Posts

Sembuh Tapi Tidak Sembuh, Tidak Sembuh Tapi Sembuh

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Empat tahun yang lalu, aku dan seorang teman dokter melakukan pelayanan di sebuah rumah tahanan (rutan). Setelah aku berkhotbah, kami mengadakan pengobatan gratis untuk semua tahanan berikut para sipir yang ada di sana. Kami lalu mendapatkan informasi bahwa ada seorang tahanan yang bukan orang Kristen yang menderita kusta dan tidak lagi bergaul dengan semua orang di rutan. Dia juga tidak lagi datang ke tempat ibadahnya.

Segera kami mengunjungi orang itu. Kami cukup kaget karena dia tidak bersedia memperlihatkan kondisi tubuhnya. Seluruh tubuhnya dia tutupi dengan kain tipis berwarna agak gelap, hanya menyisakan satu lubang sebesar mata supaya dia tetap bisa memandang kami saat bercakap-cakap. Mungkin dia malu, atau mungkin juga tidak ingin kami terjangkit. Namun, satu yang pasti adalah dia tidak bahagia dengan kondisi tubuhnya, apalagi dia berada di tengah-tengah kelompok yang menjauhinya karena tidak tahu banyak fakta-fakta tentang penyakit kusta. Sejujurnya, saat aku memandangnya aku sangat berharap mukjizat terjadi, tetapi setelah beberapa waktu berselang Tuhan berkata lain. Teman kami, seorang tahanan yang sakit kusta itu telah meninggal.

Pengalamanku melayani di rutan itu membuatku menyadari bahwa setiap orang haus akan relasi. Kita ingin diterima, kita memerlukan sentuhan, kita ingin sehat, pun kita ingin meraih banyak hal dalam hidup. Penyakit telah membatasi banyak hal dari kita. Setiap kali aku mengingat teman kami yang menderita kusta itu, timbul banyak pertanyaan dalam hati. Bagaimana rasanya menghabiskan waktu di sebuah ruangan sempit dan gelap sehari-harian? Bagaimana rasanya tertolak dan sendirian? Setelah teman dokter memberikan petunjuk medis untuknya, aku hanya bisa mendoakannya.

Penyakit kusta bukanlah penyakit baru. Dua ribu tahun lalu, Yesus menyusuri perbatasan Samaria dan Galilea dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem. Dia menghadapi sepuluh orang kusta dan mereka semua berseru senada, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (Lukas 7:11).

Ada banyak hal yang bisa kita telaah dari kisah itu, tetapi ringkasnya, kesepuluh orang kusta itu menderita lahir dan batin. Kusta telah memisahkan mereka dari komunitas, dari masyarakat dan keluarga. Mereka dipandang sebagai orang yang terkena “kutuk” dari Tuhan. Lalu, karena orang pada masa itu percaya bahwa kusta tidak bisa disembuhkan oleh pengobatan medis, maka teriakan mereka pada Yesus tentu berasal dari hati yang benar-benar hancur.

Kusta yang tertulis di sini bukanlah sekadar tentang sakit akan kulit yang meleleh, tetapi juga relasi yang porak-poranda.

Tidak mengejutkan bagi kita karena Yesus dengan kuasa-Nya tergerak dan menyembuhkan sepuluh orang itu dari sakit kustanya. Tapi, hanya satu yang kembali pada-Nya dan memuliakan Allah. Ada banyak hal yang bisa dijelaskan pada bagian ini, tetapi yang paling ingin aku tekankan adalah bahwa meskipun sepuluh orang telah sembuh, hanya satu orang yang kembali. Satu orang ini adalah orang Samaria yang dianggap remeh oleh orang Yahudi. Kepada orang inilah Yesus berkata, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Lukas 17:19).

***

Mari kembali sejenak ke ceritaku di awal tulisan ini yang terjadi empat tahun lalu dan kita coba sedikit menduga-duga. Jika mukjizat terjadi setelah kami berkunjung dan mendoakan teman yang sakit kusta itu, apa yang akan terjadi? Mungkin kamu akan berkata, “nama Tuhan Yesus dimuliakan.” Tetapi, sayang sekali. Fakta dua ribu tahun lalu memberikan kita informasi yang mengecewakan. Yesus bahkan mempertanyakan sembilan orang yang tidak kembali (ayat 17), dan di sinilah letak krusialnya. Jika kamu dan aku percaya bahwa Yesus bisa membuat mukjizat (secara khusus kesembuhan fisik), orang-orang Farisi dan Saduki yang membencinya juga tahu itu, bahkan Iblis pun tahu.

Kisah tentang mukjizat kesembuhan bagi orang kusta itu tidak hanya bicara tentang kesembuhan tubuh mereka, tetapi bicara tentang iman kepada apa yang tidak bisa dibalas oleh manusia kepada Allah yaitu kasih karunia. Ini tentang keselamatan yang tidak bisa dibayar dengan apa pun selain belas kasih Allah dalam darah Kristus yang mengalir pada salib kasar itu.

Yesus Kristus Tuhan kita bukan sekadar penyembuh kusta, kanker, buta, lumpuh, AIDS, dan berbagai penyakit fisik mengerikan lainnya. Dia adalah penyembuh dari penyakit yang jauh lebih mengerikan daripada itu, penyakit yang telah membuat perselisihan antara ibu dan anak, pertikaian antar suku, peperangan antar bangsa, penyakit yang menghancurkan relasi antara Allah dengan manusia, yaitu dosa.

Ketika Yesus menyembuhkan berbagai macam penyakit fisik, Dia berfirman, tetapi untuk menyembuhkan orang dari dosa, Dia berkorban. Dia tergantung di salib dengan kesakitan dan menanggung malu sampai mati-Nya bukan hanya untuk menyembuhkan “kustamu dan kustaku yang bisa Dia selesaikan dengan berfirman. Dia terpaku di sana dan disiksa bagaikan seorang perampok untuk menyelamatkan kita dari kebinasaan kekal.

Apabila seseorang bisa sembuh dari penyakit fisiknya tetapi malah tidak sembuh dari penyakit yang mendatangkan kebinasaan roh, itu adalah sukacita semu. Ketika seseorang mungkin saja tidak sembuh dari penyakit fisiknya tetapi telah sembuh dari penyakit dosanya dan terus memuliakan Allah, itulah sukacita sejati. Jika Allah menyembuhkan penyakit di tubuh kita, entah itu melalui pengobatan, terapi, atau mukjizat, maka terpujilah Dia. Tetapi, jika Dia tidak menyembuhkan sakit fisikmu, Dia pasti menemanimu. Teruslah memuji Dia, karena jaminan keselamatan yang Dia tawarkan adalah sesuatu hal yang jauh lebih berharga.

Aku tahu mengatakan ini terasa mudah dibandingkan mengalaminya, tetapi jika saat ini kamu sedang terbaring sakit di rumah sakit, atau sedang merasa tak berdaya, muliakanlah Allah. Jika Allah menyembuhkanmu, muliakanlah Dia. Jika tidak, terpujilah Dia. Jika seseorang yang kamu kasihi menderita penyakit yang pada akhirnya akan atau telah merenggut nyawanya, ingatlah Tuhan kita, Yesus Kristus di atas salib itu.

Percayalah kepada-Nya yang telah berkata, “imanmu telah menyelamatkan engkau.”

Waktu Badai Kelam Datang, Ingatlah Bahwa Itu Pasti Akan Berakhir

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

“Si ambis”

Julukan itu disematkan buatku. Akar katanya berasal dari “ambisi”, yang artinya keinginan yang besar untuk memperoleh sesuatu. Aku tidak menolak julukan itu karena memang teman-teman mengenalku sebagai sosok mahasiswa yang giat belajar agar proses perkuliahanku dapat berjalan maksimal. Tapi… julukan itu menjadi beban buatku. Mereka sering mengandalkanku dalam urusan akademik karena dianggap pintar dan aku pun berusaha keras supaya julukan si ‘ambis’ yang mereka sematkan itu memang mengantarku pada nilai terbaik.

Namun, di akhir masa kuliah rupanya ekpektasiku tidak sesuai dengan realita. Nilai-nilai di tiap mata kuliah tidak sesuai harapanku. Malahan, teman-teman yang kupikir nilainya akan lebih rendah dariku malah meraih lebih baik. Aku pun berkecil hati. Rasanya julukan ‘si ambis’ tidak pantas kudapatkan karena hasil yang kuterima tidaklah maksimal.

Perasaan gagal dan kecewa memenuhi pikiranku dan aku kehilangan mood untuk beraktivitas. Suatu ketika, saat aku sedang berdiam diri di rumah, hujan turun dengan derasnya membuat mood-ku makin tidak bagus. Aku bergumam kesal. Ketika malam tiba, aku diam saja di kamar.

“Tok…tok,” suara pintu diketuk.

Ibuku masuk ke dalam kamarku dan mengajakku keluar rumah. Sebenarnya aku enggan keluar kamar, tapi supaya tidak memperpanjang percakapan aku menyetujuinya.

Di halam rumah, ibu mengajakku bercerita. “Nak, coba kamu lihat ke atas, apa yang kamu lihat?”

Aku tak tahu mau menjawab apa sebab langit malam itu tidak ada bedanya dengan langit di hari-hari yang lalu. Langit ya tetap langit, aku membatin. “Biasa saja, tidak ada yang istimewa,” jawabku.

Ibuku tersenyum dan menanggapiku dengan pertanyaan lagi. “Coba kamu lihat, ada bulan dan banyak bintang. Apa kamu tahu mengapa mereka jadi kelihatan sangat indah?”

Aku menggeleng.

“Karena langitnya gelap, Nak. Apa kamu sadar, bulan dan bintang memerlukan langit yang gelap agar sinarnya tampak? Dan dengan begitu mereka akan jadi terlihat sangat indah di langit malam.”

Aku agak terkejut. Aku tak pernah memikirkan benda-benda langit dengan sesentimentil itu. Ibuku masih belum berhenti bercerita, dia kembali berkata, “Sama seperti hujan yang turun sore tadi, jika kamu menunggu sebentar maka kamu akan lihat pelangi yang indah sehabis hujan turun. Apa kamu tahu kenapa pelangi itu sangat indah? Karena ia muncul dengan aneka warna di atas langit yang berwarna kelam kelabu. Bulan di langit malam dan pelangi sehabis hujan itu sama seperti kehidupan kita, Nak.”

Aku tak menanggapi ucapan-ucapan ibu. Aku tertegun, lalu teringat akan hal-hal yang membuatku sedih: perasaan gagalku. Saat kurenungkan lebih dalam, sebenarnya kegagalan yang kualami adalah hal alami yang terjadi dalam hidup. Yang namanya hidup pastilah ada kegagalan. Jika tidak pernah gagal maka aku tidak akan pernah maju. Lagipula, Tuhan sendiri pun telah berjanji bahwa sekalipun kita mengalami kegagalan atau hal-hal berat dalam hidup, Dia tidak akan meninggalkan kita. Tuhan selalu ada untuk menolong dan menopang kita agar kita selalu bangkit bersama-Nya (Mazmur 37:23-24).

Percakapan dengan ibuku pelan-pelan melembutkan hatiku dan menggantikan awan kelam dalam pikiranku dengan seberkas cahaya. Kegagalan dan kesulitan sering terasa seperti penderitaan yang tidak akan ada habisnya. Kehadirannya pun ibarat hujan lebat yang tak peduli akan turun di tanah mana. Namun, hujan tak selamanya turun. Ada waktunya untuk berhenti. Ada pelangi sehabis hujan, seperti lirik lagu yang tak asing kita dengar: seperti pelangi sehabis hujan, itulah janji setia-Mu Tuhan. Kadang memang dibutuhkan ‘kegelapan’ ataupun ‘badai’ agar kita bisa bersinar dan melihat pelangi.

Nilai-nilai yang kuraih bukanlah acuan untuk menunjukkan bahwa aku seorang yang pintar atau tidak, juga bukan penentu mutlak akan kesuksesanku di masa depan. Namun, bukan berarti itu semua tidak penting dan kita bisa menjalani studi asal-asalan. Prestasi akademik adalah buah dari perjuangan kita dan seharusnya kita bangga dan bersyukur apabila kita berjuang dengan sungguh-sungguh, bukannya kecil hati dan mengerdilkan segala usaha kita.

Sifat rajinku juga mungkin kepintaran yang orang-orang lain sering sematkan padaku adalah anugerah dari Tuhan yang seharusnya tidak membuatku tinggi hati dan menganggap rendah orang lain atau mengharapkan mereka memperoleh hasil yang lebih jelek dariku.

Kegagalan dan perenunganku menatap benda-benda langit malam itu membukakan wawasan imanku yang baru sekaligus meneguhkanku bahwa segala kelebihan dan kekuranganku adalah hal baik yang Tuhan berikan dalam hidupku dan aku dipanggil-Nya untuk memberitakan Injil, menyebarkan berkat Tuhan bagi orang lain dalam hidup sehari-hari.

Meskipun prestasi akademikku tidak sesuai harapanku, ini bukanlah akhir hidupku. Aku dapat belajar lebih rendah hati menerimanya sembari melakukan evaluasi diri untuk memperbaiki apa yang salah dalam diriku. Meraih nilai terbaik akan kulakukan bukan sebagai ajang untuk pamer atau memenuhi ambisi diriku semata, tetapi sebagai wujud syukurku memaksimalkan kesempatan studi yang Tuhan izinkan buatku.

Dalam sukses ataupun gagal, Tuhan senantiasa menolong dan menyertai kita. Kita tidak sendirian, kita selalu bisa memilih untuk bangkit bersama Tuhan.

Hujan Berkat-Mu, Itu yang Kami Perlu

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

Aku berlari kecil menuju halte di pinggir jalan, persis di depan gedung kantorku. Telapak tangan kugunakan menutupi kepala meski tidak terlalu berhasil melindungi kepalaku dari hujan. Akhirnya kujejakkan kaki di lantai halte, kukibas-kibaskan seragam kerjaku yang lumayan basah. Hujan sudah mengguyur kota ini sejak pagi, matahari entah kemana sepanjang hari. Aku melangkah, bergeser menghindari percikan air yang menetes dari atap halte. Beberapa saat bus yang kutunggu tampak di antara padatnya lalu lintas, orang-orang berdiri bersiap, berkerumun di tangga kenaikan. Kuperbaiki posisi masker yang kukenakan, satu menit kemudian aku sudah duduk di bangku bus.

Aku menyandarkan punggung, meluruskan kaki, dan mengecek ponsel. Sebuah notifikasi membawaku ke laman akun media sosialku, kugulir layarnya dan mulai tenggelam dalam berita-berita dan unggahan-unggahan di sana. Aku menggesernya sembarang, dan berhenti di unggahan foto milik salah satu akun berita. Aku bukan orang yang hobi membaca berita di koran atau sebagainya jadi jariku hampir menggeser layar lagi ke unggahan berikutnya setelah tidak sengaja kubaca judul dari berita tersebut. “Kekeringan Parah di Sejumlah Wilayah, Warga Mengalami Krisis Air untuk Bertahan Hidup”.

Aku tertegun, kubaca cepat isi berita itu. Aku cukup mengetahui beberapa wilayah yang disebutkan di sana. Aku menghela napas pelan lalu menghembuskannya, menyisakan titik-titik embun di kacamataku. Aku melepasnya, lalu memandang keluar jendela. Titik-titik hujan pun ada di sana. Hujan masih belum memberi tanda-tanda akan berhenti.

Kutempelkan kepala ke jendela, memejamkan mata, menghembuskan napas sekali lagi. Sejak pagi tadi, entah sudah berapa kali aku mengeluh akan hujan ini. Soal jemuran yang tidak kering, jalanan yang becek, atau cuaca yang dingin yang mengurangi konsentrasiku dalam bekerja. Tapi sepenggal berita ini benar-benar menegurku. Keluhan-keluhanku tadi pastilah sangat tidak seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang yang sedang menanti-nantikan turunnya hujan di wilayah-wilayah kekeringan itu. Aku lantas membalik keadaan apabila aku yang berada di sana. Membayangkannya sesaat saja membuatku semakin merasa bersalah.

Aku masih ingat ayat yang aku baca pagi tadi dalam waktu teduhku,

“Aku akan menjadikan mereka dan semua yang di sekitar gunung-Ku menjadi berkat; Aku akan menurunkan hujan pada waktunya; itu adalah hujan yang membawa berkat” (Yehezkiel 34:26).

Aku mengulanginya sekali lagi dalam hati, lalu merenung. Aku membaca ayat itu pagi tadi, bahkan mengingatnya hingga sore ini, tapi betapa ternyata aku tidak memahaminya sama sekali. Ini adalah waktu yang Tuhan mau untuk menurunkan hujan. Dan hujan yang membawa berkat ini harusnya kusambut dengan syukur. Mengapa justru mengeluhkan kain yang tidak kering?

Bus berhenti di perempatan lampu merah. Aku membuka mata, melirik ke luar jendela lagi. Beberapa anak terlihat sedang berlari-lari dengan bertelanjang kaki dan pakaian basah, tawa mereka terlihat jelas. Tanpa sadar aku tersenyum dan tersadar. Pakaian tidak kering bisa dijemur lagi, sepatu yang kotor karena becek bisa dicuci. Dan cuaca dingin bisa menjadi pendukung untuk tidur yang nyenyak malam ini, bukan?

Aku memejamkan mata lagi, “Terimakasih untuk hujan berkat yang menyejukkan ini ya, Tuhan” ucapku dalam hati.

Kulirik sekali lagi beberapa anak itu, tawa mereka seakan sampai ke telingaku. Aku tersenyum, hatiku hangat. Lampu lalu lintas berubah warna, bus kembali melaju.

Tanpa sadar aku bersenandung kecil,

Hujan berkat-Mu, itu yang kami perlu.
Sudah menetes berkat-Mu, biar tercurah penuh.
(KJ 403) (Yesaya 45:8)

Apa yang Tuhan Lakukan Saat Aku Menantang-Nya?

Oleh Gabrielle Meiscova

“Ya Bapa, tolong.. Jika kau mengizinkan aku untuk menjadi seorang copywriter di sana, aku akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Mu dalam hidupku.”

Itulah permintaanku pada Tuhan, alias aku menantang-Nya dengan sebuah jaminan. Menulis untuk Tuhan. Itulah intinya. Sesuatu yang sekarang ini menjadi tujuan hidupku.

Sudah hampir setahun aku berusaha keras mencari pekerjaan. Ratusan CV yang kutebarkan via email atau website tak kunjung mendapatkan jawaban. Segala harapan yang tertulis di dalam CV tersebut biasanya hanya diakhiri dengan balasan rejection letter. Seketika aku menyetujui ungkapan dunia yang mengatakan bahwa hidup itu keras. Boleh dibilang, aku berada di posisi terendah dalam hidup, alias depresi.

Saat itu, aku berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan permintaanku agar dapat diterima kerja di salah satu perusahaan digital agency. Mengapa aku memohon pada Bapaku seperti itu? Karena aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku menyerahkan tubuh, jiwa, raga, dan impianku ke dalam tangan-Nya. Aku tidak sanggup mengerjakan semua ini seorang diri. Saat aku berserah pada-Nya, Ia mendengar keluh kesahku. Sang Bapa berbisik lewat pikiranku, dan tiba-tiba aku mengingat ayat emas dari Alkitab, yang menjadi pedomanku saat katekisasi.

“Karena itu Aku berkata kepadamu: Apa saja yang kau minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Markus 11 : 24).

Iman! Itulah yang menjadi permasalahanku selama ini. Sebelum Markus 11:24 menegurku, jujur saja, aku ragu akan karya Bapa yang akan digenapkan dalam hidupku. Aku sering mengatur Tuhan agar Ia memberikan pekerjaan sesuai dengan apa yang aku inginkan, tanpa mempercayai dan mengimani kalau Tuhan akan memberikannya padaku di saat yang tepat, di waktu yang tepat. Saat itu, aku tidak ingat kalau keimananku pupus ditelan kebisingan dunia, karena terlalu banyak menghabiskan waktu di sosial media. Aku dibutakan oleh Iblis lewat quotes di media sosial, kalau hidup ini adalah milikku sendiri dan akulah yang harus mengatur hidupku akan berjalan ke arah mana. Aku tidak sadar kalau Tuhan yang rela mati di kayu salib untuk menebus dosaku adalah pemilik kehidupanku selama ini. Ia pun tidak akan meninggalkan anak-Nya berjalan sendirian.

Ada sebuah gambar yang kutemukan di explore Instagram, di mana ada seorang anak kecil yang sedang melukis sebuah tulisan PLAN bersama dengan Tuhan di sampingnya. Gambar itu memberikan kesadaran dalam diriku, kalau selama ini Tuhan bekerja dalam hidupku, dan aku sendiri memiliki tugas untuk membangun masa depanku bersama dengan-Nya. Selama ini, aku tidak melibatkan Tuhan dalam setiap rencana yang kubuat untukku dan masa depanku. Aku sungguh egois dan berpikiran sempit kala itu. Saat aku sadar akan kesalahanku selama ini, aku meminta pengampunan dari Tuhan, lalu Ia menjawabnya lewat sebuah ingatan dari kalimat yang pernah kubaca dalam sebuah buku, sebagai berikut. “Saat pertama kali main sepeda, kita pasti pernah terjatuh sehingga pengalaman saat terjatuh itulah yang membuat kita ingin terus mencoba mengayuh sepeda sampai berhasil mengendarainya.”

Tuhan mengampuni aku yang tidak beriman pada-Nya, dengan memberikan pemahaman bahwa tak apa jika kita terjatuh, sebab Ia sendiri yang akan menolong. Saat jatuh pun, Tuhan akan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk kita. Kadang manusia memang harus terjatuh, agar ia bisa menyadari kalau tangan Tuhan senantiasa terulur untuk orang yang meminta pertolongan-Nya.

Dalam Matius 14:22-33, diceritakan bahwa Petrus yang adalah salah satu dari ke-12 murid Yesus, pernah menantang-Nya agar ia bisa berjalan di atas air, saat para murid mengira bahwa Ia adalah hantu. Pada ayat 28 tertulis, “Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia : Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Tak disangka-sangka, Tuhan Yesus malah menyuruh Petrus untuk berjalan di atas air, walaupun pada akhirnya sang murid menjadi takut dan mulai tenggelam, hingga akhirnya Tuhan Yesus mengulurkan tangan-Nya untuk menolong Petrus. Kisah ini mengingatkan aku pada diriku sendiri, saat aku menantang Tuhan untuk memberikan pekerjaan sebagai copywriter itu padaku.

Saat aku mengerti apa yang diinginkan Tuhan dalam hidupku, segalanya terasa lebih mudah. Aku jadi banyak mengucap syukur atas berkat yang Ia berikan, dan saat aku mempertaruhkan masa depan pekerjaanku kepada-Nya dengan jaminan akan menulis kesaksian tentang kebaikan-Nya, Ia memberikan pekerjaan itu padaku. Tuhan mengizinkan aku untuk melayani-Nya lewat tulisanku.

Aku masih harus banyak belajar, khususnya dalam menulis, tapi aku sudah sadar kalau pekerjaan yang kulakukan bersama dengan Tuhan akan berjalan secara maksimal, saat aku melibatkan-Nya dalam tiap tulisanku.

“Allah sanggup melakukan segala perkara. Dulu, sekarang, dan selamanya kuasa-Nya tidak berubah.”

Ya Tuhan, ajar aku memiliki kepekaan untuk mengerti apa yang Kau kehendaki dalam hidupku. Tetaplah bimbing anak-Mu ini untuk terus menjalani hidup ini sampai menuju kekekalan bersama dengan Engkau, ya Bapa.

Cerpen: Ira dan Nathan

Oleh Meili Ainun

“Maaf, kami tidak bisa menerima anak ibu. Persyaratan untuk masuk kelas 1 adalah anak sudah dapat membaca dan berhitung dengan lancar. Anak ibu tidak memenuhi persyaratan kami.”

“Tentu. Tentu saja kami menerima anak ibu dengan senang hati. Biaya sekolah per bulan tiga juta rupiah. Ditambah biaya makan, buku, kegiatan sekitar dua juta rupiah. Total biaya per bulan adalah lima juta rupiah.”

“Hasil tes anak ibu tidak memenuhi syarat untuk masuk kelas 1. Kami mohon maaf. Demi kebaikan anak ibu, kami menyarankan agar dia masuk ke sekolah khusus yang lebih sesuai dengan kemampuannya.”

***

Berbagai pesan yang disampaikan oleh beberapa sekolah kembali terngiang dalam pikiran Ira.

“Lagi-lagi penolakan.. Dan biayanya.. Oh, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus mama lakukan, Nathan?”

Nathan yang sedang bermain Lego langsung menoleh dan tersenyum mendengar namanya dipanggil.

Ira tersenyum kembali pada Nathan. “Yuk, kita tidur.”

Di tepi tempat tidur, Ira berlutut bersama Nathan. Dengan wajah serius, Nathan memejamkan matanya menunggu Ira berdoa.

“Tuhan yang baik, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih Tuhan menjaga Nathan. Terima kasih untuk makanan yang kami makan. Terima kasih untuk tubuh yang sehat. Tuhan, tolong kami menemukan sekolah untuk Nathan. Sekarang kami mau tidur, tolong jaga kami ya Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin.”

Nathan menyahut dengan bersemangat. “Amin. Sekarang cerita.”

“Nathan mau dengar cerita apa?”

“Daud.”

Ira duduk di atas tempat tidur, mengambil Alkitab anak-anak, membuka halaman tertentu, dan membiarkan Nathan memegang Alkitab itu. Lalu Ira mulai membacakan cerita Daud melawan Goliat. Mata Nathan terlihat antusias melihat gambar-gambar yang ada.

“Tuhan hebat!” begitu komentar yang biasanya Nathan ucapkan tiap kali Ira selesai membaca cerita.

“Ya, Tuhan hebat. Mama sayang kamu,” sahut Ira memeluk Nathan.

“Nathan sayang mama,” kata Nathan.

Setelah memastikan Nathan tertidur, Ira duduk di ruang tamu dengan perasaan sedih.. Ira menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Apa yang harus kulakukan? Hanya sekolah ini yang mau menerima Nathan. Tetapi lima juta sebulan? Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?”

Sejak kematian Hendri, suaminya akibat kecelakaan lalu lintas pada awal tahun, tidak banyak pilihan kerja yang bisa diambil Ira karena Nathan harus selalu dijaga dan tidak dapat ditinggal tanpa pengawasan. Maka, Ira memilih bekerja sebagai agen asuransi karena jam kerja yang fleksibel. Bila Ira harus bertemu dengan klien di luar, Nathan dititipkan sebentar kepada tetangga sebelah yang bersedia menjaganya. Tidak ada anggota keluarga yang lain yang dapat memberikan bantuan karena Ira anak tunggal dan kedua orang tuanya sudah meninggal sedangkan orang tua Hendri sudah lanjut usia dan tinggal di kota yang berbeda.

Namun penghasilan sebagai agen asuransi tidak menentu, dan tabungan yang dimilikinya tidak banyak, hanya cukup memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Ira bersyukur dia dapat tinggal di rumah yang cukup layak tanpa harus dibebani dengan cicilan rumah. Tetapi biaya pendidikan Nathan yang tidak sedikit membuat Ira resah. “Tuhan, apa yang harus kulakukan?”

Setiap hari diawali dengan rutinitas yang sama. Ira akan membangunkan Nathan pada jam yang sama, mengawasinya saat mandi karena Nathan sedang belajar mandi sendiri, lalu mereka makan pagi bersama-sama. Ira bersyukur Nathan mau makan apa saja yang disajikannya sekalipun sangat sederhana seperti bubur.

Kemudian waktu belajar pun dimulai. Bagi Ira, waktu belajar adalah waktu yang penuh tantangan. Ira tahu Nathan tidak begitu suka belajar. Ira berusaha mencari cara agar waktu belajar menjadi waktu yang menyenangkan bagi Nathan, namun Ira tahu dirinya bukan seorang yang sabar dan kreatif. Dan Nathan mudah sekali bosan.

“Nathan, ini huruf apa?” Ira menunjuk huruf A pada poster abjad yang ditaruhnya di meja.

Nathan menjawab dengan bangga. “A.”

Ira tersenyum dan memuji Nathan. “Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

“B”, sahut Nathan dengan cepat.

“Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

Nathan diam dan menoleh memperhatikan mainan Lego yang terletak di pojok.

“Nathan. Ini huruf apa?” tanya Ira kembali dengan penekanan pada suaranya.

Nathan menatap Ira dan menjawab, “A.”

“Tidak, ini bukan A. Yang ini huruf A. Ini bukan A. Ini huruf apa?” tanya Ira dengan panik.

“A,” jawab Nathan dengan keras.

“Bukan. Ini bukan huruf A. Ini huruf C. Ayo ingat, ini apa? C,” jelas Ira dengan nada suara kesal.

Nathan diam dan kembali memperhatikan mainan Lego.

“Nathan. Anak pintar. Ayo, belajar. Ingat ya, ini huruf A. Yang ini B, yang ini C. Sekarang coba ulangi lagi,” kata Ira sambil berusaha sabar.

“A. A. A. A. A,” teriak Nathan sambil berlari mengambil mainan Lego kesayangannya.

“Nathan, kembali ke sini. Kita belum selesai belajar,” Ira membentak dengan suara keras.

Nathan diam saja dan sibuk memainkan Lego di lantai.

“Mama bilang kita belum selesai belajar. Kalau kamu seperti ini terus, kamu tidak bisa pergi ke sekolah. Nathan, kamu dengar mama?” Ira menatap Nathan dengan marah.

Suara terisak-isak Nathan segera terdengar. Tubuh kecilnya tergoncang sedikit.

“Maaf…maafkan mama, Nathan. Mama tidak bermaksud marah padamu. Tetapi Nathan harus belajar. Oh…apa yang harus kita lakukan, Nathan?” Ira memeluk Nathan sambil menangis.

Ira menyadari dirinya kadang keras pada Nathan. Dia ingin memastikan agar Narhan dapat tumbuh sama seperti anak-anak lain. Ira tahu Nathan lahir dalam kondisi yang khusus. Nathan telah dibawa bertemu dengan beberapa psikolog dan mereka mengatakan hal yang sama. Nathan adalah penyandang Disabilitas Intelektual ringan dengan tingkat IQ 70. Hal itu membuat Nathan mengalami kesulitan kognitif. Meskipun umurnya sudah menginjak usia 7 tahun, Nathan baru mengenal beberapa huruf dan angka. Perlu waktu yang cukup lama bagi Nathan untuk mengingat sebuah huruf maupun angka. Ira tahu Nathan mampu hanya dia butuh waktu yang lebih lama dibanding anak-anak lain.

Ira sempat menyalahkan dirinya karena kondisi Nathan. Dia berpikir apakah dirinya penyebab Nathan lahir dalam kondisi itu. Para psikolog menyakinkan Ira bahwa tidak ada suatu penyebab pasti dalam kasus ini. Ada banyak faktor penyebab dan berbagai kemungkinan yang terjadi, sehingga tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri.

Meskipun Nathan kadang menyulitkan, namun Ira tahu dia tidak dapat hidup tanpa Nathan. Melihat Nathan tersenyum mampu membuat hati Ira merasa lebih baik. Mendengar Nathan bernyanyi lagu-lagu Sekolah Minggu kadang membuat Ira berpikir Nathan sama seperti anak-anak lain. Nathan memang suka bernyanyi dan paling senang bila hari Minggu tiba. Karena hari itu Nathan akan ikut Sekolah Minggu. Nathan bahkan memiliki pakaian khusus yang dia hanya pakai di hari Minggu.

Di Sekolah Minggu, Nathan akan duduk bersama anak-anak lain. Bernyanyi dengan suaranya yang enak didengar. Bertepuk tangan dengan gembira. Tersenyum lebar setiap waktu. Ira yang mengintip di pintu akan tersenyum juga. “Nathan yang manis,” begitu Ira menyebut Nathan.

Namun, hati Ira menjadi miris melihat Nathan yang duduk dengan tatapan mata kosong karena tidak mengerti apa yang sedang diceritakan guru Sekolah Minggu. Dan selesai Sekolah Minggu dimana anak-anak lain berlari dan bermain bersama, Nathan akan duduk sendirian bermain Lego. Kadang ada guru Sekolah Minggu yang menemaninnya, tetapi lebih sering dia sendirian. Ira sampai pernah meminta seorang anak untuk mau menemani Nathan setiap kali Sekolah Minggu selesai. Anak itu bersedia melakukannya tetapi hanya beberapa kali karena Nathan tidak bisa diajak ngobrol, dia tidak mengerti percakapan yang berlangsung. Pembicaraan mereka tidak nyambung. Maka Nathan akan kembali sendirian.

Adakalanya Ira ingin menyerah dengan keadaan Nathan apalagi jika Ira memikirkan apa yang harus Nathan hadapi bila sudah dewasa nanti. Namun di saat-saat Ira merasa dirinya tidak akan sanggup lagi bertahan, ada Firman Tuhan yang selalu menguatkannya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. (1 Petrus 5:7). Ira tahu dirinya dapat bergantung kepada Tuhan karena Dia adalah Tuhan yang setia dan pemelihara hidup. Meski Ira tidak selalu dapat mengerti rencana Tuhan terhadap dirinya dan Nathan, namun Ira percaya Tuhan tidak pernah salah. Nathan hadir dalam hidupnya bukanlah kesalahan. Seperti nama Nathan (Nathaniel) yang berarti anugerah Tuhan, bagi Ira, Nathan adalah anugerah Tuhan yang diberikan dalam hidupnya..

Tuli di Usia Muda, Namun Kasih Tuhan Tak Pernah Absen Kudengar

Oleh Jireh
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 纵然失去听力,我却听见上帝的恩典和爱

Ketika usiaku memasuki 24 tahun, kemampuan pendengaranku semakin berkurang. Kusampaikan keluhan ini ke keluargaku. Ketika seseorang bicara, aku cuma bisa mendengar dua atau tiga kata saja dalam satu kalimat. Diagnosis dokter bilang aku mengalami gangguan pendengaran sensorineural. Otakku kesulitan meraih sinyal suara sehingga aku tidak bisa mendengar orang berbicara.

Dokter menyarankanku memakai alat bantu dengar, meskipun mereka tahu kalau kelak aku akan mengalami tuli total karena belum ada obat atas penyakit ini.

Selama sebulan aku sangat sedih dan takut. Aku berpikir: Aku masih muda. Masih banyak yang aku mau lakukan dan belum terlaksana. Dan sekarang aku malah tuli? Bagaimana hidupku selanjutnya? Bagaimana pekerjaanku? Bagaimana aku bisa berkomunikasi? Aku bekerja sebagai sales. Tidak bisa mendengar dan berkomunikasi mustahil untuk bidang pekerjaan ini, dan aku harus mengubah taktik penjualanku menjadi online.

Kehilangan pendengaran ini juga semakin menambah rasa insecure yang kupunya sejak kecil. Aku sangat introver dan minder. Orang tuaku sering bertengkar dan membuatku berpikir dalam diri “Buat apa aku lahir?” Ketika orang tuaku akhirnya bercerai, aku dipaksa untuk meninggalkan lingkungan masa kecilku, yang akhirnya mempengaruhi hidupku secara keseluruhan.

Namun, tahun ketika aku kehilangan pendengaranku adalah tahun ketika aku juga percaya Yesus. Aku pernah baca Alkitab sebelumnya, tapi barulah saat kubaca Amsal aku mengetahui dan percaya Allah. Lalu, aku mulai pergi ke gereja.

Setiap kali aku merasa tak berdaya, firman Tuhan bergema di telingaku, memberikan penghiburan dan menopang rohku yang lemah:

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:4).

“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6).

Belas kasih dan kekuatan dari Allah besertaku dan menguatkanku sampai hari ini. Aku percaya Dia akan terus memelihara, menolong, dan menjagaku sampai aku berjumpa dengan-Nya. Harapan inilah yang mencukupkanku dan memberiku jaminan bahwa segala sesuatu terjadi seturut kehendak dan rencana Allah.

Dari kehilangan aku meraih

Aku menyerahkan sakitku kepada Tuhan. Kupercaya Tuhan Mahakuasa. Dia bekerja dalam segala sesuatu dan Dia tahu lebih banyak daripada yang kutahu akan apa yang harus terjadi dalam hidupku.

Pencapaian terbesar yang kuraih dari kehilangan pendengaranku adalah aku perlahan belajar untuk menikmati damai dan keheningan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku mulai menjauhkanku dari kebiasaan lamaku yang selalu sibuk dan rusuh mengerjakan satu hal ke hal lainnya.

Pertemananku juga mulai menyusut. Ada teman-temanku yang tak lagi mengobrol denganku karena mereka tak bisa sabar untuk berkomunikasi denganku dengan cara yang baru.

Dari semua ini, aku belajar bagaimana rasanya menjadi temannya Tuhan, berjalan erat bersama-Nya. Kulepaskan alat bantu dengarku, kututup pintu dan mataku, kubuka Alkitabku dan merenungkan sabda-Nya. Aku pun berdoa dan selalu mendekat pada-Nya setiap waktu.

Namun, ada pula kawan baru yang Tuhan berikan. Aku bertemu dengan teman-teman tuli dan semakin mengerti luka hati yang mereka alami. Mereka sering dipandang sebelah mata, ditolak, disalah mengerti, serta dihinggapi perasaan tak berdaya.

Dengan perspektif yang baru, kekurangan fisikku menjadi berkat yang indah. Meskipun raga manusia semakin lemah seiring waktu, roh selalu dibaharui hari demi hari (2 Korintus 4:16).

Aku tak lagi mengasihani diriku sendiri dan tak perlu lagi menyembunyikan kekurangan fisikku. Sekarang aku akan menyapa duluan orang yang kutemui. Meskipun pendengaranku telah hilang, aku semakin membuka diriku dan lebih siap untuk menghadapi dan menerima kehidupanku.

Mukjizat pemulihan

Jika bukan karena Yesus, kasih Bapa, dan sabda-Nya yang menghidupkan, kondisi fisikku hanya akan membuatku jatuh makin dalam ke jurang mengasihani diri. Aku akan lebih takut dan depresi. Namun, syukur kepada Allah yang menjauhkanku dari segala hal buruk tersebut, dan sungguhlah seala kemuliaan hanya bagi Dia.

Lima tahun setelah diagnosis itu, aku tiba-tiba meraih 90% pendengaranku hanya dalam dua minggu. Sensor-sensor di otakku mengalami perbaikan, meskipun tidak bisa sempurna. Tetapi, jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, ada perbaikan signifikan dalam pendengaranku–dari tak bisa mendengar sama sekali hingga bisa mendengar beberapa suara.

Bagiku, Tuhan memberiku mukjizat untukku pulih. Aku tak melakukan pengobatan atau terapi karena dokter bilang tak ada cara untuk sembuh. Bahkan seorang ahli yang kukenal pun bilang kalau kasusku sulit dijelaskan. Namun seperti yang Alkitab katakan, “Dan karena kepercayaan dalam Nama Yesus, maka Nama itu telah menguatkan orang yang kamu lihat dan kamu kenal ini; dan kepercayaan itu telah memberi kesembuhan kepada orang ini di depan kamu semua” (Kisah Para Rasul 3:16).

Segala kemuliaan bagi Allah.

Hidup Sederhana di Tengah Orang-orang yang Ingin Tajir

Oleh Agustinus Ryanto

Sebagai generasi milenial, aku menganggap diriku cukup gaptek dalam urusan investasi. Saat teman-temanku sudah mulai melek kripto, aku baru mulai menabung reksadana. Saat yang lain sibuk-sibuk-gelisah memantau grafik saham setiap hari, aku masih anteng-anteng saja memikirkan gurihnya sebungkus pecel lele yang nanti bakal kubeli sepulang kerja.

Dalam urusan penghasilan—jika aku membandingkan diriku dengan teman-teman satu lingkaranku—akulah yang paling bontot. Uang dingin dan dana darurat juga tidak banyak, namun sangatlah cukup untuk menghidupi diriku serta memberi sedikit nominal pada anggota keluargaku.

Perasaan stabil dalam diriku mulai bergejolak memasuki tahun 2020. Pandemi terjadi dan orang-orang mulai memikirkan bagimana caranya memutar uang agar bisa menghasilkan uang lagi. Seorang temanku yang menurutku cukup kompeten dalam dunia finansial menawarkanku untuk mulai belajar instrumen investasi, mulai dari reksadana, saham, sampai ke kripto. Itulah awal perkenalanku dengan dunia finansial digital, yang puji Tuhan sampai saat ini menolongku untuk lebih bijak mengelola keuanganku.

Namun, dalam dua tahun ke belakang aku melihat media sosialku banyak diwarnai oleh para influencer, juga segelintir temanku yang mengajak orang berinvestasi tetapi dengan narasi yang berbeda. Bukan agar punya tabungan untuk masa depan dan hidup cukup, tapi untuk mencapai kebebasan finansial segera, sesegera mungkin! Kebebasan finansial yang mereka tawarkan bukan sekadar hidup cukup, tapi hidup bermewah-mewah bergelimang harta. Dibalut dengan kata-kata promosi yang menggugah, serta video-video testimoni yang isinya flexing alias pamer harta, tak sedikit orang yang menyetor uangnya dalam jumlah besar, dengan harapan bahwa timbal baliknya akan sepadan, atau kalau bisa jauh melampaui modalnya.

Hasilnya? Tahun 2022 ini kita melihat satu per satu influencer yang gemar flexing diringkus polisi. Mereka memang tampak kaya, tapi kekayaannya itu diraih dari kekalahan orang-orang yang mereka persuasi. Para korbannya gigit jari karena merasa dibodohi.

Gugurnya para penganut flexing di media sosial ini lantas menggemakan refleksi dalam batinku. Apakah tajir yang sesungguhnya itu? Bagaimana jalan menuju kebebasan finansial yang berkenan bagi Tuhan dan tepat bagi kita? Apakah kita sebagai orang Kristen harus proaktif dan kreatif dalam mengejar kekayaan, atau berpasrah saja?

Psikologi tentang uang

Untuk menjawab perenunganku di atas, aku tidak akan membeberkan detail-detail teknis meraih untung dalam instrumen investasi A atau B, toh memang aku bukan ahlinya.

Namun, aku ingat sebuah buku berjudul The Psychology of Money yang kubaca bilang begini: “Mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan Anda dan lebih banyak berhubungan dengan perilaku Anda.”

Pada bagian pengantar buku itu diceritakan kisah tentang dua orang: Ronald dan Richard. Ronald adalah seorang petugas kebersihan tanpa gelar akademik, sedangkan Richard adalah seorang mantan CEO dengan gelar perguruan tinggi. Namun, di akhir hidupnya dua sosok ini punya kisah yang amat berbeda. Saat meninggal di usia 92 tahun, orang-orang kaget karena Ronald memiliki aset di atas $8 juta! Sementara Richard kehilangan semua rumah mewahnya karena disita.

Selidik demi selidik, rupanya diketahui kalau Ronald tak pernah menang undian atau dapat warisan. Dia cuma rajin menabung berapa pun yang dia bisa tabung di saham-saham blue chip. Setelah puluhan tahun, saham-saham itu berkembang dan bertambah nilainya. Sementara itu, Richard dengan segala kegelimangan hartanya berbuat tamak. Dia berutang untuk memperluas rumah mewahnya dan krisis keuangan pun terjadi, menghantamnya dari miliader kaya raya menjadi orang miskin yang terjerat utang.

Kisah Ronald dan Richard menggemakan bagi kita pertanyaan: dalam bidang apa lagi seseorang yang tak punya gelar sarjana, pelatihan, latar belakang, pengalaman formal, dan koneksi bisa mengalahkan seseorang dengan pendidikan, pelatihan, dan koneksi terbaik?

Pengantar buku tersebut mengatakan sulit untuk menemukan jawabannya selain pada bidang keuangan. Kita pun tentu tak asing dengan pepatah yang sudah diajarkan sejak dulu kala: jangan besar pasak daripada tiang; rajin pangkal pandai, menabung pangkal kaya. Baik pepatah lawas maupun kisah Ronald menunjukkan pada kita sebuah benang merah: ada upaya dan proses dalam menumbuhkan nilai uang yang kita miliki. Tidak dalam sekejap, tetapi bisa bertahun-tahun. Dan yang paling menentukan ialah: sikap hati.

Tentang sikap tamak

Dari artikel yang kubaca, ada sekitar 2000 ayat di Alkitab yang bicara soal uang. Tapi, hanya sekitar 500 yang bicara tentang doa. Ini bukan berarti doa dan iman tidak penting, bukan sama sekali. Bisa dikatakan, Alkitab menegaskan kita bahwa masalah uang tidak boleh diabaikan.

Uang adalah benda netral. Baik atau buruknya tergantung dari bagaimana kita menggunakannya. Uang bukan akar dari segala kejahatan, cinta akan uanglah yang jadi akar segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Cinta akan uang mewujud dalam sikap tamak manusia. KBBI mengartikan tamak sebagai sebuah sikap yang selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri. Ketamakan adalah sebuah sikap dan pengejaran yang tak akan pernah berujung. Saat seseorang telah mendapat sekian jumlah, ketamakan akan merongrongnya untuk meraih lebih dan lebih sampai dia sendiri pun tak tahu pasti seberapa banyak yang dia butuhkan. Alhasil, beragam cara pun dihalalkan. Logika menjadi nomor sekian. Ambisi untuk meraih lebih selalu menempati nomor wahid.

Uang yang sedianya netral bisa berubah menjadi jerat yang menghancurkan kita, jika sikap tamak itu tidak segera kita singkirkan, sebagaimana Alkitab berkata, “…tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (Yakobus 1:14).

Bukan tentang miskin atau kaya

Dalam artikel berjudul Teologi Kemakmuran, Kemiskinan, dan Kekristenan sang penulis menekankan bahwa kekristenan bukanlah tentang kaya atau miskin. Tuhan tak pernah menjanjikan umat-Nya hidup makmur setiap saat, tapi di sisi lain Dia juga tidak mengharapkan kemiskinan dan kesukaran bagi anak-anak-Nya.

Mengutip satu paragraf penuh dari artikel tersebut, tertulis demikian: “Lebih dari itu, Injil mengajar kita bahwa Yesuslah Raja pemilik segalanya, yang menanggalkan kejayaan-Nya untuk menjadi miskin dan melayani kita (Filipi 2). Jika kekayaan atau kemiskinan menjadi pusat identitas kita, kita telah memposisikan uang sebagai tuan dalam kehidupan kita. Kesetiaan pada Tuhan dan firman-Nya tidak diukur dari kekayaan atau kemiskinan kita dalam ukuran dunia. Karena sesungguhnya, kesetiaan pada Tuhan adalah pengertian bahwa sebenarnya kita adalah “miskin di hadapan Allah,” namun, dalam Kristus telah “mempunyai [hidup] dalam segala kelimpahan.”

Pada akhirnya kita perlu menyadari kembali bahwa kita hidup dan diutus di tengah dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Tidak ada yang sempurna di sini. Proses yang kita lakukan mungkin tak sejalan dengan akhir yang kita harapkan. Kita mungkin telah berusaha gigih untuk menabung, menekan pengeluaran, belajar investasi secara benar dan dan meletakkan uang kita pada lembaga-lembaga yang legal dan kredibel, namun bisa saja nominal yang kita raih malah membuat kecewa.

Dari perenungan panjang ini, aku berkomitmen untuk belajar menjauhkan diriku dari sikap tamak, dan menanamkan pemahaman bahwa segala yang ada padaku adalah milik Tuhan sehingga aku harus menggunakannya secara bertanggung jawab.

Aku akan menginvestasikan uangku dengan cara yang berkenan bagi Tuhan, agar uang itu dapat dipergunakan kembali untuk melayani-Nya.

Menyinggung judul tulisan ini, apabila aku, atau kamu sempat atau sedang merasa miskin karena pencapaian dan proses finansial kita tertinggal jauh dari orang lain, itu bukanlah fakta sebenarnya. Kita diberkati dan dipelihara Tuhan untuk hidup cukup. Bisa jadi kata “miskin” itu hanyalah label yang secara personal kita sematkan pada diri kita sendiri, sebuah hukuman yang kita timpakan ke diri sendiri atas perasaan gagal mengikuti standar hidup orang lain.

Kita tak perlu minder dengan pencapaian atau flexing yang dilakukan orang-orang di media sosial, karena dalam segala kondisi kita telah diberikan kasih karunia yang sangat mahal.

Di era keterbukaan informasi seperti ini, kita bisa belajar dan belajar lagi bukan hanya untuk menjadi cerdas, tetapi juga untuk menjadi bijak, agar dari kebijaksanaan itu lahir sikap dan perilaku yang menyenangkan hati Tuhan.

Dua Arti Pawang Hujan Bagi Kita

Oleh Agustinus Ryanto

Dalam acara akbar, kadang ada saja kisah renyah yang lebih heboh daripada peristiwa utamanya. Di gelaran MotoGP Mandalika Minggu (20/03) lalu, perhatian publik tertuju pada Rara Isti Wulandari. Rara bukan pembalap, tapi seorang pawang hujan yang seketika terkenal karena aksinya memutar-mutar pengaduk pada mangkok sambil merapal doa muncul di banyak media.

Pro kontra pun bermunculan. Yang pro mengelu-ngelukan kesuksesan Rara, sementara yang kontra menganggap menggunakan jasa pawang hujan itu klenik, tidak berdasar sains, ritual kuno, dan lainnya.

Jika kita melihat sedikit pada peta sejarah, keberadaan pawang hujan di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara mengenal ritus Kadiano Ghuse, di Banten ada tradisi Nyarang Hujan, dan banyak lainnya. Kepulauan Nusantara ada di wilayah tropis dengan dua musim: hujan atau kemarau. Jika hujan datang, tanah akan berlumpur. Acara besar bisa terkendala. Oleh karena itulah jasa pawang hujan menjadi penting.

Okeh, meskipun sepertinya asyik kalau saja kita membahas bagaimana mekanisme atau cara kerja pawang hujan itu beraksi, tulisan ini tidak akan mengarah ke sana.

Terlepas dari pro dan kontranya, aksi pawang dan hujan bisa merefleksikan kita akan dua hal:

1. Alam semesta tidak sepenuhnya ada dalam kendali kita

Mengutip dari tulisan Masruri yang berjudul “12 Macam Ilmu Pawang Hujan”, sebenarnya pawang hujan tidak bertugas untuk melenyapkan hujan, tapi menggeser awan hujan (dengan ritual mereka) itu untuk menjatuhkan airnya di tempat lain. Intinya: hujan tetap jatuh. Atau, di negara lain yang lebih maju, ‘ritual’ memindahkan hujan ini bisa dilakukan dengan cara yang lebih saintifik. Mengutip dari CNN, perusahaan di Inggris bisa melakukannya, namun butuh waktu 6 minggu persiapan dan biayanya US$150,000 alias lebih dari dua milyar rupiah!

Alam semesta dengan segala siklus dan fenomenanya adalah karya Allah yang agung dan sungguh amat baik (Kejadian 1:31). Untuk menatalayani segala ciptaan itu, Allah lantas menciptakan manusia sebagai ciptaan yang diciptakan-Nya di hari terakhir. Allah memberikan berkat sekaligus mandat untuk beranak cucu, memenuhi dan menaklukkan bumi, dan berkuasa atas segala binatang (ayat 28). Namun, pemberian mandat ini tidaklah menghilangkan fakta bahwa kendati manusia memiliki kuasa, manusia bukanlah pemilik dari alam semesta ini. Allah adalah pemilik dan pencipta, kita adalah orang yang diutus untuk menatalayani ciptaan-Nya.

Alkitab memberi kita contoh-contoh menarik tentang bagaimana Allah menggunakan alam semesta untuk menunjukkan kasih-Nya bagi manusia. Dalam kisah Yunus, Allah mengizinkan badai hebat menghantam perahu yang sedang berlayar ke Tarsis. Ke dalam laut bergelora itu, Yunus diceburkan dan kemudian ditelan oleh ikan raksasa. Sekilas kisah ini terkesan ngeri. Kok Allah yang baik malah menginisiasi badai dahsyat dan ikan raksasa. Namun, jika kita lihat dari sisi kasih Allah, kehadiran badai ini adalah ‘penyelamat’ untuk meraih Yunus kembali dari pelariannya, yang akan semakin menjauhkan dia dari rencana dan kasih Allah. Untuk menyelamatkan nyawa Yunus dari amukan badai, syahdan hadirlah ikan raksasa yang menelannya, yang memberi perlindungan sementara sampai Yunus dimuntahkan. Tim Keller dalam bukunya “The Prodigal Prophet” menyebutkan bahwa berada dalam perut ikan itu memberikan Yunus kesempatan untuk ‘berjumpa’ kembali dengan Allah, menerima kembali panggilan-Nya, untuk kelak tiba pada tujuan-Nya: mempertobatkan Niniwe.

2. Hujan adalah rahmat bagi bumi dan kita

November 2021 lalu, dalam perjalananku motoran dari Jakarta ke Malang, aku meraih pemahaman baru tentang hujan. Perjalanan hampir 1000 kilometer itu kuawali dengan doa, “Tuhan, jangan hujan ya.” Ketika awan kelabu pekat sudah menggelayut, ucapan itu semakin santer aku daraskan. Hasilnya, hanya sedikit momen ketika aku berhasil melewati awan kelabu itu tanpa kebasahan.

Hingga suatu ketika, saat motorku tiba di daerah Cangar, Malang, aku menepi dan duduk di sebuah warung pinggir jalan. Jas hujan kulepas, dingin dan anyep kurasa, lalu kuseruput segelas air jahe.

Kulihat bulir-bulir air di atas rerumputan, dan kusesap aroma segarnya. Aku membatin: sebenarnya, hujan itu rahmat bagi bumi. Meski aku mengeluh karena jadi repot, tapi hujan itu justru memberi berkat bagi tanah, tumbuhan, juga makhluk lainnya. Dengan adanya hujan, tanah menjadi subur, tumbuhan terpenuhi nutrisinya, dan manusia pun mendapatkan air untuk kelangsungan hidupnya. Hujan bukanlah bencana. Apabila saat atau pasca hujan muncul bencana banjir atau longsor, kita bisa selidiki itu terjadi karena ada ulah manusia di dalamnya: perubahan iklim, alih fungsi lahan, penumpukan sampah di sungai, dan sebagainya.

Jika hujan adalah rahmat bagi dunia, lantas mengapa aku menolak berkat itu hanya demi kenyamanan pribadiku?

Dalam sisa perjalananku menyusuri pesisir selatan Jawa, kuubahlah ucapan hatiku: “Tuhan, jika hujan harus turun, turunlah. Ajarlah aku yang kerdil ini untuk menikmati apa pun yang diturunkan langit bagi segala ciptaan di atas bumi.”

Hujan pun turun, mengiringi perjalananku. Basah dan ribet karena aku harus copot-pasang jas hujan. Namun, pemahaman akan hujan yang adalah rahmat ini menjadikanku bersukacita atas tiap tetesan air yang Tuhan berikan.

***

Dalam perjalanan hidup kita, ada kalanya ‘hujan’ dalam berbagai kadar datang—entah itu gerimis, hujan sedang, sampai badai dan puting beliung. Namun, kita dapat mengingat bahwa kendati kita tak punya kuasa untuk memberhentikan hujan itu, kita punya Allah yang mengasihi dan menciptakan alam semesta. Dalam cakupan kasih-Nya, ‘hujan’ itu Dia berikan sebagai rahmat yang menyirami kita.

Tuhan Buka Jalan, di Saat Tiada Jalan

Oleh Angel Latuheru, Ambon

Penderitaan menyadarkan manusia bahwa dirinya rapuh, oleh karena itu kita membutuhkan kehadiran sosok Ilahi. Ada suatu momen penderitaan yang mengubah caraku memaknai imanku. Kejadian ini berlangsung pada tahun 2019.

Di awal tahun itu, aku sedang menyelesaikan studi S-2 di universitas swasta di Jawa Tengah. Kampus mewajibkanku melunasi pembayaran uang kuliah paling lambat tanggal 7 Januari 2019. Namun, tak disangka-sangka, cobaan datang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Tepat di tanggal 1 Januari 2019, ibuku dilarikan ke rumah sakit di tengah kondisi finansial keluarga yang sedang kacau balau. Untuk memenuhi kebutuhan bulanan saja sudah sulit, sekarang ditambah harus masuk rumah sakit.

Ibuku didiagnosis menderita pneumonia yang mengakibatkan batuk dan sesak napas. Setelah serangkaian pemeriksaan, paru-paru beliau harus segera ditangani menggunakan metode Thoracentesis, yakni penyedotan cairan yang menumpuk di dalam rongga pleura paru-paru.

Beberapa orang anggota keluarga mulai meneleponku. Mereka mengabari kondisi kesehatan ibu, sesekali juga menekankan bahwa biaya rumah sakit terlalu besar, sehingga aku harus mengambil cuti kuliah. Aku tahu betul bahwa tabungan orang tuaku telah terkuras habis. Semenjak ayah pensiun, uang tabungan banyak terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan anak-anak. Kalau saja orang tuaku memiliki tabungan saat itu, tentunya aku lebih memilih uang tersebut dipakai untuk kebutuhan berobat ibu dibandingkan kebutuhan kuliahku. Jika kuliah terhenti masih boleh dilanjutkan, tetapi kondisi kesehatan yang memburuk dapat berakhir kehilangan nyawa. “Pasrah” ialah satu-satunya kata yang terlintas dibenak saat itu.

“Jika Tuhan sudah menempatkanku di garis start, maka Tuhan pasti akan menyertai hingga titik finish,” gumamku di dalam hati.

Aku mengimani apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 15:58: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia”. Semua jerih lelah tidak akan luput dari pandangan Tuhan. Mungkin perjalanan hidup mempertemukanku dengan awan hitam, bahkan badai, tetapi aku beriman pada waktu-Nya badai akan berlalu dan awan hitam akan digantikan pelangi di langit yang cerah.

Hari-hari terasa sulit dijalani ketika mengetahui kondisi ibu yang sakit dan aku harus memahami bahwa kuliahku akan terhenti pada semester akhir. Padahal jika aku mengambil cuti kuliah, maka kedepannya orang tuaku harus mengeluarkan biaya kuliah yang lebih besar agar aku dapat menyelesaikan studi S-2.

Dalam kondisi yang sedang merenung di kamar kos berukuran 3×3, tiba-tiba saja aku menerima telepon dari ibuku, yang kuberi nama kontak sebagai “Ibu Negara”. Beliau berkata:

“Nona, kuliahnya bagaimana? Kapan harus bayar uang kuliah?”

“Sudah harus dibayar Ma, terakhir tanggal 7, tapi nanti kakak ambil cuti kuliah aja. Kan mama lagi sakit pasti butuh biaya yang banyak.”

Mendengar jawabanku, beliau terdiam sejenak dan berkata:

“Nona tidak boleh berhenti kuliah. Pokoknya mama akan usahakan untuk mengirim uang kuliah sebelum tanggal 7.”

Ketika beliau berkata seperti itu, terdengar suara lantang di sebelahnya berkata; “Dari mana mau dapat uang buat bayar kuliah, mau nyuri? Buat berobat aja ini kita ngga punya uang. Jangan maksain keadaan!”

Mendengar kalimat tersebut ibuku hanya terdiam. Setelah pembicaraan berakhir, tangisku tidak bisa lagi dibendung. Aku tidak dapat menyangka, ibuku tetap mengkhawatirkan pendidikan anaknya dibandingkan kondisi kesehatannya sendiri. Ibuku melakukan hal yang bertolak belakang dengan banyak orang saat itu. Ketika mayoritas anggota keluarga menghantarku ke tepian untuk mengorbankan pendidikanku, ibuku dalam sakit yang dideritanya tetap mempercayai bahwa Tuhan akan membantu tepat pada waktu-Nya dan aku tetap harus melanjutkan studiku.

Saat itu pelarianku hanyalah doa, dengan percaya bahwa “God’s plan is always the best plan”. Terpatri benar di dalam ingatan saat itu, firman yang kubaca sebelum berdoa ialah Yesaya 55: 6-13, di kemudian hari ayat ini sering aku pakai ketika melakukan pelayanan. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” (Yesaya 55:8) Dari ayat inilah keyakinan, kepercayaan, dan pengharapan itu kembali datang. Aku mulai mengerti bahwa seberat apapun penderitaan hidup yang sedang dialami, aku harus tetap setia untuk mempercayakan hidup ini kepada Tuhan.

Tanggal 5 Januari 2019, pukul 08.00 WIB aku berencana untuk pergi ke kampus menanyakan persyaratan untuk mengurus cuti kuliah. Aku bergegas pagi-pagi karena pada hari Sabtu kantor administrasi kampus hanya buka hingga pukul 12.00 WIB. Saat hendak berangkat sekitar jam 07.30 WIB yang artinya waktu Indonesia timur menunjukkan pukul 09.30 ibu meneleponku untuk memberitahukan bahwa beliau akan segera menjalani prosedur medis dan uang kuliahku sudah ditransfer. Ternyata seorang saudara dekat membantu secara diam-diam. Tanpa pikir panjang “orang baik” tersebut bersedia membantu menanggung biaya rumah sakit dan biaya kuliahku. Beliau membantu tanpa membicarakan kepada seorangpun tentang apa yang telah beliau lakukan.

Tiba-tiba saja dalam kesulitan yang sedang keluargaku hadapi, dan saat aku berpikir tidak ada lagi kemungkinan untuk mengikuti semester akhir, Tuhan menunjukkan kuasa tepat pada waktu-Nya. Iman ibuku menyelamatkannya dan masa depanku. Iman ibuku menyadarkan aku bahwa seberat apapun cobaan hidup yang dihadapi, pengharapan kepada Tuhan tidak boleh sirna.

Hampir tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutku, karena rasa syukur atas kebaikan Tuhan. Sedari saat itu hingga tahun 2022 ini, aku dan keluarga selalu mengingat bahwa kami pernah melalui awal tahun yang berat bersama Tuhan. Awal tahun yang memberi kami kekuatan iman untuk menghadapi penderitaan lainnya di kemudian hari.