“Alkitab menyatakan bahwa orang kaya tidak bisa masuk sorga!” Seru pembicara retret tersebut. Dan ketika ia berkata demikian, matanya menatapku dengan tajam.
Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 2000, aku masih duduk kelas 2 SD Negeri di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Satu kelas hanya diisi dengan 22 siswa, termasuk aku. Bangunanya juga tidak sebagus sekarang. Dulu, temboknya bisa mengelupas sendiri karena termakan usia.
Lebih cantik, lebih pintar, lebih kaya—bagiku, itulah yang disebut sebagai kelebihan. Namun, bagi orang lain, aku memiliki kelebihan yang berbeda dari apa yang kupahami sebagai kelebihan.
“Ya Gusti, cepet banget ya dari hari Minggu ke hari Senin, tapi dari Senin ke Minggu lama banget. Coba jarak Senin ke Minggu kita sama kaya Pasar Minggu sama Pasar Senen di Jakarta, kan bolak-balik gak beda jauh.”
Biasanya hari raya Imlek selalu identik dengan angpau. Apa yang paling menarik dari angpau? Mungkin kamu akan menjawab uang yang berada di dalamnya. Namun, pernahkah kamu memperhatikan bahwa di kertas angpau tersebut terdapat sebuah aksara Mandarin 福 (dibaca Fú)?
Lappy, demikian aku menyebut laptopku. Benda ini sudah setia menemaniku selama lebih dari tujuh tahun. Aku ingat, pertama kali aku mendapatkan lappy adalah ketika aku sedang menyelesaikan skripsiku dulu.
Empat tahun lalu, aku bersilang pendapat dengan keluargaku dan aku pun tidak lagi tinggal serumah dengan mereka. Di waktu yang hampir bersamaan, aku mulai menghadiri ibadah di sebuah gereja kecil.
Beberapa minggu lalu aku bersama rekan-rekan di kelompok Pendalaman Alkitab membahas topik tentang pelayanan yang diambil dari buku Rick Warren yang berjudul The Purpose Driven Life. Aku menikmati tiap bagian yang ditulis di buku itu, hingga ada satu bagian dari buku itu yang menyentakku.