Posts

Menjadi Seorang Kristen dan Gay: Bagaimana Aku Bergumul untuk Hidup Kudus Bagi Tuhan

Oleh Ryan Michael*, Jakarta

Aku pernah menyukai sesama lelaki. Perasaan itu tumbuh sejak aku masih kecil. Memoriku mengingat betul ketika aku duduk di kelas dua SD dan aku menemukan majalah yang sampulnya bergambar seorang pria topless. Aku tak bisa berhenti melihat sampul majalah itu, jadi aku menyembunyikannya di dalam lemari mainanku. Seiring berjalannya waktu, aku sadar kalau aku berbeda dari teman-teman lelakiku yang lain. Beranjak remaja, di saat teman-teman lelakiku yang lain mulai membicarakan atau berpacaran dengan wanita, aku malah tertarik dengan teman-teman lelakiku.

Aku tak tahu dengan jelas apa yang menyebabkan perasaan ini tumbuh di hidupku. Apakah karena aku tak memiliki sosok ayah sejak aku berusia 6 tahun, sehingga aku jadi tertarik kepada sesama jenisku? Tapi, jika itu jawabannya, mengapa pula ada orang-orang yang walau memiliki sosok ayah, tapi tetap tertarik pada sesama jenis? Apakah karena perkara genetik, dan ini merupakan sebuah penyakit? Kucari-cari jawaban dari semua pertanyaan ini, dari sisi psikologis, sampai ke sains. Aku pernah melihat video dokumenter yang menceritakan bagaimana seorang pemuda Tiongkok berkunjung ke dokter demi mengobati dirinya supaya menjadi ‘normal’. Aku paham betul bagaimana keinginan untuk menjadi sembuh, jika memang ketertarikan pada sesama jenis ini adalah sebuah penyakit.

Awalnya, aku tidak begitu menggumuli perasaanku. Aku tidak begitu memikirkan apa sih sudut pandang Allah mengenai ketertarikanku. Bahkan, aku enggan mendoakan hal ini pada Tuhan karena aku takut terusik dengan apa yang seharusnya Alkitab ajarkan. Aku juga takut kalau nyatanya aku harus mengorbankan ‘rasa suka’ ini demi kepentingan Tuhan.

Aku merasa akan baik-baik saja, asalkan kusimpan perkara ini dalam diriku sendiri dan tak memberi tahu siapa pun. Tapi, pemikiran ini salah. Perkara yang kusimpan sendiri ini malah membuatku makin hancur; aku semakin terbawa oleh cara pikirku sendiri, yang menjadi sasaran empuk Iblis untuk membawaku semakin membenci diriku sendiri, hingga menyalahkan Tuhan.

Perjalananku untuk menerima kasih Allah

Sebuah pertanyaan klasik bagi orang-orang yang memiliki pergumulan ketertarikan pada sesama jenis: “Aku tak pernah mau dan tidak meminta, mengapa Tuhan menciptakanku seperti ini?”, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang condong menyalahkan Tuhan.

Aku ingat kisah penciptaan. Allah menciptakan manusia seturut dan segambar dengan-Nya. Tapi, waktu itu aku jujur bertanya, apakah itu artinya Tuhan sendiri menyukai sesama jenis? Alkitab berkata Allah itu baik, kudus, dan adil. Namun, sulit bagiku untuk menerima semua sifat Allah itu. Kisah penciptaan lalu berlanjut pada kisah kejatuhan manusia, namun kisah ini tak berhenti di sini. Kita tahu, Kristus datang membawa penebusan dan pemulihan bagi kita.

Dalam kebingunganku itu, aku mendapati tulisan yang menarik dari buku “Same Sex Attraction and the Church”, dituliskan oleh Vaughan Roberts. “Banyak dari orang Kristen mengaku percaya Alkitab sebagai otoritas tertinggi, namun berhala-berhala zaman kita, disadari atau tidak, memiliki pengaruh yang besar pada sikap kita dalam menafsirkan Alkitab.”

Kutipan itu menegurku. Aku mendalami hatiku. Apakah kisah-kisah dalam Alkitab bagiku hanyalah kisah yang ada di zaman dulu dan menjadi kisah usang yang tak lagi relevan dengan masa kini dan masa depan? Aku percaya Alkitab adalah firman Allah yang diberikan pada manusia, dan Allah sendiri adalah firman (Yohanes 1:1).

Kedaginganku berkata bahwa aku perlu memenuhi hasratku, mengikuti keinginan hatiku. Tapi, aku sadar bahwa aku adalah orang percaya yang diselamatkan karena iman, bukan karena perbuatanku. Untuk aku dapat mengalahkan keinginan dagingku, aku perlu sungguh percaya pada Tuhan. Percaya di sini bukan sekadar mengaku percaya, tetapi dalam hati memiliki persetujuan yaitu: secara yakin dan dengan kesadaran emosi menyetujui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat. Namun, tidak berhenti sampai di tahap percaya saya. Aku perlu unsur “fiducia”, yang berarti menyembah dan menyerahkan diriku sepenuhnya pada Allah. Sekadar tahu bahwa Yesus adalah Tuhan tidaklah cukup, sebab Iblis pun tahu siapa Yesus, bahkan setuju bahwa Dialah Juruselamat (Matius 8:29; Yakobus 2:19). Tahu dan setuju belum berarti menyerahkan diri sepenuhnya pada Yesus.

Ketika aku berserah, Tuhan justru menguatkanku. Dalam firman-Nya, Dia menegaskan bahwa Dia mengasihi dan memilihku sejak aku masih dalam kandungan (Yeremia 1:5). Aku dianggap agung dan diperhatikan (Ayub 7:17). Aku adalah anak-anak Allah dan tubuhku adalah bait-Nya (1 Korintus 6:19-20, 1 Yohanes 3:1).

Christopher Yuan, seorang hamba Tuhan yang pernah memiliki ketertarikan sesama jenis mengatakan:

“My identity should never be defined by my feelings. My feeling should not dictate who i am. My identity is not gay, or homosexual, or even heterosexual. But my identity ad a child of the Living God must be in Jesus Christ alone. God never told me “be heterosexual for I am heterosexual.” He said be holy for I am holy. Don’t focus on your sexuality , don’t focus upon your feelings, but focus upon living a life of holiness and living a life of purity.”

Identitasku tidak pernah ditentukan berdasarkan perasaanku. Perasaanku tidak seharusnya mendikte siapakah diriku. Identitasku bukanlah seorang gay/homoseksual atau heteroseksual sekalipun. Identitasku adalah aku sebagai anak Allah. Tuhan tidak pernah berbicara “karena aku heteroseksual, maka kamu harus heteroseksual”. Melainkan, “Kuduslah kamu , sebab Aku kudus.” (1 Petrus 1 : 16). Jangan fokus kepada perasaanmu, melainkan fokuslah kepada kekudusan hidup dalam Allah.

Lawan dari homoseksual bukanlah heteroseksual, melainkan kekudusan Allah. Aku sadar, jika aku hidup tanpa pergumulan ini dan hidup sebagai seorang heteroseksual, aku tetaplah berdosa jika aku tidak mengejar kekudusan Allah. Tidak ada dosa yang lebih besar maupun dosa yang lebih kecil. Di sinilah tahap pertamaku mulai belajar menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yesus, walau aku sendiri melihat pergumulanku terasa tak masuk akal.

Di tahap ini jugalah iman percayaku dibentuk. Aku disadarkan bahwa Tuhan tak pernah bermaksud jahat. Dia tidak menciptakanku sebagai seorang gay, namun karena kejatuhan manusia ke dalam dosalah aku jadi bergumul dengan perkara ini. Tetapi, justru dalam pergumulan dosa yang kumiliki inilah kisah penciptaan sampai penebusan Tuhan menjadi masuk akal bagiku, bahwa dosa telah merusak hidupku dan aku sungguh membutuhkan pertolongan dari-Nya. Tanpa adanya pergumulan ini sangat memungkinkan jika aku menjadi manusia sombong dan terhalang untuk mengenal Allah yang adalah kasih.

Untuk memiliki cara pikir sekarang yang kupunya tentu tidak instan. Berulang kali di tengah ketidakpercayaanku terhadap Tuhan, Dia selalu setia memberikanku arahan. Aku ingat pertengahan tahun lalu (2019), saat aku melakukan hobiku untuk hiking sendirian. Di tengah perjalanan aku dipertemukan dengan seseorang bapak yang tidak aku kenal. Dan aku ingat betul, percakapan kami ditutup dengan beliau berkata “Prinsip hidup saya sih, The Truth will set you free” (Yohanes 8 : 31-32).

Dengan tekanan perkara yang aku miliki, tentu aku sangat ingin bebas. Dan aku diingatkan dari percakapan ‘ajaib’ tersebut. Jika aku hidup berdasarkan firman Allah, maka kebenaran itu akan memerdekakan aku yang berdosa. Semenjak itu aku baru disadarkan bahwa membaca Alkitab adalah salah satu nafas orang Kristen selain berdoa. Aku tidak dapat hidup di luar Allah atau di luar firman-Nya. Di saat itulah Tuhan perlahan mengubahkanku, aku tidak lagi hidup berdasarkan pikiran maupun perasaan yang tidak pasti, melainkan hidup berdasarkan kebenaran firman Allah (Live by faith and not by sight). Arah mataku sekarang dimantapkan lagi untuk tertuju bukan kepada hal-hal dunia, melainkan kepada kekudusan dan kebenaran Allah.

Menceritakan kisah kasih Allah

Dengan anugerah dan pertolongan Allah sajalah aku akhirnya bisa menemukan perspektif baru dalam Tuhan terkait pergumulanku. Kisah yang menurutku dulu aku adalah seorang yang dikutuk, sekarang berubah sepenuhnya menjadi kisah bahwa aku adalah seorang yang amat dikasihi Allah. Begitu juga dengan kamu, jika saat ini kamu mengalami pergumulan serupa denganku.

Aku tahu bagaimana rasanya ingin menyerah dengan Injil, merasa firman Tuhan sulit, tidak relevan, dan tidak masuk akal untuk orang-orang sepertiku. Tetapi, saudaraku, ingatlah bahwa aku dan kamu telah dibeli lunas dengan darah-Nya yang kudus, dan sekarang tidak ada yang dapat memisahkan kita dengan kasih-Nya (Roma 8:35).

Aku tahu perjalanan ini tidak mudah, tetapi bukankah sebuah anugerah ketika kita bisa memikul salib dan menyangkal diri sebagai wujud kasih kita pada kasih Allah yang begitu besar? Kita bisa menjadikan penderitaan yang sama-sama kita alami sebagai bentuk ketaatan dan kasih kita kepada Allah (Filipi 1:29). Ketertarikanku mungkin akan tetap ada, namun setiap kali ketertarikan itu muncul aku bisa memilih pilihan-pilihan yang menyenangkan hati Tuhan, bukannya memilih pilihan yang membawaku pada dosa.

Saudaraku, sekarang izinkanlah dirimu didamaikan dengan Allah. Carilah Allah selama Dia berkenan ditemui (Yesaya 55:6). Dia setia menanti aku dan kamu datang kepada-Nya. Biarlah damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal itu terus memelihara, memperbaharui hati, pikiran, dan hidup kita dalam Kristus Yesus.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Mengupas Mitos Work-Life Balance: Di Manakah Tempat Pekerjaan dalam Kehidupan?

Work-life balance. Singkatnya, pekerjaan dan hidup harus seimbang supaya kita bisa menikmati hidup. Konsep ini menarik, tapi apa sih yang Alkitab katakan tentang ini?

Pergumulanku Sebagai Seorang Perempuan Biseksual

Oleh H.Y., Singapura
Ilustrasi oleh Emilia Ting
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Turning Away From My Bisexual Desires

Kali pertama aku menyukai seseorang adalah ketika aku berusia 14 tahun. Seingatku, dia yang kusukai itu usianya lebih tua dariku. Dia tidak terlalu cantik, tapi warna kulitnya kecoklatan, lesung pipinya terlihat lucu apabila dia tersenyum, dan dia juga cakap berolahraga.

Tapi, ada satu masalahnya: aku juga seorang perempuan.

Beberapa tahun kemudian, barulah aku menyadari bahwa aku tertarik kepada laki-laki dan perempuan—sebelumnya aku juga pernah menyukai beberapa laki-laki. Tapi, entah mengapa ketertarikanku kepada perempuan terasa lebih kuat. Keadaan ini membuatku bergumul dengan apa yang kurasakan. Aku merasa bingung dan tak mampu memahami hal ini. Ketika semua teman-teman perempuanku berbicara tentang para lelaki yang mereka sukai, mengapa aku berbeda?

Pada mulanya, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa apa yang kurasakan itu hanyalah sekadar bentuk kekagumanku kepada sesama perempuan, bukan perasaan cinta. “Dia lebih keren daripada aku, mungkin aku ingin menjadi seperti dia,” pikirku. Aku menyangkal diri dan menolak mengakui fakta bahwa aku menyukai perempuan.

Namun, seiring waktu berlalu, aku menyadari bahwa aku mencari semakin banyak kesempatan untuk melihat atau berbicara lebih banyak dengan si “dia” yang kusuka. Tanpa alasan yang jelas, aku berjalan melewati ruangan kelasnya, atau bersama teman-temanku, aku berusaha mendekati dia dan kelompoknya saat waktu istirahat berlangsung.

Waktu itu perasaan ini terasa asing buatku. Aku merasa bergumul sendirian karena aku tidak menemukan teman-teman lain yang juga memiliki pergumulan serupa denganku. Gerakan komunitas LGBT waktu itu belum terlalu muncul, dan tidak banyak dari mereka yang mau menampilkan diri di muka publik. Sampai saat ini pun aku masih takut untuk menceritakan bagaimana perasaanku sesungguhnya. Kedua orangtuaku tidak mengetahui bahwa aku mengalami ketertarikan baik kepada lawan jenis maupun sesama jenis.

Akan tetapi, di tengah kebingunganku, ada satu hal yang pasti, yaitu apa yang Alkitab katakan tentang homoseksualitas. Aku tumbuh besar di keluarga Kristen dan rajin mengikuti sekolah Minggu dan persekutuan pemuda. Pendeta di gerejaku berbicara terus terang tentang apa yang disebut Alkitab sebagai sesuatu yang “tidak saleh”. Meskipun aku tidak dapat mengingat dengan pasti khotbah-khotbah dengan topik seperti ini, aku tahu bahwa homoseksualitas bukanlah sesuatu yang Tuhan maksudkan untuk umat manusia.

Imamat 18:22 dengan jelas menegaskan: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” Melalui Alkitab, Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk menjalin relasi seksual yang terjadi dalam sebuah pernikahan (Markus 10:6-9).

Kita juga diminta untuk “menghindari percabulan” dan memuliakan Allah dengan tubuh kita yang adalah bait-Nya (1 Korintus 6:17-20). Dengan demikian, aku tahu bahwa tindakan homoseksual bertentangan dengan kehendak Allah dan aku harus berhenti memelihara perasaan suka kepada sesama jenis.

Pada mulanya, aku merasa bingung dan bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa Dia menganggap homoseksualitas sebagai sesuatu yang salah. Jika itu salah, mengapa Dia menciptakan aku untuk merasakan ketertarikan kepada sesama dan lawan jenis? Mengapa Dia tidak membuatku “normal” saja?

Di tahun ini usiaku akan menginjak 20 tahun dan aku masih bergumul dengan perasaanku. Aku tidak dapat berkata bahwa aku sudah sepenuhnya bebas dari perasaan ini. Faktanya, aku masih sangat bergumul. Tidak ada satu hari pun di mana aku tidak mengingat bahwa aku tertarik kepada sesama dan lawan jenis.

Orang-orang yang menarik perhatianku ada di sekitarku, baik itu perempuan-perempuan cantik, atau para lelaki ganteng. Penampilan mereka masih mencuri pandanganku dan aku masih tergoda untuk berfantasi tentang bagaimana rasanya bila bersama-sama dengan mereka.

Aku masih terus berjuang. Aku tidak tahu banyak tentang topik ini, tapi setelah membaca banyak artikel Kristen dan merefleksikannya dalam perjalanan hidupku, inilah tiga hal yang membantu mengingatkan dan menguatkanku dalam pergumulanku ini:

1. Mantapkan identitas diriku di dalam Kristus

Aku harus mengakui bahwa penerimaan yang semakin meningkat terhadap individu-individu LGBT di masyarakat dan seruan untuk merangkul LGBT sebagai identitas asli mereka itu sungguh menggoda. Akan tetapi, sebagai seorang Kristen, aku ingat bahwa pertama-tama dan terutama, aku adalah pengikut Kristus, bukan pengikut manusia atau diriku sendiri.

Sekali kita mendapatkan identitas yang sejati, yang lain tak lagi penting. Sejak aku menyadari bahwa identitasku sesungguhnya adalah anak Allah dan bukan seorang biseksual, aku tidak lagi mudah untuk dipengaruhi oleh perasaan-perasaaanku. Yesus datang dan mati untuk menebus dosaku dan memberiku hidup yang baru. Identitasku di dalam Kristuslah yang mampu mengalahkan perasaan-perasaanku. Oleh karena itu, aku tidak pernah merasakan benar-benar perlu untuk menjadikan perasaanku sebagai suatu kebanggaan untuk ditampilkan ke publik.

Dengan menyadari bahwa identitasku ada dalam Kristus, sekarang aku memiliki kuasa untuk melawan dosa. Harus kuakui, meskipun sulit untuk melakukannya, aku memiliki kemampuan untuk memilih bertindak selayaknya seorang anak Allah, dan bukan bertindak berdasarkan hasratku.

2. Usahaku sendiri tak akan mampu melawan tiap godaan

Tentu saja aku harus mengambil langkah-langkah yang aktif dan nyata untuk menjaga diriku dari jatuh ke dalam dosa. Aku mencegah diriku untuk bertemu dengan orang-orang yang mungkin bisa menyebabkan perasaan suka kepada sesama jenisku meningkat. Di Instagram, aku juga mengikuti akun-akun yang bisa berdampak buruk buatku.

Akan tetapi, cara-cara ini saja tidaklah cukup. Bersyukur, kita memiliki Allah. Ketika kita berseru kepada-Nya dalam doa, Dia mendengar kita. Matius 26:41 memberitahu kita untuk berjaga-jaga dan berdoa supaya kita jangan jatuh ke dalam pencobaan.

Yesus mengingatkan kita bahwa meskipun “roh adalah penurut, tetapi daging lemah”. Kita adalah manusia biasa yang bisa dengan mudah terjerat oleh dosa. Oleh karena itu, kita membutuhkan kekuatan yang lebih besar untuk bisa lepas dari dosa. Kekuatan itu hanya bisa didapat di dalam Kristus saja.

Ketika aku dicobai, aku belajar untuk berdoa dan menyerahkan hasrat-hasrat berdosaku kepada Allah. Aku berseru kepada-Nya dan memohon kekuatan dari-Nya supaya aku dapat taat. Kadang-kadang, aku mengambil waktu untuk berdiam diri dan berdoa memohon pertobatan. Aku meminta kepada-Nya supaya aku diberikan kekuatan untuk melawan setiap pencobaan.

3. Tuhan disenangkan ketika aku taat

Memalingkan diri dari sesuatu yang kita anggap begitu wajar bukanlah hal yang mudah. Aku menolak dosa bukan karena semata-mata aku tahu bahwa Alkitab mengatakan itu salah. Tetapi, karena aku tahu bahwa Bapa disenangkan ketika aku menaati-Nya.

Sebenarnya, Allah lebih berkenan kepada ketaatan kita daripada persembahan dan pelayanan kita (1 Samuel 15:22). Ketika kita taat, kita menyembah Dia dan menunjukkan kasih kita kepada-Nya (1 Yohanes 5:3). Kebenaran inilah yang memotivasi aku untuk taat kepada Allah.

Seperti orang-orang Kristen lainnya yang mungkin sedang berjuang dengan biseksualitas, aku berharap Tuhan akan menyingkirkan perasaan ini seutuhnya supaya hidupku dapat berjalan dengan lebih mudah dan aku tidak perlu berjuang untuk berpaling dari godaan.

Akan tetapi, aku percaya bahwa aku akan benar-benar dipulihkan dan tanpa cacat cela hanya ketika aku bertemu dengan Allah di surga dan segala dosa tak lagi melekat padaku. Saat ini, Allah memberikan kekuatan kepada anak-anak-Nya untuk melawan setiap cobaan dan menang atas dosa (1 Korintus 10:13). Dosa bukanlah tuan kita (Roma 6:14) dan kita dapat memilih untuk tidak lagi diperbudak oleh dosa (Roma 6:6). Kita bisa memilih Yesus daripada dosa.

Suatu hari, aku akan mendengar Allah Bapa berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Matius 25:21). Aku menantikan hari itu, hari ketika segala pengorbananku di dunia akan menjadi bermakna.

Baca Juga:

Pelajaran Berharga dari Skripsi yang Tak Kunjung Usai

Ketika aku masih menjadi mahasiswa tingkat akhir, aku menganggap skripsi sebagai momok yang begitu menakutkan. Tatkala teman-teman seangkatanku begitu bersemangat untuk segera lulus, aku malah membiarkan waktuku selama satu semester pertama terbuang percuma tanpa hasil apapun.

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

surat-kepada-diriku-yang-dulu-adalah-seorang-gay

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: A Letter To My Past (Gay) Self

Teruntuk Raphael,

Aku adalah dirimu sendiri di 10 tahun yang akan datang. Sebelum aku mulai berbicara tentang banyak hal, aku ingin kamu tahu bahwa Tuhan begitu mengasihimu dan kamu sangat berharga bagi-Nya.

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”

Aku mengerti. Perasaan bahwa perbuatanmu itu benar dan wajar tumbuh sejak kamu mulai merasakan gairah seksual terhadap laki-laki. Kamu merasa bahwa menyukai sesama lelaki adalah bagian dari jati dirimu dan kamu berpikir bahwa dengan mengikuti hasrat sebagai seorang gay, kamu dapat menemukan sebuah hubungan yang akan membuatmu bahagia.

Aku juga ingat sesuatu, Raph. Bagaimana mungkin aku bisa lupa tentang kisah cinta pertamamu dulu semasa kuliah? Jantungmu berdebar-debar tatkala lelaki yang kamu suka itu melihat ke arahmu, dan kamu juga membayangkan jika suatu saat dia bisa menggandeng tanganmu.

Aku juga ingat siapa yang menjadi pacar pertamamu. Kamu bertemu dengannya empat tahun kemudian. Aku tahu betapa bahagianya perasaanmu bersama dia.

Pasti ada banyak pertanyaan yang menggantung di benakmu sekarang. “Bagaimana bisa semua ini salah? Mengapa Tuhan melarangku untuk mengejar kebahagiaan? Mengapa Tuhan begitu kejam? Tuhan macam apa yang memintaku untuk menyangkal sesuatu yang kurasa sangat wajar bagiku?”

Mungkin saat ini sulit bagimu untuk percaya, tapi aku ingin memberitahu bahwa Tuhan memintamu berbuat demikian karena Dia begitu mengasihimu. Dia memanggilmu untuk keluar dari jerat hubungan sesama jenis. Tuhan itu tidak kejam seperti yang kamu pikirkan. Dia adalah Bapamu yang ingin menunjukkan kasih, anugerah, dan belas kasih-Nya kepadamu. Dia tidak ingin melihat dirimu perlahan dirusakkan oleh kehidupan yang dipenuhi oleh dosa.

Aku mohon, dengarkanlah aku. Pada akhirnya, aku telah melihat kebenaran di balik apa yang Tuhan telah lakukan selama 10 tahun, dan aku ingin membagikan kepadamu hal-hal apa saja yang telah aku pelajari—hal-hal yang kelak akan kamu lihat sendiri.

Menjadi seorang gay bukanlah dirimu yang sebenarnya. Ketika kamu menjadi seorang Kristen, sesungguhnya kamu telah menjadi anak Allah. Itulah identitasmu yang sejati, dan karena itu jugalah Bapamu selalu memperhatikanmu. Dia memanggilmu “anak”. Ya, kamu memang tertarik kepada sesama lelaki, tapi itu hanyalah apa yang kamu rasakan, bukan dirimu yang sesungguhnya. Kamu memiliki gairah sebagai seorang gay, tapi sejatinya kamu bukanlah seorang gay. Yang pertama, terutama, dan sampai selama-lamanya kamu adalah seorang anak yang begitu dikasihi oleh Allah.

Aku tahu kalau perasaan menyukai sesama lelaki itu terasa wajar bagimu. Aku pun masih bisa merasakan perasaan itu. Akan tetapi, Tuhan telah menunjukkan kepadaku, dan kelak Dia juga akan menunjukkannya kepadamu bahwa hasrat menyukai lelaki itu tidaklah wajar seperti yang ada dalam pikiranmu.

Apakah kamu masih ingat kalau dulu kamu selalu menginginkan untuk memiliki seorang kakak laki-laki yang dapat menjadi teladan ketika kamu beranjak dewasa? Ketika masih di sekolah dasar dulu, kamu mengagumi seorang anak laki-laki yang lebih tua darimu. Kamu menganggapnya sebagai seorang kakak dan kamu ingin diperhatikan olehnya. Lalu, apakah kamu juga ingat kalau dulu kamu begitu membenci masa-masa ketika kamu duduk di bangku SMP? Kamu sangat ingin bergaul akrab dengan laki-laki yang ada di kelasmu, namun ternyata kamu tidak dapat melakukannya. Tidakkah kamu menyadari kalau kedua hal ini ternyata saling berhubungan? Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa kedua kisah ini terjadi karena dulu aku ingin seorang laki-laki mengajariku tentang bagaimana caranya menjadi laki-laki yang sejati.

Ketika keinginanmu untuk bergaul akrab dengan laki-laki di kelasmu itu tidak dapat terwujud, kemudian mulai tumbuh rasa suka kepada mereka, itu bukanlah suatu kebetulan. Keinginanmu untuk menjadi seperti mereka, ditambah lagi dengan masa pubertas yang kamu alami kemudian mengubah rasa suka itu menjadi hasrat untuk semakin mendambakan mereka.

Beberapa tahun belakangan ini, Tuhan menolongku untuk mengerti bahwa yang sesungguhnya aku inginkan adalah jati diri sebagai seorang laki-laki dan sebuah hubungan yang intim. Hubungan itu seharusnya aku dapatkan dari ayahku saat aku sedang bertumbuh dewasa. Jauh di dalam lubuk hatimu, sesungguhnya yang kamu inginkan adalah kasih sayang, rasa aman, dan perhatian dari seorang ayah.

Hasratmu untuk menjadi seorang gay bukanlah dirimu yang sesungguhnya. Mengejar hubungan sebagai seorang gay tidak akan membawamu kepada kebahagiaan yang sejati. Kenyataannya, pengejaranmu itu akan semakin menjauhkanmu dari apa yang sesungguhnya kamu butuhkan. Apa yang sesungguhnya kamu butuhkan adalah belajar tentang bagaimana membangun identitasmu sebagai seorang laki-laki sejati, dan menjadi hubungan yang akrab dengan laki-laki lainnya, namun bukan tentang bagaimana berhubungan seksual dengan mereka.

Semua ini mungkin terdengar rumit dan aneh bagimu sekarang, tapi aku akan mencoba menjelaskannya padamu dengan cara yang lain. Kamu tahu kalau selama ini kamu terus berusaha menjalin suatu hubungan yang sempurna dengan seorang laki-laki, tapi kamu tidak pernah mendapatkannya bukan? Awalnya kamu berpikir bahwa dia adalah laki-laki yang tepat, tapi kemudian tatkala kamu semakin dekat mengenalnya, kamu malah merasa bahwa dia bukanlah laki-laki yang tepat. Lalu, apakah kamu juga ingat betapa hancurnya hatimu ketika harapan-harapan yang kamu inginkan itu sirna? Semua itu terasa sulit dimengerti, bukan? Pernahkah terpikirkan olehmu bahwa kegagalan demi kegagalan untuk mendapatkan laki-laki yang tepat itu menunjukkan bahwa sesungguhnya yang kamu butuhkan itu bukanlah seorang laki-laki?

Pada kenyataannya, pencarianmu untuk menemukan laki-laki yang tepat itu justru semakin membawamu kepada putus asa dan rasa frustrasi. Ketika kamu merasa begitu kesepian dan mendambakan sebuah hubungan yang intim, kamu malah melarikan diri dengan meminum alkohol dan melakukan seks bebas dengan harapan kamu bisa menghilangkan rasa pedihmu secara instan. Kamu tahu kalau sesungguhnya pelarianmu kepada alkohol dan seks bebas itu hanya memberimu kenyamanan yang sementara dan akan membawamu ke dalam jurang dosa yang semakin dalam.

Kemudian, rasa bersalah dan malu akan datang menghantuimu sehingga kamu berbalik kepada Tuhan, memohon pengampunan-Nya dan berjanji kalau kamu tidak akan melakukan hal-hal itu lagi. Tapi, tidak lama setelah itu kamu malah terjatuh kembali ke ldalam dosa yang sama. Aku mengerti rasa sakit yang kamu rasakan ketika dirimu terjebak dalam lingkaran dosa itu. Aku tahu betapa dalamnya rasa penyesalanmu setiap kali kamu terjatuh lagi ke dalam dosa. Aku juga tahu betapa muak dan lelahnya dirimu karena terus menerus terjatuh dalam dosa-dosa ini.

Lalu, apakah kamu juga ingat malam-malam ketika kamu menangis sampai akhirnya jatuh tertidur? Aku ingat kalau di suatu malam kamu pernah menangis dengan tersedu-sedu karena kamu merasa begitu kesepian. Sebenarnya, saat itu kamu hanya tidak tahu bagaimana caranya untuk berbahagia. Apakah kamu ingat apa yang Tuhan katakan kepadamu malam itu? Dia berkata, “Percayalah kepada-Ku.” Aku tahu bahwa beberapa tahun setelah itu pun kamu masih tidak percaya bahwa Tuhan dapat memberimu kebahagiaan yang sejatinya kamu dambakan. Aku berada di sini untuk memberitahumu bahwa Tuhan adalah setia. Dia selalu menepati janji-Nya, namun bukan dengan cara-cara seperti yang ada dalam pikiranmu. Dia yang Maha Tahu akan memberimu sesuatu yang jauh lebih baik.

Tuhan akan menunjukkan kepadamu bahwa ada banyak orang Kristen yang juga memiliki hasrat sebagai seorang gay, tapi mereka lebih memilih untuk taat kepada Tuhan dengan cara tidak melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan hasrat itu. Ada cara-cara lain yang lebih baik untuk menjalani kehidupan. Tuhan jugalah yang akan membawamu kepada orang-orang Kristen yang dapat berjalan bersamamu dalam perjalanan hidup ini. Aku menjamin bahwa sekalipun tantangan-tantangan akan tetap ada, kamu akan mengalami lebih banyak sukacita dan kedamaian di dalam hidup yang taat kepada Tuhan dan jalan-jalan yang Dia berikan.

Tuhan ingin menyembuhkan setiap bagian hatimu yang terluka dan hancur. Membiarkan dirimu larut ke dalam hubungan sesama jenis tidak akan pernah membuat dirimu merasa utuh; itu hanya akan membuat luka-luka dalam hidupmu semakin dalam. Percayalah kepadaku, aku sudah pernah mengalami itu semua. Sekarang aku menyadari bahwa Tuhan itu penuh belas kasih dan Dia sungguh mengasihimu ketika Dia memintamu untuk berhenti mengikuti hasrat gaymu itu. Ketika kamu membiarkan dirimu larut dalam hasrat gay itu, kamu hanya menyakiti dirimu sendiri. Bagaimana bisa seorang Bapa yang begitu baik memilih untuk diam saja dan membiarkan anak-Nya terus terjatuh ke dalam dosa yang membawa kepada kepedihan?

Tuhan ingin menyembuhkan hatimu yang hancur dan membalut luka-lukamu (Mazmur 147:3). Akan tetapi, kamu harus berhenti menyakiti dirimu sendiri supaya Tuhan dapat membalut luka-luka itu. Berdiam dirilah, jangan melawan, dan kamu akan tahu bahwa Dia adalah Tuhan yang mengampuni dan memulihkanmu (Mazmur 46:11, Mazmur 103:3).

Ya, memang sampai saat itu rasa tertarik kepada sesama laki-laki itu masih ada, tapi aku telah memutuskan untuk tidak lagi mengikuti hasrat itu. Sekarang, aku mampu mengatasi hasrat itu setiap kali ia muncul. Tapi, kamu harus tahu kalau sekarang aku justru merasa jauh lebih berbahagia dan damai daripada dulu ketika aku masih berusaha untuk menjalin hubungan sebagai seorang gay. Mungkin saat ini kamu masih belum mengerti, tapi percayalah. Kamu bisa percaya kepadaku; aku telah mengalami semua itu, Raph. Kamu harus tahu bahwa Tuhan dapat dipercaya. Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan jangan bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Dia akan meluruskan jalanmu (Amsal 3:5-6).

Teruslah berpegang kepada Tuhan, karena Dia juga terus memegangmu. Kelak, kamu juga akan merasakan seperti apa yang dirasakan oleh Yakub ketika ia bergulat dengan seorang malaikat Tuhan (Kejadian 32:22-32). Jangan pernah lepaskan Tuhan. Sekalipun kamu merasa begitu banyak pergumulan yang kamu hadapi, atau kamu merasa sangat lemah dan ingin menyerah, jangan pernah lepaskan Tuhan dari hidupmu. Pergulatanmu dengan setiap tantangan dan cobaan yang kamu hadapi akan setimpal dengan hasil yang kamu terima. Sama seperti Tuhan memberkati Yakub, demikian juga Dia akan memberkati kamu lewat setiap pergumulan yang kamu hadapi.

Ketika kamu berpegang pada Tuhan, kamu akan semakin mengenal-Nya lebih dekat. Kamu akan mengetahui bahwa Tuhan bukanlah Tuhan yang tidak peduli atau tidak masuk akal. Dia begitu mengasihimu sehingga Dia tidak akan pernah meninggalkanmu. Dia peduli akan keadaanmu dan Dia selalu ingin memberikan yang terbaik kepadamu. Dia adalah Bapa yang penuh kasih, Dia ingin kamu berada dalam rencana-Nya yang terbaik. Semua itu Dia lakukan untuk menyelamatkanmu dari rasa sakit dan penderitaan.

Jadi, janganlah kamu salah paham terhadap Tuhan. Dia bukanlah Tuhan yang kejam. Lewat campur tangan-Nya yang ilahi dalam kehidupanmu, Tuhan sedang menunjukkan cinta, anugerah, dan belas kasih-Nya kepadamu. Dia memanggilmu keluar dari kehancuran supaya kamu mendapatkan keutuhan. Dia memanggilmu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9).

Maukah kamu mempercayai Tuhan? Maukah kamu berpegang kepada-Nya? Maukah kamu membiarkan-Nya memberkati dirimu?

Dari dirimu sendiri di masa depan

Baca Juga:

Ketika Aku Tidak Bisa Merasakan Hadirat Tuhan

Dalam sebuah acara konvensi nasional, aku begitu berharap dapat merasakan hadirat Tuhan di situ. Tapi, orang-orang lain tampak begitu menikmati hadirat Tuhan, aku malah tidak merasakan apapun. Sejujurnya aku kecewa, tapi kemudian aku menemukan bahwa ternyata aku telah salah mengartikan kehadiran Tuhan.

Ketika Aku Bersedia untuk Diproses Tuhan

Oleh: Risky Samuel

ketika-kubersedia-diproses-Tuhan

Lahir dalam keluarga Kristen, tinggal di kota dengan mayoritas penduduk Kristen, tidak membuat hidupku lebih mudah dijalani. Sama seperti kebanyakan anak muda, aku pun bergumul dengan berbagai masalah, terutama dalam proses pencarian jati diri. Keluargaku berantakan, dan sejak kecil aku kehilangan kasih sayang orangtua, khususnya papa. Aku tumbuh sebagai anak yang haus kasih sayang, dan dengan mudah aku dipengaruhi oleh teman-temanku untuk mencari kasih di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Kehausanku akan kasih seorang papa membawa aku kemudian terlibat dalam hubungan homoseksual.

Awalnya aku merasa baik-baik saja. Bukankah wajar kita mencari komunitas yang mau menerima kita, mengasihi kita, dan peduli pada kebutuhan kita? Pikiranku membela diri. Aku hanya berusaha mencari kasih sayang yang tidak kutemukan di dalam keluarga. Aku bersyukur untuk pasanganku. Aku yang tadinya sudah suam-suam kuku di gerejaku, bahkan diajak pasanganku untuk kembali mencari Tuhan. Aku mengikutinya ke gereja, dan dilayani hingga menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Kami aktif melayani. Aku bahkan merayakan Natal bersama dengan keluarganya. Tidak ada yang menegur kami, karena mereka tidak tahu bahwa kami adalah pasangan gay.

Pada akhirnya, firman Tuhan sendirilah yang menegurku. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa hubungan antara sesama jenis adalah dosa dan kekejian di mata Tuhan (Imamat 20:13; 1 Korintus 6:9-10). Namun, untuk keluar dari dunia yang telah kuhidupi selama bertahun-tahun lamanya, sangatlah sulit. Dengan berbagai cara aku berusaha membenarkan diri. Bukankah Tuhan yang menciptakan aku seperti ini? Bukankah aku tidak merugikan orang lain? Bukankah yang penting aku hidup dalam “kasih”?

Amsal 16:2 menegurku dengan keras, “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.” Tuhan tahu betul apa yang ada di dasar hatiku. Tuhan tahu kalau aku lebih percaya kata hatiku sendiri daripada percaya firman-Nya. Tuhan tahu kalau aku lebih mengasihi kenikmatan hubunganku dengan pasanganku daripada mengasihi-Nya. Aku sangat menyesal telah melangkah terlalu jauh dalam hubunganku dengan sesama jenis, namun aku juga merasa tidak punya harapan lagi untuk dapat dipulihkan.

Bersyukur bahwa Tuhan tidak meninggalkanku. Ketika aku bersungguh-sungguh mencari-Nya dengan segenap hati, Dia memampukanku untuk akhirnya bisa lepas dari pola hidup yang lama. Selama 3 tahun lebih aku berjuang melawan godaan untuk kembali berhubungan dengan sesama jenis. Teman-teman lamaku itu selalu baik dan siap menerimaku apa adanya. Sementara, keluarga dan teman-teman yang lain justru kerap merendahkan aku karena masa laluku. Jujur saja, hingga kini godaan yang sama masih kerap mengganggu, namun firman Tuhan menjadi benteng pertahananku. Tantangan itu juga menyadarkanku bahwa yang lebih penting adalah penilaian Tuhan, bukan manusia. Ketika aku merasa nyaris putus asa dan mulai menyalahkan situasi atau orang lain sebagai penyebab masalahku, firman Tuhan mengingatkan aku bahwa semua ini terjadi bukan karena salah siapa-siapa, tetapi “karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan” di dalam diriku (Yohanes 9:3). Aku pun dikuatkan untuk tetap bergantung kepada Tuhan saja. Aku menyadari bahwa hidup ini bukan sekadar untuk memuaskan keinginan hatiku belaka, tetapi untuk memuliakan Tuhan, Pencipta hidupku.

Dalam budaya serba instan di abad ini, kebanyakan kita menghendaki segala sesuatu bisa terwujud dengan cepat. Termasuk dalam perjalanan iman kita. Kita berharap begitu percaya kepada Yesus, semua masalah kita bisa langsung beres, semua orang mendukung kita, dan keberhasilan mengejar kita tanpa kita perlu berusaha. Faktanya, kita hidup dalam dunia yang tidak ideal, dan firman Tuhan memberitahu kita bahwa perjalanan kita tidak akan mulus-mulus saja.

Proses pembentukan Tuhan bagi setiap kita mungkin berbeda-beda. Apa yang kualami mungkin tidak sama dengan apa yang kamu alami. Tetapi satu hal yang pasti, kita perlu sabar dengan yang namanya proses. Perhiasan emas yang indah dan tinggi nilainya, dibentuk lewat proses pemurnian dan pembentukan yang panjang. Tidak terjadi begitu saja. Seringkali hidup kita tidak mengalami perubahan apa-apa karena kita tidak sabar dalam proses, takut untuk diproses, atau tidak mau diproses oleh Tuhan. Kita memilih kembali pada pola hidup kita yang lama. Amsal 16:32 menyemangati kita dalam menjalani proses pembentukan Tuhan, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.”

Apapun yang teman-teman alami di masa lalu, yuk kita sama-sama berjuang menjalani hidup ini ke depan! Mari luangkan waktu untuk terus isi pikiran kita dengan kebenaran firman Tuhan, di manapun kita berada, agar kita tidak mudah terpengaruh oleh pola pikir dunia. Ada saatnya kita mungkin akan jatuh, tetapi Tuhan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk menolong kita bangkit kembali. Dia Mahatahu dan memahami segala pergumulan kita, Dia tidak akan membiarkan kita sendirian.