Posts

Ketika Perayaan Natal Telah Usai

Oleh Marlena V.Lee, Jakarta

Hari Natal, 25 Desember, baru saja selesai. Semua kemeriahan, dekorasi, dan pernak-pernik sebentar lagi akan diturunkan. Bukan hanya di mal, tapi di gereja dan di rumah juga, secantik apa pun segala hiasan itu, semuanya akan disimpan kembali. Begitu pula dengan lagu-lagu, khotbah-khotbah, atau cerita-cerita yang akan berganti membahas tema-tema lainnya.

Setiap tahunnya kita mengalami dan menikmati siklus ini. Ketika Natal datang, atmosfer sukacita dan kedamaian membalut kita. Aku pun selalu menikmati momen-momen Natal, hingga suatu ketika di tahun lalu, ada sebuah pemikiran menghampiriku:

Apakah dengan berlalunya Natal berarti Natal sudah berakhir?

Ya, jika kita melihat pada nuansa kemeriahannya: pohon cemara, bintang berwarna emas, kado-kado berbungkus cantik, sinterklas berjanggut putih, rusa-rusa hidung merah, palungan, lengkap dengan Yusuf dan Maria, tiga orang Majus, gembala, bintang-bintang, dan para malaikat; atau, jika kita hanya berfokus pada apa yang terjadi di hari Natal, pada saat malaikat datang kepada Maria dengan membawa pesan, pada gembala-gembala di padang rumput, dan pada perjalanan jauh orang Majus… Natal memang sudah berlalu.

Namun, sekali lagi, apakah Natal benar-benar sudah berakhir?

Sekarang, aku mengajakmu untuk menggeser sedikit sudut pandang kita. Tanggalkan segala imaji akan hiasan dan peristiwa kronologis yang terjadi di hari Natal. Mulailah memikirkan mengapa semua itu terjadi.

Apa yang sejatinya kita rayakan setiap tahunnya? Kelahiran seorang bayi? Atau alasan mengapa bayi tersebut dilahirkan ke dunia?

Setidaknya, dua ayat firman Tuhan ini memberikan kita jawabannya:

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).

“Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10).

Ya, melalui peristiwa Natal, Allah ingin agar kita memperoleh keselamatan, untuk kelak tinggal bersama dengan-Nya di surga. Allah juga ingin memberikan pemulihan, jaminan, dan pemeliharaan bagi hidup kita. Tuhan tidak hanya peduli akan urusan kekekalan, tetapi juga bagaimana kita menjalani kehidupan selama kita berada di dunia. Itulah sebabnya, Yesus yang dilahirkan pada hari Natal disebut pula sebagai Imanuel—Allah menyertai kita (Matius 1:23).

Temanku, kita boleh saja tenggelam dalam kemeriahan dan sukacita sebuah perayaan, tetapi hendaknya kita tidak melupakan apa yang sesungguhnya kita rayakan. Kalau saja kita mengingat alasan di balik peristiwa kelahiran Tuhan Yesus, damai dan sukacita Natal seharusnya tak akan pernah beranjak dari hati kita. Sepanjang tahun. Sepanjang hari. Seumur hidup kita.

25 Desember boleh berganti di kalender. Namun sesungguhnya, sejak bayi Yesus dibaringkan dalam palungan dua ribu tahun silam, Natal tidak pernah berhenti. Peristiwa kelahiran-Nya hanyalah permulaan. Sejak saat itu, sampai sekarang, dan sampai akhir zaman nanti, Tuhan tidak akan pernah berhenti melanjutkan karya-Nya untuk memberikan keselamatan kepada tiap-tiap orang.

Natal bukanlah sebuah momen penanda akhir tahun yang akan kita nantikan kembali di tahun berikutnya. Natal adalah sebuah pesan ilahi yang terus-menerus memberikan kita harapan.

Baca Juga:

Sidang di Hari Natal, Ini Perjalananku Bersama Tuhan

Aku tidak pernah berpikir hari Natal menjadi hari sidangku. Dua puluh empat tahun aku hidup dan merasakan Natal yang penuh sukacita, tapi Natal tahun 2018 menjadi Natal yang rumit, sulit kuungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku saat itu. Sukacita, tapi rasanya lebih banyak ketakutannya.

Bolehkah Orang Kristen Merayakan Natal?

Oleh Deborah Fox, Australia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Hang On, Should Christians Be Celebrating Christmas?

Aku tidak tahu bagaimana kamu memandang Natal, namun bagiku sendiri, aku sering memandang Natal dari dekorasi yang meriah, lampu-lampu yang berkelap-kelip, toko-toko yang dibanjiri pengunjung dan membayangkan bagaimana aku bisa ikut serta dalam segala kemeriahan itu. Sebagai orang Kristen, haruskah kita bersikap menentang terhadap segala nuansa Natal yang mungkin tidak berhubungan dengan Natal?

Pengalamanku beberapa tahun lalu membuatku memikirkan pertanyaan itu dengan serius.

Aku sedang membaca buku dengan serius ketika dua pasang mata menatapku tajam. Waktu itu aku berada di rumah sakit, menanti hasil tes laboratorium dan sama sekali tidak berharap untuk mendiskusikan hal-hal yang berat tentang teologi.

Buku yang kubaca ditulis oleh John Piper dengan judul Meditations of a Christian Hedonist. Buku ini tidak dimaksudkan untuk mendukung pikiran-pikiran berdosa, melainkan sebuah buku cetakan ulang dari seri terlaris Desiring God yang bahasan utamanya adalah, “Tuhan paling dimuliakan dalam ketika kita kita merasa puas di dalam-Nya”.

Dua wanita yang duduk di seberangku bercerita tentang iman mereka dan kita berdiskusi tentang bahayanya mengikuti keinginan hati kita sendiri alih-alih menyenangkan hati Tuhan. Namun, diskusi itu dengan cepat berubah jadi membahas tentang ulang tahun, Natal, dan Paskah. Mereka mempermasalahkan betapa mudahnya hari libur agamawi kehilangan makna aslinya.

Di saat aku setuju dengan pandangan mereka tentang berubahnya makna hari-hari keagamaan, ternyata yang mereka permasalahkan dari perayaan Natal bukanlah tentang hadiah dan selebrasi yang berlebihan, melainkan objek yang dirayakan.

Aku baru menyadari kalau dua perempuan itu berasal dari sekte Kristen yang menolak doktrin tentang Allah Tritunggal sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Meskipun mereka percaya otoritas Alkitab dan Yesus yang disalibkan, mereka tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Bagi mereka, Yesus hanya orang istimewa, tapi bukan inkarnasi Allah. Mereka pun bertanya: “Mengapa kamu merayakan kelahiran seseorang yang hidup dan mati lebih dari 2000 tahun lalu?”

Menariknya, respons mereka menolongku untuk menyelidiki apa yang sejatinya istimewa tentang Natal bagi kita, orang percaya. Kita tidak sekadar merayakan kelahiran manusia biasa, kita merayakan sebuah fakta bahwa Yesus—tak seperti manusia lainnya—mengalami kehidupan, kematian fisik, dan mengalahkan maut. Tidakkah itu berharga untuk dirayakan?

Berbicara mengenai perayaan, Yesus sendiri pun berpartisipasi di banyak perayaan Yahudi. Mukjizat-Nya yang pertama terjadi di pesta perkawinan di Kana (Yohanes 2:1-12). Yesus juga menghadiri jamuan makan malam Matius, di mana para pendosa datang kepada-Nya dan hidup mereka pun diubahkan (Matius 9:9-13). Dan, di Wahyu 19:6-9, kita mendapatkan sekilas gambaran mengenai perjamuan kawin Anak Domba, di mana seluruh kerajaan Allah diundang untuk berpartisipasi dalam perayaan, bersukacita menyembah Tuhan selamanya. Jika Yesus dapat menikmati perayaan bersama kerabat-kerabat-Nya, betapa kita juga tidak bersukacita dan merayakan pemberian terbesar yang telah diberikan-Nya bagi kita?

Jadi, dapatkah orang Kristen merayakan Natal? Jawabannya, kita bisa, selama kita berfokus kepada esensi utama dari iman kita: Kristus. Aku ditantang untuk mundur selangkah dan merenungkan apakah aku sudah menghargai Kristus di Natal kali ini? Apakah aku menempatkan Kristus sebagai pusatku? Aku perlu memikirkan cara-cara perayaan yang dapat mengingatkanku bahwa Allah itu Imanuel, selalu beserta kita. Aku perlu membagikan kisah imanku dan Natal adalah waktu yang baik untuk memulai diskusi tentang Yesus yang adalah hadiah terbesar yang kita pernah terima.

Tahun ini, aku memutuskan untuk mengundang teman-temanku ikut ibadah Malam Natal di gerejaku. Aku juga merencanakan acara mengobrol di Christmas Dinner untukku membagikan kisah tentang harapan dan sukacitaku dalam Kristus. Ada juga beberapa acara outreach yang bisa kuikuti untuk membagikan kabar baik tentang Kristus.

Jika “Tuhan paling dimuliakan dalam ketika kita kita merasa puas di dalam-Nya”, maka kita seharusnya menunjukkan sukacita yang besar kepada orang-orang di sekitar kita. Kita bisa merayakan Natal dengan merayakan Kristus.

Baca Juga:

Bagian Natal yang Terhilang

Mungkin Natal yang kita dambakan adalah Natal yang penuh dengan kado, barang-barang baru, perayaan yang meriah, dan kumpul bersama sanak saudara. Hal tersebut tidaklah sepenuhnya salah, namun bagaimana jika yang kita inginkan tersebut ternyata tidak kita dapatkan? Apakah Natal hanya dapat dinikmati oleh mereka yang keinginannya dikabulkan?

Mengapa Kita Perlu Bersyukur atas Peristiwa Natal?

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Menjelang Natal, tak jarang aku mendengar khotbah-khotbah diwartakan dari atas mimbar, “Kita harus bersyukur atas peristiwa Natal.” Sejenak aku berpikir, mengapa kita perlu bersyukur atas Natal? Adakah hal istimewa yang sungguh menjadikan Natal sebagai peristiwa yang patut disyukuri?

Dulu, ketika aku masih kecil, jelas Natal adalah peristiwa yang patut disyukuri. Bagaimana tidak, selama Natal, sekolahku libur, acara di gereja meriah, dan tak jarang aku pun mendapat kado.

Namun, sungguhkah Natal patut disyukuri karena ia adalah masa yang memberi banyak hadiah dan libur?

Pertanyaan itu mendorongku untuk merenung lebih dalam.

Natal adalah peristiwa tentang Sang Putra Allah yang turun ke dunia, mengambil rupa sebagai manusia, dan mati disalib bagi manusia. Seberapa pentingkah manusia, hingga Allah yang Mahatinggi turun ke dunia, bahkan turunnya pun mengambil rupa seorang manusia?

Jawaban sederhananya: manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Namun, jawaban ini mungkin terkesan terlalu simpel. Aku yakin rekan-rekan pembaca sudah tahu jawaban itu. Jadi, aku ingin mengajak kita menjelajah lebih dalam.

Alkitab menggambarkan hidup manusia dan dunia di sekitarnya telah dipenuhi berbagai kejahatan, penderitaan, amoralitas, dan segala macam penyimpangan.

Kok bisa ini terjadi?

Kejadian 3 punya jawabannya. Peristiwa kejatuhan manusia dalam dosa mengakibatkan seluruh keturunan Adam dan Hawa mewarisi dosa. Tidak ada satu pun dari kita yang tak mewarisi dosa, sebagaimana yang Paulus tuliskan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa (Roma 5:12).

Upah dosa ialah maut (Kejadian 2:17; Roma 3:23). Maut berarti terpisah dari Allah.

Dosa, selain merusak relasi manusia dengan Allah, juga merusak relasi manusia dengan sesamanya, pun itu berimbas pada alam. Lihatlah, alam menjadi rusak karena perbuatan manusia.

Karakter manusia jadi dipenuhi kejahatan, kecemaran, dan kerusakan. Kehidupan pun menjadi penuh penderitaan.

Namun, itu bukanlah kisah buruk yang tiada berakhir. Melalui momen Natal, kita diingatkan bahwa dalam anugerah-Nya, Allah berjanji akan memulihkan keadaan manusia yang telah berdosa melalui Sang Penebus yang akan lahir dari keturunan Hawa (Kejadian 3:15).

Inilah inti Natal yang sebenarnya. Natal adalah tentang Kristus, tentang kedatangan-Nya ke dunia yang membawa pemulihan, kedamaian, dan janji akan keselamatan bagi kita.

Jadi, ketika kita sudah tahu apa yang menjadi inti Natal, bagaimana seharusnya kita merayakan Natal tahun ini?

Apakah kita merayakan Natal dengan pesta pora dan hura-hura? Atau, apakah kita menyibukkan diri dengan segudang agenda kegiatan untuk kumpul-kumpul? Jika itu yang kita lakukan, maka Natal bagi kita tidaklah lebih dari sepaket acara hiburan atau selebrasi yang rutin kita laksanakan jelang akhir tahun.

Terlepas dari padatnya agenda kita menyambut Natal, adalah baik jika kita mengambil waktu sejenak. Jika selama ini ada di antara kita yang hanya hidup sebagai orang Kristen rata-rata, yang merasa ke gereja saja sudah cukup, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengikuti Dia dengan sungguh-sungguh.

Jika ada di antara kita yang merasa sudah menjadi Kristen yang saleh, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk memeriksa hati, apakah dalam kesalehan yang kita lakukan, kita melekat erat dengan Kristus dan mengizinkan-Nya lahir dan memerintah dalam hati kita?

Yuk sekarang juga kita merenungkannya. Sebab, hanya di dalam Kristus kita beroleh keselamatan dan luput dari murka Allah. Selagi ada waktu, yuk kita mengambil keputusan yang baik sekarang.

Bawalah diri kita masuk ke dalam iman yang membawa kepada kasih Allah yang sejati.

Natal adalah kisah tentang kasih Allah yang mengasihi dunia ini, tentang Allah yang mengorbankan Putra-Nya yang tunggal untuk mengalami maut agar kita memperoleh keselamatan.

Selamat memasuki masa-masa Natal.

Baca Juga:

Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Harus Kudoakan

Ketika banyak hal berkecamuk dalam pikiranku, sulit rasanya untuk berdoa.

5 Harapanku untuk Perayaan Natal Tahun Ini

Penulis: Yosua Andreas

harapanku-saat-natal

Natal adalah momen yang istimewa bagi banyak orang. Aku sering mendengar harapan-harapan indah yang diungkapkan teman-temanku menjelang Desember tiba, misalnya:
Aku ingin di hari Natal nanti gebetanku menerima cintaku.
Aku ingin merayakan malam Natal yang spesial bersama pacarku.
Aku berharap Natal tahun ini menjadi Natal yang tak terlupakan dalam hidupku.”

Tidak ada yang salah tentunya orang mengharapkan sesuatu yang indah di hari Natal. Namun, ketika aku merenungkan kembali makna Natal yang sesungguhnya, aku menemukan bahwa banyak harapan kita di hari Natal terlalu berfokus pada diri kita sendiri. Jadi, aku pun mencoba menuliskan kembali harapan-harapanku untuk perayaan Natal tahun ini.

1. Aku ingin hati dan pikiranku berfokus pada kelahiran Yesus
Natal adalah perayaan kelahiran Yesus Kristus. Ya, setiap orang Kristen pasti tahu akan hal ini. Namun, sering kita lupa dan merayakan Natal tanpa berfokus pada Kristus. Ibaratnya, kita datang ke perayaan ulang tahun seseorang namun malah lupa memberi selamat kepada yang berulang tahun.

Memang ada sejumlah perbedaan pendapat mengenai kapan sebenarnya kelahiran Tuhan Yesus yang tidak akan dibahas di sini. Namun, pada dasarnya, sebagai orang Kristen, kita merayakan Natal untuk mengingat berita sukacita bagi seluruh dunia: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Lukas 2:11). Sebab itu, aku ingin merayakan Natal dengan hati dan pikiran yang tertuju hanya kepada Tuhan Yesus.

2. Aku ingin membagikan arti Natal yang sesungguhnya bagi orang-orang yang tidak mengetahuinya
Pendeta di gerejaku pernah menceritakan pengalamannya di restoran pada hari Natal. Semua pegawai restoran itu memakai topi dan kostum ala sinterklas. Beliau bertanya kepada salah satu pegawai, “Mbak tahu tidak sebenarnya perayaan Natal itu apa? Kenapa semua staf di sini memakai topi dan dandanan Sinterklas?” Pegawai tersebut menjawab, “Setahu saya Natal itu merayakan kelahirannya Sinterklas, iya kan Pak?”

Tanpa disadari mungkin kita menganggap semua orang pasti tahu bahwa kita merayakan Natal untuk mengingat kelahiran Kristus. Padahal, banyak orang yang tidak pernah datang ke gereja apalagi mengenal Yesus. Bagi mereka, Natal mungkin lebih identik dengan sosok Sinterklas, pohon cemara yang dihias, rusa berhidung merah, atau boneka salju. Kelihatannya saja semua orang ikut merayakan Natal, namun berapa banyak yang memahami artinya?

Aku ingin orang tahu bahwa ikon utama Natal adalah Yesus, bukan Sinterklas atau yang lain. Aku ingin orang mendengar cerita tentang bayi di dalam palungan yang menggenapkan nubuat para nabi, tentang bala tentara malaikat yang megah bernyanyi memuji Allah yang datang menyelamatkan umat-Nya, tentang bintang istimewa yang membawa para majus menyembah Raja Semesta. Aku ingin menjadikan Natal sebagai momen untuk membagikan pengharapan yang kumiliki di dalam Yesus.

3. Aku ingin memenuhi perayaan Natalku dengan ucapan syukur
Hari Natal seringkali menjadi ajang orang untuk saling tukar kado. Sebuah tradisi yang menurutku baik. Namun, terlalu sibuk dengan urusan hadiah Natal bisa juga menggeser fokus kita dari Tuhan. Salah seorang temanku bahkan memakai perayaan Natal sebagai ajang memberikan kado sebagai pernyataan cinta bagi orang yang ia sukai. Sama sekali tidak berhubungan dengan makna perayaan Natal yang sesungguhnya. Ketika kemudian cintanya ditolak, ia menjadi sangat kecewa dan menganggap Natal itu adalah hari terburuk dalam hidupnya.

Aku tidak ingin mengukur keindahan Natal dengan apa yang aku terima dari orang lain. Aku ingin mengingat hadiah terindah yang telah diberikan Tuhan di hari Natal, yaitu diri-Nya sendiri. Kedatangan Kristus menunjukkan kasih Allah yang begitu besar kepada kita. Siapakah kita sehingga Tuhan mau datang untuk menyelamatkan dan memperbarui hidup kita? Setiap kita mengingatnya, hati kita akan berlimpah dengan ucapan syukur. Kristus membuat hidup kita berarti.

4. Aku ingin melakukan hal-hal yang menyenangkan Tuhan
Natal sering dianggap sebagai momen untuk bersenang-senang, berkumpul dengan kerabat atau teman-teman dekat, melakukan hal-hal yang asyik dan seru sekali dalam setahun. Ada yang bahkan berpesta pora dan melakukan hal-hal negatif. Yang penting hati senang.

Namun, jika Natal adalah tentang Kristus, tidakkah seharusnya kita memikirkan hal-hal yang menyenangkan hati-Nya, bukan yang menyenangkan hati kita saja? Yesus telah datang ke dunia bukan hanya untuk menyelamatkan kita dari hukuman dosa, tetapi menyelamatkan kita untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan dan memuliakan Tuhan.

5. Aku ingin bertumbuh menjadi pribadi yang lebih serupa Yesus
Tahun demi tahun merayakan kelahiran Yesus belum tentu menjadikan kita makin mengenal dan bertumbuh serupa Dia. Hal ini juga yang menjadi refleksiku tahun ini. Apakah aku telah bertumbuh makin mengasihi Dia sepanjang tahun ini? Apakah aku makin suka merenungkan dan melakukan firman-Nya? Apakah tutur dan perilaku hidupku makin mencerminkan karakter Yesus? Ucapan dan kado Natal belaka tidak ada artinya jika tidak disertai dengan perubahan hidup yang lahir dari perjumpaan pribadi kita dengan Yesus.

Bagaimana dengan kamu?
Apa saja harapan yang ingin kamu wujudkan pada Natal tahun ini?