5 Tips Mengelola Uang di Masa-masa Sulit

Uang kuliah naik, tapi uang jajan tetep
Dulu beli bensin 10 ribu udah full tank, sekarang tydack~

Inflasi tidak terhindarkan. Semua bertambah mahal. Tapi, di sinilah kita ditantang untuk hidup bijaksana. Mengelola uang dengan cermat sembari percaya teguh akan pemeliharaan Tuhan.

Yuk simak 5 tips dalam artspace ini.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

4 Cara untuk Berani Berkata “Tidak”

Oleh Sarah Tso
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We Struggle To Say No

Saat aku menulis artikel ini, aku baru saja bilang “tidak” atas permintaan ibuku untuk mendengarkan curhatannya tentang masalah keluarga. Kubilang lebih baik mereka bicara langsung daripada meminta nasihat dariku, lagipula aku pun tidak berada di sana sehingga aku tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya.

Ada satu kata penting yang menolongku menentukan posisiku dalam keluarga, yaitu “batasan”. “Batasan menunjukkanku di mana aku harus selesai ketika orang lain memulai, menolongku untuk memegang kendali penuh atas diriku sendiri… Batasan juga membantu kita untuk memasukkan hal-hal baik dan mengeluarkan hal-hal buruk dari diri kita,” tulis Henry Cloud.

Ketika kita berani berkata “tidak”, itu menolong kita untuk meninjau kembali pemahaman kita tentang konsep batasan. Dalam kasusku, aku tidak bisa mengambil keputusan atas masalah ibuku dengan saudara-saudaranya. Jika aku mengiyakan, artinya aku mengambil tanggung jawab ibuku yang berarti juga aku melanggar garis batas yang sudah kutetapkan. Akibatnya, bisa saja mereka akhirnya menghindar dari upaya mengatasi konflik ini dengan membicarakannya.

Tapi, menjawab “tidak” pun sebenarnya tidak mudah. Pertama, apakah sopan menolak permohonan dari seseorang yang lebih tua dan lebih berkuasa? Berapa banyak dari kita yang dapat dengan mudah berkata “tidak” kepada ibu kita sendiri?

Kita sulit berkata “tidak” karena beberapa alasan, antara lain:

  • Kita tidak mau orang lain berpikir buruk tentang kita;
  • Kita tidak mau menciptakan konflik atau menyakiti seseorang;
  • Kita tidak tahu batasan kita.

Namun, jika kita tidak belajar berkata “tidak” dan menetapkan batasan kita sendiri, kita dapat dengan mudahnya menyakiti diri kita sendiri dan mungkin juga orang lain yang terlibat.

Apakah ada suatu hal yang perlu kamu jawab “tidak” hari ini? Mungkin kamu diajak ikut pelayanan dan mengorbankan hal lain, atau mengakhiri hubungan pacaran yang sedang jalan di tempat. Atau, mungkin juga menolak permohonan yang alasannya kurang kuat dari seseorang yang lebih tua atau lebih berotoritas darimu.

Situasi yang rumit akan membuat kita semakin susah mengatakan “tidak”, jadi inilah beberapa tips yang dapat kita pertimbangkan untuk membantu kita lebih berani mengatakan “tidak”:

1. Ketahui batasan dan prioritasmu

Ketika Yesus melayani di bumi, Dia tidak menyembuhkan setiap orang sakit atau memberitakan Injil secara personal ke satu per satu orang. Dia berkarya dalam keterbatasan tubuh manusia-Nya dan berfokus pada misi utama-Nya–untuk menyelamatkan kita dengan mati di kayu salib, dan memperlengkapi para murid yang akan meneruskan Kabar Keselamatan sampai ke seluruh penjuru bumi.

Jika Yesus saja berkarya dengan memperhatikan batasan, kita pun tidak seharusnya melakukan apa yang Dia tidak lakukan. Kita punya waktu, sumber daya, dan energi untuk kita tuangkan pada pekerjaan dan orang-orang di sekitar kita. Tapi, seiring dengan fase kehidupan yang berubah, kita perlu menata ulang prioritas maupun jadwal kesibukan kita.

Tidak semua hal yang kelihatannya baik itu penting, jadi kita perlu menyadari apa yang harus jadi prioritas dan apa yang harus kita beri perhatian dan upaya lebih. Mengidentifikasi skala kepentingan akan menolong kita mampu berkata “tidak” tanpa merasa bersalah.

2. Bersikap jelas dan hormat

Sebagai pengikut Yesus kita dipanggil untuk “rendah hati, lemah lembut, dan sabar” (Efesus 4:2-3). Kita juga diajar untuk tidak mengasihi dengan pura-pura dan saling menghormati (Roma 12:9-10).

Inilah beberapa cara agar kita dapat berkata “tidak” sembari tetap bersikap hormat:

  • Pilih waktu dan tempat yang tepat (contoh: bicarakan di tempat tertutup jika isunya sensitif)
  • Ucapkan terima kasih untuk permohonan minta tolong mereka (contoh, “makasih ya buat ide atau permintaamu, tapi aku nggak yakin bisa komit buat ngelakuinnya.”) Mengucapkan kata-kata seperti ini menolongmu menekankan penjelasan bahwa kamu menolak permintaannya, bukan orangnya.
  • Berikan mereka kesempatan untuk menanggapi apa yang kamu katakan, dan akui jawaban mereka agar mereka merasa didengarkan.

Kadang ada orang lain yang memintamu untuk memikirkan kembali sikapmu, tapi jika kamu sudah jelas dan yakin dengan jawaban “tidak”-mu, tetaplah teguh pada pendirianmu dan dengan rendah hati tanggapi orang tersebut dengan memberi penjelasan di balik sikapmu.

Bersikap tidak jelas alias iya tapi enggak, atau lebih parahnya: menghilang tiba-tiba bukanlah respons yang memberi kejelasan ataupun menghormati. Memberi respons berupa “nanti aku kabarin lagi ya” tanpa ada niatan untuk menindaklanjuti pun merupakan sikap ketidakjujuran yang bisa memberikan seseorang harapan palsu.

3. Jangan menyerah hanya karena rasa takut

Ada banyak alasan yang membuat kita takut berkata “tidak”. Bisa jadi kita takut ditinggalkan, terkhusus jika kita ada di kelompok yang orang-orang selalu berkata “iya”.

Atau, bisa juga kita takut menentang sosok berotoritas dalam hidup kita (orang tua, atau bos), terkhusus apabila berkata “tidak” dianggap sebagai respons yang tidak sopan yang efeknya membuat kita dipandang sebelah mata.

Namun ingatlah bahwa kita semua adalah orang-orang berbeda yang punya prioritas dan kapasitas yang berbeda pula. Sebelum merespons, ambil waktu sebentar untuk berpikir bagaimana menyatakan peran, tanggung jawab, dan kesibukan kita dengan hormat. Kita juga dapat mempraktikkan berkata “tidak” dengan nada yang jelas dan tegas, untuk menunjukkan bahwa kita masih menaruh hormat pada mereka meskipun tidak bisa memenuhi permintaannya.

Takut mengecewakan seseorang bisa jadi godaan terbesar kita untuk terpaksa berkata “ya”, tapi jika kita lantas melakukannya setengah hati, sama saja kita telah bersikap bohong pada diri kita dan orang lain.

Aku ingat aku pernah menolak undangan seorang teman lelaki untuk kencan ketika aku tahu bahwa relasi pacaran kami tidak akan mengarah ke pernikahan. Untuk melakukannya, aku menunjukkan kejelasan apa yang aku butuhkan dalam sosok pasangan hidupku dan menekankan padanya mengapa putus adalah pilihan yang paling baik buat kami berdua.

Memiliki kejelasan akan apa yang kita mau dan apa yang penting bagi kita akan menolong kita menegaskan batasan-batasan, sekaligus membuat kita berani berkata “tidak”.

Di saat yang sama, kita juga perlu menerima kemungkinan bahwa penolakan bisa membuat seseorang menjauh dari kita. Tapi, jika kita dengan hormat berkata “tidak” untuk alasan yang benar, maka kita tidak perlu merasa bersalah. Malah, kita dapat belajar untuk dengan belas kasih memberikan ruang dan waktu bagi orang tersebut untuk memproses penolakan kita.

4. Carilah bimbingan ketika ragu

Kalau kamu tidak yakin apa yang harus kamu lakukan, atau kamu khawatir responsmu akan melukai seseorang, kamu bisa meminta masukan dari teman yang kamu percaya atau mentor rohanimu. Nasihat dari orang lain menolongmu untuk memastikan bahwa kamu telah menilai situasimu dnegan benar, dan kamu paham akan dampak penolakanmu terhadap seseorang.

Aku pernah dimintai nasihat dari temanku ketika dia sedang didekati oleh seorang pria. Setelah beberapa kali pertemuan, kami mengonfirmasi perasaan yang sama bahwa pria itu tidak cocok untuknya. Temanku memutuskan untuk menolak pria itu, tapi dia meminta bantuanku untuk menata kata-kata agar tetap sopan dan jelas.
Saat kita saling menanggung beban (Galatia 6:2), tolonglah satu sama lain untuk mengambil keputusan yang bijaksana, menerima atau menolak dengan cara yang layak. Bersama-sama, kita dapat saling mengingatkan untuk menaikkan segala sesuatu dalam doa pada Tuhan karena kita tahu Dia mendengar dan akan memberikan yang terbaik bagi semua orang. Memahami ini akan menolong kita terbebas dari mengandalkan diri sendiri dan menuntun kita mengalami kedamaian-Nya yang akan menjaga hati dan pikiran (Filipi 4:6-7).

Mungkin tetap sulit berkata “tidak”, tapi ingatlah kita bisa melakukannya dengan cara yang bijaksana dan mengasihi demi menjaga relasi yang sehat, sekaligus membebaskan kita dari ekspektasi berlebihan dari orang lain. Marilah kita terus berusaha bersikap jujur dan peduli kepada orang lain agar kita memancarkan kasih Allah.

Hati-hati dengan Hal-hal yang Merusak Pertemanan

Teman itu bukan sekadar status. Bersama mereka, kita berbagi berbagai hal dan rasa. Kita butuh teman untuk curhat, makan bareng, bikin project, juga berbagi suka dan duka.

Namun, tak semua pertemanan berjalan mulus dan langgeng. Ada hal-hal yang jika tidak kita sadari dan atasi akan berpotensi merusak pertemanan kita.

Bagaimana relasimu dengan teman-temanmu? Hal-hal apa saja yang menurutmu penting dilakukan untuk menjadikan pertemananmu sehat dan bertumbuh?

Artspace ini dibuat oleh @clara_draws18 dan diterjemahkan dari @ymi_today

Masih Muda Bukan Alasan untuk Hidup Asal-Asalan

Oleh Jenni

Malam itu, lagi-lagi rasa sesak muncul di ulu hatiku. Sesak yang disertai sakit itu menyengat bagian dada hingga tembus ke punggung. Aku pun membetulkan posisi tidurku. Kutumpuk bantal agar posisi badan setengah duduk. Selagi berbaring, aku mengingat-ingat makanan dan minuman apa saja yang aku konsumsi tadi.

Oh ya! Tadi aku minum segelas susu bubuk. Hanya karena segelas susu, maagku kambuh. Sakit ini sebenarnya bisa dicegah seandainya dulu aku lebih menjaga kesehatan.

Saat itu aku kelas lima SD, masa di mana aku senang jajan. Tak peduli sehat dan bersih makanannya, asal nikmat maka aku akan menyantapnya. Tak jarang juga kucampurkan bumbu pedas sesuka hati.. Setiap ketahuan oleh ayahku, ia akan menegur dan mengatakan bahwa itu tidak baik untuk kesehatan. Namun, aku mengabaikannya dan melanjutkan kebiasaan itu.

Tahun-tahun berlalu, tak terasa kini aku sudah bekerja. Keadaan di sekelilingku sedikit demi sedikit mulai berubah, tapi kebiasaan makanku tidak ada yang berubah, malah semakin buruk. Apalagi saat itu aku sudah memiliki penghasilan.

Bagaikan bermain game, tingkat pedas yang kusuka semakin bertambah. Yang biasanya satu sendok sudah kewalahan, sekarang dua sendok baru terasa pedas. Dan aku tidak berhenti mengonsumsi makanan seperti itu, bahkan diluar sepengetahuan orang tuaku. Hingga tubuhku mulai memberikan alarm.

Saat itu aku sedang menjalani kursus menggambar. Tiba-tiba kurasakan sakit di kepala dan di dada, namun aku mengabaikannya dan terus melanjutkan kebiasaan buruk itu. Ditambah lagi aku sering begadang untuk mengerjakan tugas atau latihan. Dengan semua yang kulakukan itu, tubuhku tidak bisa lagi bertahan.

Suatu malam setelah bermain, aku mulai merasa tidak enak badan. Aku ke toilet terus menerus dengan sakit di perut yang luar biasa. Aku merasa bahwa asam lambungku naik, bahkan aku sampai tidak bisa menelan makanan atau minuman, termasuk obat. Aku pun dilarikan ke rumah sakit oleh orang tuaku. Dan ketika dokter memeriksa, dokter bilang kalau aku harus rawat inap.

Aku tidak pernah menyangka kalau aku harus dirawat. Saat itu yang menjagaku di rumah sakit adalah orang tuaku. Selama satu minggu dirawat, orang tuaku selalu bolak-balik rumah sakit untuk menjagaku, terlebih ibu. Belum lagi ibu harus mengurus urusan rumah tangga. Dan karena ketidakpedulianku dalam kesehatan tubuh, ibuku harus repot dan lelah menjagaku yang masih muda dengan tubuh yang tidak berdaya.

Selain itu, sebagian pekerjaanku di kantor pun terbengkalai. Aku bersyukur kala itu ada rekan kerja yang menyempatkan waktu untuk back-up pekerjaanku di sela padatnya pekerjaan di kantor. Namun, tetap saja ada perasaan tidak enak. Aku merasa menyusahkan rekanku karena kejadian ini.

Huft.. Betapa orang sekitarku menjadi susah karena ketidakpedulianku dalam menjaga kesehatan tubuh sendiri.

Tidak hanya orang sekitar yang kubuat susah, aku juga membuat diriku kesusahan, bahkan aku merugikan diri sendiri.

Setelah dirawat dan diperiksa, banyak catatan dari dokter yang harus aku perhatikan ke depannya. Yang pertama, pantangan pun jadi banyak. Aku tidak bisa mengonsumsi makanan dan minuman sebebas dulu lagi. Kedua, tidak ada lagi kegiatan sampai tengah malam. Aku tidak boleh bergadang dan harus memiliki jam tidur yang teratur. Hal ini karena tubuhku sudah tidak sekuat dulu lagi. Ada batasan-batasan di mana tubuhku harus beristirahat. Jadi, mau tak mau aku harus menjalani pola hidup yang baru.

Rasanya sulit memulai pola hidup baru. Aku melepas kebiasaan-kebiasaan burukku dan melakukan hal yang terasa asing dan aneh bagiku. Walaupun sulit, tapi harus kulakukan untuk memelihara kesehatan tubuhku. Aku tidak mau lagi merasakan sakit yang luar biasa itu dan menyusahkan keluarga serta orang sekitar. Di samping itu, harus kuakui bahwa pola hidup baru itu memberikan hal-hal baik. Sakit kepala dan sesak dada yang dulu sering muncul kini hilang. Caraku memandang makanan pun jadi berbeda. Jika dulu aku suka menikmati makanan/jajanan sembarangan, kini aku heran kenapa dulu aku bisa menikmati makanan itu.

Meskipun perubahan telah kulakukan, tetapi tetap ada konsekuensi dari kelalaianku dulu. Tubuhku tak sekuat dulu lagi. Sekadar segelas susu atau jus jeruk saja mudah meningkatkan asam lambungku. Tak jarang juga saat maagku kambuh, kegiatanku pun terganggu. Kadang aku berpikir, masih usia 27 tahun tapi kondisi tubuh sudah seperti ini. Sungguh, setelah mengalami ini semua, barulah aku sadar bahwa kesehatan adalah anugerah yang harus dipelihara..

Pada suatu hari, saat sedang membaca Alkitab, aku sampai di Daniel 1:8-17. Daniel dan kawan-kawannya memilih untuk tidak menajiskan diri dengan makanan dan anggur raja, dan mereka memilih mengonsumsi sayur dan air. Hasilnya, fisik mereka lebih sehat dan kuat. Tuhan pun mengaruniakan kasih sayang melalui pemimpin pegawai istana, juga pengetahuan dan kepandaian pada mereka.

Andaikan saja dulu aku lebih dengar-dengaran dan tidak membiarkan diri dikuasai nafsu, mungkin kejadian jatuh sakitku bisa dicegah.

1 Korintus 6:12 mengatakan: “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.”

Semasa remaja memang tidak mudah bagiku untuk menekan keinginan. Namun, tak ada hal baik yang dihasilkan dari dikuasai nafsu. Akibatnya akan muncul di masa depan. Bukan hanya diri sendiri yang menanggung dampak buruknya, tapi orang sekitar kita juga dapat terkena imbasnya.

Memiliki tubuh yang sehat akan sangat menguntungkan kita. Berbagai hal baik dan produktif bisa kita lakukan. Seandainya aku bisa bertemu diriku di masa remaja dulu, aku mau berpesan buatku juga buat semua orang: sedari muda, jagalah kesehatan dan pergunakanlah kebebasan dengan baik.

Bukankah dengan mengusahakan pola hidup sehat itu menunjukkan bahwa kita mengasihi Allah? Tubuh adalah bait Roh Kudus. Ketika kita memelihara kesehatan, maka kita mempersembahkan tubuh ini bagi kemuliaan nama-Nya.

Tips Membawa Kembali SUKACITA di Rutinitas Sehari-hari

Kita sering berpikir kalau hidup yang bahagia itu selalu dipenuhi aktivitas yang asyik sepanjang waktu. Di media sosial kita melihat seseorang bersenang-senang dengan pasangannya, punya kantor yang asyik, atau jalan-jalan di kala senja bersama anjing kesayangan.

Kita memang tahu kalau media sosial tidak murni mencerminkan kenyataan, tapi tetap saja kita merasa minder dan membanding-bandingkan diri kita.

Ketika hidup tidak melulu menyajikan momen bahagia, ada hal-hal yang perlu kita tanamkan di pikiran supaya hidup kita lebih dipenuhi sukacita.

1. Ketahuilah bahwa sukacita itu lebih dari sekadar perasaan senang

Sukacita itu bukan cuma tentang momen penuh euforia, atau sesuatu yang baru atau senang sepanjang waktu. Bukan pula tentang berpura-pura bahagia padahal kamu sendiri sedang sedih.

Pemazmur menulis bahwa sukacita ditemukan dalam kehadiran Allah, dan di tangan kanan-Nya ada nikmat senantiasa (Mazmur 16:11). Jadi, ketika kita sungguh memikirkannya, sukacita ditemukan hanya dalam Allah. Kita ada di dalam-Nya dan diselamatkan dalam Yesus, tak ada yang dapat mengubah fakta itu. Inilah sukacita yang sejati ketika kita tahu apa yang jadi kebenarannya, sukacita yang tak ditentukan oleh kerapuhan atau kekecewaan.

Ketika kita dapat benar-benar memahami bagaimana sukacita datang dari Tuhan, maka perasaan kita tidak perlu menghalangi kita untuk mengetahui sukacita sejati.

2. Izinkanlah dirimu merasa bosan sesekali—itu bukanlah hal yang selalu buruk

Kadang hari-hari yang kita lalui terasa monoton, dan kita berpikir, “Oh, gak bener ini. Pasti ada yang salah di hidupku”. Kebanyakan dari kita ketika tiba di masa-masa jenuh, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Kejenuhan bisa jadi kesempatan untuk beristirahat dan mengenali hal-hal kecil di sekitar kita–bunga yang mekar di taman belakang rumah, sekelompok bebek yang berenang di kolam, atau memandang takjub pada indahnya langit malam.

Di lain waktu, kejenuhan juga bisa jadi semacam kompas yang mengarahkan kita pada arti dan tujuan, serta mengingatkan kita untuk memikirkan ulang hal-hal yang telah (atau tidak) kita lakukan.

Tapi waspadalah, kejenuhan bisa juga menjebak kita untuk berlama-lama nonton Netflix atau sekadar bermain medsos. Mintalah Tuhan untuk menolong kita berproses dan menyelidiki kejenuhan ini. Apakah kita kurang bersyukur, atau ini kesempatan buat berkembang?

3. Coba sesuatu yang baru atau berbeda

Selain kerja, makan, dan tidur yang terus berulang kita bisa menjadikan hari-hari kita lebih berwarna dengan melakukan hal baru. Misalnya: kita ikut kelas mengajar, mengajak teman atau tetangga pergi makan, atau kalau kamu menikmati waktu-waktu sendiri, kamu bisa makan malam sendirian di restoran yang enak.

Mendorong diri kita untuk keluar dari zona nyaman dapat menolong kita memiliki perspektif yang lebih luas dan menyadari kalau ada banyak sekali hal yang bisa kita jelajahi. Kita bisa berinteraksi dengan orang dengan berbagai ide, melihat bagaimana mereka menghidupi hidup, dan mengembangkan skill baru.

Yang paling penting, kita tahu bahwa Tuhan ingin kita bertumbuh dan dewasa dalam karakter dan iman. Pertumbuhan itu baru bisa terjadi jika kita tidak anti dengan perubahan.

4. Bangun relasi yang berarti, yang gak cuma sekadar di media sosial

Kita sering terjebak dalam pekerjaan dan rutinitas yang lama-lama membuat kita lupa akan betapa berharganya relasi dengan teman dan keluarga.

Kita bisa mulai membangun kembali relasi dengan teman-teman lama, tapi ini bukan berarti kita tiba-tiba mengirimi chat ke semua kontak kita. Pilih dengan cermat siapa teman yang ingin kita jumpai dan kenal lebih dalam lagi. Kita bisa mengobrol lewat chat, lalu merencanakan agenda bertemu bersama entah untuk olahraga, atau makan bareng.

Pertemanan yang awet tidak dibangun hanya dengan chat yang panjang, jadi pastikan kamu tetap berinteraksi setelah chat kalian usai. Ayo bangun relasi yang berarti yang menguatkan satu sama lain (1 Tesalonika 5:11).

5. Pikirkanlah segala kebaikan yang Tuhan telah lakukan buatmu

Mungkin sekarang kita tidak sedang bersukacita. Kita lelah, khawatir, dan merasa sangat sulit untuk tersenyum lagi. Tuhan pun serasa jauh untuk menyelamatkan kita.

Namun, satu cara yang bisa menolong membawa sukacita kita kembali adalah dengan mengingat seberapa jauh Tuhan telah membawa kita. Jika kita merenungkan bagaimana Tuhan menolong kita saat kita putus dari pacar, gagal di ujian, dan sebagainya, kita mengingat kembali bahwa Dia selalu beserta kita dalam masa-masa yang tak pasti.

Mengingat akan kesetiaan-Nya akan membawa kita pada rasa syukur, yang datang berdampingan dengan sukacita (Mazmur 95:1-2, 1 Tesalonika 5:18). Allah yang dahulu menolong kita adalah Allah yang sama, yang hadir beserta kita.

Terakhir, sukacita sejati hanya ditemukan dalam Tuhan yang memenuhi kita lebih dari kelimpahan gandum dan anggur (Mazmur 4:7).

Adalah baik untuk selalu menantang diri kita bertumbuh. Temukan hobi baru, tumbuhkan relasi yang lebih erat dengan temanmu, atau sesekali belajarlah menerima rasa bosan dan jenuh agar kita mengingat lagi bahwa janji Yesus itu nyata. Sukacita sejati hadir ketika kita hidup selaras dalam kasih-Nya (Yohanes 15:10-11).

Bagaimana Aku Belajar untuk Mendengar Suara Tuhan

“Tuhan bilang sama aku,” begitu isi kesaksian teman-temanku. Tapi, aku sendiri rasanya tak pernah mendengar Tuhan sungguh bicara dengan suara yang bisa didengar telinga. Jadi, bagaimana Tuhan berbicara pada kita di masa sekarang?

Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today
Baca juga artikelnya secara lengkap dengan klik di sini.

Nasihat-nasihat Klise yang Sebenarnya Berguna Buat Hidup

Makan, istirahat, tidur, adalah hal yang kita semua lakukan. Tapi, beratnya beban hidup dan kesibukan seringkali membuat kita mengabaikannya, padahal tak dipungkiri semua aktivitas sederhana ini diperlukan tubuh untuk menopang kita menjalani hari-hari.

Berhenti Mencari Tahu Apa yang Jadi “Panggilan” Hidupmu dan Mulailah Menghidupi Hidup itu Sendiri

Artikel ini ditulis oleh YMI

Momen ketika kamu berhasil menemukan panggilan hidupmu sering digambarkan sebagai momentum besar yang akan mengubah hidupmu selamanya. Jadi, kita pun terus mencarinya, menanti, dan berharap momen itu datang. Kita membayangkan kelak kita melakukan pekerjaan yang mengubah hidup–menulis cerita-cerita tentang kaum marjinal, membuka rumah singgah atau yayasan buat anak-anak yang rentan, atau pergi melakukan perjalanan misi.

Pengejaran kita yang tanpa henti untuk menemukan panggilan hidup sedikit banyak dipengaruhi juga oleh media yang kita konsumsi, yang bilang mimpi harus dikejar, dan suara hati yang berbisik harus didengar supaya kita tahu tujuan hidup kita yang lebih besar.

Lantas kita meminta kelompok komsel untuk mendoakan kita, membaca apa pun yang membuat kita tahu mana yang kehendak Tuhan supaya kita menemui panggilan-Nya… atau bisa juga ikut kuis-kuis tentang kepribadian supaya tahu apa sih yang sebenarnya jadi ‘panggilan’ kita.

Tapi…hari-hari berlalu… ‘panggilan’ itu masih entah di mana. Bos kita di tempat kerja masih saja toxic, teman kita sudah dipromosikan jabatannya… dan kita sendiri dengan tak sabar menanti kapan weekend karena sudah capek kerja.

Setiap hari kita terus memberi tahu diri kita kalau hidup akan berubah—perjalanan kita akan lebih mulus, minim masalah, pokoknya yang baik-baik—itulah yang kita deskripsikan sebagai menemukan ‘panggilan’.

Tapi… gimana kalau panggilan itu sebenarnya sudah ada di depan kita? Gimana kalau Tuhan sudah menunjukkanya dengan jelas? Gimana kalau kita coba menikmati hidup di tempat di mana Tuhan sudah letakkan kita, dengan rendah hati melayani orang-orang di sekitar kita, serta melakukan segala sesuatunya tanpa mengharap balasan?

Maukah kamu menghidupi panggilan semacam itu?

1. “Panggilan” kita adalah tentang melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, meskipun itu tidak menyenangkan

Kita bermimpi pekerjaan kita membuat suatu proyek yang mengubah dunia, tapi kenyataannya kita berdiri dua jam di depan mesin fotokopi, mencetak ratusan lembar laporan untuk rapat besok. “Hadeh, gak seharusnya aku kerja gini…” kita menggerutu sembari menendang mesin printer yang macet.

Dalam Alkitab, Yusuf dipanggil untuk menjadi pemimpin di Mesir, tetapi ada momen ketika dia harus melewatkan hari-harinya di penjara—yang ditafsirkan oleh para ahli sejarah selama 12 tahun!—atas tindakan yang tidak dia lakukan. Namun, Yusuf setia pada tempat di mana Tuhan menempatkan dia (Kej 39,40), dan pada waktu-Nya, dia menjadi orang kedua di Mesir setelah Firaun (Kej 41:37-43). Pada akhirnya, Yusuf bisa membawa keluarganya ke Mesir dan menyelamatkan mereka dari kelaparan (Kej 46).

Seperti Yusuf, apa yang kita lakukan sekarang mungkin terasa kurang berkesan dan seolah tidak mengubah dunia, tapi Tuhan telah menempatkan kita pada suatu peran untuk sebuah tujuan. Bisa jadi yang kita lakukan sekarang adalah batu loncatan untuk rencana-Nya kelak, dan masa-masa sekarang adalah momen terbaik untuk melatih diri kita.

Setialah pada tempat di mana kamu berada dan lakukan yang terbaik—meskipun tugasmu cuma sekadar memfotokopi ratusan lembar dokumen laporan untuk suatu rapat yang membosankan—dan izinkan Tuhan memimpinmu pada tahap selanjutnya sesuai waktu-Nya.

2. Panggilan kita adalah untuk menaati apa yang Tuhan telah perintahkan untuk kita lakukan

Rasanya keren membayangkan kelak ada begitu banyak orang yang terinspirasi oleh kita saat kita menghidupi ‘panggilan’ kita. “Bukan, itu bukan aku, itu Tuhan”, kata kita di depan ribuan orang yang mendengarkan cerita kesaksian kita.

Namun, dalam pencarian akbar kita akan panggilan, apakah kita telah melewatkan satu panggilan terbesar? Bagaimana jika pada akhirnya “panggilan” kita adalah untuk hidup menjadi serupa dengan Kristus dan menghidupi hidup yang membawa orang lain kepada-Nya.

Efesus 5:1 berkata kita adalah ‘penurut Allah’, dan kita dipanggil untuk hidup sebagai umat Allah yang kudus (Ef 5:3). Ssemua itu dimulai dengan melakukan apa yang Dia telah perintahkan kita untuk lakukan—saling mengasihi (1 Yoh 4:7), mengampuni yang telah menyakiti (Ef 4:32), peduli pada yang lemah dan terpinggirkan (Yak 1:27)—semua inilah panggilan-Nya bagi kita.

Jadi, bagaimana kita mau mengasihi teman kerja yang menyebalkan? Apakah kita menjauhinya, menyumpahi supaya semua yang menyakiti kita kena sial? Atau, apakah kita dengan murah hati memberi pada orang yang butuh?

Orang-orang di sekitar kita mengamati apa yang kita bicarakan, lakukan, cara kita menghadapi cobaan, stres, juga kepahitan hidup. Hal-hal yang kita lakukan (atau tidak) menunjukkan pada orang-orang siapa Tuhan yang kita sembah dan layani.

Kita mungkin gak akan pernah mendapat standing ovation dari melakukan semua hal di atas, tapi dalam banyak cara, mungkin apa yang kita perbuat menjadi cara-Nya untuk mengubah hidup seseorang. Kelak saat kita tiba di surga, kita mendengar Tuhan berbicara, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat 25:23).

3. “Panggilan” kita adalah menggunakan setiap kesempatan yang ada sebaik mungkin

Kita pernah mendengar kesaksian tentang orang-orang yang merasa mendapat ‘beban yang luar biasa’ yang Tuhan tanamkan di hati untuk melakukan ini dan itu. Dari situlah mereka tahu kalau itu panggilan mereka. Jadi, kita pun menanti ‘panggilan’ itu datang dengan cara yang sama.

Tapi di saat yang sama, kita menolak ikut serta jadi relawan. Kita bilang “aku doain dulu ya” pada orang yang telah mengajak.

Seiring Tuhan mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9), kita akan menjumpai sesuatu yang menggugah hati ketika kita memberi diri untuk mengamil kesempatan yang ada. Contohnya, peduli pada hewan-hewan yang ditelantarkan bisa mendorong kita untuk kelak jadi aktivis yang menyuarakan tanggung jawab pada setiap orang yang berkeputusan memelihara hewan. Peduli yuang dimaksud itu tak cuma banyak cerita di medsos, tapi misalnya kamu ikut aktif merawat seekor anjing berkutu yang terlantar lama.

Panggilan kita mungkin tidak muncul dengan segera, tiba-tiba nongol setelah kita berdoa, atau setelah kita ikut tes kepribadian yang ke-100 kali… bisa jadi panggilan itu tersembunyi di pojokan jika kita memutuskan untuk menjelajahi setiap kesempatan yang datang pada kita.

Arti dari semua ini bukannya kita harus menyerah atas impian dan hasrat yang kita ingin raih (Tuhan menempatkan dua hal itu tentu dengan alasan), tapi kita bisa berhenti mencarinya dengan cara yang serampangan. Kita bisa menemukan panggilan dengan mulai hidup di sini, di saat ini dan melakukan apa yang Tuhan telah berikan pada kita. Saat kita sungguh merenungkan apa yang Tuhan mau kita lakukan, inilah sebenarnya panggilan-Nya juga.

Artspace: 4 Salah Paham Tentang Mengikut Yesus

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Misconceptions about Following Jesus

Apa sih artinya mengikut Yesus? Apakah itu cuma tugas dan kewajiban, tentang apa yang boleh dan tidak?

Kadang cara kita memandang kehidupan Kristen bisa jadi hambatan buat pertumbuhan iman kita. Ibaratnya kamu punya daftar panjang aktivitas yang harus dilakukan, tapi kamu tahu kamu tidak bisa maksimal melakukannya… jadi kamu pun berjuang susah payah untuk mencapai target. Kita tahu bahwa perbuatan baik kita bukanlah syarat untuk diselamatkan dan menerima kasih Allah, tapi kita juga tahu bahwa kita diselamatkan untuk melakukan perbuatan baik, dan kasih Allah yang memampukan kita untuk mengasihi dan berbuat baik.

Dalam upaya kita untuk menemukan titik terang dari pengajaran ini, mudah bagi kita untuk terlalu berfokus pada satu atau dua kebenaran dengan mengorbankan kebenaran lainnya. Akhirnya kita pun jatuh pada sudut pandang yang ekstrem, yang membuat perjalanan kita mengikut Yesus jauh dari sukacita.

Jika kamu sulit mengalami sukacita dalam relasimu dengan Tuhan, mungkin itu karena kamu memercayai beberapa miskonsepsi tentang kasih Allah.

Miskonsepsi #1: Hidup orang Kristen itu isinya cuma penderitaan dan gak ada kebahagiaan sama sekali

Kebenarannya: Allah ingin kita mengalami kebahagiaan sejati yang berasal dari kepuasan di dalam-Nya.

Kita sering diberitahu bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup Kristen (1 Petrus 4:12; 1 Yohanes 3:13)… yang jika kita pahami dengan parsial akan membuat kita berpikir kalau yang Allah mau ialah kita hidup menderita dan tak boleh bahagia.

Alkitab tidak berkata bahwa mengikut Tuhan berarti menjalani hidup yang tidak bahagia. Faktanya, Alkitab memberi tahu sebaliknya—kebahagiaan dan kepuasan datang dari Allah (Pkh 3:12-13; Kis 14:17), dan Dia memanggil kita untuk bersukacita (Fil 4:4), berpuas di dalam-Nya (Maz 37:4). Perjanjian Lama mencatat banyak momen perayaan dan sukacita bagi umat Allah, dan ketika Yesus melayani di bumi, Dia bercengkrama dengan anak-anak, makan bersama, bahkan diundang ke pesta perkawinan.

Si Jahat mau kita berpikir bahwa penderitaan dan kebahagiaan tidak bisa berjalan berdampingan, dan jika Allah mengizinkan penderitaan, Dia jelas tidak suka dengan kebahagiaan. Kita pun mudah terjebak pada pemahaman bahwa bahagia itu selalu terkait dengan kenyamanan, memanjakan diri sendiri, dan hidup yang minim masalah. Semuanya tentang apa yang aku mau, apa pun kondisinya.

Allah ingin kita mengerti bahwa Dia peduli akan kebahagiaan kita dan Dia memberikannya melalui berbagai cara, entah itu dari menikmati ciptaan-Nya, merayakan hari-hari istimewa dengan orang terkasih, atau menemukan kepuasan dari pekerjaan kita. Yang terpenting, Allah ingin kita tahu bahwa kebahagiaan datang dari taat pada-Nya (Mazmur 68:3). Yesus memberi tahu kita untuk tinggal tetap di dalam kasih-Nya dengan menaati perintah-Nya supaya “sukacitamu menjadi penuh” (Yohanes 15:10-11).

Lebih dari sekadar perasaan atau khayalan, kebahagiaan yang sejati datang dari memercayakan hidup kita sepenuhnya kepada Pribadi yang tahu betul siapa kita, yang memberi hidup-Nya bagi kita semua, dan yang hanya akan melakukan yang terbaik buat kita.

Miskonsepsi #2: Segala sesuatu dirancangkan Tuhan untuk “mendatangkan kebaikan”, jadi pada akhirnya semua harus berhasil!

Kebenarannya: Tidak semua hal pasti berhasil, tetapi Allah selalu bekerja di dalam segala sesuatu dan melalui kita untuk kemuliaan-Nya.

Beberapa dari kita mungkin punya pemahaman dari sisi ekstrem: bahwa jika kita sungguh percaya pada Yesus, Dia akan membantu dan menjadikan semuanya berhasil seturut pikiran kita.

Namun, gagasan tentang ‘kebaikan’ versi kita seringkali berbeda dari versinya Tuhan. Dalam ayat Roma 8:28, kita mungkin berpikir bahwa “…mendatangkan kebaikan” itu kebaikan yang sesuai dengan yang kita harapkan.

Hasilnya, ketika keadaan kita tidak membaik, kita menerka-nerka apakah Tuhan tidak peduli, atau mungkin iman kita kurang besar? Kita terbiasa dengan pemahaman “kerja keras pasti sukses”, dan kita pun akhirnya menciptakan pemikiran sendiri akan isi Alkitab bahwa ketika Yesus menjanjikan hidup yang ‘penuh’ itu berarti tentang menerima lebih dan lebih. Jika kerangka pikir ini kita pakai, alhasil kita akan bingung: apa arti ikut Tuhan kalau gak membuat hidup kita jadi lebih baik?

Roma 8:28 memang membahas soal ‘kebaikan’, tetapi konteks sebenarnya adalah Allah tidak hanya rindu untuk mengubah keadaan kita, tetapi Dia bekerja di dalam dan melalui kita untuk kebaikan kita dan kemuliaan-Nya, supaya kita menjadi serupa dengan Putra-Nya (Roma 8:29). Artinya, meskipun hasil baik yang kita harapkan tidak terwujud, Allah bekerja di dalamnya sehingga kita diubah menjadi semakin baik. Kita bertumbuh dewasa, lebih sabar, dan semakin serupa dengan Kristus melalui momen-momen sulit.

Karena itulah kita dapat tegar beriman meskipun keadaan ada di luar kendali kita. Seperti orang-orang kudus yang telah mendahului kita, menaati perintah-Nya, percaya pada pribadi dan waktu-Nya, Allah sendiri yang akan meneguhkan iman kita dengan Roh Kudus-Nya dan Dia berjanji menyertai kita setiap saat.

Miskonsepsi #3: Kamu gak boleh punya keinginan, semuanya hanya tentang maunya Tuhan, iya kan?

Kebenarannya: Allah memberi kita keinginan dan kehendak bebas. Ketika kita membawa semua ini kepada-Nya, Dia akan menolong kita tumbuh dewasa supaya keinginan kita selaras dengan kehendak-Nya.

Miskonsepsi ketiga adalah kita berpikir bahwa ketika Yesus memanggil kita untuk ‘menyangkal diri’ (Matius 16:24), seolah Dia berkata bahwa kita tidak boleh lagi punya keinginan karena itu dianggap tidak penting. Sederhananya: kita hanya boleh ingin apa yang Tuhan juga inginkan.

Namun, cara berpikir ini membuat kita melihat dunia dari sudut pandang yang salah. Kita secara tak sadar membagi dua, antara yang ‘rohani’ dan ‘duniawi’. Contoh: kita hanya boleh membaca Alkitab dan tidak menonton Neteflix; kita hanya boleh pergi ke gereja daripada nongkrong dengan teman yang bukan Kristen… Alhasil segala aktivitas yang kita nikmati kita anggap sebagai tidak saleh dan tidak berkenan bagi Tuhan.

Ketika Allah memanggil kita untuk menyangkal diri, yang Dia minta adalah kita menyerahkan hasrat keberdosaan kita—bukan keinginan dan kepribadian kita yang unik yang Dia berikan pada kita. Jika Allah tidak peduli akan keinginan dan siapa kita, Dia tidak akan memberi kita kehendak bebas agar kita membuat pilihan. Jika yang Allah inginkan hanyalah mematahkan setiap rencana kita agar kita seperti robot, rencana penebusan-Nya dengan menunjukkan kasih bagi kita tak akan mungkin.

Coba pikirkan ini: ketika kita muda, sulit untuk mengerti mengapa orang tua kita mengatakan “tidak”, atau ketika mereka memberi sesuatu yang bukan keinginan kita. Namun, saat kita dewasa dalam berpikir, lebih mudah untuk mengerti apa yang jadi kehendak dan isi hati para orang tua.

Dengan cara yang sama, Paulus berulang kali memanggil gereja untuk bertumbuh dewasa (Ef 4-5, Fil 3) agar mereka (juga kita) mencintai hal-hal yang menyenangkan Tuhan, dan mengerti bagaimana caranya menyelaraskan talenta dan keinginan kita dengan rencana-Nya bagi kita.

Miskonsepsi #4: Yang penting mengampuni, selebihnya ya udah terserah orang itu

Kebenarannya: pengampunan itu tidak bicara soal menoleransi dosa, tetapi memilih untuk tidak membenci atau tidak berdiam diri dalam rasa sakit.

Sebagai orang Kristen, kita diajar untuk mengampuni sebagaimana kita telah diampuni, dan pembalasan itu hak Tuhan (Roma 12:19)… jadi tugas kita cuma ‘ampuni’ lalu ‘biarkan’. Pemahaman ini sering berujung menjadi rasa cuek yang justru menunjukkan ‘penerimaan’ kita terhadap perilaku berdosa tanpa meminta orang tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya.

Kitab Mazmur menegaskan kita bahwa Alkitab tidak menganggap lalu begitu saja kejahatan dan ketidakadilan, tetapi semuanya akan dibawa pada Allah pada akhirnya. Pemazmur juga secara gamblang berseru agar Allah memberi hukuman, yang di zaman modern ini membuat kita berpikir “kok bisa Allah yang katanya penuh kasih malah begitu?”

Perjanjian Baru memberikan contoh yang tampak berkontradiksi. Orang-orang percaya dipanggil untuk saling menegur dan memperbaiki (Matius 18:15-17, Lukas 17:3), tapi di lain ayat malah dipanggil untuk jangan lagi bergaul dengan pendosa (1 Kor 5:9-12, 2 Tes 3:6, Titus 3:10).

Melalui ayat-ayat ini, kita melihat bahwa pengampunan bukanlah tentang dengan sengaja menoleransi atau mengabaikan untuk memperbaiki apa yang jelas-jelas salah, terutama di dalam tubuh Kristus, tetapi memilih untuk tidak menyimpan kebencian atau memikirkan luka yang kita alami.

Jangan biarkan pemikiran ekstrem ini mengurangi pemahamanmu tentang kasih Tuhan. Ketika keraguan dan kekecewaan muncul, larilah kepada-Nya dan mintalah pengertian. Mintalah Dia untuk membantumu merasakan dan melihat bahwa Dia baik.

Dan ketika kita belajar untuk menaati perintah-Nya bagi kita, kita juga perlu menerima ketentuan dan janji-Nya—bahwa Yesus yang hidup di dalam kita, Rohlah yang memberi kita pengertian dan kuasa, dan Allah Bapa yang akan menyelesaikan pekerjaan baik yang telah Dia mulai di dalam kita.