Posts

Podcast KaMu ep.29: BEST FRIEND FOREVER… EMANG BENERAN ADA??

Makin dewasa, rasanya sulit nambah teman. Ya paling temannya itu-itu aja, itu pun kalau bertahan dari seleksi alam.

Ada gak di antara kamu yang berpikiran seperti itu?

Nah, tema kali ini mengajak kita untuk menyelami dunia pertemanan: apa bedanya teman dengan sahabat, gimana pertemanan bisa awet, dll. Tapi yang terpenting, apa kata Alkitab tentang hubungan pertemanan/persahabatan.

Yuk, tonton dan dengerin di Podcast KaMu: Best Friend Forever… Emang beneran ada?? bersama Erika H. Sinaga, S.Psi., M.Th. in Counseling Konselor Dewasa Muda.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menjadikan Relasi Lebih Berkualitas: Sikap Hormat

Yohanes 15:12: Inilah perintah-Ku yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Ayat ini adalah ayat umum yang dipakai untuk bicara soal relasi, tapi di saat yang sama paling mudah disalahmengerti. Mungkin karena saking biasanya ayat ini, kata “kasih” lebih cepat menarik mata kita dibandingkan kata perintah”. Jujur saja bagiku sebagai anak muda kata perintah memang punya konotasi ‘negatif’ karena kesannya yang “bossy”. Tapi kenyataannya kata ini keluar dari mulut Tuhan Yesus dan menjadi dasar dari hukum kasih.

Perintah dan hukum, adalah dua kata yang membawa kita melihat ada otoritas di dalam hidup kita. Jika kita percaya dan mengakui bahwa tidak ada hukum yang dapat mengatasi hukum kasih, secara tidak langsung kita akan lebih baik menjadi pelaku kasih dengan belajar menghormati. Dengan menghormati, kita tidak pernah kehilangan kehendak bebas, melainkan menjadi bijak dengan meletakkan kehendak bebas itu berdiri di atas batu penjuru yang kokoh dan tidak tergoyahkan, yaitu otoritas Firman Tuhan di dalam Yesus Kristus.

  • Dengan memilih, relasi itu dimulai; dengan tunduk dan hormat, relasi itu tumbuh menjadi cinta

Di masa-masa jombloku, pernah pada masanya aku senang main dating apps. Ternyata melalui dating apps aku bisa menentukan pilihan dan kriteria penampilan, pekerjaan, agama, ras, hobi, tinggi, umur sesuka aku. Pernah beberapa kali aku bertemu seorang yang cantik sekali, fun, enak untuk diajak ngobrol. Namun, tidak lama setelah itu aku di-ghosting. Pernah juga aku memilih seorang perempuan yang cantik di foto, namun kenyataannya tidak semenarik itu. Terkena cat fishing dalam dating apps, aku pun sebagai laki-laki yang adalah makhluk visual harus jujur bahwa aku kecewa. Kenyataannya ternyata punya pilihan itu tidak selalu menjamin bahwa kitalah yang memegang kendali.

Ironisnya, sering kali kita berpikir bahwa mendapatkan jodoh intinya adalah “aku memilih yang benar” dan “karena pilihanku benar, maka aku mencintai kamu”, tetapi perenunganku tentang arti perintah di dalam Alkitab mengungkap bahwa di samping memilih, aku juga pun perlu belajar menghormati pilihan Tuhan. Hari ini, kata “tunduk” dan “hormat” kalah populer dibandingkan “hak memilih”. Hal ini bisa terjadi karena kenyataannya lebih mudah menentukan kriteria orang yang berhak dicintai kita, dibandingkan menjadi orang yang patut dicintai.

Di dalam memulai sebuah relasi, kita boleh saja memilih. Tetapi untuk memiliki kasih dalam relasi, kita perlu belajar tunduk dan hormat. Tunduk dan hormat adalah sikap yang fokusnya di dalam diri setiap kita, sedangkan memilih fokus kepada apa yang ada di dalam diri orang lain. Memilih pasangan hingga presiden, kita bebas berkriteria. Tapi, untuk menghormati mereka belum tentu mudah bagi kita. Bagaimana kita harus menghormati pilihan doi yang menolak kita? Bagaimana kita menghormati batasan di dalam berpacaran? Bagaimana kita menghormati perbedaan kepribadian di dalam pacaran? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika kita mau mengikuti proses mengenal Tuhan, diri, dan sesama kita tanpa memaksakan “pilihan manusiawi kita” yang berdosa.

  • Memperhatikan hidup adalah jalan yang harus ditempuh bagi kita yang mau tinggal di dalam kehendak Tuhan

Saat ini aku berstatus sebagai orang berpacaran. Izinkan kuceritakan sedikit bagaimana aku bisa menjalin relasi ini. Aku sedang menempuh studi di sekolah Teologi dan di tahun kedua aku memilih masuk asrama. Ketika kasus Covid sedang naik, aku pun dikarantina dengan seorang mahasiswa berkebutuhan khusus. Baru tiga hari bersama, aku takut dan cemas karena perilaku teman sekamarku ini membuatku tidak nyaman. Terpikir olehku untuk mencari pertolongan dengan menghubungi seorang mahasiswi konseling yang kukenal di BEM. Singkat cerita, dari sesi konsultasiku, aku jadi tertarik dengan mahasiswi ini. Pembicaraan kami makin dalam dan kami memutuskan menjadi relasi hingga saat ini.

Sepanjang perjalananku berelasi, aku belajar dan menyadari bahwa tunduk dan hormat adalah sikap yang mahal! Hari ini, kita hidup di dalam zaman yang terbalik, yaitu ketika kita lebih mudah memilih kriteria pasangan sesuai kriteria sendiri tetapi sulit menghormati kriteria Allah. Allah memberikan kita kriteria berupa iman kepada Kristus, ketaatan, dan memiliki kasih kepada Allah dan sesama.

Lebih mudah memilih untuk segera menjalin hubungan tanpa bertanya kepada Tuhan apakah dia memang pasangan yang Tuhan berkenan. Lebih mudah memilih menjadikan jalan pacaran sebagai “jalan pertobatan”, dibandingkan tunduk dan menghormati anugerah Allah melalui Firman-Nya. Lebih mudah untuk menyerahkan tubuh kita kepada manusia dibandingkan menyerahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Lebih mudah memilih menutup mata ketika cinta kita menggebu-gebu, daripada menghormati proses persiapan yang serius menuju pernikahan. Lebih mudah memilih cerai, daripada menghormati Allah yang membentuk institusi pernikahan.

Poin terakhir, kita dipanggil untuk tunduk dan hormat pada pasangan kita semata-mata kita mau tunduk dan hormat kepada Allah. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, kita yang laki-laki akan perlahan kehilangan alasan untuk berkorban bagi pasangan kita ketika dia tidak lagi menarik di mata kita. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, perempuan mungkin akan terlihat kuat dan baik-baik saja, namun rapuh dari dalam. Kristus yang mencintai kita hingga saat ini adalah alasan kita laki-laki mau belajar apa arti pengorbanan. Kristus yang adalah Allah sekaligus manusia yang paling layak untuk dicintai adalah alasan bagi perempuan untuk terus belajar apa itu artinya tunduk kepada pasangan.

Belajar menghormati itu mengajarkan kita memelihara relasi kita. Mungkin ada di saat ini kita masih bergumul tentang pilihan kita, tapi akan ada waktunya pilihan itu harus ditutup misalnya ketika kita memutuskan menikah. Ketika pilihan itu tertutup, hanya sikap menghormati dan kasih yang akan terus dipakai di dalam hubungan pernikahan (Lihat Efesus 5:21-33).

Aku yakin semua keinginan kita untuk punya pasangan adalah juga keinginan untuk hidup menjadi seorang suami dan istri yang baik. Oleh karena itu, yuk kita belajar 1% lebih baik dengan mulai belajar menghormati Allah kita dahulu, sebelum lalu kita menghormati orang tua, saudara kita, bos kita, karyawan kita, teman kita, guru kita, dan orang-orang di sekeliling kita. Terkadang sulit menghormati mereka yang mengecewakan kita dengan hidup mereka yang jelas-jelas salah, namun di saat seperti itu aku berdoa agar kita juga punya waktu untuk berhenti dan kembali melihat Tuhan yang telah menebus hidup kita dengan darah-Nya di atas kayu salib.

Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk takut dan menghormati Allah, karena di dalam Dia saja ada relasi yang terus tumbuh dan indah pada waktunya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Perjuangan yang Tidak Bisa Kulanjutkan

Oleh Elvira Sihotang, Jakarta

Setiap masa punya cerita dan begitu pun dengan apa yang terjadi di masa remajaku. Aku membolak-balik diary-ku dan tersenyum geli dengan tulisan-tulisan di sana.

“Hari ini kita ke toko es krim, tempatnya di…”

“Senang banget tadi kita ngobrol lama dan seru di…”

Dua penggalan kalimat itu adalah pembuka dalam diary bertahun-tahun lalu. Aku masih mengingat kejadian-kejadian itu dan tentu apa yang kurasakan di saat itu. Perasaan antusias dan senang yang berbaur satu, diikuti rasa penasaran dan kadang berbunga-bunga. Ya, aku berbicara dengan seseorang yang pernah menjadi teman dekatku di masa itu. Seperti kebanyakan remaja pada umumnya, masa itu tidak luput dengan ketertarikanku pada seseorang dan bagaimana kami menjalin hubungan. Kami dekat dalam waktu yang cukup lama dan dengan segala dinamika di dalamnya, hubungan itu telah memberikan banyak kesan berarti.

Aku belajar lebih menyayangi keluarga karenanya, belajar untuk berinteraksi dengan lebih menyenangkan pada orang lain, dan memberi pengorbanan lebih untuk orang-orang yang disayang.

Hubungan ini baik, sampai pada beberapa tahun setelahnya aku tahu, bahwa hubungan ini tidak bisa dilanjutkan. Masalahnya bukan pada dia berubah atau aku berubah. Masalahnya ada di identitas kami dan itu klasik: kami memiliki iman yang berbeda.

Bagiku, untuk terpikirkan hal ini adalah suatu… keajaiban yang bagiku sendiri cukup mengejutkan. Karena kalau boleh aku akui, aku tidak menetapkan syarat Kristen dalam pertemananku; baik yang sifatnya platonik maupun romantis. Namun, di suatu waktu saat aku berjalan kaki pulang dari kampus, Tuhan punya cara untuk menyentuh hatiku.

Saat itu aku memang merenung bagaimana interaksi ini akan dibawa, bagaimana jika hubungan ini terus berjalan baik, dan kami sampai pada titik mempertanyakan perbedaan iman ini. Melalui tahun-tahun berjalan hingga aku berada pada titik ‘sudah biasa saja’ sekarang, aku menemukan beberapa pemikiran inilah yang mendorongku dan memberiku keputusan untuk mengikhlaskan pergi semua perasaan berharap dan yang tertahan kepadanya:

1. Melihat konsekuensi di masa depan jika hidup bersamanya

Bagiku, tujuan akhir dari masa-masa berteman dekat adalah pernikahan. Sehingga pada suatu momen aku berpikir hal-hal yang mungkin terjadi jika sekiranya kami melanjutkan hubungan pertemanan ini dan bertahan pada iman kami masing-masing. Aku merasa bisa menoleransi saat aku membayangkan aku akan pergi ke gereja sendiri dan dia ke tempat ibadahnya sendiri, namun ternyata aku tidak bisa menoleransi jika kami memiliki anak, dan anak tersebut mempelajari 2 iman yang berbeda dalam 1 rumah. Itu terlalu sulit dan hanya akan menimbulkan dilema, setidaknya bagiku yang mengharapkan bahwa aku ingin dia bertumbuh dengan mengenal iman yang telah menjagaku sampai saat ini. Aku ingin dia mengenal Tuhan yang sama dengan Tuhan yang kukenal yang telah merawat dan melindungiku hingga sejauh ini.

Atas pertimbangan itu, tidak ada jalan lain selain memilih pasangan yang juga percaya kepada iman Kristen. Ini mungkin hanya salah satu konsekuensi dari konsekuensi-konsekuensi lain jika hubungan ini terus dilanjutkan. Konsekuensi ini mungkin bisa berbeda-beda bagi setiap orang dan cara menanggapinya pun berbeda-beda, oleh karena itu, aku selalu melihat bahwa penting untuk kita mengetahui segala konsekuensi itu dan apakah kita mau untuk menerima konsekuensi tersebut.

2. Melihat pihak lain selain dirinya jika akhirnya dia harus pindah

Pelan-pelan aku melihat bahwa pernikahan dalam konteks masyarakat Indonesia tidak hanya menyatukan dua orang, namun juga kedua keluarga. Idealnya, aku ingin bisa berbaur dengan keluarganya dan begitupun dengan dia yang bisa berbaur dengan keluargaku. Dari harapan pribadi ini aku melihat bahwa pernikahan haruslah membawa kebahagiaan, bukan hanya bagi pasangan yang menikah tapi juga bagi kedua keluarga pasangan tersebut. Jadi, aku bertanya jika akhirnya dia berpindah ke iman Kristen, apakah keluarganya akan baik-baik saja?

Kita mengetahui jelas bagaimana perpindahan iman ini dipandang sebagai isu sensitif di sekitar kita. Tidak jarang terjadi pertentangan dan konflik karena adanya perpindahan iman salah satu anggota keluarga. Aku tidak ingin menjadi faktor penyebab hal tersebut bagi keluarganya. Terlebih lagi, aku mengetahui bahwa ayahnya adalah pengurus tempat ibadahnya dan juga mensyaratkan kriteria seiman sebagai pasangan anaknya. Aku memahami, walaupun perpindahan iman bisa jadi merupakan suatu keputusan pribadi yang sangat dipertimbangkan baik-baik dan murni karena perjumpaannya dengan Tuhan, hal ini tidak semerta-merta membuat keluarganya ikhlas dan merelakan. Merekalah orang yang selama ini mendidik dan membesarkan dia yang menjadi pasangan kita. Merekalah juga yang tentu menaruh harapan bahwa dia akan terus turut dalam iman tersebut.

Bagiku, berupaya untuk mengusahakan perpindahan iman memberi cost yang besar dan aku merasa bahwa aku tidak ingin menjadi faktor yang menyebabkan hal tersebut. Betul bahwa kita harus memuridkan orang-orang di sekitar kita untuk menjadi pengikut Tuhan sebagaimana ditulis dalam Amanat Agung. Namun jika akhirnya dia akan berpindah keyakinan, aku ingin hal itu terjadi karena perjumpaan pribadinya dengan Tuhan dan bukan karena pengaruh ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganku. Sehingga yang bisa kulakukan adalah mundur dan mengubah bentuk pertemanan itu menjadi hubungan pertemanan platonik.

3. Melihat apa yang telah ditegaskan Tuhan

2 Korintus 6 : 14 adalah salah satu ayat yang terus mengingatkanku selama menggumulkan hubungan yang berbeda iman ini.

“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”

Untuk terus berada dalam hubungan beda iman berarti tidak mengindahkan apa yang tertulis dalam ayat tersebut, jadi sebelum semakin jauh, aku memutuskan untuk mundur perlahan dari pertemanan ini. Lagipula, aku percaya Tuhan memperhatikan dengan seksama apa yang sudah kita coba taati dari firman-Nya. Selain itu, aku pernah mendengar khotbah tentang kriteria pasangan yang idealnya harus seiman dan sepadan. Seiman artinya memiliki iman yang sama; iman yang percaya pada Tuhan Yesus. Harapannya, jika iman ini sudah sama, maka terdapat kesamaan nilai dan prinsip yang akan berguna untuk membangun rumah tangga yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sehingga syarat seiman ini kupandang sebagai hal yang fundamental sebelum melihat apakah ia juga memiliki kecocokan lainnya denganku.

Tiga hal tersebut pada akhirnya berakar dari ingatanku tentang kasih penyertaan Tuhan. Tuhan telah membawaku sejauh ini, menyertaiku dari satu fase ke fase lainnya, dan aku yakin—yang mendorongku untuk menggumulkan hal ini. Jika pada akhirnya kutemukan jawaban untuk mengakhiri hubungan ini, aku telah yakin bahwa Tuhan telah mempersiapkan jalan lain yang kuharap akan lebih baik dari kisah sekarang.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Percayalah, Mencintai Itu Tidak Mudah, Tapi…

Oleh Triska Zagoto, Medan

“Kapan terakhir kali kamu jatuh cinta?” tanya seorang teman di sela perbincangan kami tentang teman hidup beberapa waktu yang lalu. Aku terdiam. Beberapa menit setelah berhasil mengumpulkan ingatan, aku memberi jawaban—yang sebenarnya aku juga kurang yakin ketepatannya.

Harus diakui, topik tentang teman hidup memang selalu menarik untuk dibahas, sulit dihindari, dan tak ada habisnya terutama di usia di mana kita akan menjumpai pertanyaan kapan nikah???” atau “kapan nyusul???” ketika menghadiri pesta pernikahan teman. Aku menemukan ada perbedaan yang cukup mencolok ketika memperbincangkan tentang teman hidup di usia yang hampir 30 tahun ini, di mana pembahasannya lebih realistis, dari karakteristik secara rohani maupun jasmani, yang kita yakini cukup menjamin hari depan ketika berkomitmen untuk masuk dalam sebuah pernikahan. Mungkin, pengalaman hidup dua dekade lebih, telat membawa kita untuk melihat segala sesuatu yang cukup riil bersentuhan dengan kehidupan sehari demi sehari. Namun, dari karakteristik- karakteristik yang kita inginkan itu, ternyata masih terbatas pada hal-hal yang dapat goyah dan berubah.

Paul R. Stevens, dalam bukunya Down to Earth Spirituality membahas satu bab tentang masa sebelum pernikahan. Menariknya, penulis tidak menggunakan istilah dating (pacaran) melainkan courting (kencan), artinya ada pendekatan persuasif—memberi perhatian dengan penuh cinta kasih kepada seseorang. Courting dimaksudkan supaya kumpulan aktivitas yang ada bertujuan untuk menemukan dan memenangkan orang yang tepat untuk suatu pernikahan.  Menyadari bahwa pernikahan adalah sebuah hubungan perjanjian (kovenantal), akan membawa kita pada keseriusan dalam mempersiapkannya di masa courting. Jadi, hal-hal apa yang harus dibangun di masa-masa kencan itu? Apakah melalui perkencanan kita, orang lain makin kagum dan melihat kemuliaan Allah, atau justru sebaliknya, mempermalukan nama Tuhan? Apakah konsep relasi yang kita pegang sudah benar-benar berlandaskan firman Tuhan?

Percayalah, mencintai itu tidak mudah

Cinta yang kita miliki kepada seseorang dan kepada Tuhan itu dilihat dari besarnya pemahaman kita akan cinta yang Allah berikan pada kita di dalam Kristus. Ketika kita gagal melihat besarnya cinta kasih Allah di dalam kehidupan kita, maka aku yakin kita tidak akan mudah mengasihi orang lain karena kita merasa bahwa kita kurang dicintai oleh Tuhan Allah. Di tengah kemajuan zaman ini, kita menemukan bahwa dunia terus berusaha menawarkan definisi cinta yang begitu rapuh, tidak berdasar, kosong, dan palsu. Banyak lagu, film, buku, dan lain-lain yang pelan-pelan yang mengikis kebenaran-kebenaran yang seharusnya ada dan dibangun di masa-masa courting itu. 

Hal yang bisa kita lakukan adalah meneladani cinta Kristus kepada kita, yaitu unconditional yang menuntut self-sacrificed. Jadi, ketika dua orang berkomitmen masuk dalam sebuah tahap kencan berarti bukan lagi untuk memperoleh sesuatu yang sifatnya seperti “treat me like a queen/king”, tetapi menyerahkan diri untuk dimiliki orang lain. Mencintai—memaksa diri dengan rela untuk tidak menguasai, mendominasi, dan mempertahankan ego. Maka, perlahan-lahan cinta yang terjalin bukan cinta yang kaku, melainkan cinta yang semakin bertumbuh dan dapat dinikmati.

Masa courting = masa diskusi dan membangun argumentasi

Pdt. Antonius Un, dalam sebuah sesi di acara retret mengatakan jangan sampai tanggung jawab yang seharusnya dilakukan ketika sudah menikah malah dilakukan dalam tahap pacaran. Yang harus dilakukan di masa-masa ini adalah berdiskusi dan membangun argumentasi. Hanya karena kita tidak ingin mengecewakan orang yang kita cintai, apalagi saat cinta itu menggebu-gebu kita rela menjadi budak cinta (bucin), dengan berusaha melakukan apa pun yang semestinya dilakukan ketika sudah menikah. Entah dalam hal keuangan, pertemuan dengan keluarga masing-masing sebelum waktunya, atau bahkan melakukan hubungan seksual, dan lain-lain.  Kita perlu merenungkan apakah dalam hubungan yang sedang atau yang akan kita jalani dengan calon pasangan hidup, kita menyaksikan Kristus semakin bertakhta? Apakah pengejaran akan kekudusan diri terus bergema dan dengan gentar kita lakukan? Tentu saja hal ini tidak mudah. Dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, peperangan rohani selalu ada setiap hari, setiap saat. Maka sangat perlu untuk menjaga kesucian diri: rohani dan jasmani. Diskusi dan membangun argumentasi bisa dikerjakan dengan pendalaman Alkitab bersama, memiliki jam doa bersama, terlibat dalam komunitas di gereja, melayani bersama, membahas dan mengulas buku rohani, diskusi dengan orang-orang yang dewasa rohani dan memiliki kesaksian hidup yang benar maupun dengan hamba Tuhan. Masa courting, masa di mana kita mempertanyakan hal-hal yang perlu disetujui, disepakati, dan dijalani ketika sudah masuk dalam tahap pernikahan; bisa berupa pekerjaan, pelayanan, panggilan, dan lain-lain. Dan, bila perlu sesekali mengambil jarak sejenak untuk bersama-sama mengevaluasi diri.

Bertumbuh melalui proses

Karena menikah adalah komitmen seumur hidup—sampai maut memisahkan, maka kita dituntut untuk sungguh-sungguh dalam mempersiapkannya. Dalam berbagai proses yang Tuhan izinkan, kita perlu bijaksana untuk melihat apakah dalam masa courting ini, kita jalani dengan joy dan happy atau malah kita restless karena kita memasuki hubungan tersebut untuk mengakhiri loneliness kita? Perlu kita ingat bahwa pernikahan adalah tempat untuk dua orang yang berkelimpahan sehingga bisa saling berbagi, bukan untuk dua orang yang kekeringan. Kualitas masa kencan kita menentukan kualitas pernikahan kita. Biarlah dalam masa-masa evaluasi diri, kita dituntun Allah untuk menilik hati kita dan menjadikan kita pribadi yang utuh. Sebagaimana hidup yang utuh, kata Henry Cloud dalam bukunya Boundaries In Dating, adalah hidup yang penuh. Pemazmur mengingatkan kita: Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” (Mazmur 1:3).

Bila saat ini kamu sedang berada dalam tahap pendekatan maupun tahap kencan, nikmatilah setiap proses, yang bila diarahkan kepada Allah dapat menjadi ujian bagi pembentukan iman, kasih, dan kekudusan sejati sehingga menjadi pasangan yang sepadan, yang saling mengenali kelemahan satu sama lain, saling membangun, dan saling melengkapi untuk menyaksikan bahwa Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1 Korintus 13:4-5), untuk mengenal dan mengerjakan panggilan Allah, demi kemuliaan Allah.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Tips Mencari Kehendak Tuhan dalam Berpacaran

Oleh Jenni, Cimahi

Kita tentu ingin segala sesuatu yang kita lakukan itu selaras dengan kehendak Tuhan. Namun, bagaimana mengetahuinya? Dan, bagaimana pula meyakininya jika kita telah menemukan “kehendak” itu?

Aku pernah mengalami fase itu, terkhusus dalam penantianku akan sosok pacar yang kelak kuharap bisa jadi pasangan hidup. Sekarang, setelah aku berpacaran, pertanyaan akan apa kehendak Tuhan dalam hidup dan relasiku ini tidaklah hilang. Aku terus mencari dan menggumulinya. Jika kamu mengalami yang sama sepertiku, inilah tiga hal yang kulakukan untuk mengenal kehendak Tuhan dalam relasiku.

1. Berusahalah untuk mengenal Dia

Sewaktu aku SD dulu, ada tren menulis biodata di binder teman. Biasanya masing-masing murid punya satu binder dengan kertas-kertas yang unik, beda dari yang lain. Binder ini akan diedarkan ke teman-teman untuk diisi biodata. Dari biodata itu aku jadi tahu hal-hal tentang temanku yang mungkin sebelumnya tidak terpikir olehku untuk menanyakannya.

Jika mengenal teman pun butuh usaha, demikian juga jika kita ingin kenal dan akrab dengan Tuhan. Saat ingin mengetahui kehendak-Nya, kita perlu mengenal pribadi-Nya. Tuhan berbicara lewat firman-Nya di Alkitab. Saat kita membaca firman-Nya dengan pertolongan Roh Kudus, kita dimampukan untuk semakin mengenali karakter-Nya. Kita bisa mengerti apa saja yang menyenangkan-Nya, mendukakan-Nya, dan kehendak-Nya bagi kita.

Saat awal berpacaran, aku agak keteteran mengatur waktu. Kadang ditambah dengan kesibukan, aku melewatkan waktu pribadi bersama Tuhan. Untungnya, ada Roh Kudus yang setia mengingatkan. Seperti tertulis dalam Yeremia 29:13, “apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati.”

Tuhan mengasihi kita. Ia berjanji apabila kita berusaha mencari dan mengenal-Nya dengan sungguh-sungguh, maka kita akan menemukan-Nya. Mari kita sediakan waktu pribadi bersama-Nya.

2. Selaraskan relasi kita dengan firman Tuhan

Rasa-rasanya sekarang aku agak paham mengapa dulu orang-orang yang lebih tua menyarankan untuk berpacaran kalau sudah bekerja atau setidaknya lulus sekolah. Pacaran atau menjalin relasi bukan hanya tentang happy-happy. Perlu pribadi yang dewasa, dan dewasa itu identik dengan tidak egois. Kita juga perlu belajar mengasihi tapi tetap punya batasan yang jelas.

Rasa cinta adalah sesuatu yang bisa dibangun. Semakin lama berelasi, ada kecenderungan untuk makin besar cintanya. Saking sayangnya, ingin rasanya selalu mengikuti yang si doi mau, yang tanpa kita sadari membuat hati kita telah melekat padanya. Kemelekatan kita pada apa pun dan siapa pun selain Kristus berpotensi untuk menghancurkan dan mengecewakan kita, sebab Tuhan sendiri berfirman bahwa kita harus melekat pada pokok yang benar. Di luar Dia, kita tidak dapat berbuah (Yohanes 15:1-8).

Aku pun menyadari salah satu tantangan pacaran adalah tetap bisa mengasihi tanpa kehilangan diri sendiri, atau menjadi bucin. Bucin bisa mengaburkan batasan-batasan dalam berpacaran dan hal ini bisa membuat relasi menjadi tidak sehat. Firman Tuhan dan kekuatan dari-Nya memampukan kita untuk bisa menjalani hubungan yang sehat. Maka karena itu, yuk kita selaraskan relasi kita dengan firman Tuhan.

3. Bawa dan letakkan hubunganmu pada Tuhan

Tujuan pacaran adalah saling mengenal sebelum memantapkan hati untuk menikah. Dua pribadi yang berbeda berusaha menyatukan visi, mencita-citakan hal yang sama. Kadang pikiran melanglang buana, lupa yang di depan mata. Dalam doa pun mendikte Tuhan mau begini mau begitu, padahal pengertian-Nya jauh di atasku. Aku lupa menyediakan ruang bagi Tuhan dalam hubungan kami.

Dalam Keluaran 13:17 dituliskan saat bangsa Israel pertama kali keluar dari Mesir, Tuhan sengaja menuntun ke jalan memutar karena saat itu bangsa Israel belum siap untuk berperang. Saat ini aku paham karena aku membaca pertimbangan Tuhan di Alkitab. Akan tetapi, kalau aku ada di posisi bangsa Israel, belum tentu aku mengerti. Mungkin sekali aku akan mengeluh, kenapa harus repot-repot memutar, padahal ada jalan yang lebih dekat? Tetapi, Tuhan adalah pencipta dunia beserta isinya. Akan ada banyak hal yang tidak akan bisa aku pahami dengan pikiranku yang terbatas.

Seperti yang tertulis dalam Roma 11:33-36, mustahil menyelami pikiran dan jalan Tuhan. Dan segalanya adalah dari, oleh dan kepada Dia. Satu yang pasti, seperti karya penebusan-Nya, Dia mengasihi kita. Dia tahu apa yang terbaik untuk kita. Mari kita berusaha memberikan Tuhan ruang di hubungan kita. Percayalah pada-Nya.

Sampai di titik ini aku melihat bahwa ternyata cara untuk mengenal kehendak Tuhan adalah dengan mengenal pribadi-Nya. Dengan menyediakan waktu pribadi dan berusaha melakukan ajaran-ajaran-Nya, kita bisa memisahkan mana kehendak-Nya dan mana yang bukan.

Semoga sharing ini bisa bermanfaat untuk teman-teman semuanya!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Soulmate atau Solemate?

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

*Ditulis berdasarkan Refleksi dari Buku The Sacred Search, Gary Thomas.

Guys, nanti malam hunting makanan di Little India yuk, lagi ada bazar kuliner di sana,” celetuk Alma dari seberang ruangan. Dia masih sibuk dengan ponselnya, asyik scroll Instagram. Aku tidak menanggapi, juga sibuk dengan buku di tanganku. Sisca di sebelahku juga tampak sibuk dengan gim di ponselnya, hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas terdengar. Kami baru saja selesai latihan untuk kunjungan gereja hari Minggu ini.

Melihat kami bergeming, Alma mendekat ke arah kami.

“Halooo,” serunya dengan nada melambat untuk mendapatkan perhatian kami. Tapi, belum sempat kami menjawab, dia kembali bertanya, “Eh, lagi baca buku apa sih, Gi?!” Diperhatikannya sampul bukuku lalu dibacanya dengan bersuara, “The Sacred Search, Pencarian Pasangan Hidup yang Kudus…. Wih! Ini buku keren banget!”

Mendengar suara Alma yang heboh sendiri, Sisca pun jadi teralihkan perhatiannya. Dia matikan gimnya lalu ikut serta dalam pembicaraan. 

“Apa yang kamu dapat dari membaca buku seperti itu, Gi?” tanya Sisca.

Aku mengangkat bahu. Bukan sebagai ekspresi tidak tahu, tapi memang buku ini isinya bagus sekali sehingga sulit rasanya memberikan jawaban singkat.

“Banyak hal sih. Kalian mau baca?” kutanya mereka balik.

“Kamu aja yang sharing sama kita, kamu ‘kan tahu minat baca kita rendah,” jawab Alma sambil nyengir.

“Ada beberapa hal yang paling aku highlight sih tentang pasangan atau teman hidup dari buku ini,” jawabku sembari memperhatikan ekspresi wajah mereka berdua. Kulihat mereka sepertinya sungguh ingin mendengar, tapi sebaiknya kuuji dulu pemahaman mereka tentang hidup berpasangan. “Sebelumnya, coba deh aku tanya, menurut kalian apa sih tujuan kita menikah?”

Kedua orang itu tidak langsung menjawab, tampak kerutan-kerutan di keningnya, tanda bahwa sedang berpikir.

“Kalau aku sih, memiliki pasangan atau menikah itu kan kebutuhan biologis kita sebagai manusia. Jadi ya kita perlu menikah. Selain ya karena mandat dari Tuhan, untuk beranakcucu,” Sisca menjawab duluan.

Aku mengangguk tanda setuju. Kini giliran Alma menjawab. “Iya sama. Tapi dulu aku sempat berpikir kalau menikah itu sesuatu yang wajib kita lakukan, karena mana mungkin kita bisa hidup sendiri selamanya kan? Kita pasti butuh pasangan, kalau tidak kita bakal kesepian seumur hidup nggak sih?”

Senyum simpul tersungging di wajahku mendengar pertanyaan Alma. Sejatinya, pertanyaan itu tidaklah asing. Kebanyakan orang tentu berpikir yang sama, bukan? Bahwa tidak punya pasangan itu seolah hidup tidak utuh dan pasti kesepian. Kurapikan sedikit posisi dudukku. Dengan punggung yang lebih tegak dan kedua telapak tangan kuletakkan di paha, aku memulai penjelasanku dengan nada lebih lambat.

“Kebanyakan orang mungkin memang berpikir seperti itu ya ‘kan! Nah, poin pertama dari buku ini yang aku highlight, yaitu kita sering berpikir atau mempertimbangkan dengan siapa kita akan menikah. Tapi, bagaimana kalau pertanyaannya adalah mengapa kita menikah? Dan buku ini mencatat, dasar kita menikah adalah ayat Matius 6:33. Aku yakin, kita sudah hafal isi ayatnya kan?”

Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” ucap Sisca menggemakan kembali ayat yang tidaklah asing di telinga.

Kulanjutkan lagi penjelasanku,  “Jadi, ketika kita memutuskan untuk menikah, itu bukan karena kita harus menikah atau karena sudah waktunya menikah, atau semata untuk kebutuhan biologis, untuk mendapat keturunan, dll. Itu memang bagian darinya, tapi tujuan kita menikah tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membangun keluarga Allah, menjadi rekan sekerja mewujudnyatakan rencana-Nya.” Kata-kata ini kuucapkan dengan mantap, mengutip bagian dari buku itu. Kedua orang di depanku seperti terbius dan hanya mendengarkan dengan khidmat. Aku hampir tertawa melihat ekspresi serius mereka.

“Oke, poin keduanya ini soal pasangan hidupnya sendiri sih. Ehm… tahu nggak, soal pasangan hidup ini aku itu awalnya mengira kalau kita akan dipertemukan dengan jodoh kita pada waktunya nanti. Jadi kita—apalagi perempuan—tinggal menunggu saja, nanti bakal ada seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pasangan kita.”

“Terdengar sangat rohani, bukan?” candaku. “Pernah beranggapan kayak gitu nggak?” Mereka berdua serentak mengangguk.

“Nah, tapi nyatanya, kalau seseorang tiba-tiba datang ke depan pintu rumah kita dan berkata bahwa dia adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk menikahi kita, kira-kira apakah kita mau?” tanyaku, dengan sedikit tertawa. Mereka pun ikut tertawa.

“Kalo di buku ini, kita tidak menganggap bahwa Tuhan sudah memilihkan seseorang tertentu untuk kita. Seolah sejak lahir kita udah pasti akan menikah dengan seseorang yang sudah ditetapkan untuk kita, apapun yang terjadi. Jadi buku ini menggunakan istilah Solemate, bukan Soulmate,” jelasku.

Aku sengaja berhenti sejenak melihat tanggapan mereka. Dan mereka tampak antusias, menunggu aku melanjutkan. “Soulmate itu kan diartikan sebagai belahan jiwa, yang mana maksudnya ada seseorang di dunia ini yang pasti cocok, dan pasti bisa mengisi jiwa kita. Jadi kayak, kita ini setengah potongan, dan dia potongan yang lain, maka jika kita bersama kita akan menjadi satu bagian yang utuh. Padahal kalau di Alkitab ‘kan, kita bukan setengah ditambah setengah menjadi satu, tapi dua orang dipersatukan menjadi satu, gitu ‘kan?” kataku.

Alma dan Sisca mengangguk-angguk.

“Lalu kalau Solemate apa?” tanya Sisca.

Aku berdiam sesaat, mencoba mengingat. “Kalau Solemate, secara harfiah ‘kan sole itu berarti sol atau karet di bagian bawah sepatu. Jadi, kalau solemate itu yaitu seseorang yang akan berjalan bersama kita menjadi partner untuk mencari dahulu kerajaan Allah, sesuai dengan tujuan kita menikah tadi,” jawabku, lalu melanjutkan, “Dan pasangan seperti itu kita temukan, bukan dengan sendirinya datang kepada kita. Memang bukan dengan mencari-cari secara agresif, tapi mendoakan, menemukan dan memilih dengan sungguh-sungguh.”

“Kita pun jika ingin ditemukan, kita harus berdiri di tempat di mana kita bisa ditemukan. Contohnya dengan mengikuti persekutuan, pelayanan, atau komunitas dimana kita berharap akan mengenal dan menemukan seseorang yang memiliki tujuan yang sama.”

Kedua temanku itu masih serius mendengarkan. “Gimana? Sudah cukup dengan sharing session hari ini?” tanyaku bercanda. Mereka tertawa. Tapi, tampaknya mereka belum bosan dan justru menikmati percakapan ini.

“Aku jadi teringat deh sama sepupunya tetanggaku yang kemarin mau nikah. Masih cukup muda sih, tapi dia mantap buat menikah karena katanya dia yakin dia sudah bertemu dengan soulmatenya. Dia yakin setelah menikah dia akan menjadi pribadi yang lebih bahagia, tidak akan kesepian,” cerita Alma.

Aku tersenyum, mengingat sebuah kutipan. “Memang iya sih, ada hal-hal yang berubah dari seseorang yang sudah menikah. Dan, kita pun nggak mau langsung menghakimi keyakinan seperti itu kan.” Kemudian kulanjutkan, “Tapi ada satu kutipan dari buku ini yang membuatku tertawa saat membacanya. Menikah tidak akan membuat Anda menjadi orang yang berbahagia atau menjadikan Anda orang yang semakin dewasa; menikah hanya akan membuat Anda menjadi orang yang… sudah menikah.

Lalu entah bagaimana kami tertawa bersamaan setelah itu.

“Nah guys, teorinya udah ada kan, tinggal prakteknya nih yang tidak semudah itu,” candaku, menutup topik pembicaraan kali ini.

“Iya, memang pasti nggak mudah sih menerapkannya ya walaupun kita sudah tahu teorinya. Untuk itulah aku membutuhkan kalian guys, dan persekutuan kita, supaya kita saling menolong untuk taat,” kata Sisca dengan pelan dan terdengar tulus setelah diam cukup lama.

Aku tersenyum, Alma juga. Kami saling bertatapan, menyetujui untuk saling mendoakan, menguatkan, dan mengingatkan untuk taat. Aku pun yang sedang menjalin hubungan juga sedang belajar taat untuk mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.

“Eh udah gelap nih, ayo nanti bazar makanannya keburu rame, kita nggak kebagian tempat kosong,” seru Alma tiba-tiba. Kami tertawa dan mengikuti tarikannya melangkah keluar.

***

“Wahai para lelaki dan perempuan, temukanlah seorang pasangan yang bersamanya Anda bisa mencari dahulu kerajaan Allah, yaitu seseorang yang menginspirasi Anda menjalani hidup saleh. Dan, ketika Anda berhasil melakukannya, “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”

-The Sacred Search, Gary Thomas-

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Single = “Neraka”, Berpasangan = “Surga”? Menilik Ulang Nilai Romansa Modern dari Single’s Inferno

Oleh Mary Anita, Surabaya

Apa yang akan terjadi bila sekelompok pria dan wanita muda yang rupawan dan mapan harus bertahan hidup di pulau terpencil sembari berlomba menemukan sosok cinta sejati?

Plot ini diungkap dalam reality dating show asal Korea Selatan yang begitu populer tiga tahun terakhir lewat Netflix, yaitu Single’s Inferno. Bersama dengan panelis artis Korea papan atas, acara dibuat se-real mungkin sebagai eksperimen sosial dan diskusi menarik yang relate dengan segala pergumulan romantis kaum muda. Saat menontonnya, aku menemukan empat hal yang perlu kita renungkan ulang:

1. Lajang adalah neraka, tapi berpasangan itu surga

Secara garis besar, konsep surga dan neraka adalah kunci utamanya. Setiap hari apabila ada peserta yang gagal atau bertepuk sebelah tangan untuk memenangkan hati si target pujaan, mereka akan ditinggalkan di pulau inferno atau “neraka”. Di sisi lain, siapa yang menang lomba atau kedapatan memiliki perasaan yang sama satu sama lain, bisa berpasangan dan menikmati quality time ke “surga”, yaitu resor mewah.

Dari segi entertainment, jelas konsep berbasis reward surga justru memacu semangat bagi tiap peserta sekaligus bumbu hiburan bagi penonton. Namun, bukankah ini sebenarnya rekonstruksi streotipe masyarakat yang ada di dunia nyata? Jika kamu masih lajang, maka kamu dianggap buruk, kamu orang buangan yang pantas berada di “neraka”. Berbanding terbalik dengan mereka yang berpasangan, tentu layak menikmati “surga”. Namun, benarkah demikian?

Nyatanya, tak ada ayat di Alkitab yang tercatat kalau derajat orang lajang lebih rendah daripada mereka yang berpasangan. Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa hidup ini adalah anugerah Allah semata yang layak untuk dinikmati, termasuk di dalamnya masa lajang. Yakobus 1:17 berkata, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”

Rasul Paulus yang hidup melajang juga menegaskan dalam keseluruhan perikop 1 Korintus 7 bahwa menjadi lajang pun baik karena kita dapat melayani Tuhan tanpa rasa khawatir. “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.” (ayat 32).

2. Semua orang mengingini cinta sejati

Saat acara dibuka, setiap peserta akan melakukan briefing sekilas memperkenalkan diri penuh percaya diri dan optimis. Namun, seiring hitungan hari, ada kalanya rasa itu sirna, malahan membuat mereka rapuh. Adanya ketegangan yang melukai harga diri saat cinta ditolak, dan persaingan saat memperebutkan hati seorang yang disukai tentunya sangat menguras emosi dan mental, menunjukkan betapa setiap manusia sebenarnya sama-sama rindu untuk diinginkan dan dicintai. Di saat kita terluka dan pernah mengalami hal yang sama karena cinta, ketahuilah cinta sejati yang tanpa syarat dan kekal hanya ada dalam Tuhan dan bukan manusia.

“Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu.” (Yeremia 31:3).

3. Jadilah dirimu yang asli dan kenali orang lain tidak hanya di permukaan saja

Ada aturan unik dalam acara ini yang mewajibkan peserta untuk merahasiakan usia dan pekerjaan, kecuali kepada siapa yang berhasil diajak ke “surga”. Maksudnya, untuk membantu mereka lebih nyaman menjadi diri sendiri sedari awal, sehingga proses pendekatan pun dapat disorot lebih transparan. Aturan ini membuatku tersadar, mungkinkah ini krisis yang sebenarnya kita butuhkan saat berelasi? Suatu keaslian diri dan tidak cepat menilai orang lain hanya di permukaannya saja. Dalam  1 Samuel 16 : 7 tertulis “ Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”

Di dunia yang penuh kepalsuan, ini saatnya kita berani menjadi diri sendiri dengan hati yang murni sebagai murid Krisus dengan tidak menghakimi orang lain berdasarkan yang kita lihat di luar saja.

4. Happy ending hubungan romantis bukanlah sekadar pacaran

Puncak euforia yang ditunggu-tunggu ada pada ending yang mengungkapkan siapa saja yang berhasil berpasangan secara resmi. Namun, beberapa penonton rupanya tak puas hanya sampai di situ. Mereka malahan membanjiri akun medsos peserta dengan pertanyaan memastikan apakah mereka sungguh berpacaran di dunia nyata. Dengan harapan, itulah happy ending yang sesungguhnya.

Namun menurut Alkitab, sekadar berpacaran bukanlah gol happy ending dari sebuah hubungan romantis.

Dalam Kejadian 1:28, ada alasan serius mengapa Tuhan mempersatukan Adam dan Hawa. Bukan romantisme kosong semata tanpa tujuan, tetapi sebuah happy ending yang dikehendaki-Nya, yaitu pernikahan. Di saat kita siap memulai hubungan romantis dengan lawan jenis, pertimbangkanlah secara matang untuk tujuan jangka panjang ke arah pernikahan, dan bawalah itu dalam doa meminta tuntunan Tuhan karena nantinya hubungan itu berujung menjadi pertanggung jawaban kita pada Tuhan dalam mewujudkan kasih Kristus dan kepada jemaat-Nya seumur hidup.

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Efesus 5: 31-32).

Kawanku, di masa mana pun kamu saat ini berada, baik lajang, dalam masa pendekatan, berpacaran, atau sudah menikah, ingatlah untuk selalu berpegang pada nilai yang telah Tuhan, Sang Sumber Kasih itu ajarkan dalam Alkitab. Pastilah kebenarannya akan memerdekakan kita dari segala bentuk kegalauan dan nilai-nilai dunia yang dunia ajarkan. Amin.

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yohanes 4:16).

Belajar Mencinta Apa Adanya di Tengah Dunia yang Ada Apanya dengan Prinsip HPDT

Oleh Olivia E. H.

Sejauh ini, ini pencerahan love life yang paling jauh aku dapatkan: Manusia benar-benar perlu belajar mencintai pasangannya seperti Tuhan mencintainya.

Konon kata seorang abang-abangan semester 20, hati-hatilah dengan candaan tongkrongan, karena ujung-ujungnya bisa sampai kitab nabi-nabi. Ya, dalam sirkel pertemananku, kerap teman-teman melontarkan candaan “Liv, kok mau sih pacaran sama X?” Hal ini merujuk pada pacarku; kami telah 5 tahun menjalin hubungan.

Loh iyaya, kenapa ya? Apakah ini sebuah empowered decision, atau aku hanya orang yang kurang neko-neko dalam mencintai?

Throwback ke masa lalu, aku teringat guyonan serupa sering diterima ibuku yang keturunan Hong Kong, sehingga konon di masa mudanya ia begitu putih seperti porselen Tiongkok, sedangkan ayahku berasal dari keluarga seniman Gambang Kromong berkulit lebih gelap. “Bu Mel, kok dulu mau sih sama Pak Anton?”

Atas hal ini, kalau mood-nya sedang bagus biasanya ibuku hanya berkilah, “Soalnya dulu waktu kenal belum hitam, masih merah jambu.”

Dari guyonan tongkrongan, berujung overthinking—itulah kisah hidupku. Otakku pun berputar, mencerna lagi mengapa guyonan semacam itu sering beredar, dari masa lalu hingga masa kini.

Mencintai yang Harus Ada Apanya

Mengikuti standar dunia atau ego kemanusiaan kita saja, hanya akan membelit diri pada cinta penuh syarat. Kita akan selalu mencari alasan “Oh, aku mau sama dia karena XYZ. Oh, dia gitu sih tapi gapapa deh soalnya dia masih punya ABCD.”

Dunia ini memiliki cara pandang dan pemaknaannya sendiri akan relasi pacaran, ini beberapa contoh yang aku jumpai:

1. Seorang pria hanya layak dicintai jika ia “mampu”

Salah satu stand up comedian favoritku, Chris Rock, memberikan hipotesa menarik dalam salah satu show spesialnya yang ditayangkan Netflix: Mau bilang “Ini nggak bener ah”, tapi dari zaman booming romance movie tahun 2000an, hal ini seakan dibenarkan.

   

Di film “Just Like Heaven”, karakter Mark Ruffalo sempat dikira tukang kebun, sebelum disingkapkan fakta kalau ia adalah landscape architect”—dengan demikian, dia adalah cowok yang keren. Pola yang sama terdapat di film “Material Girl”, di mana karakter utama cowok baru “dianggap” setelah terungkap ia bukanlah seorang petugas parkir melainkan peneliti di laboratorium. 

2. Seorang perempuan lebih mudah dicintai jika ia “cantik”

Berkebalikan, di film legendaris “Pretty Woman”, Julia Roberts dari bekerja di jalanan, bisa “diterima apa adanya” dalam sekejap oleh seorang pengusaha kaya raya, hingga masuk ke lingkar kaum jetset. Lalu ada juga serial TV “The Nanny”, seorang imigran dari kelas pekerja bisa direkrut begitu saja oleh keluarga Inggris yang ningrat, lalu mendapatkan cinta dari keluarga tersebut, hingga lagi-lagi, dinikahi bosnya.

   

Jika kita terbawa dengan pola pikir ini, seorang perempuan bisa jadi menuntut laki-lakinya menjadi “provider” sejati. Atau seorang lelaki menuntut perempuannya menjadi “penghibur” sejati, dengan spek mesias. Inilah fenomena yang sering terjadi dalam relasi yang di dalamnya tidak melibatkan hikmat Tuhan. Akibatnya, relasi pacaranmu lama-lama diisi oleh dua orang bingung yang saling melempar ekspektasi demi syarat merasa “bahagia”.

Padahal, apa iya, tujuan berpacaran itu untuk merasa “bahagia”?

Yuk, coba kita tanyakan dan gumuli pertanyaan ini bersama Tuhan.

Mencintai Seperti Tuhan Mencintai

Di 1 Yohanes 4:7-8 dikatakan, “Saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, karena kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, karena Allah adalah kasih.” Jadi, kasih yang kita punya buat pacar kita juga harus mencerminkan kasih Tuhan yang tanpa syarat itu.

Masalahnya, aku sering banget menjumpai (dan jujur, pernah jadi pelaku juga), anak-anak Tuhan yang melupakan Hubungan Pribadi dengan Tuhan (HPDT) ketika sudah menemukan pacar baru. Bukan hal yang terasa berbahaya pada awalnya, kan? Nanti tinggal rutinin lagi sate-nya, kan?

Awalnya, pasti nggak ada yang terasa “salah”—tapi cepat atau lambat, kita akan mulai merasa relasi ini disetir oleh value-value lain. Value yang meneror batin kita dengan bisikan bahwa seorang pria harus begini, seorang wanita harus begitu, syarat dari hubungan yang bagus adalah ABCDE, hingga kita mencari validasi hubungan kita di tempat-tempat yang tidak seharusnya.

Memang, di tengah hingar-bingar punya pacar baru, sering kali HPDT (Hubungan Pribadi dengan Tuhan) terdampak. Ketika jomblo, super rajin membangun HPDT dengan sate, mengikuti kelas PA, bersekutu, dll. Setelah pasangan didapat, kita justru (sadar tidak sadar) lebih memilih menginvestasikan waktu dan fokus kita pada si pacar baru, dan HPDT pun “turun takhta” masuk prioritas kesekian.

Ketika kamu mulai berpacaran, ingatlah untuk nggak melupakan Hubungan Pribadi dengan Tuhan (HPDT). Kita harus tetap dekat dengan Tuhan dan belajar mencintai dengan hikmatNya. Justru, pergantian status dari jomblo jadi taken ini saatnya untuk semakin menguatkan HPDT kita. Ingat, Firman Tuhan itu hidup dan berkuasa, bisa bantu kita untuk mengenal cinta yang sesungguhnya.

HPDT itu penting, biar nantinya hubungan kita nggak cuma indah di luar, tapi juga penuh kasih dan kebenaran di dalam. Firman Tuhan di Matius 6:33 mengatakan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu menjadikan Tuhan prioritas utama, termasuk dalam hubungan cinta. HPDT itu bukan cuma saat kita lagi sendiri, tapi juga saat kita lagi kasmaran.

Sebuah Red Flag Untuk Kita

Nah, ketika kamu berpacaran, coba deh perhatiin, apakah hubunganmu sama Tuhan makin erat atau malah sebaliknya? Jangan sampai karena sibuk sama pacar, kita jadi ngelewatin waktu berharga yang seharusnya kita habiskan buat ngobrol sama Tuhan. Karena tahu nggak? Dari HPDT itulah kita belajar cinta yang tulus dan sabar, cinta yang nggak hanya terpaku pada apa yang bisa dilihat mata atau diraba tangan, tapi cinta yang mendalam seperti yang Tuhan kasih ke kita. Intinya, cinta yang berbeda dari standar-standar “kebahagiaan” yang disyaratkan dunia untuk kita.

Aku menyaksikan begitu banyak gambar diri yang hancur, masa kecil yang rusak, maupun hidup yang suram, akibat ketimpangan ekspektasi dalam relasi. Ketika dua orang yang sama-sama kepahitan karena conditional love”-nya sama-sama tidak terkabulkan, lahirlah keluarga-keluarga disfungsional.

Itu bisa jadi masa depan kita, jika kita tidak mendudukkan ulang relasi pacaran kita hari ini, di muka Tuhan Yesus Sang Kasih Sejati. Dalam HPDT, kita dapat mendialogkan pengalaman hidup sehari-hari dengan Firman Tuhan, sehingga melahirkan transformasi diri yang memberkati. Itulah sebabnya, orang sering bilang kalau cowok red flag itu sesungguhnya cowok yang ketika dipacari, malah membuat kita makin jauh relasinya sama Tuhan.

Kembali soal pertanyaan tongkrongan tadi. Jika ditanya lagi, aku akan menjawab bahwa melalui hidup berpasangan ini, saya mengenal cinta yang membebaskan, bukan mengekang. Dan melalui HPDT, saya diajarkan lagi dan lagi mengenai cara Tuhan mencinta.

Yuk, jadi pejuang yang nggak cuma jago PDKT sama si dia, tapi juga jago HPDT sama Tuhan. Karena percaya deh, hubungan yang berakar pada kasih Tuhan pasti akan tumbuh kuat dan indah. So, keep your HPDT strong, and let your love story be a reflection of God’s love!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Untuk diriku yang berusia 25 tahun,

Apa pun status hubungan dan keadaan kita saat ini, kepuasan sejati hanya dapat kita temukan di dalam Yesus, Sang Pengasih dan Penghibur kita 😇

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu