Posts

Sedalam Apa Kamu (Mau) Membangun Cinta Bersamanya?

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Apa hal pertama yang terlintas di benak teman-teman ketika membicarakan tentang cinta? Biasanya, yang muncul pertama kali di benak kita adalah perasaan. Ya, topik seputar cinta (terutama ketika berada di seminar atau kelas yang membosankan) kerap kali menjadi “dopamin” ketika rasa ngantuk melanda. Disadari atau tidak, kita cenderung akan lebih antusias ketika topik pembicaraan beralih ke percintaan lawan jenis (hayo, benar enggak, wahai muda-mudi?)

Tidak heran jika cinta juga menjadi salah satu topik yang paling banyak dibahas dalam berbagai karya, baik secara lisan maupun tertulis. Iya, semudah itu kita excited ketika berbicara soal cinta, sampai-sampai ada sebuah pepatah populer yang familiar bagi kita:

Cinta itu kuat seperti maut.

Ungkapan yang tertulis dalam Kidung Agung 8:6 ini menggambarkan bahwa saking kuatnya, cinta seolah-olah memiliki daya tarik bagi manusia untuk berkorban bagi mewujudkan perasaan cintanya kepada pasangannya. Ketika sebuah relasi dimulai, perasaan cinta yang “kuat seperti maut” juga seakan-akan menggiring pada imajinasi bahwa kita dapat memberikan “diri sendiri” kepada orang yang dikasihi. Perasaan menggebu-gebu ini seolah-olah divalidasi oleh ajaran-ajaran tentang pengorbanan Yesus Kristus, sang Anak Allah yang mati di atas kayu salib (Yohanes 3:16, Filipi 2:5-8). Kita merasa bisa menjadi “Kristus kecil” setidaknya bagi orang yang kita cintai itu. Namun, tulisan ini tidak berhenti pada “cinta yang kuat seperti maut”, melainkan melampauinya dengan “cinta yang membangun kehidupan”.

“Loh, bukannya cinta hingga rela mati itu lebih besar, ya, dibandingkan cinta selama masih hidup? Kan, Tuhan Yesus rela membuktikan cinta-Nya bagi kita sampai mati di atas kayu salib.”

Betul, tetapi menurut Paulus, kasih melampaui yang namanya kematian. Paulus menjelaskannya dalam 1 Korintus 13:3:

Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.

“Seheroik” apa pun anggapan kita terhadap tindakan yang kita (atau pasangan) lakukan dalam relasi, maknanya akan sia-sia tanpa kasih di dalamnya. Nah, kasih yang sejati digambarkan oleh Paulus dalam dan Yohanes demikian:

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. 𑁋1 Korintus 13:4-7

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. 𑁋1 Yohanes 4:7-8, 10

So what? Bagiku dan pasanganku, tantangan terbesar bagi kami bukanlah mewujudkan “cinta hingga mati” melainkan membangun cinta di dalam Allah. Jika Kristus hanya mati untuk kami, maka sia-sia pengorbanan-Nya. Namun, Ia bangkit, naik ke surga, dan akan datang kedua kalinya untuk menggenapi janji keselamatan kekal manusia. Karena itulah, relasi kami sesungguhnya adalah wujud nyata bagaimana Kristus menyucikan dan menguduskan hidup kami.

“Ah, kok holy banget, sih. Skip, ah.”

Tunggu, tunggu. Kami juga manusia biasa yang juga punya drama dalam relasi, teman-teman 🤣 Anyway, poin di atas adalah prinsip yang perlu kita terus perjuangkan dalam membangun relasi; bukan hanya dalam percintaan, tetapi juga bentuk kasih kita kepada setiap orang yang kita jumpai. Jadi, prinsip Alkitabiah ini bersifat umum, ya. Nah, sekarang, izinkan kami membagikan sisi psikologis dari pengalaman kami dalam membangun relasi.

1. Berani terbuka pada kerapuhan diri tidak menjamin bisa mendekatkan satu sama lain

Dalam sebuah relasi, makin terbuka pada diri sebenarnya membuka kesempatan untuk melihat sisi lain kehidupan pasangan maupun diri sendiri. Idealnya demikian, kan? Melalui keterbukaan pada kerapuhan diri, kita lebih peka pada kebutuhan emosi dan menyampaikannya secara tepat pada pasangan. Aku belajar cukup banyak dalam berelasi dengan pasanganku, karena sebelumnya aku belum sepenuhnya menyadari bahwa aku punya isu parentless yang cukup mendistorsi konsep relasi yang aku miliki. Uniknya (dan kami percaya ini tidak lepas dari belas kasihan Tuhan), kami sudah mulai bisa memperkenalkan kerapuhan diri masing-masing sejak dia mendekatiku.

By the way, berikut beberapa poin kerapuhan diri yang kami buka dalam proses pendekatan (PDKT), termasuk setelah kami mulai berpacaran:

a. Pola asuh dalam keluarga, karena hadir atau absennya orang tua punya andil besar dalam membentuk kami jadi pribadi yang sekarang
b. Pelajaran dari relasi di masa lalu
c. Sisi kepribadian kami yang bisa jadi bibit konflik dalam relasi
d. Trauma maupun pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan di masa lalu

“Kapan kita bisa mulai membuka kerapuhan diri ke (calon) pasangan?”

Tergantung kesiapan keduanya, dan kesiapan ini pun dipengaruhi oleh banyak hal. Dari pengalaman kami, proses perkuliahan dan konseling pribadi dari kampus yang sama menolong kami untuk memiliki kesiapan dalam membuka kerapuhan diri, serta peka pada kerapuhan orang lain. Namun, kita juga perlu waspada agar tidak segera mengizinkan (calon) pasangan mengenali kerapuhan kita jika belum ada kepercayaan (trust) di antara kedua pihak.

Mengapa? Karena kerapuhan kita bisa menjadi “keuntungan” baginya. Tentunya kita tidak ingin kerapuhan kita menjadi sesuatu yang “dieksploitasi” orang lain, kan? Itulah sebabnya kita perlu belajar membuka diri setahap demi setahap. Kalau kita maupun (calon) pasangan memiliki “tembok” yang terlalu tinggi dalam relasi, kita perlu mempertanyakan ulang keputusan untuk berelasi dengannya. Yesh, ada risiko-risiko yang perlu diambil ketika berelasi dengan orang lain, karena itulah Pdt. Wahyu Pramudya pernah mengungkapkan, “Mencintai hanya untuk pemberani.” Dibutuhkan keberanian untuk merapuh, terluka, dan kembali merajut cinta.

2. Relasi membutuhkan komunikasi yang terus-menerus dilatih

Poin pertama tadi berkaitan dengan poin ini. Yesh, tanpa ada komunikasi yang dilatih, kita tidak akan terbiasa untuk mengembangkan relasi yang terbuka satu sama lain. Nah, relasi yang terbuka membutuhkan kepercayaan dan empati, dan untuk menumbuhkannya membutuhkan waktu dan kesiapan hati kedua pihak.

Mungkin teman-teman sering membaca atau mendengarkan pernyataan serupa dari berbagai sumber yang membahas tentang relasi. Kenyataannya, belajar berkomunikasi dengan pasangan tidaklah semudah yang kita harapkan: kita dan pasangan saling tahu apa yang kita maksudkan tanpa banyak ba-bi-bu, dan bisa saling peka dengan tiap kodenya secara langsung.

Aku𑁋yang telah belajar psikologi dan konseling𑁋pun tidak luput dari kesulitan ini. Ada kalanya aku melukai pasangan dengan pernyataan yang kurang tepat, meskipun aku tidak bermaksud melakukannya. Begitu pula dengannya yang juga perlu terus belajar memberikan validasi emosiku. Namun, di situlah kami akhirnya menyadari bahwa komunikasi adalah seni yang dipengaruhi oleh banyak warna dari kehidupan kami. Warna itu berasal dari perlakuan orang tua kami (kalau bisa bertemu dengan orang tua masing-masing, itu akan menolong pengenalan kita terhadap pasangan menjadi lebih utuh), tempat asal yang berbeda, pengalaman dari relasi sebelumnya, maupun pergaulan yang dimiliki memengaruhi kepribadian, cara pandang, dan bentuk komunikasi kami.

Perbedaan-perbedaan ini ada kalanya memicu konflik, sehingga kami (melalui konseling pasangan) belajar untuk mengembangkan pola I-statement dalam berkomunikasi. I-statement ini menolong kita untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran berdasarkan sudut pandang kita; berbeda dari you-statement yang menitikberatkan konflik pada orang lain. Contohnya seperti ini:

I-statement: “Ken, kamu kelihatan enjoy, ya, sama game-nya, tapi aku merasa enggak diperhatiin waktu kamu dengerin ceritaku sambil bermain game.”

You-statement: “Kamu bener-bener, ya, nggak perhatian sama sekali!

Dalam komunikasi, kata “tidak … sama sekali”, “tidak pernah”, dan “selalu” perlu kita waspadai𑁋khususnya saat menghadapi konflik. Rasanya tidak menyenangkan, ya, ketika kita sudah mencoba berusaha memperbaiki diri, tetapi mendapatkan respons yang bernada kamu-enggak-pernah-berusaha-berubah. Tidak heran kalau sebuah konflik bisa menjadi “bom waktu”, belum lagi pengaruh dari pembelajaran kita terhadap pola komunikasi antara ayah dan ibu kita (baik-buruknya mereka pun kita pelajari sejak kecil secara sadar maupun tidak).

Ada kalanya membangun komunikasi yang sehat bersama (calon) pasangan itu tidak mudah. Namun, ketika kita berinisiatif belajar untuk mengembangkan komunikasi bersamanya, jalan itu terbuka lebar, kok. Teman-teman bisa mencari permainan yang mendorong pertanyaan bermunculan seperti yang ada di sini.

3. Yuk, konseling!

Dua poin di atas kami pelajari bersama melalui interaksi sehari-hari kami, termasuk dalam proses konseling pasangan yang sedang kami jalani. By the way, konseling pasangan ini berbeda dari bina pranikah di gereja, ya 😂 Kalau bina pranikah biasanya membahas tentang persiapan sebelum memasuki pernikahan (termasuk mempelajari pernikahan dari sudut pandang teologi, hukum, dan kesehatan keluarga), konseling pasangan adalah salah satu cara kami untuk saling mengenal diri (dibantu konselor tentunya, karena kadang-kadang kami mengalami stuck kalau sedang berkonflik). Selain itu, di dalam konseling, ada alat tes yang menolong kami untuk mengenali bibit-bibit konflik yang bisa muncul ketika ada pemicunya.

“Yah, tapi kalau konseling kayak gitu bayar, kan?”

Nah, kalau soal ini, silakan tanyakan pada lembaga konseling terdekat, ya. Teman-teman bisa juga hubungi beberapa layanan konseling di akhir artikel ini untuk informasi lebih lanjut.

Relasi kami memiliki lika-likunya masing-masing, begitu pula dengan teman-teman yang sedang menjalin relasi dengan kekasih hati. Yesh, tiap relasi itu unik adanya dan demikianlah Tuhan pun menciptakan manusia. Tiga poin di atas juga hanya sepersekian dari pembelajaran yang kami dapatkan selama berelasi. Namun, poin yang paling penting adalah kita memerlukan hikmat dan anugerah Tuhan dalam berproses menjadi pribadi yang dipulihkan untuk membangun relasi yang sehat. Keduanya hanya dapat dialami ketika kita dan (calon) pasangan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan, sehingga perlahan-lahan kita𑁋dengan tuntunan Roh Kudus𑁋dimampukan untuk mengasah kepekaan rohani dalam merajut kisah kasih bersama-Nya. Jadi, mohon doanya juga, ya, teman-teman, agar kami terus bertumbuh makin serupa Kristus melalui relasi ini.

Kiranya setiap pertumbuhan dan pengenalan diri yang disingkapkan membawa kita makin mengagumi dan memuliakan Tuhan yang berkarya melalui relasi kita. Selamat membangun cinta di dalam anugerah Sang Kasih!

Beberapa list lembaga konseling (silakan ditambahkan oleh teman-teman, ya)
1. Lifespring Counseling and Care Center
2. Gading Counseling & Empowerment Center
3. HOPE Counseling Center
4. Konseling Kristen (by hotline)
5. PERHATI Counseling & Care Center

Bacaan lebih lanjut:

Rogers, Shane L., Jill Howieson, dan Casey Neame, “I understand you feel that way, but I feel this way: the benefits of I-language and communicating perspective during conflict,” PeerJ (2018), 1-13.

Tsai, George, “Vulnerability in intimate relationships,” The Southern Journal of Philosophy 54 (2016), 166-182.

***

Terima kasih pada Kenny Tjhin yang menolongku menuliskan sudut pandang teologi tentang “cinta yang kuat seperti maut”. I thank God for you.

 

Hati-hati dengan Hal-hal yang Merusak Pertemanan

Teman itu bukan sekadar status. Bersama mereka, kita berbagi berbagai hal dan rasa. Kita butuh teman untuk curhat, makan bareng, bikin project, juga berbagi suka dan duka.

Namun, tak semua pertemanan berjalan mulus dan langgeng. Ada hal-hal yang jika tidak kita sadari dan atasi akan berpotensi merusak pertemanan kita.

Bagaimana relasimu dengan teman-temanmu? Hal-hal apa saja yang menurutmu penting dilakukan untuk menjadikan pertemananmu sehat dan bertumbuh?

Artspace ini dibuat oleh @clara_draws18 dan diterjemahkan dari @ymi_today

Tipe Teman yang Kita Semua Inginkan Hadir dalam Hidup [dan tips dari Alkitab]

Kisah-kisah pertemanan adalah kisah yang turut hadir dalam Alkitab.

Pada banyak kesempatan, kata ‘teman’ digunakan bersamaan dengan kata ‘saudara’ untuk menunjukkan kedekatan. Bahkan, Tuhan sendiri disebut sebagai teman bagi Abraham, Musa, Yakub, dan orang-orang yang mengikut-Nya (Mazmur 25:14 terjemahan ESV).

Kita semua ingin punya teman yang baik, dan kita pun sudah selayaknya dan seharusnya jadi teman yang baik pula.

Inilah 5 tokoh Alkitab yang dari mereka kita bisa belajar untuk menjadi kawan yang baik.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI.Today dan didesain oleh @merrakisstart

4 Pertanyaan Penting Sebelum Memulai Hubungan yang Serius

Oleh Sarah Tso
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Questions To Ask Yourself Before Embarking On A Relationship

Pernikahan adalah sesuatu yang aku inginkan sedari kecil, semenjak aku melihat dan mempelajari dari kedua orang tuaku tentang apa rasanya berada dalam pernikahan. Cinta dan komitmen mereka, begitu pula stabilitas dari pernikahan yang berpusat pada Tuhan yang mereka bawa ke dalam rumah tangga—kemampuan mengasihi, menerima, dan tidak mementingkan diri sendiri—merupakan hal-hal yang aku kagumi. Memang, tidak ada keluarga atau pernikahan yang sempurna, tetapi usaha untuk mengasihi dan melayani satu sama lain bersama Tuhan telah memungkinkan adanya pengampunan dan rekonsiliasi.

Harus kuakui bahwa tahun-tahunku melajang (bukan karena pilihan) nyatanya cukup sulit aku jalani. Dari masa remaja hingga dewasa muda, aku yakin kalau ada sesuatu yang ‘salah’ denganku sehingga aku tidak dateable. Aku sempat berpikir mungkin itu karena diriku yang terlalu atletis, terlalu intelek, atau bahkan terlalu serius dengan imanku.

Syukurnya, aku bukan seorang ahli dalam pernikahan—tetapi Tuhan-lah ahlinya. Lagi pula, pernikahan kan ide-Nya. Aku bersyukur atas semua saran dan dukungan doa dari mentor dan teman-teman rohaniku—untuk tidak puas dengan kualitas yang belum ideal, untuk jadi lebih spesifik dalam mendoakan seorang pasangan, untuk terus mengingat bahwa Tuhan mengasihiku dan mengetahui hasratku untuk menikah, dan untuk percaya pada waktu dan ketentuan Tuhan.

Dalam waktuku melajang, ada banyak hal yang aku tanyakan mengenai diriku. Kini ketika aku sudah memasuki hubungan romantis untuk pertama kalinya, aku bersyukur telah menunggu dan meluangkan waktu untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini.

1. Apa tujuanku dalam menjalin hubungan?

Awalnya aku menginginkan hubungan romantis dan pernikahan untuk merasa “normal” di kalangan teman sebayaku, sekaligus supaya aku mendapat perhatian dan kasih sayang yang istimewa. Namun pada akhirnya aku sadar bahwa tujuan tersebut sangatlah remeh di mata Tuhan.

Dalam sebuah serial khotbah tentang pernikahan, Timothy Keller mengatakan bahwa tujuan utama dari pernikahan duniawi adalah untuk membawa pemurnian rohani—sehingga pasangan suami istri dapat membantu satu sama lain untuk jadi semakin serupa dengan Kristus, sampai hari mereka masuk ke surga tiba.

Dengan pertolongan dari pernyataan itu—dan beberapa rekomendasi buku, khotbah, dan podcast tentang kencan dan pernikahan—aku pun mulai mendefinisikan ulang tujuan pribadiku dalam menjalin hubungan:

  • Untuk mengasihi dan melayani Tuhan lebih sungguh bersama-sama—walaupun aku sedang melayani Tuhan sekarang, hal itu harus diperkuat seiring aku dan calon suamiku bekerja berdampingan untuk Kerajaan Allah.
  • Untuk mengenali sisi lain dari Yesus. Aku telah mengenal Yesus sebagai Teman dan Tuhan sebagai Bapa. Sebagian diriku ingin mengenal-Nya sebagai Mempelai, sehingga pernikahan duniawi-ku dapat menjadi bayangan atas persatuan Kristus dan Pengantin-Nya, Gereja.

Akankah pernikahan duniawiku mendekatkan atau menjauhkanku dari tujuan Tuhan untuk hidupku (dan hidup pasanganku) dalam terang Kerajaan-Nya? Semua yang tidak mengarah pada tujuan Tuhan rasanya bukanlah yang terbaik bagi pernikahan.

2. Maukah aku mengencani diriku sendiri?

Seiring aku berdoa kepada Tuhan untuk calon pasangan hidupku, aku menemukan bahwa beberapa ciri dalam ‘daftar’ kriteriaku ternyata tetap konsisten selama bertahun-tahun, dalam hal:

  • Iman: memiliki hubungan personal yang aktif dengan Tuhan, mengetahui tujuan hidupnya, dan mampu menjadi pemimpin rohani untuk keluarga.
  • Sosial: Lucu, pendengar yang baik, bisa mengobrol dalam percakapan, jujur dalam kesaksian, menghormati dan peduli pada keluarganya.
  • Kesehatan emosi: Mau diajar dan memiliki kepercayaan diri.
  • Kesehatan intelektual: Memiliki mindset untuk bertumbuh.
  • Tekun dalam merawat kesehatan fisik dan penampilan.

Suatu hari, ketika sedang mendoakan daftar ini dalam waktu teduh, aku merasa Tuhan mencelikkan hatiku dengan bertanya, “Bagaimana denganmu? Apakah kamu juga sudah sesuai dengan kriteriamu sendiri?” Pertanyaan ini menohokku. Akupun mulai memakai daftar kriteria tadi sebagai cermin untuk diriku sendiri—”Apakah aku punya hubungan yang aktif dengan Tuhan? Apakah aku menghormati dan peduli pada keluargaku? Apakah aku mau diajar dan jujur dalam kesaksianku?”

Sampai saat itu, aku pikir bahwa hidup baru akan dimulai ketika aku mulai berkencan dan berjalan mengarah pada pernikahan. Tapi, siapa yang ingin menjalin hubungan denganku kalau aku masih menunggu orang lain untuk ‘mengawali’ hidupku?

Dan jika calon suamiku memiliki kualitas-kualitas ini, bukankah ia juga seharusnya mencari kualitas yang sama dalam calon istrinya?

Pada hari itu aku berdoa, “Tuhan, aku nggak mau lagi pakai standar ganda. Engkau yang telah memberiku hasrat untuk kualitas-kualitas tertentu pada calon pasangan hidupku. Tolong bentuk aku untuk menjadi wanita dengan kualitas seperti yang Kau inginkan aku miliki. Kiranya Engkau tidak membiarkanku mengharapkan orang lain apa yang tidak aku harapkan pada diriku sendiri.”

3. Apakah aku punya ruang untuk hubungan yang serius di dalam hidupku saat ini?

Untuk mengukurnya, aku merenungkan hal ini: jika aku akan menikah dalam waktu dekat, apakah aku akan siap—secara praktis, emosional, spiritual, dan finansial—dalam segala hal yang diperlukan untuk pernikahan?

Itu adalah pertanyaan yang menakutkan, tetapi aku tahu kalau memiliki seseorang signifikan dalam hidupku (dan sebaliknya) akan membutuhkan kerjasama dan kompromi. Berikut adalah hal yang aku harus pikirkan:

  • Secara spiritual, apakah aku semakin konsisten dalam waktu teduhku bersama Tuhan, dan dalam membiarkan-Nya menghancurkan pola pikiran dan kebiasaan burukku? Apakah aku sudah berakar dalam komunitas rohani yang kuat untuk bertanggung jawab membangun imanku?
  • Secara praktik, apakah jadwal dan kesibukan yang aku miliki memungkinkanku untuk menghabiskan waktu bersama calon suamiku secara rutin?
  • Secara sosial dan emosional, apakah aku sudah mempunyai keterbukaan dan kedewasaan untuk menceritakan tentang diriku secara jujur? Apakah aku sudah siap untuk mendengar tentang hidup orang lain secara rutin—tentang sukacita dan pergumulannya?
  • Secara finansial, apakah aku sudah siap untuk menanggung biaya acara pernikahan dan rumah? Apakah aku sudah siap untuk membicarakan tentang bagaimana mengatur keuangan bersama?
  • Dalam hal kesehatan, apakah aku sudah puas dengan cara makan, olahraga, dan waktu tidurku?

Melihat ke belakang, aku bersyukur atas waktu Tuhan yang sempurna karena Ia telah membentuk hatiku—menghancurkan tembok, keterikatanku pada dosa, dan kebiasaanku mengeluh, yang bisa saja membahayakan relasiku jika saja aku mulai berkencan lebih awal.

4. Apakah aku mengidolakan romansa dan pernikahan?

Pada masa aku kuliah, dalam sebuah acara persekutuan, seorang pengkhotbah membagikan kepada kami tentang perjalanannya menuju pernikahan. Ia mengatakan bahwa sangat memungkinkan kalau ia kehilangan istrinya (yang pada saat itu sedang hamil anak pertama) dalam sebuah kecelakaan kapan saja.

Jika hal itu itu terjadi, ia bertanya-tanya apakah ia akan marah kepada Tuhan dan berhenti percaya kepada-Nya. Ia kemudian sadar bahwa istrinya dan anak dalam kandungannya adalah pertama-tama milik Tuhan, dan Tuhan sebenarnya tidak berutang kepada mereka untuk memberikan ‘hidup bahagia selamanya’ yang mungkin selama ini kita harapkan.

Ini mengingatkanku pada ayat, “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21b). Aku terdorong oleh pesan dari pengkhotbah tadi, dan aku jadi berpikir, bisakah aku berpandangan seperti itu bersama pacarku sekarang?

Kurang dari sebulan setelah artikelku tentang menerima berkat dari masa-masa lajang diterbitkan, pacarku yang sekarang datang di hidupku. Kini sudah hampir setahun setelah kami menjalin hubungan, dan aku mengucap syukur kepada Tuhan setiap hari karena kehadirannya dan bagaimana Tuhan telah memakai dia dalam mendalami imanku, menajamkan keahlian hidupku, dan menumbuhkan mimpi-mimpi kreatif kami.

Namun, terkadang aku masih merasa kurang utuh ketika aku melihat teman-teman sebayaku menikah dan seakan “move on” dalam kehidupan mereka, sementara aku masih di sini-sini saja. Tetapi aku kemudian sadar bahwa aku sedang menggantungkan semua pengharapan dan impianku pada sesama manusia berdosa, seakan mengharapkan dia untuk “menyelamatkan” diriku dari kehidupan yang “kurang”, sekaligus membuatku merasa utuh.

Tuhan tahu betul bagaimana aku sudah menunggu lama dan menjaga diriku tetap murni. Tetapi, jika pacarku meninggalkanku, apakah aku akan menyalahkan Tuhan? Padahal Tuhan tidak berutang untuk memberiku seorang pacar atau suami. Tuhan pun tidak berutang agar Ia menebus kita. Semua itu dilakukan-Nya hanya karena kasih karunia-Nya. Jika Tuhan memandang baik untuk aku menikah, maka jadilah kehendak-Nya. Jika Tuhan memandang baik untuk aku melajang, maka jadilah kehendak-Nya. Tuhan tahu yang terbaik dan jalan-jalan-Nya lebih hebat dan lebih tinggi dari jalanku.

Menjalin hubungan romantis memang bisa mengasyikkan sekaligus menegangkan. Setiap hari aku pun belajar apa artinya mengasihi dan dikasihi oleh pacarku. Pada saat yang sama, aku yakin kalau selama kita menetapkan fokus kita kepada Tuhan dan tetap tertanam dalam suatu komunitas rohani, sebuah hubungan romantis yang menuju pernikahan dapat menjadi relasi yang tetap memuliakan Tuhan dan membentuk kita menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Baca Juga:

5 Hal untuk Direnungkan Ketika Iri dengan Privilese Orang Lain

Pada masa-masa aku mulai menyerah karena merasakan privilese terbatas, ada beberapa hal terkait privilese yang kurenungkan dan mulai kutemukan jawabannya ketika aku membaca Alkitab.

Berdamai dengan Keluarga, Mengampuni Masa Lalu

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Keinginan untuk kabur dari rumah. Berseteru. Berteriak. Berkonflik.

Hal-hal di atas sering sekali terjadi ketika aku berseteru dengan orang tuaku, khususnya di masa-masa pandemi ini. Masalah demi masalah seperti silih berganti tak kunjung habis hingga membuatku lelah berada di rumah. Sayangnya, keberadaan virus COVID-19 ini justru membuatku harus berada di rumah.

Ada satu momen berkonflik di mana aku mengakui kepahitan masa laluku terhadap mereka. Aku tumbuh besar dalam didikan yang cukup dikekang. Di masa-masa sekolah, aku mengalami cukup banyak pembatasan dalam mengikuti aktivitas-aktivitas yang kusenangi. Alasannya adalah mereka khawatir aku terserang penyakit asma—yang memang kumiliki sejak kecil—dan khawatir akan bahaya yang menyerangku di luar rumah (misal: penjahat, penculikan, dan lain-lain).

Memasuki masa perkuliahan hingga bekerja, pembatasan itu memang sudah semakin longgar. Namun, satu hal yang masih membuatku risih adalah ketika aku masih sering ditanya, “Belum pulang?” ketika aku memang masih di kampus atau kantor karena urusan tertentu hingga jam 8 malam lewat. Aku paham bahwa mereka peduli dan khawatir dengan keberadaanku. Namun, kekhawatiran mereka justru membuatku jadi khawatir juga. Bagiku, ini jenis kekhawatiran yang akhirnya tidak sehat karena aku jadi merasa terkekang dan tidak bisa belajar menjaga diriku sendiri.

Berkali-kali aku memaksa diriku sendiri untuk mengerti realita ini. Berkali-kali aku mengajarkan diriku untuk bersyukur bahwa aku masih memiliki orang tua yang lengkap. Berkali-kali aku mengingatkan diriku sendiri bahwa banyak teman-temanku yang rindu bisa bersama dengan kedua orang tua mereka (beberapa dari mereka ada yang mengalami broken-home, ada yang ditinggal selamanya karena maut, bahkan ada pula yang sedari kecil tidak tahu siapa orang tua kandungnya). Aku terus mendoktrin diriku sendiri untuk selalu bersyukur, bersyukur, bersyukur.

Namun, upayaku untuk memahami realita ternyata tidak semudah itu, terlebih ketika kembali diperhadapkan dengan kekhawatiran orang tua padaku. Seberapapun kuatnya usaha diriku untuk bersyukur, tapi aku tidak bisa. Kekhawatiran mereka yang berlebihan sungguh membuat aku makin merasa terkekang bahkan hingga dewasa.

Februari 2021, adalah momen di mana aku mencapai titik lelah dan jenuh luar biasa akibat hal tersebut. Berawal dari aku yang kesal dengan mereka lantaran ditanya, “Masih di kantor?”, “Sudah jalan pulang?” ketika jam di kantor menunjukkan pukul 8 malam dan aku masih menyantap semangkuk mi ayam karena aku lapar. Dalam emosiku saat itu, muncullah pikiran-pikiran negatif yang sebenarnya tidak esensial: apakah aku harus memberitahu mereka kalau aku lagi makan mi ayam? Kenapa sih jam segini udah ditanyain? Harus update banget setiap detik ya? Mau sampe kapan sih dikekang kayak gini terus?

Akhirnya aku pulang dengan rasa kesal dan memutuskan untuk lebih banyak diam. Menjadi ciri khas dari diriku bahwa jika aku diam, berarti aku sedang kesal luar biasa—mengingat biasanya sehari-hari aku lebih banyak ceria dan bercanda. Aku masih tidak mau bicara dengan siapapun di rumah karena masih kesal, hingga keesokan harinya.

Momen rekonsiliasi

Menyadari bahwa sikap diamku tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, akhirnya aku ungkapkan secara jujur apa yang kurasakan pada mereka. Singkat cerita, ternyata kami malah terlibat adu mulut. Emosi masing-masing pribadi pun tak tertahankan lagi. Hingga aku tiba pada detik di mana aku mengeluarkan satu kata makian—yang sebenarnya diperuntukkan untuk memaki diriku sendiri yang merasa gagal jadi seorang anak—namun ternyata kata itu melukai hati mereka. Konflik pun makin memuncak. Orang tuaku marah-marah, dan aku berteriak saking muaknya. Sungguh sebuah keadaan yang sama sekali tidak diinginkan olehku.

Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya hidup terlalu berat dan aku berharap saat itu lebih baik aku tak sadarkan diri saja saking tidak kuatnya menghadapi situasi tersebut. Dalam keadaan kalut, aku hanya bisa berdoa; meminta tolong pada Tuhan dan menanyakan apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa berserah pada keadaan.

Apa yang selanjutnya terjadi?

Setelah kami menenangkan diri masing-masing sekitar kurang lebih 20 menit, ayahku membuka percakapan dengan lebih tenang. Ayah dan ibuku meminta maaf padaku karena mereka terlalu mengekang aku sewaktu kecil. Mereka juga meminta maaf karena sering khawatir berlebihan ketika aku berada terpisah dengan mereka. Di situ aku pun meminta maaf karena telah berkata kasar dan menyinggung hati mereka. Setelah itu, kami berdoa bersama meminta pertolongan dan penyertaan Tuhan di dalam keluarga kami saat menjalani kehidupan hari demi hari.

Kisah ini adalah salah satu dari sekian banyak kisah perseteruan lainnya di mana aku belajar untuk mengampuni masa lalu, khususnya bersama orang tuaku. Apakah setelah konflik ini semuanya selalu baik-baik saja? Tentu tidak. Relasi dalam keluarga kami masih terus diuji dan ditempa. Namun, aku percaya bahwa kita semua mengalami pertumbuhan karakter melalui relasi dalam keluarga; sebesar apapun konflik yang pernah muncul, dan seberapa sakitnya penderitaan yang kami rasakan di dalamnya. Di sini aku mengingat lagi apa yang Tuhan katakan di dalam Keluaran 20:12, “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.”

Apakah mudah? Tidak. Aku mengakui pada Tuhan bahwa aku tak sanggup menjalankan Firman-Nya yang ini, terlebih ketika berada di masa-masa sulit. Namun, ketidaksanggupan itu bukan menjadi alasanku untuk tidak taat. Jika aku bersandar pada pengertian dan kekuatanku sendiri sebagai manusia, tentu aku tidak mampu untuk mengasihi mereka. Naluriku yang berdosa ialah membantah dan membangkang terhadap mereka. Tetapi, satu hal yang menarik bagi kita orang Kristen ialah: kita mampu mengasihi orang lain karena Allah telah lebih dulu mengasihi kita. Pada akhirnya, aku memang butuh Tuhan untuk bisa mengasihi kedua orang tuaku apa adanya, dan di situasi apapun.

Kasih itulah yang mendorongku untuk jujur dan terbuka kepada mereka. Tapi, untuk melakukannya memang butuh keberanian dan penuh risiko. Memberi pengampunan pun membutuhkan kebesaran hati. Hal-hal ini tentu tidak bisa kulakukan sendiri dengan kemampuan manusiawiku. Butuh Tangan Yang Lebih Besar yang sanggup memberiku keberanian untuk jujur, terbuka, mengampuni, serta mengasihi keluargaku dalam relasi yang penuh lika-liku.

Mungkin konteks ceritaku berbeda dengan apa yang teman-teman alami. Mungkin banyak dari kita yang bahkan tidak bisa lagi melihat kedua orang tua secara utuh—atau bahkan tidak sama sekali. Kita tentu punya pergumulan yang berbeda satu sama lain di dalam keluarga. Namun, aku yakin satu hal yang pasti: siapapun yang Tuhan tempatkan menjadi keluarga kita adalah anugerah terbaik dari-Nya. Jaga relasi itu. Minta tolong pada Allah untuk diberikan keberanian menghadapi konflik yang muncul, dan minta juga pada-Nya supaya kita dimampukan untuk menjaga relasi dengan keluarga kita. Kita juga bisa berdoa pada Tuhan agar diberi kemampuan untuk mengampuni masa lalu bersama keluarga yang mungkin telah membelenggu dan membuat kita sulit untuk melangkah maju ke depan.

Ada satu lagu tentang doa yang sering aku dengar dan nyanyikan ketika tengah bergumul dalam persoalan keluarga. Judulnya “Doa Mengubah Segala Sesuatu”. Ketika aku sulit berdoa karena bingung dan pusing dengan situasi konflik yang terjadi, kadang aku hanya mendengarkan lagu ini dan menyanyikannya dalam hati sebagai doa pribadi:

Saat keadaan sek’lilingku ada di luar kemampuanku
Ku berdiam diri mencari-Mu
Doa mengubah segala sesuatu
Saat kenyataan di depanku mengecewakan perasaanku
Ku menutup mata memandang-Mu
S’bab doa mengubah segala sesuatu

Doa orang benar bila didoakan dengan yakin besar kuasanya
Dan tiap doa yang lahir dari iman berkuasa menyelamatkan

S’perti mata air di tangan-Mu mengalir ke manapun Kau mau
Tiada yang mustahil di mata-Mu
Doa mengubah segala sesuatu

Baca Juga:

Self-love yang Selfless untuk Mengasihi Sesama

Self-love artinya mencintai diri sendiri, tetapi bukan berarti memenuhi diri dengan segala keinginan. Mengapa self-love penting? Bukankah kita diminta untuk mengasihi orang lain?

Yuk temukan jawabannya di artikel pertama dari seri Lika-liku dalam Relasi yang ditulis oleh Meista.

Salah Kaprah Tentang Kasih

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Aku pernah jatuh cinta dan begitu mengasihi seseorang. Dia seolah-olah menjadi matahari, pusat dan sumber benderang di tata surya. Lalu, aku memosisikan diriku seperti planet bumi. Tak terlalu jauh, juga tak terlalu dekat. Jika posisi bumi tidak presisi dari matahari, maka pasti kehidupan tak akan ada. Bumi bisa terlampau panas atau dingin. Jika posisi bumi terlalu jauh dari matahari, maka takkan ada kehidupan yang mampu bertahan, kupikir seperti planet Uranus. Sejauh pengamatan para ilmuwan dan bukti-bukti sains, di sana hanya ada es dan bebatuan yang dilapisi lagi oleh es.

Namun…ada suatu masa dalam hidupku ketika aku tidak lagi menjadi seperti bumi yang punya jarak presisi, yang dapat melihat dan merasakan matahari. Aku berubah menjadi seperti planet Uranus yang jauh. Semuanya tandus dan dingin. Lalu, kupaksakan diriku untuk menjadi planet Merkurius. Tapi, jaraknya terlalu dekat. Tak ada apa pun yang bisa hidup karena tiada air dan udara yang terlampau panas.

Kisah di atas adalah analogi keadaanku saat aku tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber utama kehidupanku. Relasi yang dimulai dengan hangat dan karib dilanda dengan kekecewaan yang mendalam. Lalu muncullah trust-issue—seolah-olah kekecewaan itu akan terus menghantuiku selamanya, sehingga rasanya aku tak perlu lagi untuk mengasihi orang lain. Aku lantas mengagungkan diriku sendiri dengan menyatakan kalau di dunia ini tidak ada ketulusan selain ketulusan milik diriku sendiriku. Kemudian aku pun menutup diri untuk orang lain, dan membiarkan hatiku yang hancur tidak diobati.

Momen-momen kelam itu mengingatkanku akan perkataan dari St. Agustinus. Kala itu, Agustinus menggambarkan kesedihan karena kematian temannya, Nebridius (buku Confessions IV, halaman 10). Katanya, ‘inilah akibat memberikan hati kita kepada sesuatu atau seseorang selain Allah. Semua manusia akan mati. Jangan biarkan kebahagiaan Anda bergantung pada sesuatu yang dapat hilang dari Anda. Jika cinta itu suatu berkat—bukan penderitaan—ia harus ditujukan kepada satu-satunya Kekasih yang tidak akan pernah mati’ (dikutip dalam buku C.S Lewis, The Four Loves).

Mungkin dari situlah muncul kutipan terkenal, Don’t let your happiness depends on something you may lose. Tapi, jika kita ‘tidak perlu mengasihi’ orang lain dan hanya mengasihi Dia saja, apakah kita tidak akan merasakan sakit hati lagi? Tidak. Bukan itu yang Kristus harapkan pada kita. Mengasihi Allah bukan berarti abai dalam mengasihi sesama. Ketika kita mengasihi, itu berarti kita siap menanggung akibatnya. Kasihilah sesuatu atau seseorang, ada kemungkinan kita akan terluka atau sakit hati. Sengaja atau tidak sengaja, bisa saja seseorang melukai kita. Namun, CS. Lewis mengatakan dalam bukunya, ‘satu-satunya tempat di luar Sorga di mana kita dapat benar-benar merasa aman dari semua bahaya dan gangguan ‘kasih’ adalah neraka.’

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Matius 5:43-33, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Kita akan lebih mendekat dan menempel pada Allah (Abide in Him) bukan dengan berusaha menghindari setiap penderitaan yang akan terjadi akibat dari mengasihi, melainkan dengan cara menerima semua penderitaan akibat kasih, lalu menyerahkan penderitaan itu kepada Dia dan melepaskan semua kecintaan diri yang berlebih. Sebab, “Jika hati kita harus hancur, dan jika Dia telah menentukannya harus demikian, jadilah demikian” (C.s Lewis, The Four Loves).

Tuhan memang tidak pernah mengatakan dalam Alkitab secara spesifik kepada kita bagaimana cara membagikan kasih kita. Entah itu 50 untuk Tuhan, lalu 50 untuk yang lainnya. Atau mungkin 80 untuk Tuhan, lalu 20 untuk manusia dan yang lainnya. Tetapi, yang Tuhan tekankan adalah agar kita menghindari segala jenis kasih yang dapat membawa kita jauh dari pada-Nya.

Jadi, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat ketika mengasihi orang lain, bertopanglah lebih dulu pada Kasih yang tidak akan pernah roboh. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama” (Matius 22:37-38). Aku juga belajar untuk tetap mengasihi meski aku akan menanggung dampak dari mengasihi, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:39)”.

Selamat mengasihi!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Minggu Palma: Menantikan Pemulihan Dunia dalam Doa

Kita mengingat Minggu Palma sebagai momen ketika Yesus masuk ke Yerusalem, tapi momen ini punya makna lain, yakni bayang-bayang akan penggenakan kedatangan Yesus yang kedua dan berdirinya kerajaan Allah di bumi seperti di surga.

Secuplik Mitos Tentang LDR

Survey-survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami perselingkuhan, kebosanan relasi, atau bahkan kandas di tengah jalan, tetapi itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk, terlebih di zaman modern ini.

Salah satu hal yang membuat relasi LDR kandas adalah karena kita memercayai mitos-mitos yang tidak membawa kebaikan bagi relasi kita. Yuk simak postingan ini dan temukan mitos apa saja yang biasanya hadir dalam relasi jarak jauh.

Artspace ini diadaptasi dari artikel Secuplik Mitos tentang LDR karya Aryanto Wijaya. Klik bit.ly/MitosLDR untuk membaca artikelnya secara lengkap, atau klik link di bio.

Desain artspace ini dibuat oleh Caroline Widananta.

Secuplik Mitos tentang LDR

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Ketika memutuskan untuk menjalin relasi jarak jauh (LDR) dengan pacarku, kurasa perjalanan kami akan terasa mudah. Kami sudah enam tahun saling kenal sebagai teman dekat, kerja kelompok bersama-sama, bahkan satu kelompok dalam mengerjakan mata kuliah puncak di semester akhir kuliah. Jarak kupikir tidak jadi kendala karena kami sudah cukup saling mengenal.

Tetapi, menjalin relasi baik terpisah secara jarak atau tidak menyajikan tantangannya tersendiri. Pasangan LDR punya pr lebih karena pertemuan fisik tidak bisa dilakukan sesering mereka yang tinggal satu kota. Survey-survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami perselingkuhan, kebosanan relasi, atau bahkan kandas di tengah jalan, tetapi itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk, terlebih di zaman modern ini.

Aku bukanlah ahli dalam bidang relasi, tetapi perjalananku berelasi jarak jauh selama dua tahun mengajariku banyak hal, salah satunya adalah mitos-mitos yang dipercaya orang tentang LDR.

1. Sekarang kan teknologi sudah canggih, tidak harus bertemu muka, video-call saja cukup

Berelasi jarak jauh di abad ke-21 jauh lebih nyaman ketimbang seabad sebelumnya di mana Internet dan HP belum ditemukan. Atau, jika seabad lalu terasa jauh, bayangkanlah kita menjalin LDR di tahun 2000-an awal ketika ingin berkomunikasi harus antre di wartel, atau membeli pulsa telepon yang harganya masih selangit. Sekarang, segala kesulitan itu tidak lagi kita jumpai. Meski terpisah jarak, kita bisa berkomunikasi nyaris kapan saja dan di mana saja. Pesan via aplikasi chat dapat dikirim dan diterima secara real time. Juga dengan kecepatan internet yang makin tinggi, video call menjadi semakin mudah tanpa perlu pusing karena suara yang putus-putus atau gambar yang buram.

Tetapi, meskipun perangkat teknologi menyajikan komunikasi yang tidak terbatas pada jarak, tetap ada kelemahan di dalamnya. Teori komunikasi menyatakan bahwa komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik. Dalam komunikasi tatap muka, kita dapat menangkap lebih dari sekadar pesan verbal. Kita dapat melihat mimik wajah, gerakan tubuh, dan jalinan perasaan yang lebih kuat. Kehadiran secara fisik adalah kehadiran yang tak tergantikan oleh medium mana pun. Dan, satu hal lainnya adalah mengupayakan hadir secara fisik tentu memberikan nilai pengorbanan yang lebih.

Namun, meskipun komunikasi tatap muka adalah bentuk komunikasi terbaik, kita tidak perlu memaksakannya setiap waktu. Kita dapat menetapkan kesepakatan per berapa lama kita akan saling bertemu. Dalam relasi kami, kami bersepakat untuk bertemu setiap dua bulan dengan memikirkan beberapa pertimbangan. Tetapi, seperti ketika pandemi Covid-19 melanda dan pertemuan fisik menjadi berisiko, kami pun kembali berdiskusi untuk menemukan cara yang tepat dan bijak untuk kami tetap dapat saling terhubung.

2. Komunikasi tanpa putus, harus mengobrol serius setiap hari

Awal-awal kami masuk dalam fase pacaran, kami berupaya membangun kedekatan seintens mungkin. Tetapi, seperti kata pepatah bahwa yang berlebihan tidaklah baik, demikian juga dengan memaksakan durasi dan frekuensi komunikasi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang ada. Kami pernah berada di fase di mana menelepon setiap hari dengan durasi di atas satu jam. Akibatnya, dalam beberapa bulan kami kelelahan secara fisik dan mental. Topik pun keburu habis dibahas. Alih-alih menjadi erat, kami malah menjadi renggang.

Aku lalu mendapati sebuah wejangan bijak dari seorang praktisi relasi yang berkata, take it slow to make it last. Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti, dibuat santai supaya awet. Wejangan tersebut ada benarnya. Memaksakan durasi telepon menjadi tiap hari, berjam-jam, dan membahas topik-topik serius (semisal: rencana pernikahan, dsb) membuat kami luput akan apa yang sejatinya kami butuhkan. Manusia membutuhkan waktu tak cuma untuk berkomunikasi dengan pasangannya, tetapi juga dengan keluarganya, sahabatnya, diri sendiri, juga dengan Tuhan!

Lagi-lagi, yang dibutuhkan di sini adalah kesepakatan dan saling pengertian. Kami lalu saling mengevaluasi area manakah dalam hidup kami yang terabaikan dalam upaya kami membangun kedekatan. Setiap pasangan punya kesepakatannya masing-masing. Aku dan pacarku bersepakat untuk menelepon sekitar dua hari sekali, saat tidak sedang sibuk, atau memang jika keadaan memungkinkan saja. Di sini kami belajar untuk saling percaya. Dan, puji Tuhannya, relasi kami jadi membaik. Kami punya waktu untuk bersaat teduh, bekerja lembur, quality time bersama kawan dan keluarga, atau sekadar me-time untuk merelaksasi diri.

3. Jangan terlalu percaya, harus selalu ada curiga

“Memangnya kamu yakin dia pasti jujur? Kan nggak ada yang tahu kalau dia bakal bohong”.

Seperti disinggung di awal, LDR dianggap sebagai bentuk relasi yang berisiko, terkhusus dalam hal kehadiran orang ketiga. Kesadaran akan risiko ini biasanya menimbulkan bibit-bibit kecurigaan yang sadar atau tidak terselip dalam relasi sehari-hari. Pasangan menjadi cemburu dan melontarkan kata-kata menyindir, melarang-larang, atau pihak tertuduh lantas menjadi emosi atau mengarang alasan-alasan palsu.

Yang perlu kita pahami, meskipun jarak memberikan risiko yang lebih tinggi, ketidakjujuran adalah pilihan yang berasal dari diri sendiri. Hampir tidak ada kaitannya dengan jarak yang membentang. Ketika seseorang sudah memiliki itikad untuk tidak jujur, tanpa adanya jarak fisik yang membentang sekalipun, dia bisa melakukannya. Dunia biasanya memberikan saran berupa letakkanlah sedikit curiga, jangan percaya sepenuhnya pada pasanganmu, dan sebagainya. Tetapi, dalam relasi antara dua anak Tuhan, kepercayaan adalah hal yang harus selalu ada. Dan, tugas dari pasangan itu adalah saling memelihara kepercayaan tersebut. Bibit-bibit kecurigaan yang kita pelihara bisa bertumbuh dan mewujud ke dalam bentuk hilangnya rasa percaya, perubahan nada dan cara bicara, hingga spekulasi-spekulasi yang bukannya mengarahkan kita pada solusi tetapi malah membawa kita ke dalam jurang konflik yang dalam.

Memelihara kepercayaan datang dari meletakkan relasi tersebut sebagai relasi yang kudus dan penting bagi Allah. Kolose 3:23 mengatakan apa pun yang kita perbuat, perbuatlah itu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kurasa prinsip ini juga dapat berlaku dalam hal relasi, tentang bagaimana kita memperlakukan pasangan kita sebagai pelayanan kita juga terhadap Allah. Ketika kita berlaku jujur, mengasihi, dan juga menjaga kekudusan dengan dan kepada pasangan kita, itu berarti kita sedang menghormati dan melayani Allah.

* * *

Aku yakin ada banyak mitos lainnya yang kita pernah percayai terkait LDR atau juga berpacaran pada umumnya. Setiap relasi, baik itu LDR atau tidak, memiliki tantangannya masing-masing. Tetapi, yang paling penting dalam menjalaninya adalah bagaimana kita dapat memelihara komitmen dan memuliakan Allah di dalamnya.

Setiap manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Ketika dua orang berdosa memutuskan untuk berelasi, tidak ada relasi yang sempurna. Oleh karena itu, sebuah relasi yang bertahan dan berjalan baik bukanlah relasi yang tanpa konflik dan kecewa. Hal-hal yang menyakitkan hati mungkin akan terjadi, tetapi yang terpenting adalah kedua belah pihak menyadari bahwa mereka membutuhkan anugerah Allah setiap hari dalam relasi mereka, dan melibatkan-Nya untuk hadir, berjalan, dan memimpin relasi tersebut untuk mencapai tujuan mulia-Nya.

Mitos atau pengalaman LDR apakah yang kamu alami? Yuk bagikan juga di kolom komentar.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Setoples Nastar di Pergantian Tahun

Lelehan mentega, bercampur sirup gula dan serbuk vanilla tercium semerbak. Malam ini Chesa membuat nastar untuknya dan kedua adiknya.

Biar Jarak Memisahkan, Kita Tetap Berkawan

Kawan karibmu telah pindah ke kota lain. Kamu pun lantas kehilangan kawan yang biasanya ngopi, berdoa, atau nge-gym bareng.

Persahabatan itu tak ubahnya relasi-relasi lain dalam hidup; butuh usaha untuk mempertahankannya. Terpisah jarak dan zona waktu, juga kesibukan yang makin padat, membuat upaya mempertahankan persahabatan jadi lebih berat.

Tapi, ingatlah apa kata Alkitab. “Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara” (Amsal 18:24). Meski upaya mempertahankan persahabatan itu berat, tetapi buahnya sepadan dengan perjuangannya.

Inilah beberapa tips simpel untuk tetap menjadikan persahabatan jarak jauhmu senantiasa terasa hangat.

Karya seni ini merupakan kolaborasi @ymi_today dan @jasmot_illustrations