3 Hal yang Kupelajari dari Masa Single yang Panjang
Oleh Sukma Sari, Jakarta
“Udah punya pacar belum?” adalah pertanyaan umum yang sering kudengar saat pulang ke kampung halaman atau bertemu dengan saudara. Pertanyaan itu diajukan kepadaku sejak tahun 2007. Padahal, saat itu aku baru menginjak kelas 2 SMA dan usiaku pun belum 17 tahun. Artinya, sampai saat ini, pertanyaan itu sudah diajukan kepadaku selama lebih dari 10 tahun. Dan, pastinya aku akan terus mendengar pertanyaan itu kalau aku belum menemukan pasangan hidupku.
Pertanyaan seperti itu sepertinya bukanlah pertanyaan yang ada akhirnya. Jika seandainya aku sudah memiliki pacar pun, tentu akan ada pertanyaan lainnya yang akan diajukan. “Kapan nikah?” dan setelah menikah berganti lagi jadi “kapan punya anak?” kemudian “kapan nambah momongan?” dan berbagai pertanyaan lainnya yang akan datang. Kembali lagi ke pertanyaan sudah punya pacar atau belum, biasanya aku akan menjawab “belum”, sambil tersenyum lebar seakan tanpa beban. Tapi, apakah benar tanpa beban?
Seiring berjalannya waktu, tak bisa kupungkiri ada perasaan khawatir dan takut di dalam diriku. Aku takut kalau-kalau aku mendapat pasangan hidupku di usia yang tak lagi muda. Atau, takut apabila mamaku tidak bisa menyaksikanku berjalan menuju altar karena usianya yang semakin menua. Aku sudah tidak tahu berapa banyak pesta pernikahan yang aku hadiri selagi aku berstatus single dan sudah berapa banyak konsep yang kubuat untuk hari bahagiaku nanti. Harus kuakui, orang-orang yang sedang bergumul dengan pasangan hidup dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti di awal tulisan ini mungkin sudah hafal sekali dengan penggalan ayat pembuka dari Pengkhotbah 3.
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1).
Ya, untuk segala sesuatu ada waktunya. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang juga mengimani ayat itu. Dalam perenunganku di masa single ini, aku belajar bahwa sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dipelajari dalam hidup, temasuk dari masa single yang tengah kujalani. Tiga hal yang kupelajari inilah yang menolongku untuk tetap menikmati proses dan memperlengkapiku untuk kelak menjadi seorang penolong yang sepadan bagi pasanganku.
1. Masa single adalah masa untuk melayani Tuhan
Berbicara tentang melayani Tuhan itu bukan berarti mereka yang sudah berpacaran atau menikah tidak bisa melayani Tuhan lagi. Hanya saja, menurutku mereka yang telah berkeluarga memiliki fokus tambahan untuk mengurusi keluarganya. Seperti yang dimaksudkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:
“…Dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (1 Korintus 7:34).
Ada beberapa orang yang kutemui, yang semasa single-nya aktif melayani, tapi ketika berkeluarga malah mandek melayani. Waktu mahasiswa rutin datang persekutuan, tapi setelah menikah ingat ada persekutuan untuk alumni saja sudah syukur. Alasannya karena sudah ada keluarga yang harus dilayani. Memang keluarga adalah prioritas, tetapi kupikir tentunya akan lebih baik lagi jika sekeluarga aktif melayani bersama-sama.
Kembali ke masa single, menurutku masa ini adalah masa yang tepat untuk melayani. Selain tidak terbagi fokus, tentunya masa-masa single memberi kita kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu melayani. Tapi, hal ini bukan berarti lantas kita yang single tidak berusaha mencari pasangan hidup. Kata orang, jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kita juga harus mencarinya. Jika Tuhan berkenan, mungkin saja dia yang kamu cari selama ini adalah partner pelayananmu
Saat ini aku melayani sebagai pemimpin Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) di kampus. Selain itu aku melayani di gereja sebagai lektor dalam ibadah Minggu. Jika di saat weekend aku tidak memiliki agenda, maka aku akan menyempatkan diri untuk mengikuti ibadah persekutuan alumni atau menghadiri kegiatan kaum muda di gereja. Tentunya tujuan utama aku datang ke acara ini adalah untuk mendengarkan firman Tuhan dan juga menikmati fellowship dengan orang-orang percaya lainnya. Bagiku, jika aku menemukan pasangan hidupku di sini, maka hal ini kuanggap sebagai bonus.
2. Masa single adalah masa untuk memperlengkapi diri
Apa yang menjadi kriteria pasangan hidupmu? Selain lawan jenis dan seiman tentunya, adakah kriteria lain seperti pandai bermain musik, takut akan Tuhan, dan seorang pemimpin rohani masuk ke dalam kriteria-kriteriamu? Adakah kriteria-kriteria lainnya?
Seorang pria yang seiman, takut akan Tuhan dan seorang yang mengenal pelayanan gereja adalah kriteriaku yang selalu kusebut dalam setiap doaku. Tapi, tanpa kusadari, di titik inilah aku jatuh. Aku lupa bahwa ketika Tuhan menciptakan Hawa bagi Adam, Tuhan tidak berkata:
“baiklah aku menciptakan seorang pendamping yang akan terus mengaguminya seumur hidupnya.”
Akan tetapi Tuhan berkata: “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18).
Lantas, aku berkaca pada diriku sendiri: sudahkah aku menjadi penolong yang baik, yang sepadan bagi pasanganku kelak? Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperlengkapi diri sendiri selagi menantikan pasangan hidup. Selain aktif melayani dan mengikuti pertemuan-pertemuan ibadah, ada banyak buku bacaan rohani yang baik dan berkualitas yang aku baca. Bagaimana Oswald Chambers mengajak kita merasakan perjalanannya selama setahun penuh bersama Tuhan dalam bukunya berjudul My Utmost For His Highest atau bagaimana Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life menolong kita menemukan jawaban tentang siapa kita sesungguhnya.
Namun bagiku, tidak ada yang lebih dahsyat dan hebat membukakan arti hidup yang sesungguhnya selain daripada Alkitab yang kumiliki saat ini. Buku-buku yang kubaca mungkin amat berguna untuk menambah wawasanku. Akan tetapi, hanya firman Tuhan saja yang berkuasa untuk mengubahkan hidupku.
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk meperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).
3. Masa single adalah kesempatan untuk menikmati setiap hal-hal kecil
Sekali lagi, bukan berarti ketika sudah berpacaran atau menikah kita tidak bisa mensyukuri hal-hal kecil di dalam hidup. Salah satu hal kecil yang bisa kunikmati saat ini adalah kesempatan untuk melakukan hobi traveling-ku.
Meski aku takut ketinggian, aku lebih suka pergi ke pegunungan daripada ke daerah pantai. Mungkin karena cuaca di pegunungan lebih dingin daripada di pantai. Merasakan sensasi perjalanan menggunakan motor trail untuk menuju puncak dengan kemiringan 10-40 derajat, beberapa belokan tajam hingga tiba di ketinggian 2900 meter di atas permukaan laut untuk menikmati matahari pagi di negeri di atas awan. Selain menikmati keindahan alam, traveling juga memberiku kesempatan untuk berjumpa dengan penduduk lokal, belajar tentang budaya dan kebiasaannya, dan kupikir ini jugalah salah satu cara untuk mengenal keramahan Indonesia.
Kelak, kalau sudah menikah, tentunya kesukaanku traveling harus dipikirkan ulang. Mengingat ada kebutuhan-kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi. Tapi, jikalaupun nanti aku tetap bisa melakukan traveling, yang paling membedakan adalah tentu aku tidak lagi pergi traveling sendirian.
Pada akhirnya, menjadi single bukanlah sebuah bencana seperti yang dikatakan oleh banyak orang. Aku memang single, tetapi aku bukanlah orang yang kesepian karena melalui relasi yang intim dengan Tuhan, aku mendapati kebenaran bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Allah selalu cukup buatku.
Aku percaya, bahwa relasiku yang intim dengan Allah itu dapat menolongku untuk berhikmat dalam mencari pasangan hidup yang sepadan buatku.
Baca Juga:
Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup
Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.
gw bgt nih
Jika boleh saya berkomentar maka hanya 1 kalimat yg akan saya tulis yaitu ”Saya tidak menemukan status pacaran dalam Alkitab maupun perintah Tuhan Yesus.” Saya hanya menemukan teman, pertunangan dan pernikahan. Jadi tidak ada status pacaran dalam Alkitab. Arti teman di sini ya teman seperti teman biasa, jika serius maka jumpain orangtua gadis tersebut kemudian bertunangan setelah itu menikah. Jadi menurut saya Pacaran tidak sesuai dengan Alkitab dan firman Tuhan, buktinya banyak dampak buruk dari pacaran tidak perlu saya jelaskan lihat saja di berita kriminal. Kemudian, wanita adalah korban yg paling dirugikan dari status pacaran termasuk kehilangan perawan tidak pada waktunya. Maaf sekali lagi maaf, ini harus saya jelaskan supaya jelas, agar umat non kristen jangan menuduh budaya pacaran dari Kristen, padahal bukan, pacaran budaya barat/eropa, saya tidak ingin kristen jelek dimata umat non kristen gara-gara budaya pacaran. Kristen adalah pengikut Kristus yg turun ke bumi di tengah-tengah bangsa Israel, jadi ini harus di tegaskan agar tidak salah paham. Dalam Kristen manusia diajarkan hidup kudus, jika memutuskan menikah harus dengan pernikahan yg kudus. Sedangkan budaya barat/eropa seperti pacaran, seksbebas dan punya anak diluar nikah baru menikah itu budaya barat amerika tidak sesuai dengan ajaran Kristus dan hidup kudus. Saya tau banyak yg tidak suka dengan komentar saya, saya hanya berkomentar berdasarkan sudut pandang ajaran Kristen yg berpegang pada hidup kudus. Semoga kita semakin dekat dengan ajaran Tuhan Yesus yg kudus, amin.
Praise the Lord, wktunya Tuhan ttplah yg terindah
menguatkan dan memberi dorongan untuk lebih mengandalkan Tuhan.
jika mengikut tujuan pacaran yg sebenarnya, itu baik sekali..
pengenalan sebelum masuk ke dalam jenjang yg lbh serius.. bgmn memantapkan hati mengenai pasangan hidup.
jadi intinya tujuan pacaran itu baik, hanya kita sebagai manusia berdosa yg selalu menyalahgunakan istilah pacaran itu..
saya pernah sharing kelompok dgn rekan2 kerja,
membuat semua merasa senang mmg sulit.. namun 1 hal yg sy dapatkan bahwa Tuhan adalah segalanya. mari kita dahulukan menyenangkan Tuhan dibanding menyenangkan manusia. (kenapa harus mendengar judge mereka kalau kita punya alasan yg baik dlm hal berpacaran). jd menurut sy, pacaran bukanlah hal yg salah jika dilakukan sesuai tujuannya.
jadi menurut sy, bukan sebaiknya melarang pacaran..
tetapi sebaiknya merubah cara pacaran dgn kembali ke tujuan utamanya. dan ini kembali ke pribadi masing2.
“pacaran Kristen”, istilah ini sdh banyak digunakan di artikel2 dsb, dan ini sangat membantu bagi kita dalam mencermati bgmn pelaksanaan pacaran yg seharusnya..
sekian
selamat mlm sdra2 dlm Kristus..
ini hanya sharing, bkn menggurui..
ini hanya pendapat pribadi, maaf jika salah..
Tuhan Yesus memberkati
semua kan indah pada waktuNya
Indah pada waktunya, i believe