Posts

2023-12-04-Melekat

Sulitnya Melepas Apa yang Sudah Terlanjur Melekat

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Ketika melakukan suatu tindakan yang menurut kita berlebihan atau tidak sesuai, kita sering berpikir, “Kok bisa ya aku ngelakuin ini?” Kita merasa bukan kita sendirilah yang secara sengaja ingin berbuat demikian, tapi ada dorongan lain yang seolah memaksa kita. 

Namun, jika kita renungkan lebih dalam, kita yang ada di hari ini adalah “produk” yang dibentuk dan diproses dari masa lalu. Cara kita berpikir, berbicara, menghadapi persoalan, dibentuk dari ribuan hari-hari kemarin. Tanpa bermaksud merendahkan orang-orang di sekelilingku yang luar biasa, namun aku harus jujur bahwa aku dibesarkan di lingkungan yang jauh dari sempurna. Tidak menghormati orang tua dan menggunakan kata-kata kasar bukanlah sesuatu yang akan dicela oleh masyarakat di tempat tinggalku. Bahkan, ada sebagian orang yang menganggap itu sebagai tindakan yang membanggakan. 

Itu sebabnya, dulu ketika aku berhadapan dengan lingkungan yang cukup baik dan menjunjung tinggi sopan santun, aku akan berjuang mati-matian untuk menyembunyikan tabiatku agar aku diterima di komunitas itu, atau setidaknya tidak ada yang mengetahui siapa aku sebenarnya. Bertahun-tahun berlalu dalam kedaulatan Tuhan, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh siapapun, aku akhirnya menjadi seorang hamba Tuhan dan dipakai menjadi pemberita Firman-Nya.

Semua orang yang telah “ditangkap” oleh Kristus tahu betapa indahnya perasaan pada saat Tuhan Yesus menjamah dan menjadikan kita bagian dari keluarga Allah. Tetapi semua juga tahu persis bahwa ada perjuangan yang baru saja dimulai, yaitu perjuangan melawan diri sendiri. Adalah benar ketika kita mengalami kelahiran kembali oleh karya Roh Kudus, kita menjadi pribadi yang baru yang telah menerima jaminan keselamatan (Titus 3:5), namun itu bukan berarti kebiasaan-kebiasaan buruk kita yang lama lantas lenyap dalam sekejap mata.

Kita memang mengalami sebuah “transformasi spiritual” pada saat Roh Kudus mulai berdiam di dalam kita. Tetapi satu fakta yang sangat jelas dikumandangkan oleh rasul Paulus bahwa selama kita masih hidup di dunia ini, kita hidup dalam “kemah” yang adalah tubuh kita yang lemah. Dunia menawarkan begitu banyak hal instan, menyenangkan, sekaligus berbahaya. Moralitas kita diuji habis-habisan dalam skala yang tidak main-main. Bahkan secara tidak langsung kita memaklumi prinsip yang berkata “tidak usah terlalu jujur” supaya berhasil dalam pekerjaan. Mungkin kamu adalah satu dari jutaan orang yang telah terpikat, masuk ke dalam “lembah kecurangan” itu, kemudian merasakan keuntungannya, lalu mulai merasa nyaman. Kamu mulai mencari pembenaran atas apa yang sebenarnya telah mendukakan Roh Kudus di dalam hatimu yang sebenarnya terus menegurmu tanpa henti. Pada akhirnya, secara perlahan kamu mulai terbiasa tinggal dalam lembah itu.

Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa melepaskan sesuatu yang telah begitu melekat dalam diri kita, apalagi jika hal itu telah berteman dengan kita selama puluhan tahun dan sedemikian “menguntungkan” kita?

Tidak ada fondasi bagi jawaban untuk pertanyaan ini, selain Salib Kristus. Di salib itu terpampang amat jelas hati Allah yang tersayat-sayat oleh dosa kita. Aku selalu mengatakan, dalam pengertian tertentu, bukan paku Romawi dan bukan strategi Yahudi yang akhirnya membunuh Sang Kristus di Kalvari, melainkan dosa kita.

Dengan kesadaran akan betapa serius dan mengerikannya dosa, kita pun harusnya terdorong sangat keras untuk meninggalkannya. Itu sebabnya rasul Paulus terus-menerus melatih dirinya (1 Kor. 9:27).  Tentu ini bukan sesuatu yang mudah. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, secara khusus untuk yang telah dibesarkan cukup lama dengan masa lalu yang buruk, kita akan melawan apa yang selama ini telah memberikan kita kenyamanan.

Bukan perkara satu malam untuk mengubah seorang anak yang biasa disuapi agar menjadi pekerja keras. Namun kita tidak akan sampai pada titik yang kita inginkan, secara khusus, yang Allah inginkan, jika kita tidak membuat langkah pertama. Aku punya beberapa teman yang telah berjuang “mengalahkan” kecanduannya pada minuman keras. Beberapa temanku yang dulu sangat malas membaca, kini terus melatih diri membaca Alkitab dengan semangat setiap pagi. Bahkan seorang teman yang terkenal sangat pemalas, sekarang telah menjadi lebih ulet.

Kabar baiknya adalah kita tidak sendiri. Allah menemani kita. Itulah pentingnya mempelajari firman-Nya karena dari sanalah kita akan mendapatkan kekuatan, penghiburan, tuntunan, bahkan teguran yang akan membangun dan mendorong kita untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk kita. 

Melangkahlah bersama Allah, s’bab tangan berlubang paku itu yang akan memegang erat tanganmu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Putus Dengan Tuhan Gara-Gara Si Aku

Oleh Edwin Petrus, Medan

Beberapa waktu yang lalu, aku sungguh tidak bisa memfokuskan diri untuk menjalani aktivitas sehari-hariku. Aku melewati hari-hari di minggu itu dengan pola hidup yang tidak jelas. Aku berusaha untuk memusatkan pikiran ke rutinitas yang aku jalani, tetapi aku tidak mampu untuk berkonsentrasi dengan baik. Aku bangun pagi dengan tidak bersemangat. Aku tetap berangkat ke kantor seperti biasa, tetapi aku tidak menemukan energi untuk menyentuh pekerjaanku. Tubuhku hadir di ruang rapat, tetapi jiwaku entah terbang ke mana. 

Sampai di rumah, aku hanya merasakan hasrat yang sangat besar untuk berbaring dan tidak melakukan kegiatan apa pun. Aku berusaha untuk menghibur diri dengan memesan makanan yang enak, tetapi selera makanku juga tidak bertambah. Aku menonton film dan bermain game, tetapi keduanya tidak bisa menghibur kegundahanku.

Kawan, aku mungkin terlihat seperti orang yang putus cinta. Namun, relasiku dengan pacarku baik-baik saja. Relasi dengan orang tua dan teman-temanku juga tidak sedang bermasalah. Memang, ada beberapa peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu dan sepertinya hal itu merupakan pemicu dari ke-mager(malas gerak)-anku ini.

Aku tergerak untuk berdoa dan mencari Tuhan, tetapi rasanya aku tidak tahu harus berkata-kata apa kepada-Nya. Biasanya, aku selalu bersaat teduh setiap hari. Beberapa hari itu, aku tetap membaca Alkitab, tetapi rasanya firman itu sangat hambar. Aku tidak dapat menikmati momen bersekutu dengan Tuhan selama satu pekan itu.

Namun, segala kegelisahanku berakhir di penghujung minggu ketika aku diajak untuk melayani dalam persekutuan doa malam di gereja. Aku bukan seorang yang rutin mengikuti persekutuan doa di gereja, tetapi kadang-kadang aku juga menghadirinya. Sore itu, aku dihubungi oleh salah seorang pengurus yang menanyakan kehadirkanku malam itu. Jikalau aku hadir, aku diminta untuk menggantikan seorang pelayan pujian yang tiba-tiba berhalangan pada hari itu. Aku sungkan untuk menolak, sehingga akhirnya aku mengiyakan saja permintaan dari sang pengurus. 

Saat Persekutuan Doa malam itu dimulai dan pujian demi pujian pun dinyanyikan, aku pun memaksakan diri untuk melantunkan setiap bait dari lagu. Aku merasakan bibir ini sungguh sulit untuk dibuka ketika aku harus bernyanyi “Tuhan Yesus baik, sungguh amat baik, untuk selama-lamanya Tuhan Yesus baik.” Setelah itu doa demi doa pun dinaikkan. Pemimpin doa mengajak jemaat untuk membuka suara dan menaikkan doa. Aku sungguh tidak bisa berdoa. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. 

Kesukaran untuk bernyanyi dan berdoa pada malam hari itu menyadarkanku kalau ternyata relasi aku dengan Tuhan sedang tidak baik-baik saja. Aku merasakan ada penolakan dari diriku untuk memuji dan mengagungkan Dia. Namun, aku pun menemukan kalau Roh Kudus tidak berhenti untuk melembutkan hatiku dan mengubahkanku. Ketika Roh Kudus mulai bekerja, aku pun merasa kalau diriku masih enggan untuk menyambut kasih Tuhan. Namun, pelan-pelan aku mulai bisa merasakan damai sejahtera dari Tuhan dan aku pun bisa dengan lebih leluasa menyanyikan kebaikan Tuhan serta mengucapkan syukur dan permohonan kepada-Nya. 

Sepulang dari gereja, aku mencoba untuk mengingat kembali apa yang menjadi penyebab dari relasiku dengan Tuhan yang rusak itu. Jawabannya adalah AKU.

Aku adalah Sumber Masalah

Ternyata, ‘aku’ adalah sumber masalah yang menghalangi diri kita untuk terus terkoneksi dengan Tuhan. Ke-aku-an yang masih melekat dalam diri Edwin adalah penyebab dari masalah sepele yang sedang kualami. Memang benar, aku sempat menemukan permasalahan dalam bidang pelayanan yang menjadi tanggung jawabku. Namun, masalah itu bukan persoalan yang sangat rumit seperti pikiranku yang sudah terlalu berlebihan (overthinking). Akibatnya, tanpa disadari pikiran itu membuat aku untuk menjauhi Tuhan. 

Kawan, ke-aku-an ini ternyata bisa muncul dalam berbagai bentuk: gengsi untuk menunjukkan kelemahan diri, ekspekstasi bahwa segala sesuatu harus terjadi sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan, kesombongan yang mau mengontrol segala sesuatu, pujian atas prestasi, atau pun penerimaan dan penghargaan atas segala usaha keras. 

Ketika Tuhan mengizinkan sedikit gejolak dan perubahan, si ‘aku’ menjadi terganggu. Jadinya, ‘aku’ marah dengan Tuhan dan mungkin juga berimbas pada kemarahan terhadap orang lain. Jadi, sebelum kita mempersalahkan pihak lain, terkadang kita perlu mengecek diri sendiri, apakah justru ‘aku’ yang berdosa ini menjadi sumber masalahnya, sehingga ‘aku’ tidak bisa melihat dan merasakan kasih dan kebaikan Tuhan dalam hidup kita.

Aku adalah Berhala

Si ‘aku’ ternyata bisa jadi berhala yang menghalangi relasi kita dengan Tuhan. Berhala zaman now bukan lagi hanya sekadar patung yang disembah. Ketika posisi Tuhan yang seharusnya menempati urutan nomor satu dalam hidup kita, tergantikan oleh pribadi atau benda lainnya, maka hal itu adalah berhala. 

Aku selalu berdoa dan berharap kalau pelayanan di gereja bisa berjalan dengan baik dan mulus. Sisi perfeksionisku seakan tidak bisa menerima kalau ada sesuatu yang kurang baik di dalam pelayanan di gereja. Tanpa disadari, aku sudah menjadi penguasa dalam pelayanan gerejawi yang dipercayakan kepadaku. Padahal, gereja adalah tubuh Kristus dan Kristuslah yang seharusnya berkuasa dan aku hanya seorang pelayan yang dipercayakan untuk mengurusinya. Ketika ada ketidakberesan yang terjadi, aku menjadi kesal dan inilah awal mula relasiku dengan Tuhan menjadi terganggu pada minggu itu. 

Aku seharusnya bersyukur jika Tuhan yang datang terlebih dahulu untuk melawat aku yang sudah menjauhi-Nya. Namun, ketidakmauanku untuk melepaskan ego akhirnya menjadi penghalang bagiku untuk kembali berelasi dengan Dia. Aku bersyukur kalau Roh Kudus melembutkan hatiku untuk tidak lagi memberhalakan diriku dengan menganggap bahwa aku sudah bertindak benar. Tidak mungkin relasiku dengan Tuhan akan baik jika aku sujud menyembah kepada berhala (Keluaran 20:3-6).

Aku adalah Sel Kanker

Ke-aku-an yang masih hidup dalam diri kita juga adalah sel-sel kanker yang sangat berbahaya. Seperti para penderita kanker yang harus menjalani kemoterapi untuk membunuh sel-sel kanker, anak-anak Tuhan pun perlu mematikan ‘aku’ yang masih hidup dalam diri kita. Oleh kasih anugerah Tuhan yang dinyatakan melalui pengorbanan Kristus, kita telah ditebus dari hutang dosa kita (1Korintus 6:20). Seperti yang dituliskan Paulus kepada jemaat di Efesus, sebagai manusia baru di dalam Kristus, kita perlu menanggalkan manusia lama kita (Efesus 4:22) yaitu si ‘aku’ yang ada di dalam diri kita. 

Langkah hidup kita yang mengikuti Yesus adalah perjalanan seumur hidup untuk terus menanggalkan si ‘aku’ yang masih bersarang di dalam segala aspek hidup kita. Tentunya, ‘aku’-‘aku’ ini perlu terus diberantas agar relasi kita dengan Tuhan dapat semakin intim.

Aku menyadari bahwa perjuangan kita untuk melawan si ‘aku’ tidak mudah. Aku pun pernah mengalami jatuh bangun untuk melawan si ‘aku’ ini. Jadi, kita perlu selalu bergantung pada kekuatan dari Roh Kudus untuk dapat memenangkan peperangan ini. Sampai pada akhirnya, kita dapat berkata: “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Galatia 2:20)

Kawan, selamat berjuang untuk melawan dan melepaskan si ‘aku’ dengan diam di dalam Kristus dan mengandalkan-Nya setiap hari!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dear Anak Muda: Kamu Perlu Istirahat!

Oleh Stacy Joy
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When We Settle For Less Than Rest

Aku pernah merasa bersalah ketika jadwalku dalam sehari begitu sibuk. Bukan karena aku orang yang sungkan buat berkata “tidak”, tapi karena aku memang senang menikmati hari yang sibuk. Aku sudah berkeluarga, istri dari seorang hamba Tuhan, seorang penulis, kadang jadi pembicara, pemimpin kelompok PA dan ketua dari tim worship. Aku juga menjalankan usaha skala kecil sembari berusaha menjaga kehidupan rumah tanggaku seimbang. Dan… aku juga menempuh studi pascasarjana. Di tengah kesibukan itu, aku menjunjung gaya hidup sehat yang mencakup olahraga, tidur, dan berinvestasi waktu pada relasi dan komunitasku.

Tapi… menulis satu paragraf di atas saja rasanya membuatku ingin tidur siang. Banyak dari kita merasa familiar dengan kesibukan seperti yang kualami, atau bahkan lebih sibuk lagi. Cukup sulit menemukan waktu untuk mengurusi semuanya, apalagi menemukan waktu untuk istirahat teratur. Namun, aku menyadari ketika aku tidak menciptakan waktu untuk beristirahat, bukan hanya fokus dan kualitas pekerjaanku yang menurun, jiwaku pun benar-benar seperti kehabisan bahan bakar.

Kita sejatinya diciptakan untuk juga beristirahat. Istirahat itulah yang memungkinkan hidup damai dan puas.

“Hmm, iya juga sih. Tapi..” mungkin kamu punya sederet alasan di balik susahnya dirimu meluangkan waktu beristirahat. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri, “istirahat” seperti apa yang diri kita butuhkan?

Penting diingat bahwa istirahat itu tidak sekadar meluangkan waktu, tapi juga tentang cara melakukannya. Baru-baru ini suamiku, Andrew dan aku menyadari bahwa kami banyak menggunakan waktu luang kami untuk bermain HP, scroll terus media sosial, menonton, atau sesekali mengurusi pekerjaan.

Saat kami merenungkan kebiasaan itu, kami sadar bahwa selama ini kami telah mengupayakan istirahat yang salah. Bukannya istirahat supaya jadi lebih segar, kami malah membuang energi kami. Istirahat dengan cara yang salah ini bertentangan dengan apa yang Alkitab ajarkan (1 Petrus 5:8-14; 1 Korintus 16:14; Lukas 21:34-36). Istirahat sejati tidak ditemukan dalam menghentikan semua aktivitas atau kita tidak melakukan apa pun, melainkan ketika kita berhenti memfokuskan diri dari gangguan-gangguan yang ada dan kita menemukan kekuatan dengan tinggal bersama Kristus.

Di mana mendapat istirahat sejati?

Jadi, bagaimana kita sebagai orang-orang percaya bisa menemukan istirahat yang memulihkan? Alkitab banyak berbicara tentang beristirahat dan mengajak kita untuk pergi pada tempat di mana istirahat sejati ditemukan. Ada cara khusus, karena manusia juga diciptakan untuk beristirahat, yaitu di hadapan Pencipta kita.

Dalam Matius 11:28-29, kutemukan janji ini:

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat kelegaan.”

Kalimat, “kelegaan kepadamu” terdengar begitu penuh harapan dan memberi hidup buatku. Aku mendapat kelegaan ketika aku datang ke hadirat Tuhan, meletakkan bebanku di hadapan-Nya lewat berdoa, menyembah, merenungkan Alkitab, dan membaca buku-buku rohani. Semua ini bukanlah aktivitas pasif, tetapi tindakan aktif untuk mengejar Kristus yang sanggup memberi kita kelegaan dan pembaharuan.

Menjadikan istirahat sebagai disiplin

Kita harus mengupayakan istirahat sebagai bagian dari disiplin rohani. Sebagai seorang ibu dari anak-anakku yang masih kecil, aku sering mendengar ibu-ibu lain bercerita kalau mereka tidak punya waktu untuk membaca Alkitab. Aku sedih mendengarnya. Kita semua bisa menemukan alasan—aku juga kadang melakukannya—tapi kenyataannya adalah kita semua sanggup meluangkan waktu untuk apa yang kita anggap penting dan berkata “tidak” pada apa yang kurang penting.

Contohnya, jika kita melihat olahraga itu penting, kita bisa menolak ajakan lain seperti sekadar nongkrong. Jika punya waktu berduaan dengan pasangan itu penting, kita akan menolak ajakan-ajakan lain. Ketika punya waktu pribadi bersama Tuhan itu kita anggap penting, kita punya alasan untuk menolak bermalas-malasan, pergi menonton, atau nongkrong dengan teman-teman.

Setelah kami sadar bahwa selama ini kami telah beristirahat dengan cara yang tidak tepat, aku dan suamiku membangun kebiasaan bangun jam lima pagi setiap hari untuk bersaat teduh, satu jam sebelum anak-anak bangun. Perubahan sederhana ini memberi kami hidup yang terasa lebih hidup. Ada perubahan sikap yang terjadi pada kami, mulai dari cara kami mengasuh anak hingga relasi kami berdua sebagai pasangan.

Apakah selalu menyenangkan? Tentu tidak.

Apakah aku ingin mematikan alarm dan menutup kepalaku dengan bantal? Hampir tiap hari.

Tapi, inilah arti disiplin. Kita mungkin harus memaksa diri kita dengan keras di awal-awal, tetapi jika kita konsisten, kita akan menjadikan aktivitas ini sebagai sesuatu yang kita rindu untuk lakukan karena menikmati waktu bersama Tuhan itulah yang jadi salah satu tujuan kita diciptakan. Waktu bersama Tuhan itu harus kita prioritaskan dan terkadang memang harus kita rencanakan.

Mengenali, memahami, dan melakukan istirahat sejati tidak berarti kita mengabaikan istirahat secara fisik karena keduanya tidak terpisahkan. Menghampiri hadirat Tuhan juga perlu dibarengi upaya aktif kita untuk menjadikan istirahat fisik sebagai kebutuhan, bukan pertanda kemalasan. Mengurangi waktu-waktu bermain gawai, mengonsumsi makanan sehat berimbang, berolahraga teratur, dan tidur cukup adalah bukit bahwa kita mengasihi diri sendiri dan menghargainya sebagai anugerah Tuhan.

Hidup tidak akan berubah jadi lebih lambat. Setiap musim membawa serta tantangan baru, sukacita baru, bahkan alasan stres yang baru. Jika kita tidak sungguh-sungguh, hidup akan berlalu begitu saja, musim akan berganti, dan tiba-tiba 10 tahun sudah berlalu dan kita lantas menemukan diri kita sangat lelah dan jauh dari Tuhan.

Kiranya kita menemukan kelegaan dan kepuasan sejati di dalam dekapan Pencipta kita seperti yang pemazmur katakan, ”Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (Mazmur 42:2).

Demi Perubahan Hidup, Aku Berani Ambil Keputusan Besar

Oleh Sarah Callen
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How A Month With God Changed My Life

Beberapa bulan terakhir rasanya seperti penuh badai bagiku. Di bulan Agustus, aku merasa Tuhan memintaku untuk menjadikan bulan Septemberku sebagai momen Sabat–waktu khusus untuk berhenti dan beristirahat. Aku terpikir untuk berhenti kerja, berhenti menyusun planning, agar aku bisa meluangkan waktu berkualitas dengan Tuhan tanpa gangguan apa pun.

Di pekerjaanku, aku bisa bekerja sampai 14 jam sehari. Keputusan berhenti ini mengubah jam kerjaku menjadi 0 jam sehari. Buatku yang workaholic, perubahan drastis ini akan menyulitkan dan mengejutkanku. Aku terus meminta petunjuk supaya aku yakin, seperti ketika Allah meyakinkan Sarah.

Di dalam Alkitab, ada pola tentang bagaimana Tuhan memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk “keluar” agar mereka fokus pada-Nya. Bangsa Israel berjalan di padang gurun selama 40 tahun, menjumpai Tuhan dan belajar menanggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang bisa membahayakan mereka. Yesus pun secara teratur meluangkan waktunya dalam kesunyian dan berdoa bersama Bapa. Sepanjang waktu yang kutentukan sebagai Sabat, aku terpaku pada beberapa ayat di Yeremia 29, yang ditulis untuk umat Tuhan yang sedang ditawan.

“Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah firman TUHAN” (Yeremia 29:12-14a)

Ungkapan “dengan segenap hati” itu selalu menyentakku setiap kali aku membacanya. Aku sungguh ahli jika mencari Tuhan dengan ‘sebagian’ hatiku, tetapi jika seluruhnya kuserahkan, itu jadi cerita yang berbeda. Aku tahu Tuhan memanggilku ‘keluar’ dari rutinitasku supaya aku bisa mencari Dia sepenuh hati, dan aku tahu aku harus membuat beberapa perubahan.

Memangkas Kebisingan

Salah satu perubahan yang kulakukan adalah: aku memutuskan berhenti jadi subscribers sejumlah podcast. Aku perlu mengendalikan suara-suara manakah yang kuizinkan masuk ke dalam pikiranku dan membentuk hidupku.

Selama bertahun-tahun, aku mendengar berbagai podcast soal politik dan aku sangat menikmatinya, tapi di sisi lain aku pun merasa muak. Seiring waktu, podcast yang awalnya seru dan mendidik berubah menjadi ajang saling menuding dan menjatuhkan pihak lain, sehingga jika kudengarkan lebih lanjut bisa berdampak negatif buatku.

Meskipun aku tahu podcast itu memberiku dampak negatif, berhenti jadi subscribersnya ternyata sulit. Sebagian diriku masih ingin terikat pada rutinitasku. Aku juga tidak ingin kehilangan suara-suara yang sudah akrab kudengar. Loyalitasku pada acara podcast ini mungkin jadi penyebab, tapi kusadari ada yang lebih dari itu:

Aku tidak ingin melepaskan sesuatu yang sudah kugenggam erat. Aku tidak ingin berkorban. Aku ingin lebih mengenal Tuhan lebih erat dan akrab, mendengar-Nya lebih jelas daripada sebelumnya. Tapi, aku tidak mau menciptakan ruang untuk mendengar suara-Nya. Aku ingin Dia bekerja, sedangkan aku cuma menerima.

Menjumpai yang Lebih Baik

Di bulan September, aku melakukan yang terbaik untuk bulan yang kuanggap Sabat. Aku belajar lebih bijak menggunakan uangku, tidak lagi boros untuk sekadar jajan. Aku memilih untuk percaya pada pemeliharaan-Nya daripada mengkhawatirkan diriku sendiri.

Kutunda dulu pekerjaan-pekerjaan yang menyita waktuku supaya aku bisa bersandar pada firman-Nya. Aku belajar merasa cukup dengan kehadiran Tuhan saja, bukan semata mencari berkat-berkat-Nya. Aku harus menguji, apakah aku beriman dengan murni atau transaksional alias mengharapkan imbalan. Kusadari aku terlalu egois, yang kupikirkan cuma diriku sendiri.

Tuhan seperti memberiku cermin. Dia menunjukkanku area-area mana di hidupku di mana aku membiarkan rasa malu dan gila kerja menguasaiku, menaruh percayaku pada zona nyaman yang kubuat sendiri, yang kuyakini itulah yang berkenan buat Tuhan.

Sekarang, aku sadar bahwa tugasku adalah aku perlu percaya pada Tuhan melebihi aku percaya pada diriku sendiri. Aku memilih untuk berserah.

Bagi seorang workaholic yang terlalu berlebihan dalam bekerja, keputusan menikmati Sabat akhirnya menunjukkanku bahwa Tuhan jauh lebih hebat dari diriku sendiri. Segala upayaku dalam bekerja tidak memiliki makna jika aku tidak memiliki relasi dengan-Nya. Momen-momen ketika aku melepaskan diri dari apa yang menjeratku, jadi pembelajaran yang meneguhkanku bahwa identitasku datang dari apa yang Tuhan katakan tentangku, bukan dari apa yang aku lakukan. Tuhan telah menyingkap dan menyembuhkan bagian-bagian hatiku yang terluka, yang tidak percaya, yang keras. Aku telah mencari Dia, dan Dia pun selalu hadir.

Tuhan selalu bisa kita jumpai saat kita ingin berelasi dengan-Nya.

Apa yang Tuhan katakan padamu dalam situasimu yang sekarang? Apa yang telah Dia bisikkan ke hatimu? Aku berdoa agar kita bijak mengelola waktu kita, memangkas hal-hal apa yang membisingkan telinga dan hati kita, serta memberi ruang bagi-Nya untuk berbicara kepada kita.

Apa pun langkahmu selanjutnya, aku berdoa agar Dia memenuhimu dengan keteguhan hati dan kamu memutuskan untuk selalu mengikut dan taat pada rencana-Nya.

Pupuk untuk Menumbuhkan Relasimu dengan Tuhan

Memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan bukan sekadar berdoa seperlunya atau ibadah secukupnya, tapi kesungguhan kita untuk mau mengenal-Nya dan berusaha menumbuhkan hubungan dengan-Nya.

Artspace ini dibuat oleh @satria_why dan diterjemahkan dari @ymi_today

Mengatasi Dehidrasi Rohani

Oleh Joshua Effendy, Semarang

Sebagian besar dari kita mungkin sudah menjadi Kristen sejak bayi (papa-mama, kakek-nenek, bahkan buyut kita sudah Kristen) sehingga ‘mau tidak mau’ kita menjadi orang Kristen warisan. Namun, mungkin ada sebagian dari kita yang mengenal dan memutuskan untuk percaya pada Kristus di usia-usia tertentu setelah mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya. Ini semua bukan berbicara mana yang lebih baik—Kristen warisan atau menjadi Kristen di usia tertentu. Aku sendiri jadi orang Kristen karena warisan, meskipun dulu mamaku sebelum menikah bukan orang yang percaya Tuhan.

Mamaku memutuskan untuk percaya dan menerima Yesus ketika akan menikah dengan papa. Ia beranggapan bahwa sudah seharusnya istri yang mengikut suami, bukan sebaliknya. Karena mama bukan dibesarkan dalam keluarga orang percaya, dan papa bukanlah orang yang aktif bergereja, aku pun kurang diajarkan bagaimana menghayati iman Kristen. Aku hanya diajarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang Kristen. Selama ini orang tuaku hanya menyarankan untuk ke gereja, berdoa, aktif terlibat pelayanan, menanamkan pentingnya memberi persembahan tanpa ada paksaan sedikitpun—artinya, kalau aku tidak mau ke gereja karena malas, tidak ingin memberi persembahan, tidak mau terlibat pelayanan, mereka tidak ambil pusing. Menurut mereka, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan rohani adalah urusan pribadi, mereka tidak punya hak untuk memaksaku, karena mereka pun tidak disiplin dan menghayati berbagai kegiatan itu. Walaupun demikian, aku berusaha untuk terus taat mendengarkan yang mereka sarankan bagi pertumbuhan rohaniku. Tapi, ketika aku makin aktif terlibat pelayanan, dan menjalankan ‘rutinitas rohani’ yang diajarkan, aku makin merasa kering, bukannya bertumbuh.

‘Daripada malam mingguan ndak jelas di jalan, mending malam mingguan di gereja, beribadah dengan sesama orang Kristen’,

‘Daripada hari minggu bangun siang, mendingan bangun pagi untuk pergi ke gereja dan dengar firman’,

‘Daripada rebahan terus di rumah, mending aktif pelayanan’.

Kalimat mendang-mending inilah yang membuatku melakukan berbagai aktivitas rohani sebagai rutinitas saja. Aku menyadari kekeringan rohani ini semakin menjadi-jadi ketika aktif pelayanan, berdoa, memberi persembahan, dan rajin beribadah hanyalah sebagai ‘kebiasaan-kebiasaan’ yang dilakukan untuk mengisi kegiatanku yang kosong. Lama kelamaan aku mengalami burn-out dan mulai mundur secara kerohanian, serta terbelenggu oleh dosa yang makin menjauhkan aku dari Tuhan. Aku merasa melayani Tuhan, membaca Alkitab, beribadah, dan berbagai kegiatan rohani lainnya sebagai beban yang memberatkanku, ditambah dengan sibuknya kegiatan OSIS waktu itu. Aku lebih sering berada di gereja ataupun sekolah daripada di rumah. Aku lelah secara fisik, kering secara rohani.

Ketika aku berada di titik terendahku, aku kembali kepada Tuhan dengan membaca Alkitab. Waktu itu yang aku lakukan hanyalah membuka Alkitab untuk menemukan ayat secara acak untuk aku baca. Hebatnya, Tuhan pakai itu sebagai titik balik kerohanianku. Aku makin mengimani Kekristenan (menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat) ketika mengalami perjumpaan dengan Firman. Efesus 2:8-10 menjadi ayat yang aku baca secara acak pada saat itu, dan terus mendorongku untuk haus akan firman hingga akhirnya memutuskan untuk masuk ke seminari. Jika sebelumnya, kerohanianku diwarnai dengan kekeringan dan sekadar melakukan tugas-tugas pelayanan dan rutinitas rohani belaka, di saat aku berusaha untuk berkomitmen mau membaca Firman dan merenungkannya Firman, maka Firman itu sungguh-sungguh hidup, menjadi relate, dan menguatkanku.

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Yohanes 15:4 untuk tinggal di dalam-Nya untuk bisa berbuah, maka ketika aku menjadikan aktivitas rohani sebagai kebutuhan rohani, aku selalu merasa kurang dan haus akan firman, selalu merasa rindu untuk mendengar Tuhan berbicara kepadaku melalui firman, dan ini membawa kepada pertumbuhan rohani. Ada gerakan yang membuatku gelisah ketika aku mulai jauh dari firman, mulai menjadikan doa sebagai rutinitas belaka. Aku yakin gerakan ini adalah dorongan Roh Kudus.

Bukan berarti aku menyalahkan didikan iman yang diberikan oleh orangtuaku, aku sungguh bersyukur terlahir dalam keluarga percaya yang menjadi jalan untukku menerima Tuhan bahkan melayani-Nya penuh waktu saat ini. Satu hal yang menurutku perlu untuk kita renungkan dan pikirkan secara pribadi: Sudahkah aku sungguh-sungguh menghidupi iman Kristen?

Menghidupi iman Kristen bukan berbicara soal rajin ke gereja dan baca firman saja, tetapi bagaimana kita punya relasi yang sungguh dengan Allah, memiliki kegairahan untuk mengenal Tuhan, sehingga kerohanian dan iman kita semakin bertumbuh. Timotius adalah seorang pelayan Tuhan yang masih sangat muda, dan imannya adalah warisan dari ibu dan neneknya (2 Tim 1:5). Namun, hal ini bukan membuat Timotius menjadi ‘orang Kristen Warisan’ yang lantas menjalani imannya tanpa sungguh-sungguh berjumpa dengan Tuhan. Paulus mengingatkan agar Timotius tetap setia untuk menghidupi imannya, merasakan kasih karunia Tuhan, dan bersaksi tentang semua itu (2 Tim 6-8).

Secara pribadi ini mengingatkanku sebagai seorang Kristen dan pelayan Tuhan yang telah mewarisi iman dari generasi-generasi sebelumku, untuk sungguh-sungguh merasakan dan berjumpa dengan kasih karunia Tuhan sehingga menggerakkanku untuk bersaksi dan memberitakan Injil Tuhan kepada orang lain.

Bagiku, bagaimana aku mau bercerita kalau bakso A sungguh-sungguh enak, kalau aku belum pernah mencobanya? Bagaimana aku mau bersaksi tentang kasih dan kebaikan Tuhan, jika aku tidak pernah secara pribadi sungguh-sungguh bertemu dan merasakan kasih dan kebaikan Tuhan terlebih dahulu?

Iman dan pengalaman pribadi bersama Tuhan harus kita wariskan dan teruskan kepada generasi-generasi setelah kita dan orang-orang di sekitar kita, tetapi penting untuk kita terlebih dahulu mengalami dan menghidupi iman Kristen. Aku yakin, jika kita sungguh-sungguh mengalami dan merasakan kasih karunia Tuhan, maka kita tidak akan tahan untuk tidak menceritakan pengalaman iman bersama Tuhan.

So, Jangan Berhenti di Kamu! Ceritakan tentang pengalaman imanmu dan perjumpaan pribadimu dengan-Nya kepada orang lain ya!

SOLI DEO GLORIA!

Bekal untuk Masa Depan

Oleh Bintang Lony Vera

Aku bersyukur, Tuhan menyediakan tempat untukku bertumbuh. Sejak awal masa perkuliahan, aku bergabung dalam sebuah kelompok kecil. Di sana, aku ditolong untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus. Setiap semester, kakak rohaniku, Kak Ana, sering sekali membagikan buku-buku bacaan, yang dapat aku gunakan untuk membantuku mencerna materi kuliah. Teman-teman kelompok kecilku, Kristin, Wira, Rugun, Yohana, dan Ibeth, bersama mereka, aku bisa membagikan pergumulan dan bersama-sama mengikuti Persekutuan Mahasiswa Kristen.

Kelompok kecil juga menjadi teman yang mendampingi pertumbuhan rohaniku lewat pembacaan dan pendalaman Alkitab, padahal sebelumnya aku bukanlah orang yang gemar mendalami Alkitab. Kalaupun aku membukanya, Alkitab itu hanya kubaca. Di kelompok kecil inilah baru aku mendalami langkah-langkah praktis yang membuatku memahami firman Tuhan. Dari pemahaman yang baik, aku bisa lebih mudah untuk mengaplikasikannya.

Bertahun-tahun setelahnya, aku tidak menyangka kalau pengalamanku bertumbuh melalui pengenalan akan firman Tuhan menolongku untuk memperlengkapi orang lain, generasi yang lebih muda.

Aku bekerja sebagai seorang guru di sekolah yang dinaungi oleh sebuah yayasan Katolik. Meskipun peserta didikku berasal dari berbagai latar belakang agama yang berbeda, mereka mengikuti program belajar dan kegiatan siswa yang berlandaskan nilai-nilai iman Kristiani. Salah satunya adalah pada pagi hari jam 07.30 WIB, setiap kelas akan berkumpul di ruang virtual untuk membaca renungan harian. Sebelum pandemi, kami juga melakukannya sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, namun hanya dengan membaca buku renungan yang telah disediakan dari sekolah. Momen belajar daring yang dilakukan semenjak Maret 2020 ternyata memberikan kami kesempatan lebih.

Dibantu ketua kelas dan wakilnya, aku membuat jadwal, sehingga mereka dapat memimpin renungan harian secara bergantian. Pemimpin renungan bertugas membagikan tautan Zoom, sesaat sebelum renungan dimulai. Setelah berkumpul di ruang virtual, biasanya kami akan mendengarkan sebuah lagu pujian. Kemudian, pemimpin membacakan perikop dan renungan hari itu bagi kami semua. Setelah membaca perikop, kami dapat melakukan pendalaman Alkitab. Kebetulan, situs tersebut juga memuat pertanyaan, games, dan proyek ketaatan yang bisa digunakan untuk semakin memahami Firman Tuhan.

Misalnya, pada Renungan Harian 5 November 2021, saat itu perikop bacaan kami diambil dari Kejadian 18:16-33, tentang Abraham yang sedang tawar-menawar dengan Tuhan, agar Tuhan berbelas kasihan kepada Sodom dan Gomora.

Renungan hari itu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, seperti: Siapakah yang berjalan bersama dengan Abraham dalam bacaan hari ini? (Kejadian 18:1,16) Apa rencana Tuhan pada Sodom dan Gomora? (Kejadian 18:20) Mengapa Tuhan hendak menghancurkan Sodom dan Gomora? (Kejadian 18:20) Apakah Abraham diam saja mendengar rencana Tuhan itu? (Ayat 23-33). Pertanyaan yang dimuat juga disertai ayat yang dapat membantu untuk menjawab.

Aku mengira, anak-anak akan kebingungan, karena harus membaca kembali ayat-ayat penunjuk berulang kali, lalu menjawab pertanyaan. Sebaliknya, mereka cukup antusias.

Perikop tersebut menceritakan bagaimana Abraham berulang kali melakukan tawar-menawar dengan Tuhan, agar Sodom dan Gomora tidak dihukum. Beberapa dari mereka tampak penasaran dan heran, mengetahui bahwa Tuhan dapat sedekat itu dengan Abraham, bahkan Tuhan mau mengampuni Sodom dan Gomora, jika ada sejumlah kecil orang yang masih berbakti pada-Nya. Saat mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang ada, aku melihat mereka semakin memahami bahwa Tuhan dapat mengampuni, dan di saat yang sama, bersikap adil untuk mendidik manusia. Aku menyadari, saat itu Tuhan sedang bekerja bagi anak-anak peserta didikku. Dia sedang menyatakan diri-Nya, melalui pendalaman Alkitab yang kami lakukan.

Pada akhir bacaan, akan ada tugas atau proyek ketaatan. Hari itu, proyek ketaatan kami adalah mendoakan orang-orang di sekitar, agar tidak mendukakan hati Tuhan, tidak melakukan kesalahan yang sama, seperti yang dilakukan oleh penduduk Sodom dan Gomora. Kebiasaan ini kami lakukan setiap hari Senin sampai Jumat, sebelum kegiatan belajar dimulai. Aku merasakan dampak dari pendalaman Alkitab secara langsung. Mereka jadi lebih aktif belajar dan tidak malu bertanya, karena sudah terbiasa dengan diskusi. Kemampuan mengobservasi informasi dan menginterpretasi pesan dari sebuah bacaan yang dimiliki anak-anak juga semakin meningkat. Mereka bertumbuh semakin cerdas dan cermat melalui pendalaman Alkitab.

Pengalamanku ini membuatku terkagum. Aku percaya kebiasaan menggali Alkitab ini dapat menjadi bekal terbaik bagi anak-anak untuk menyongsong masa depan. Sebab, segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2 Korintus 3:16-17).

Dengan Firman Tuhan yang dibaca, dipahami, dan dilakukan, dapat memperlengkapi mereka dan juga aku dalam melakukan pekerjaan baik yang Tuhan percayakan.

Bagaimana denganmu? Sudahkah kamu membaca, merenungkan, dan mengaplikasikan nilai-nilai firman Tuhan dalam hidupmu?

Jurnal Doa

Oleh Meili Ainun, Jakarta

Doa ibarat nafas hidup bagi orang Kristen. Kalimat ini mungkin terdengar tidak asing di telinga kita, bahwa orang Kristen harus berdoa. Bahkan sejak kecil, pesan untuk berdoa sudah disampaikan, baik oleh orang tua maupun guru sekolah Minggu. Belum lagi para hamba Tuhan di gereja yang terus mengingatkan kita untuk berdoa.

Kita tahu berdoa itu penting, tetapi ada kalanya kita merasa jenuh untuk berdoa. Kita ingin berdoa, tapi kita bosan melakukannya. Salah satu sebabnya mungkin karena cara doa kita yang tidak pernah berubah. Kita selalu memakai cara yang sama sehingga berdoa hanyalah sebatas rutinitas saja.

Ada banyak cara berdoa yang bisa kita jelajahi, yang sudah dikenal dan mungkin paling sering kita lakukan adalah berdoa dengan berbicara langsung pada Tuhan. Kita memejamkan mata lalu mengucapkan doa dalam hati maupun bersuara. Cara lain adalah dengan menyanyikan doa seperti yang dilakukan para pemazmur, misalnya menaikkan lagu ‘Tuhan adalah Gembalaku’ dari Mazmur 23. Variasi cara lain adalah kita dapat bergabung dalam persekutuan doa sehingga kita dapat berdoa bersama teman-teman lain.

Nah, dari cara-cara itu, ada cara lain yang mungkin terdengar tidak biasa dan jarang dilakukan, yaitu menuliskan doa. Ada yang menyebut cara ini sebagai jurnal doa. Atau bisa juga disebut sebagai prayer diary, atau sebutan lainnya.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan jurnal doa itu?

Jika teman-teman pernah menuliskan jurnal harian, maka jurnal doa itu mirip-mirip kok. Biasanya dimulai dengan menulis tanggal lalu kita menulis isi doa kita.

Apa isi jurnal doa?

Isi jurnal doa boleh apa saja. Mulai dari mencurahkan perasaan yang sedang kita alami, permohonan kita, pengucapan syukur, memuji Tuhan, atau yang lainnya. Isi jurnal doa sama seperti ketika kita berdoa, hanya dituliskan saja. Misalnya:

12 Juli.

Tuhan yang baik (atau panggilan yang biasanya ditujukan kepada Tuhan)
Hari ini aku merasa sedih. Tadi pagi papa memarahiku karena aku terlambat bangun dari biasanya. Padahal hal itu disebabkan karena sepanjang malam aku harus menyelesaikan tugas kuliah. Tetapi papa tidak memberikan kesempatan bagiku untuk menjelaskannya. Tuhan, aku merasa kesal dan marah, sekaligus sedih. Tolong aku, Tuhan, untuk menjelaskan kepada papa apa yang terjadi. Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa. Amin.

Berapa panjangnya?

Tidak ada ketentuan khusus untuk panjangnya tulisan dalam jurnal doa. Jika kita ingin menulis sepanjang satu halaman karena mungkin pada hari itu ada banyak hal yang ingin kita sampaikan kepada Tuhan, maka dipersilakan saja. Tetapi ada kalanya kita tidak tahu harus bicara apa kepada Tuhan karena kondisi atau suasana hati yang tidak enak, maka menulis hanya satu kalimat pun tidak masalah. Misalnya:

13 Juli
Tuhan, aku merasa bingung dengan apa yang terjadi hari ini. Amin.

Apakah harus menulis setiap hari?

Tidak harus, karena jurnal doa hanyalah salah satu cara kita berdoa kepada Tuhan, maka kita diberi kebebasan untuk melakukannya. Hanya, semakin sering kita menulis maka kita akan semakin terbiasa.

Jika tidak bisa menulis, bagaimana?

Salah satu keunikan sekaligus kesulitan dalam jurnal doa memang ada dalam hal menulis. Bagi teman-teman yang tidak terbiasa menulis, mungkin menulis jurnal doa adalah cara yang sulit dilakukan. Tetapi cara ini boleh tetap dicoba, karena sebenarnya mengasyikkan.

Ketika kita menulis, kita melatih otak kita untuk berpikir lebih terstruktur dan sistematis. Berbeda dengan bicara yang biasanya berlangsung spontan, menulis membutuhkan waktu lebih lama untuk berpikir, atau juga merenung.

Apa manfaatnya menulis jurnal doa?

Di zaman ketika kita lebih terbiasa menyaksikan tayangan audio-video, menulis bisa jadi terkesan kuno dan ribet. Tetapi, menulis jurnal doa bisa memberikan beberapa manfaat buat kita, seperti mengatasi kejenuhan kita dalam berdoa sekaligus juga mengasah kemampuan menulis kita.

Doa-doa yang kita tulis menolong kita untuk tidak lupa akan pergumulan yang sedang kita hadapi hari itu. Kelak di masa depan, saat kita melihat kembali jurnal itu, iman kita akan dikuatkan karena kita melihat pertolongan dan jawaban Tuhan atas doa-doa yang kita naikkan.

Menulisnya di mana?

Kita bisa menulis di mana saja yang kita suka. Di buku tulis biasa, maupun buku tulis khusus, atau pada aplikasi note yang tersedia di gawai kita masing-masing. Kita bebas memilih media yang paling nyaman untuk kita masing-masing.

Jadi, mengapa kita tidak mencoba untuk menuliskan doa? Yuk, kita mencobanya. Siapa tahu cara ini dapat menambah keasyikan kita untuk berdoa, dan membuat kita semakin dekat dengan Tuhan.

Baca Juga:

2 Hal yang Perlu Kita Pahami Saat Berdoa

Jika ada doa yang dijawab dan tidak, lantas, bagaimana isi doa yang berkenan kepada Tuhan sehingga kita dapat selalu bersukacita di dalam-Nya walaupun Dia tidak menjawab doa-doa kita?

Jangan Pernah Berakhir Cerita Cinta Kita

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Akhir-akhir ini aku tengah menikmati sebuah lagu yang dibawakan oleh Arsy Widianto yang berjudul “Cerita Cinta”. Lagu ini dirilis tahun 2020 kemarin, namun lagu tersebut awalnya dipopulerkan oleh grup band Kahitna pada tahun 1994 dan diciptakan oleh Yovie Widianto, yang merupakan ayah dari Arsy Widianto.

Sama seperti lagu-lagu romantis pada umumnya, lagu ini pun menceritakan betapa romantisnya cerita cinta; betapa bahagianya mengalami perasaan mencintai dan dicintai. Tak hanya alunan melodinya yang menyenangkan dan menenangkan, lirik lagu yang diciptakan juga mampu membuat hati tersentuh.

Ketika tengah mendengarkan lagu ini di kantor, aku jadi teringat bagaimana aku juga secara pribadi menikmati perjalanan cerita cinta bersama Sang Pencipta dengan segala lika-liku yang menyertainya.

Saat Teduh: Dari Ritual Jadi Kerinduan

Pertama kali aku mengenal dan mengetahui istilah “saat teduh”, aku merasa tertekan. Mengapa? Waktu itu aku melihat aktivitas saat teduh sebagai suatu bentuk ritual ibadah tambahan yang menyita waktuku. Memang tidak cukup hanya beribadah setiap Minggu? Memang tidak cukup jika aku berdoa? Aku selalu berdoa kok; setiap sebelum makan dan sebelum tidur. Kenapa harus ditambah lagi dengan saat teduh setiap pagi? Kira-kira begitu isi pikiranku waktu itu.

Seiring berjalannya waktu, dalam anugerah-Nya aku mengerti bahwa saat teduh bukanlah salah satu dari rutinitas rohani yang harus kita lakukan karena paksaan kewajiban (mandatory). Saat teduh merupakan waktu yang kita siapkan secara pribadi untuk mendengarkan dan merenungkan apa yang mau Tuhan katakan melalui Firman-Nya untuk kita di hari itu. Namun dalam kasusku pribadi, cara Tuhan melatihku untuk disiplin ber-saat teduh sungguh unik:

Setiap kali aku menyukai seorang teman laki-laki, aku pasti berdoa tentang perasaanku, tentang teman yang tengah disukai, juga tentang kegalauanku. Semua hal ini aku doakan setiap aku saat teduh pagi hari. Tidak terluput satu hari pun. Harapannya, agar apa yang aku inginkan terkabul. Harapannya, agar si teman laki-laki pun membalas perasaanku. Singkat cerita, pengalaman menyukai teman laki-laki pada akhirnya seringkali berakhir gagal dan membawaku pada penyesalan serta sakit hati yang pemulihannya cukup memakan waktu lama. Awalnya aku berpikir bahwa aku sangat tidak pantas menjadi pacar siapapun sehingga semua teman laki-laki tidak ada yang menyukaiku. Awalnya. Namun, jika aku melihat lagi ke masa-masa itu, aku menyadari bahwa Tuhan ingin memberitahu aku bahwa:

  1. Identitas dan penerimaan sejati dalam hidupku tidak terletak pada apakah aku disukai teman laki-laki atau tidak, melainkan pada Kristus, yang telah mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:7).
  2. Saat teduh merupakan salah satu bentuk komunikasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Awalnya motivasiku memang hanya ingin curhat terkait perasaan dan kegalauanku ketika menyukai seseorang. Namun lambat laun Tuhan dengan lembut dan sabar mengubah motivasi hatiku yang tadinya hanya fokus ke perasaan dan kegalauan saja, kepada fokus hati yang rindu untuk selalu menyediakan waktu berkomunikasi dengan-Nya setiap hari melalui pembacaan dan perenungan Firman Tuhan.

Terpujilah Tuhan yang selalu sabar mengajar dan mengasihi aku, kini aku dapat menikmati waktu saat teduh pribadi terlepas dari apakah aku tengah menyukai seseorang atau tidak. Bersyukur kepada-Nya ketika aku menangkap pemahaman bahwa Allah rindu berelasi dengan kita umat-Nya. Aku tidak mengatakan bahwa kegalauan akan pasangan hidup tidak boleh dibawa dalam doa ya. Tentu sangat boleh. Ia Maha Mendengar dan Mengetahui. Namun dalam kasus pribadiku, Ia mengubah fokus hatiku sampai aku benar-benar menikmati relasi pribadi dengan-Nya, menikmati berkomunikasi secara khusus dan pribadi dengan-Nya, melalui sebuah aktivitas bernama: saat teduh.

Cerita Cinta-Nya Membuatku Menerima Diri Apa Adanya

Kisah tentang pengorbanan Yesus di kayu salib sudah aku dengar sejak lama. Namun beberapa waktu terakhir ini, terlebih ketika masa-masa Jumat Agung hingga Paskah kemarin, aku kembali merenungkan peristiwa agung tersebut. Bahkan terkadang, aku bertanya-tanya sendiri:

Kenapa sih Tuhan mau mengasihi aku dengan sebegitunya? Sampai harus merasakan jadi manusia dan segala penderitaannya. Bahkan harus sampai mati menanggung murka Allah akibat dosa-dosanya aku dan manusia-manusia lainnya. Kenapa?

Kenapa aku Engkau kasihi? Aku kan berdosa.

Kenapa aku Engkau layakkan menjadi anak dan murid-Mu yang dikasihi?

Sederetan perenungan pribadi ini dijawab oleh satu lagu yang berjudul: Why Have You Chosen Me. Rodger Strader selaku penulis lagu ini mengungkapkan:

I am amazed to know that a God so great could love me so
He’s willing and wanting to bless
His grace is so wonderful, His mercy’s so bountiful
I can’t understand it, I confess

Apa yang Allah telah perbuat untuk kita ternyata memang tidak dapat kita mengerti, tidak bisa kita pahami. Di sini aku makin menghayati arti dari anugerah dan kasih karunia; bahwa semuanya itu benar-benar hanya pemberian cuma-cuma. Bukan hasil dari sesuatu yang aku lakukan, bahkan bukan dari hasil ibadahku. Memahami dan menghayati hal ini kembali membuatku merasa terenyuh dan baper (bawa perasaan) terhadap kasih Allah yang luar biasa untuk aku. Karya salib Yesus menjadi cerita cinta terindah yang tidak bisa tergantikan dengan kisah cinta apapun yang aku impikan, harapkan, atau bayangkan.

Jika Allah saja menerima diriku yang berdosa ini apa adanya, maka aku pun mulai menerima diriku sendiri juga apa adanya. Aku menerima proses memelajari diriku sendiri; mengenal kelebihanku, kekuranganku, karakterku, serta emosiku. Dari proses mengenal diriku sendiri, aku pelan-pelan juga belajar bagaimana mengasihi dan mengenal orang lain dengan hati yang tulus di dalam keberdosaan dan keterbatasanku. Aku pernah menuliskan sedikit kisahku di awal-awal proses mengenal diri sendiri di sini.

* * *

Jika kasih Allah yang sebesar itu dianugerahkan kepada kita manusia berdosa secara cuma-cuma, aku rasa ungkapan romantis dalam bagian akhir lirik lagu “Cerita Cinta” yang ditulis Yovie Widianto pun pasti diungkapkan oleh Sang Pencipta:

“Jangan pernah berakhir cerita cinta kita.”

Baca Juga:

Kejahatan ‘Terbesar’ di Dunia

Kita hidup di dunia yang jatuh ke dalam dosa, dan dosa itu pun mewujud dalam berbagai kejahatan. Tanpa kita sadari, ada satu kejahatan yang kerap tersembunyi dalam topeng rohani kita.