang salah ini membuatku menganggur selama setahun. Namun, aku juga mendapatkan hikmah yang berharga di balik semua ini. Berikut adalah kisahku.

Ketika Tuhan seolah-olah mempermainkanku dengan harapan palsu

Menjadi seorang pendidik bukanlah cita-citaku. Aku merasa ada banyak peluang yang dapat aku ambil di masa mudaku ini. Alasan itulah yang membuatku memutuskan untuk mengundurkan diri dari profesiku sebagai seorang guru dan mencoba ladang pekerjaan lain.

Di bulan-bulan awal aku menjadi pencari kerja, aku mendapatkan sebuah panggilan dari sebuah perusahaan idamanku. Aku begitu senang mendapatkan panggilan tersebut. “I make my dream come true!” Begitulah yang aku ingin segera tuliskan di segala akun media sosialku. Aku pun berhenti memasukkan lamaran kerja di tempat lain dan menunggu jadwal wawancara di perusahaan idamanku dengan antusias sembari mempersiapkan segalanya.

Seminggu berlalu. Dua minggu berlalu. Telepon yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang. Akhirnya aku harus mengakui bahwa harapanku telah kandas. Itu menjadi momen terendahku saat itu sejak aku menjadi seorang pencari kerja. Aku berpikir, lebih baik jika panggilan awal itu tidak pernah ada. Ini adalah kabar PHP alias Pemberi Harapan Palsu! Tanpa kabar itu, mungkin aku masih terus giat mencari pekerjaan di tempat lain tanpa terbuai ke langit ketujuh.

Dalam perjalanan iman yang kita lalui, mungkin kita pernah mengalami hal seperti yang kualami: Masa-masa ketika kita merasa Tuhan seolah-olah sedang mempermainkan kita dengan memberikan harapan yang pada akhirnya tak pernah terwujud. Hal yang mungkin membuat kita menjadi marah kepada-Nya. Kata-kata “jadilah padaku seturut kehendak-Mu” pun menjadi sebuah hal yang begitu berat untuk kita aminkan. Namun sesungguhnya, Tuhan tak pernah mempermainkan kita. Bagaimanapun, Tuhan itu baik. Seringkali yang menjadi kesalahan kita adalah ketika kita mengukur kebaikan Tuhan berdasarkan kenyamanan hidup kita.

Kegagalan demi kegagalan

Waktu pun berlalu dan aku akhirnya pulih dari kekecewaan yang kualami. Fokusku bergeser ke mimpi-mimpi yang lain. Ora et labora (berdoa dan bekerja) aku terapkan maksimal setiap saat untuk membuat mimpiku jadi nyata. Sayangnya, yang terjadi justru adalah kegagalan demi kegagalan.

Suatu siang, aku hanya terdiam sendiri, duduk, dan berdoa: Apa makna di balik semua ini? Di antara berbagai lamaran yang kumasukkan, hanya sedikit yang berlanjut pada panggilan. Sekalinya aku lolos sampai ke tahap akhir, aku juga gagal di tahap akhir tersebut. Aku merasa bodoh dan kacau. Aku tidak mengerti mengapa aku gagal terus-menerus. Doa dan usaha agaknya tak kurang aku haturkan. Aku pun menjadi kecewa, dan lebih buruknya, aku mulai meragukan diriku sendiri dan juga meragukan Tuhan yang aku sembah. Apa yang salah dari diriku dan apa yang mungkin telah aku lewatkan? Ini menjadi pertanyaan yang kutanyakan kepada diriku.

Mengapa aku tidak ingin menjadi guru

Dalam hening, aku mencoba memutar kembali perjalanan pencarian kerja ini. Sebuah proses yang normalnya dialami oleh para fresh graduate. Tepat setelah aku mengundurkan diri dari profesi guru, tawaran pertama yang hadir adalah tawaran untuk kembali menjadi guru namun di sekolah lain dan untuk jenjang yang berbeda. Aku menolak dengan santun saat itu, karena aku tahu jelas rencanaku ke depan. Kembali menjadi guru bukanlah sebuah pilihan bagiku.

Namun sore itu aku berpikir mengapa tawaran menjadi guru itu dibukakan kepadaku? Jangan-jangan apa yang paling aku ingkari merupakan petunjuk Tuhan yang paling nyata.

“Ah, tidak mungkin!” aku buyarkan pikiranku. “Aku tidak ingin kembali menjadi guru,” tegasku kepada diriku sendiri.

Namun meskipun pikiranku menolak untuk kembali menjadi guru, pengalamanku dahulu ketika menjadi guru terus terlintas dalam pikiranku. Aku harus mengakui bahwa pengalamanku dahulu ketika aku menjadi guru selama 16 bulan merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa. Banyak hal indah yang terjadi selama masa itu yang mungkin baru aku sadari: dicintai banyak murid dan dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Itu adalah hal yang indah! Lalu, mengapa aku ingin beralih profesi?

Aku pun mulai menemukan alasan sebenarnya yang membuatku malu menjadi guru. Aku teringat ketika kekasihku mengatakan dengan jujur bahwa ayahnya menginginkan seorang menantu dengan pekerjaan yang keren. “Oke, waktunya cari pekerjaan yang lebih kece,” itulah yang kupikirkan saat itu, demi menjadi menantu idaman sang calon mertua. Sebuah keputusan yang aku ambil semata-mata untuk menyenangkan orang lain dan dipandang baik oleh mereka. Panggilan Tuhan atas diriku pun kuabaikan.

Paradigma bahwa menjadi guru bukanlah hal yang keren semakin tertanam saat aku melihat teman-teman sejurusanku yang memiliki berbagai pekerjaan bergengsi. Seketika aku malu, merasa kecil, dan terkesan gagal menjadi seseorang yang layak dibanggakan. Kenyataannya, di negara ini atau mungkin masih banyak negara lain, profesi guru bukanlah hal yang bergengsi.

Aku yakin, dalam hidup kita, kedaulatan Tuhan selalu melingkupi kita. Aku meyakinkan diriku bahwa Tuhan tidak pernah berniat jahat. Aku pun percaya Dia memiliki alasan ketika menempatkan anak-anak-Nya di mana pun mereka berada. Jangan-jangan, ini adalah cara-Nya mengingatkanku yang keras kepala ini untuk setia kepada panggilan-Nya daripada kepada keinginan dan rencanaku sendiri.

Meskipun hatiku bahagia ketika menjadi guru, rasa malu akan pandangan orang lain kepada diriku juga masih mengganggu tidur lelapku. Aku masih berusaha mencari alasan bahwa aku tidak harus kembali menjadi guru. Di tengah keberdosaanku, aku masih percaya bahwa ada ladang lain selain pendidikan yang bisa aku garap.

Sembari memikirkan tentang apa arti panggilan, aku teringat akan seorang alumni persekutuan kampus yang pernah mengatakan bahwa kita tidak bisa mengelak dari panggilan kita yang sebenarnya. Melalui belokan-belokan yang tajam sekalipun, Tuhan bisa menarik kita kembali ke ladang yang Dia siapkan, enak atau tidak enak bagi kita.

Aku tidak meragukan kata-katanya. Satu hal yang masih sulit untuk kuterima adalah jika panggilanku ternyata di bidang yang dianggap tidak keren dan tidak menghasilkan banyak pundi rupiah. Aku pun tertawa miris ketika menyadari bahwa meskipun aku sering mengingatkan orang lain untuk taat, aku sendiri pun sulit melakukannya.

Belajar memilih untuk taat

Setelah perenungan berakhir, aku berusaha menguji hipotesis bahwa aku memang dipanggil Tuhan di dunia pendidikan. Tidak baik menjadi manusia yang hanya terus berpikir tanpa bertindak. Kevin DeYoung, dalam bukunya “Just Do Something”, mengatakan bahwa kita perlu bertindak untuk terus memperjelas apa kehendak-Nya bagi kita. Jangan hanya duduk diam merenung. Aku pun belajar memilih untuk taat dengan melamar ke beberapa sekolah. Setiap hasil yang keluar aku serahkan kepada Tuhan untuk membimbingku pada keputusan yang harus kuambil selanjutnya.

Pertama kalinya dalam 9 bulan, strategiku berjalan mulus. Upayaku menguji hipotesis tersebut menunjukkan titik terang. Empat dari enam sekolah yang aku lamar merespons dengan sangat baik. Bagiku, ini adalah petunjuk dari Sang Pencipta. Antara galau, malu, dan senang berpadu menjadi satu. Aku juga merasakan damai sejahtera, perasaan yang khas hasil dari tindakan ketaatan. Di manapun aku ditempatkan oleh-Nya, aku ingin menjalaninya dengan kemantapan hati karena aku tahu ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh-Nya.

Sebenarnya, kembali menjadi guru bukanlah akhir yang aku bayangkan. Masih terselip perasaan malu karena aku kembali menjadi guru. Tapi jika keputusan kembali menjadi guru adalah sebuah bentuk ketaatanku kepada Tuhan, aku akan menanggung segala risikonya. Pandangan miring orang lain akan diriku aku terima dengan kerendahan hati. Dari awal memang ada andil ketidaktaatan dan kesombongan yang kutunjukkan. Wajar jika aku harus menanggung konsekuensi dari kesombonganku tersebut.

Setelah perjalanan yang begitu panjang dan membosankan ini, sampailah aku pada titik di mana aku harus mengambil keputusan. Sebuah pemikiran berikut menolongku dalam mengambil keputusan. Terlampau sering aku menerima kebaikan di atas segala kelayakan, waktunya aku memberikan ketaatan di atas segala kenyamanan. Aku pun dikuatkan untuk taat kepada panggilan Tuhan bagi hidupku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali menjadi seorang guru.

Semua baik pada akhirnya

Ketika dihadapkan pada pilihan yang membingungkan, mungkin hal pertama yang perlu kita tanyakan kepada diri sendiri adalah, “Apa dan siapa yang harus kita utamakan?” Apakah itu rasa malu, gengsi, pendapat orang sekitar, atau Kristus? Yesus meminta kita untuk menyangkal diri hari lepas hari (Lukas 9:23). Sesederhana itu? Ya! Tidak mudah, tapi memang sederhana.

Perjalananku dalam mencari pekerjaan ini membuatku semakin mengenal Sang Pencipta. Dia adalah sutradara yang punya skenario terbaik melampaui segala rencana kita (Yesaya 55:8-9). Mengapa adegan ini terjadi dan mengapa adegan yang itu harus dihapus? Itu karena Dia tahu bahwa pada akhirnya, itulah yang terbaik.

Aku terkagum dengan jalan Tuhan yang Mahakreatif. Peta-Nya selalu jelas, namun kadang kacamata kita yang buram membuat kita tidak dapat membaca peta itu dengan baik. Atau sesekali Dia memang mengizinkan kita berpetualang di rimba, tak lain demi melatih ketahanan kita dan menjadikan diri kita menjadi pribadi yang lebih baik pada akhirnya.

Aku pun teringat akan kitab Ayub yang kubaca selama aku melalui proses ini. Di dalam kitab Ayub kita dapat menemukan kisah yang luar biasa indah, namun ada sebuah proses yang tidak mudah yang harus Ayub lalui. Di dalam proses tersebut, Ayub pun pernah mempertanyakan Pencipta-Nya dengan sedemikian rupa. Dia tidak memahami mengapa dia harus mendapatkan segala penderitaan yang dia alami. Dia pernah salah bersikap, namun akhirnya insaf. Aku bersyukur dapat mencicipi secuil dari ujung kuku pergumulan yang dihadapi Ayub. Semoga akhirnya aku (dan kita semua) dapat keluar sebagai seorang yang murni sama seperti Ayub, dan berujung pada kesimpulan: “Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Baca Juga:

Aku Melakukan Kesalahan Besar, Akankah Tuhan Mengampuniku?

Kembalilah kepada Tuhan yang “pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya.” Dia takkan mengabaikanmu. Jangan terjebak dalam kesalahan yang kita buat di masa lalu. Bersama-Nya, kamu dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

Bagikan Konten Ini
36 replies
  1. Jendra Dwiputra
    Jendra Dwiputra says:

    Luar biasa.. Terima kasih.. Pas sekali dengan momen pergumulan pekerjaan yang sedang saya hadapi.. Terima kasih atas sharing nya.. Tuhan Yesus memberkati..

  2. Olyvia Hulda
    Olyvia Hulda says:

    Thank you Claudya…
    Panggilan Tuhan emang ngga kemana…
    Thanks for your witness … So blessed and slapped…

  3. david kurnia
    david kurnia says:

    sangat menginspirasi, sering kali ke ego an kita yang lebih kita utamakan dari pada kehendak Tuhan. Gbu

  4. Francez13
    Francez13 says:

    Iya kadang ketika berdoa dan mengucapkan jadilah padaku sesuai kehendakMu itu sangat berat skali, bagi2 orang2 yang percaya akan kata2 tersebut, karena sekalipun kita berdoa akan keinginan kita, namun ttp berserah pada kehendakNya. Itulah kadang mengucapkan ny saya juga merasa berat.. Terpujilah Tuhan..

  5. Sandra Indriati Sinambela
    Sandra Indriati Sinambela says:

    Terima kasih untuk sharingnya.sangat menyentuh hati kita. Tuhan Yesus memberkati.

  6. Andrew Immanuel Risakotta
    Andrew Immanuel Risakotta says:

    Sungguh sangat menginspirasi & mencerahkan, terima kasih sudah berbagi, semangat buat para #Jobseekers

  7. Nataly Adolfien
    Nataly Adolfien says:

    Puji Tuhan… sangat terberkati dgn artikel ini… dan cerita ini sama dgn kesaksian hidupku… God bless!

  8. Pika
    Pika says:

    kesaksianny sangat menginspirasi.
    apalagi kejadiannya hampir 90%. sama seperti yang aku alami.
    walaupun aku bukan tamatan keguruan. saya aktif mengajar di tempat les private. Dan saya memegang lebih banyak siswa dari pada yg tamatan keguruan langsung.
    dan aku merasa ingin beralih profesi yg sesuai dgn pendidikan. dan tidak mau melanjutkan sbg guru / bahkan dosen. banyak yg disekitarku memberi saran sebagai guru/ dosen.
    ttpi aku menolak krn ke ego an aku. saat ini aku berencana melepaskn profesi mengajar dan mencari pekerjaan yg lebih keren. namun
    dari kesaksian ini aku merasa tertegur dgn sikapku. dan merasa brsyukur untuk tiap hal yg aku alami. walaupun hal itu bukanlh keinginanku.
    Terimakasih banyak untuk renungannya.
    GODBLESS

  9. citra
    citra says:

    terimakasih… kisah ini dapat mengajarkan sy untuk tetap memprioritaskan Tuhan dlm pekerjaan & selalu berserah pada kehendak-nya

  10. elfrida sihaloho
    elfrida sihaloho says:

    Terlampau sering aku menerima kebaikan di atas segala kelayakan, waktunya aku memberikan ketaatan di atas segala kenyamanan.

    terimakasih banyak artikelnya. sbenernya Tuhan selalu memberi jawaban dari setiap pergumulan ku. tp trkadang, seringkali aku menutup mata dgn setiap jwban Tuhan, karena tdk sesuai dgn kenyamanan ku. ahh, sungguh memalukan nya aku..

  11. mutiara
    mutiara says:

    Sangat menginspirasi aku..
    saat ini, aku sedang dalam keadaan yang aku ‘terpaksa’ menjalani kehidupan dan rutinitas ku.
    aku merasa diperlakukan secara tidak adil sebagai manusia.
    aku lulusan s1 pariwisata, melamar di sebuah hotel.
    awalnya aku dijanjikan untuk menjadi staff, namun tidak di sangka, malah dijadikan daily worker, yang jam kerjanya sama seperti staff tapi dari segi materi sangat2 kurang.
    pada saat itu terjadi, aku marah sama Tuhan. aku engga mau hidup kaya begini.
    tapi ketika aku bawa dalam doa, ada yang mengingatkan aku mengenai peristiwa Yesus berdoa di Taman Getsmani. Di situ Yesus berdoa untuk tidak di salibkan, namun pada akhirnya Yesus menerima apa yang telah Tuhan kehendaki atas hidupnya.
    melalui rhema itu, aku merasa bahwa ini adalah jalan yang Tuhan siapkan buat aku, jalan yang benar2 dari bawah dan sangat tidak enak.
    akhirnya aku jalani.
    tapi jujur, belakangan ini aku merasa tidak nyaman dengan apa yang aku lakukan. aku merasa dipermainkan dan aku merasa sangat dirugikan dengan menjadi daily worker yang bekerja 12 jam sehari.
    aku tidak mengerti lagi sekarang… aku merasa lelah dengan hidup ku.. dan merasa mau mengakhiri semuanya.

  12. Vebry
    Vebry says:

    Pas sekali dengan apa yang aku alami saat ini…
    Sangat memberkati dan memberi kekuatan dalam hati.

  13. Kristiany
    Kristiany says:

    kok pas ya sama saya? Saya mengalami hal yg sama tahun lalu bahkan sampai saat ini

  14. Angger
    Angger says:

    Aku pernah banget alamin ini. Tapi pada akhirnyaa aku percaya , bahwa Tuhan sudah siapkan tempat terbaik.

  15. Menunggu
    Menunggu says:

    Gw jg berhenti dari pekerjaan idaman yg selama 10 tahun sebelumnya gw minta terus di dalam doa. Pekerjaan langka di Indonesia dan sangat susah di dapetin. Untuk org lain keputusan berhenti gw itu jg sangat konyol krn gw baru aja di promosi (dan naik gaji)

    Alasannya saat itu atap rumah gw mau ambruk, dan setiap kali hujan airnya tumpah. Bokap gw penderita stroke dan lumpuh bagian dominan, otomatis ngk bisa bantuin nyokap gw serokin sama dorong-dorong banyak ember berisi 10-20 liter air utk dibuang ke teras.

    Dengan naifnya gw berpikir, “Udahan ah Tuhan. Ngk fokus kerja klo begini terus. Toh, nanti pas cari job pasti Tuhan bakal bantuin dapetin yg kurang lebih sama, bahkan lebih baik dari ini.”

    4 tahun kemudian, yg ada tabungan sekeluarga habis satu persatu, ngk ada duit masuk tapi keluar terus buat bayar tagihan bulanan dan buat makan sehari-hari. Semua job yg gw lamar cuma tembus sampai setelah interview aja, setelah itu ngk ada kabar (malah ada yg cuekin pas di follow-up, atau jawabannya klasik “kita ud dapat org yg kita cari” padahal bohong banget krn iklan jobnya masih jalan terus)

    Nyokap gw ngk ngerti kenapa anaknya yg sekolah pinter, lulusan kuliah luar negeri, malah ternyata super duper goblok ngk bisa cari kerja lg, ngk bisa cari duit sepeser pun, ngk bisa sukses seperti sepupu-sepupunya yg bermukim di Aussie. “Begini kah nasib anak gw yg ditentuin sama Yesus yg katanya Tuhan itu?” Gw ngk punya jawabannya.

    Temen-temen SD/SMP/SMA gw ud pada married, punya kerjaan tetap, punya keluarga.
    Ada yg bisa bawa ortunya jalan-jalan ke Jepang, Korea, Amerika, Eropa lah, dsbnya, tapi gw, hehehehahaha, woof-woof! gw cuma jd anjing penjaga rumah dan anjing penuntun lansia bolak balik ke toilet. Si cantik Snow White mata biru pun berubah sikapnya jd pura-pura ngk kenal, padahal ngakunya “I love you and I love God”. Ok lah gw ngerti, duit itu memang penting.

    Gw pasrah. Percuma marah, atau berontak, dan maksa. Tiap kali gw bertanya kenapa yg gw usahakan utk merubah situasi gagal lagi, gw rugi, dan kira-kira kapan semuanya akan menjadi lebih baik, jawabanNya selalu begini:

    Good things come to those who wait on The Lord.
    The Lord is good to those who wait for Him.
    Stay, and be still. Know that I am God.

    Lagi-lagi gw disuruh menunggu, mungkin bisa sampai 10 tahun lg. Sungguh membosankan.

  16. Gita
    Gita says:

    Saya lulus bulan Nov 2017, dan tepatnya baru mendapat kerja bulan Mai 2018. Apakah itu waktu yg lama dalam mendapat pekerjaan? Relatif.
    Saya lulusan Teknik Industri, sangat aktif selama kuliah ikut kegiatan organisasi, ipk saya juga terbilang bagus meskipun tdk cumlaude (3.42) tp entah mengapa dlm masa pencarian kerja saya saya merasa apa yang saya usahakan selalu gagal.. Saya malu, saya sempat meragukan kemampuan diri saya dan tiap saatteduh saya sempat mempertanyakan kuasa Tuhan.. Bahkan saya sempat mendaftar berbagai perusahaan dr yg jelas sampai tdk jelas samasekali, saya asal apply tanpa pertimbangan dan persiapan.. Saya merasa tdk tenang
    Tp lagi2 isi saat teduh saya adalah tentang jgn khawatir

    Saya terus berdoa pada Tuhan dan terus mengutarakan apa yang menjadi keinginan saya. Dimana saya perempuan, dan jujur saya tdk ingin bekerja di lingkungan pabrik, saya ingin masuk BUMN. Sudah hanya itu saja doa saya tiap saat
    Sampai pd akhirnya bulan Maret 2018 saya dipanggil untuk tes disalah satu perbankan diIndonesia. Saya jalani tes tersebut, jujur saat itu saya sudah mencapai titik terendah saya dmn saya sudah lelah dg semuanya.. Saya minta reschedule krn posisi saya sdg tes kerja dilain tempat diluar kota.. 1bulan saya menanti harap2 cemas apakah benar saya diberikesempatan dua atau tdk
    Sambil menunggu ketidakpastian itu saya mencoba dftr beberapa perusahaan lagi.

    Tepatnya bulan april saya menjalani proses rekrutmen di Astra Group dan salah satu perusahaan garment.. Tp bbrp minggu setelah menunggu ternyata saya diterima diperusahaan garment:( jujur bukan ini lingkungan kerja yg saya inginkan krn disini saya ditempatkan dipabrik.. Sdgkn Astra Group tdk kunjung menghubungi saya setelah interview user
    Jujur saat itu semakin saya menyangsingkan diri saya sendiri, saya merasa apakah kemampuan saya benar2 nihil sampai saya tdk tembus Astra. Pdhl saya termasuk staff terbaik saat organisasi, saya anak yg aktif, saya juga lulusan dr SMA/Univ terbaik di Indonesia tp kenapa kemampuan saya hanya sampai di perusahaan garment:( saya merasa sedih..
    Tp saya terus berdoa pada Tuhan sampai pd akhirnga tgl 17April saya dpt panggilan Final Interview disalah satu perusahaan BUMN Perbankan terbaik di Indo, disini saya sudah merasa lelah dan capek, yg saya andalkan hanya Tuhan seutuhnya. Bahkan saat tes saya merada kepala saya pusing. Tp saya bilang ke Tuhan kalau ini jalan saya ya bukakanlah
    Puji Tuhan akhir bulan April saya dinyatakan lolos program MTnya dan masuk ke perusahaan perbankan..

    Ketika flashback, puji Tuhan semua sesuai dengan apa yg saya doakan, Tuhan sangat baik saya dimasukan ke perusahaan BUMN dan lingkungan kerja yang sangat sesuai dg saya. Meskipun itu perbankan, dmn rata2 orang menyangsingkan orang yg kerja dibank tp entah mengapa saya merasa damai sejahtera disini dan saya sangat percaya Tuhan yang sama juga akan memastikan masa depan yg terbaik bagi umatNya

  17. Agus
    Agus says:

    Kalau saya kebalikannya panggilan menjadi guru kuat, tapi kepala sekolah mainin politik kantor, supaya bisa masukin kenalannya dan guru udah kepenuhan, saya dipindahin ke staf, akhirnya resign karena panggilan saya mendidik langsung (bukan berarti merendahkan administrasi, tp panggilan dan passion tidak bisa dipaksakan berubah). Penulisnya ada info ttg lowongan guru? atau boleh saya kontak? (Maaf saya tidak pakai nama asli, krn takut diketahui sekolah tempat saya pernah mengajar dan dieksekusi ke staf).

  18. Angga
    Angga says:

    Saya ingin sharing sedikit ceritaku tentang pergulatan batin saya dalam hal pekerjaan. Mungkin ada dari teman-teman yang bisa memberikan wawasan baru untuk saya.

    Saya di usia yang sudah lewat 35 th ini sampai sekarang masih saja bergulat dengan pekerjaan apa yang cocok untuk diri ini. Berkecimpung di bidang akunting pajak selama belasan tahun dan progress yang menanjak tak kunjung membuat diri ini nyaman. Malah sebaliknya jenuh dan bahkan muak dengan pekerjaan ini. Semakindi jalanin semakin merasa ini bukan pekerjaan yang cocok buat saya. Alasan terbesarku ingin keluar dan beralih profesi adalah bahwa pekerjaan ini hanya membuatku menjadi pribadi yang harus pandai berbohong menutupi ketidakbenaran orang lain.

    Ingin rasanya beralih profesi namun tak tahu harus bagaimana. Harapan saya adalah bisa dapat petunjuk dari Tuhan agar dibukakan jalan untuk mendapatkan pekerjaan yang bisa membuatku menjadi diriku apa adanya.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *