Posts

Merengkuh Kegagalan untuk Berjalan Lebih Jauh di dalam Anugerah

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Disclaimer: Jangan takut untuk melanjutkan studi setelah membaca sharing ini.

Sebagai anak sulung, aku dibentuk dengan ekspektasi bahwa aku adalah sosok panutan bagi kedua adikku. Ekspektasi ini tumbuh sejak aku masih berada di bangku SD, tepatnya sejak mengenal istilah “ranking” atau peringkat. Ada yang sama denganku? Online toss dulu.

Walaupun Papa tidak terlalu memaksaku meraih peringkat terbaik, Mama mendorongku dengan keras agar setidaknya aku bisa masuk peringkat sepuluh besar di kelas. Tidak heran jika mamaku sangat kecewa karena peringkat keempatku di semester satu kelas 2 SD terjun bebas ke peringkat ke-11 atau ke-12 di semester berikutnya, ditambah lagi wali kelasku itu berkata, “Tabita sebenarnya bisa, kok (lebih dari ini).” Sejak saat itu, mamaku juga mulai lebih serius dalam mendampingiku belajar dan mencari tahu siapa saja teman-teman sekelasku yang berpotensi masuk ke peringkat sepuluh besar. Kalau teman-teman pernah melihat video meme yang mencontohkan omelan bernada tinggi dari seorang ibu karena anaknya tidak bisa menangkap pelajaran dengan cepat, nah… aku pun mengalaminya.

Tahun berganti tahun, jenjang demi jenjang, aku berusaha meraih dan mempertahankan posisiku di dalam peringkat sepuluh besar itu. Aku pernah satu kali masuk peringkat lima besar di semester satu saat kelas 1 SMP, dan aku sangat senang karena “kompetisi” bersama anak-anak yang excel di dalamnya sangat sengit-tetapi-sehat. Namun, “kompetisi” itu makin menjadi-jadi karena aku terlempar di semester berikutnya—dan hanya selisih beberapa poin dari murid di peringkat kesepuluh. Untuk mengembalikan posisiku ke dalam peringkat sepuluh besar sudah jadi hal yang mustahil buatku saat itu, apalagi selama tiga tahun, aku berada di kelas yang sama dengan mereka. Okelah, pikirku, nanti di SMA aku akan berusaha masuk ke peringkat kembali.

Tanpa disadari, kedua momen itu menjadi salah satu konteks yang mendorongku berprinsip bahwa aku tidak boleh gagal dalam apa pun—khususnya studi. Bagaimana tidak? Dengan penampilan seadanya dan perasaan minder karena tidak bisa merawat diri kala itu, hanya prestasi akademik yang bisa aku perjuangkan semaksimal mungkin: mendaftar ke SMA Negeri jalur akselerasi (yang ternyata tertolak, tetapi bisa diterima di jalur reguler), mengambil jalur SNMPTN untuk pendaftaran ke jurusan psikologi di salah satu PTN ternama dan mempertahankan predikat cumlaude di sana, hingga studi magister teologi konsentrasi konseling sekali daftar. Semuanya terlihat lancar dan ideal, ya?

Ternyata kenyataan berkata lain.

Pada akhir masa studi sebagai mahasiswi magister teologi itu, aku mengalami dua kegagalan yang berdampak pada keterlambatan kelulusanku. Sebelumnya, aku berekspektasi bisa lulus kurang dari tiga tahun (karena tahun pertama adalah tahun matrikulasi), tetapi nyatanya aku membutuhkan hampir empat tahun untuk menyelesaikan studiku.

Pertama, aku gagal dalam satu mata kuliah prasyarat. Kalau aku fail, otomatis aku tidak bisa melanjutkannya ke mata kuliah berikutnya yang juga jadi mata kuliah terakhir buatku. Mata kuliah ini pula menjadi gambaran apakah aku dianggap layak untuk lulus dari kelas itu sebagai konselor. Kegagalan itu membuatku beranggapan bahwa aku salah menanggapi panggilan Tuhan sebagai konselor. Iya, aku merasa bahwa Tuhan memanggilku menjadi konselor sejak kelas 3 SMP. Dan selama studi di SMA, S1, hingga menuju akhir S2, aku jarang mendapatkan remedial class. Kalau memang dipanggil jadi konselor, bukankah seharusnya aku bisa melalui setiap kelas tanpa kegagalan? Okelah, kelas ini akan berlalu, kok. Ngulangnya cukup sekali ini aja. Yang lain juga ada yang pernah ngulang. Aku menggunakan pengalaman orang lain untuk “membenarkan” kekecewaan atas diri sendiri yang gagal itu, dan yah aku lulus kelas tersebut.

Kedua—dan lebih parah—adalah aku gagal sidang tesis dua kali. Yang pertama adalah karena aku pernah mundur dari jadwal sidang yang seharusnya (berdasarkan peraturan di konsentrasi kami, ini termasuk gagal), yang kedua… aku gagal di hari-H. Saking fatalnya, aku makin yakin bahwa tesis itu bukan milikku; tesis itu milik para dosen yang berintervensi di dalamnya, dan aku hanyalah tukang bikin tesis sesuai keinginan mereka. Bahkan sampai proses revisinya pun aku masih belum bisa menerima bahwa tesisku gagal—dan harus revisi mayor. Bagaimana aku bisa memperbaiki tesis itu kalau aku sendiri tidak paham dengan apa yang aku tuliskan di dalamnya?

Kedua kegagalan itu membuatku merasa sudah mengecewakan keluarga, pasangan, maupun teman-teman yang mendukungku, dan seolah-olah “membuktikan” bahwa kuliah di tempat itu adalah sebuah kesalahan karena sulit untuk lulus. Pengalaman tersebut juga menyebabkan berbagai keraguan tentang panggilan hidupku, seperti, “Mungkinkah aku terlalu percaya diri untuk mengklaim ‘jadi konselor’ sebagai panggilan yang Tuhan percayakan untukku?”

Syukur kepada Allah: justru di masa-masa sulit itulah aku belajar bersama Tuhan untuk merengkuh kegagalan sebagai bagian yang tidak terhindarkan dari perjalanan hidup. Ketika mendampingiku di awal pengerjaan revisi, salah satu dosen pembimbingku sempat berkata, “Kan, enggak mau, ya, kalau kita sudah mengerjakan tesis susah-susah, tapi dapatnya B- saja.” Bahkan ada pula dosen pembimbing lainnya yang berujar, “Waktu Tabita gagal sidang itu, malemnya saya sampai enggak bisa tidur. Kalau Tabita gagal, Tabita enggak gagal sendirian. Saya juga gagal, karena Tabita, kan, bikin tesisnya sesuai arahan saya.” Namun, yang paling memantapkan hatiku untuk memperbaiki tesis itu adalah pernyataan konselorku, “Tesismu itu milikmu. Kamu yang harus jauh lebih paham daripada para dosen, karena yang bikin, kan, kamu. Kalau kamu enggak paham, bagaimana dengan mereka yang mendengarkan presentasimu?”

Singkat cerita, dalam waktu tiga bulan sejak kegagalan sidang tesis, akhirnya aku bisa kembali mempresentasikannya dengan cara pandang yang baru. Tuhan juga memakai seorang teman untuk meneguhkan hatiku menjelang sidang: dia memberikan beberapa cemilan dengan tulisan, “Tesismu penting, Tabita. Hasil penelitianmu berguna.” Sidang tesis itu pun berbuah manis: aku lulus dengan materi yang lebih aku kuasai dibandingkan sebelumnya, dan aku sadar bahwa setiap proses pengerjaan tesis pun tidak terlepas dari anugerah Tuhan yang menopang.

Kelihatannya semua berakhir dengan bahagia, ya?

Nyatanya, masih ada kegagalan baru yang Tuhan izinkan hadir dalam hari-hari terakhirku sebagai mahasiswi: aku gagal apply kerja di sebuah sekolah yang aku ekspektasikan akan menerimaku. Namun, berbeda dari sebelumnya, aku telah belajar bahwa ada kalanya kegagalan diperlukan untuk mensyukuri apa yang sedang diperjuangkan. Selain itu, aku diingatkan oleh momen ketika seorang dosen lain mendoakanku dalam proses apply kerja, “Jika Tuhan berkenan agar Tabita berkarya di sekolah ini, tolong bukakan semua jalan. Jika tidak, tolong tutup semua jalan dan arahkan dirinya ke sekolah lain yang Tuhan kehendaki.” Doa itu terjawab, walau ternyata tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan… sampai akhirnya, aku mencoba untuk mendaftar ke sekolah lain, dan akhirnya diterima di sana untuk mulai melayani sebagai guru Bimbingan Konseling per semester depan.

Mungkin teman-teman yang membaca sharing ini menemukan bahwa kata “aku” dan “-ku” jauh lebih banyak dibandingkan kata “Tuhan”, “Allah”, dan “-Nya”. Yah… bisa dibilang, karena takut gagal lagi, aku ingin mengendalikan semua yang bisa aku lakukan. Saking takut gagal, aku jadi sering overthinking—padahal apa yang di pikiranku itu belum tentu terjadi. Bahkan ada kalanya aku ragu-ragu bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik, toh Dia tidak terlihat. Bagaimana aku bisa percaya sepenuhnya pada Tuhan yang tidak tampak secara fisik? Namun, di situlah aku belajar untuk beriman kepada-Nya sebagai “dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat.” (Ibrani 11:1 TB2).

Walaupun memahami keraguanku, Allah pun tahu bahwa pengenalanku terhadap diriku dan diri-Nya tidak boleh buntu. Belakangan, aku baru menyadari kalau keberhasilan yang dicapai justru bisa menjadi bibit kesombongan kalau tidak kuwaspadai. Aku juga disadarkan bahwa ujian sesungguhnya bukan hanya tentang menuntaskan kelas dan tugas akhir atau mengikuti seleksi wawancara kerja, melainkan juga—bersama Tuhan—menghadapi dan berdamai dengan diri sendiri yang rapuh. Aku bersyukur karena menemukan fakta itu sebelum benar-benar lulus. Selain itu, aku juga belajar mengenal Tuhan yang menyukai paradoks. Iya, mungkin tanpa kegagalan-kegagalan itu, aku akan sulit berempati kepada teman-temanku yang bergumul dalam penulisan tugas akhir mereka. Kalau jalan studiku mulus bagaikan jalan tol, aku akan lebih percaya diri mengatakan bahwa anggapan kuliah di kampusku itu tidaklah sesulit asumsi kebanyakan orang.

Berkaca pada pengalaman di atas, aku jadi teringat pada ungkapan John Calvin, seorang tokoh reformator gereja yang menulis buku berjudul The Institutes:

“Without knowledge of self, there is no knowledge of God.

Without knowledge of God, there is no knowledge of self.”1

Tanpa mengenal diri sendiri, aku tidak akan bisa mengenal Allah—begitu pula sebaliknya. Melalui relasi pribadi dengan Allah, aku menemukan harta berharga dari pengalaman merengkuh kegagalan itu, yaitu bahwa Dia adalah Bapa yang selalu beserta—bahkan saat sang anak ini mengambil keputusan yang keliru dan menyalahkan-Nya. Allah yang sama jugalah sumber strength unknown yang selalu menguatkanku dengan cara-Nya untuk berjalan kembali ketika aku merasa sudah menyerah. Jika begitu besar kasih Allah kepadaku, mengapa aku masih ingin menyia-nyiakannya—bukannya makin berpaut teguh pada-Nya?

Teman-teman, mungkin perjalanan hidup kita tidaklah semudah yang dialami orang-orang yang kita kenal. Ada kalanya kita melakukan kebodohan-kebodohan atas pilihan yang didasarkan pada survival instincts tanpa melibatkan Allah di dalam-Nya. Bahkan mungkin kita berulang kali mengasihani diri atas realitas pahit yang terjadi dan sudah tidak ingin memperbaiki diri—yang sebenarnya masih bisa kita lakukan. Namun, anugerah dan belas kasihan Allah melampaui kesalahan yang kita lakukan. Walaupun Dia adalah Sang Mahatahu yang melihat dosa-dosa kita, Allah berkenan mengampuni kita. Tidak berhenti di sana, Allah juga bersedia melibatkan kita di dalam narasi keselamatan-Nya—yang bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi bagi setiap orang yang Allah pilih untuk menerimanya.

Selain membebaskan kita dari dosa dan kekhawatiran kita akan the unknown, Allah juga mengundang kita untuk menghadapi the unknown bersama-Nya. Kekhawatiran itu memang tidak serta-merta hilang bahkan setelah kita belajar teologi dan mendengarkan banyak khotbah. Namun, Allah berkenan menyambut kita yang khawatir; Dia ingin agar kita tidak pasrah dalam menghadapi the unknown, tetapi ada sebuah tindakan iman yang Dia kehendaki, seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Di sini, kehadiran Roh Kudus dan support system sangat penting dalam menolong kita memahami rencana Allah yang misterius itu, agar kita tidak berjalan sendirian menyongsongnya.

Kiranya bersama Allah Tritunggal, kita dimampukan untuk berjalan di dalam anugerah-Nya, karena ada strength unknown yang disediakan-Nya, dan belajar beriman bahwa Kristuslah—Sang Batu Penjuru itu—landasan iman kita.

Ikut Maunya Tuhan: Susah tapi Selalu Worth-It!

Oleh Cristal Tarigan, Nusa Tenggara Timur

Quarter Life Crisis, istilah ini gak asing banget di kalangan anak muda. Istilah yang merujuk pada kondisi emosional yang biasanya dialami oleh orang-orang berusia 18 hingga 30 tahun berupa kekhawatiran, keraguan, terhadap kemampuan diri dan kebingungan menentukan arah hidup. Jadi sering kali anak muda mencoba banyak hal, atau berusaha membuktikan sesuatu demi mengenali si jati diri tersebut. Aku juga merasa turut mengalaminya dalam masa-masa kehidupan yang kujalani. Belum lagi, rupanya saat membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masa depan atau pilihan hidup ini, banyak pihak selain pikiran kita yang juga turut menyumbang andil bagaimana kita akan mengambil keputusan. Salah satu yang terbesar di antaranya adalah keluarga.

Dealing dengan Keluarga Tentang Pilihan Hidup

Jika sesuatu yang jadi kesukaan dan harapan kita juga menjadi harapan orang tua, maka tidak terjadi masalah. Tapi faktanya seringkali tidak demikian. Di kisahku beberapa tahun lalu pun sama. Di tengah aku sedang bergumul mencari tujuan hidupku, dan sampai menemukannya, aku sadar pada akhirnya pilihanku dan orang tuaku berbeda soal masa depanku. Beberapa tahun aku menggumulkan apa, dan melalui wadah apa aku berkarya buat Tuhan. Jawabannya menjadi guru pedalaman. Saat pertama kali memberitahukan keinginanku ini, kedua orangtuaku sangat tidak setuju, apalagi bapakku. Ada segudang pertanyaan yang ditanyakan, beberapa di antaranya adalah nanti bisa jadi PNS tidak? Bagaimana jenjang kariernya? Sebenarnya terasa normal pertanyaan ini bagi kita orang Indonesia seperti orangtuaku. Tapi dalam kisah ini, aku mau berbagi soal bagaimana memahamkan sesuatu yang rasanya tidak bisa dipahami dengan mudah oleh orang tuaku saat itu tentang visi hidup, dan bagaimana akhirnya mereka menerima keputusanku tersebut dengan hati yang lapang.

Aku mencoba menjelaskan dengan lebih sederhana kepada mamak-ku saat itu. “Mak, coba lah mamak bayangkan kalau pulpen dipakai motong sayur, pasti gak bisa kan mak, sekalipun bisa pasti gak maksimal.” Itu perumpamaan yang pernah aku sampaikan kepadanya, sampai akhirnya aku mencoba menjelaskan visi pribadi itu. Visi pribadi itu adalah peran kita secara pribadi untuk memuliakan Tuhan lewat hidup kita. Ini bukan sekedar punya pekerjaan saja, tapi memang ada sebuah hasrat yang sangat besar yang lahir dari hati untuk melakukannya. Bisa saja pekerjaan kita sama dengan visi pribadi kita, bisa juga pekerjaan kita dan visi pribadi kita bidangnya berbeda. Bukan berarti mengerjakan visi pribadi lebih rohani dari sekedar bekerja karena sesungguhnya seluruh kehidupan kita ini gak boleh kita kotak-kotakkan, semuanya adalah persembahan yang hidup. Mengerjakan visi pribadi ini berbicara tentang kemaksimalan kita dalam berkarya buat Tuhan jika kita menghidupinya. Akhirnya beberapa bulan sebelum keberangkatanku, orangtuaku bisa menerima keputusanku tersebut. Sepenuhnya penerimaan dan kelembutan hati mereka pada akhirnya pun kusadari bukan karena pekerjaanku, semua semata-mata hanya karena Roh Kudus yang hadir memberikan pengertian kepada mereka. Dari kisah ini aku sadar bahwa Tuhan akan selalu buka jalan dan kita punya bagian yaitu terus taat, sabar dan rendah hati. Taat untuk tetap mengikuti Dia dalam panggilan-Nya, sabar menantikan waktu-Nya bekerja dan rendah hati dalam menyampaikan sesuatu. Orangtua manapun pasti berharap anaknya sukses, tapi orangtua manapun lebih ingin kalau anaknya bahagia. Sekeras-kerasnya hati orangtua kita, jika kita berbicara dengan rendah hati, tidak menang sendiri dan tidak terkesan lebih pintar tentang pengalaman hidup ini, akan terluluhkan juga. Hal ini tidak hanya berlaku dalam panggilan, tapi dalam banyak aspek hidup kita. Amsal 15:33: “Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hormat dan kerendahan hati mendahului kehormatan.”

Menghidupi Panggilan Ditengah Banyaknya Tawaran yang Lebih Menggoda

Menemukan panggilan bukan akhir dari perjalanan mencari arah atau tujuan hidup yang lebih baik. Justru itu barulah awal dari perjalanan yang selanjutnya akan kita tempuh. Menghidupi panggilan dan sekaligus menikmatinya apalagi, ini hanya akan bisa dilakukan jika kita terus tunduk, taat dan terus dengar-dengaran dengan-Nya. Setidaknya hal ini yang masih terus aku alami sampai hari ini. Ada saja cara Iblis mengalihkan pikiranku kepada tawaran-tawaran yang bisa aku dapat lebih dari apa yang aku kerjakan sekarang. Singkatnya mungkin panggilan yang kita kerjakan gak membuat kita kaya, gak membuat kita merasakan kenyamanan seperti yang kita harapkan, gak membuat kita semakin terkenal dan justru membuat kita selalu kurang diperhitungkan di mata manusia, tapi panggilan selalu membawa kita keluar dari yang namanya zona nyaman baik secara iman maupun karakter. Hasilnya adalah kita akan menjadi semakin serupa kepada Kristus. 

Sejak menjadi guru pedalaman, masih sering sekali orangtua dan semua keluarga besarku menawarkan pekerjaan yang lebih baik menurut mereka, masih sering membicarakan tes CPNS, masih banyak teman-temanku yang menyinggung pencapaianku yang gak signifikan, tidak jelas jenjang kariernya. Bahkan bukan oranglain, kadang aku sendiri pun mempertanyakan Tuhan ke mana rancangan masa depan akan membawaku. 

Tapi mengapa aku masih terus berkomitmen? Tidak bisa kudeskripsikan semuanya.

Aku hanya merasa kasihku semakin besar, pekaku terhadap orang lain semakin mudah bertumbuh dibanding hidupku yang dulu. Senyum di wajah anak-anak yang kuajari, perasaan senang adanya guru yang mengajar mereka, itu cukup mengobati setiap perasaan yang ingin lebih muncul, setiap hati yang kadang terluka karena tekanan dari orang terdekat. Menurutku, jika benar itu panggilan, maka harusnya membuat kasih kita semakin lebar, kapasitas kita mengasihi semakin diperluas dan hati kita jadi semakin besar. Tolak ukurnya bukan pada apa yang dunia ini tawarkan. Saat saat sedang jatuh, caraku paling ampuh untuk kembali bangkit adalah mengingat bagaimana dulu aku memulainya bersama Tuhan, mengingat bagaimana cintaku mula-mula bertumbuh dalam panggilan ini, dan itu selalu cukup menjadi reminder untuk kembali berlutut dan merendahkan diri lagi dan lagi. 

Jadi buat kita yang lagi berjuang mencari panggilan hidup, semangat ya, terus berdoa, dan menggumulkan. Ingat tolak ukurnya adalah jawaban Tuhan bukan manusia. Buat yang sudah menemukan, bidang apapun itu, tetap semangat berproses. Mengerjakan panggilan Tuhan memang berat, karena ini bukan tentang mau-ku tapi mau-Mu. Matius 16:24: “Tuhan Yesus berkata “setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Ayat ini menjadi sebuah pengingat bagi kita, sesungguhnya ikut mau-Nya gak pernah berbicara tentang kenyamanan, ikut mau-Nya berarti berbicara tentang harus melalui jalan yang sempit dan bukan jalan yang lebar. Tapi itu adalah harga yang layak dibayar, karena dengan apakah kita bisa membandingkan kemuliaan yang kelak kita terima?

2 Timotius 4:8: “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.”

Sebuah Pengingat Mengapa Aku Diutus Pergi Jauh

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan

“Kamu yakin bakalan pergi? Gak usah muluk-muluk lah soal hidup. Bapak rasa kamu belum semandiri itu selama ini. Tapi, kalau kamu memang mau pergi sejauh itu, jangan sampai nanti kamu nyusahin orangtua atau diri sendiri.”

Mendengar kata-kata itu, aku merasa seakan duniaku runtuh. Rasanya sakit sekali tidak didukung oleh orang tuaku, dan aku merasa mereka tidak mengenalku. Padahal aku sudah berusaha memperbaiki hidupku selama beberapa tahun terakhir sejak aku menerima Yesus.

Belum lagi perkataan dari teman-teman dan keluargaku lainnya yang turut menyakiti hatiku.

“Gue shock sih, dengar kabar kalau lo tiba-tiba mau pergi ke sana dengan alasan mau melayani. Soalnya lo aja masih sering banyak ngeluh. Yakin lo, San?” Dia adalah salah seorang teman yang sudah cukup lama kukenal.

“Eh! Kata Ibu, Santi mau ikut volunteer tenaga medis ke Pedalaman ya? Pelayanan sih pelayanan San. Tapi, kamu yakin? Bukan cuma mau eksplor tempat aja, nih? Katanya pulau itu cantik, sih. Jangan sampai setengah-setengah lho, takutnya nanti ngerepotin keluarga.” Demikian ucapan bibiku yang datang ke rumah untuk membicarakan hal itu, tanpa basa-basi.

Belum saja aku pergi, sudah banyak kata-kata yang bukan berupa dukungan, melainkan kata-kata yang membuatku harus menahan air mata di depan mereka.

Kupikir tidak ada yang akan mendukungku. Namun, ada satu sahabat yang mendukungku, yang percaya kalau aku tidak salah dengan apa yang sedang kurasakan—tentang bagaimana Tuhan memang memanggilku melayani sebagai volunteer di daerah itu. Dia adalah Konnang.

“Gapapa San. Wajar kok semua orang, bahkan orang tuamu tidak mendukungmu. Kan memang tidak banyak orang yang dipanggil atau dipilih Tuhan untuk pelayanan seperti ini. Restu orang tua memang penting, tapi kalau suara Tuhan untuk kamu pergi lebih kuat, percayalah Tuhan akan membuktikan kalau Dia sendiri yang akan turun tangan untukmu.”

Kata-kata itu membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah dengan keputusanku.

Itulah sekelumit pergumulan yang kuhadapi sebelum keberangkatanku mengikuti apa yang jadi panggilan hatiku. Namaku Santi. Aku seorang tenaga medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di kotaku. Tapi suatu hari, aku memutuskan berhenti untuk ikut sebuah pelayanan misi di sebuah pulau, tepatnya di suatu tempat terpencil di Indonesia. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.

Dulu, kehidupan sebagai orang Kristen memang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang jemaat yang rajin ke gereja dan jarang terlibat dalam kepengurusan pelayanan. Tapi, pertemuanku dengan Yesus beberapa tahun lalu adalah alasan yang membuatku mengambil keputusan ini. Sejak hari itu, ada dorongan di hati untuk lebih peduli dan lebih aktif di beberapa kegiatan rohani yang kuyakin pastilah itu buah dari mengenal-Nya.

“Tapi, pertemuan dengan Yesus sekalipun tidak membuat kita langsung berubah 100%. Begitu pun dengan pandangan orang lain soal hidup kita yang lama, San,” tambah Konnang.

Karena ucapan itu, aku sedikit lebih lega untuk menanggapi kalimat-kalimat yang belakangan ini aku dengar dari orang-orang yang sebenarnya kuharapkan untuk mendukungku. Mereka tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga benar untuk langsung menghakimiku lebih dulu.

Akhirnya, dengan restu setengah hati dari orang tuaku, aku berangkat.

Aku pun sampai di sebuah pulau yang penduduknya sama sekali tidak terlalu mengenal kecanggihan teknologi dan modernisasi kota. Kutatap mereka semua yang menyambut kedatangan timku. Saat itu hatiku bergetar, seakan berkata “inilah jawaban mengapa aku pergi.”

Lusuh, kumuh, kurang gizi, dan tanpa alas kaki. Seperti kurang diurus. Namun, senyum mereka seakan menyampaikan harapan bahwa kedatangan kami membawa dampak yang berarti buat hidup mereka.

Hari-hari di sana tidak mudah untuk kulalui. Jatuh bangun kualami, namun aku tetap kuat bertahan menyelesaikan sebuah misi yang sudah Tuhan percayakan ini. Tempat untuk mengobrol selain Tuhan, tetaplah Konnang, sahabatku yang Tuhan kirimkan untuk menemani perjalanan kisah ini. Dan Konnang tidak pernah melupakanku, sekalipun aku pergi ke tempat terpencil ini.

“Halo! Selamat Tahun baru, ya! Gak kerasa banget kita udah dua tahun gak ketemu, San. Apa ceritamu kali ini? “ tanya Konnang tanpa basa-basi mengawali pembicaraan kami.

“Selamat tahun baru, Konnang!” Aku menjawabnya dengan semangat. “Iya, ya. Gak kerasa aku udah dua tahun di sini, dan sisa waktuku sebagai volunteer tinggal enam bulan lagi. Tapi, tau gak sih, Nang, kadang aku masih belum percaya kalau aku bisa sampai di tahap ini. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, aku pasti udah pulang sejak lama. Tapi, pengharapan itu emang jadi alasan yang mengalahkan semua kekhawatiran dan ketakutanku, Nang. Dan buahnya, semakin hari aku merasa semakin kuat.”

Begitu jawabku. Aku pun menyadari, semakin banyak kata-kata bijak yang dapat kuucapkan, dan aku tahu kata-kata itu lahir dari semua pengalamanku ini.

“San, tau gak apa yang paling menarik dari kisahmu? Dulu, aku bilang ke kamu biar Tuhan yang membuktikan kalau Dia yang akan turun tangan dalam perjalananmu. Waktu itu aku hanya menyemangatimu untuk mengambil keputusan. Tapi, rasanya sekarang aku makin mempercayai hal itu buat hidupku, sekalipun pasti perjalanan ceritaku dan ceritamu berbeda.”

Ya, benar! Apa yang Konnang katakan sungguh benar.

Enam bulan kemudian, aku pulang ke kampung halamanku. Masa melayaniku di tempat terpencil itu sudah habis.

Dan ketika aku baru saja sampai di bandara kota tempat tinggalku, keluarga dan orang-orang yang kurindukan langsung memelukku dengan hangat. Air mata mereka pun turut membasahi baju putih yang kukenakan hari itu. Mereka menyambutku dengan sangat hangat. Dan aku bersyukur, mereka juga bangga atas apa yang telah kulakukan.

Bertahan dan bermegah dalam kesengsaraan memang tidak mudah, tapi ketaatan dan ketekunan akan menjadikan kita berpengharapan. Dan pengharapan dalam Yesus tidak mengecewakan.

Terima Kasih Yesusku, karena Engkau menjadi pembelaku. Karena Engkau juga, aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.

Malam itu, seperti biasanya aku menulis. Kututup buku journey-ku dengan kalimat itu sambil tersenyum bangga mengingat kasih setia-Nya yang tidak pernah ada habisnya.

Berhenti Mencari Tahu Apa yang Jadi “Panggilan” Hidupmu dan Mulailah Menghidupi Hidup itu Sendiri

Artikel ini ditulis oleh YMI

Momen ketika kamu berhasil menemukan panggilan hidupmu sering digambarkan sebagai momentum besar yang akan mengubah hidupmu selamanya. Jadi, kita pun terus mencarinya, menanti, dan berharap momen itu datang. Kita membayangkan kelak kita melakukan pekerjaan yang mengubah hidup–menulis cerita-cerita tentang kaum marjinal, membuka rumah singgah atau yayasan buat anak-anak yang rentan, atau pergi melakukan perjalanan misi.

Pengejaran kita yang tanpa henti untuk menemukan panggilan hidup sedikit banyak dipengaruhi juga oleh media yang kita konsumsi, yang bilang mimpi harus dikejar, dan suara hati yang berbisik harus didengar supaya kita tahu tujuan hidup kita yang lebih besar.

Lantas kita meminta kelompok komsel untuk mendoakan kita, membaca apa pun yang membuat kita tahu mana yang kehendak Tuhan supaya kita menemui panggilan-Nya… atau bisa juga ikut kuis-kuis tentang kepribadian supaya tahu apa sih yang sebenarnya jadi ‘panggilan’ kita.

Tapi…hari-hari berlalu… ‘panggilan’ itu masih entah di mana. Bos kita di tempat kerja masih saja toxic, teman kita sudah dipromosikan jabatannya… dan kita sendiri dengan tak sabar menanti kapan weekend karena sudah capek kerja.

Setiap hari kita terus memberi tahu diri kita kalau hidup akan berubah—perjalanan kita akan lebih mulus, minim masalah, pokoknya yang baik-baik—itulah yang kita deskripsikan sebagai menemukan ‘panggilan’.

Tapi… gimana kalau panggilan itu sebenarnya sudah ada di depan kita? Gimana kalau Tuhan sudah menunjukkanya dengan jelas? Gimana kalau kita coba menikmati hidup di tempat di mana Tuhan sudah letakkan kita, dengan rendah hati melayani orang-orang di sekitar kita, serta melakukan segala sesuatunya tanpa mengharap balasan?

Maukah kamu menghidupi panggilan semacam itu?

1. “Panggilan” kita adalah tentang melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, meskipun itu tidak menyenangkan

Kita bermimpi pekerjaan kita membuat suatu proyek yang mengubah dunia, tapi kenyataannya kita berdiri dua jam di depan mesin fotokopi, mencetak ratusan lembar laporan untuk rapat besok. “Hadeh, gak seharusnya aku kerja gini…” kita menggerutu sembari menendang mesin printer yang macet.

Dalam Alkitab, Yusuf dipanggil untuk menjadi pemimpin di Mesir, tetapi ada momen ketika dia harus melewatkan hari-harinya di penjara—yang ditafsirkan oleh para ahli sejarah selama 12 tahun!—atas tindakan yang tidak dia lakukan. Namun, Yusuf setia pada tempat di mana Tuhan menempatkan dia (Kej 39,40), dan pada waktu-Nya, dia menjadi orang kedua di Mesir setelah Firaun (Kej 41:37-43). Pada akhirnya, Yusuf bisa membawa keluarganya ke Mesir dan menyelamatkan mereka dari kelaparan (Kej 46).

Seperti Yusuf, apa yang kita lakukan sekarang mungkin terasa kurang berkesan dan seolah tidak mengubah dunia, tapi Tuhan telah menempatkan kita pada suatu peran untuk sebuah tujuan. Bisa jadi yang kita lakukan sekarang adalah batu loncatan untuk rencana-Nya kelak, dan masa-masa sekarang adalah momen terbaik untuk melatih diri kita.

Setialah pada tempat di mana kamu berada dan lakukan yang terbaik—meskipun tugasmu cuma sekadar memfotokopi ratusan lembar dokumen laporan untuk suatu rapat yang membosankan—dan izinkan Tuhan memimpinmu pada tahap selanjutnya sesuai waktu-Nya.

2. Panggilan kita adalah untuk menaati apa yang Tuhan telah perintahkan untuk kita lakukan

Rasanya keren membayangkan kelak ada begitu banyak orang yang terinspirasi oleh kita saat kita menghidupi ‘panggilan’ kita. “Bukan, itu bukan aku, itu Tuhan”, kata kita di depan ribuan orang yang mendengarkan cerita kesaksian kita.

Namun, dalam pencarian akbar kita akan panggilan, apakah kita telah melewatkan satu panggilan terbesar? Bagaimana jika pada akhirnya “panggilan” kita adalah untuk hidup menjadi serupa dengan Kristus dan menghidupi hidup yang membawa orang lain kepada-Nya.

Efesus 5:1 berkata kita adalah ‘penurut Allah’, dan kita dipanggil untuk hidup sebagai umat Allah yang kudus (Ef 5:3). Ssemua itu dimulai dengan melakukan apa yang Dia telah perintahkan kita untuk lakukan—saling mengasihi (1 Yoh 4:7), mengampuni yang telah menyakiti (Ef 4:32), peduli pada yang lemah dan terpinggirkan (Yak 1:27)—semua inilah panggilan-Nya bagi kita.

Jadi, bagaimana kita mau mengasihi teman kerja yang menyebalkan? Apakah kita menjauhinya, menyumpahi supaya semua yang menyakiti kita kena sial? Atau, apakah kita dengan murah hati memberi pada orang yang butuh?

Orang-orang di sekitar kita mengamati apa yang kita bicarakan, lakukan, cara kita menghadapi cobaan, stres, juga kepahitan hidup. Hal-hal yang kita lakukan (atau tidak) menunjukkan pada orang-orang siapa Tuhan yang kita sembah dan layani.

Kita mungkin gak akan pernah mendapat standing ovation dari melakukan semua hal di atas, tapi dalam banyak cara, mungkin apa yang kita perbuat menjadi cara-Nya untuk mengubah hidup seseorang. Kelak saat kita tiba di surga, kita mendengar Tuhan berbicara, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat 25:23).

3. “Panggilan” kita adalah menggunakan setiap kesempatan yang ada sebaik mungkin

Kita pernah mendengar kesaksian tentang orang-orang yang merasa mendapat ‘beban yang luar biasa’ yang Tuhan tanamkan di hati untuk melakukan ini dan itu. Dari situlah mereka tahu kalau itu panggilan mereka. Jadi, kita pun menanti ‘panggilan’ itu datang dengan cara yang sama.

Tapi di saat yang sama, kita menolak ikut serta jadi relawan. Kita bilang “aku doain dulu ya” pada orang yang telah mengajak.

Seiring Tuhan mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9), kita akan menjumpai sesuatu yang menggugah hati ketika kita memberi diri untuk mengamil kesempatan yang ada. Contohnya, peduli pada hewan-hewan yang ditelantarkan bisa mendorong kita untuk kelak jadi aktivis yang menyuarakan tanggung jawab pada setiap orang yang berkeputusan memelihara hewan. Peduli yuang dimaksud itu tak cuma banyak cerita di medsos, tapi misalnya kamu ikut aktif merawat seekor anjing berkutu yang terlantar lama.

Panggilan kita mungkin tidak muncul dengan segera, tiba-tiba nongol setelah kita berdoa, atau setelah kita ikut tes kepribadian yang ke-100 kali… bisa jadi panggilan itu tersembunyi di pojokan jika kita memutuskan untuk menjelajahi setiap kesempatan yang datang pada kita.

Arti dari semua ini bukannya kita harus menyerah atas impian dan hasrat yang kita ingin raih (Tuhan menempatkan dua hal itu tentu dengan alasan), tapi kita bisa berhenti mencarinya dengan cara yang serampangan. Kita bisa menemukan panggilan dengan mulai hidup di sini, di saat ini dan melakukan apa yang Tuhan telah berikan pada kita. Saat kita sungguh merenungkan apa yang Tuhan mau kita lakukan, inilah sebenarnya panggilan-Nya juga.

Keterbatasan Bukan Halangan Untuk Menerima Panggilan-Nya

Oleh Jlo (Jessica Lowell), Tangerang

Apa yang kalian pikirkan mengenai keterbatasan?

Banyak orang memiliki pemikiran bahwa keterbatasan adalah orang yang cacat atau tidak lengkap tubuhnya (istilah bahasa Inggrisnya disable). Sedangkan dalam KBBI, keterbatasan berarti keadaan terbatas. Pemikiran awal di atas tidak ada salahnya, namun keterbatasan itu tidak hanya cacat fisik. Ada orang yang memiliki anggota tubuh lengkap, tapi ternyata memiliki keterbatasan dalam hal lain. Salah satunya seperti aku.

Aku memiliki anggota tubuh lengkap, tetapi memiliki keterbatasan yang tidak banyak orang tahu, yaitu disleksia. Disleksia adalah gangguan saraf di bagian batang otak.yang berfungsi memproses bahasa. Waktu kecil, aku mengalami kelambatan bicara yang disebut speak delay, dan ketika mulai menginjak sekolah dasar, bicaraku masih belum jelas, sehingga aku di-bully oleh orang-orang sekitarku.

Aku tidak akan menceritakan mengenai bullying. Aku akan menceritakan bagaimana aku yakin dan percaya bahwa keterbatasanku bukan halangan untuk menerima panggilan Tuhan.

Aku dilahirkan dalam keluarga Kristen. Tiap minggu, aku diajak untuk sekolah minggu. Ketika kelas 6 SD, aku mengikuti retret dan memberi diri untuk mengikut Yesus.

Kemudian memasuki fase remaja, aku belum menemukan hal yang membuatku tertarik. Aku sering ditanya, apa cita-citaku kelak, dan aku selalu menjawab mau menjadi hamba Tuhan. Aku mau membuktikan bahwa keterbatasanku (disleksia) bukan halangan bagi kita untuk melayani Tuhan. Aku pun mengambil pelayanan di sekolah Minggu dengan menjadi asisten guru. Salah satu alasan aku melayani di sekolah Minggu karena aku menyukai anak-anak.

Aku tahu, disleksia yang kualami tentu akan mempengaruhi tiap kegiatanku, di mana pun itu. Misalnya semasa kuliah, ketika ada kerja kelompok dan aku ditanya teman-teman, aku sulit mengutarakan pendapat (kata-kata), sehingga aku memilih diam saja. Begitupun dalam pelayanan yang k ambil, walaupun hanya terkadang. Karena saat ini aku hanya membantu dan lebih banyak bertugas dalam bidang multimedia. Namun tetap saja, aku harus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan teman sepelayananku. Dan aku memilih untuk tidak menyerah dalam melayani, walaupun disleksia mempengaruhi pelayananku.

Kita tahu bahwa dalam Alkitab, banyak sekali tokoh yang memiliki keterbatasan, namun dipakai oleh Tuhan. Salah satunya Musa yang tidak fasih berbicara. Tuhan memilih Musa untuk melakukan suatu pekerjaan besar, yaitu membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, tetapi Musa menolak panggilan Tuhan berkali-kali. Salah satu alasannya menolak karena mempermasalahkan kemampuan bicaranya yang buruk.

“Lalu kata Musa kepada TUHAN: ”Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah” (Keluaran 4:10).

Tuhan sabar menghadapi Musa dan penolakannya. Dia pun berjanji menyertai lidah Musa dan mengajarinya apa yang harus dikatakan (Keluaran 4:12), hingga akhirnya Musa menerima panggilan tersebut. Dan Tuhan memegang janji-Nya. Dia senantiasa menyertai Musa dalam segala hal dan pergumulannya, hingga akhirnya bangsa Israel bebas dari Mesir.

Hal ini mengingatkanku pada kitab 2 Korintus 12 ayat 9 :

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Dalam kelemahankulah kuasa Tuhan menjadi sempurna

Tuhan tentu bisa menghapus kelemahan kita, karena tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Tapi justru dalam kelemahanlah, Tuhan mau kita bergantung pada kuasa-Nya.

Bisa dibilang, kesediaan aku melayani Tuhan mirip dengan satu nabi di Alkitab yang bernama Yesaya. Saat Nabi Yesaya ditanya oleh Tuhan, ”Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Yesaya menjawab, ”Ini aku, utuslah aku!” (Yesaya 6:8).

Setiap kali aku ikut KKR dan retret, aku ditantang oleh pembicara, siapa yang mau menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu untuk menjadi pengajar. Hatiku selalu gemetar, tapi aku memilih melangkah maju sebab aku rindu dapat melayani Tuhan pada bidang itu.

Tuhan bisa memakai siapa saja yang dia mau untuk menjadi pelayan-Nya, baik laki laki atau perempuan, baik tua atau muda. Tuhan juga tidak melihat masa lalu. Ia pun tidak melihat dari ketidaksempurnaan, karena kita semua adalah manusia yang tidak sempurna. Tetapi, yang Tuhan lihat adalah hati yang mau melayani Dia dengan sungguh-sungguh.

Aku mau mengajak kita semua untuk tidak berkecil hati dan tidak takut menerima panggilan Tuhan. Kita pasti memiliki kelemahan yang berbeda-beda, entah terlihat atau tidak. Tapi ingatlah, dalam kelemahanlah kuasa Tuhan menjadi sempurna.

Jika kita Dia pilih untuk menjadi pelayan-Nya, Dia pasti akan memampukan kita dan menyertai kita untuk melakukan pekerjaan baik.

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10).

Sebagai penutup, aku mau memberikan satu ayat Alkitab yang bisa menjadi penguat bagi kita semua dalam melayani.

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kananKu yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).

Terjatuh di Tempat Aku Membangun

Oleh Agustinus Ryanto 

Di suatu pelatihan yang pernah kuikuti, pembicaranya bilang begini, “Jangan bandingkan diri kita dengan orang lain, bandingkanlah dengan diri kita sendiri versi kemarin.”

Wow. Kutipan itu segera kucatat di HP, juga di pikiran. Benar, gumamku. Memang kalau membandingkan diri dengan orang lain ya nggak akan ada habisnya toh.

Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan, kutipan yang kupupuk di otak ini bekerja efektif. Ia membuat hari-hari kerjaku yang monoton terasa berwarna. Aku merasa diriku versi hari ini sudah mengalami banyak kemajuan dibanding yang dulu.

Sampai tibalah di bulan Agustus, pada momen ketika orang tuaku sakit. Mau tak mau, aku harus pulang untuk merawat mereka. Kupulanglah ke rumah dengan naik motor, supaya sampai di kota asalku, aku bisa mudah wira-wiri.

Aku telah bekerja lima tahun pada sebuah lembaga nirlaba yang aku cintai. Meskipun aku tak terlalu suka dengan rutinitas kerjaanku yang monoton—kebanyakan duduk di depan laptop, kesepian hampir di sepanjang hari, tapi aku tahu apa yang kulakukan memberi dampak bagi orang lain, kendati dampaknya memang tak kasat mata dan tak langsung. Oleh karena itulah, aku memutuskan bertahan dan mengembangkan diri di tempat ini saban tahun berganti. Singkat kata, aku percaya bahwa inilah jalan yang memang saat ini perlu aku tempuh.

Seminggu setelah urusan mengurus orang tuaku rampung, datanglah sebuah pesan yang ditujukan buatku.

Pesan ini kubaca pelan-pelan. Narasinya lembut, tetapi aku bingung akan intensinya. Apakah itu bertujuan untuk memotivasiku atau menggugat apa yang sedang kukerjakan sekarang. 

Konotasi yang kutangkap dari teks-teks itu adalah bahwa aku seorang yang egois, yang hanya mementingkan diri sendiri. Usiaku tahun ini 27 tahun, tidakkah aku terpikir untuk memiliki karir yang lebih menghasilkan secara finansial? Tidakkah aku ingin berbakti lebih pada orang tuaku? Aku tahu pesan itu muncul sebagai respons atas caraku menangani orang tuaku yang sakit. Karena tak punya mobil, aku membawa ayahku ke rumah sakit dengan menaiki taksi daring, sementara ibuku pergi ke laboratorium rontgen dengan naik motor. Cara ini dianggapnya tak elok bagiku yang sudah lulus sarjana, yang seharusnya mendapatkan sesuatu yang lebih bonafide. Tetapi, dalam hati aku membela diri, aku tak sanggup melakukan itu semua. Terlalu banyak faktor yang saling berkelindan yang membuatku sendiri kadang bertanya-tanya mengapa aku terlahir di keluarga ini—terpecah oleh perceraian yang diteruskan turun-temurun sejak buyut, utang dari bank, kepahitan, kekerasan rumah tangga, dan lainnya, yang memikirkannya membuatku semaput. 

Dadaku seperti tertikam. Jari-jemariku kelu. 

Aku tak ingin memantik keributan, tapi ingin sekali membalas pesan itu dengan membela diri. Lagipula, kepada sang pengirim pesan, aku tak pernah dibiayai hidup olehnya, sehingga apa gerangan dia mengomentari jalan karirku. Tapi, kutenangkan diriku. HP kumatikan dan aku berdiam. Setelah tenang, kubalaslah pesan itu dengan sopan. Kuucapkan terima kasih atas intensi baiknya memikirkanku, sembari kuluruskan keadaannya mengapa setelah lima tahun bekerja aku belum mampu membeli kendaraan roda empat ataupun rumah. 

Namun, hari-hariku setelahnya tak lagi sama. Pesan yang dikirim sore itu menghancurkan kepercayaan diriku. 

Setiap hari, aku dihantui imaji akan kegagalan. Aku menghukum diriku dengan merasa aku seorang yang melarat, bodoh, tak mampu membayar bakti pada orang tua dengan memberi mereka kenyamanan ragawi. Perasaan gagal itu semakin menjadi-jadi ketika Instagram yang sedianya kujadikan wadah untuk mengekspresikan jiwa petualanganku seolah berubah jadi arena pamer dari teman-temanku, yang menumpukkan bara panas ke atas kepalaku. Lihat tuh, si dia udah tinggi jabatannya. Aduh, keren banget ya dia udah bisa beli rumah, beli mobil. Duh, dia ajak orang tuanya liburan ke sana sini. Lalu aku membandingkannya dengan diriku sendiri. Kubandingkan yang telah punya mobil denganku yang cuma ada motor. Kubandingkan yang telah menikah dan punya rumah enak denganku yang masih LDR beda kota dengan baik bus malam. 

Bak diberondong peluru, akhirnya aku tumbang. Pahitlah hatiku, patahlah semangatku, sakitlah badanku. Menatap layar laptop yang biasanya kulakukan dengan tatapan tajam kini menjadi sayu. Langkahku gontai. Agar kepahitan ini tak semakin menjadi, kuputuskan untuk memutus kontakku dengan dunia maya sejenak. Aku keluar dari Instagram, dan selama tiga minggu hanya berkomunikasi menggunakan WhatsApp saja. 

Menolong? Agak. Menyembuhkan? Tidak. 

Perasaan gagal itu muncul sejatinya bukan karena aku secara de facto telah gagal dalam pertempuran hidup. Tetapi, karena aku membangun harga diriku pada tempat yang tidak teguh, pada tempat yang value-nya berubah-ubah seiring waktu: yakni apa kata orang. Aku tidak menampik bahwa kita ingin selalu tampil berhasil di depan orang, dan cenderung menutupi kerapuhan kita. Tetapi, keberhasilan seperti apakah yang sebenarnya patut disebut berhasil? Indikatornya tentu berbeda-beda. Bagi seorang yang hidup dalam kepahitan sejak kecil, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membuka pintu maaf dan mengizinkan damai dari pengampunan mengisi hari-harinya. Bagi seorang yang telah gagal dalam hubungan asmara, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membangun relasi yang teguh dan utuh di tengah segala kendala yang merintanginya. 

Abraham Maslow mencetuskan teori piramida kebutuhan, dengan kebutuhan fisiologis ada di dasar dan kebutuhan aktualisasi diri di puncak piramida. Teori ini bilang kalau setelah satu tingkatan kebutuhan dipenuhi, manusia akan mulai memenuhi kebutuhan lainnya. Kebutuhan aktualisasi diri letaknya ada di puncak, tidak ada lagi kebutuhan di atasnya yang perlu dipenuhi. Ini berarti, menurutku, apabila kebutuhan ini dipenuhi dengan sumber atau cara yang tak tepat, itu akan menjadikan kita terjebak dalam upaya pemenuhan yang tiada berakhir. Kesadaran ini menghantamku. Jika kebutuhan untuk membuktikan diriku pada orang lain didasarkan pada apa kata orang, bukankah itu akan jadi proses yang tak akan berujung? Bukankah omongan orang selalu berubah dari hari ke hari? Bukankah omongan orang itu sifatnya dangkal karena mereka tak melihat seluruh realitas hidup kita? 

Aku pun pulang kembali ke rumah dengan keadaan fisik yang sangat lelah. Dari subuh sampai siang aku memotret upacara pernikahan. Ini adalah kerja sambilanku yang puji syukur, diberkati Tuhan dengan pesanan dari banyak klien. Melihatku kelelahan dan meringkuk di kasur seperti orang meninggal, ibuku bilang, “Jangan terlalu capek!”

Kubilang lagi, “Nggak kok, biasa ini mah.” 

“Tapi itu kemaren Senen bisa sampe diare, ke wc sampe belasan kali terus lemes?”

“Ah, itu kan gara-gara salah makan,” sanggahku. “Ya udah, hayu kita pergi deh cari makan dulu,” kuajak ibuku pergi motoran keliling kota. Aku mau traktir dia makan enak. 

Ibuku di usianya yang hampir enam dekade masih sangat aktif. Dia terbiasa motoran sendirian ke luar kota. Siang itu dia mengajak aku makan ikan bakar di tepi waduk, yang jaraknya nyaris dua jam naik motor. Perjalanan kami lalui dengan sensasi panas dingin—panas saat matahari tak tertutup awan, dan dingin karena basah saat diterpa hujan. 

“Mama nggak menuntut anak harus gimana-gimana, kalian yang jalanin hidup, kalian yang atur sendiri,” tuturnya. 

“Maksud?” tanyaku mengernyit. 

Karena bulan sebelumnya aku pernah bertutur soal perasaan gagalku ini, dia menjawab dengan lebih lugas. “Kamu nggak perlu pusing-pusing harus bayar utang atau beliin harta ini itu. Itu kesalahan bukan kesalahan kamu, bukan kamu yang harus pusingin. Yang penting kamu bisa hidup, nggak utang sama orang lain, dan cukup…” 

Kupandangi muka air waduk yang tak berombak. Ikan nila aneka warna tampak di permukaannya. Seperti itulah kurasa tenangnya hatiku. 

Aku tahu betul masa lalu ibuku tidak baik. Ia lahir dalam keluarga yang dikoyak perceraian. Dia tak diasuh oleh ibu bapak kandungnya sejak balita. Luka itu membuatnya kembali terluka dengan perceraian di usia dewasa mudanya. Tapi, dia tahu bahwa aku, sebagai anaknya yang paling bontot, ingin berusaha membahagiakannya dengan beragam benda yang kupikir akan membuatnya senang. 

“Kamu begini aja udah seneng kok mama…” 

Pelan-pelan bangkitlah kesadaran dalam diriku bahwa matematikaku dengan matematika Tuhan terkadang berbeda cara. Dalam rumusku, untuk menjadi bahagia dan sukses harus meraih prestasi lahiriah yang dipandang oleh banyak orang sehingga namaku harum. Tetapi, rumus Tuhan lain cerita. Mungkin Dia memang belum memberiku limpahan harta lahiriah, tapi Dia selalu memberikan apa yang aku dan ibuku butuhkan, sebagaimana Dia memelihara burung-burung di udara (Matius 6:26). Ibuku bilang kalau meski dia tidak punya mobil, tapi Tuhan memberinya kesehatan dan kekuatan untuk punya fisik yang prima, yang masih awas dan kuat untuk naik motor tiap hari. 

“Bayangin kalau kena stroke, mau punya mobil mahal sekalipun juga, memang kepake?” guyonnya. 

Kesadaran ini membawaku kembali pada soal panggilan. Kuyakini lagi bahwa panggilan hidup setiap orang itu unik. Tuhan, Sang Ilahi yang memanggil setiap kita, tentu punya maksud dan tujuan-Nya bagi kita masing-masing. Tidak semua pekerjaan memberikan kelimpahan materi, tetapi jika pekerjaan itu berasal dari-Nya dan kita melakukannya bersama-Nya, selalu ada kecukupan dan damai sejahtera setiap hari bagi kita. 

Untuk saat ini, inilah panggilanku. Untuk besok hari, aku tak tahu, dan aku perlu mencari tahunya. Dengan apa? Dengan mengerjakan apa yang diberikan padaku sekarang dengan sebaik mungkin, agar ketika nanti Dia memanggilku untuk satu tanggung jawab yang lebih besar, aku telah siap laksana seorang prajurit yang diutus ke palagan dengan gagah berani. 

Hari ini aku belajar kembali untuk membangun diriku pada tempat yang lebih teguh. 

Belajar dari 2 Sosok Perempuan yang Jadi Berkat bagi Bangsanya

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Mama Yo gamang. Afghanistan bergejolak lagi. Rasa takut tentu saja mendera, namun semangat Mama Yo juga menyala-nyala—hmm .. mungkin sedikit nekat—dia ingin tetap melakukan perjalanan ke negara yang tak kunjung menemukan kesepakatan dalam menyelesaikan konflik dalam negerinya yang telah berlangsung bertahun-tahun itu. Bagi Mama Yo, ini kesempatan baik dapat membawa misi kemanusiaan dan membagikan pengalaman Indonesia dalam menangani isu perempuan dan anak kepada perempuan-perempuan Afghanistan. Namun, karena alasan keamanan, Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Kabul memberi sinyal; Mama Yo tak usah datang!

Saat bersua presiden, Mama Yo menyampaikan keresahan hatinya. Mama Yo mendapat restu dan akhirnya berangkat memenuhi undangan Rani Ghani, Ibu Negara Afghanistan; menjadi pembicara utama dalam Symposium on the Role and Contribution of Afghanistan Women for Peace yang berlangsung pada pertengahan Mei 2017 lalu. Di satu wawancara dengan stasiun TV sepulang ke Indonesia, Mama Yo mengatakan kedatangannya ke Afghanistan merupakan kunjungan pejabat tinggi Indonesia pertama, perempuan pula setelah kunjungan Soekarno pada 1961. Di kesempatan lain Mama Yo juga mengatakan bahwa salah satu indikator majunya satu bangsa dapat dilihat kaum perempuannya yang berpikiran maju. Artinya perempuan merupakan pilar penting dan agen perubahan bagi suatu bangsa.

Mama Yo, sapaan akrab Yuliana Susana Yembise, adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam Kabinet Kerja Jokowi di 2014-2019. Dirinya tak pernah bermimpi jika di perjalanan karirnya sebagai seorang akademisi, satu waktu akan dipanggil menghadap presiden dan diminta untuk mengepalai Kementerian PPPA. Posisi Mama Yo sebagai seorang menteri pun memberi angin segar bagi kebinekaan Indonesia. Mama Yo menjadi representasi dari orang Papua yang berdaya dan juga berkontribusi dalam membangun negeri.

Menyimak sedikit cerita perjalanan Mama Yo, membawa ingatanku pada kisah Ratu Ester dari Persia, satu dari sedikit tokoh perempuan berpengaruh dalam Alkitab yang perjalanan hidupnya dituliskan secara khusus dalam satu kitab di samping Rut.

Meski hidup dalam zaman dan kondisi yang berbeda, Mama Yo dan Ester memiliki kesamaan yang kuat: yakni mereka sama-sama perempuan. Dan, dari dua sosok ini kita dapat melihat bagaimana Allah bekerja memakai setiap hamba-Nya.

Tak diperhitungkan di mata manusia, tetapi dipilih Allah

Ester terpilih menjadi permaisuri menggantikan Ratu Wasti setelah melewati seleksi ketat—mungkin semacam beauty pageant di hari ini dengan mempertimbangkan brain, beauty, behavior—yang diikuti perempuan-perempuan muda yang elok parasnya dari semua daerah (dalam Ester 1:1 disebutkan ada 127 daerah di wilayah kekuasaan Ahasyweros yang meliputi India sampai Etiopia) dan memakan waktu panjang. Sebelum tampil di depan raja, mereka dikarantina selama 12 bulan di dalam Benteng Susan untuk menjalani perawatan tubuh. Ester mendapat jadwal bertemu raja setelah hampir 2 tahun dikarantina, yaitu di bulan kesepuluh di tahun ketujuh pemerintahan Ahasyweros. Di pertemuan pertama mereka, Ahasyweros langsung jatuh hati pada perempuan keturunan Yahudi dari suku Benyamin, anak yatim piatu yang dibesarkan oleh Mordekhai, saudara sepupunya itu dan memberinya mahkota kerajaan (Ester 2:17).

Kesabaran Ester diuji saat harus meninggalkan kenyamanannya dan menjalani karantina di Susan. Jika kita coba bayangkan, tentulah apa yang Ester jalani tidak mudah. Ester, seorang Yahudi, harus tinggal di tengah bangsa lain. Namun, Ester selalu mengingat dan mengikuti nasihat Mordekhai untuk menjaga martabat bangsanya. Seorang hamba yang rendah hati dan menurut apa yang dikatakan oleh sida-sida raja; membuat orang yang melihatnya, mengasihi dirinya (Ester 2:15).

Kisah Ester menegaskan kembali pada kita bahwa Allah memilih seseorang untuk menjadi alat-Nya bukan berdasarkan standar manusia, tetapi berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan-Nya. Dan, Ester pun taat menjalani tugas dan tanggung jawabnya. Seandainya saja Ester memberontak, mungkin nasib bangsanya akan berakhir tragis.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita merasa bukan orang yang dipilih Tuhan untuk membawa kebaikan bagi bangsa kita?

Kita mungkin bukan orang besar, bukan pejabat, atau bukan orang terkenal, tetapi itu bukanlah alasan bagi kita untuk berkecil hati. Tindakan kecil kita bisa memberi dampak yang berarti, minimal untuk orang-orang di sekeliling kita.

Hal paling mudah yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi bagi bangsa kita pada masa kini adalah dengan taat pada anjuran pemerintah untuk menekan laju pertambahan kasus Covid-19.

Bijaksana dalam bertindak

Ester mengetahui rencana jahat Haman, pembesar kerajaan yang ingin memusnahkan orang-orang Yahudi yang ada di kerajaan Persia dari pesan yang disampaikan Mordekhai padanya lewat pelayan istana. Kalau saja Ester tak bijak menyikapi setiap informasi yang diterimanya, bisa jadi Ester akan memanfaatkan posisinya sebagai ratu untuk bertindak. Bukankah dirinya kesayangan raja dan apapun yang dimintanya akan dituruti Ahasyweros? (Ester 5:6).

Sekalipun Ester risau pun ingin menyelamatkan kaumnya, Ester tak tergesa-gesa untuk melaporkan Haman. Ester pasti marah pada Haman. Tapi Ester tenang dan menjaga pikirannya tetap bersikap adil pada ketidaknyamanan yang terjadi di sekelilingnya. Dan itu menuntun Ester pada keputusan besar; bertanya lebih dulu pada Tuhan serta mengajak semua orang Yahudi juga pelayannya berpuasa dan berdoa untuknya sebelum ia mendatangi istana raja walau ia tahu hukuman bagi orang yang menghadap raja tanpa dipanggil adalah mati (Ester 4:16 – 5:1). Lalu ketika bertemu raja, Ester tak langsung menyampaikan apa yang sedang terjadi. Ia malah memberikan undangan makan siang dan meminta Ahasyweros mengajak serta Haman ke jamuan makan tersebut. Di acara makan siang itulah Ester “menelanjangi” Haman sehingga mendapatkan ganjaran hukuman mati di tempat yang disiapkan untuk menggantung Mordekhai.

Bagiku, apa yang diperbuat Ester itu keren. Pada zaman itu, ketika belum ada telepon, pesan hanya bisa disampaikan dari mulut ke mulut. Salah tangkap atau salah paham bisa sangat wajar terjadi. Atau, jika sang pembawa pesan adalah orang yang cepat panas hati, tidak sabaran, atau tidak suka pada Ester, bisa saja informasi itu akan bocor ke mana-mana.

Bagaimana dengan kita? Kita hidup di zaman yang jauh lebih maju daripada Ester. Ketika menerima informasi, apakah kita mencernanya dengan bijak atau buru-buru larut ke dalam emosi?

Emosi kita berjalan mengikuti apa yang kita pikirkan. Butuh keberanian besar dan hati yang luas untuk menentang ketidakadilan, dan semua itu berawal dari pikiran (Filipi 4:4-8). Pengkhobah 3:1,7 menulis segala sesuatu ada waktunya .. ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara. Ester pun tahu untuk bertindak tepat pada waktu-Nya, dia harus fokus pada kehendak-Nya.

Segala pencapaian Ester tak akan terjadi apabila dia tidak melekat pada Allah. Oleh pertolongan Allah, Ester mampu melakukan hal-hal besar yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya.

Pertanyaan bagi kita di masa kini: maukan kita melangkah seperti Ester dengan melekatkan diri pada Allah lewat doa dan berpuasa?

Baca Juga:

Belajar Dari Rasa Kehilangan

Ketika kakak rohaniku dipanggil Tuhan, aku merasa sangat kehilangan. Rasanya seperti ‘kehilangan pegangan dalam melayani Tuhan.

Berkat di Balik Tirai Kesuraman

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Baru saja Ianuel pulang memimpin sebuah kelompok pendalaman Alkitab, Benu sudah menunggunya di taman tempat mereka biasa mengobrol. Benu bilang penting, ingin bicara. Segera Ian beranjak dari kamarnya menuju teras. Setelah berpamitan dengan Ibu, Ian menyalakan motornya.

“Baru pulang sudah pergi lagi. Mau ke mana kamu?”

“Hmm… pelayanan, Pah. Tadi sudah pamit Ibu,” kata Ian ragu.

“Pelayanan mulu. Waktu buat keluarga kapan? Ini, kan, weekend.”

“Sebentar, kok, Pah. Ke taman biasa,” Ianuel berusaha menenangkan ayahnya.

“Sebentar tapi, sampai malam. Pulang cepet. Kalau sudah pada tidur, tidak ada yang akan bukain pintu,” ayah Ian memunggunginya menuju ruang TV.

Telah satu tahun Ian tidak mendengar ayahnya berbicara seperti itu. Terakhir kali, pada hari Ian terkunci di luar rumah karena pulang hampir tengah malam. Sejak saat itu Ian mulai mengatur waktu kegiatannya dengan teliti. Dia tahu, jika ayahnya mengucapkannya lagi, berarti sang ayah benar-benar memaksudkannya. Mengganjal. Namun, Ian harus pergi.

Bagi Ian bertemu Benu adalah sebuah bagian dari panggilannya. Panggilan yang dimulai dari keputusan Ian satu setengah tahun lalu untuk bekerja di suatu lembaga Kristen yang melayani kaum muda. Lembaga ini baru saja membuka pos rintisan di kota kecil tempat Ian tinggal. Sedangkan pusat lembaganya berada 2 jam jauhnya dari kota ini. Capek, kehabisan ide, tertekan, sedih adalah teman pelayanan Ianuel, sebab belum ada orang yang bersedia menemani pelayanannya. Ian melayani seorang diri di pos kecil tersebut. Meskipun begitu, dia mengerti bahwa lewat pos pelayanan inilah dia mengabdi kepada Tuhan.

Ayahnya sendiri sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Ian. Dia tidak bisa memahami pekerjaan Ian dan pertimbangannya. Ayahnya hanya tahu kalau anaknya suka kerja sebar-sebar ajaran Alkitab. Namun, menurut hemat ayahnya, pekerjaan tersebut sulit untuk membeli sebuah rumah untuk anak istri Ian kelak. Terang-terangan atau sindiran halus sudah dilakukannya tapi, Ian tetap tidak mengubah pilihan pekerjaanya.

Sesampainnya di taman, Ianuel menemui Benu di bangku taman. Dari bangku itulah Benu bercerita bahwa ia baru saja berkonflik hebat dengan ayahnya yang dominan lantaran ia kelupaan mematikan lampu kamar. Keduanya terlibat adu mulut dan saling merendahkan satu sama lain. Ketika konflik semakin menegang, Benu mengakhirinya dengan keluar rumah. Sambil menghisap rokoknya, Benu mengatakan bahwa ia tidak ingin lagi pulang ke rumah.

Hari itu malam Minggu dan matahari sudah semakin gelap. Taman semakin dipenuhi pengunjung dan para penjaja makanan mulai membuka lapaknya.

“Makan, yuk. Gue traktir,” ajak Ian.

Ian sudah biasa melakukan hal ini kepada para pemuda tanggung yang dilayaninya. Hanya ingin berbagi dan meringankan beban mereka yang dia layani. Mereka melipir ke tenda pecel ayam tak jauh dari taman itu. Percakapan terus mengalir tanpa ujung bersamaan dengan perut mereka yang semakin penuh. Waktu berlalu hingga pukul delapan lewat. Dalam hatinya Ian bertekad untuk pulang sebelum jam sembilan malam, sebab ia teringat pesan ayahnya. Percakapan masih berlanjut beberapa menit sebelum akhirnya Ian memberikan saran-saran praktis untuk masalah Benu dengan ayahnya.

“Memang sih, Ben, disalah mengerti oleh orang yang kita harapkan sebagai yang pertama kali memahami kita itu menyakitkan. Tapi, lari dari tanggung jawab untuk saling mencari pengertian justru akan melahirkan kesalahpahaman lainnya. Usahakan tidak mengoleksi luka sebab semua luka sudah ditanggung Yesus di atas kayu salib, Ben,” kata Ian.

“Jadi, kalau menurut Abang. Sebaiknya kamu pulang dan meminta maaf. Siapa tau dengan begitu terjadi rekonsiliasi. Abang yakin Tuhan akan bekerja. Soalnya Dia yang paling mau relasi kalian membaik. Jadi segera balik, yak, tidak perlu kelayapan lagi,” bujuk Ian sambil menepuk pundak Benu.

Benu merasa pita suaranya kusut. Dia tidak menjawab bujukan Ian yang telah pulang dengan motornya. Di taman itu Benu masih mempertimbangkan saran dari Ian sebelum akhirnya dia memutuskan pulang pada dini hari.

Di tengah perjalanan Ian terus bertanya mengapa ia perlu mengurusi anak orang lain jika relasinya sendiri dengan orang tuanya masih berjarak. Ian merasa jago bicara tapi, gagal dalam praktiknya. Dia juga ingin agar Tuhan memperbaiki relasinya dengan sang ayah. Itulah mengapa Ian memacu motornya secepat mungkin supaya sampai tepat sebelum jam 9. Dia berharap agar tidak terjadi lagi konflik pada hari ini. Namun, di jalan motornya malah menabrak sebuah roda truk.

Truk tersebut sedang menepi mengganti salah satu roda kanannya. Badan truk menghalangi lampu penerangan jalan sehingga Ian tak dapat melihat sebuah roda besar di sisi kanan truk. Ianl tak sempat lagi mengelak dan hantaman itu terjadi.

“Brakk!”

Setang motornya bengkok dan sebagian lampu depannya pecah. Ian sendiri terlempar dari motornya. Tulang tangan kirinya patah dan dahinya berdarah. Banyak orang langsung berkerumun dan segera melarikannya ke rumah sakit.

Tiga hari lamanya Ian berada di rumah sakit sebelum ia pulang diantarkan sang ibu. Keningnya dijahit dua kali dan tangannya telah dirawat dengan tepat. Untuk beberapa hari Ian perlu beristirahat menunggu luka-lukanya untuk pulih. Ayahnya tidak menyalahkan Ian atas kecelakaan tersebut. Dia hanya masih belum mengerti masa depan seperti apa yang sedang dibangun oleh anaknya. Dari ambang pintu kamar Ian sang ayah memperhatikan keadaan anaknya.

“Memang kamu kerja untuk apa, sih? Bukan apa-apa, papa cuma pikirin masa depan kamu. Kamu kan kelak jadi kepala keluarga.”

Di tempat tidur Ianuel hanya mendengarkan tegang.

“Nanti kalau sudah sembuh kamu kerja aja sama anak teman papa. Bilang ke bos kamu mau keluar. Mau cari pengalaman baru.”

Ian diam saja. Ian tahu komitmennya sedang diuji kembali. Hanya saja kali ini Ian tidak bisa menjawab. Kejadian ini membuat Ian merasa seperti kalah perang. Berkorban nyawa untuk sebuah negara yang kalah.

“Kamu keluar biaya berapa? Ditanggung sama tempat kerjamu?”

“Sekitar enam jutaan, Pah.”

Ian berhenti sampai situ dan tidak berniat menjawab pertanyaan kedua.

“Itu diganti semua?”

“Tidak tahu, Pah. Kantor juga masih kurang bulan ini.”

Ayah Ian menghela napas, semakin prihatin dengan masa depan anaknya.

“Ya, sudah kamu pikirin deh, nanti kalau kamu mau papa telepon temen papa, biar kamu kerja di tempat anaknya. Papa keluar dulu ketemu mama.”

Selonjoran di dipan, Ian masih memproses kata-kata ayahnya. Ada benarnya maksud sang ayah. Memang bujukan itu belum pernah berhasil membuat Ian mencari pekerjaan lain, tapi bukan berarti tidak pernah membuat dia ragu. Dari celah pintu, Ian dapat mengintip kedua orang tuanya sedang berdiskusi.

Tak lama kemudian ibunya melangkah menuju kamar. Nampaknya ayah Ianuel masih mencoba membujuknya kali ini lewat sang ibu. Ia lelah untuk berdiskusi tapi, sekali lagi dia harus berusaha menguatkan tekadnya kembali.

“Ian ini ada parsel. Tadi ada ojek online yang kirim.”

Ianuel tak menduga sama sekali ibunya datang hanya untuk mengantarkan parsel buah segar. Di atas keranjang anyaman bambu buah-buah tersebut disusun. Ian menerimanya. Wajahnya masih kaget tapi, hatinya tersenyum.

“Itu dari siapa ?”

“Gak tau, Mah. Tapi ini kayaknya ada suratnya deh.”

“Coba dibaca dulu.”

Ianuel membaca surat itu dan tahulah ia bahwa parsel itu berasal dari adik-adik pemuda yang selama ini dilayaninya.

“Semoga Tuhan memulihkan kondisi kak Ian seperti kami yang dipulihkan Tuhan lewat kak Ian. Kak, kami sudah urunan dan transfer. Tidak seberapa tapi semoga dapat meringankan beban Kak Ian.”

Kemudian dalam surat itu mereka mengutip penggalan ayat dari Mazmur 23. Ianuel tak tahu dari mana anak-anak itu mendapatkan dana yang jumlahnya cukup untuk mengganti biaya perawatannya dan perbaikan motornya, tapi ini menghibur hatinya. Memang perjalanan pelayanan Ian cukup terjal. Namun, dia semakin yakin bahwa dia tidak pernah ditinggal sendiri. Kekuatan dan penghiburan diberikan di saat perlu. Mengimbangi duka dengan suka. Di dalam pengabdian untuk nama Tuhan.

Baca Juga:

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Kita tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala.

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

“Biasalah warga +62”

Kalimat itu tertulis di sebuah stiker WA. Ketika seorang teman berkata atau berbuat sesuatu yang menurutku udik, stiker tersebut jadi respons yang kurasa pas. Tapi, meski cuma candaan, tanpa kusadari aku melabeli “warga +62” atau warga negara Indonesia sebagai pihak yang kurang tahu sopan santun atau kampungan. Tidak berusaha membenarkan diri, namun aku melihat bukan hanya aku yang melakukannya.

Lebih lanjut, ketika melihat berita mengenai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, seringkali aku melihat komentar di sosial media yang kurang mengenakkan. Kritik dan kekecewaan terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia datang dari berbagai penjuru. Kemelut, konflik, dan debat-debat di kolom komentar tidak bisa dihindari hingga terkadang membacanya membuatku menghela napas.

Pernahkah terpikir oleh kita mengapa kita lahir sebagai orang Indonesia pada waktu seperti ini?

Menjadi Nehemia bagi Indonesia

Nehemia bin Hakhalya merupakan orang Yahudi yang dibuang ke Persia dan bekerja sebagai juru minuman Raja Artahsasta I (raja Persia) di Puri Susan. Suatu hari ia mendengar kabar mengenai Yerusalem, kampung halamannya; dan kondisi orang-orang Yahudi yang terluput, yang terhindar dari penawanan dari salah seorang dari saudara dari Yehuda.

“Orang-orang yang masih tinggal di daerah sana, yang terhindar dari penawanan, ada dalam kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar.”

(Nehemia 1:3)

Ketika Nehemia mendengar berita itu, dia duduk menangis dan berkabung selama beberapa hari. Nehemia kemudian berpuasa dan berdoa kepada Allah untuk memohon pengampunan atas dosanya, kaum keluarganya, serta bangsanya; dan memohon belas kasihan Allah untuk memulihkan bangsanya. Tidak berhenti di situ, Nehemia kemudian kembali ke kampung halamannya untuk membangun kembali Tembok Yerusalem, sebuah tindakan yang nekad namun penuh dengan kasih untuk bangsanya. Perlu diingat kembali bahwa sebagai seorang juru minuman raja yang tinggal di istana, Nehemia sebenarnya telah hidup dalam zona nyaman. Namun, Nehemia memutuskan untuk menginggalkan segala kenyamanan dan kemapanannya untuk melakukan sesuatu bagi bangsa yang dikasihinya.

Mungkin sebagian dari kita, seperti Nehemia, hidup dalam kenyamanan dan privilese yang kadang membuat kita terlena dan merasa aman. Kenyamanan menumpulkan indera-indera kita; membuat kita seringkali abai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini: budaya korupsi yang mengakar, penegakan hukum dan keadilan yang seolah mati suri, kemiskinan di mana-mana, keagamaan yang serba formalitas belaka, serta kekerasan dan intoleransi yang dibiarkan saja. Kita berpikir bahwa masalah-masalah ini hanya ada di dunia maya dan tidak bersentuhan langsung dengan kita dalam kehidupan nyata. Kita mungkin bekerja pada sektor yang “tidak menantang”, sehingga kita berpikir bahwa urusan untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas bukanlah bagian kita, bahkan mungkin kita yang berhadapan kondisi-kondisi tersebut, cenderung memilih untuk mengambil tempat yang aman dan bekerja secara mekanik: datang ke kantor setiap pagi, mengerjakan bagian kita sebisanya, kemudian pulang ke rumah dan melupakan apa pun yang terjadi di kantor hari ini. Yang penting pekerjaan selesai, yang penting aku tidak berbuat curang.

Namun, orang Kristen tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala (Matius 10:16a). Dalam anugerah Tuhan, masing-masing kita diberikan bagian untuk berkarya untuk sesuatu yang lebih besar daripada atasan atau instansi/perusahaan tempat kita bekerja; kita dipanggil untuk mengerjakan misi Allah bagi dunia di dalam pekerjaan kita.

“Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.

(Ester 4:13-14)

Seperti Nehemia dalam jabatannya sebagai juru minuman raja di istana atau Ester dalam jabatannya sebagai ratu, kita dipanggil dalam profesi kita untuk berkontribusi menghadirkan shalom di dunia. Dalam kedaulatan Tuhanlah Nehemia dan Ester memiliki jabatan yang strategis pada waktu tantangan besar sedang terjadi, sehingga Nehemia dan Ester dapat membuat perubahan. Sama seperti Nehemia dan Ester, kita dipanggil untuk merespons panggilan Allah secara spesifik bagi hidup kita, untuk berani keluar dari “cangkang kenyamanan” dan mau berjuang bagi bangsa kita.

Mewujudkan shalom tidak melulu bicara soal transformasi besar-besaran pada sebuah bangsa atau komunitas. Shalom yang adalah damai sejahtera, keadaan di mana Allah berkuasa, dapat kita hadirkan ketika kita bersedia melihat dengan hati dan melayani setiap orang yang kita jumpai dengan sepenuh hati. Ketika seorang guru mengajar muridnya, ketika seorang dokter mengobati pasiennya, ketika seorang petugas kebersihan menjaga lingkungan tetap asri, Allah dapat memakai setiap buah pekerjaan itu bagi kemuliaan-Nya.

Jika Engkau Mempunyai Mata, Maka Melihatlah

“Jika engkau mempunyai mata, maka melihatlah” adalah salah satu judul bab dalam Buku Vision of Vocation (Panggilan untuk Mengenal dan Mengasihi Dunia) oleh Steven Garber. Judul bab ini (tentu beserta isinya) menghantuiku—mengguncangku untuk membuka mata dan telinga selebar-lebarnya terhadap lingkungan sekitar. Aku tahu bahwa kondisi Indonesia jauh dari kata ideal, tapi apakah aku benar-benar “tahu”? Aku melihat ketidakadilan dan kemiskinan di depan mata, tapi apakah aku benar-benar “melihat”? Bagaimana denganmu? Apakah kamu “melihatnya”?

“Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

(Yeremia 29:7)

Kita tidak perlu menjadi pejabat publik atau posisi strategis lain untuk mengambil bagian dalam membangun bangsa dan negara kita. Panggilan atau pekerjaan apa pun yang Tuhan percayakan bagi kita; apabila kita menyadari bahwa kita mengerjakannya untuk Tuhan demi menghadirkan kesejahteraan bagi negara ini, maka kita telah menjadi bagian dalam pekerjaan Tuhan bagi Indonesia.

Kiranya dalam anugerah-Nya, Tuhan menolong kita untuk menjadi Nehemia-Nehemia, Ester-Ester, dan Daniel-Daniel di masa kini. Kiranya dalam anugerah-Nya, Tuhan menolong kita untuk sungguh-sungguh melihat, sungguh-sungguh berdoa, dan sungguh-sungguh berkarya bagi Tuhan, Bangsa Indonesia, dan sesama.

Soli Deo Gloria.

May we be a people, a people mending broken lives
Giving hope to broken world by the grace of God
May we be a people, a people serving God and man
Bringing love and dignity, in Jesus’ Name
(lirik bait kedua Bring Your Healing to The Nation – Liz Pass dan David Pass)

Semoga kita menjadi umat yang dapat memperbaiki hidup yang rusak
Memberi harapan bagi dunia yang rusak dalam kasih karunia Tuhan
Semoga kita menjadi umat yang melayani Tuhan dan manusia
Membagikan cinta dan martabat, di dalam nama Tuhan Yesus

div style=”line-height: 20px; background-color: #dff2f9; padding: 20px;”>Baca Juga:

Lima, Dua, Satu

Ketika Tuhan memberi talenta dengan jumlah yang berbeda, banyak orang berpikir Dia tidak adil. Mengapa tidak dibuat sama? Mengapa harus berbeda?