Posts

Ketika Aku Dipaksa Percaya Takhayul Supaya Tidak Kena Sial

Oleh Mita

1.“Jangan pakai baju serba putih, kayak lagi berduka!”

2.“Jangan jadi pengapit pengantin lebih 3x nanti kamu sulit ketemu jodoh,lho!”

3.“Jauhi semua yang serba angka 4 ,bakalan sial hidupmu!”

Apakah kalian juga akrab dengan wejangan mitos seperti ini? Sebagai seseorang yang lahir dalam keluarga keturunan Tionghoa dan pernah memeluk agama Buddha-Konghucu, omongan-omongan ini tidak asing di telingaku. Namun, saat Tuhan membawa keluargaku mengenal-Nya dan menjadi Kristen, kepercayaan kami terhadap mitos-mitos itu mulai ditinggalkan meskipun pada kenyataannya perubahan itu tidaklah terjadi semalam karena keluarga besarku banyak yang belum mengenal Kristus dan masih menganut kepercayaan yang lama. Di saat ada momen perkumpulan keluarga seperti tahun baru, pernikahan, pemakaman, mitos turun temurun ini tentu masih sering kudengar dari generasi pendahuluku.

Saat dihadapkan pada kenyataan seperti ini, aku pernah menanyakan ke orang tuaku bagaimana harusnya bersikap. Jawaban mereka terkadang masih setengah mengambang. Udahlah, kita memang Kristen nggak percaya begituan. Tapi itu kan cuma wejangan kepercayaan turun temurun, gak ada salahnya kamu iya-in kata mereka, toh maksudnya baik buatmu. Salah-salah protes nanti kita jadi omongan mereka di belakang.”

Namun, jauh di lubuk hati, aku terusik dan berpikir: mengapa aku sebagai seorang Kristen seolah menginjak dua kepercayaan pada saat yang sama hanya untuk memuaskan pandangan orang lain? 1 Timotius 4:7 menjawab keraguanku akan hal ini “Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah.”

Bukan kompromi, tetapi komunikasi

Suatu hari, bibiku dari pihak papa meninggal. Sebagai seorang Kristen, dia dimakamkan secara Kristen sesuai permintaannya sewaktu hidup. Namun, pada prosesi pemakaman dan penurunan peti jenazah ke dalam liang kubur, seperti biasa seluruh keluarga besarku termasuk orang tuaku pada saat bersamaan menoleh membelakangi peti. Hal itu dilakukan sebagai kepercayaan mereka untuk menghindari adanya nasib sial dari arwah yang keluar dan menghantui jika tetap menatap peti. Aku memperhatikan satu-satunya orang yang jelas tidak melakukannya adalah bapak pendeta pelayan kebaktian. Saat itulah kurasa tepat untukku melakukan hal serupa. Mamaku merasa heran sembari melirik ke arahku dan berkata: “Kamu ngapain sih, ayo noleh belakang sekarang!” Aku terdiam saja, tetap menonton prosesi itu hingga selesai sembari berdoa pada Tuhan dalam hati agar nantinya bisa memberi penjelasan padanya.

Benar saja, sesudah prosesi itu, beliau mulai mengkonfrontasi keras apa yang kulakukan. Roh Kudus mengingatkanku untuk menyatakan suatu ayat padanya dalam Roma 12 : 2yang berkata: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”

Aku juga memberikan pengertian padanya bahwa apa yang dilakukan Pak Pendeta adalah benar dan menjadi contoh baik pada kita sebab iman kita seharusnya didasarkan pada Yesus Kristus saja dan bukan mitos pemali seperti itu. Dengan demikian kita dapat merasakan damai sejahtera, tak perlu takut atas opini orang lain atas kita karena Kristus-lah yang sepenuhnya memegang kendali hidup kita. Perlahan respons beliau berubah dan  mulai tersadar. Hari itu, aku sangat bersyukur karena melalui kesempatan ini, Tuhan membukakan kebenaran-Nya padaku dan membebaskan pergumulan keluargaku.

Mungkin ada pendapat yang menyatakan bahwa dengan menolak pemali ataupun mitos, iman Kristen dianggap sebagai iman yang anti terhadap budaya dan tradisi. Ini tidaklah benar. Budaya merupakan keragaman dan kekayaan dalam kehidupan sosial dan ini tidaklah ditentang oleh iman kita. Namun, apabila mitos-mitos dan pemali ini membuat kita tidak lagi memercayai Allah dan menggantikan posisi-Nya sebagai yang terutama, di sinilah yang menjadi masalahnya. Dalam kasusku di prosesi pemakaman, menoleh ke belakang dengan alasan agar tidak kena sial tidaklah sesuai dengan iman kita. Kesialan tidak datang dari menatap prosesi penguburan, tetapi karena dosa memang telah merusak segala sendi kehidupan manusia. Namun, Kristus telah membayar lunas semua utang dosa kita dan memberikan kita jaminan yang pasti dan kekal.

Kawanku, mungkin tidak mudah bagi kita terutama sebagai orang muda untuk teguh berpegang pada kebenaran, terutama jika hal itu berisiko bagi kita untuk menjadi tidak disukai orang lain, bahkan oleh keluarga kita sendiri seperti yang kualami. Namun, tak perlu  berkecil hati, karena yang terpenting dari semua itu adalah adalah iman kita pada Tuhan. Dan jika tiba saatnyaa, justru itulah kesempatan bagi kita untuk menjadi contoh mewartakan Kabar Baik yang memerdekakan bagi mereka yang belum mengenal-Nya dalam penuh kasih.

Kiranya Roh kudus terus memperbaharui budi kita dari pandangan-pandangan dunia dan menguatkan kita untuk tanpa lelah mengejar kebenaranNya. Amin.

1 Timotius 4:12: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah  karena engkau muda. Jadilah teladan  bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.”

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Lika-liku Mencintai Orang Tua yang Semakin Tua

Oleh Jessie, Jakarta

Close-minded… Judgmental Kuno… Kepo…

Ini adalah komentar-komentar yang sering kudengar kalau sedang bercerita tentang orang tua kami dengan teman-teman sepantaranku, para generasi milenial dan gen-z. Nah, pernah ga sih kalian adu opini karena merasa orang tua kita udah mulai ga update dengan keterbukaan zaman now? Atau mungkin kehilangan kesabaran karena mereka terkesan bawel banget, sering suruh-suruh, lola, dsb…

Relasiku dengan orang tuaku boleh dikatakan cukup dekat. Malah saking dekatnya, kami juga sering berantem. Ya… biasalah, perbedaan pendapat. Karena aku anak yang cukup bawel dan ekstrover, maka cerita atau permasalah apa pun di hidupku umumnya langsung kuceritakan tanpa ada yang harus ditutup-tutupi. Tapi… kedekatan dan keterbukaan tidak membuatku selalu bersikap berbakti dan taat. Hanya saja, kalau dalam kasusku, aku tidak main belakang. Aku berterus terang dengan opini dan keputusan hidup yang banyak kalanya tidak sejalan dengan ekspektasi orang tuaku. Karena aku sudah tergolong orang dewasa secara umur, orang tuaku juga sudah tidak bisa terlalu memaksa lagi. Lalu apakah aku selalu benar? Oh sudah pasti tidak jawabannya! Dan apakah orang tuaku selalu benar juga?! Delapan puluh persen sih… Perkembangan zaman yang sangat cepat ini membuat beberapa opini mereka sudah tidak lagi relevan . Jujur berkata, aku sering tidak sabar dan cepat terpancing, sehingga diskusi yang aku intensikan di awal berakhir dengan tantangan dan kemarahan.

Hormat

Memang Alkitab tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana anak dan orang tua seharusnya berelasi di tengah perkembangan zaman yang semakin terbuka dengan berbagai opini yang berbeda, serta tantangan untuk melihat dengan jelas garis pemisah antara apa yang benar dan yang salah. Namun, sebagai orang Kristen, aku percaya bahwa Alkitab merupakan satu-satunya buku yang memberikan pengajaran-pengajaran mendasar yang relevan sepanjang masa.

Ada dua pengajaran penting yang Alkitab selalu tekankan mengenai etika anak kepada orang tua, yaitu hormat (Kel. 20:12 ; Ef. 20:12) dan taat (Ams. 1:8-9 ; Kol. 3:20). Menghormati dan taat adalah dua hal yang berbeda. “Hormatilah ayah dan ibumu” (Kel 20:12). Perintah ini diberikan dalam konteks tidak peduli apa pun situasinya, memberikan hormat kepada orang tua kita itu sudah selayaknya kita berikan karena sudah menjadi hak orang tua untuk mendapatkan hormat.

Apa sih bentuk etika menghormati kita kepada orang tua kita? Menghormati tidak sekadar apa yang kelihatan di luar, seperti saat kita menyapa mereka, mendahulukan mereka, dan sebagainya. Meskipun semua ini benar, namun konsep menghormati yang dimaksudkan di Alkitab mencakup penghormatan secara sikap dan juga mental. Contoh sikap menghormati secara mental adalah saat bagaimana kita memikirkan nasihat-nasihat orang tua kita. Jika kita menghormati dengan kesungguhan hati, maka kita pasti akan menghargai dan mempertimbangkan masukan dari orang tua kita. Bagaimanapun juga mereka sudah hidup jauh lebih panjang, pengalaman asam garamnya pun lebih banyak, maka sesungguhnya opini mereka mungkin ada benarnya. Seberapa sering kita akhirnya menyadari akan posisi kita yang salah, lalu teringat akan nasihat orang tua kita di awal? Kalau aku sih lumayan sering, tapi ya diem-diem aja (entar terkesan kalah dong gue hahaha).

Bentuk penghormatan anak kepada orang tua banyak diperjelas secara spesifik di ayat-ayat lainnya, seperti di kitab Amsal 1:8 TSI, yang bunyinya, “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.” Si penulis tidak mengatakan agar kita langsung melakukan apa yang ayah-ibumu sudah katakan, tapi kata yang digunakan adalah “dengar” dan “jangan menyia-nyiakan.” Adanya sebuah ajakan untuk si anak agar mempertimbangkan perkataan orang tuanya. Penulis Alkitab mungkin sudah tahu kalau anak di generasi manapun itu sering banget mengangguk-angguk, tapi sebenarnya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.

Taat

Lain dengan menghormati yang kasusnya unconditionally atau tanpa syarat, ketaatan bersifat conditional. Bukan berarti ini memberikan kita alasan untuk menjadi anak yang membangkang ya, melainkan mengingatkan kita akan keterbatasan manusia yang berdosa.

Orang tua kita juga manusia yang berdosa dan bisa salah, sehingga ketaatan tertinggi kita berikan hanya kepada Tuhan (Kis. 5:29b: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia”). Ada penjelasan bahwa seiring bertambahnya dewasa anak serta bertumbuhnya cara pikir si anak, maka mereka juga memiliki pertimbangan dan opsi yang lebih matang, yang mungkin membuat mereka lebih memahami apa yang terbaik untuk dirinya. Lalu, ada perihal khusus di mana orang tuanya melarang anak ke gereja, atau kasus di mana orang tuanya jelas memberikan solusi yang salah, dan sebagainya. Sehingga, ketaatan ini sebenarnya bersifat conditional atau dalam bahasa sederhananya: ya kita lihat dahulu ya konteksnya bagaimana.

Patut diingat, bahwa karena ketaatan tertinggi hanya kita berikan kepada Tuhan, maka keputusan yang kita ambil harus dalam lingkup apa yang Tuhan katakan boleh dan tidak, bukannya kita malah mengambil keputusan atas dasar suka-suka kita.

Lalu, dikarenakan peraturan nomor #1 (menghormati) bersifat harus, maka peraturan nomor #2 ini bisa disanggah dengan mengingat adanya aturan nomor #1. Seperti contoh kasus yang sering aku hadapi—perselisihan pendapat. Ada kalanya kita tidak setuju dengan cara pikir dan solusi orang tua kita; maka tanpa harus bertengkar, kita bisa belajar untuk mengontrol cara bicara kita dan mengutarakan opini dengan sikap menghormati. Kita menghormati mereka meskipun tidak “menaati” masukan mereka. Memang sih, butuh kesabaran yang banget nget, karena seringkali emosi kita mudah terpancing. Setuju, setuju??

Keluarga bisa dibilang sebagai komunitas terdini yang Tuhan percayakan untuk si anak belajar bagaimana mengikuti kehendak yang lebih berotoritas dengan tujuan seiring bertambah besarnya mereka, si anak pun menjadi terbiasa untuk taat kepada Tuhan.

Jadi, keluarga seperti sekolah pelatihan cara menghormati dan menaati yang berotoritas. Cukup masuk akal sih menurutku, karena kalau kita saja tidak bisa menghormati dan menaati orang tua yang kelihatan, bagaimana kita bisa menghormati dan menaati Tuhan yang tidak kelihatan.

Ingat, bahwa orang tua kita sudah dipercayakan oleh Tuhan otoritas, maka sebagai anak kita sudah sepatutnya menghormati dan menaati mereka.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tempat… di mana kamu bisa menyembah Tuhan

Tuhan… tidak pernah terbatas oleh ruang dan waktu. Dia juga tidak sulit digapai. Bahkan ada lagu yang menyebut “Dia (Tuhan) hanya sejauh doa”.

Ya, Tuhan ada di gereja. Tapi, ini bukan tentang di mana kamu dapat menemukan Tuhan, melainkan di mana pun kamu berada, kamu tetap dapat menemukan Tuhan. Bahkan sekarang, ketika kamu sedang membaca pesan ini 🙂

Share dong di mana aja pengalamanmu bisa menyembah Tuhan 🤗

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengasihi dan Menghormati Orangtua (Saat Mereka Tidak Layak Mendapatkannya)

Oleh Gabriella

Bagiku, salah satu bagian Alkitab yang paling susah kutaati adalah Efesus 6:1-3, yang aku rasa sering menjadi ayat hafalan di sekolah Minggu:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.”

Mengapa? Hubunganku dengan orangtuaku kurang begitu baik. Pertama, mereka bukanlah orang percaya (setidaknya selama aku tumbuh besar), sehingga kami sering memiliki pandangan yang berbeda tentang banyak hal dalam kehidupan. Kedua, mereka bercerai saat aku masih berusia tiga tahun, sehingga memori masa kecilku lebih banyak dipenuhi dengan kekecewaan, kesepian, dan tangisan yang tidak ingin kuhidupi kembali. Dan sayangnya, kedua orangtuaku sering mengatakan hal yang buruk tentang satu sama lain kepadaku, sehingga itu membuat image mereka dalam benakku ternodai dan semakin susah bagiku untuk menghormati mereka, sekalipun aku tahu tidak semua yang mereka katakan itu benar.

Mengapa aku harus mengasihi orangtuaku, saat aku juga tidak bisa merasakan kasih mereka untukku? Mengapa aku harus menghormati mereka, saat mereka telah melakukan banyak hal yang kurang terhormat? Aku ingin membagikan sebagian hasil pemikiran dari pergumulan panjangku, walau sejujurnya aku juga masih terkadang (bahkan mungkin sering) jatuh dan tidak berhasil menerapkannya. Aku harap kita bisa menjalani perjuangan ini bersama-sama.

1. “Hate the sin, love the sinner”

Perkataan ini cukup kontroversial karena seringkali digunakan dalam konteks merendahkan orang lain, atau saat kita merasa dosa yang dilakukan orang lain lebih buruk dari dosa kita. Selama ini aku mengartikan kalimat ini bahwa kita seharusnya hanya membenci perbuatan jahat yang mereka lakukan tanpa membenci orangnya, tapi aku berubah pikiran saat mendengar pernyataan dari R.C. Sproul: “Kita adalah orang berdosa bukan karena kita berbuat dosa, kita berbuat dosa karena kita adalah orang berdosa. Aku menyadari bahwa dosa bukanlah sekadar perbuatannya, tapi merupakan sengat maut dari maut (1 Korintus 15:56), yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Seringkali kita tahu apa yang baik untuk dilakukan, tapi tetap saja kita tidak bisa melakukannya karena kita adalah orang berdosa (Roma 7:15-20).

Membenci dosa bukan berarti sekadar membenci perbuatan jahat orang lain—termasuk orangtua kita—tapi membenci dosa itu sendiri. Dosa adalah musuh kita semua yang telah membawa kehancuran dalam dunia yang Tuhan ciptakan dengan sempurna. Dosa telah merusak dunia secara begitu menyeluruh (Roma 8:22-23), bahkan mereka yang menyakiti kita pun termasuk korbannya. Jika musuh dari musuh kita adalah teman kita, bukankah seharusnya kita tidak membenci mereka yang telah menyakiti kita?

Dalam kasus ini, aku akhirnya dapat sedikit memahami kedua orangtuaku yang juga tidak memiliki masa kecil yang bahagia dengan orangtua mereka. Aku rasa mereka bukan dengan sengaja ingin merusak masa kecilku dan menyakiti perasaanku, dan kalaupun mereka ternyata memang sengaja, itu hanyalah efek samping dari hidup dalam dunia yang sudah bobrok dan dirusak oleh dosa ini. 

Untuk kita bisa love the sinner, pertanyaan selanjutnya adalah siapakah sinner itu? Aku yakin sebenarnya aku tidak perlu menuliskan ini kembali karena kita semua pasti sudah mendengar pesan ini berkali-kali dan hapal di luar kepala. Jadi mari kita jawab bersama-sama: kita semua. 

2. “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5: 8) 

Kita baru saja merayakan Paskah bulan lalu. Perayaan ini mengingatkan kita bahwa Yesus mengorbankan diri-Nya untuk menyelamatkan umat manusia, walau mereka inilah ciptaan-Nya yang sudah memberontak, menolak-Nya, mencemooh-Nya, meludahi-Nya, memaku tangan dan kaki-Nya, mencambuk punggung-Nya hingga penuh bilur dan luka. Setelah pengkhianatan yang luar biasa ini, apa yang Ia katakan? ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).

Kita berhak mengharapkan orangtua kita mengasihi kita, seperti Tuhan berhak mengharapkan ciptaan-Nya untuk mengasihi-Nya. Namun, saat kita mengecewakan Dia dan gagal, Ia merespons dengan kasih dan pengampunan. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk merespons kekecewaan kita terhadap orangtua kita dengan kasih dan pengampunan yang Tuhan telah berikan lebih dahulu pada kita.

Walau ini klise, tapi seringkali pengetahuan kita tidak benar-benar meresap dalam hati dan pikiran kita. Kalau kita tahu kita semua orang berdosa, seharusnya kita bisa mengampuni orang lain yang telah menyakiti kita karena kenyataannya kita tidak lebih baik dari mereka. Namun nyatanya, tetap sangat sulit untuk mengampuni dan memaafkan orang lain karena… (drum roll) kita adalah orang berdosa. Jadi, mana yang lebih dulu? Ayam atau telur? 🙂

Mari kita minta pertolongan Roh Kudus untuk memampukan kita mengampuni, mengasihi, dan menghormati orang yang telah menyakiti kita, terutama orangtua kita. Mari kita berjuang bersama-sama; tolong doakan aku dan aku akan mendoakanmu juga.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kita gak akan bertambah dewasa kalau…

Sobat Muda, kalau ada di antaramu yang memilki kebiasaan seperti 5 hal di atas, bukan berarti kamu gak bisa berubah.

Ketika kita sungguh-sungguh menyesal akan kesalahan atau kebiasaan buruk kita, bawalah itu kepada Allah. Mintalah hati yang baru (Yehezkiel 36:26). Dia kita tidak akan menolak hati yang rindu untuk diubahkan (Mazmur 51:11-12).

Sudah siapkah kamu untuk Tuhan perbarui? 🙂

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Senandung yang Mencapai Sorga: Rest in Love Melitha Sidabutar

Sebuah obituari oleh Cristal Tarigan, NTT

8 April 2024, bisakah kusebut tanggal ini sebagai salah satu hari duka bagi banyak orang Kristen di Indonesia? Sampai aku mengetik tulisan ini pun, air mataku belum bisa kutahan karena mengingat dan mengenang sosok Melitha Sidabutar. Aku belum pernah berjumpa secara langsung dengannya, tapi aku menyayanginya dan merasa dekat karena setiap kesaksian yang dia bagikan, lagu-lagu yang dia ciptakan, semuanya telah mengambil tempat di hatiku.

Melitha Sidabutar adalah sosok penyanyi rohani yang memulai kiprahnya di dunia tarik suara lewat kontes-kontes pencarian bakat. Namun, dunianya tidak berlabuh di sana. Melitha menggunakan taleta suaranya untuk menyanyi bagi Tuhan lewat lagu-lagu rohani. Usianya pun masih muda. Dia dilahirkan pada tahun 2001, sehingga pada tahun ini usianya barulah menginjak 23 tahun. Seperempat abad pun belum!

Selama beberapa tahun terakhir, lagu-lagunya kumasukkan dalam playlist musikku begitu memberkati dan membuatku merasa lebih dekat dengan Tuhan. Kepergian Melitha yang mendadak mengingatkan kembali akan kepergian Melisha, saudari kembarnya yang telah berpulang lebih dulu menjelang ulang tahunnya yang ke-20 pada 8 Desember 2020. Media sosial pun riuh. Banyak komentar yang menuliskan kata-kata penghiburan. Salah satu yang paling mengena di hati adalah: Melitha dan Melisa bersama para malaikat sudah bernyanyi di surga bersama-sama memuji Tuhan”, demikian tulisan warganet.

Kematian dan hidup berjarak begitu dekat

Menyukai kisah dan lagu-lagu Melitha, aku sedih, rasanya juga belum percaya. Juga muncul beberapa pertanyaan di pikiranku: Tuhan panggil Melitha yang begitu memberkati banyak orang, di usia yang muda, ketika dia sedang mengerjakan pelayanannya. Kenapa? Apakah Tuhan tidak sayang? Mengapa harus pula kedua saudara kembar ini? Kenapa Tuhan tidak biarkan saja salah satunya panjang umur dan terus menjadi kesaksian yang hidup untuk nama-Nya sendiri?

Pertanyaan itu memantul dalam relung-relung hatiku. Lalu, aku sejenak mengingat bahwa meskipun ajal seringkali datang mendadak, segala sesuatu tetaplah ada dalam kendali-Nya. Allah yang maha mengetahui kapan masa segala sesuatu dari segala sesuatu.

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1).

Aku sadar bahwa Melitha, aku, pun kita semua adalah buatan Tuhan, ciptaan-Nya. Kita tidak memiliki kuasa untuk menentukan kapan masa terbit dan terbenam hidup kita. Bahkan sejengkal masa ke depan, tak ada yang tahu dan sanggup menjamin! Namun, mengapa Tuhan terkadang memanggil anaknya begitu cepat? Bukankah kepergian yang terlalu mendadak akan menggoreskan banyak luka bagi yang ditinggalkan?

Tahun 2022 lalu, aku juga kehilangan orang yang sangat kukasihi, dan orang pertama dalam garis keturunan keluargaku yang aku rasakan sosok kepergiannya. Dia adalah kakekku dari pihak bapak. Memang beliau wafat bukan di usia muda, tapi aku yakin bahwa baik muda ataupun tua, dukacita selalu memberikan rasa sakit. Kami begitu kehilangan, kesepian, bahkan kadang-kadang seperti tidak sadar bahwa mereka sudah tiada.

Ketika kehilangan kakekku, aku sedih sekali karena aku dekat dengannya. Tapi, beberapa hari setelah kematiannya, aku mengalami perjalanan iman yang membuatku mengucap syukur. Penghiburan yang kudengar dan iman yang kupunya membuatku yakin akan kehidupan kekal yang sudah dia miliki. Aku diteguhkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Kematian merupakan jalan untuk bertemu dengan Bapa dan tinggal selamanya dalam persekutuan kasih-Nya yang tidak berkesudahan. Kehidupan kita di dunia ibarat seorang musafir, hanya sementara.

Pada Yohanes 15:19 tertulis, “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.”

Ayat ini menyadarkanku tentang betapa pentingnya mengerti keberadaan kita saat ini hanyalah sementara. Yang menjadikan tiap nafas kita berarti bukan seberapa lama kita hidup, tapi tentang bagaimana kita hidup untuk memenuhi panggilan-Nya—taat melayani-Nya, dan berbuah lewat seluruh kesaksian hidup kita. Kesehatan dan panjang umur adalah baik, tapi memang umur hanyalah angka yang tak pernah kita tahu akan berhenti di mana.

Ketika dukacita datang, inilah perenungan yang kudapat:

1. Kematian memang menyedihkan tapi lewat kematian dan kebangkitan Kristus, kita memiliki keyakinan akan hidup kekal

Inilah pengharapan bagi kita bahwa kelak kita akan dibangkitkan sama seperti Kristus dan hidup dalam persekutuan kekal bersama para kudus. 

2. Hidup bukan sekadar kesempatan untuk melayani, tetapi melayani adalah keharusan kita dalam hidup

Lewat kehidupan Melitha, kita dapat belajar bagaimana mempergunakan setiap waktu yang ada untuk melayani Tuhan sepenuh hati kita. Bersaksi buat Tuhan lewat seluruh aspek hidup, karena kita tidak tahu bilamana waktu-Nya Tuhan tiba.

3. Tuhan berkenan atas sikap kerendahan hati dan ketulusan

Apabila dua sikap ini ada dalam diri kita, maka setiap karya yang kita lakukan bisa jadi pesan yang lembut sekaligus kuat untuk memberkati orang lain.

Sekalipun aku tidak mengenal Melitha secara pribadi, tapi dengan begitu banyaknya orang yang hari ini berduka, aku tahu Melitha telah melakukan pelayanannya dari hatinya yang terdalam.

4. Belajar taat untuk mengakhiri pertandingan dengan baik

Tuhan melihat proses hidup kita. Kita percaya bahwa kepada setiap orang yg mengakhiri pertandingan dengan baik, akan diberikan mahkota kehidupan. Seandainya saat ini kita bisa melihat rekam jejak hidup kita, sudahkah kita berproses dengan setia di hadapan-Nya?

Tuhanlah yang memberi, Tuhan jugalah yang mengambil. Turut berdukacita sedalam-dalamnya untuk seluruh keluarga besar Melitha Sidabutar, beristirahatlah dalam lautan cinta yang tak pernah usai, rest in love.

Terimakasih Mel, lewat hidupmu kami saat ini belajar bahwa sekalipun ragamu telah mati, tetapi karya dan teladanmu dapat dipakai Tuhan untuk menghidupkan semangat-semangat yang padam dan membawa mereka mereguk hidup yang sejati di dalam Kristus, Tuhan kita.

Menjadikan Relasi Lebih Berkualitas: Sikap Hormat

Yohanes 15:12: Inilah perintah-Ku yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Ayat ini adalah ayat umum yang dipakai untuk bicara soal relasi, tapi di saat yang sama paling mudah disalahmengerti. Mungkin karena saking biasanya ayat ini, kata “kasih” lebih cepat menarik mata kita dibandingkan kata perintah”. Jujur saja bagiku sebagai anak muda kata perintah memang punya konotasi ‘negatif’ karena kesannya yang “bossy”. Tapi kenyataannya kata ini keluar dari mulut Tuhan Yesus dan menjadi dasar dari hukum kasih.

Perintah dan hukum, adalah dua kata yang membawa kita melihat ada otoritas di dalam hidup kita. Jika kita percaya dan mengakui bahwa tidak ada hukum yang dapat mengatasi hukum kasih, secara tidak langsung kita akan lebih baik menjadi pelaku kasih dengan belajar menghormati. Dengan menghormati, kita tidak pernah kehilangan kehendak bebas, melainkan menjadi bijak dengan meletakkan kehendak bebas itu berdiri di atas batu penjuru yang kokoh dan tidak tergoyahkan, yaitu otoritas Firman Tuhan di dalam Yesus Kristus.

  • Dengan memilih, relasi itu dimulai; dengan tunduk dan hormat, relasi itu tumbuh menjadi cinta

Di masa-masa jombloku, pernah pada masanya aku senang main dating apps. Ternyata melalui dating apps aku bisa menentukan pilihan dan kriteria penampilan, pekerjaan, agama, ras, hobi, tinggi, umur sesuka aku. Pernah beberapa kali aku bertemu seorang yang cantik sekali, fun, enak untuk diajak ngobrol. Namun, tidak lama setelah itu aku di-ghosting. Pernah juga aku memilih seorang perempuan yang cantik di foto, namun kenyataannya tidak semenarik itu. Terkena cat fishing dalam dating apps, aku pun sebagai laki-laki yang adalah makhluk visual harus jujur bahwa aku kecewa. Kenyataannya ternyata punya pilihan itu tidak selalu menjamin bahwa kitalah yang memegang kendali.

Ironisnya, sering kali kita berpikir bahwa mendapatkan jodoh intinya adalah “aku memilih yang benar” dan “karena pilihanku benar, maka aku mencintai kamu”, tetapi perenunganku tentang arti perintah di dalam Alkitab mengungkap bahwa di samping memilih, aku juga pun perlu belajar menghormati pilihan Tuhan. Hari ini, kata “tunduk” dan “hormat” kalah populer dibandingkan “hak memilih”. Hal ini bisa terjadi karena kenyataannya lebih mudah menentukan kriteria orang yang berhak dicintai kita, dibandingkan menjadi orang yang patut dicintai.

Di dalam memulai sebuah relasi, kita boleh saja memilih. Tetapi untuk memiliki kasih dalam relasi, kita perlu belajar tunduk dan hormat. Tunduk dan hormat adalah sikap yang fokusnya di dalam diri setiap kita, sedangkan memilih fokus kepada apa yang ada di dalam diri orang lain. Memilih pasangan hingga presiden, kita bebas berkriteria. Tapi, untuk menghormati mereka belum tentu mudah bagi kita. Bagaimana kita harus menghormati pilihan doi yang menolak kita? Bagaimana kita menghormati batasan di dalam berpacaran? Bagaimana kita menghormati perbedaan kepribadian di dalam pacaran? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika kita mau mengikuti proses mengenal Tuhan, diri, dan sesama kita tanpa memaksakan “pilihan manusiawi kita” yang berdosa.

  • Memperhatikan hidup adalah jalan yang harus ditempuh bagi kita yang mau tinggal di dalam kehendak Tuhan

Saat ini aku berstatus sebagai orang berpacaran. Izinkan kuceritakan sedikit bagaimana aku bisa menjalin relasi ini. Aku sedang menempuh studi di sekolah Teologi dan di tahun kedua aku memilih masuk asrama. Ketika kasus Covid sedang naik, aku pun dikarantina dengan seorang mahasiswa berkebutuhan khusus. Baru tiga hari bersama, aku takut dan cemas karena perilaku teman sekamarku ini membuatku tidak nyaman. Terpikir olehku untuk mencari pertolongan dengan menghubungi seorang mahasiswi konseling yang kukenal di BEM. Singkat cerita, dari sesi konsultasiku, aku jadi tertarik dengan mahasiswi ini. Pembicaraan kami makin dalam dan kami memutuskan menjadi relasi hingga saat ini.

Sepanjang perjalananku berelasi, aku belajar dan menyadari bahwa tunduk dan hormat adalah sikap yang mahal! Hari ini, kita hidup di dalam zaman yang terbalik, yaitu ketika kita lebih mudah memilih kriteria pasangan sesuai kriteria sendiri tetapi sulit menghormati kriteria Allah. Allah memberikan kita kriteria berupa iman kepada Kristus, ketaatan, dan memiliki kasih kepada Allah dan sesama.

Lebih mudah memilih untuk segera menjalin hubungan tanpa bertanya kepada Tuhan apakah dia memang pasangan yang Tuhan berkenan. Lebih mudah memilih menjadikan jalan pacaran sebagai “jalan pertobatan”, dibandingkan tunduk dan menghormati anugerah Allah melalui Firman-Nya. Lebih mudah untuk menyerahkan tubuh kita kepada manusia dibandingkan menyerahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Lebih mudah memilih menutup mata ketika cinta kita menggebu-gebu, daripada menghormati proses persiapan yang serius menuju pernikahan. Lebih mudah memilih cerai, daripada menghormati Allah yang membentuk institusi pernikahan.

Poin terakhir, kita dipanggil untuk tunduk dan hormat pada pasangan kita semata-mata kita mau tunduk dan hormat kepada Allah. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, kita yang laki-laki akan perlahan kehilangan alasan untuk berkorban bagi pasangan kita ketika dia tidak lagi menarik di mata kita. Tanpa tunduk dan hormat akan Allah, perempuan mungkin akan terlihat kuat dan baik-baik saja, namun rapuh dari dalam. Kristus yang mencintai kita hingga saat ini adalah alasan kita laki-laki mau belajar apa arti pengorbanan. Kristus yang adalah Allah sekaligus manusia yang paling layak untuk dicintai adalah alasan bagi perempuan untuk terus belajar apa itu artinya tunduk kepada pasangan.

Belajar menghormati itu mengajarkan kita memelihara relasi kita. Mungkin ada di saat ini kita masih bergumul tentang pilihan kita, tapi akan ada waktunya pilihan itu harus ditutup misalnya ketika kita memutuskan menikah. Ketika pilihan itu tertutup, hanya sikap menghormati dan kasih yang akan terus dipakai di dalam hubungan pernikahan (Lihat Efesus 5:21-33).

Aku yakin semua keinginan kita untuk punya pasangan adalah juga keinginan untuk hidup menjadi seorang suami dan istri yang baik. Oleh karena itu, yuk kita belajar 1% lebih baik dengan mulai belajar menghormati Allah kita dahulu, sebelum lalu kita menghormati orang tua, saudara kita, bos kita, karyawan kita, teman kita, guru kita, dan orang-orang di sekeliling kita. Terkadang sulit menghormati mereka yang mengecewakan kita dengan hidup mereka yang jelas-jelas salah, namun di saat seperti itu aku berdoa agar kita juga punya waktu untuk berhenti dan kembali melihat Tuhan yang telah menebus hidup kita dengan darah-Nya di atas kayu salib.

Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk takut dan menghormati Allah, karena di dalam Dia saja ada relasi yang terus tumbuh dan indah pada waktunya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

3 Hal yang Kupelajari dari Memelihara Kucing

Siapa nih di antara kamu yang sukaaa banget sama kucing? 😻

Dari tingkah laku si kucing, ada beberapa hal yang bisa jadi pengingat dan pelajaran berharga dalam hubungan kita dengan Tuhan

Yukk, share juga pengalamanmu dengan anabul ini 😻😁

Artspace ini ditulis oleh Viola Wu (@_lunaandthecats_), ilustrasi dari @chiketania, dan diterjemahkan dari @ymi_today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hur: Figur Pendukung di Balik Nama Musa

Oleh Gabriella, Malang

Siapa saja tokoh yang berjasa dalam membawa bangsa Israel keluar dari Mesir? Aku rasa nama-nama yang pertama muncul di kepala kalian antara lain Musa, Harun, Yosua, Kaleb… mungkin Miryam. Adakah di antara kalian yang terpikir seseorang bernama Hur?

Hur muncul pada kisah saat Israel melawan bangsa Amalek di Keluaran 17:8-16. Pada saat itu, bangsa Israel berperang melawan bangsa Amalek di lembah Rafidim. Yosualah yang turun ke lapangan untuk memimpin pasukan perang Israel, sedangkan Musa naik ke puncak bukit dengan memegang tongkat Allah. Waktu Musa mengangkat tangannya yang memegang tongkat itu, Israel unggul dalam perang, tapi saat tangannya turun, Amalek menjadi lebih kuat. Musa yang sudah lelah mengangkat tangannya pun akhirnya mengandalkan bantuan Harun dan Hur yang masing-masing menopang sebelah tangan Musa sehingga tentara yang dipimpin Yosua akhirnya berhasil mengalahkan Amalek.

Melihat kisah ini, aku tersadar bahwa saat kita melayani, tidak semua orang juga akan mendapat “peran utama” seperti Musa dan Yosua. Pelayan Tuhan yang paling menonjol tentu saja mereka yang tampil di depan, seperti pengkhotbah, worship leader, singer, pemain musik. Mungkin ada juga yang mendapat “pemeran pendukung” seperti Harun, yang kemudian diangkat oleh Tuhan menjadi Imam Besar, dan perannya sangat penting dalam keberlangsungan ritual-ritual ibadah bangsa Israel, seperti mempersembahkan korban. Di gereja pun, ada banyak pelayan yang tidak tampil di depan umum tapi sangat diperlukan agar ibadah bisa berjalan lancar, seperti petugas multimedia, pengurus yang menjadwalkan petugas, dll.

Tapi, bagaimana bila peran kita dalam pelayanan seperti Hur yang hanya muncul sekilas sebagai cameo? Aku rasa bila disejajarkan dengan masa sekarang, peran Hur yang “hanya” menopang tangan Musa yang lelah mungkin mirip dengan saat kita mendukung pelayanan lembaga misi, organisasi Kristen, atau pengerja gereja melalui doa dan dana, atau mungkin mendukung pelayanan orang-orang terdekat kita dengan cara mau mengerti dan mengakomodasi kesibukan mereka serta memberi emotional support. Pernahkah kita berpikir bahwa hal-hal tersebut juga merupakan bentuk pelayanan kita pada Tuhan dan sesama? Tentu saja, bukan berarti kita bisa menjadikan hal ini alasan untuk menolak melayani karena merasa sudah cukup puas dengan sekedar mendukung pelayanan orang lain. Tapi, ini adalah pengingat bahwa dalam melayani kita perlu saling mendukung dan menopang.

Hur hanya muncul sekali lagi setelah kejadian ini, yaitu pada Keluaran 24:12, di mana Musa mengatakan pada tua-tua Israel untuk datang pada Harun dan Hur mengenai perkara mereka selama Musa pergi ke Gunung Sinai untuk menerima loh batu dari Tuhan.  Orang-orang Yahudi percaya bahwa menghilangnya Hur dari kisah keluarnya Israel dari Mesir adalah karena Hur dibunuh oleh bangsa Israel saat ia berusaha menghalangi mereka membuat patung lembu emas (sumber). Saat waktunya tiba, Hur tidak ragu untuk maju ke garis depan dan melayani Tuhan sekalipun nyawanya yang menjadi taruhan, dan ia tetap setia sampai akhir.

Ada masanya kita mendapatkan peran yang menonjol saat melayani Tuhan. Ada masanya kita bekerja di balik layar. Ada masanya kita mendukung dan menopang pelayanan orang lain. Mungkin ada masanya juga kita melakukan dua atau bahkan ketiganya pada saat yang bersamaan. Apa pun tugas yang sedang Tuhan berikan pada kita saat ini, mari kita kerjakan bagian kita dengan sepenuh hati, dan bersama-sama melayani Tuhan dengan setia.

Tuhan memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥