Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

aku-tidak-lolos-seleksi-masuk-perguruan-tinggi-negeri-haruskah-aku-kecewa

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain. Setelah lulus SMA, aku tidak berhasil mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri ataupun masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan.

Dulu tidak pernah terbayang dalam pikiranku kalau jurusan kuliah yang kuambil sekarang ternyata bertolak belakang dengan jurusan yang kuambil di SMA. Sekarang aku belajar tentang Bisnis, sedangkan di SMA aku masuk jurusan IPA. Ibuku adalah seorang dokter sehingga awalnya aku sempat mengira kalau aku akan kuliah di kedokteran nantinya.

Orangtuaku ingin salah satu anaknya meneruskan karier sebagai dokter. Lalu, guru-guru dan teman-temanku di SMA juga mendorongku untuk masuk ke jurusan kedokteran karena mereka beralasan kalau nilai-nilaiku yang baik itu akan memudahkanku untuk diterima di jurusan kedokteran. Akhirnya aku mencoba mendaftarkan diriku ke Jurusan Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri melalui jalur tanpa tes seraya berharap supaya prestasiku selama SMA bisa menolongku untuk diterima di sana.

Ketika aku harus kecewa

Tapi, ternyata Tuhan tidak membukakan jalan untukku berkuliah di perguruan tinggi negeri itu. Ketika mendaftar lewat jalur undangan (non-tes), aku gagal, lalu aku juga mencoba kembali di jalur tes namun hasilnya tetap sama.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga mencoba mendaftar di perguruan tinggi swasta. Aku coba untuk mendaftar di Jurusan Kedokteran, Arsitektur, dan Desain Interior di beberapa perguruan tinggi. Setelah mengikuti rangkaian seleksi, aku diterima di Jurusan Kedokteran di salah satu kampus di Jakarta. Tapi, ayahku tidak setuju karena takut apabila aku tidak menikmati kuliahku di sana, selain itu beliau juga kurang percaya dengan kualitas pendidikan di sana. Aku juga diterima di Jurusan Desain Interior di salah satu kampus di Tangerang, tapi setelah aku melakukan survei ke kampus itu, aku merasa kalau lingkungannya tidak nyaman untukku.

Waktu itu aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Jika Dia mengizinkanku untuk bisa kuliah di tahun itu, aku sungguh bersyukur. Tapi, jika tidak pun aku mau tetap percaya kepada-Nya. Aku telah beberapa kali gagal masuk ke perguruan tinggi yang kuingini, dan juga aku sendiri masih ragu dengan perguruan tinggi mana yang sebenarnya aku inginkan. Walaupun aku sudah mempersiapkan yang terbaik untuk mengikuti tes itu, tapi selalu saja ada pertanyaan yang menggantung di benakku, “Apakah ini yang benar-benar kamu inginkan?”

Ayahku mendorong anak-anaknya untuk kelak dapat berwirausaha dengan membuka bisnis sendiri. Kemudian aku berpikir mengapa tidak mencoba saja untuk belajar tentang kewirausahaan itu? Akhirnya aku mencoba mendaftar ke Jurusan Bisnis di perguruan tinggi tempat kakakku belajar.

Awalnya ayahku sempat meragukan keputusanku itu. Tapi, menurutku, perguruan tinggi tempat kakakku belajar itu sangat baik dan aku pernah mengikuti kompetisi di sana. Aku sempat pesimis karena aku mendaftar di gelombang kedua sebelum terakhir dan ternyata tes masuknya sangat sulit. Namun, syukur kepada Tuhan karena aku dinyatakan lolos untuk masuk ke Jurusan Bisnis dan keluargaku masih memiliki tabungan yang cukup untuk melunasi semua biaya masuknya.

Kekecewaan yang perlahan berbuah manis

Dulu aku pernah merasa khawatir kalau sehabis lulus SMA aku tidak bisa langsung kuliah di tahun itu. Aku juga khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan terhadapku, sampai-sampai aku juga menjadi ragu apakah Jurusan Bisnis yang kuambil ini adalah yang paling tepat buatku atau bukan. Pilihanku untuk kuliah di jurusan Bisnis membuat beberapa teman dan guru-guruku di SMA kecewa. Mereka berharap kalau aku seharusnya berusaha lebih untuk mendapatkan kuliah di Jurusan Kedokteran. Selama tahun pertama kuliahku aku merasa dihantui oleh pandangan mereka.

Tapi, ternyata setelah aku menjalani kuliah ini selama dua tahun, perlahan aku mulai menikmatinya. Tuhan memberiku berbagai kesempatan untuk berkarya di kampus, salah satunya dengan terlibat aktif dalam lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari lembaga itu aku belajar tentang kepemimpinan. Salah satu anugerah Tuhan yang awalnya tak pernah aku pikirkan adalah aku mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil ketua di kegiatan orientasi mahasiswa baru untuk angkatan 2016. Selain di BEM, aku juga aktif terlibat dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) orkestra sebagai seorang violist. Aku bersyukur karena aku bisa memaksimalkan talenta dan hobiku dalam kegiatan ini.

1 Korintus 2:9 mengatakan “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Ayat ini benar adanya. Apa yang dipikirkan oleh manusia ternyata berbeda dengan apa yang dirancangkan oleh Yang Mahakuasa. Pikiran-Nya jauh lebih rumit dan tinggi. Rencana-Nya jauh lebih besar dan indah.

Dari kampusku sekarang inilah aku belajar tentang kepemimpinan dalam organisasi yang kuikuti. Pengalaman yang aku dapatkan itu bisa kuterapkan dalam pelayananku sebagai ketua remaja di gereja. Aku belajar mengatur jadwal pelayanan dengan efektif, mendistribusikan tanggung jawab secara adil kepada masing-masing panita.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa memilih perguruan tinggi bukanlah semata-mata karena gengsi. Kita tidak boleh lupa cita-cita dan talenta apa yang kita miliki. Pilihlah jurusan yang membuat kita menikmati setiap prosesnya. Namun, jangan lupa juga untuk selalu libatkan Tuhan dan orangtua kita dalam membuat keputusan ini.

Sebuah anugerah dalam jawaban tidak

Aku belajar bahwa ketika Tuhan menjawabku dengan jawaban “tidak”, itu pun merupakan sebuah anugerah. Jawaban tidak itu memberi kita kesempatan untuk percaya kepada-Nya senantiasa dan percaya bahwa Dia memberikan sesuatu yang indah tepat pada waktu-Nya asalkan kita berani untuk mempercayai-Nya, mendengarkan-Nya, dan melakukan perintah-Nya.

Aku juga belajar bahwa apapun jawaban Tuhan untuk kita, yang wajib kita lakukan adalah percaya sepenuhnya dan berserah kepada Tuhan. Kita juga harus berani melakukan yang terbaik dalam kesempatan itu. Aku bersyukur Tuhan menyediakan orang-orang yang melengkapi setiap kebutuhanku.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yesaya 55:8).

Baca Juga:

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”

Menjamah Seseorang

Rabu, 26 April 2017

Menjamah Seseorang

Baca: Lukas 5:12-16

5:12 Pada suatu kali Yesus berada dalam sebuah kota. Di situ ada seorang yang penuh kusta. Ketika ia melihat Yesus, tersungkurlah ia dan memohon: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”

5:13 Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu, dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya.

5:14 Yesus melarang orang itu memberitahukannya kepada siapapun juga dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan seperti yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.”

5:15 Tetapi kabar tentang Yesus makin jauh tersiar dan datanglah orang banyak berbondong-bondong kepada-Nya untuk mendengar Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka.

5:16 Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa.

Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu. —Lukas 5:13

Menjamah Seseorang

Para penumpang dalam kereta Canadian Metro menyaksikan sebuah peristiwa menegangkan yang berakhir dengan mengharukan. Mereka melihat seorang wanita berusia 70 tahun mengulurkan tangannya dan menjamah dengan lembut seorang pemuda yang sempat berteriak-teriak dan mengumpat hingga membuat khawatir penumpang lainnya. Kebaikan wanita tua itu dapat menenangkan si pemuda yang akhirnya rebah ke lantai kereta dengan berderai air mata. Anak muda itu berkata, “Terima kasih, Nek,” lalu berdiri dan pergi dari sana. Wanita tua itu mengakui bahwa ia sebenarnya takut. Namun, ia berkata, “Saya seorang ibu dan anak muda itu butuh sentuhan seseorang.” Mungkin lebih bijak baginya untuk menjaga jarak, tetapi wanita itu memilih untuk mengambil risiko dengan menunjukkan kasih kepada si pemuda.

Yesus memahami belas kasihan semacam itu. Dia mengesampingkan rasa takut orang banyak saat melihat seorang laki-laki yang tubuhnya penuh kusta muncul dan memohon untuk disembuhkan. Yesus juga berkuasa, tidak seperti para pemimpin agama yang tidak sanggup menolong dan yang mungkin hanya dapat mengutuk orang kusta karena membawa penyakitnya masuk ke desa (Im. 13:45-46). Sebaliknya, Tuhan Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah seseorang yang mungkin belum pernah disentuh oleh siapa pun selama bertahun-tahun, lalu menyembuhkannya.

Syukurlah, demi laki-laki itu dan demi kita, Yesus datang untuk memberikan apa yang tidak dapat diberikan oleh hukum mana pun, yakni jamahan tangan dan hati-Nya. —Mart DeHaan

Bapa di surga, tolonglah kami untuk melihat diri kami dan satu sama lain seperti penderita kusta itu—dan dari sudut pandang Anak-Mu yang dengan penuh belas kasihan menjamah dan menyembuhkannya.

Tidak ada orang yang terlampau najis atau berdosa untuk dijamah oleh Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 23-24; Lukas 19:1-27