Posts

Jangan Berikan yang Minimal Pada Apa yang Bisa Kita Kerjakan dengan Maksimal

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pernah mendengar istilah ‘mental minimal’?

Istilah ini kubuat untuk sikap hati yang menerima segala sesuatu dengan ala kadarnya, tanpa niatan hati untuk berjuang lebih baik. Contoh sederhana yang mungkin sering kita jumpai adalah aku sering mendapati para orang tua yang melihat anaknya mendapatkan nilai jelek di sekolah merespons begini, “yang penting dia naik kelas deh..” Tentu tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut, tetapi proses yang terjadi di baliknyalah yang perlu kita telaah.

Dalam hidup ini kita memang harus mensyukuri apa saja yang kita miliki dan apa pun yang sudah kita capai. Tetapi, bersyukur atas pencapaian kita sama sekali bukanlah dorongan untuk melakukan segala sesuatu dengan asal-asalan. Jika kita bisa mendapat nilai 1000 mengapa kita membuang kesempatan itu? Mengapa berpuas dengan nilai 600 lalu berupaya membenarkan kemalasan dan ketidakseriusan yang kita pupuk? Hal ini jugalah yang terjadi pada orang-orang Kristen dan kehidupan penyembahannya.

Sebagai pijakan awal, aku ingin menegaskan bahwa penyembahan bukan sekadar menyanyi. Beberapa dari kita mungkin sudah terbiasa dengan pembagian “lagu pujian” dan “lagu penyembahan”, lalu mematenkan definisi sempit yang bisa saja menyesatkan kita. Menyanyikan lagu rohani di altar gereja hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk penyembahan. Kita bisa saja menghabiskan waktu untuk membahas asal usul kata ini dalam bahasa kita dan bahasa asli Alkitab. Tetapi, dalam prinsip sederhananya, menyembah adalah memberikan segala yang terbaik yang ada pada kita untuk Allah dengan sukacita dan penuh rasa hormat untuk kemuliaan-Nya. Itu berarti kita dapat menyembah lewat cara lain selain menyanyi dan bahkan saat kita berada di sebuah tempat selain gereja. Itulah sebabnya Yesus berbicara tentang penyembahan yang tidak dibatasi oleh tempat, yaitu penyembahan dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24).

Dari situ kita dapat melihat sebuah keindahan dan kemerdekaan yang ditawarkan dalam penyembahan kita. Tetapi, keindahan dan kemerdekaan semacam inilah yang sangat mudah diselewengkan.

Kita memang bisa menyembah Allah dengan banyak cara selain menyanyi. Kita bisa menyembah-Nya dengan cara berkhotbah, menginjili, dan mengajar anak sekolah minggu. Bahkan kita bisa menyembah dengan hal yang terlihat tidak rohani bagi sebagian orang, seperti memasak nasi, mencuci piring, menyapu halaman, dan mencari nafkah. Sekali lagi, jika kita melakukan semuanya itu sebagai pemberian terbaik kita untuk hormat kemulian Allah, maka itu adalah penyembahan. Tetapi, berhati-hatilah dengan apa yang kita sebut sebagai pekerjaan. Kita tentu harus mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin dibenarkan oleh Alkitab.

Selain itu, karena sebuah pekerjaan di luar gereja dapat menjadi bentuk penyembahan, bukan berarti kita boleh seenaknya menjauhkan diri dari pertemuan ibadah (Ibrani 10:25). Persekutuan orang percaya adalah keindahan yang tidak selalu bisa kita nikmati. Tengok saja apa yang terjadi di masa pandemi, ketika kita belum dimungkinkan untuk melaksanakan ibadah secara langsung, begitu banyak orang berteriak frustasi karena merindukan persekutuan. Kita memang bisa menyembah dari rumah kita. Dengan kecanggihan yang kita miliki, kita dapat dengan mudah melihat saudara kita yang sedang berkhotbah di Swiss dari Pulau Siau. Beberapa temanku bahkan mengikuti kelas daring Teologi yang dipimpin oleh seorang doktor dengan hanya mengenakan celana pendek sembari tidur-tiduran di sofanya. Teknologi telah menolong kita, namun jika kita bisa saling bertatap muka dengan jarak 1,5 meter, berjabat tangan, merangkul, dan saling berpelukan, mengapa kita tidak mengambil kesempatan berharga itu?

Memberikan yang minimal padahal kita bisa memberi lebih adalah sebuah penghinaan. Lakukanlah segala sesuatu seperti kita melakukannya untuk Tuhan Yesus, yang telah memberikan segala yang terbaik bagi kita. Dia tidak mengerjakan karya penyelamatan di Golgota dengan setengah-setengah. Bagi kita, Dia mengerjakannya dengan tuntas dan sempurna. Dia memikul apa yang seharusnya terikat di pundak kita, tanpa bersungut-sungut.

Jika kita memiliki tanggung jawab sebagai seorang pelajar lakukanlah dengan maksimal, jangan asal lulus, jadilah yang terbaik yang kita bisa, dan untuk hasilnya, biarlah Allah dimuliakan. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah seorang pengkhotbah, setiap kali diberi kesempatan untuk berkhotbah, berilah dirimu waktu untuk mempersiapkan khotbah terbaik, bahkan jika pendengarnya hanya 2 orang anak kecil, biarkan mereka mendengar suara Tuhan dari khotbahmu. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah chef, masaklah masakan terenak.

Jika kita adalah atlet lari, larilah sekencang-kencangnya.

Jika kita adalah pemimpin pujian, berikan suara paling merdu.

Jika kita adalah tukang Bangunan, buatlah rumah paling kokoh.

Jika kita adalah penulis, dunia sedang menunggu tulisan terindahmu.

Kita semua adalah anak-anak Allah. Jadilah maksimal untuk kemuliaan Bapa kita di sorga. Itulah penyembahan kita.

Ketika Hidup Terasa Berat

Jumat, 14 Februari 2020

Ketika Hidup Terasa Berat

Baca: Mazmur 16

16:1 Miktam. Dari Daud. Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung.

16:2 Aku berkata kepada TUHAN: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!”

16:3 Orang-orang kudus yang ada di tanah ini, merekalah orang mulia yang selalu menjadi kesukaanku.

16:4 Bertambah besar kesedihan orang-orang yang mengikuti allah lain; aku tidak akan ikut mempersembahkan korban curahan mereka yang dari darah, juga tidak akan menyebut-nyebut nama mereka di bibirku.

16:5 Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku.

16:6 Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya, milik pusakaku menyenangkan hatiku.

16:7 Aku memuji TUHAN, yang telah memberi nasihat kepadaku, ya, pada waktu malam hati nuraniku mengajari aku.

16:8 Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah.

16:9 Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram;

16:10 sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan.

16:11 Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.

Aku berkata kepada Tuhan: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!”—Mazmur 16:2

Ketika Hidup Terasa Berat

Karena lelah fisik, mental, dan emosional, saya memilih meringkuk di kursi malas. Kami sekeluarga telah mengikuti pimpinan Tuhan dan pindah dari California ke Wisconsin. Setibanya kami di sana, mobil kami rusak sehingga kami tidak punya kendaraan selama dua bulan. Sementara itu, mobilitas suami saya yang terbatas setelah menjalani operasi punggung dan sakit kronis yang saya derita ternyata menyulitkan kami membongkar kembali barang-barang pindahan. Kami pun menemukan masalah pada rumah kuno yang akan kami tempati, yang memakan biaya cukup tinggi. Anjing kami yang sudah tua juga memiliki masalah kesehatan. Meskipun anak anjing kami yang baru membawa kegembiraan yang sangat besar, tetapi membesarkan anak anjing yang sedang lincah-lincahnya tidaklah semudah yang kami bayangkan. Saya mulai mengeluh. Bagaimana saya bisa memiliki iman yang tak tergoyahkan, sementara jalan yang harus saya lewati begitu sulit, terjal, dan berliku?

Ketika saya berdoa, Allah mengingatkan saya kepada pemazmur yang dapat memuji Allah tanpa tergantung pada keadaannya. Daud mencurahkan segenap perasaannya dengan sangat terbuka dan mencari perlindungan dalam hadirat Allah (Mzm. 16:1). Dengan mengakui Allah sebagai pemelihara dan pelindung (ay.5-6), ia memuji-Nya dan mengikuti nasihat-Nya (ay.7). Daud menegaskan bahwa ia “tidak goyah” karena ia “senantiasa memandang kepada Tuhan” (ay.8). Jiwanya bersorak-sorak dan ia pun diam dengan tenteram dalam hadirat Allah (ay.9-11).

Kita juga bisa bersukacita dengan menyadari bahwa damai sejahtera kita tidaklah tergantung pada keadaan yang ada. Ketika kita mengucap syukur kepada Allah kita yang tidak pernah berubah, hadirat-Nya akan semakin meneguhkan iman kita.—Xochitl Dixon

WAWASAN
Beberapa mazmur Daud memiliki dua tingkatan. Yang pertama ditulis berdasarkan pengalaman emosional Daud sendiri, yang baik maupun buruk. Dan yang kedua, berbicara tentang Anak Daud yang paling unggul (Yesus) dan apa yang akan Dia alami di bumi dalam inkarnasi-Nya. Ini terlihat dengan jelas di Mazmur 22, ketika pengalaman penderitaan dan penganiayaan Daud dengan sempurna menggambarkan penyaliban Kristus kelak—Daud bahkan mengatakan bahwa lawan-lawannya menusuk tangan dan kakinya (ay.17).
Hal serupa muncul dalam Mazmur 16:8-11, yang dikutip oleh Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:25-28 sebagai bagian dari khotbahnya di hari Pentakosta. Petrus mengatakan bahwa kata-kata Daud merujuk kepada kebangkitan Yesus. Ini adalah gambaran yang mengagumkan dari inspirasi ilahi dalam Alkitab. Meski Daud tidak dapat mengetahui implikasi kata-katanya di masa depan, tetapi kita yang melihat ke belakang dapat mengetahuinya dengan jelas.—Bill Crowder

Bagaimana perbuatan mengucap syukur kepada Allah atas karakter-Nya yang tidak berubah dan keajaiban karya-Nya dapat menguatkan imanmu dalam situasi sulit? Keadaan apa yang perlu kamu serahkan dalam tangan Allah yang layak dipercaya?

Terima kasih, Bapa, karena Engkau sudah menjadi Allah bagi kami!

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 15-16; Matius 27:1-26

Handlettering oleh Novia Jonatan

Sebarkan Kemasyhuran-Nya

Sabtu, 8 Februari 2020

Sebarkan Kemasyhuran-Nya

Baca: Mazmur 48

48:1 Nyanyian. Mazmur bani Korah.48:2 Besarlah TUHAN dan sangat terpuji di kota Allah kita!

48:3 Gunung-Nya yang kudus, yang menjulang permai, adalah kegirangan bagi seluruh bumi; gunung Sion itu, jauh di sebelah utara, kota Raja Besar.

48:4 Dalam puri-purinya Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai benteng.

48:5 Sebab lihat, raja-raja datang berkumpul, mereka bersama-sama berjalan maju;

48:6 demi mereka melihatnya, mereka tercengang-cengang, terkejut, lalu lari kebingungan.

48:7 Kegentaran menimpa mereka di sana; mereka kesakitan seperti perempuan yang hendak melahirkan.

48:8 Dengan angin timur Engkau memecahkan kapal-kapal Tarsis.

48:9 Seperti yang telah kita dengar, demikianlah juga kita lihat, di kota TUHAN semesta alam, di kota Allah kita; Allah menegakkannya untuk selama-lamanya. Sela

48:10 Kami mengingat, ya Allah, kasih setia-Mu di dalam bait-Mu.

48:11 Seperti nama-Mu, ya Allah, demikianlah kemasyhuran-Mu sampai ke ujung bumi; tangan kanan-Mu penuh dengan keadilan.

48:12 Biarlah gunung Sion bersukacita; biarlah anak-anak perempuan Yehuda bersorak-sorak oleh karena penghukuman-Mu!

48:13 Kelilingilah Sion dan edarilah dia, hitunglah menaranya,

48:14 perhatikanlah temboknya, jalanilah puri-purinya, supaya kamu dapat menceriterakannya kepada angkatan yang kemudian:

48:15 Sesungguhnya inilah Allah, Allah kitalah Dia seterusnya dan untuk selamanya! Dialah yang memimpin kita!

Kemasyhuran-Mu sampai ke ujung bumi.—Mazmur 48:11

Sebarkan Kemasyhuran-Nya

Biasanya kita dapat mengetahui dari mana sebuah peta digambar dengan melihat apa yang terletak di tengah-tengah peta tersebut. Kita cenderung berpikir bahwa rumah kita adalah pusat segalanya, maka kita meletakkan titik di tengah dan mulai membuat sketsanya dari titik itu. Kota-kota yang terdekat mungkin berjarak delapan puluh kilometer ke utara atau setengah hari perjalanan ke arah selatan, tetapi semua itu dijelaskan dalam hubungannya dengan lokasi kita. Kitab Mazmur juga menggambar “peta” mereka dari tempat kediaman Allah di bumi dalam Perjanjian Lama, sehingga pusat geografis dalam Alkitab adalah Yerusalem.

Mazmur 48 merupakan satu dari sekian banyak mazmur yang memuji Yerusalem. Inilah “kota Allah kita! Gunung-Nya yang kudus, yang menjulang permai, adalah kegirangan bagi seluruh bumi” (ay.2-3). Karena “dalam puri-purinya Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai benteng. . . . Allah menegakkannya untuk selama-lamanya” (ay.4,9). Kemasyhuran Allah dimulai di bait suci Yerusalem dan menyebar sampai ke “ujung bumi” (ay.10-11).

Kecuali kamu sedang berada di Yerusalem saat membaca ini, tempatmu tidaklah berada di pusat dunia Alkitab. Namun, tempatmu juga sangat berarti, karena Allah tidak akan berhenti berkarya hingga kemasyhuran-Nya “sampai ke ujung bumi” (ay.10). Maukah kamu menjadi bagian dari upaya Allah untuk mencapai tujuan-Nya? Beribadahlah setiap minggu bersama umat Allah, dan hiduplah secara terbuka setiap hari bagi kemuliaan-Nya. Kemasyhuran Allah akan “sampai ke ujung bumi” ketika kita mengabdikan seluruh keberadaan dan milik kita kepada-Nya.—Mike Wittmer

WAWASAN
Mazmur 48 adalah himne yang mungkin dipakai sebagai perayaan di Sion (Yerusalem). Para ahli teologi memperkirakan himne ini dipakai pada peringatan Hari Raya Pondok Daun. Kehadiran Allah disebutkan berada dalam puri-puri kota Sion sebagai benteng (ay.4). Gambaran raja-raja yang lari ketakutan begitu melihat kota tersebut (ay.5-6) mengukuhkan Sion sebagai lambang perlindungan Allah. Seruan “kelilingilah Sion dan edarilah dia, hitunglah menaranya, perhatikanlah temboknya, jalanilah puri-purinya” (ay.13-14) mengajak mereka yang datang ke sana untuk melihat tembok-tembok Sion dan memahami kehadiran dan perlindungan Allah secara nyata—sebuah tindakan ibadah secara jasmaniah yang akan menguatkan iman mereka.—Julie Schwab

Apa yang telah kamu lakukan untuk menyebarkan kemasyhuran Allah minggu ini? Apa lagi yang mungkin bisa kamu lakukan?

Ya Bapa, pakailah aku untuk menyebarkan kemasyhuran-Mu sampai ke ujung bumi.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 4-5; Matius 24:29-51

Handlettering oleh Angel Kosasih

Perkara Besar!

Jumat, 30 Agustus 2019

Perkara Besar!

Baca: Mazmur 126

126:1 Nyanyian ziarah. Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi.

126:2 Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak-sorai. Pada waktu itu berkatalah orang di antara bangsa-bangsa: “TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!”

126:3 TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita.

126:4 Pulihkanlah keadaan kami, ya TUHAN, seperti memulihkan batang air kering di Tanah Negeb!

126:5 Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.

126:6 Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.

Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? —Roma 8:31

Perkara Besar!

Pada tanggal 9 November 1989, dunia terperangah mendengar kabar runtuhnya Tembok Berlin. Tembok yang membagi dua kota Berlin di Jerman itu akhirnya runtuh, dan kota yang sudah terbelah selama dua puluh delapan tahun pun dipersatukan kembali. Meski pusat kebahagiaan itu ada di Jerman, tetapi seluruh dunia yang menyaksikan ikut bergembira. Perkara besar telah terjadi!

Ketika bangsa Israel kembali ke tanah air mereka pada tahun 538 sm setelah hidup dalam pembuangan di negeri asing selama hampir tujuh puluh tahun, peristiwa itu juga punya arti yang sangat besar. Mazmur 126 diawali dengan melihat ke belakang, kepada pengalaman Israel yang membahagiakan itu. Peristiwa tersebut diwarnai dengan tawa, nyanyian sukacita, dan pengakuan bangsa-bangsa bahwa Allah telah melakukan perkara-perkara besar bagi umat-Nya (ay.2). Apa tanggapan orang-orang yang telah menerima belas kasihan Allah yang membebaskan mereka? Sukacita besar atas perkara besar yang Allah kerjakan (ay.3). Lebih dari itu, karya-Nya di masa lalu menjadi dasar bagi permohonan di masa kini dan pengharapan yang cerah untuk masa depan (ay.4-6).

Tidaklah sulit bagi kamu dan saya untuk mengingat-ingat perkara besar yang pernah Allah kerjakan dalam hidup kita, terutama jika kita percaya kepada Allah melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Penggubah himne dari abad ke-19, Fanny Crosby, mengungkapkan hal tersebut ketika ia menulis, “Tiada terukur besar hikmat-Nya; penuhlah hatiku sebab Anak-Nya” [NKB No. 3]. Ya, kemuliaan bagi Allah, atas perkara-perkara besar yang telah dikerjakan-Nya! —Arthur Jackson

WAWASAN
Mazmur 126 adalah salah satu nyanyian ziarah, judul yang terdapat dalam lima belas mazmur (120-134). Semuanya itu dikenal sebagai nyanyian-nyanyian ziarah dan kemungkinan besar dinyanyikan oleh orang Yahudi ketika mereka mendaki ke Bait Allah di Yerusalem untuk menghadiri tiga perayaan wajib (Paskah atau hari raya Roti Tidak Beragi; Pentakosta atau hari raya Tujuh Minggu; dan Tabernakel atau hari raya Pondok Daun). Peraturan tentang kewajiban ini terdapat dalam Ulangan 16:16. Para pakar Alkitab lain menafsirkan bahwa mazmur ini dinyanyikan oleh para penyanyi Lewi ketika mereka menaiki anak tangga Bait Allah. Mazmur 126 mengajak para penyembah untuk bersukacita saat mengenang bagaimana “TUHAN memulihkan keadaan Sion” (ay.1) atau Yerusalem, kemungkinan besar ketika bangsa itu kembali dari pembuangan di Babel pada zaman Ezra. —Alyson Kieda

Perkara-perkara besar apa yang pernah Allah kerjakan dalam hidupmu? Bagaimana iman dan pengharapanmu dapat semakin dikuatkan dengan mengingat-ingat perkara-perkara tersebut?

Perkara-perkara besar di masa lalu dapat membangkitkan sukacita, permohonan, dan pengharapan besar untuk masa kini dan masa depan.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 129-131; 1 Korintus 11:1-16

Siapa Itu?

Jumat, 19 Juli 2019

Siapa Itu?

Baca: Mazmur 24

24:1 Mazmur Daud. Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.

24:2 Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai.

24:3 “Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?”

24:4 “Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu.

24:5 Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan dia.

24:6 Itulah angkatan orang-orang yang menanyakan Dia, yang mencari wajah-Mu, ya Allah Yakub.” Sela

24:7 Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang, dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan!

24:8 “Siapakah itu Raja Kemuliaan?” “TUHAN, jaya dan perkasa, TUHAN, perkasa dalam peperangan!”

24:9 Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang, dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan!

24:10 “Siapakah Dia itu Raja Kemuliaan?” “TUHAN semesta alam, Dialah Raja Kemuliaan!” Sela

“Siapakah Dia itu Raja Kemuliaan?” “Tuhan semesta alam, Dialah Raja Kemuliaan!” —Mazmur 24:10

Siapa Itu?

Dalam perjalanan pulang dari bulan madu, saya dan suami mengantre untuk memasukkan koper-koper kami ke bagasi di bandara. Saya lalu menyenggol suami saya dan menunjuk ke arah seseorang yang berdiri tak jauh dari kami.

Suami saya melirik, sambil berkata, “Siapa itu?”

Dengan penuh semangat, saya menyebut peran-peran yang pernah dilakoni pria tersebut. Kami pun mendatanginya dan memintanya berfoto bersama. Dua puluh empat tahun kemudian, saya masih senang bercerita tentang pertemuan kami dengan bintang film itu.

Bisa mengenali seorang bintang film memang menyenangkan, tetapi saya bersyukur bisa mengenal satu Pribadi yang jauh lebih penting. “Siapakah itu Raja Kemuliaan?” (Mzm. 24:8). Daud sang pemazmur menyebut Tuhan Mahakuasa sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Penguasa segala sesuatu. Ia bernyanyi, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai” (ay.1-2). Dalam kekaguman, Daud menyatakan bahwa Tuhan memang di atas segalanya, tetapi tetap dapat ditemui secara pribadi (ay.3-4). Kita dapat mengenal Dia, dikuatkan oleh-Nya, dan mempercayai Dia untuk berperang bagi kita, karena kita hidup bagi Dia (ay.8).

Allah memberi kesempatan kepada kita untuk menyatakan Dia sebagai Pribadi Agung, satu-satunya yang layak diperkenalkan kepada orang lain. Saat kita mencerminkan karakter-Nya, orang-orang yang belum mengenal Dia akan tergerak untuk bertanya, “Siapa Dia?” Seperti Daud, kita dapat mengarahkan mereka kepada Tuhan dengan penuh kekaguman dan menceritakan tentang diri-Nya! —Xochitl Dixon

WAWASAN
Mazmur 24 kerap dipasangkan dengan Mazmur 15 sebagai satu liturgi yang dinyanyikan ketika umat memasuki rumah ibadat untuk beribadah. Dalam Mazmur 24:7-10, Daud menggambarkan betapa Allah layak menerima puji-pujian kita. Dia adalah “Raja Kemuliaan” dan yang “Mahakuasa.” Kata Ibrani untuk “mulia” adalah kãbôd yang berarti “berat, substansi, makna”. Kata ini memberi penekanan pada status Allah dan kemegahan-Nya. Kata yang diterjemahkan sebagai “Mahakuasa” memiliki makna penaklukan dan pemerintahan Allah dalam peperangan atau suatu pasukan. Dua mazmur tersebut juga menggambarkan siapa saja yang boleh datang ke “gunung” Tuhan, yaitu orang “yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil” (15:2), “orang yang bersih tangannya dan murni hatinya” (24:4). Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai frasa “tidak bercela” memiliki arti “tanpa noda.” Pada kitab lain, kata yang sama dipakai untuk menjelaskan korban yang benar (2 Samuel 22:24) dan dapat diterima (Imamat 14:10; 22:19). Akan tetapi, kita tidak mungkin menjadi “benar” atau “tidak bercela” dengan kekuatan kita sendiri. Hanya melalui pengorbanan Kristus kita dapat disebut orang benar (Filipi 3:8-9). —Julie Schwab

Apa yang telah Tuhan tunjukkan kepada kamu tentang diri-Nya? Bagaimana kamu dapat membagikan pengalaman tersebut kepada orang lain?

Tuhan, terima kasih atas berkat sukacita dan hak istimewa untuk mengenal-Mu. Engkau juga memberi kami kesempatan untuk memperkenalkan-Mu kepada sesama kami setiap hari.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 23-25; Kisah Para Rasul 21:18-40

Handlettering oleh Kent Nath

Yang Terlupakan dari Pelayanan: Kasih Yang Semula

Oleh Erick Mangapul Gultom, Jakarta

Kaum muda dengan semangatnya yang berapi-api dan energinya yang meluap-luap selalu berhasil mengisi dan menghidupi wadah pelayanan dan persekutuan di lingkungan sekolah, kampus, dan gereja. Sungguh luar biasa melihat kaum muda yang memberi diri untuk melayani sebagai pengurus dalam berbagai acara dan kegiatan-kegiatan rohani.

Aku yakin hampir semua sobat muda pernah atau bahkan sedang menjadi bagian di dalam suatu kegiatan pelayanan. Namun, pernahkah kita coba menilik diri kita masing-masing, apakah kita memiliki motivasi yang benar dalam melayani? Adakah motivasi-motivasi lain yang seringkali jauh dari dasar pelayanan yang sesungguhnya? Jangan-jangan, selama ini pelayanan kita hanyalah sebuah rutinitas semata!

Tuhan Yesus Kristus melalui pewahyuan yang diberikan kepada Yohanes di dalam Wahyu 2:1-7 mengingatkan kita akan motivasi sesungguhnya dalam melayani Tuhan. Sebelumnya, Paulus telah mengabarkan Injil dan melayani di Efesus selama tiga tahun (Kisah Para Rasul 20:31). Ketika Paulus hendak meninggalkan kota Efesus, ia memperingatkan jemaat untuk berjaga-jaga dari pengajaran sesat yang akan masuk dan memengaruhi jemaat Efesus (Kisah Para Rasul 20:29-30).

Tuhan Yesus mengetahui segala pekerjaan pelayanan yang dilakukan oleh jemaat Efesus: jerih payah menjaga jemaat dari orang-orang jahat, ketekunan mereka di tengah-tengah kesulitan, bahkan melawan setiap orang yang hendak menarik jemaat keluar dari kebenaran firman. Mereka bahkan telah mencobai dan memeriksa dengan teliti apa yang diajarkan oleh rasul-rasul palsu dan mendapati mereka sebagai pendusta. Jemaat Efesus telah memberi teladan sikap rela menderita.

Secara kasat mata, tentu kita bisa mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh jemaat Efesus adalah hal yang sangat baik. Namun, Tuhan Yesus mampu melihat sampai ke dasar hati manusia. Tuhan Yesus berkata, “Aku tahu segala pekerjaanmu; baik jerih payahmu maupun ketekunanmu” (Wahyu 2:2). Pujian Tuhan Yesus kepada jemaat Efesus mirip dengan apa yang dituliskan oleh Paulus dalam ucapan syukurnya kepada jemaat di Tesalonika, “Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita” (1 Tesalonika 1:3).

Ada bagian penting yang dimiliki oleh jemaat Tesalonika, tetapi hilang dari jemaat Efesus. Jemaat di Tesalonika mempunyai, “pekerjaan iman, usaha kasih, dan ketekunan pengharapan”, sedangkan jemaat Efesus hanya mempunyai “pekerjaan, jerih payah, dan ketekunan”. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mencela mereka, sebab mereka telah meninggalkan kasih yang semula. Mereka melakukan pekerjaan, jerih lelah, dan ketekunan tanpa iman, kasih, dan pengharapan.

Iman adalah inti dari kekristenan. Kita diselamatkan oleh iman yang bukan hasil usaha kita, tetapi pemberian Allah (Efesus 2:8). Kebenaran ini memampukan kita untuk mengakui di dalam hati dan seluruh hidup kita bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah Juruselamat kita.

Pengharapan bahwa kita akan menerima kemuliaan Allah (Roma 5:2)—itulah yang menjadi dasar mengapa kita harus tetap bertahan di dalam penderitaan sewaktu mengikut Tuhan di dunia ini dan senantiasa bersukacita dalam kesesakan. Kita percaya bahwa kita memiliki sebuah pengharapan yang kekal, pengharapan yang membawa kita kepada sukacita yang lebih besar daripada menaklukkan roh-roh jahat, yaitu sukacita karena nama kita terdaftar di sorga (Lukas 10:20). Sebuah pengharapan yang begitu indah bagi kita untuk dapat hidup bersama-sama dengan Tuhan Yesus di dalam kekekalan.

Semuanya itu dapat kita alami semata-mata karena kasih karunia Tuhan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa karena melanggar perintah Tuhan, manusia takut dan bersembunyi dari Tuhan. Namun, Allah mencari manusia dan berkata padanya, “Di manakah engkau?”. Sejak mulanya Allah yang berinisiatif untuk mencari dan menyelamatkan kita dengan menebus kita dari hidup yang penuh keberdosaan. Paulus dalam 1 Korintus 13:13 menyebutkan bahwa iman, pengharapan, dan kasih harus tetap tinggal, dan yang paling besar di antaranya adalah kasih. Allah adalah kasih itu sendiri, dan kasih akan selalu ada sedari awal sampai selamanya.

Apa yang dilakukan oleh jemaat Efesus dapat pula terjadi pada diri kita: mengerjakan pelayanan tanpa sungguh-sungguh menjadikan Tuhan sebagai pusat dari pelayanan kita. Pelayanan sekadar dijalankan sebagai sebuah pekerjaan, bukan dimaknai sebagai ungkapan kasih kita pada Allah dan upaya untuk menjadi berkat bagi sesama.

Jikalau saat ini kita diperkenankan untuk mengambil bagian dalam pelayanan, marilah kita mengarahkan hati kita kepada-Nya dan tidak meninggalkan kasih yang semula Tuhan anugerahkan kepada kita. Bukan tentang seberapa besar pelayanan yang kita terima dan jalankan, tetapi seberapa besar hati yang kita berikan pada Tuhan di dalam setiap pelayanan kita.

Soli deo gloria.

Baca Juga:

Ketika Hidup Tidak Berjalan Sesuai Harapan Kita

“Mengapa, Tuhan?” Pertanyaan itu sering muncul ketika kenyataan hidup tidak berjalan sesuai harapan. Dalam artikel ini, aku ingin mengajakmu menggali jawaban dari firman Tuhan terkait pertanyaan “mengapa” tersebut.

Berwarna-warni Cerah

Minggu, 14 Juli 2019

Berwarna-warni Cerah

Baca: Wahyu 4:1-6

4:1 Kemudian dari pada itu aku melihat: Sesungguhnya, sebuah pintu terbuka di sorga dan suara yang dahulu yang telah kudengar, berkata kepadaku seperti bunyi sangkakala, katanya: Naiklah ke mari dan Aku akan menunjukkan kepadamu apa yang harus terjadi sesudah ini.

4:2 Segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang.

4:3 Dan Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis; dan suatu pelangi melingkungi takhta itu gilang-gemilang bagaikan zamrud rupanya.

4:4 Dan sekeliling takhta itu ada dua puluh empat takhta, dan di takhta-takhta itu duduk dua puluh empat tua-tua, yang memakai pakaian putih dan mahkota emas di kepala mereka.

4:5 Dan dari takhta itu keluar kilat dan bunyi guruh yang menderu, dan tujuh obor menyala-nyala di hadapan takhta itu: itulah ketujuh Roh Allah.

4:6 Dan di hadapan takhta itu ada lautan kaca bagaikan kristal; di tengah-tengah takhta itu dan di sekelilingnya ada empat makhluk penuh dengan mata, di sebelah muka dan di sebelah belakang.

Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis. —Wahyu 4:3

Berwarna-warni Cerah

Ketika Xavier McCoury memakai kacamata yang dihadiahkan oleh Bibi Celena untuk hari ulang tahunnya yang kesepuluh, ia menangis tersedu-sedu. Xavier lahir buta warna, dan selama ini hanya dapat melihat dunia dalam warna abu-abu, putih, dan hitam. Dengan kacamata EnChroma yang baru, Xavier bisa melihat warna untuk pertama kalinya. Luapan kegembiraan Xavier saat melihat keindahan di sekelilingnya membuat seluruh keluarganya merasa seperti menyaksikan sebuah mukjizat.

Menyaksikan keindahan Allah yang bersinar terang dalam berbagai warna juga membangkitkan reaksi yang dahsyat dalam diri Rasul Yohanes (Why. 1:17). Setelah melihat seluruh kemuliaan Kristus yang telah bangkit, Yohanes melihat adanya “sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang. Dan Dia yang duduk di takhta itu nampaknya bagaikan permata yaspis dan permata sardis; dan suatu pelangi melingkungi takhta itu gilang-gemilang bagaikan zamrud rupanya. . . . Dan dari takhta itu keluar kilat” (Why. 4:2-5).

Di masa yang lain, Nabi Yehezkiel menyaksikan penglihatan serupa, yakni “sesuatu yang menyerupai takhta dari batu nilam” dengan sosok di atas takhta itu “kelihatan bercahaya seperti perunggu di tengah nyala api” (Yeh. 1:26-27 bis). Sosok seperti manusia tersebut terlihat bagai api yang dikelilingi oleh sinar seperti busur pelangi (ay.28).

Suatu hari nanti kita akan berhadapan muka dengan Kristus yang telah bangkit. Penglihatan-penglihatan di atas hanyalah isyarat dari keindahan luar biasa yang menanti kita. Sambil mensyukuri keindahan ciptaan Allah dalam dunia ini, kiranya kita juga hidup dalam pengharapan akan kemuliaan yang kelak dinyatakan kepada kita. —Remi Oyedele

WAWASAN
Wahyu 4:1-6 adalah bacaan indah dengan deskripsi yang jelas tentang Kristus dan ruang takhta di surga. Yaspis, permata sardis, pelangi gemilang, jubah putih, mahkota emas, dan lautan kristal, semua itu melukiskan pemandangan yang penuh warna. Selanjutnya, penulis kitab ini menambahkan elemen-elemen suara seperti gemuruh dan guntur yang datang dari takhta, bersamaan dengan kilatan petir. Walaupun gambaran itu menggugah imajinasi, jangan sampai kita melupakan maksud dari gambaran-gambaran tersebut. Di satu sisi, ada kemegahan semarak Yesus di takhta yang dilingkupi pelangi dan lautan kaca seperti kristal. Di sisi lain, ada kuasa dan penghancuran yang diwakili oleh gemuruh dan guntur. Bersama-sama, gambaran tentang Allah adalah suatu kombinasi kekuatan dan keindahan. —J. R. Hudberg

Respons apa yang timbul saat kamu melihat keindahan ciptaan Allah? Bagaimana caramu mengungkapkan syukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang sungguh indah?

Bapa, tiada kata yang dapat kami ungkapkan saat kami membayangkan apa yang akan kami alami saat berhadapan muka dengan-Mu. Terima kasih untuk isyarat-isyarat keindahan-Mu yang Kau tempatkan di dunia ini.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 10-12; Kisah Para Rasul 19:1-20

Handlettering oleh Elizabeth Rachel Soetopo

Jangan Lewatkan Kesempatan Itu

Jumat, 7 Juni 2019

Jangan Lewatkan Kesempatan Itu

Baca: Mazmur 19:1-6

19:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud.19:2 Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya;

19:3 hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.

19:4 Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar;

19:5 tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari,

19:6 yang keluar bagaikan pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya.

Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya. —Mazmur 19:2

Jangan Lewatkan Kesempatan Itu

“Ajak anak-anakmu melihat bulan purnama, jangan lewatkan kesempatan itu!” kata Ny. Webb. Sebelum kebaktian doa tengah minggu dimulai, sebagian dari kami berbincang-bincang tentang bulan purnama yang muncul malam sebelumnya. Bulan itu tampak menakjubkan, bagaikan bulatan yang sedang duduk di garis cakrawala. Ny. Webb adalah yang paling senior dalam kelompok kami dan ia sangat menyukai karya ciptaan Allah yang indah. Ia tahu saya dan istri memiliki dua anak yang masih kecil, dan ia ingin kami mengajarkan hal-hal baik kepada mereka. Ajak anak-anakmu melihat bulan purnama, jangan lewatkan kesempatan itu!

Seandainya Ny. Webb hidup di zaman dahulu, mungkin ia sudah menjadi seorang pemazmur. Kejeliannya terhadap ciptaan Allah tecermin dalam sajak Daud tentang benda-benda langit: “Tidak ada berita dan tidak ada kata . . . ; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi” (Mzm. 19:4-5). Baik pemazmur maupun Ny. Webb sama sekali tidak bermaksud memuja bulan dan bintang-bintang, melainkan tangan Sang Pencipta yang berada di baliknya. Langit dan cakrawala menyatakan kemuliaan Allah semata (ay.2).

Kita pun bisa mendorong orang-orang di sekitar kita—dari anak kecil, remaja, hingga pasangan dan tetangga—untuk berhenti sejenak, memandang, dan menyimak cerita kemuliaan Allah yang terdengar di sekitar kita. Dengan memperhatikan karya tangan-Nya, kita akan dibawa untuk menyembah Allah yang luar biasa di balik semua ciptaan itu. Jangan lewatkan kesempatan itu. —John Blase

WAWASAN
Dalam buku “Reflections on the Psalms” karya C.S. Lewis, ia menyebut Mazmur 19 sebagai puisi terbaik dalam buku nyanyian Ibrani dengan lirik terindah di dunia. Ada “enam ayat tentang alam, lima tentang hukum Taurat, dan empat doa pribadi,” tetapi pembaca mungkin cenderung mengabaikan keterkaitan antara semua itu. Menurut Lewis, “Kata kunci dalam seluruh mazmur itu adalah ‘tidak ada yang terlindung dari panas sinarnya’” (ay.7). Bagaikan terik dan panas matahari Timur Tengah, firman dari sang Pencipta (ay.1), Tuhan (ay.8), sekaligus Penebus kita (ay.15) menyelidiki pikiran-pikiran rahasia yang tersembunyi dalam hati kita (ay.12-15). Mendengar suara Allah, pemazmur pun berdoa, “Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku” (ay.15). —Mart DeHaan

Apa yang bisa kamu lakukan untuk berhenti sejenak dan mengamati karya tangan Allah saat ini? Bagaimana kamu mendorong sesama untuk melakukannya juga?

Saat berhenti sejenak, memandang, dan menyimak, kita akan melihat karya ciptaan menceritakan kemuliaan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 28-29; Yohanes 17

Handlettering oleh Kent Nath

Background photo credit: Dennis Agusdianto

Dari Mulut Bayi-Bayi

Rabu, 27 Februari 2019

Dari Mulut Bayi-Bayi

Baca: Matius 21:14-16

21:14 Maka datanglah orang-orang buta dan orang-orang timpang kepada-Nya dalam Bait Allah itu dan mereka disembuhkan-Nya.

21:15 Tetapi ketika imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat melihat mujizat-mujizat yang dibuat-Nya itu dan anak-anak yang berseru dalam Bait Allah: “Hosana bagi Anak Daud!” hati mereka sangat jengkel,

21:16 lalu mereka berkata kepada-Nya: “Engkau dengar apa yang dikatakan anak-anak ini?” Kata Yesus kepada mereka: “Aku dengar; belum pernahkah kamu baca: Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu Engkau telah menyediakan puji-pujian?”

Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu. —Mazmur 8:3

Dari Mulut Bayi-Bayi

Setelah melihat Viola yang berumur 10 tahun menggunakan ranting pohon sebagai mikrofon untuk meniru sikap seorang pendeta, Michele memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada Viola untuk “berkhotbah” dalam suatu pelayanan di sebuah desa. Viola bersedia. Menurut kesaksian Michele, misionaris di Sudan Selatan, “Para hadirin terpana . . . melihat seorang anak perempuan yang pernah ditelantarkan itu berdiri dengan penuh wibawa di hadapan mereka sebagai putri dari Raja segala raja. Dengan penuh semangat, Viola berkhotbah tentang Kerajaan Allah yang hidup. Separuh hadirin pun menanggapinya dengan maju ke depan dan menerima Yesus pada saat itu” (Michele Perry, Love Has a Face).

Para hadirin hari itu tidak menyangka akan mendengar seorang anak berkhotbah. Peristiwa itu mengingatkan saya pada frasa “dari mulut bayi-bayi” yang terdapat dalam Mazmur 8. Daud menulis, “Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu” (ay.2). Yesus mengutip ayat itu dalam Matius 21:16, setelah imam-imam kepala dan para ahli Taurat mengecam anak-anak yang memuji Yesus di Bait Allah. Anak-anak itu dianggap sebagai gangguan di mata para pemimpin agama. Dengan mengutip nas itu, Yesus menunjukkan bahwa Allah benar-benar memperhitungkan puji-pujian dari anak-anak. Mereka memuliakan Mesias yang telah lama dinantikan, sesuatu yang tidak mau dilakukan oleh para pemimpin agama itu.

Seperti yang ditunjukkan oleh Viola dan anak-anak di Bait Allah, Allah bahkan dapat memakai seorang anak kecil untuk memuliakan nama-Nya. Puji-pujian mengalir dengan limpahnya dari hati mereka yang tulus. —Linda Washington

Bagaimana aku bisa memuji Allah hari ini? Mengapa Dia layak menerima pujianku?

Tuhan, tolonglah aku memiliki hati yang tulus seperti seorang anak saat aku memuji-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 17-19; Markus 6:30-56