Posts

1 Perjalanan yang Menginspirasiku untuk Berkarya bagi Indonesia

Satu-Perjalanan-yang-Menginspirasiku-untuk-Berkarya-bagi-Indonesia

Oleh Claudya Tio Elleossa, Surabaya
Foto oleh Aryanto Wijaya

Suatu ketika, tatkala aku sedang menjelajah media sosialku, ada seorang teman yang mengungkapkan kekecewaannya dengan mengumbar kritik-kritik tak sedap. Nama “Indonesia” pun dia pelesetkan dengan ejaan yang salah. Ketika kutanya mengapa, dia berkata bahwa kritikan pedas itu adalah satu-satunya cara berkontribusi bagi negeri ini. Jawaban itu kemudian membuatku terdiam tak habis pikir. Jika memang kita “hanya bisa bersuara”, mengapa tidak kita berikan saran dan bukan kecaman?

Momen ini mengingatkanku kembali akan pergumulanku dulu ketika memulai karier sebagai seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Sebagai seorang guru, aku ingin mengemas pelajaran PKN supaya murid-muridku nantinya tidak sekadar menghafal, tetapi juga belajar untuk memiliki hati yang mau mencintai tanah airnya. Oleh karena itu, sebelum aku benar-benar mengajar mereka, aku memutuskan untuk terlebih dahulu belajar mengenal negeriku Indonesia lebih dekat.

Bak gayung bersambut, tepat di bulan Juni 2015, aku diterima menjadi seorang relawan dalam sebuah program pelayaran. Tugasku waktu itu adalah mengajar di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Program ini diprakarsai oleh pemerintah Indonesia untuk menumbuhkan semangat dan rasa cinta tanah air bagi tiap pesertanya. Bersama 9 orang relawan lainnya, aku ditempatkan di sebuah pulau kecil bernama Keramian yang membutuhkan waktu tempuh selama 22 jam berlayar dari daratan Jawa.

Tidak ada dermaga di pulau itu. Jadi, kapal besar yang kami tumpangi harus membuang sauh di tengah-tengah lautan, kemudian kapal-kapal kecil milik nelayan setempat menjemput kami. Satu per satu logistik dan relawan berhasil dipindahkan dari kapal besar ke perahu nelayan. “Ini baru namanya perjuangan orang pulau terluar!” gumamku dalam hati.

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Selama mengajar di sana, segala kenyamanan yang biasa aku temui di Jawa harus kutinggalkan. Jika di Jawa listrik bisa menyala kapanpun, di sini listrik hanya berfungsi selama 4 jam saja dalam sehari. Tak ada bahan pangan yang melimpah, dan juga kondisi sekolah-sekolah memprihatinkan. Apa yang kulihat di depan mataku adalah sebuah ironi. Di negeri yang kutinggali ini, ada terlalu banyak kondisi yang tidak ideal. Lalu, siapa yang dapat membenahinya? Aku rasa orang hebat atau pejabat pun tidak akan bisa membenahi permasalahan ini. Saat itu aku melamun, merasa amat kecewa dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat.

Di tengah lamunanku, ada sekelompok anak mendekatiku dan mengajakku berbincang-bincang. Dengan antusias, mereka bertanya tentang banyak hal: Apa itu kuliah? Bagaimana kondisi sekolah di pulau Jawa? Setelah aku menjawab mereka dengan bercerita, sekarang giliran mereka yang bercerita. Kata mereka, setiap kali menjelang Ujian Nasional, mereka akan menabung hingga beberapa bulan sebelumnya untuk menyewa kapal penjemput soal-soal agar mereka dapat mengikuti Ujian Nasional. “Yang penting kami bisa lanjut sekolah kak, kalau harus sewa kapal, ya udah sewa aja,” kata mereka dengan polosnya. Cerita mereka membuatku terdiam. Di tengah keterbatasan akan akses pendidikan, alih-alih berdiam diri, mereka rela menabung dan menyewa kapal demi bisa mengikuti Ujian Nasional.

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Potongan percakapanku dengan anak-anak di Pulau Keramian ini membuatku akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini: Bagaimana cara mencintai negeri ini? Jawabannya adalah dengan berani bertindak. Sebenarnya, dengan keterbatasan akses pendidikan, mereka bisa saja tidak mengikuti Ujian Nasional. Mereka bisa saja menyalahkan pihak lain atas keterbatasan akses yang mereka miliki. Tapi, alih-alih melakukan itu semua, mereka lebih memilih untuk bertindak. Alih-alih mengutuki kegelapan, mereka memilih untuk menyalakan sebuah lilin untuk mengusir kegelapan itu.

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Dokumentasi oleh Claudya Elleossa

Di banyak seminar-seminar motivasi tentang kesuksesan, mungkin kita tidak asing dengan saran dan dorongan untuk bertindak. Tapi, siapa sangka bahwa motivasi untuk mau bertindak ini juga berlaku untuk mengungkapkan bahasa cinta kita kepada tanah air?

Pengkhotbah 11:4 berkata, “Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai.” Sikap yang kita butuhkan saat ini adalah kemauan untuk bertindak. Daripada melontarkan kritik-kritik pedas penuh kutuk tanpa aksi, lebih baik kita mulai melakukan satu tindakan nyata.

Sumbangsih yang bisa kita lakukan bisa kita mulai dari talenta yang Tuhan telah berikan kepada kita dan juga dimulai dari tempat di mana kita berada saat ini. Aku yakin bahwa Tuhan tidak pernah meminta apa yang tidak Dia berikan pada kita. Dengan talenta yang Dia sudah percayakan, Dia ingin kita mengusahakan kesejahteraan negeri tempat kita tinggal sekarang (Yeremia 29:7). Jika talenta kita adalah menulis, Tuhan tidak akan meminta kita untuk merancang sebuah pesawat terbang. Jika talenta kita adalah di bidang Arsitektur, Tuhan tidak akan menuntut kita untuk merancang pakaian layaknya desainer terkenal. Lakukanlah apa yang memang kita bisa.

Perjalanan yang kulakukan selama beberapa waktu di Pulau Keramian itu menginspirasiku untuk mulai melakukan tindakan-tindakan kecil tetapi nyata sebagai wujud kontribusiku untuk Indonesia.

1. Aku jadi lebih giat mendidik generasi muda melalui profesiku sebagai guru

Pengalaman mengajar anak-anak di sana membuatku jadi lebih lagi menghayati profesiku sebagai seorang guru. Jika dahulu aku mengaggap guru sebagai pekerjaan yang biasa saja, sekarang aku menyadari bahwa pekerjaan ini adalah ladang yang memang Tuhan percayakan kepadaku—ladang untukku menunjukkan cinta dan mengusahakan kesejahteraan bangsaku dengan mengajari anak didikku. Sebagai seorang guru, aku tahu betul bahwa aku sedang berinvestasi pada generasi muda penerus bangsa. Kepada merekalah masa depan bangsa ini dipercayakan.

2. Aku giat menulis

Selain mengajar, salah satu talenta yang Tuhan berikan kepadaku adalah menulis. Melalui menulis, aku belajar untuk mengungkapkan opini serta saranku atas suatu fenomena yang terjadi lewat tulisan-tulisan. Dengan menulis, aku juga belajar melatih diriku untuk berpikir kritis serta menggugah semangatku untuk mencintai Indonesia.

3. Aku bergabung dengan komunitas dan menjadi relawan

Belakangan ini, aku juga bergabung dengan komunitas pembuat video yang bergerak menyebarluaskan pesan positif melalui karya audio visual. Caraku lainnya untuk bersumbangsih bagi Indonesia adalah melalui keikutsertaan sebagai relawan. Beberapa waktu lalu, aku mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi non-pemerintah (NGO) dari Singapura. Organisasi itu menugaskanku untuk menyebarluaskan kesadaran atau awareness terhadap pemberdayaan wanita di daerah pelosok Indonesia, serta mengedukasi mereka untuk beralih menggunakan lampu hemat energi daripada lampu pijar minyak.

4. Aku membuat proyek sosial

Dalam lingkup yang lebih kecil, aku membuat konsep proyek sosial yang kuberi judul “As Their Wish”. Melalui proyek ini, aku berusaha memberikan barang-barang yang memang dibutuhkan oleh para lansia di sana. Proyek kecil yang kulakukan di sini adalah salah satu upayaku untuk berlatih peka terhadap lingkungan sosial di sekitarku. Tuhan sudah menempatkanku di Indonesia. Oleh karena itu, sudah selayaknya aku mencintai negeri ini lewat hal-hal kecil yang bisa kulakukan sesuai dengan kapasitasku saat ini.

Mungkin tindakan-tindakan yang kita lakukan terlihat remeh, tetapi aku selalu yakin bahwa tugas kita adalah untuk melakukan sesuatu. Selama itu positif dan sesuai dengan kehendak Tuhan, kita dapat percaya bahwa ada daya guna di baliknya. Walaupun signifikansinya kecil, walaupun lingkupnya hanya lokal, tetapi—sekali lagi, itu lebih baik dari sikap berpangku tangan.

Mungkin saat ini kita memiliki banyak harapan terhadap bangsa kita. Di saat yang sama, kita tidak menutup mata bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi dari Indonesia. Mungkin kita bisa saja merasa kesal dan kecewa. Tetapi, seperti pesan dari kitab Pengkhotbah: Marilah kita berhenti sekadar memperhatikan dan mulailah bertindak. Mulailah satu langkah kecil sesuai dengan apa yang Tuhan sudah percayakan pada kita. Jangan sampai kita piawai berekspektasi tetapi lumpuh dalam mengeksekusi.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkan Hal-hal yang Kurang Baik Terjadi

Aku mengernyit ketika seorang temanku berkata bahwa dia tidak pernah mengalami momen menyedihkan di hidupnya. Dalam hati, aku jadi bertanya, “Luar biasa sekali jika hidupnya selalu bahagia. Tapi, masa sih? Atau, mungkin memang ada orang yang hidupnya seperti itu ya, Tuhan?”

Tak Kusangka, Pelayanan Kecil yang Kulakukan Ternyata Begitu Berarti

pelayanan-kecil-yang-berarti

Oleh Claudya Elleossa, Surabaya

Beberapa waktu lalu, aku disibukkan dengan sebuah kegiatan penggalangan dana. Lewat penjualan gelang denim, aku dan kawan-kawan pemuda gerejaku rindu memberikan donasi sebagai sebuah bentuk dukungan bagi sebuah komunitas yang melayani anak-anak punk. Dana terkumpul, dan aku kira cerita telah usai. Ternyata tidak.

Dengan badan kekar, ripped jeans dan tato gambar Yesus di lengannya, pemimpin komunitas itu naik ke panggung. Suasana langsung berubah, suaranya mulai bergetar menahan tangis. Saat itu, dia menyatakan syukur karena ada sebuah komunitas yang mengadakan penggalangan dana untuk mendukung pelayanan mereka. Dengan nada yang makin lirih, dia berkata bahwa ini adalah pertama kalinya hal demikian dilakukan bagi mereka. Tanpa diminta.

Seketika aku menangis. Ternyata perkara menjualkan beberapa gelang seharga Rp. 15.000 telah menjadi berkat yang besar bagi komunitas ini. Aku merasa mendapatkan sebuah kepuasan yang sejati.

Setiap orang mungkin memiliki standar kepuasan yang beragam. Ada yang menomorsatukan keseimbangan relasi, ada yang mengutamakan jenjang karir, ada pula yang menjadikan deretan Rupiah sebagai indikator kebahagiaan, dan tak sedikit yang menjadikan pemenuhan hobi sebagai definisi utama kepuasan. Namun, sesaat setelah lelaki kekar itu mengucapkan terima kasih dengan penuh ketulusan pada kami, aku memahami sebuah kebenaran yang dapat membawa kita kepada sebuah kepuasan yang sejati: Hidup ini bukan hanya untuk diri kita sendiri.

Apapun yang kita kejar, entah itu uang, hobi, atau karir, akan membuat kita jenuh pada satu titik jika semua itu kita kejar hanya untuk diri kita sendiri. Menjadikan diri kita sebagai pusat segala sesuatu juga tidak sesuai dengan teladan yang diberikan Yesus. Hidup Yesus adalah hidup yang melayani orang lain. Itulah alasan Dia—Pencipta alam semesta dan segala isinya—membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:1-15). Dia ingin memberikan teladan bagi kita agar kita bisa saling melayani (ayat 14-15).

Kepuasan yang sejati didapat ketika kita melayani Tuhan, ketika kita yang jauh dari sempurna ini dapat dipakai Tuhan untuk menjadi berkat bagi sesama. Kebahagiaan yang kita dapatkan dalam berbagi berkat sungguh setimpal dengan pilihan kita untuk mengorbankan kenyamanan diri kita semata.

Tidak semua orang mau mengorbankan dirinya untuk melayani Tuhan dan sesama. Bagi sebagian orang, menjadi orang baik saja sudah cukup. Bagi sebagian yang lain, yang terpenting adalah hidup yang mapan dan cukuplah dengan tidak menjadi beban bagi orang lain. Namun, ada pula orang-orang yang melakukan hal-hal yang lebih. Ada yang mengurangi waktu bersantai demi melayani orang-orang di sekitarnya. Ada pula yang memberi hidupnya untuk menolong banyak orang. Ada yang memilih untuk mengurangi gaya hidup mereka demi dapat berbagi. Mereka melayani sesama mereka dengan penuh kerendahan hati.

Beberapa orang mungkin berpikir, apa untungnya mereka melakukan hal-hal yang lebih tersebut? Bukankah kenyamanan mereka berkurang? Waktu santai menipis, dompet juga kembang kempis. Lagipula, tidak semua orang mengapresiasi apa yang mereka lakukan. Jadi, apa untungnya bagi mereka? Izinkan aku menjawab pertanyaan ini.

Bagiku, adalah sebuah kebahagiaan ketika aku mengetahui bahwa Tuhan telah memakai diriku yang super cemar untuk dapat menjadi berkat bagi orang lain. Selain itu, ketika aku melayani Tuhan, fokusku terpaut pada Tuhan, misi-Nya bagi dunia ini, dan jiwa-jiwa yang kulayani. Aku dapat melihat betapa kerennya Tuhan berkarya dalam dunia ini, dan itu membukakan begitu banyak hal lain yang dapat aku syukuri selain tentang hidupku sendiri. Itulah bedanya orang yang melayani dan yang tidak melayani. Ketika orang yang tidak melayani hanya mensyukuri apa yang dia miliki, orang yang melayani dapat mensyukuri apa yang Tuhan kerjakan bagi dunia ini.

Tidak ada kepuasan sejati yang lahir dari sebuah keegoisan mengutamakan kenyamanan. Jika Dia yang adalah Pencipta alam semesta mau melawan kenyamanan surga demi menyelamatkan kita, masakan kita terlampau jijik merangkul mereka yang dianggap hina?

Aku ingin menutup tulisanku ini dengan sebuah kutipan dari Ezra Taft Benson berikut ini: Jika kamu benar-benar ingin mendapatkan sukacita dan kebahagiaan, layanilah orang lain dengan segenap hatimu. Angkatlah beban mereka, dan bebanmu akan menjadi lebih ringan.

Baca Juga:

5 Alasan Lebih Berbahagia Memberi daripada Menerima

Ayat ini mungkin terdengar tidak asing bagi kita, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:35). Namun, pernahkah kita memikirkannya? Bukankah kalimat itu terdengar kurang masuk akal?

Setahun Penuh Aku Menganggur Akibat Salah Memilih, Inilah Kisahku Mencari Pekerjaan

setahun-penuh-aku-menganggur

Oleh Claudya Elleossa

Saat aku nekad memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebelumnya yang super nyaman, aku pikir ini adalah sebuah strategi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun pada akhirnya aku menyadari bahwa keputusanku ini sesungguhnya adalah wujud pelarianku dari panggilan Tuhan. Keputusanku yang salah ini membuatku menganggur selama setahun. Namun, aku juga mendapatkan hikmah yang berharga di balik semua ini. Berikut adalah kisahku.

Ketika Tuhan seolah-olah mempermainkanku dengan harapan palsu

Menjadi seorang pendidik bukanlah cita-citaku. Aku merasa ada banyak peluang yang dapat aku ambil di masa mudaku ini. Alasan itulah yang membuatku memutuskan untuk mengundurkan diri dari profesiku sebagai seorang guru dan mencoba ladang pekerjaan lain.

Di bulan-bulan awal aku menjadi pencari kerja, aku mendapatkan sebuah panggilan dari sebuah perusahaan idamanku. Aku begitu senang mendapatkan panggilan tersebut. “I make my dream come true!” Begitulah yang aku ingin segera tuliskan di segala akun media sosialku. Aku pun berhenti memasukkan lamaran kerja di tempat lain dan menunggu jadwal wawancara di perusahaan idamanku dengan antusias sembari mempersiapkan segalanya.

Seminggu berlalu. Dua minggu berlalu. Telepon yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang. Akhirnya aku harus mengakui bahwa harapanku telah kandas. Itu menjadi momen terendahku saat itu sejak aku menjadi seorang pencari kerja. Aku berpikir, lebih baik jika panggilan awal itu tidak pernah ada. Ini adalah kabar PHP alias Pemberi Harapan Palsu! Tanpa kabar itu, mungkin aku masih terus giat mencari pekerjaan di tempat lain tanpa terbuai ke langit ketujuh.

Dalam perjalanan iman yang kita lalui, mungkin kita pernah mengalami hal seperti yang kualami: Masa-masa ketika kita merasa Tuhan seolah-olah sedang mempermainkan kita dengan memberikan harapan yang pada akhirnya tak pernah terwujud. Hal yang mungkin membuat kita menjadi marah kepada-Nya. Kata-kata “jadilah padaku seturut kehendak-Mu” pun menjadi sebuah hal yang begitu berat untuk kita aminkan. Namun sesungguhnya, Tuhan tak pernah mempermainkan kita. Bagaimanapun, Tuhan itu baik. Seringkali yang menjadi kesalahan kita adalah ketika kita mengukur kebaikan Tuhan berdasarkan kenyamanan hidup kita.

Kegagalan demi kegagalan

Waktu pun berlalu dan aku akhirnya pulih dari kekecewaan yang kualami. Fokusku bergeser ke mimpi-mimpi yang lain. Ora et labora (berdoa dan bekerja) aku terapkan maksimal setiap saat untuk membuat mimpiku jadi nyata. Sayangnya, yang terjadi justru adalah kegagalan demi kegagalan.

Suatu siang, aku hanya terdiam sendiri, duduk, dan berdoa: Apa makna di balik semua ini? Di antara berbagai lamaran yang kumasukkan, hanya sedikit yang berlanjut pada panggilan. Sekalinya aku lolos sampai ke tahap akhir, aku juga gagal di tahap akhir tersebut. Aku merasa bodoh dan kacau. Aku tidak mengerti mengapa aku gagal terus-menerus. Doa dan usaha agaknya tak kurang aku haturkan. Aku pun menjadi kecewa, dan lebih buruknya, aku mulai meragukan diriku sendiri dan juga meragukan Tuhan yang aku sembah. Apa yang salah dari diriku dan apa yang mungkin telah aku lewatkan? Ini menjadi pertanyaan yang kutanyakan kepada diriku.

Mengapa aku tidak ingin menjadi guru

Dalam hening, aku mencoba memutar kembali perjalanan pencarian kerja ini. Sebuah proses yang normalnya dialami oleh para fresh graduate. Tepat setelah aku mengundurkan diri dari profesi guru, tawaran pertama yang hadir adalah tawaran untuk kembali menjadi guru namun di sekolah lain dan untuk jenjang yang berbeda. Aku menolak dengan santun saat itu, karena aku tahu jelas rencanaku ke depan. Kembali menjadi guru bukanlah sebuah pilihan bagiku.

Namun sore itu aku berpikir mengapa tawaran menjadi guru itu dibukakan kepadaku? Jangan-jangan apa yang paling aku ingkari merupakan petunjuk Tuhan yang paling nyata.

“Ah, tidak mungkin!” aku buyarkan pikiranku. “Aku tidak ingin kembali menjadi guru,” tegasku kepada diriku sendiri.

Namun meskipun pikiranku menolak untuk kembali menjadi guru, pengalamanku dahulu ketika menjadi guru terus terlintas dalam pikiranku. Aku harus mengakui bahwa pengalamanku dahulu ketika aku menjadi guru selama 16 bulan merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa. Banyak hal indah yang terjadi selama masa itu yang mungkin baru aku sadari: dicintai banyak murid dan dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Itu adalah hal yang indah! Lalu, mengapa aku ingin beralih profesi?

Aku pun mulai menemukan alasan sebenarnya yang membuatku malu menjadi guru. Aku teringat ketika kekasihku mengatakan dengan jujur bahwa ayahnya menginginkan seorang menantu dengan pekerjaan yang keren. “Oke, waktunya cari pekerjaan yang lebih kece,” itulah yang kupikirkan saat itu, demi menjadi menantu idaman sang calon mertua. Sebuah keputusan yang aku ambil semata-mata untuk menyenangkan orang lain dan dipandang baik oleh mereka. Panggilan Tuhan atas diriku pun kuabaikan.

Paradigma bahwa menjadi guru bukanlah hal yang keren semakin tertanam saat aku melihat teman-teman sejurusanku yang memiliki berbagai pekerjaan bergengsi. Seketika aku malu, merasa kecil, dan terkesan gagal menjadi seseorang yang layak dibanggakan. Kenyataannya, di negara ini atau mungkin masih banyak negara lain, profesi guru bukanlah hal yang bergengsi.

Aku yakin, dalam hidup kita, kedaulatan Tuhan selalu melingkupi kita. Aku meyakinkan diriku bahwa Tuhan tidak pernah berniat jahat. Aku pun percaya Dia memiliki alasan ketika menempatkan anak-anak-Nya di mana pun mereka berada. Jangan-jangan, ini adalah cara-Nya mengingatkanku yang keras kepala ini untuk setia kepada panggilan-Nya daripada kepada keinginan dan rencanaku sendiri.

Meskipun hatiku bahagia ketika menjadi guru, rasa malu akan pandangan orang lain kepada diriku juga masih mengganggu tidur lelapku. Aku masih berusaha mencari alasan bahwa aku tidak harus kembali menjadi guru. Di tengah keberdosaanku, aku masih percaya bahwa ada ladang lain selain pendidikan yang bisa aku garap.

Sembari memikirkan tentang apa arti panggilan, aku teringat akan seorang alumni persekutuan kampus yang pernah mengatakan bahwa kita tidak bisa mengelak dari panggilan kita yang sebenarnya. Melalui belokan-belokan yang tajam sekalipun, Tuhan bisa menarik kita kembali ke ladang yang Dia siapkan, enak atau tidak enak bagi kita.

Aku tidak meragukan kata-katanya. Satu hal yang masih sulit untuk kuterima adalah jika panggilanku ternyata di bidang yang dianggap tidak keren dan tidak menghasilkan banyak pundi rupiah. Aku pun tertawa miris ketika menyadari bahwa meskipun aku sering mengingatkan orang lain untuk taat, aku sendiri pun sulit melakukannya.

Belajar memilih untuk taat

Setelah perenungan berakhir, aku berusaha menguji hipotesis bahwa aku memang dipanggil Tuhan di dunia pendidikan. Tidak baik menjadi manusia yang hanya terus berpikir tanpa bertindak. Kevin DeYoung, dalam bukunya “Just Do Something”, mengatakan bahwa kita perlu bertindak untuk terus memperjelas apa kehendak-Nya bagi kita. Jangan hanya duduk diam merenung. Aku pun belajar memilih untuk taat dengan melamar ke beberapa sekolah. Setiap hasil yang keluar aku serahkan kepada Tuhan untuk membimbingku pada keputusan yang harus kuambil selanjutnya.

Pertama kalinya dalam 9 bulan, strategiku berjalan mulus. Upayaku menguji hipotesis tersebut menunjukkan titik terang. Empat dari enam sekolah yang aku lamar merespons dengan sangat baik. Bagiku, ini adalah petunjuk dari Sang Pencipta. Antara galau, malu, dan senang berpadu menjadi satu. Aku juga merasakan damai sejahtera, perasaan yang khas hasil dari tindakan ketaatan. Di manapun aku ditempatkan oleh-Nya, aku ingin menjalaninya dengan kemantapan hati karena aku tahu ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh-Nya.

Sebenarnya, kembali menjadi guru bukanlah akhir yang aku bayangkan. Masih terselip perasaan malu karena aku kembali menjadi guru. Tapi jika keputusan kembali menjadi guru adalah sebuah bentuk ketaatanku kepada Tuhan, aku akan menanggung segala risikonya. Pandangan miring orang lain akan diriku aku terima dengan kerendahan hati. Dari awal memang ada andil ketidaktaatan dan kesombongan yang kutunjukkan. Wajar jika aku harus menanggung konsekuensi dari kesombonganku tersebut.

Setelah perjalanan yang begitu panjang dan membosankan ini, sampailah aku pada titik di mana aku harus mengambil keputusan. Sebuah pemikiran berikut menolongku dalam mengambil keputusan. Terlampau sering aku menerima kebaikan di atas segala kelayakan, waktunya aku memberikan ketaatan di atas segala kenyamanan. Aku pun dikuatkan untuk taat kepada panggilan Tuhan bagi hidupku. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali menjadi seorang guru.

Semua baik pada akhirnya

Ketika dihadapkan pada pilihan yang membingungkan, mungkin hal pertama yang perlu kita tanyakan kepada diri sendiri adalah, “Apa dan siapa yang harus kita utamakan?” Apakah itu rasa malu, gengsi, pendapat orang sekitar, atau Kristus? Yesus meminta kita untuk menyangkal diri hari lepas hari (Lukas 9:23). Sesederhana itu? Ya! Tidak mudah, tapi memang sederhana.

Perjalananku dalam mencari pekerjaan ini membuatku semakin mengenal Sang Pencipta. Dia adalah sutradara yang punya skenario terbaik melampaui segala rencana kita (Yesaya 55:8-9). Mengapa adegan ini terjadi dan mengapa adegan yang itu harus dihapus? Itu karena Dia tahu bahwa pada akhirnya, itulah yang terbaik.

Aku terkagum dengan jalan Tuhan yang Mahakreatif. Peta-Nya selalu jelas, namun kadang kacamata kita yang buram membuat kita tidak dapat membaca peta itu dengan baik. Atau sesekali Dia memang mengizinkan kita berpetualang di rimba, tak lain demi melatih ketahanan kita dan menjadikan diri kita menjadi pribadi yang lebih baik pada akhirnya.

Aku pun teringat akan kitab Ayub yang kubaca selama aku melalui proses ini. Di dalam kitab Ayub kita dapat menemukan kisah yang luar biasa indah, namun ada sebuah proses yang tidak mudah yang harus Ayub lalui. Di dalam proses tersebut, Ayub pun pernah mempertanyakan Pencipta-Nya dengan sedemikian rupa. Dia tidak memahami mengapa dia harus mendapatkan segala penderitaan yang dia alami. Dia pernah salah bersikap, namun akhirnya insaf. Aku bersyukur dapat mencicipi secuil dari ujung kuku pergumulan yang dihadapi Ayub. Semoga akhirnya aku (dan kita semua) dapat keluar sebagai seorang yang murni sama seperti Ayub, dan berujung pada kesimpulan: “Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Baca Juga:

Aku Melakukan Kesalahan Besar, Akankah Tuhan Mengampuniku?

Kembalilah kepada Tuhan yang “pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya.” Dia takkan mengabaikanmu. Jangan terjebak dalam kesalahan yang kita buat di masa lalu. Bersama-Nya, kamu dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

Karena Perubahan Ini, Doa-Doaku Begitu Cepat Dijawab Tuhan

Oleh Claudya Elleossa

Dalam berdoa tidak jarang kita menyatakan undangan kepada Tuhan untuk datang dan berkarya dalam hidup kita. Berulang kali aku mendengar orang minta campur tangan Tuhan dalam pekerjaannya, dalam studinya, dalam hubungannya dengan orangtua, dengan pacar, dan sebagainya. Aku sendiri pun sering meminta hal yang sama. Aku sungguh-sungguh memohon, “Tuhan, terlibatlah dalam hidupku.”

Belakangan sebuah kesadaran menyentakku. Di balik kalimat yang tampaknya penuh kerendahan hati dan penyerahan diri itu, aku sedang menempatkan Tuhan pada posisi pembantu, bukan pemilik hidupku. Aku merasa hidup ini adalah panggungku. Aku tokoh utamanya. Tuhan adalah tamu yang kuundang terlibat dalam beberapa bagian hidupku.

Alkitab mengingatkan kita bahwa segala sesuatu ada untuk melayani Sang Pencipta (Mazmur 119:91), kita diciptakan untuk kemuliaan-Nya (Yesaya 43:7). Kita ditebus Kristus untuk melakukan pekerjaan baik yang sudah disiapkan-Nya (Efesus 2:10). Tuhan adalah pemilik hidup ini. Dialah tokoh utamanya! Dan, karena hidup ini milik-Nya, kehadiran-Nya bukan lagi sebuah pilihan ataupun hasil permohonan kita, melainkan sebuah kepastian. Kepekaan kitalah yang kerap kurang, sehingga kita merasa Dia tidak ada. Kesadaran itu membuatku mulai mengubah doa-doaku.

Alih-alih minta Dia hadir, aku mulai minta Dia menolongku untuk makin peka akan kehadiran-Nya.

Alih-alih minta Dia mengaturkan segala sesuatu sesuai keinginanku, aku mulai minta Dia memampukanku untuk hidup sesuai keinginan-Nya.

Alih-alih minta Dia terlibat dalam hidupku, aku mulai minta Dia melibatkanku dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya di dunia ini.

Ajaibnya, doa yang direvisi itu begitu cepat dijawab. Terkhusus bagian aku meminta untuk dilibatkan dalam ladang pekerjaan-Nya di dunia ini. Aku makin merasakan campur tangan Tuhan dalam hidupku. Beberapa kesempatan dibukakan bagiku untuk melayani, bahkan di bidang yang memang merupakan hobiku: menulis. Aku terkagum takjub menghayati dampak doa yang telah direvisi itu.

“Bergembiralah karena TUHAN,” nasihat pemazmur, “maka Dia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.” (Mazmur 37:4). Sungguh, Tuhan akan memberi apapun yang kita minta, ketika Dia menjadi fokus hidup kita, dan doa-doa kita selaras dengan firman-Nya (Yohanes 15:7).

Artikel Lain:

Aku Kecewa Dan Meninggalkan Gerejaku, Tapi Satu Hal Membuatku Kembali

Apa yang membuat Amy meninggalkan gerejanya dan apa yang membuatnya kembali? Temukan di dalam artikel ini.