Posts

Mengejar Sebuah Mimpi

Oleh Dikson Kardinal, Poso

Empat tahun lalu, sebelum menyelesaikan pendidikan di jenjang SMA, aku bermimpi supaya dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi meskipun kondisi ekonomi orang tuaku sulit. Aku tidak menentukan spesifik kampus mana dan jurusan apa yang akan kutekuni. Yang kucari adalah universitas yang menyediakan jalur beasiswa selama masa perkuliahan. Dalam jangka waktu yang berdekatan, kucoba mendaftar ke empat universitas yang ada di pulau Jawa.

Prosesku mencari perguruan tinggi ini kuibaratkan seseorang yang menebar mata kail di segala tempat dan menunggu kail mana yang akan dimakan oleh ikan. Logikanya, semakin banyak kail yang disebar, semakin besar kemungkinan mendapat ikan. Namun aku tahu, dalam kehidupan, menebar harapan di segala tempat belum tentu akan memberikan hasil yang sesuai mauku, tetapi yang kutahu adalah aku perlu berusaha.

Aku tidak lupa berdoa dan dalam doaku kusebutkan nama-nama universitas itu sebab besar harapanku untuk bisa melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Supaya waktu menunggu ini tidak terbuang percuma, aku melatih diriku dengan melakukan pekerjaan yang cukup berat secara fisik: kuli bangunan. Ketika memilih pekerjaan ini, yang terlintas dalam pikiranku hanyalah bekerja menghasilkan uang untuk melanjutkan pendidikan. Aku tidak merasa malu dengan orang-orang sekitar yang mungkin akan memandangku rendah karena pekerjaan yang kulakukan. Tekadku untuk bisa berkuliah sungguh bulat.

Setelah menanti sekitar dua bulan, akhirnya aku mendapatkan kabar. Universitas pertama memberiku tawaran bantuan pendidikan 75%; universitas kedua dan ketiga sebesar 50%; dan universitas keempat 100%. Semua informasi yang kuterima ini seolah-olah seperti mimpi buatku. Namun, meskipun aku bersukacita, ada masalah lanjutan yang harus kuhadapi: bagaimana aku bisa berangkat ke Jawa dari kampung halamanku di Sulawesi Tengah ketika harga tiket pesawat mahal? Bagaimana juga biaya hidup yang semakin tahun semakin tinggi? Aku tidak menemukan jawabannya saat itu, tetapi aku tahu bahwa aku bisa meminta pertolongan Tuhan untuk memberiku petunjuk.

Salah satu universitas itu tak cuma memberikan beasiswa, tapi juga menyediakan asrama selama studi dan tiket keberangkatan. Kurasa inilah jawaban Tuhan atas doaku, maka dengan bulat hati, pikiran yang sadar, dan tanpa paksaan, aku mengambil tawaran ini.

Selama proses perkuliahan aku mengikutinya dengan senang karena inilah yang kuharapkan sejak awal. Meskipun begitu, tidak jarang aku mengalami masa-masa sulit. Namun, satu hal yang menjadi andalanku yaitu berdoa meminta kekuatan kepada Tuhan. Sekarang aku sudah dalam masa penantian untuk wisuda. Sekarang proses studiku telah tiba di akhir, aku tinggal menunggu waktu wisuda. Selama masa ini kubaktikan diriku dengan mengabdi di satu sekolah secara sukarela supaya aku punya hati yang lebih siap saat untuk mengemban karier yang Tuhan berikan.

Pengalamanku ini menggemakan kembali firman Tuhan dari Yeremia 29:11, yang menegaskan bahwa “Aku [Tuhan] mengetahui rancangan-rancangan apa yang pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Ketika sabda ini disampaikan Allah melalui perantaraan nabi Yeremia, kerajaan Yehuda telah hancur dan orang-orangnya ditawan di Babel. Kehancuran ini disebabkan Yehuda telah melakukan apa yang jahat di mata Tuhan.

Namun, di tengah situasi pembuangan ketika seolah tak ada lagi harapan, Allah memberikan suatu janji penghiburan bahwa yang Allah inginkan bagi umat-Nya adalah rancangan damai sejahtera, bukan kecelakaan. Bagi kita yang hidup di masa kini, janji Allah bagi Yehuda ini dapat kita maknai bahwa Dia memiliki rancangan dan tujuan khusus bagi tiap kita, dan apa pun rancangan itu, tujuan-Nya adalah bagi kemuliaan-Nya (Amsal 3:6; 1 Korintus 10:31).

Tuhan telah menetapkan dan menguduskan jalan hidup kita. Dia bukan hanya sebagai Pencipta kita, tetapi juga Pemelihara dalam segala sesuatu yang kita kerjakan. Tuhan adalah Allah yang penuh kasih, yang tidak akan membiarkan kita menderita terus-menerus. Tuhan mengetahui apa yang kita butuhkan dan segala yang akan kita lakukan.

Perjalananku bisa menerima beasiswa dan studi adalah salah satu saja dari begitu banyak kebaikan-Nya dalam hidupku. Aku percaya bahwa Tuhan yang berdaulat atas segala sesuatu mampu melakukan lebih banyak daripada yang kupikirkan.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang sedang bergumul dan berjuang, kiranya kamu selalu mengingat bahwa Tuhan mengasihimu, dan karena kasih-Nya Dia akan membentukmu menjadi pribadi yang memuliakan-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Nenek Lois di Belakang Layar

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang cenderung mudah memberikan sanjungan kepada mereka yang berdiri di atas panggung megah, mengenakan pakaian bagus, dan mendapat sorotan lampu. Namun, sangat sering kita melupakan orang-orang yang berdiri di belakang layar, yang telah menghabiskan begitu banyak tenaga untuk menyiapkan pertunjukan hebat tersebut.

Sebagai contoh, berapa banyak dari kita yang mengenal seorang penemu terkenal dengan segala pencapaiannya, tetapi tidak mengetahui siapa sosok ibu luar biasa yang menjadi kunci kesuksesannya? Setelah dia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap kurang pintar oleh pihak sekolah, ibunya mengambil keputusan untuk membaktikan diri mengajari anak laki-lakinya itu. Singkat cerita, hari ini kita semua mengenal Thomas Alva Edison, sang penemu lampu pijar. Namun, bagaimana dengan ibunya?

Bagiku, pujian untuk Edison adalah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan, tetapi mengabaikan sosok ibu di belakangnya adalah penghinaan terhadap kerja keras dan kesetiaan.

Siapa dari kita yang telah membaca Kitab Suci dan tidak mengenal sosok Timotius? Reputasinya yang baik telah membuat banyak orang memberikan nama itu untuk anak-anak mereka. Dia adalah anak rohani rasul Paulus, sekaligus merupakan penerima pertama dari dua surat (1 dan 2 Timotius) dalam Kitab Suci Perjanjian Baru yang kita miliki. Bahkan terlepas dari ketidaksempurnaan semua manusia, termasuk Timotius, kurasa dia telah menjadi semacam role model bagi banyak anak muda Kristen. Namun, bagaimana dengan ibu dan neneknya, Eunike dan Lois?

Dalam tulisan ini, aku akan menyoroti Lois dan tidak akan berbicara terlalu banyak mengenai Eunike karena berbagai alasan. Salah satunya, karena aku melihat di lingkunganku, nama Eunike terdengar lebih populer ketimbang nama Lois. Bahkan bertahun-tahun yang lalu, ketika sedang menempuh pendidikan, aku pernah tinggal di sebuah rumah seorang anak kecil bernama Eunike yang mana di desanya itu terdapat banyak orang dengan nama yang sama.

Nama Lois hanya disebut satu kali di dalam Kitab Suci (2 Timotius 1:5). Mungkin ini yang menjadi alasan sebagian orang untuk tidak terlalu banyak membahas sosok ini. Padahal, kita seharusnya tidak lalai memerhatikan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus ketika dia menyebutkan nama wanita tua ini di dalam suratnya itu.

“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2 Timotius 1:5).

Dalam bagian itu, kita melihat sang rasul memberikan pujian kepada Timotius atas imannya yang tulus ikhlas. Namun, dia juga memberikan catatan tambahan yang tidak kalah pentingnya. Sebenarnya, apa yang dia tambahkan di sana merupakan alasan yang sangat kuat mengapa Timotius bisa menjadi manusia yang berkualitas. Tentu saja, iman dan karakter Timotius tidak jatuh dari langit. Allah bekerja sedemikian rupa menggunakan orang-orang dalam lingkungan Timotius untuk mempersiapkannya menjadi seorang prajurit-Nya.

Keluarga menjadi tempat vital yang akan membentuk seorang manusia. Aku tidak mengatakan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang “berantakan” tidak mungkin menjadi manusia yang berguna. Apa yang kumaksud adalah pengaruh keluarga benar-benar sangat kuat dalam memengaruhi cara berpikir seseorang. Aku mempunyai seorang teman yang sangat angkuh. Aku sering terheran-heran dengan apa yang tiba-tiba bisa terlontar dari mulutnya. Dia sangat senang merendahkan orang lain, termasuk menghina ras dan tampilan fisik seseorang. Sekarang aku tahu alasannya, ternyata orang tuanya juga begitu. Sekali lagi, tidak semua kasus bisa seperti ini. Kita tahu, ada faktor-faktor lain yang juga dapat mengubah situasi. Namun kamu menangkap poinku, kan?

Timotius adalah produk dari Eunike dan Eunike adalah produk dari Lois. Nenek ini benar-benar sangat mengagumkan. Dia telah membentuk dua generasi yang telah menjadi tiang kokoh gereja mula-mula. Kita dapat dengan yakin menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan oleh Eunike kepada anaknya, Timotius, adalah apa yang telah dia terima dari ibunya Lois.

Lois bukan hanya berhasil “mewariskan” imannya kepada Eunike, tetapi dia telah menjadikan Eunike seorang ibu sekaligus guru yang ulung. Tanpa bermaksud merendahkan, tetapi bukankah ada beberapa orang berprofesi guru yang tidak berhasil mendidik anaknya sendiri? Namun, Lois mendidik Eunike menjadi seorang pendidik yang menghasilkan pendidik muda baru bernama Timotius. Lois adalah wanita hebat di belakang layar kesuksesan Timotius.

Apresiasi yang diberikan Paulus kepada Lois bukanlah sesuatu yang main-main. Betapa signifikannya ketika dia mengatakan bahwa iman Timotius yang tulus ikhlas itu adalah iman yang pertama-tama hidup dalam diri Lois. Paulus tahu, harga yang telah dibayar oleh seorang Lois untuk mengajari generasi penerusnya. Paulus tahu, “manusia-manusia hebat” tidak dididik dalam satu malam. Diperlukan segunung kesabaran untuk mengajarkan kebenaran kepada orang lain. Dibutuhkan teladan yang bersungguh-sungguh untuk “memperkokoh” ajaran yang kita bagikan. Ingat, pada saat itu kekristenan menjadi hal yang tidak disukai oleh pemerintah Roma yang politeistik, dan di dalam kesulitan itulah Lois bekerja keras melawan arus kencang.

Kerja keras dan kesetiaan Lois seharusnya mengingatkan kita pada apa yang Kristus telah lakukan di atas salib-Nya. Sang Raja yang telah mengorbankan nyawa-Nya untuk menyelamatkan Lois, Eunike, Timotius, engkau, dan aku.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tertuduh akan Rasa Bersalah

Oleh Martua Daniel, Jakarta

“Kesalahan”.

Inilah kata yang sering didengar dan dilakukan, tapi sekaligus juga ditakuti semua orang. Seorang manajer takut ketika tim kerjanya keliru saat mengambil keputusan. Seorang akuntan sangat takut ketika teledor dalam pembukuan perusahaan. Seorang pelajar takut jawabannya salah saat ujian.

Apakah memang melakukan kesalahan itu semenakutkan itu? Apakah kesalahan selalu berkaitan dengan hal negatif? Dan, yang paling penting, apakah Tuhan tetap bekerja walaupun kita melakukan kesalahan?

17 Oktober 2023 merupakan hari terakhir aku bekerja di salah satu bank besar di Indonesia. Dan di tanggal itu juga aku resmi menjadi seorang jobseeker lagi. Sebagai pencari kerja, aku mulai memperbaiki CV-ku dan mengirimnya ke beberapa perusahaan dengan posisi yang sesuai dengan minatku. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, sampai hampir empat bulan aku menunggu, tidak ada satu pun perusahaan yang meminangku menjadi pekerjanya. Terlintas sebuah pertanyaan apa yang Tuhan mau? Dan semakin dalam lagi terlintas sebuah pertanyaan “Apakah ini hukuman dari Tuhan atas semua dosa yang kulakukan sebelumnya?” Sampai akhirnya aku teringat akan kisah dari tokoh Alkitab.

Daud, Raja Israel yang diurapi. Kekayaannya melimpah, perkasa karena mengalahkan Goliat hanya dengan ketapel. Dengan status dan prestasinya itu, agaknya Daud tampak sempurna. Namun, Alkitab mencatat Daud melakukan kesalahan fatal. Seperti yang kita ketahui, dia berzinah dengan Batsyeba yang merupakan istri Uria, panglima Daud, hingga hamil. Bahkan, Daud lantas merencanakan “pembunuhan” terhadap Uria, sehingga Daud tidak terlihat melakukan kesalahan.

Simon Petrus, murid yang paling dekat dengan Tuhan, murid yang selalu berkata tidak akan meninggalkan Tuhan justru menjadi orang yang menyangkal Tuhan ketika hari penyaliban tiba.

Abraham, hamba Tuhan yang taat, seseorang yang dijanjikan keturunan yang besar dan menjadi bapa segala bangsa. Apakah melakukan kesalahan? Ya, lagi lagi orang yang dijanjikan hal besar melakukan kesalahan. Abraham memilih Hagar, seorang hamba perempuannya untuk menjadi istri keduanya. Pilihan ini diambilnya karena dia ragu akan keturunan yang dijanjikan Tuhan. Tampak lebih masuk akal baginya jika dia mengawini Hagar yang lebih muda daripada Sarah, istri pertamanya.

Tapi, di tengah kesalahan yang mereka lakukan, Tuhan tetap bekerja dan mereka bertobat, mengakui kesalahannya. Daud, tetap menjadi Raja Israel, namanya tetap masyhur dan dia bertakhta selama 60 tahun, bahkan dia menjadi pelopor bagi bangsa Israel untuk membangun Bait Allah pertama.

Simon Petrus, Tuhan pakai untuk terus memberitakan Injil, Dia menjadi orang pertama dari 12 murid yang dijumpai Yesus ketika bangkit dari kematian.

Abraham, tetap dikaruniai Ishak dan keturunannya sebanyak seperti yang dijanjikan Tuhan.

Setiap orang pernah melakukan kesalahan, setiap orang pernah takut akan kesalahan, setiap orang pernah tertuduh akan kesalahannya. Tapi, membaca dan belajar kisah Daud, Simon Petrus, dan Abraham membuat aku percaya kesalahan dan dosa apa pun yang kulakukan, janji Tuhan tetap ada selama aku hidup dalam pertobatan, selama aku tetap berpegang pada imanku kepada Tuhan.

Pdt. Bigman Sirait di akhir hidupnya berkata, “iman yang besar mampu memindahkan gunung, tetapi iman yang benar tetap percaya walaupun gunungnya tidak pindah”. Sebuah kalimat yang luar biasa menguatkanku dalam menjalani pergumulan ini. Aku hanya perlu berpegang pada kekuatan dan janji Tuhan kepadaku. Aku hanya perlu percaya, berusaha, dan hidup dalam pertobatan.

Pada akhirnya, Tuhan akan tetap konsisten dan komitmen akan janji-Nya kepada kita. Memikirkan kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan itu baik untuk pembelajaran, tetapi tertuduh akan kesalahan dan dosa tidak akan membawa kita dalam pertobatan, melainkan membawa kita semakin terpuruk.

Sebuah penggalan lirik lagu yang terus menguatkanku:

Even when I don’t see it, You’re working

Even when I don’t feel it, You’re working

You never stop, You never stop working

You never stop, You never stop working

Akhirnya, di setiap kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan, Tuhan tetap bekerja menggenapi janji-Nya, karena kasih Tuhan lebih besar dari kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan.

Tuhan memberkati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kacamata Manakah yang Kamu Pilih?

Oleh Natanaella Prayuhdan, Manado

Usiaku 23 tahun. Di akhir tahun 2023, aku masih seorang anak muda ambisius yang baru saja bekerja di perantauan. Mimpiku sebagai guru TK sudah terwujud. Setiap hari aku bersukacita dengan anak-anak yang polos dan banyak tingkah lucunya. Aku bangun pagi dengan semangat, berharap menemukan banyak sukacita baru setiap harinya.

Namun, ternyata semua itu hanya sementara. Sukacitaku hilang lenyap hanya dalam satu malam ketika dokter mendiagnosa aku memiliki tumor ganas atau kanker di bagian payudara. Rasanya semua mimpiku runtuh dalam sekejap. Aku sudah membayangkan sakitnya kemoterapi, rontoknya rambut indahku, bahkan hilangnya pekerjaan yang selama ini sudah kuidam-idamkan.

Hingga suatu pagi, aku harus berangkat menjalani USG. Saat mengantre, aku bertemu seorang ibu berusia 75 tahun. Ternyata dia memiliki sakit yang sama denganku. Dia bertutur, menjelaskan pengalaman kemoterapinya selama dua tahun dengan senyuman, seperti tidak ada beban.

Saat aku menanggapi, “Ibu terlihat kuat sekali, seperti bukan orang sakit”, dia menjawab dengan kalimat yang terambil dari petikan ucapan Rasul Paulus. “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan pada ibu.”

Pertemuanku dengan ibu itu menguatkanku dan mengingatkanku bahwa mimpi kita bukanlah tujuan hidup kita. Tujuan hidup kita adalah tentang Tuhan. Ketika kita tahu untuk siapa kita hidup, kita tidak akan pernah sedih dengan keadaan kita. Kita hanya akan sedih ketika kita berbuat dosa dan mengecewakan-Nya.

Di saat-saat aku menjalani tindakan operasi dan serangkaian prosedur medis untuk mengatasi tumor ganas ini, aku terus teringat akan sosok ibu itu. Pertemuan kami mungkin terasa seperti kebetulan, tapi sosok dan kehangatannya bermakna buatku karena ibu itu tahu, mengerti, dan mengalami apa yang juga kualami. Aku pun merenungkan satu hal, bahwa dari setiap sakit yang kita alami, kita memiliki kesempatan untuk melayani mereka yang juga mengalami hal serupa. Kita mampu mewujudkan kasih kita dengan empati yang lebih nyata karena kita mengalami segala penderitaan itu bersama Tuhan.

Menariknya, Kristus, Sang Pemilik hidup kita, sudah lebih dulu memahami apa yang kita alami, apa pun itu. Ibrani 4:15-16 berkata, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.” Tuhan Yesus lebih dulu “berempati” kepada kita, jauh sebelum kita menangis dan bertekuk lutut di hadapan-Nya.

Sungguh aku takjub dengan Tuhan kita! Semakin kita memandang segala sesuatu dengan cara pandang Kristus, semakin kita melihat kesempatan melayani-Nya dalam berbagai keadaan. Mungkin keadaan kita sedang tidak baik-baik saja; sakit, pedih, mengerikan, bahkan seperti mimpi buruk yang tak kunjung berhenti. Tapi, ingatlah! Yesus sayang pada aku dan kamu. Dia ingin memakaimu dan mencintaimu lebih dalam lagi dan lagi.

Kacamata manakah yang mau kita gunakan untuk memandang keadan kita? Kacamata sendiri atau kacamata Kristus?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Di Dunia Tipu-Tipu, Kasih Tuhan Tak Pernah Menipu

Oleh Prilia

Di dunia tipu tipu
Kamu tempat aku bertumpu
Baik jahat abu abu
Tapi warnamu putih untukku

Dalam video clip lagu tersebut, Yura Yunita dengan lagunya “Dunia Tipu-Tipu” mengundang 7 pasang orang dengan beragam hubungan, di antaranya: sepasang kekasih, sepasang sahabat, sepasang saudara, ayah-anak, hingga kakek-nenek yang usia pernikahannya sudah 39 tahun. Masing-masing pasangan tersebut diberi ruang dan waktu secara bergantian untuk berkomunikasi hanya melalui tatapan mata sambil diiringi lagu “Dunia Tipu-Tipu”.

Ketika menonton dan mendengar tiap liriknya, aku tersentuh. Lagu itu seakan menyadarkan kita tentang arti kehadiran seseorang yang berharga di tengah hiruk pikuk dunia ini. Aku mengenang satu orang yang pernah amat berarti di hidupku. Orang yang selama itu kuanggap menjadi tempatku bertumpu dan mengerti isi kepalaku. Orang yang selalu ada dan sigap ketika aku membutuhkannya. Dialah (mantan) pacarku.

Kami sudah berpacaran selama hampir tiga tahun, dan selama itu juga aku merasa begitu dicintai olehnya. Lewat tutur katanya, perhatiannya, bahkan sampai tindakan-tindakan manis yang membuatku makin menyayanginya.

Ketika aku sangat lelah sepulang kerja, aku bertanya apakah dia mau menjemputku. Dia bersedia. Ketika aku stres, dia mengirimkan makanan, video-video lucu di media sosial, juga memotivasiku dengan kata-kata yang membuatku merasa aku spesial. Ketika aku sakit, dia langsung mendatangiku dengan membawakan bubur ayam favoritku juga berbagai macam obat. Padahal, ada mama, papa, juga adikku di rumah yang bisa kumintai tolong.

Masih banyak hal lainnya tentang dia yang membuatku merasa istimewa. Rasanya, dia sempurna bukan sebagai sosok pacar, bukan? Semua jenis love language dia miliki. Selama hampir tiga tahun bersamanya, dialah warna yang paling terang di hidupku.

Tapi, perlahan warna itu memudar. Seiring berjalannya waktu, aku merasa dia tidak seperhatian dulu. Terlebih kali ini dia cenderung menolak tiap permintaanku. Aku jadi bertanya-tanya apakah dia sedang bosan dengan hubungan kami atau lelah denganku, atau hal lainnya. Hingga kuberanikan diri untuk bertanya. Tapi, responsnya sungguh di luar dugaanku. Bukannya menjawab, dia malah memutuskanku.

Saat itu juga, duniaku terasa runtuh. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi itulah yang kurasakan. Aku bahkan tak percaya atas ucapannya. Ketika kutanyakan kenapa tiba-tiba dia memutuskanku, jawabannya adalah… aku terlalu baik untuknya. Alasan klasik, bukan?

Aku heran. Bagiku, itu bukanlah suatu alasan untuk putus. Aku menolak untuk diputuskan, tapi dia sungguh-sungguh dengan keputusannya. Aku tanya alasan yang lebih masuk akal, dia tak memberikannya. Dia terlihat benar-benar ingin putus denganku. Baru kali ini aku merasakan kecewa yang teramat dalam.

Aku memberikan usul untuk merenungkan kembali, namun lagi-lagi dia menolak. Entah apa lagi yang harus kulakukan. Aku jadi bertanya-tanya apa salahku. Apa yang pernah kuperbuat sampai tanpa kusadari mungkin menyakiti hatinya. Kutanyakan juga padanya, dia bilang tidak ada. Hingga akhirnya, kami selesai begitu saja.

Beberapa minggu tak berhubungan lagi dengannya membuat hidupku terasa hampa. Warna terang itu meredup. Berakhirnya hubunganku dengan dia mempengaruhi hari-hariku. Tidak jelasnya penyebab putus kami pun masih menggerogoti pikiranku. Sampai dua bulan kemudian, aku mendapatkan kabar dari temanku kalau dia, mantanku, sudah memiliki pacar. Ralat. Tunangan. Kabar itu… membuatku kembali menangis. Seakan luka di hatiku yang masih menganga, ditaburi garam.

Butuh waktu untuk memproses kabar itu. Mungkinkah itu penyebab dia memutuskanku? Tapi, kenapa? Padahal dia berjanji “takkan kemana-mana”. Hingga suatu memori menyeruak di benakku, yang kurasa menjadi alasan dia memutuskanku.

Kami memiliki latar belakang berbeda, yaitu suku. Pernah suatu kali aku dikenalkan ke orang tuanya. Sambutan dari orang tuanya tidak hangat, tapi tidak bisa juga dibilang dingin. Namun sepulang dari situ, dia cerita bahwa sebenarnya orang tuanya tidak merestui hubungan kami. Sebagai satu-satunya anak lelaki di keluarga, orang tuanya sangat berharap—terkesan mengharuskan—dia menikah dengan perempuan yang satu suku dengannya karena hal itu sangat penting dalam adat mereka.

Dia, mantan pacarku, pernah bilang kalau akan terus mencoba mempertahankan hubungan kami sampai orang tuanya memberi restu. Dia juga berjanji untuk tidak meninggalkanku walau itu yang menjadi permintaan orang tuanya. Kami juga berusaha untuk meluluhkan hati orang tuanya. Tapi nyatanya, dia tak memenuhi janjinya itu. Dia menyerah, entah apa pun alasan di baliknya. Alih-alih mau membagikan masalahnya, dia justru memilih memutuskanku.

Sungguh semua ini tidak mudah, tapi aku harus tetap menjalani hari-hari seperti biasa, bukan? Walau setelahnya, banyak perubahan dalam diriku yang kurasakan, bahkan orang-orang terdekatku juga dapat membaca perubahanku. Aku jadi lebih pendiam, jarang tertawa, dan hanya berinteraksi seperlunya.

Jalan panjang memulihkan hati

Aku mencari cara untuk mewarnai hidupku dengan berbagai hal, karena warna paling terang itu sudah benar-benar pergi. Salahku juga dulu terlalu mengandalkan dia.

Hari demi hari kucoba menata lagi hatiku. Kudengar lagu-lagu dari YouTube setiap malam sebelum tidur. Suatu kali, ada satu lagu yang liriknya mengetuk pintu hatiku.

Hanya yang pernah merasakannya
Tahu duri dalam dagingku
Ternyata Kaulah yang paling mengerti

Rahasia hatiku

Lirik ini mendorong seluruh isi hatiku tumpah ruah. Aku menangis sejadi-jadinya di kamarku, membiarkan Tuhan melihat seluruh luka dan kerapuhanku.

Kubuka kembali ruang-ruang hatiku yang selama ini hanya diisi oleh dia, tetapi telah kosong. Dalam kehampaannya, kusadar tak ada ruang yang kuberikan buat Tuhan. Fokusku hanya dia, seolah hanya lewat dia sajalah aku bisa merasakan kasih. Padahal, jauh sebelum aku memiliki pacar, Tuhan telah mewujudkan kasih-Nya lewat mama, papa, saudara, teman dekat, dan banyak hal lainnya.  Kecenderungan hatiku yang berdosa membuatku cepat-cepat melupakan Tuhan dan melekat pada hal lain. Padahal, Yesus sendiri telah bersabda, “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar aku Aku tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5-6). 

Walau seakan tiada harapan
Kasih yang t’lah menjadi dingin
Ku suka cara-Mu memulihkan
Hatiku yang suam

Lagu itu pasti juga menjadi cara Tuhan memulihkanku. Hatiku yang hampa, Tuhan isi dengan kasih-Nya. Walau dia pergi, walau dia memilih menyerah, tapi Tuhan tak pernah menyerah padaku. Nyatanya, Tuhan memperhatikanku tiap saat. Patah hati memang pahit, tapi ibarat pahitnya obat yang membawa kesembuhan, demikian jugalah getir dari patah hati bila diserahkan pada Tuhan. Kukembalikan hati ini pada Sang Pemilik, agar Dia melekatkanku kembali pada pokok yang benar.

Saat yang lainnya begitu mudah sirna
Kasih-Mu, ya Tuhan, tetap bertahan
Engkaulah alasan hatiku percaya
Kasih masih ada dalam dunia

Terima kasih Tuhan karena masih bertahan denganku. Terima kasih juga, karena di dunia tipu-tipu ini, kutemukan kasih-Mu yang tidak pernah menipu. Kasih-Mu yang sejatinya selalu hadir di hidupku; keluarga, sahabat, teguran lembut-Mu, dan masih banyak lainnya, yang selama ini tidak kusadari karena kebucinanku. Ajarlah aku untuk dapat sungguh-sungguh merasakan kasih-Mu dan mensyukurinya tiap waktu, juga menanamkannya di hatiku. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Seiman Sih, Tapi…

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen sebelumnya: Aku Suka Kamu, Tapi…

Aini melirik jam tangannya untuk kesekian kalinya. Sudah hampir jam sembilan pagi dan sebentar lagi ibadah akan dimulai. Tapi, yang dia tunggu tak kunjung datang. Dia gelisah. Sambil menanti dengan harap-harap cemas, dia meremas-remas ujung bajunya. Ini kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa hatinya tidak tenteram.

“Krekkk…” Terdengar pintu pagar rumah Aini terbuka. Sesosok tubuh ramping dan tinggi terlihat berjalan mendekat.

“Hai, Ni. Aku nggak telat, kan?” Albert melirik jam tangannya dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal. Mungkin saja dia habis berlari demi mengejar waktu. “Masih ada waktu 10 menit.”

Aini tidak menjawab. Ekspresi wajahnya kaku. Dia melangkah cepat menuju pintu.

Melihat sikap Aini begitu, Albert bukannya meminta maaf, malah berseloroh. “Hei, kamu marah? Kan masih ada waktu? Paling kalau macet, hanya terlambat sebentar. Yang pasti kita masih bisa dengar khotbah, kan?”

Nada santai Albert seketika memantik emosi dalam hati Aini. Langkah Aini berhenti.

“Aku tidak suka terlambat. Dan tidak mau terlambat. Aku mau ikut ibadah dari awal, bukan hanya dengarin khotbah.”

Albert mengangkat bahunya. “Sorry deh. Bukankah yang penting kita masih ke gereja? Masih bisa dengar khotbah, kan?”

Aini menatap Albert dengan kesal. “Mau jalan sekarang atau mau lebih terlambat lagi?”

Pertengkaran tadi pagi masih membekas di benak Aini sepanjang hari. Selesai beribadah, Aini memilih untuk pulang ke rumah meskipun Albert mengajaknya pergi menikmati kuliner baru yang viral belakangan ini, seperti yang biasa mereka lakukan sesudah pulang dari gereja. Alasan penolakan Aini karena dia sedang tidak enak badan. Albert menerima alasan itu tanpa banyak tanya. Albert kecewa karena ajakannya ditolak, namun dia tahu Aini sedang marah karena peristiwa tadi pagi. Besok dia pasti sudah nggak marah lagi, pikirnya.

***

Aini menghempaskan tubuhnya yang lelah di tempat tidur. Tak ada siapa-siapa di rumah itu. Kedua orang tua Aini sedang ke luar kota. Namun, meskipun papa mamanya tidak ke luar kota pun, rasa sepi selalu jadi teman karib Aini, sebab dia anak tunggal. Tanpa kehadiran saudara, rumah ini hanyalah riuh oleh suara dan imajinasinya sendiri. Dan hari ini, rasa sepi di rumah menambah kegalauannya. Teringat kembali olehnya bagaimana dulu Tuhan menjawab doanya.

Aini mengenal Albert melalui tante Mona. Awalnya mereka hanya berteman dan berkomunikasi lewat HP karena tinggal di kota yang berbeda. Obrolan demi obrolan melahirkan kecocokan, dan kecocokan ini berlanjut jadi rasa suka. Tetapi, Aini tahu dia hanya boleh berpacaran dengan orang Kristen, maka dia membuat keputusan menjauhi Albert yang bukan Kristen. Setelah kejadian itu, mereka tidak lagi saling berhubungan. Namun setahun kemudian, Albert menghubunginya kembali, menceritakan pertemuan pribadinya dengan Tuhan dalam salah satu KKR yang diikuti, dan bahkan sekarang pindah ke Jakarta karena ditugaskan oleh kantor.

Sukacita memenuhi hati Aini saat mendengar Albert telah menjadi orang Kristen. Ketika mereka kembali berkomunikasi, rasa suka terbit kembali di hati Aini, dan ternyata Albert pun menyimpan perasaan yang sama. Maka beberapa bulan lalu, mereka resmi berpacaran.

Aini berpikir dengan Albert telah menjadi orang Kristen, maka semuanya akan berjalan baik. Bukankah yang penting seiman? Aini merasa lega dia mau menunggu waktu Tuhan. Sekarang, setelah menjadi orang percaya, tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka. Aini menikmati hari-harinya bersama Albert. Memiliki hobi yang sama, nyambung ketika ngobrol, perhatian Albert padanya, membuat Aini merasa hidupnya sangat menyenangkan. Namun, meski semuanya terasa sempurna, ada satu hal penting yang kurang dalam hubungan ini. Persoalan sama yang selalu membuat mereka bertengkar.

“Ah…” Aini menghela nafas. Pertengkaran tadi pagi bukanlah yang pertama. Sudah sering Aini mengingatkan Albert bahwa ibadah itu bukan hanya khotbah, jadi penting untuk tidak datang terlambat. Namun, Albert dengan santai selalu menjawab, “Yang penting kan kita masih ke gereja. Lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali?” Kalimat ini selalu jadi alasannya. Sekilas memang tidaklah salah. Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi, itu kan kalau sekali-kali dan jika ada hal-hal tak terduga yang terjadi. Kalau setiap minggu? Dan terlambatnya karena memang dasarnya malas untuk datang tepat waktu?

Aini berusaha menjelaskan betapa pentingnya untuk hadir tepat waktu beribadah. “Tuhan senang jika kita datang tepat waktu. Dan kita mengasihi Tuhan Yesus, kan? Masakah kita sengaja berbuat hal yang membuat Dia marah?”

Albert menepuk bahu Aini. “Iya, aku tahu aku salah. Lain kali aku akan berusaha lebih tepat waktu deh. Aku janji. Jangan marah lagi ya. Yuk, kita makan. Ada yang baru buka tuh.”

Maka Aini pun mengalah dan mencoba untuk mengenyahkan kegelisahan hatinya. Mengapa Albert tidak bisa mengerti? Mengapa imannya tidak bertumbuh?

Pernah Aini mengajak Albert untuk ikut kelas Pendalaman Alkitab. Mungkin karena dia baru menjadi orang Kristen, dia belum bisa mengerti pentingnya beribadah tepat waktu. Mungkin kalau dia belajar lebih banyak mengenai iman Kristen, maka dia pun bisa bertumbuh seperti aku.

Dengan harapan itu, Aini menyemangati Albert untuk ikut kelas secara online. Meskipun Albert terlihat segan dan malas, namun dia bersedia ikut demi Aini. Namun, setelah beberapa kali ikut, Albert mengatakan dia ingin mundur.

“Aku merasa bosan. Aku ikut kelas ini demi kamu. Tetapi aku tidak bisa merasakan apa pentingnya kelas ini. Bukankah yang penting aku sudah diselamatkan dalam Yesus Kristus? Hidup itu dinikmati saja, Ni,” katanya membela diri. Lanjutnya lagi, “Kadang kamu terlalu serius dengan imanmu. Santai saja. Kamu selalu berpikir hal-hal yang ribet mengenai iman Kristen. Beribadah harus tepat waktu. Harus ikut Persekutuan Doa Rabu. Melayani di pelayanan misi. Jika semua waktumu dipakai untuk Tuhan, kapan waktu untuk diri sendiri? Kapan waktu untuk kita?”

Aini memandang Albert dengan bingung. Dia tidak bisa menjawab. Jika dia menjawab, maka yang ada hanya pertengkaran yang tidak ada habisnya. Tuhan, mengapa dia tidak bisa mengerti?

“Ah…” kembali Aini menghela nafas. Mengingat semua hal yang terjadi dalam beberapa bulan ini, membuat dia mempertanyakan kembali hubungannya dengan Albert.

Mengapa aku tidak merasakan kedamaian?

Mengapa aku terus-menerus merasa gelisah?

Bukankah aku tidak melanggar perintah Tuhan? Albert adalah orang Kristen, aku juga. Kami punya iman yang sama. Mempercayai Tuhan yang sama.

Tetapi mengapa ini semua begitu sulit?

Apakah aku yang terlalu berpikir serius? Haruskah aku mengalah?

Tetapi…

Aini meraih Alkitabnya, teringat olehnya, kisah Adam dan Hawa yang dipersatukan oleh Tuhan.

TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).

Kata “sepadan” menarik perhatiannya. Lalu dia menemukan arti kata sepadan yaitu mempunyai nilai (ukuran, arti, efek, dan sebagainya) yang sama; sebanding (dengan); seimbang (dengan); berpatutan (dengan).

Aini memikirkan dirinya dan Albert dalam hubungan yang sepadan.

Apakah aku dan Albert mempunyai nilai yang sama dalam iman kami?

Apakah iman kami sudah seimbang?

Jika sudah seimbang, mengapa kami masih sering bertengkar untuk hal-hal dasar seperti tepat waktu beribadah?

Mengapa sulit bagi Albert untuk mengerti arti melayani?

Dengan sedih, Aini mengakui ada ketidakseimbangan dalam hubungannya dengan Albert. Aini mengasihi Tuhan Yesus dan selalu ingin memberi yang terbaik untuk-Nya. Sedangkan Albert meski sudah percaya dan mengasihi Tuhan Yesus, namun belum bertumbuh dalam pengenalan iman yang benar.

Aini meraih ponselnya dan mulai mengetik.

Bert, besok kita ngobrol ya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. See you.

Aini menekan tombol kirim.

Tuhan, tolonglah aku untuk bicara dengan Albert besok. Aku menyerahkan hasil pembicaraan kami ke dalam tangan Tuhan. Jika memang hubungan ini tidak bisa dilanjutkan, tolong aku untuk bisa menerimanya. Aku mengasihi-Mu, Tuhan. Aku ingin melakukan hal yang benar yang menyenangkan hati-Mu. Amin.

Spiritualitas vs Ritualitas: Bagaimana Menjaga Keseimbangan dalam Kehidupan Kristen

Oleh Ari Setiawan, Jakarta

Sebagai remaja dan pemuda Kristen, kita mungkin sudah terbiasa dengan berbagai ritual keagamaan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, berdoa sebelum makan, membaca Alkitab setiap pagi, mengikuti ibadah mingguan, bergabung dengan persekutuan, dan lain-lain. Ritual-ritual ini tentu saja baik dan bermanfaat, tetapi apakah kita sudah memahami makna dan tujuan di baliknya? Apakah kita sudah benar-benar mengalami pertumbuhan spiritual yang sesungguhnya?

Sayangnya, ada beberapa kasus di mana pendeta, hamba Tuhan, dan aktivis gereja yang seharusnya menjadi teladan bagi kita, malah tersandung dalam beberapa kasus dosa dan terjerat hukum. Mereka mungkin sudah aktif dalam ritual bergereja, tetapi ternyata tidak mendalami aspek spiritualitas keimanan mereka. Mereka mungkin sudah tahu banyak tentang ajaran-ajaran Kkristen, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mereka mungkin sudah beribadah dengan lantang, tetapi tidak memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan.

Mungkin hal yang sama juga terjadi di kita, aktif menjalankan ritual beragama tapi tidak menunjukkan pertumbuhan spiritual. Bagi aku sendiri, ada fase di mana keluarga selalu menelepon di malam hari, mengajak berdoa bersama, dan hal ini dilakukan setiap hari. Menyenangkan? Kadang tidak, hanya kosong, seperti menjalankan formalitas tanpa adanya kerinduan untuk benar-benar mengucap syukur, benar-benar mengasihi orang yang kita ucapkan namanya dalam doa.

Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara aktif dalam ritual bergereja dan mendalami aspek spiritualitas keimanan. Ritual bergereja adalah bentuk ekspresi dari keimanan kita, tetapi bukanlah ukuran dari kualitas keimanan kita. Spiritualitas keimanan adalah hubungan intim dan dinamis dengan Tuhan, yang melibatkan hati, pikiran, jiwa, dan kehendak kita. Ritual bergereja dapat membantu kita memperdalam spiritualitas keimanan kita, tetapi tidak dapat menggantikannya.

Dalam Matius 15:8-9, disampaikan bahwa:

“Bangsa ini menghormati Aku dengan bibirnya, tetapi hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, karena yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”

Ayat ini mengutip Yesaya 29:13, di mana Yesus Kristus menegur orang-orang yang hanya beribadah kepada Tuhan secara lahiriah, tetapi tidak mengasihi-Nya dengan segenap hati. Ayat ini mengajak kita untuk tidak hanya mengikuti ritual-ritual keagamaan, tetapi juga menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan.

Lalu, bagaimana kita dapat membedakan apakah kita hanya sekadar aktif dalam ritual atau juga mendalami spiritualitas keimanan kita? Berikut adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita renungkan:

  • Apakah kita berdoa karena ingin berkomunikasi dengan Tuhan atau hanya karena kebiasaan?
  • Apakah kita membaca Alkitab karena ingin belajar dari firman Tuhan atau hanya karena kewajiban?
  • Apakah kita mengikuti ibadah karena ingin menyembah Tuhan atau hanya karena tradisi?
  • Apakah kita bergabung dengan persekutuan karena ingin saling mengasihi atau hanya karena gengsi?

Jika jawaban kita cenderung ke arah yang pertama, maka kita sudah berada di jalur yang benar. Tetapi jika jawaban kita cenderung ke arah yang kedua, maka kita perlu melakukan introspeksi dan perubahan.

Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan ritualitas dalam kehidupan Kkristen adalah dengan menjalin spiritualitas terus menerus. Artinya, kita tidak hanya berhubungan dengan Tuhan saat-saat tertentu, tetapi sepanjang waktu. Kita tidak hanya mengandalkan ritual-ritual tertentu, tetapi juga mengembangkan kepekaan dan keterbukaan terhadap pimpinan Roh Kudus. Kita tidak hanya mengikuti aturan-aturan tertentu, tetapi juga mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi kita.

Dalam tulisan rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, ia menyampaikan pada 1 Korintus 10:31

“Jadi, apakah yang kamu makan atau minum atau apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Ayat ini mengajak kita untuk mengabdikan segala sesuatu yang kita lakukan kepada Tuhan, sebagai bentuk penyembahan dan penghormatan kepada-Nya. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak memisahkan antara hal-hal rohani dan duniawi, tetapi untuk melihat semuanya sebagai kesempatan untuk memuliakan Tuhan.

Dengan menjalin spiritualitas terus menerus, kita akan lebih mudah menghindari dosa dan kesalahan yang dapat merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Kita juga akan lebih mudah mengalami pertumbuhan dan pembaruan dalam kehidupan rohani kita. Kita juga akan lebih mudah menjadi saksi dan garam bagi dunia yang membutuhkan kasih dan kebenaran Tuhan.

Semoga artikel ini dapat memberkati dan menginspirasi kita semua. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

3 Tips Mencari Kehendak Tuhan dalam Berpacaran

Oleh Jenni, Cimahi

Kita tentu ingin segala sesuatu yang kita lakukan itu selaras dengan kehendak Tuhan. Namun, bagaimana mengetahuinya? Dan, bagaimana pula meyakininya jika kita telah menemukan “kehendak” itu?

Aku pernah mengalami fase itu, terkhusus dalam penantianku akan sosok pacar yang kelak kuharap bisa jadi pasangan hidup. Sekarang, setelah aku berpacaran, pertanyaan akan apa kehendak Tuhan dalam hidup dan relasiku ini tidaklah hilang. Aku terus mencari dan menggumulinya. Jika kamu mengalami yang sama sepertiku, inilah tiga hal yang kulakukan untuk mengenal kehendak Tuhan dalam relasiku.

1. Berusahalah untuk mengenal Dia

Sewaktu aku SD dulu, ada tren menulis biodata di binder teman. Biasanya masing-masing murid punya satu binder dengan kertas-kertas yang unik, beda dari yang lain. Binder ini akan diedarkan ke teman-teman untuk diisi biodata. Dari biodata itu aku jadi tahu hal-hal tentang temanku yang mungkin sebelumnya tidak terpikir olehku untuk menanyakannya.

Jika mengenal teman pun butuh usaha, demikian juga jika kita ingin kenal dan akrab dengan Tuhan. Saat ingin mengetahui kehendak-Nya, kita perlu mengenal pribadi-Nya. Tuhan berbicara lewat firman-Nya di Alkitab. Saat kita membaca firman-Nya dengan pertolongan Roh Kudus, kita dimampukan untuk semakin mengenali karakter-Nya. Kita bisa mengerti apa saja yang menyenangkan-Nya, mendukakan-Nya, dan kehendak-Nya bagi kita.

Saat awal berpacaran, aku agak keteteran mengatur waktu. Kadang ditambah dengan kesibukan, aku melewatkan waktu pribadi bersama Tuhan. Untungnya, ada Roh Kudus yang setia mengingatkan. Seperti tertulis dalam Yeremia 29:13, “apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati.”

Tuhan mengasihi kita. Ia berjanji apabila kita berusaha mencari dan mengenal-Nya dengan sungguh-sungguh, maka kita akan menemukan-Nya. Mari kita sediakan waktu pribadi bersama-Nya.

2. Selaraskan relasi kita dengan firman Tuhan

Rasa-rasanya sekarang aku agak paham mengapa dulu orang-orang yang lebih tua menyarankan untuk berpacaran kalau sudah bekerja atau setidaknya lulus sekolah. Pacaran atau menjalin relasi bukan hanya tentang happy-happy. Perlu pribadi yang dewasa, dan dewasa itu identik dengan tidak egois. Kita juga perlu belajar mengasihi tapi tetap punya batasan yang jelas.

Rasa cinta adalah sesuatu yang bisa dibangun. Semakin lama berelasi, ada kecenderungan untuk makin besar cintanya. Saking sayangnya, ingin rasanya selalu mengikuti yang si doi mau, yang tanpa kita sadari membuat hati kita telah melekat padanya. Kemelekatan kita pada apa pun dan siapa pun selain Kristus berpotensi untuk menghancurkan dan mengecewakan kita, sebab Tuhan sendiri berfirman bahwa kita harus melekat pada pokok yang benar. Di luar Dia, kita tidak dapat berbuah (Yohanes 15:1-8).

Aku pun menyadari salah satu tantangan pacaran adalah tetap bisa mengasihi tanpa kehilangan diri sendiri, atau menjadi bucin. Bucin bisa mengaburkan batasan-batasan dalam berpacaran dan hal ini bisa membuat relasi menjadi tidak sehat. Firman Tuhan dan kekuatan dari-Nya memampukan kita untuk bisa menjalani hubungan yang sehat. Maka karena itu, yuk kita selaraskan relasi kita dengan firman Tuhan.

3. Bawa dan letakkan hubunganmu pada Tuhan

Tujuan pacaran adalah saling mengenal sebelum memantapkan hati untuk menikah. Dua pribadi yang berbeda berusaha menyatukan visi, mencita-citakan hal yang sama. Kadang pikiran melanglang buana, lupa yang di depan mata. Dalam doa pun mendikte Tuhan mau begini mau begitu, padahal pengertian-Nya jauh di atasku. Aku lupa menyediakan ruang bagi Tuhan dalam hubungan kami.

Dalam Keluaran 13:17 dituliskan saat bangsa Israel pertama kali keluar dari Mesir, Tuhan sengaja menuntun ke jalan memutar karena saat itu bangsa Israel belum siap untuk berperang. Saat ini aku paham karena aku membaca pertimbangan Tuhan di Alkitab. Akan tetapi, kalau aku ada di posisi bangsa Israel, belum tentu aku mengerti. Mungkin sekali aku akan mengeluh, kenapa harus repot-repot memutar, padahal ada jalan yang lebih dekat? Tetapi, Tuhan adalah pencipta dunia beserta isinya. Akan ada banyak hal yang tidak akan bisa aku pahami dengan pikiranku yang terbatas.

Seperti yang tertulis dalam Roma 11:33-36, mustahil menyelami pikiran dan jalan Tuhan. Dan segalanya adalah dari, oleh dan kepada Dia. Satu yang pasti, seperti karya penebusan-Nya, Dia mengasihi kita. Dia tahu apa yang terbaik untuk kita. Mari kita berusaha memberikan Tuhan ruang di hubungan kita. Percayalah pada-Nya.

Sampai di titik ini aku melihat bahwa ternyata cara untuk mengenal kehendak Tuhan adalah dengan mengenal pribadi-Nya. Dengan menyediakan waktu pribadi dan berusaha melakukan ajaran-ajaran-Nya, kita bisa memisahkan mana kehendak-Nya dan mana yang bukan.

Semoga sharing ini bisa bermanfaat untuk teman-teman semuanya!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sepotong Brownies

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

Aku mendaratkan diri di sofa café di seberang kosanku. Aku baru selesai kerja dan sengaja tidak langsung pulang ke kos. Tampaknya aku perlu secangkir kafein untuk hari yang mendung ini. Sejak pagi rasanya aku terus mengantuk.

Aku menguap, menatap ke jendela, ada titik-titik embun di sana. Mengaburkan barisan kaca-kaca panjang di salah satu sisi kafe ini. Dari sini harusnya kosanku terlihat jelas, bangunan tiga lantai dengan cat biru muda. Bangunan yang menjadi tempatku pulang sejak hampir tujuh tahun ini.

Aku perantau di kota ini. Sejak aku menempuh kuliah, kemudian terasa nyaman dan memutuskan untuk bekerja di kota ini. Dan hanya sesekali aku pulang ke rumah. Dua atau tiga kali dalam setahun.

Aku sih nggak mau merantau ya, apalagi beda provinsi seperti kamu Des, nanti lama-lama jadi terasa jauh sama orangtua sendiri,” kata seorang teman kerjaku saat suatu hari kami tidak sengaja ngobrolin tentang tempat tinggal sebelum memulai rapat.

Kalau aku sih kenapa nggak pengen merantau karena aku nggak bisa tinggal sendiri, nggak siap menjalani hidup sendiri, kayaknya bakal banyak masalah kalo tidak tinggal bersama orangtua,” sambung seorang temanku yang lain. Aku menggumam samar, saat itu tidak sempat menanggapi karena rapat akan segera dimulai.

Sekarang entah bagaimana aku tiba-tiba teringat akan percakapan itu. Berpikir.

Seorang pelayan café yang cukup mengenalku mendekat, membawa nampan di tangan kirinya dengan secangkir kopi latte, pesanan standarku setiap kesini. Aku tersenyum, lalu menyeruput isinya. Rasa hangat menjalar di tenggorokanku. Nyaman.

Aku kembali memikirkan hal tadi. Apakah sekarang aku dan orangtuaku jadi terasa jauh? Apakah selama ini aku mendapat banyak masalah selama tinggal jauh dari orangtua?

Pelayan café tadi terlihat kembali berjalan ke arahku, kemudian meletakkan sepotong brownies dalam piring kecil di samping cangkir kopiku. Aku memandang bingung, rasanya aku tidak memesan apapun yang lain. Dan bukannya café ini tidak menjual brownies?

“Ini menu baru café kami. Silakan dinikmati,” kata pelayan itu tersenyum ramah. Aku ikut tersenyum membalasnya, mengucapkan terimakasih.

Sepotong brownies coklat ini tampak cukup menggugah selera, pasangan yang pas untuk secangkir kopi hangat. Aku langsung menyendok dan menikmatinya. Beberapa detik aku hanyut dengan brownies itu, sampai aku merasa seperti sedang de javu. Aku merasa seperti di rumah. Seperti sedang menikmati brownies buatan Mama yang selalu dibuatnya saat aku pulang.

Aku memejamkan mata. Tiba-tiba teringat akan ayat SaTeku tadi pagi:

Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” (Mazmur 32:8).

Aku mengulang kata demi katanya dalam pikiranku.

Memang, aku sudah bertahun-tahun merantau ke kota ini. Aku jarang pulang ke rumah dan aku memang bukan tipe anak yang selalu menghubungi orangtuanya setiap hari. Orangtuaku mungkin tidak selalu tahu semua aktivitas yang kulakukan, tapi mereka selalu memastikan bahwa aku baik-baik saja. Masalah demi masalah ada-ada saja, tapi aku sesungguhnya tidak pernah mengatasinya sendirian. Dan, bukankah jauh ataupun dekat dari mereka, masalah bisa saja tetap ada? Yang penting adalah kita tetap saling terhubung.

Aku kemudian menyadari sesuatu. Untuk hubungan anak dan orangtua saja bisa begitu terasa, apalagi hubungan kita dengan Tuhan, ya? Tuhan pasti selalu ingin mengajar dan menunjukkan jalan yang harus kutempuh, oleh karena itu Dia ingin agar aku selalu dekat pada-Nya, selalu terhubung dengan-Nya. Meski dekat pada-Nya tidak berarti semua masalah yang ada akan sirna, tapi mengetahui bahwa aku selalu terhubung dengan-Nya membuatku tenang; bahwa aku tidak pernah ditinggalkan. Bahwa Dia selalu ingin memberi nasihat kepadaku. Bahwa mata-Nya tertuju kepadaku. Bahwa Dia tidak akan pernah jauh, bahkan saat aku sering menjauh.

Ponselku bergetar di atas meja, aku tersentak. Sebuah pesan di grup obrolan kelompok PA-ku.

Kak Lestari: Guys, besok kita PA-nya jam 7 aja yaa. Sepertinya kakak sedikit terlambat karena ada pelayanan di tempat kerja.

Perasaan bersyukur menjalari hatiku. Aku bersyukur untuk orang-orang yang Tuhan berikan untuk menolongku bertumbuh secara rohani selama ini. Orang-orang yang membimbing aku belajar Alkitab, belajar bercerita Alkitab, dan belajar untuk selalu terhubung dengan-Nya.

Sepotong brownies dapat membuat aku merasa sedang di rumah, merasa dekat dengan orangtuaku meski sedang jauh jaraknya. Tapi Yesus, Dia tidak hanya terasa dekat karena diingatkan oleh suatu kenangan apa pun. Dia memang benar dekat, dan selalu di sini.

Aku menghembuskan napas pelan, tersenyum sendiri. Menyadari betapa pentingnya untuk selalu terhubung dengan-Nya. 

Ponselku bergetar lagi, kali ini dari grup obrolan dengan nama “Elshaday”.

Mama: Lagi pada di mana anak-anak Mama? Udah pulang kerja?

Sekali lagi aku tersenyum, lalu mengetikkan balasan yang kemudian ditimpali oleh kakak dan adikku. Kemudian sebuah foto dikirim lagi, foto Bapak yang sedang menikmati sepotong brownies yang pasti adalah buatan Mama. Senyumku semakin mengembang; keluarga ini pun wujud kasihNya kepadaku. Bagaimana mungkin aku dapat menjauh dari-Mu ya Tuhan, kalau segala sesuatunya adalah anugerah-Mu?” bisikku pelan.

Aku meraih cangkir kopiku, mencoba menghirupnya, tapi ternyata sudah dingin. Kopinya dingin, cuacanya pun dingin, tapi suasananya entah mengapa hangat. Aku meneguk kopi dingin itu sampai tidak bersisa. Besok lusa aku akan menikmatinya lagi selagi hangat, kala itu pasti akan ditemani sepotong brownies lagi.

“Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku.” (Mazmur 62:2).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥