Teguran Allah yang Membuatku Kembali Pada-Nya

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

“Kasihanilah aku ya Allah, menurut kasih setia-Mu. Hapuskan pelanggaranku seturut rahmat-Mu yang besar.”

Ketika lirik lagu yang diambil dari Mazmur 51 itu dinyanyikan, tanpa kusadari air mataku menetes. Hari itu adalah hari Rabu Abu tahun 2015, hari di mana aku menyadari akan betapa berdosanya aku dan betapa dulu aku berusaha menjauh dari Allah.

Beberapa bulan sebelumnya, karena tergiur akan pekerjaan yang menghasilkan cukup banyak uang, tanpa kusadari aku mulai menanggalkan kehidupan rohaniku. Jika dahulu aku selalu memulai hari dengan bersaat teduh, sekarang aku malah hampir tidak pernah melakukannya. Ke gereja, ikut persekutuan, bahkan memiliki waktu khusus untuk berdoa pun tidak karena aku terlalu sibuk mengurusi pekerjaan yang kulakukan di samping kuliah. Iman Kristen praktis hanya sekadar sebuah status di KTP, tanpa aku memiliki kerinduan untuk menghidupinya.

Suatu ketika, aku ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas ke tiga kota sekaligus. Di minggu pertama bulan Oktober, aku ditugaskan ke Bandar Lampung selama lima hari. Kemudian, seminggu setelahnya aku ditugaskan ke Bogor, dan di minggu ketiga aku kembali ditugaskan ke Madiun. Dari tiga perjalanan dinas tersebut aku mendapat tanggung jawab membawa uang tunai sejumlah 12 juta rupiah, jumlah yang sangat banyak untukku yang saat itu masih berstatus mahasiswa.

Jauh sebelum aku mengiyakan perjalanan dinas ini, sebenarnya aku telah lebih dulu mengiyakan untuk menjadi bendahara di acara retreat persekutuan di kampusku. Tapi, karena kesibukan pekerjaan yang kupikir lebih menggiurkan ini, aku pun mengingkari tanggung jawabku di retret itu.

Sebuah insiden pun terjadi. Di perjalanan dinasku yang ketiga, tepatnya di kota Madiun, tak sengaja aku kelupaan dan meninggalkan uang itu di sebuah sekolah. Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, aku baru sadar kalau uang itu tertinggal saat kami telah tiba di Solo. Panik bukan main kurasakan saat itu. Badanku lemas. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika uang itu raib.

Dalam kondisi panik itu, temanku mencoba menenangkanku. Dia memintaku untuk pulang saja dulu, beristirahat, dan mencoba mengingat kembali bagaimana detail peristiwanya. Tapi, sulit sekali untuk berpikir jernih. Saat itu jam delapan malam, dan aku hanya bisa menangis karena dilanda kepanikan yang luar biasa. Seingatku, setelah melakukan presentasi singkat di sebuah sekolah, sepertinya uang itu tertinggal di dalam map yang kuletakkan di ruang guru. Jadi, kucobalah menelepon seorang guru di sekolah tersebut. Namun, jawaban yang kudapat tidak memuaskan. Katanya dia tidak melihat ada map yang tertinggal. Dan, katanya lagi, di hari Sabtu-Minggu sekolah itu tutup. Meski ada seorang yang menjaga sekolah, tapi orang itu mengalami gangguan pendengaran, sehingga dia tidak dapat mendengar suara bel apabila ada orang yang datang.

Aku hampir putus asa, tapi belum mau menyerah. Sampai di sini, aku coba untuk mengendalikan kepanikanku. Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Di titik di mana kehilangan arah inilah akhirnya aku kembali datang kepada Tuhan. Aku berdoa, “Tuhan, ampuni aku, dan tunjukkanlah jalan buatku,” pintaku lirih.

Saat itulah aku sadar, bahwa selama ini aku telah kehilangan fokus. Aku tahu bahwa bukanlah suatu kesalahan untuk bekerja sembari kuliah dan mendapatkan uang lebih. Tapi, ketika pengejaranku akan uang mulai membuatku abai dari apa yang seharusnya menjadi yang utama dalam hidupku—kuliah dan berelasi dengan Allah—di sinilah Tuhan mengingatkanku untuk memperbaiki diriku.

Setelah berdoa dan memohon ampun, aku pun memutuskan untuk meminta maaf kepada teman-teman panitia retret terlebih dulu karena aku telah mengabaikan tanggung jawab yang sebelumnya sudah kusepakati lebih dulu. Jadi, dalam kondisi hujan, aku segera memacu sepeda motorku ke tempat retret dilaksanakan. Di sana aku menangis, menceritakan apa yang baru saja kualami, dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada mereka. Dan, setelah itu, aku juga memutuskan untuk kembali ke Madiun. Ditemukan atau tidaknya uang itu, aku harus berusaha mencarinya terlebih dulu.

Singkat cerita, setelah enam jam mengendarai motor sendirian dari Yogyakarta ke Madiun, aku pun tiba di depan sekolah yang kuduga uangku tertinggal di sana. Lima belas menit berlalu, aku memukul-mukul gembok pagar sambil berteriak permisi. Tapi, tak ada respons sama sekali. Mulai pudarlah harapanku. Namun, tiba-tiba sesosok kakek tua yang katanya memiliki ganguan pendengaran itu muncul tak sengaja melintas di balik pagar dan melihatku. Dia pun menghampiriku dan kepadanya kujelaskan singkat bahwa kemarin sepertinya aku ketinggalan sesuatu di sana.

Tepat di ruangan guru, aku menemukan sebuah map bening teronggok di samping kursi. Di dalam map itu terlihat jelas lembaran uang seratus ribuan. Segera kuraih map itu dan kupeluk erat. Kepanikanku luntur. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Sesuatu yang kukira hilang itu akhirnya kutemukan kembali. Singkat cerita, aku pun kembali ke Yogyakarta dan amat bersyukur karena uang yang hilang itu akhirnya ditemukan.

Satu hal yang kupelajari dari insiden nyaris kehilangan uang ini adalah Allah adalah Allah yang baik. Allah itu baik bukan karena Dia mengizinkanku menemukan kembali uang yang hampir hilang karena kecerobohanku. Tapi, Dia baik karena Dia tetap menyertaiku sepanjang perjalanan hidupku, bahkan saat aku berpaling menjauh dari-Nya. Sekalipun saat itu uang itu raib, mungkin aku akan stres luar biasa, tapi aku tetap percaya bahwa Dia akan tetap menyertaiku sebagaimana janji-Nya yang berkata: “Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5).

Hari itu aku sadar, bahwa relasi dengan Allah bukanlah sebuah relasi yang bisa dibangun dengan ala kadarnya. Dalam teori komunikasi, relasi dapat terjalin apabila terdapat komunikasi dua arah yang menciptakan pemahaman bersama. Aku tak akan pernah memahami apa kehendak Allah apabila aku tidak mau meluangkan waktuku untuk mendengarkan suara-Nya. Relasi membutuhkan pengorbanan. Allah telah lebih dulu melakukan pengorbanan itu, melalui kematian dan kebangkitan Yesus, aku pun memiliki akses untuk berbicara langsung kepada Allah. Hanya, seringkali aku tidak memanfaatkan akses ini. Kesibukan dan keasyikan dunia sering membuatku memilih menjauh dari Allah.

Aku perlu bijak. Aku perlu hikmat dari-Nya dalam setiap aktivitas yang kulakukan. Selepas peristiwa itu, aku kembali mengatur jadwalku, membagi waktuku dengan efektif antara kuliah, bekerja, dan melayani. Aku memang tidak sampai keluar dari pekerjaanku, karena memang aku membutuhkan uang. Tapi, aku memangkas sedikit waktu kerjaku. Uang memang kubutuhkan, tapi uang bukanlah sesuatu yang utama. Tatkala aku menyerahkan segalanya pada Allah, maka Dialah yang akan memenuhi semua kebutuhanku.

Berkaca dari peristiwa nyaris kehilangan yang kualami, aku pun jadi teringat akan kisah Daud. Ketika Daud jatuh ke dalam dosa karena mengambil Batsyeba, Nabi Natan menegurnya. Respons Daud saat itu adalah mengakui dosanya, menyesal, dan bertobat. Jika kita membaca secara lengkap Mazmur 51, di sana kita mendapati ungkapan penyesalan Daud. Daud sadar betul bahwa Dia telah berdosa di hadapan Allah, oleh karenanya dia memohon pengampunan daripada Allah, seturut kasih setia dan rahmat Allah yang besar.

Menariknya, Allah tidak memalingkan wajah-Nya dari Daud. Allah mendengar seruan Daud dan Daud pun memperbaiki kehidupannya. Hingga akhirnya, Alkitab pun mencatat Daud sebagai seseorang yang berkenan di hati Allah (Kisah Para Rasul 13:22).

Mungkin dosa yang kulakukan dengan mengabaikan relasi dengan Allah itu terlihat sepele. Tapi, yang namanya dosa tetaplah dosa. Syukur kepada Allah, karena Allah mengasihi setiap orang yang berkenan kepada-Nya dan tidak pernah meninggalkan mereka seorang diri.

“Barangsiapa Kukasihi ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:19).

Baca Juga:

Puji Tuhan, Papa Kembali Mengikut Tuhan

Karena kekecewaannya kepada pemimpin gerejanya, Papa jadi menjauhi gereja dan Tuhan. Bahkan, sikap Papa kepada keluarga pun berubah menjadi buruk. Selama dua tahun aku dan keluargaku bergumul dengan Papa dan selalu berdoa agar dia dapat kembali pada Tuhan.

Aku Pernah Jatuh dalam Pacaran yang Tidak Sehat, Namun Tuhan Memulihkanku

Oleh Grace Lim, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Lost My Virginity But Not My Faith

Usiaku masih cukup muda ketika aku menjalani sebuah hubungan romantis. Sejak usiaku 15 tahun, aku sudah mulai memiliki hubungan pacaran yang berlangsung cukup lama.

Pacar pertamaku adalah orang Kristen. Kami berdua percaya kepada Tuhan, tetapi itu tidak secara otomatis membuat hubungan kami menjadi sehat. Hubungan kami melampaui batas-batas keintiman, tapi kami belum pernah sekalipun melakukan hubungan seksual. Selama masa berpacaran itu, aku menyakinkan diriku bahwa segala hal yang kulakukan itu tidak apa-apa karena kami berdua “saling mencintai” dan “kami orang Kristen”. Setelah dua tahun menjalin relasi yang diwarnai ketidaksepakatan dan pertengkaran, hubungan kami pun berakhir.

Karena aku ingin melepaskan diriku dari segala masalah yang dulu ditimbulkan dari hubungan pacaran pertamaku, aku pun segera menemukan pacar baruku tanpa banyak berpikir ataupun diliputi rasa menyesal. Kali ini, pacarku bukan orang Kristen. Lagi-lagi, hubungan kami melampaui batas-batas yang seharusnya. Saat itulah kami melakukan sesuatu yang lebih jauh dari apa yang kami rencanakan sebelumnya. Singkatnya, aku kehilangan keperawananku. Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya dan tidak bisa tidur karena aku tahu apa yang terjadi hari itu tidak dapat diperbaiki kembali.

Sekalipun hubungan pacaranku ini tidak sehat dan kami bukanlah pasangan yang sepadan. Sulit bagiku untuk melepaskan diri dari hubungan ini. Selama hampir tiga tahun, hubungan ini terus berlanjut.

Selama tiga tahun itu, aku menghadapi pertempuran yang tidak pernah berakhir dengan jiwaku sendiri. Kehidupan seksualku yang kututupi ini sangat kontras dengan kehadiranku di gereja setiap minggunya. Aku merasa jijik, kotor, dan bersalah. Aku benci kepada diriku sendiri. Aku tahu bahwa apa yang kulakukan itu salah namun aku tidak punya kekuatan untuk melepaskan diri. Seperti sebuah kecanduan, aku memberitahu diriku sendiri: “Sekali lagi saja dan itu sudah cukup!” Tapi, “sekali lagi” itu tidak pernah menjadi yang terakhir.

Aku menjauh dari Allah. Sekalipun secara fisik aku hadir di gereja, tetapi secara rohani aku tidak di sana. Aku bisa mengajar untuk selalu mengutamakan Allah, tapi kenyataannya malah aku menjadikan keinginan dagingku sebagai penguasa atas hidupku. Aku bisa hadir dalam persekutuan doa, tapi pikiranku melayang-layang. Aku sedang menghidupi kehidupan bermuka dua, dan inilah yang menjadi rahasiaku yang paling dalam dan gelap.

Pada intinya, aku merasa begitu berdosa dan menganggap bahwa apa yang kulakukan itu sudah melampaui batas karunia keselamatan yang Allah sudah berikan untukku. Aku yakin bahwa Allah membenciku.

Namun, Allah tidak pernah menyerah denganku; Dia terus mengejarku. Orang-orang di sekitarku berusaha menjangkau dengan menanyaiku apakah aku baik-baik saja atau apakah aku membutuhkan teman bicara. Ayat-ayat Alkitab menegurku; khotbah-khotbah yang disampaikan mengetuk pintu hatiku dengan penuh kasih. Tapi, sama seperti Firaun, hatiku dikeraskan.

Bertahun-tahun kemudian, melalui kasih karunia Allah, mataku akhirnya terbuka. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang beracun ini, mengakui dosa-dosaku di hadapan Tuhan, dan sekalipun aku merasa begitu takut, ada sesuatu yang mendorongku untuk berani menceritakan hal ini kepada seseorang yang aku percayai.

Aku menemui kakak pembimbing rohaniku, seorang wanita di gereja yang dulu membimbingku selama aku remaja. Aku ingat sekali ketika dia menanyaiku apakah aku lebih nyaman berbicara melalui telepon atau lewat chat saja. Aku memilih opsi kedua karena aku merasa canggung dan takut dihakimi.

Akhirnya, aku mengumpulkan keberanianku dan aku pun menceritakan rahasia tergelapku kepadanya: aku tidak lagi perawan. Hatiku bergetar. Aku menduga bahwa dia akan menghakimiku atau mengatakan supaya aku sebaiknya pindah gereja saja.

Tapi, apa yang ada di pikiranku itu tidak terwujud. Alih-alih menghakimiku, dia mengatakan bahwa selama ini dia telah memperhatikanku dan dia melihat bahwa ada yang berbeda dariku. Aku menjadi orang yang kurang fokus dan sering tertanggu. Dia bahkan berterima kasih kepadaku karena aku bersedia membagikan kepadanya hal yang sulit untuk diungkapkan. Dia juga meyakinkanku bahwa hidupku belumlah berakhir dan Allah tidak membenciku karena dosa.

Dia mengingatkanku bahwa dosa adalah sesuatu tidak terelakkan, menjalar dalam kehidupan setiap orang. Manusia telah kehilangan kemuliaan dan kekudusan Allah (Roma 3:23). Apa yang telah kulakukan itu bukan berarti bahwa aku lebih buruk daripada orang lain. Aku hanyalah manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Kemudian aku teringat ayat dari Roma 5:8: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”

Untuk pertama kalinya, aku mengerti sebuah kenyataan bahwa Allah sanggup mengampuni dosa yang membuatku sempat merasa bahwa aku telah terpisah dari-Nya selamanya. Tak peduli seberapa dalam aku terjatuh, aku tidak pernah terlalu jauh untuk diselamatkan Yesus. Malah, Yesus sudah terlebih dulu menyelamatkanku sejak aku menerima-Nya masuk ke dalam hatiku. Aku dipenuhi kasih karunia-Nya yang tiada bandingnya dan aku pun mengucap syukur bahwa Allah telah mendengar seruanku untuk “menyembunyikan wajah-Nya dari dosaku dan menghapuskan segala kesalahanku” (Mazmur 51:9).

Aku sadar bahwa Allah mengizinkan kesalahanku sebagai sarana untuk meremukkan egoku, untuk membawaku ke suatu titik di mana tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain daripada mencari-Nya. Di titik tergelap jiwaku itulah Allah memenuhiku. Tidak ada nama lain selain Yesus; aku tidak akan pernah mengalami atau mengetahui hal ini tanpa sebuah keputusasaan yang kualami hingga aku dikuatkan kembali oleh tangan-Nya yang setia.

Teruntuk kalian yang sedang bergumul dalam keterpurukan rasa malu, aku mau mendorong kalian dengan kebenaran-kebenaran berharga yang sebelumnya telah berbicara kepadaku:

  1. Jangan meremehkan kuasa darah dan penebusan Yesus. Allah berfirman kepada bangsa Israel yang terus menerus berpaling dari-Nya, “Aku, Akulah Dia yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku tidak mengingat-ingat dosamu” (Yesaya 43:25). Tentu, Allah pun akan mengingat kita. Karena Allah, masa lalu kita bukanlah sesuatu yang menentukan masa depan kita.
  2. Ingat bahwa kita semua adalah manusia yang rusak karena dosa, dan Allah tidak pernah memandang hina siapapun yang mencari Dia. “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mazmur 51:19).
  3. Meskipun keperawanan adalah hadiah yang indah bagi pasangan hidupmu, hal yang terbaik yang bisa kamu miliki adalah kasih yang teguh kepada Allah. Manusia mungkin melihat tampilan luarmu, tetapi Allah melihat hatimu (1 Samuel 16:7). Seorang pasangan hidup yang benar-benar mengasihi Allah akan melihat pertama-pertama kekudusan dan kemuliaan Kristus di dalam dirimu, bukan sesuatu yang hanya terlihat dari luar saja.

Satu minggu dalam hubungan yang kujalin dengan pasanganku sekarang, aku terdorong untuk menceritakan masa laluku kepadanya. Aku tahu bahwa tindakan ini memiliki risiko. Ketika akhirnya aku selesai berbicara kepadanya, tanggapannya memancarkan kasih Allah dan menurutku hampir sempurna. Dia mengatakan, “Aku tidak marah kepadamu. Kita semua punya kesalahan masing-masing, tapi kesalahan-kesalahan itu tidak mendefinisikan siapa dirimu sesungguhnya. Bukankah ini yang membuat kita perlu Tuhan? Kita memang melakukan kesalahan, tapi kita sendiri adalah bagian yang berbeda dari dosa-dosa itu karena pengampunan Allah. Dosa-dosa bukanlah bagian dari identitas kita lagi. Aku tetap mengasihimu.”

Seiring berjalannya waktu, aku belajar bahwa pergumulan yang kualami bukanlah pergumulan yang kualami sendirian. Allah bisa menggunakan kerapuhan dan kehancuran kita untuk kemuliaan-Nya. Apa yang semula menjadi beban yang sangat berat untuk dipikul dapat menjadi sebuah kesaksian yang bisa kugunakan untuk menjangkau dan membagikan kasih Allah kepada orang-orang lain yang juga bergumul sepertiku dan aku pun bisa menjadi wadah supaya mereka dapat merasakan kasih Allah.

Doaku untuk semua orang yang sedang bergumul adalah bahwa Allah akan mengubah rasa sakitmu menjadi kekuatanmu dan kesaksianmu untuk melayani orang lain dan memuliakan nama-Nya. Berdoalah setiap hari untuk pemulihan dan serahkanlah segala bebanmu kepada Allah. Temukanlah teman atau pembimbing yang bisa kamu percayai, dan jalanilah proses pemulihan ini bersama-sama. Tangan Tuhan selalu terbuka untuk menerimamu, sama seperti seorang ayah yang menyambut anaknya yang hilang (Lukas 15:11-31).

Baca Juga:

Pelayanan di Balik Layar

Sebagai seorang yang melayani di balik layar, aku pernah merasa minder karena jarang sekali aku mendapatkan apresiasi mengenai pelayananku. Hingga akhirnya, Tuhan meneguhkanku akan istimewanya sebuah pelayanan di balik layar.

Pelayanan di Balik Layar

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

“Hebat banget sih pemimpin pujian itu, ingin rasanya aku menjadi seperti dia.”

Itulah kalimat yang terlintas di benakku tatkala aku melihat seorang pemimpin pujian, pemain musik, penari, ataupun anggota paduan suara yang bisa tampil dengan memukau di depan jemaat. Suara mereka yang merdu mampu mengajak jemaat untuk memuji Tuhan. Mereka juga tampil dengan lincah dan tampak sangat percaya diri. Setiap tindakan mereka di atas mimbar itu seolah menjadi sebuah kesaksian yang begitu hidup bagi para jemaat yang hadir di kebaktian.

Aku kagum dengan pelayanan yang mereka lakukan. Tapi, tanpa kusadari kekagumanku ini membuatku jadi membandingkan pelayanan yang mereka lakukan dengan pelayananku.

Sewaktu kuliah dulu, selama hampir dua tahun aku melayani di persekutuan kampus. Tapi, pelayananku bukanlah seperti mereka yang kukagumi. Pelayanan yang kulakukan adalah menjadi operator multi-media, menempelkan poster ajakan kebaktian tiap Senin pagi di kampus, menyediakan air minum bagi pembicara, juga menata Alkitab yang nantinya akan dibagikan di awal kebaktian. Pelayananku adalah pelayanan yang dilakukan di balik layar, tidak terlihat oleh orang banyak.

Di dalam hatiku, ada rasa tidak puas terhadap pelayanan yang kulakukan. Tidak seperti para pelayan di depan mimbar yang sering diberikan tepuk tangan ataupun ucapan terima kasih secara langsung, pelayanan yang kulakukan ini sepi dari apresiasi. Tak ada tepuk tangan ataupun ucapan terima kasih yang kuterima dari para jemaat. Jadi, aku pun merasa minder karena kupikir pelayananku ini bukanlah pelayanan yang berarti.

“Ketika kebaktian berjalan lancar setiap minggunya, adakah siapa yang bertanya siapa yang menyiapkannya? Atau, adakah yang bertanya siapa yang membawa peralatan kebaktian dan Alkitab dari gudang ke depan pintu masuk?” tanyaku dalam hati.

Aku mendapati bahwa dalam pelayanan yang kulakukan itu aku lebih sering mendapatkan tudingan daripada apresiasi. Ketika layar LCD mendadak mati atau slide pujian terlambat berganti, respons yang muncul seringkali adalah tudingan: “Siapa sih yang jadi operatornya?” Seolah mereka hendak berkata: “Bisa gak sih kamu kerjakan tugasmu lebih baik lagi?” Tapi, ketika segalanya berjalan lancar, hampir tidak ada apresiasi ataupun sekadar ucapan terima kasih yang diberikan kepadaku.

Pemahaman bahwa pelayananku ini kurang berarti dibandingkan para pelayan mimbar ini membawaku kepada rasa iri hati dan rendah diri. Akhirnya, aku kehilangan gairah dalam melayani. Pelayanan hanya menjadi sekadar rutinitas mingguan yang kulakukan. Lama-lama pelayananku jadi terasa hambar. Saat teduh pun kulakukan ala kadarnya, hanya sekadar aktivitas supaya ketika ditanya oleh kakak pembimbing rohaniku aku bisa menjawab: “Aku sudah saat teduh kok.”

Hingga suatu ketika, aku mendengar khotbah di kampus dan sebuah ayat dari Kolose 3:23 menjadi poin pembahasannya.

“Apa saja yang kamu kerjakan untuk tuanmu, lakukanlah dengan sepenuh hati. Karena kamu sebenarnya sedang melayani Tuhan – bukan manusia” (Terjemahan Sederhana Indonesia).

Sebenarnya ayat ini sudah sangat sering kudengar. Aku bahkan sudah hafal. Namun, kali ini, ayat ini membuat air mataku mengalir. Aku tertegur dan mendapati bahwa betapa aku hanya ingin mencari pujian manusia. Alih-alih mempersembahkan seluruh pelayananku untuk Tuhan, aku malah berfokus pada apresiasi dari manusia. Ketika aku tidak dipuji oleh teman-teman dan pembimbingku atas pelayanan yang kulakukan, aku menjadi sedih dan juga kecewa.

“Lakukanlah dengan sepenuh hati, karena kamu sedang melayani Tuhan, bukan manusia”. Sejak khotbah itu kudengar, kalimat ini terus kuucapkan dalam hatiku setiap kali aku mengerjakan pelayananku yang di balik layar. Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku dapat menerima dan menyadari bahwa pelayanan yang kulakukan seharusnya adalah bentuk ungkapan syukurku kepada Tuhan. Yang harus aku ketahui adalah pelayanan ini adalah milik Tuhan, aku hanyalah pekerja-Nya. Sudah seharusnya yang mendapatkan pujian dan kemuliaan dari pelayananku adalah Tuhan itu sendiri.

Orang yang melayani di belakang layar mungkin tidaklah sepopuler orang-orang yang mendapatkan kesempatan untuk melayani di depan mimbar. Namun, kehadiran orang-orang di balik layar ini bukan berarti bahwa mereka itu tidak penting. Di dalam sebuah kebaktian, penyedia minuman untuk pembicara, orang yang mengangkat mimbar, orang yang membersihkan ruangan kebaktian, juga operator sound-system dan multimedia, mereka juga memerankan tanggung jawab yang penting. Tanpa mereka yang memerhatikan detail-detail terkecil, mungkin kebaktian tidak akan berjalan dengan lancar.

Ketika ruangan kebaktian kotor, mungkin jemaat yang akan beribadah menjadi kurang nyaman. Ketika bunyi mic dan pengeras suara tidak pas, mungkin jemaat menjadi kurang khusyuk. Ketika tidak ada air minum yang tersedia bagi pengkhotbah, mungkin pengkhotbah itu akan mengalami suara serak. Pada akhirnya, aku mendapati bahwa orang-orang yang tidak tampil di depan layar pun memiliki peranan yang penting, peran yang saling bersinergi untuk menciptakan pelayanan yang berkenan pada Tuhan.

Aku belajar bahwa pelayanan, apapun tugas dan tanggung jawabnya, itu adalah kesempatan berharga dari Tuhan dan sudah seharusnya untuk kemuliaan Tuhan saja. Siapapun itu, entah itu pelayan mimbar atau pelayan di balik layar, kita harus memberikan apapun yang terbaik yang bisa kita berikan. Lakukanlah semuanya itu untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Sebagai seorang yang dulu melayani di balik layar, aku juga belajar untuk terus bersikap rendah hati dan tidak mencari pujian. Setiap orang yang melayani dengan sikap rendah hati akan selalu menghargai pelayanan sebagai sebuah privilege atau kesempatan istimewa dari Tuhan, dan tentu dia tidak akan mencuri kemuliaan Tuhan melalui pelayanan yang dikerjakannya.

Melalui tulisan ini, aku pun hendak menyuarakan kekagumanku kepada setiap pelayan Tuhan yang melayani dengan rendah hati. Tulisan ini sama sekali tidak ingin menyudutkan orang-orang yang melayani di depan mimbar, justru aku merasa kagum karena melalui pelayanan inilah jemaat turut dibantu untuk menikmati hadirat Tuhan.

Setiap orang diberikan Tuhan talentanya masing-masing. Tetapi, hendaklah kita melakukan semuanya dengan sikap rendah hati dan tidak mencari pujian untuk diri sendiri. Baik pelayanan yang kelihatan maupun tidak kelihatan, biarlah yang ditampilkan dari setiap pelayanan kita adalah kemuliaan Kristus, seperti yang tertulis dalam Yohanes 3:30: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”

Baca Juga:

Saat Tuhan Mengajarku untuk Mengasihi Keluarga yang Berbeda Iman Dariku

Kasih. Kita sering mendengar kata ini. Mudah diucapkan, tapi sulit dipraktikkan. Inilah kisahku ketika Tuhan mengajarku untuk mengasihi keluarga besar ayahku yang berbeda iman dari kami.

Kapan Terakhir Kali Kamu Menikmati Waktu Luangmu?

Oleh Christine Emmert, Hong Kong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Did You Last Stop For A Coffee Break?

Satu setengah bulan yang lalu, aku menerima sebuah pesan singkat dari seorang temanku yang baru saja menikah dan sedang menjalani pendidikan pascasarjana. Dia bercerita padaku bahwa hidupnya sibuk, dan dia bertanya tentang bagaimana aku dan suamiku mengelola waktu di masa-masa awal pernikahan kami.

Sebagai seorang yang baru menikah selama tiga tahun, aku memberinya beberapa nasihat. Jika dirangkum, nasihat tersebut berbicara tentang dua hal: meluangkan waktu bersama Tuhan dan juga bersama pasangan. Sejujurnya, saat itu kupikir aku bukanlah orang yang paling tepat untuk dimintai nasihat. Suamiku bekerja penuh waktu, selain itu dia juga memiliki pekerjaan sampingan lainnya, dan kami pun sedang dalam proses untuk berpindah ke sebuah negara baru yang letaknya berada di seberang samudera Pasifik.

Dalam proses pengambilan keputusan ini, aku dan suamiku memikirkan dan mendoakan apakah kami benar-benar harus pindah atau tidak. Berbekal kemampuan dan passion yang kami miliki, kami rasa kepindahan kami ke tempat yang sebenarnya merupakan kampung halamanku itu akan membawa kebaikan bagi keluarga kami, juga memberi kami kesempatan untuk memberitakan Kabar Baik.

Jadi, selama beberapa minggu aku menyiapkan banyak hal, mulai dari berkemas, membersihkan rumah, juga sambil menjaga anakku yang baru berusia dua tahun. Waktu untuk saat teduh bersama Tuhan hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Di tengah kehidupan yang begitu sibuk inilah kami jadi mudah lupa akan apa yang menjadi alasan awal dari keputusan kami untuk pindah.

Aku dan suamiku jadi mudah kesal terhadap satu sama lain. Aku merasa lebih banyak melakukan pekerjaan dibandingkan dengannya. Sedangkan dari sisinya, dia merasakan hal yang sebaliknya. Anakku melihat orang-orang di rumah sangat sibuk untuk menyiapkan kepindahan kami. Mereka mengambil rak bukunya beserta segala perabot yang ada di rumah, dan saat dia mengajak kami bermain, kami menjawabnya: “Aku tidak punya waktu untuk bermain saat ini.” Tak heran bila dia jadi lebih sering ngambek daripada biasanya.

Sampai pada suatu titik, kami merasa marah karena para pegawai yang seharusnya menolong proses kepindahan kami ternyata tidak banyak menolong. Akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti sejenak dan menikmati coffee-break. Anak kami sedang berada di rumah kakek dan neneknya, dan inilah saatnya untuk kami berdua melepas penat di sebuah kedai kopi untuk menghubungkan kembali relasi kami yang sempat renggang.

Ketika kami membicarakan tentang satu per satu hal yang membuat kami khawatir, kami sadar bahwa sesungguhnya hal-hal yang kami khawatirkan itu tidaklah penting. Kami mampu membayar banyak biaya tagihan tanpa perlu kehilangan akses internet. Lalu, jika seandainya kami menjual mobil dan harga yang kami dapatkan ternyata lebih rendah dari yang kami harapkan, hal itu pun tetap tidak akan mengganggu rencana-rencana kami yang lain. Bahkan, jika hal yang paling buruk terjadi, kami bisa membuang rak-rak buku yang kami miliki daripada harus repot-repot membawanya ke toko barang bekas untuk dijual.

Ketika aku dan suamiku meluangkan waktu bersama untuk mengintrospeksi diri, kami menyadari bahwa sebenarnya Tuhan sudah menyediakan segala sesuatu yang kami perlukan. Kami memiliki uang di bank yang bahkan jumlahnya melebihi yang kami harapkan. Ketika kami pindah nanti kami sudah memiliki tempat tinggal, dan kami akan tinggal bersama dengan keluarga yang artinya kami tidak perlu membayar uang sewa. Dan, kami berdua pun punya begitu banyak kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan baru yang punya prospek bagus. Pada akhirnya, hal-hal lainnya hanyalah perkara remeh-temeh yang seharusnya tidak memusingkan kami.

Saat aku memikirkan kembali apa yang menjadi alasan kami untuk pindah ke negara lain, kami mendapati bahwa kami banyak mendapat peneguhan dari banyak saudara seiman dalam Kristus. Kami berdua percaya bahwa sebagai sebuah keluarga, kami sudah melakukan hal yang benar. Keputusan kami untuk pindah ke negara lain adalah demi kepentingan keluarga, dan sangat aneh bila ini malah jadi penyebab keributan di tengah-tengah keluarga kami.

Setelah menghabiskan kopi, kami pun berdoa, memohon pengampunan dari Tuhan atas kesalahan kami, bersyukur atas pemeliharaan-Nya yang luar biasa, dan meminta pimpinan-Nya saat kami melangkah maju.

Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali akrab dengan suamiku. Suamiku menyadari dan meneguhkan pekerjaan yang kulakukan, dan aku pun melakukan hal yang sama untuk setiap pengorbanan yang dia berikan bagi kami sekeluarga. Kami berjanji untuk tidak mengabaikan berdoa dan membaca firman Tuhan. Kami juga mendedikasikan waktu kami untuk fokus bermain bersama anak kami sekalipun kami hanya punya sedikit waktu.

Meluangkan waktu sejenak untuk Tuhan, sesama, juga secangkir kopi

Ketika kami meluangkan waktu untuk menikmati waktu luang berupa coffee-break, sebenarnya itu tidak membuat daftar pekerjaan yang harus kami lakukan jadi selesai. Tapi, waktu luang ini sesungguhnya sangat baik bagi kami. Seperti nasihat yang pernah kuberikan kepada temanku yang baru menikah, bahwa sekalipun hidup berubah menjadi kacau, kita perlu meluangkan waktu untuk Tuhan dan pasangan kita.

Efesus 5:21 mengajar kita untuk saling merendahkan diri di hadapan satu sama lain di dalam takut akan Kristus. Ketika kita terlalu terpaku pada tuntutan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sulit rasanya bagi kita untuk bersikap rendah hati dan rela meluangkan waktu kita untuk orang lain. Menciptakan waktu luang di tengah jadwal yang padat dan sangat sibuk adalah suatu bentuk pengorbanan; dan tiap pengorbanan tentunya akan mendatangkan berkat tersendiri.

Alkitab juga berkata demikian:

“Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah. Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau’” (Ibrani 13:4-5).

Aku merasa stres karena memikirkan tentang kepindahan kami dan segala sesuatunya yang perlu aku selesaikan. Tidak semua hal yang kupikirkan itu memang bernilai, tapi kupikir kesemuanya itu adalah hal-hal yang harus kucapai sesuai dengan standar dunia. Tapi, kembali Tuhan berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

Diperlukan iman yang sungguh-sungguh agar kami mampu menghargai pernikahan kami sekalipun hidup kami dipenuhi dengan kesibukan. Kami harus percaya bahwa Tuhan akan memelihara kami, sekalipun jika kami tidak mampu menyelesaikan semua hal yang ada di daftar pekerjaan kami, atau bahkan jika kami membuat kesalahan fatal atau melupakan sesuatu yang sangat penting. Kami harus percaya bahwa Tuhan tahu keterbatasan kami sebagai manusia dan Dia peduli akan setiap aktivitas kami, entah itu ketika kami meluangkan waktu sebatas satu atau dua saja untuk berkomunikasi bersama pasangan, menjalin relasi, melayani satu sama lain, juga ketika kami berusaha memenuhi kebutuhan emosional anak kami.

Pada akhirnya, dengan rahmat Tuhan yang tak terlukiskan, kami dimampukan untuk melangkah. Kami memang belum sepenuhnya memahami bagaimana segala sesuatunya akan berjalan dengan baik atau tidak, tapi yang kami tahu bahwa Tuhan telah memberkati kami dengan teman-teman dan keluarga yang luar biasa. Tuhan mendorong kami untuk mengambil waktu luang yang berkualitas ketika kami memang benar-benar membutuhkannya.

Baca Juga:

Daripada Menghakimi Orang yang Menyakitiku, Aku Memilih untuk Mendoakannya

Ketika hatiku disakiti, mudah bagiku untuk merasa kecewa dan terpuruk. Tapi, aku percaya segala hal yang terjadi kepadaku itu pasti ada tujuannya. Oleh karenanya, aku memilih untuk berdoa.

Daripada Menghakimi Orang yang Menyakitiku, Aku Memilih untuk Mendoakannya

Oleh Chelsea*, Jakarta

Aku punya seorang teman yang tunarungu sepertiku. Aku mengenalnya sejak kami berada di sekolah khusus tunarungu beberapa tahun yang lalu. Kami juga berteman di salah satu media sosial. Pernah beberapa kali aku melihat curahan perasaan dan pengalamannya yang dia tuliskan di beberapa postingan.

Suatu ketika, dia disakiti oleh kedua temannya yang bukan tunarungu. Kedua temannya itu melontarkan kata-kata yang kasar kepadanya hingga membuat dia menangis dan sakit hati. Kemudian, temanku itu mengungkapkan kekesalannya dengan menuliskannya di status-status dalam media sosialnya bersamaan dengan hasil screenshot foto yang berisikan percakapan konflik antara dia dan kedua temannya hingga membuahkan beberapa komentar dari teman- temannya.

Membaca status yang ditulis oleh temanku itu membuatku turut merasa sedih. Aku mengerti bagaimana pedihnya diperlakukan secara kasar oleh orang lain. Oleh karena itu, walaupun aku tidak terlalu sering bertemu dengannya, aku jadi tergerak untuk menolongnya. Aku mengiriminya pesan dan bertanya tentang keadaannya beberapa kali, tapi dia kadang menanggapi kadang juga tidak. Dia masih terus saja mengungkapkan kemarahannya melalui status-status di media sosialnya.

Sampai suatu ketika, dia akhirnya membalas pesan itu. Melalui aplikasi chatting dia memberanikan diri untuk bercerita kepadaku. Katanya, dia sempat merasa iri hati kepada temannya yang bisa memiliki pasangan hidup yang tidak memiliki kekurangan fisik. Lalu, singkatnya karena perasaan itulah mereka jadi terlibat konflik di mana kedua temannya itu semakin membuatnya merasa sakit hati. Mendengar penuturan itu, aku pun memberinya sedikit saran supaya dia bisa melupakan kejadian ini dan menjadikannya sebagai pelajaran agar kelak tidak terulang lagi. Lalu, aku mendoakannya, juga mendoakan kedua orang yang telah menyakitinya meski aku tidak terlalu mengenal mereka.

Akan tetapi, setelah pembicaraan kami usai, temanku itu masih belum berubah. Dia terus saja menuangkan emosinya melalui media sosial.

Kembali, aku menegurnya dengan lembut dan mendorongnya untuk bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan juga memaafkan kedua orang yang telah menyakitinya itu. Dan, puji Tuhan karena pada akhirnya dia bisa pulih dari rasa sakit hatinya dan tidak lagi merasa sedih.

Pengalaman yang dialami oleh temanku itu juga mengingatkanku akan pengalaman serupa yang pernah aku alami. Dulu, aku pernah dibuat sakit hati oleh mantan pacarku karena tutur kata dan perbuatannya. Lalu, aku juga pernah merasa sakit hati karena merasa kehidupan ini tidak adil. Sulit rasanya menemukan pekerjaan untuk orang-orang penyandang disabilitas sepertiku. Jangankan untuk bekerja, untuk pelayanan di gereja pun terkadang sulit. Berat rasanya jika aku mengingat kembali momen-momen yang tidak menyenangkan itu. Seringkali aku pun menangis sendirian baik itu di gereja ataupun di rumah tanpa sepengetahuan oranglain, aku menangis sembari memendam rasa kekesalanku. Aku bertanya kepada Tuhan: “Mengapa harus begini? Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa berbuat begitu kepadaku.”

Tapi, alih-alih membiarkan diriku kecewa berlarut-larut dan menjadi terpuruk, aku percaya bahwa segala hal yang terjadi kepadaku itu pasti ada tujuannya. Oleh karena itu, aku memilih untuk berdoa. Aku belajar untuk mendoakan mantan pacarku itu, juga berdoa supaya melalui proses pencarian kerja yang sulit itu Tuhan boleh menyatakan kehendak-Nya kepadaku. Dan aku juga berdoa untuk bisa mendapat pasangan hidup yang mau mengisi menerima kekurangan fisikku sehingga tidak membuat aku menjadi kesepian.

Ketika ada orang yang menyakitiku, sebenarnya secara naluri aku sangat ingin membalas perbuatan mereka. Tapi, sebagai anak Tuhan aku tahu bahwa aku tidak boleh membalas perbuatan mereka sebab firman Tuhan berkata:

“Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18).

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Matus 7:1).

Sekalipun aku tahu bahwa mereka salah, tapi aku pun tidak layak untuk menghakimi orang lain karena sama seperti mereka, aku pun sama-sama orang berdosa.

Ketika aku disakiti, kedua ayat di atas selalu meneguhkanku untuk tidak membiarkan diriku dikuasai oleh rasa dendam dan pembalasan. Aku tahu bahwa untuk mempraktikkan kedua ayat tersebut tidaklah mudah. Butuh kebesaran hati untuk menyerahkan segala rasa pedih dan dendam ke dalam tangan Tuhan. Bagianku adalah tetap berbuat baik dan mengasihi mereka yang telah menyakitiku. Hal paling sederhana yang bisa kulakukan adalah dengan mendoakan mereka supaya Tuhan memberkati mereka dan mereka pun boleh disadarkan akan kesalahannya dan tidak menyakiti orang lain lagi.

Iman Kristen adalah iman yang menuntut kita untuk hidup seturut dengan firman Tuhan. Maka, ketika Tuhan Yesus berkata: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, itu bukan sekadar ucapan, melainkan sebuah perintah yang harus kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Mendoakan dan mengampuni orang yang telah menyakiti hati kita adalah langkah pertama menuju kesembuhan rohani. Biarlah Tuhan sendiri yang membalut, mengobati, dan menyembuhkan luka-luka di hati kita. Hanya Tuhan sajalah yang berhak menghakimi dan melakukan pembalasan atas apa yang telah orang lain perbuat atas kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengizinkan Dia membalut hati kita yang terluka.

Terakhir, untuk menutup tulisan ini, ada satu lagu berjudul “Mengampuni” yang liriknya begitu menyentuhku. Lirik lagu yang sederhana ini senantiasa mengajarku untuk tetap mengasihi orang lain, terlepas dari apapun keadaanya.

Ketika hatiku telah disakiti
Ajarku memberi hati mengampuni
Ketika hidupku telah dihakimi
Ajarku memberi hati mengasihi

Ampuni bila kami tak mampu mengampuni
Yang bersalah kepada kami
Seperti hati Bapa mengampuni
Mengasihi tiada pamrih.

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Ketika Pernikahan Tidak Mengubahkan Hidupku

Aku berimajinasi tentang pernikahan dan percaya bahwa itu dapat mengubahku sepenuhnya. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian.

3 Hal yang Kupelajari dari Masa Single yang Panjang

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Udah punya pacar belum?” adalah pertanyaan umum yang sering kudengar saat pulang ke kampung halaman atau bertemu dengan saudara. Pertanyaan itu diajukan kepadaku sejak tahun 2007. Padahal, saat itu aku baru menginjak kelas 2 SMA dan usiaku pun belum 17 tahun. Artinya, sampai saat ini, pertanyaan itu sudah diajukan kepadaku selama lebih dari 10 tahun. Dan, pastinya aku akan terus mendengar pertanyaan itu kalau aku belum menemukan pasangan hidupku.

Pertanyaan seperti itu sepertinya bukanlah pertanyaan yang ada akhirnya. Jika seandainya aku sudah memiliki pacar pun, tentu akan ada pertanyaan lainnya yang akan diajukan. “Kapan nikah?” dan setelah menikah berganti lagi jadi “kapan punya anak?” kemudian “kapan nambah momongan?” dan berbagai pertanyaan lainnya yang akan datang. Kembali lagi ke pertanyaan sudah punya pacar atau belum, biasanya aku akan menjawab “belum”, sambil tersenyum lebar seakan tanpa beban. Tapi, apakah benar tanpa beban?

Seiring berjalannya waktu, tak bisa kupungkiri ada perasaan khawatir dan takut di dalam diriku. Aku takut kalau-kalau aku mendapat pasangan hidupku di usia yang tak lagi muda. Atau, takut apabila mamaku tidak bisa menyaksikanku berjalan menuju altar karena usianya yang semakin menua. Aku sudah tidak tahu berapa banyak pesta pernikahan yang aku hadiri selagi aku berstatus single dan sudah berapa banyak konsep yang kubuat untuk hari bahagiaku nanti. Harus kuakui, orang-orang yang sedang bergumul dengan pasangan hidup dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti di awal tulisan ini mungkin sudah hafal sekali dengan penggalan ayat pembuka dari Pengkhotbah 3.

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1).

Ya, untuk segala sesuatu ada waktunya. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang juga mengimani ayat itu. Dalam perenunganku di masa single ini, aku belajar bahwa sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dipelajari dalam hidup, temasuk dari masa single yang tengah kujalani. Tiga hal yang kupelajari inilah yang menolongku untuk tetap menikmati proses dan memperlengkapiku untuk kelak menjadi seorang penolong yang sepadan bagi pasanganku.

1. Masa single adalah masa untuk melayani Tuhan

Berbicara tentang melayani Tuhan itu bukan berarti mereka yang sudah berpacaran atau menikah tidak bisa melayani Tuhan lagi. Hanya saja, menurutku mereka yang telah berkeluarga memiliki fokus tambahan untuk mengurusi keluarganya. Seperti yang dimaksudkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:

“…Dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (1 Korintus 7:34).

Ada beberapa orang yang kutemui, yang semasa single-nya aktif melayani, tapi ketika berkeluarga malah mandek melayani. Waktu mahasiswa rutin datang persekutuan, tapi setelah menikah ingat ada persekutuan untuk alumni saja sudah syukur. Alasannya karena sudah ada keluarga yang harus dilayani. Memang keluarga adalah prioritas, tetapi kupikir tentunya akan lebih baik lagi jika sekeluarga aktif melayani bersama-sama.

Kembali ke masa single, menurutku masa ini adalah masa yang tepat untuk melayani. Selain tidak terbagi fokus, tentunya masa-masa single memberi kita kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu melayani. Tapi, hal ini bukan berarti lantas kita yang single tidak berusaha mencari pasangan hidup. Kata orang, jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kita juga harus mencarinya. Jika Tuhan berkenan, mungkin saja dia yang kamu cari selama ini adalah partner pelayananmu

Saat ini aku melayani sebagai pemimpin Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) di kampus. Selain itu aku melayani di gereja sebagai lektor dalam ibadah Minggu. Jika di saat weekend aku tidak memiliki agenda, maka aku akan menyempatkan diri untuk mengikuti ibadah persekutuan alumni atau menghadiri kegiatan kaum muda di gereja. Tentunya tujuan utama aku datang ke acara ini adalah untuk mendengarkan firman Tuhan dan juga menikmati fellowship dengan orang-orang percaya lainnya. Bagiku, jika aku menemukan pasangan hidupku di sini, maka hal ini kuanggap sebagai bonus.

2. Masa single adalah masa untuk memperlengkapi diri

Apa yang menjadi kriteria pasangan hidupmu? Selain lawan jenis dan seiman tentunya, adakah kriteria lain seperti pandai bermain musik, takut akan Tuhan, dan seorang pemimpin rohani masuk ke dalam kriteria-kriteriamu? Adakah kriteria-kriteria lainnya?

Seorang pria yang seiman, takut akan Tuhan dan seorang yang mengenal pelayanan gereja adalah kriteriaku yang selalu kusebut dalam setiap doaku. Tapi, tanpa kusadari, di titik inilah aku jatuh. Aku lupa bahwa ketika Tuhan menciptakan Hawa bagi Adam, Tuhan tidak berkata:

“baiklah aku menciptakan seorang pendamping yang akan terus mengaguminya seumur hidupnya.”

Akan tetapi Tuhan berkata: “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18).

Lantas, aku berkaca pada diriku sendiri: sudahkah aku menjadi penolong yang baik, yang sepadan bagi pasanganku kelak? Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperlengkapi diri sendiri selagi menantikan pasangan hidup. Selain aktif melayani dan mengikuti pertemuan-pertemuan ibadah, ada banyak buku bacaan rohani yang baik dan berkualitas yang aku baca. Bagaimana Oswald Chambers mengajak kita merasakan perjalanannya selama setahun penuh bersama Tuhan dalam bukunya berjudul My Utmost For His Highest atau bagaimana Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life menolong kita menemukan jawaban tentang siapa kita sesungguhnya.

Namun bagiku, tidak ada yang lebih dahsyat dan hebat membukakan arti hidup yang sesungguhnya selain daripada Alkitab yang kumiliki saat ini. Buku-buku yang kubaca mungkin amat berguna untuk menambah wawasanku. Akan tetapi, hanya firman Tuhan saja yang berkuasa untuk mengubahkan hidupku.

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk meperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).

3. Masa single adalah kesempatan untuk menikmati setiap hal-hal kecil

Sekali lagi, bukan berarti ketika sudah berpacaran atau menikah kita tidak bisa mensyukuri hal-hal kecil di dalam hidup. Salah satu hal kecil yang bisa kunikmati saat ini adalah kesempatan untuk melakukan hobi traveling-ku.

Meski aku takut ketinggian, aku lebih suka pergi ke pegunungan daripada ke daerah pantai. Mungkin karena cuaca di pegunungan lebih dingin daripada di pantai. Merasakan sensasi perjalanan menggunakan motor trail untuk menuju puncak dengan kemiringan 10-40 derajat, beberapa belokan tajam hingga tiba di ketinggian 2900 meter di atas permukaan laut untuk menikmati matahari pagi di negeri di atas awan. Selain menikmati keindahan alam, traveling juga memberiku kesempatan untuk berjumpa dengan penduduk lokal, belajar tentang budaya dan kebiasaannya, dan kupikir ini jugalah salah satu cara untuk mengenal keramahan Indonesia.

Kelak, kalau sudah menikah, tentunya kesukaanku traveling harus dipikirkan ulang. Mengingat ada kebutuhan-kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi. Tapi, jikalaupun nanti aku tetap bisa melakukan traveling, yang paling membedakan adalah tentu aku tidak lagi pergi traveling sendirian.

Pada akhirnya, menjadi single bukanlah sebuah bencana seperti yang dikatakan oleh banyak orang. Aku memang single, tetapi aku bukanlah orang yang kesepian karena melalui relasi yang intim dengan Tuhan, aku mendapati kebenaran bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Allah selalu cukup buatku.

Aku percaya, bahwa relasiku yang intim dengan Allah itu dapat menolongku untuk berhikmat dalam mencari pasangan hidup yang sepadan buatku.

Baca Juga:

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup



Oleh Michele Ong, New Zealand

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Getting Married Need Not Be A #LifeGoal

Berbagai postingan tentang pernikahan dan pertunangan mendominasi timeline media sosialku, dan aku mulai merasa tertinggal dari teman-temanku.

Setiap postingan biasanya berisi penggalan kalimat yang kurang lebih berkata seperti ini: “Aku sangat bersyukur bisa menikah dengan sahabatku”, “Tak kusangka, dia berkata ya”. Lalu, kalimat-kalimat itu juga dilengkapi dengan foto-foto pasangan yang berbahagia di mana sang perempuan menunjukkan cincin lamarannya, juga dilengkapi hashtag #SoBlessed, #MarriedMyBestFriend, dan lain-lain.

Buletin gereja pun sama saja. Hampir setiap hari Minggu selalu ada saja pengumuman pernikahan dari anggota jemaat di gereja. Bila kulihat sepintas, foto-foto pasangan yang tercetak di buletin itu tampak penuh senyuman kebahagiaan, juga berlatar pemandangan yang begitu indah. Beberapa dari pasangan calon pengantin itu usianya masih sangat muda—mungkin berkisar baru setahun atau dua tahun setelah lulus SMA—dan, hal ini sempat membuatku berpikir: mengapa mereka lebih memilih untuk menikah daripada mengejar gelar dan pengalaman hidup di usia muda mereka.

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah itu, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Tapi jangan salah sangka dahulu: apabila diberikan pilihan, tentu aku pun ingin menikah, sama seperti orang-orang lainnya. Satu alasan sederhananya adalah karena aku takut mati dalam kesepian. Aku takut apabila nanti tidak ada orang lain yang mengetahui berita kematianku dan akhirnya jenazahku pun baru ditemukan dua tahun setelahnya (aku membaca cukup banyak berita tentang peristiwa semacam ini).

Namun demikian, sudah hampir satu dekade berlalu sejak terakhir kali aku memiliki relasi yang berjalan untuk kurun waktu yang cukup lama. Ketika mantan pacarku baru-baru ini menikah, aku belum juga menemukan seorang yang tepat untukku di mana pun di bumi ini.

Tidak kupungkiri, pencarianku akan seorang yang tepat itu cukup melelahkan dan rasanya seperti memeras otak. Tapi, satu hal yang pasti adalah, dia yang tepat untukku itu tidak akan kutemukan di dalam diskotik, juga aku belum menemukannya di situs kencan online. Selain itu, di tempat kerjaku juga tidak ada lagi pria single yang tersisa. Baru-baru ini, aku mendaftarkan diriku untuk bergabung sebagai penjaga pantai, dengan harapan aku akan berjumpa dengan seseorang yang tepat di sana (tapi, tentunya tujuan utamaku adalah untuk menjaga kesehatanku dan berkontribusi kepada komunitasku). Aku juga sudah bertanya kepada teman-temanku kalau saja mereka mengetahui atau punya kenalan beberapa pria yang masih single.

Katakanlah aku sudah mencoba berbagai macam cara dan belum juga membuahkan hasil. Jadi, aku pun berhenti untuk berusaha mencari.

Walaupun begitu, hidupku sebagai seorang perempuan single itu sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai hidup yang menyedihkan ataupun tragis; justru kebalikannya. Dalam 10 tahun terakhir, aku menghabiskan waktu luangku untuk menjadi sukarelawan tim penerima tamu di gerejaku. Aku memenangkan beasiswa kesempatan magang di sebuah perusahaan media berbahasa Mandarin, China Daily yang berbasis di Beijing. Aku juga pindah dari Auckland, Selandia Baru untuk bekerja sebagai seorang reporter. Dan, saat ini aku juga menjadi seorang kontributor untuk menulis di YMI. Ketika nanti aku telah memenuhi syarat untuk diterima sebagai penjaga pantai, aku juga akan berpatroli di sekitar pantai selama akhir pekan di musim panas.

Masa single memberikanku kesempatan untuk berkontribusi bagi komunitasku melalui berbagai cara. Menurutku, hal-hal ini juga bisa jadi tujuan hidup yang sama baiknya dengan tujuan hidup yang lain.

Aku tidak merendahkan pernikahan, karena aku tahu itu merupakan suatu usaha dan kerja keras. Aku memuji mereka yang berkomitmen dalam pernikahan, tetapi aku pun percaya bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya tujuan hidup yang Tuhan tetapkan bagi setiap manusia di dunia.

Sebagai contoh, cobalah lihat Rasul Paulus. Sebelum berbalik menjadi pengikut Kristus, Paulus dulunya adalah orang yang menganiaya orang-orang Kristen. Namun, pada akhirnya dia menjadi seorang yang sangat penting yang dipakai Tuhan untuk memberitakan pesan tentang Yesus ke berbagai daerah di Kerajaan Romawi. Paulus mengakui bahwa jika dia menikah, besar kemungkinan bahwa pernikahan itu akan menghambatnya dalam menjalankan tugasnya. Pada kenyataannya, Paulus juga mendukung keputusan untuk tetap single. Kata Paulus: seorang pria ataupun wanita yang menikah akan memerhatikan urusan dunia dan bagaimana mereka bisa menyenangkan pasangan mereka (1 Korintus 7:32-35). Tetapi, mereka yang hidup sebagai seorang yang single memusatkan pikiran pada perkara-perkara rohani, dengan tujuan untuk mempersembahkan diri kepada Allah “di dalam tubuh dan roh”.

Aku percaya, seandainya Paulus waktu itu menikah, mungkin dia takkan bisa bepergian dengan begitu bebasnya ke banyak daerah di Kerajaan Romawi untuk memberitakan Injil, mendirikan gereja-gereja, dan menyemangati orang Kristen mula-mula. Selain Paulus, Yohanes Pembaptis juga adalah seorang pria single (berdasarkan catatan sejarah yang ada), yang kehidupannya menjadi teladan. Yohanes Pembaptis tahu misi Tuhan bagi hidupnya adalah mempersiapkan orang-orang untuk menyambut kedatangan Mesias, dan selama hidupnya pun Yohanes Pembaptis memberitakan kabar tentang Yesus Kristus. Alkitab mengatakan bahwa dia memiliki kehidupan yang keras, dan fokus utamanya adalah mengerjakan pekerjaan Tuhan. Dari hidup Paulus dan Yohanes Pembaptis, kita dapat melihat dengan jelas suatu kebenaran: tidak perlu malu untuk menjadi seorang yang single.

Di tengah masyarakat yang menganggap hal-hal seperti pernikahan menjadi lebih penting, alangkah bahagianya apabila kita bisa menjalani hidup yang penuh arti, meskipun kita single.

Selanjutnya, aku percaya bahwa kita harus bertanya kepada Tuhan mengenai apakah yang menjadi tujuan-Nya bagi hidup kita. Aku pikir, tujuan hidup yang Tuhan inginkan atas kita itu tidaklah jauh dari mengasihi. Kita harus mengasihi satu sama salin (Yohanes 13:34), mengampuni sesama kita (Efesus 4:32), dan senantiasa mengucap syukur (1 Tesalonika 5:16-18).

Saat ini, aku belum sepenuhnya kehilangan harapan untuk menemukan seorang yang tepat buatku. Namun, aku belajar supaya pencarianku ini tidak menghentikanku untuk menikmati hidup.

Jika kamu berada dalam situasi di mana semua temanmu beranjak menikah dan pasangan hidup yang kamu cari semakin terasa seperti mitos yang jauh dari kenyataan, bolehkah aku mengajakmu untuk menikmati masa single-mu dan bertanya kepada Tuhan tentang talenta dan karunia apakah yang bisa kamu gunakan untuk pekerjaan-Nya?

Ada banyak hal lain yang berharga dalam hidup ini selain pernikahan.

Baca Juga:

4 Mitos Cinta yang Membuai

Tuhan menyediakan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pasangan yang tepat, dan kamu sendirilah yang bertanggung jawab untuk memilih atau menemukannya. Tapi, ada 4 hal yang seringkali disalahartikan ketika seseorang berusaha mendapatkan pasangan hidupnya.

4 Mitos Cinta yang Membuai

Oleh Arie Saptaji, Yogyakarta

Tuhan menyediakan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pasangan yang tepat, dan kamu sendirilah yang bertanggung jawab untuk memilih atau menemukannya. Pemilihan ini semestinya dilakukan secara cerdas dan bijaksana, dengan pertimbangan akal sehat dan obyektivitas yang jernih. Untuk itu, kita akan memerlukan pertolongan Tuhan. Seperti dinasihatkan Yakobus, kita perlu meminta hikmat kepada-Nya. Kita dapat menemukan petunjuk dan hikmat Tuhan tersebut di dalam firman-Nya.

Alkitab memang tidak memberikan tuntunan yang jelas dan detail tentang berpacaran. Bisa dimaklumi, karena pacaran memang tidak dikenal dalam budaya dan zaman ketika Alkitab ditulis. Meskipun demikian, firman Tuhan mengandung prinsip-prinsip membangun hubungan yang tetap relevan untuk diterapkan dalam menjalani masa berpacaran.

Masalahnya, alih-alih belajar menemukan dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, tidak sedikit orang yang malah terhanyut oleh berbagai mitos cinta. Mitos-mitos ini menawarkan khayalan yang melambung, namun diterima orang begitu saja sebagai kebenaran, tanpa diuji secara sungguh-sungguh. Untuk dapat membangun hubungan cinta secara sehat, kita perlu terlebih dulu mengenali dan menelanjangi mitos-mitos itu serta menepiskannya.

Berikut ini kita akan membahas empat mitos cinta membuai yang semestinya kita waspadai.

Mitos #1
Jodoh ada di tangan Tuhan

Jodoh kita ada di tangan Tuhan. Tuhan sudah menyiapkan seseorang yang istimewa, sang soulmate, untuk kamu nikahi. Kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi pendampingnya, dan Tuhan pasti akan menuntunmu untuk bertemu dengannya. Apa pun rintangan yang menghadang.
(Diiringi lagu Munajat Cinta: “Tuhan, kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati, yang mencintai aku apa adanya…”)

Kamu menganut pandangan seperti itu? Berbeda dengan aliran cinta romantis yang sangat kimiawi, pandangan yang satu ini begitu rohani. Kalau cinta romantis melayang gara-gara pengaruh hormon, yang satu ini melangit dengan mengatasnamakan takdir Tuhan. Seperti halnya cinta romantis, ada butir kebenaran dalam pandangan di atas. Namun, bila dianggap sebagai paket yang utuh dan lengkap sebagai dasar menentukan pasangan hidup, tak ayal pandangan ini menyeret ke sisi ekstrem yang tidak sehat pula. Bagaimana, misalnya, kalau jodoh yang disiapkan Tuhan itu tidak kita sukai? Repot, kan?

Orang yang berpandangan bahwa jodoh itu ada di tangan Tuhan kelak setelah menikah juga akan menganggap perceraian pun ada di tangan Tuhan. Sekuat-kuatnya kita berusaha, kalau memang tidak jodoh, perceraian pasti akan terjadi, tak terelakkan. Sebaliknya, kalau sudah jodoh, sekalipun sempat bercerai pasti suatu saat akan bersatu lagi.

Wah, ternyata bukan hanya Iblis yang sering dipersalahkan atas masalah yang menimpa manusia akibat kebebalannya sendiri. Tuhan pun tidak luput dari tudingan! Tuhan bisa mengelus dada dipersalahkan seperti itu. Bagaimana pandangan ini akan didampingkan dengan penegasan sikap Tuhan terhadap perceraian dalam Maleakhi 2:16? Apakah Yesus keliru ketika Dia menyatakan bahwa orang bercerai akibat kekerasan hatinya? Mengapa pula Tuhan mesti repot-repot menjodohkan pada awalnya kalau pada akhirnya Dia bermaksud menceraikan? Bercerai dengan alasan ternyata tidak jodoh lagi dan memang sudah takdir Tuhan sama saja dengan lempar batu sembunyi tangan.

Jodoh ada di tangan Tuhan, menurutku, tidak dapat diartikan secara sempit seperti itu. Benarkah Tuhan hanya menciptakan satu orang yang istimewa, yang secara khusus disiapkan-Nya sebagai belahan jiwa kita, dan bila kita tidak menemukan dan menikah dengan orang itu, kita tidak akan mengalami pernikahan yang berbahagia? Tampaknya tidak seperti itu.

Jodoh di tangan Tuhan mestinya dimaknai secara luas: bahwa seluruh proses perjodohan kita berada dalam tangan pemeliharaan dan bimbingan Tuhan. Tuhan tidak menyediakan jodoh khusus bagi kita, tetapi Dia memaparkan bimbingan dan nilai-nilai yang kita perlukan untuk mencari jodoh. Kenapa? Lebih dari sekadar untuk kebahagiaan kita, pernikahan dirancang oleh Tuhan sebagai sarana untuk memuliakan Dia. Melalui petunjuk-Nya, Tuhan akan menuntun kita untuk membangun bersama dengan pasangan kita suatu hubungan yang menjadikan kita semakin efektif dalam melayani Dia.

Mitos #2
Cinta mampu mengatasi segalanya

Kita menghela napas lega saat dongeng-dongeng atau kisah cinta berujung dengan “and they lived happily ever after.” Kita percaya, dan diam-diam mendambakan fantasi itu: cinta mendatangkan kebahagiaan abadi. Dengan cinta, segala masalah akan teratasi. Namun, pernahkah kita bertanya: apa yang terjadi sesudah itu? Bagaimana si Cinderella, yang biasa berkutat di dapur, menyesuaikan diri dengan protokol istana setelah dipersunting pangeran tampan? Apakah benar cinta mereka bertahan selama-lamanya? Kalau saja ada dongeng yang menggambarkan situasi ini!

Lagu dangdut mendendangkan sisi ekstrem yang lain. Sambil berlenggak-lenggok dan mengerdip genit, sang biduan bersenandung syahdu: tidak apa-apa tidur di gubuk derita dan makan sepiring berdua—asalkan ada cinta di antara kita! Bener, nih?

Benarkah cinta mampu mengatasi segalanya? Jawabannya antara lain terpampang di acara-acara infotainment. Bertubi-tubi muncul kabar tentang pasangan selebritas yang semula tampak mesra, namun akhirnya angkat tangan, merasa tidak menemukan titik temu satu sama lain lagi, dan memilih memutuskan hubungan pernikahan mereka. Bukan hanya di kalangan selebritas, keluarga-keluarga pada umumnya juga tidak sedikit ang berantakan akibat perceraian. Ambil contoh di daerahku sendiri. Menurut catatan dari koran Kedaulatan Rakyat, pada 2003 ada 696 kasus perceraian di Pengadilan Agama Sleman, Yogyakarta. Pada 2004 ada 722 perkara, dan pada 2005 ada 803 perkara. Jumlahnya meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Alasan yang banyak dikemukakan adalah tidak adanya lagi kecocokan.

Kalau benar cinta itu mengalahkan segalanya, kenapa terjadi banyak perceraian? Kenapa cinta tidak mampu menahan terpaan badai masalah—entah itu bernama ketidakcocokan, entah kesulitan ekonomi, entah perselingkuhan?

Sederhana saja. Cinta saja tidak cukup untuk membangun dan mempertahankan hubungan di antara dua anak manusia. Cinta romantis bisa luntur dan memudar. Untuk membangun hubngan yang bertahan lama dan langgeng dengan pasangan hidup kita, masih diperlukan bahan-bahan lain, yaitu karakter, komitmen, kecocokan, dan keintiman (4K).

Jadi, “cinta mengalahkan segalanya” adalah salah satu mitos gombal dalam menetapkan pasangan hidup. Kegombalannya seperti SMS yang dikirimkan seorang pemuda kepada pujaan hatinya. Dia menulis: “Sayang, aku sangat rindu padamu. Aku akan mengarungi lautan terluas, mendaki gunung tertinggi, menembus hutan terlebat, melintasi gurun terpanas, demi mendapatkan dirimu. Btw, Sabtu ini aku pasti berkunjung ke rumahmu—kalau tidak hujan.”

#Mitos 3
Cinta sejati dapat dikenali dari pandangan pertama

Jatuh cinta pada pandangan pertama memang pengalaman yang indah. Berjuta rasanya, kata Eyang Titiek Puspa. Namun, bila gelora perasaan yang kuat dan memabukkan itu dijadikan landasan dalam menentukan pasangan hidup, ya nanti dulu.

Cinta pada pandangan pertama itu barangkali mirip dengan iklan suatu produk. Yang tampak menonjol hanya sisi yang indah-indah, kehebatan, dan keunggulan produk yang bersangkutan. Kalau kita tidak teliti sebelum membeli, bisa-bisa kita mendapatkan produk yang ternyata tidak sebagus yang kita harapkan. Kita jadi kecewa dan jengkel.

Karena itu, cinta pada pandangan pertama masih perlu diteliti kualitasnya. Masih perlu diuji daya tahannya, apakah mampu menghadapi rintangan dan tantangan. Cinta yang otentik perlu waktu untuk bertumbuh dan berkembang.

Lalu, apa yang mesti kita lakukan ketika panah asmara menembus dada dengan munculnya si dia yang begitu menawan? Seperti kata iklan: Enjoy aja! Nikmati saja hal itu sebagai bagian dari proses pertumbuhan alamiahmu. Perasaan menggelora dan energi membuncah yang dirangsang oleh panah cinta itu dapat disalurkan secara kreatif. Bukankah banyak orang menjadi penyair atau penggubah lagu dadakan gara-gara jatuh cinta?

Tapi, jangan berkubang di situ. Jangan mengambil keputusan signifikan atau melakukan tindakan gegabah yang akhirnya mendatangkan penyesalan. Jatuh cinta membawa kita memasuki “zaman kebodohan”. Kita jadi tidak bisa berpikir dengan jernih. Kondisi mabuk asmara itu lebih kuat diliputi oleh proses kimiawi daripada oleh hikmat dan akal sehat. Karena itu, tunggu sampai gelombang cinta itu mereda dan kamu kembali mendarat di bumi, siap untuk menilai keadaan secara obyektif.

Bila kamu memang berniat dan sudah siap untuk membangun hubungan secara serius guna menentukan pasangan hidup, ujilah cinta romantis itu. Manfaatkan ranjau-ranjau cinta dan pilar-pilar untuk menjajakinya. Ranjau-ranjau cinta menunjukkan jenis hubungan yang sebaiknya dihindari; pilar-pilar cinta memaparkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperkuat hubungan.

Kalau kecewa terhadap suatu produk yang telanjur kita beli, dengan mudah kita dapat berpaling ke produk lain yang lebih baik. Namun, kalau kita nekad berpacaran sampai melanggar batas, kita bisa dirundung penyesalan berkepanjangan. Atau, kalau kita sudah memasuki bahtera pernikahan, dan baru menemukan bahwa pasangan kita ternyata mengecewakan hati, kita mesti menanggung konflik berkepanjangan atau bahkan memutuskan untuk bercerai. Menyakitkan, bukan?

#Mitos 4
Pasangan hidup akan memenuhi kebutuhanku seutuhnya

Aku merasa kesepian. Rasanya kosong. Hidupku rasanya kurang lengkap. Kurang sempurna. Ah, kalau saja aku menemukan soulmate, belahan jiwa yang akan melengkapi hidupku. Menyempurnakan kekuranganku. Kebutuhanku akan terpenuhi. Oh, hidupku akan benar-benar bahagia!

Salah besar! Mitos keempat ini menyesatkan dan mengandung sejumlah kerapuhan yang dapat menjerumuskan kita.

Tidak ada seorang pun yang begitu hebatnya sehingga dia dapat menyempurnakan kekurangan orang lain. Kita masing-masing manusia yang terbatas dan tidak sempurna. Kita memang bisa bekerja sama, saling mendukung, dan saling menolong, namun kita tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan satu sama lain secara utuh, lengkap, dan sempurna. Sampai ke ujung bumi pun, mustahil kita menemukan pasangan hidup yang tanpa cela.

Kalau kita kesepian sebelum menikah, kita akan tetap—bahkan bisa jadi bertambah—kesepian setelah menikah. Kita memang kurang lengkap dan kurang sempurna. Namun, bila kekurangan itu sampai sedemikian mencekam kita, berarti ada yang tidak beres dengan gambar diri kita. Kita mengidap sindrom kroco jiwa alias minder. Sikap rendah diri ini mencuatkan perasaan sepi dan kosong. Kehadiran pasangan hidup bisa jadi bukan memperbaiki kondisi tersebut, namun malah memperparah keadaan.

Siapa yang dapat memecahkan masalah ini? Hanya satu yang sanggup mengisi kehampaan hidup kita secara sempurna, yaitu Tuhan. Melalui pemulihan Tuhan, kita akan menemukan kehidupan yang utuh dan bermakna.

Selain itu, cinta sejati bukan bertabiat menuntut dan mengambil, tapi memberi dan membagi. Kita hanya bisa memberikan dan membagikan apa yang kita miliki. Kalau kita kekurangan, kita akan menyedot, bukannya memberi. Karenanya, untuk siap membangun hubungan cinta yang kokoh, kita harus terlebih dahulu menjadi pribadi yang utuh dan memiliki gambar diri yang sehat. Seperti dikatakan Anthony de Mello, “Di mana ada cinta, di situ tidak ada permintaan, pengharapan, dan ketergantungan. Aku tidak meminta orang untuk membuatku bahagia; kebahagiaan yang aku alami ada di dalam diriku sendiri. Kalau orang itu meninggalkanku, aku tidak akan menyesali diri; aku sangat senang berada di dekat orang itu, tapi aku tidak terikat dengannya.”

* * *

Artikel ini merupakan kutipan dari salah satu bab buku Arie Saptaji, Pacaran Asyik dan Cerdas (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2010, Cetakan Kedua).
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan di blog pribadi penulis.

Baca Juga:

5 Hal yang Bisa Kamu Lakukan Ketika Temanmu Mengalami Gangguan Kejiwaan

Setiap kita pasti pernah mengalami pergumulan hidup yang sedikit banyak memberi dampak terhadap kesehatan kejiwaan kita; yang membedakannya hanya tingkatannya. Inilah sedikit pengalaman yang kualami ketika temanku mengalami gangguan kejiwaan.

Apa Pemberian Terbaik yang Bisa Kamu Berikan pada Seseorang?

Oleh Ananda

Aku sangat suka berelasi dan bertemu dengan orang lain. Bertemu, mengobrol, dan berbagi adalah hal yang cukup menyenangkan bagiku, walaupun aku cukup introvert. Aku sering menyediakan waktu untuk sekadar bertemu dengan seseorang, menginap di rumah mereka, mengobrol, berbagi cerita, dan menghabiskan waktu bersama.

Suatu hari, aku menemani seorang sahabat melakukan pelayanan. Kami mengunjungi salah satu sekolah di Jakarta. Kami mengobrol ringan dan berbagi satu sama lain sepanjang perjalanan. Dalam perjalanan pulang, dia mengajukan sebuah pertanyaan diskusi kepadaku.

“Menurutmu, apa pemberian terbaik yang bisa kamu berikan pada seseorang?”

Setelah merenung sejenak, aku pun menjawab bahwa menurutku pemberian terbaik yang bisa kuberikan adalah kehadiran. Melalui kehadiranku, aku sedang mengekspresikan sebuah bentuk kasih yang sangat dalam kepada seseorang. Ketika aku hadir bagi seseorang, itu berarti aku bersedia mengorbankan sebagian dari waktu hidupku yang tak dapat dikembalikan lagi.

Aku ingat Rick Warren pernah menulis dalam bukunya yang berjudul The Purpose Driven Life: “Menjalin hubungan membutuhkan waktu dan usaha, dan cara terbaik untuk mengucapkan ‘kasih’ adalah ‘W-A-K-T-U’.”

Temanku lalu membalas, “Iya, menurutku juga kehadiran… Tapi bukan kehadiran kita, melainkan kehadiran Tuhan. Pemberian terbaik adalah ketika kita menghadirkan kasih Tuhan Yesus bagi orang lain.”

Jawabannya menyentakku. “Benar juga,” pikirku. Terkadang saat seseorang mengalami masalah, aku berusaha hadir untuknya dan membantunya. Namun, ada kalanya aku merasa gagal dalam membantu orang tersebut. Setelah kurenungkan, ternyata masalahnya bukanlah terletak pada keberhasilan atau kegagalanku dalam membantu, tetapi apakah dalam kehadiranku aku sudah menghadirkan kasih Tuhan baginya? Kurasa tidak selalu.

Aku pun sadar akan kesalahan pola pikirku dahulu. Dahulu, aku merasa harus menolong semua orang yang membutuhkan, hadir bagi mereka, dan terus menemani mereka, karena aku mengira kehadiranku yang terpenting. Aku lupa bahwa aku bukan Tuhan. Aku hanya manusia biasa dengan segala keterbatasanku yang sedang dipakai Tuhan untuk memuliakan-Nya, bukan untuk memegahkan diri sebagai penolong. Yang terpenting bukanlah kehadiranku, tetapi kasih Tuhan yang kuhadirkan bagi mereka.

Tuhan menjanjikan penyertaan-Nya bagi mereka yang percaya kepada-Nya (Matius 28:20). Tugas kita adalah menghadirkan kasih-Nya bagi orang lain agar mereka dapat mengenal Dia dan merasakan penyertaan-Nya tersebut.

“Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Roma 10:15).

Baca Juga:

Belajar Memaknai Kasih dari Sudut Pandang yang Berbeda

Hari ini, maukah kita meneruskan kasih-Nya dengan komitmen untuk mengasihi sesama kita? Mulailah dari orang yang paling dekat dengan kita.