Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan
*Ditulis berdasarkan Refleksi dari Buku The Sacred Search, Gary Thomas.
“Guys, nanti malam hunting makanan di Little India yuk, lagi ada bazar kuliner di sana,” celetuk Alma dari seberang ruangan. Dia masih sibuk dengan ponselnya, asyik scroll Instagram. Aku tidak menanggapi, juga sibuk dengan buku di tanganku. Sisca di sebelahku juga tampak sibuk dengan gim di ponselnya, hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas terdengar. Kami baru saja selesai latihan untuk kunjungan gereja hari Minggu ini.
Melihat kami bergeming, Alma mendekat ke arah kami.
“Halooo,” serunya dengan nada melambat untuk mendapatkan perhatian kami. Tapi, belum sempat kami menjawab, dia kembali bertanya, “Eh, lagi baca buku apa sih, Gi?!” Diperhatikannya sampul bukuku lalu dibacanya dengan bersuara, “The Sacred Search, Pencarian Pasangan Hidup yang Kudus…. Wih! Ini buku keren banget!”
Mendengar suara Alma yang heboh sendiri, Sisca pun jadi teralihkan perhatiannya. Dia matikan gimnya lalu ikut serta dalam pembicaraan.
“Apa yang kamu dapat dari membaca buku seperti itu, Gi?” tanya Sisca.
Aku mengangkat bahu. Bukan sebagai ekspresi tidak tahu, tapi memang buku ini isinya bagus sekali sehingga sulit rasanya memberikan jawaban singkat.
“Banyak hal sih. Kalian mau baca?” kutanya mereka balik.
“Kamu aja yang sharing sama kita, kamu ‘kan tahu minat baca kita rendah,” jawab Alma sambil nyengir.
“Ada beberapa hal yang paling aku highlight sih tentang pasangan atau teman hidup dari buku ini,” jawabku sembari memperhatikan ekspresi wajah mereka berdua. Kulihat mereka sepertinya sungguh ingin mendengar, tapi sebaiknya kuuji dulu pemahaman mereka tentang hidup berpasangan. “Sebelumnya, coba deh aku tanya, menurut kalian apa sih tujuan kita menikah?”
Kedua orang itu tidak langsung menjawab, tampak kerutan-kerutan di keningnya, tanda bahwa sedang berpikir.
“Kalau aku sih, memiliki pasangan atau menikah itu kan kebutuhan biologis kita sebagai manusia. Jadi ya kita perlu menikah. Selain ya karena mandat dari Tuhan, untuk beranakcucu,” Sisca menjawab duluan.
Aku mengangguk tanda setuju. Kini giliran Alma menjawab. “Iya sama. Tapi dulu aku sempat berpikir kalau menikah itu sesuatu yang wajib kita lakukan, karena mana mungkin kita bisa hidup sendiri selamanya kan? Kita pasti butuh pasangan, kalau tidak kita bakal kesepian seumur hidup nggak sih?”
Senyum simpul tersungging di wajahku mendengar pertanyaan Alma. Sejatinya, pertanyaan itu tidaklah asing. Kebanyakan orang tentu berpikir yang sama, bukan? Bahwa tidak punya pasangan itu seolah hidup tidak utuh dan pasti kesepian. Kurapikan sedikit posisi dudukku. Dengan punggung yang lebih tegak dan kedua telapak tangan kuletakkan di paha, aku memulai penjelasanku dengan nada lebih lambat.
“Kebanyakan orang mungkin memang berpikir seperti itu ya ‘kan! Nah, poin pertama dari buku ini yang aku highlight, yaitu kita sering berpikir atau mempertimbangkan dengan siapa kita akan menikah. Tapi, bagaimana kalau pertanyaannya adalah mengapa kita menikah? Dan buku ini mencatat, dasar kita menikah adalah ayat Matius 6:33. Aku yakin, kita sudah hafal isi ayatnya kan?”
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” ucap Sisca menggemakan kembali ayat yang tidaklah asing di telinga.
Kulanjutkan lagi penjelasanku, “Jadi, ketika kita memutuskan untuk menikah, itu bukan karena kita harus menikah atau karena sudah waktunya menikah, atau semata untuk kebutuhan biologis, untuk mendapat keturunan, dll. Itu memang bagian darinya, tapi tujuan kita menikah tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membangun keluarga Allah, menjadi rekan sekerja mewujudnyatakan rencana-Nya.” Kata-kata ini kuucapkan dengan mantap, mengutip bagian dari buku itu. Kedua orang di depanku seperti terbius dan hanya mendengarkan dengan khidmat. Aku hampir tertawa melihat ekspresi serius mereka.
“Oke, poin keduanya ini soal pasangan hidupnya sendiri sih. Ehm… tahu nggak, soal pasangan hidup ini aku itu awalnya mengira kalau kita akan dipertemukan dengan jodoh kita pada waktunya nanti. Jadi kita—apalagi perempuan—tinggal menunggu saja, nanti bakal ada seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pasangan kita.”
“Terdengar sangat rohani, bukan?” candaku. “Pernah beranggapan kayak gitu nggak?” Mereka berdua serentak mengangguk.
“Nah, tapi nyatanya, kalau seseorang tiba-tiba datang ke depan pintu rumah kita dan berkata bahwa dia adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk menikahi kita, kira-kira apakah kita mau?” tanyaku, dengan sedikit tertawa. Mereka pun ikut tertawa.
“Kalo di buku ini, kita tidak menganggap bahwa Tuhan sudah memilihkan seseorang tertentu untuk kita. Seolah sejak lahir kita udah pasti akan menikah dengan seseorang yang sudah ditetapkan untuk kita, apapun yang terjadi. Jadi buku ini menggunakan istilah Solemate, bukan Soulmate,” jelasku.
Aku sengaja berhenti sejenak melihat tanggapan mereka. Dan mereka tampak antusias, menunggu aku melanjutkan. “Soulmate itu kan diartikan sebagai belahan jiwa, yang mana maksudnya ada seseorang di dunia ini yang pasti cocok, dan pasti bisa mengisi jiwa kita. Jadi kayak, kita ini setengah potongan, dan dia potongan yang lain, maka jika kita bersama kita akan menjadi satu bagian yang utuh. Padahal kalau di Alkitab ‘kan, kita bukan setengah ditambah setengah menjadi satu, tapi dua orang dipersatukan menjadi satu, gitu ‘kan?” kataku.
Alma dan Sisca mengangguk-angguk.
“Lalu kalau Solemate apa?” tanya Sisca.
Aku berdiam sesaat, mencoba mengingat. “Kalau Solemate, secara harfiah ‘kan sole itu berarti sol atau karet di bagian bawah sepatu. Jadi, kalau solemate itu yaitu seseorang yang akan berjalan bersama kita menjadi partner untuk mencari dahulu kerajaan Allah, sesuai dengan tujuan kita menikah tadi,” jawabku, lalu melanjutkan, “Dan pasangan seperti itu kita temukan, bukan dengan sendirinya datang kepada kita. Memang bukan dengan mencari-cari secara agresif, tapi mendoakan, menemukan dan memilih dengan sungguh-sungguh.”
“Kita pun jika ingin ditemukan, kita harus berdiri di tempat di mana kita bisa ditemukan. Contohnya dengan mengikuti persekutuan, pelayanan, atau komunitas dimana kita berharap akan mengenal dan menemukan seseorang yang memiliki tujuan yang sama.”
Kedua temanku itu masih serius mendengarkan. “Gimana? Sudah cukup dengan sharing session hari ini?” tanyaku bercanda. Mereka tertawa. Tapi, tampaknya mereka belum bosan dan justru menikmati percakapan ini.
“Aku jadi teringat deh sama sepupunya tetanggaku yang kemarin mau nikah. Masih cukup muda sih, tapi dia mantap buat menikah karena katanya dia yakin dia sudah bertemu dengan soulmatenya. Dia yakin setelah menikah dia akan menjadi pribadi yang lebih bahagia, tidak akan kesepian,” cerita Alma.
Aku tersenyum, mengingat sebuah kutipan. “Memang iya sih, ada hal-hal yang berubah dari seseorang yang sudah menikah. Dan, kita pun nggak mau langsung menghakimi keyakinan seperti itu kan.” Kemudian kulanjutkan, “Tapi ada satu kutipan dari buku ini yang membuatku tertawa saat membacanya. Menikah tidak akan membuat Anda menjadi orang yang berbahagia atau menjadikan Anda orang yang semakin dewasa; menikah hanya akan membuat Anda menjadi orang yang… sudah menikah.”
Lalu entah bagaimana kami tertawa bersamaan setelah itu.
“Nah guys, teorinya udah ada kan, tinggal prakteknya nih yang tidak semudah itu,” candaku, menutup topik pembicaraan kali ini.
“Iya, memang pasti nggak mudah sih menerapkannya ya walaupun kita sudah tahu teorinya. Untuk itulah aku membutuhkan kalian guys, dan persekutuan kita, supaya kita saling menolong untuk taat,” kata Sisca dengan pelan dan terdengar tulus setelah diam cukup lama.
Aku tersenyum, Alma juga. Kami saling bertatapan, menyetujui untuk saling mendoakan, menguatkan, dan mengingatkan untuk taat. Aku pun yang sedang menjalin hubungan juga sedang belajar taat untuk mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.
“Eh udah gelap nih, ayo nanti bazar makanannya keburu rame, kita nggak kebagian tempat kosong,” seru Alma tiba-tiba. Kami tertawa dan mengikuti tarikannya melangkah keluar.
***
“Wahai para lelaki dan perempuan, temukanlah seorang pasangan yang bersamanya Anda bisa mencari dahulu kerajaan Allah, yaitu seseorang yang menginspirasi Anda menjalani hidup saleh. Dan, ketika Anda berhasil melakukannya, “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
-The Sacred Search, Gary Thomas-
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥