Posts

Makna Sebenarnya di Balik Bekerja untuk Tuhan

Oleh Gabrielle Meiscova, Bandung

Tahun 2023, sebuah babak baru dalam hidupku yang terukir dengan cerita yang begitu rumit. Atas permintaan atasan, aku memberanikan diri untuk pindah ke kantor pusat yang berlokasi di Bandung. Awalnya, sulit memahami rencana Tuhan di balik langkah ini. Namun, seiring berjalannya waktu, dan karena pertolongan Tuhan, Ia mengijinkan aku untuk merantau.

Perjalanan jauh dari keluarga dan gereja tercinta membawa kejutan yang tak terduga. Saat jarak memisahkan aku dan komunitas yang sudah terbangun di lingkungan gereja, alih-alih merasa kesepian, justru malah ada komunikasi intim dengan Tuhan yang tumbuh begitu kuat. Bahkan menurutku hubungan dengan Tuhan di perantauan ini jauh lebih kuat dari sebelumnya. Aku percaya bahwa ini adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa meski keberadaan keluargaku jauh, Ia selalu ada untuk menjagaku.

Kehidupan yang terlihat sangat baru, kini bisa kujalani tanpa sendu. Aku bisa melewati hari-hari di lingkungan baru ini karena berkat dari Tuhan. Tidak ada rekan kerja yang toksik. Tidak ada drama di lingkungan kerja yang bikin pusing. Semuanya tampak normal seakan Tuhan menjawab doa-doa yang pernah kupanjatkan sebelumnya. Hingga tibalah sebuah masalah yang membuatku mempertanyakan, “Kenapa seperti ini ya, Tuhan?”

Suatu hari, aku mengetahui bahwa ada oknum yang menyalahgunakan uang perusahaan yang seharusnya menjadi bonus bagi karyawan yang telah menyelesaikan masa probation dan kontrak pertama. Bonus dan hak yang seharusnya milikku lenyap begitu saja. Kala itu, aku merasa sangat marah. Aku marah kepada Tuhan bukan hanya karena uang yang menjadi hakku lenyap begitu saja. Aku marah karena Ia tidak menjawab doaku yang selalu kuucapkan setiap hari tentang “jauhkanlah anak-Mu ini dari orang-orang yang menjatuhkan dan mereka yang tidak baik bagi kehidupan anak-Mu ini”. Aku marah kepada Tuhan karena permasalahan ini terjadi menjelang bulan Desember, momen di mana kerabat dan keluarga berkumpul, dan aku yang seorang anak sulung dari orang tua yang sudah tidak lagi bekerja, harus mengeluarkan banyak uang untuk persiapan menjelang Natal.

Sampailah aku di suatu masa ketika aku selalu menangis sepulang kerja. Sesampainya aku di kosan, aku menangis tak henti-hentinya. Di malam itu, dadaku terasa sesak. Di dalam hati, aku berteriak, “Ya Tuhan, kenapa hal ini terjadi padaku? Apa yang Kau inginkan? Tidakkah aku sudah menjadi anak yang taat kepadamu? Sampai berapa lama lagi aku harus menunggu uang yang seharusnya aku pakai untuk kebutuhan keluargaku?”

Di malam itu, aku langsung membuka Alkitab. Aku membukanya secara random tanpa melihat buku renungan. Aku mencari ayat favoritku di Lukas 1:37 yang menyatakan “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil”. Lalu, aku pun membaca keseluruhan perikop di Lukas 1:26-38.

Di dalam perikop ini, Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk menjumpai Maria. Malaikat Gabriel memberitahu Maria bahwa Tuhan memilihnya untuk menjadi alat dalam rencana-Nya yang ajaib, yaitu mengandung dan melahirkan Yesus, Sang Juruselamat dunia. Namun, di ayat 34, Maria mengatakan, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”

Di ayat ke 38, aku membaca ayat ini sampai berkali-kali, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Kalau saat itu Maria berpikir sebagai manusia pada umumnya, ia bisa saja tidak percaya. Kalau kita berpikir secara manusiawi, bagaimana bisa seorang perempuan tidak bersuami bisa mengandung? Sekalipun hal itu terjadi, orang-orang pun tidak akan percaya jika mengetahui ada seorang perempuan yang hamil tanpa pernah melakukan perkawinan.

Saat itulah aku menyadari bahwa Maria memiliki kerendahan hati. Ia menyadari bahwa ia bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan. Maria sadar ia hanyalah hamba Tuhan. Ia hidup untuk Tuhan. Ia tahu bahwa Tuhan berhak memperlakukan dirinya sesuai kemauan-Nya. Sebagai hamba Tuhan yang taat, Maria percaya bahwa Tuhan pun tidak akan memberikan kecelakaan pada anak-anak-Nya, apalagi kepada mereka yang patuh dan setia kepada-Nya. Yeremia 29:11 juga mengatakan: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Cerita tentang Maria membuatku sadar. Hidupku ini adalah milik Tuhan. Di masa kehamilannya pun Maria pasti mendapat banyak hujatan. Tapi, karena Maria adalah anak Tuhan, ia tidak merasa khawatir dan senantiasa percaya kalau Tuhan akan terus menjaganya. 

Sebagai anak Tuhan, aku seharusnya sadar kalau Tuhan yang mencukupkan segala yang kubutuhkan. Bahkan hingga saat ini, Ia selalu memberikan berkat-Nya padaku. Aku bisa makan dan minum, itu karena berkat Tuhan. Aku bisa punya pakaian yang layak pakai, itu karena Tuhan. Aku bisa punya pekerjaan, itu karena Tuhan yang memberikannya untukku. Aku bisa menulis kesaksian ini, itu pun karena Tuhan mau agar aku terus memberitakan Injil kepada orang lain. Jika aku dan kamu diberikan tantangan hidup, ingatlah bahwa Tuhan akan memberikan kita kekuatan untuk bisa melewatinya. Jika ada permasalahan di kantor, di keluarga atau dalam pergaulan, ingatlah bahwa ini adalah tanda bahwa Tuhan selalu memperhatikan kita. Terkadang, mungkin di tengah segala kesibukan duniawi, Ia juga mau kalau kita terus mengingatNya. Dalam suka dan duka, ingatlah untuk selalu libatkan Tuhan dalam segala hal yang kita lakukan. Berkomunikasilah dengan Tuhan, bukan hanya saat kita sedang susah saja, tetapi juga saat kita sedang bersukacita.

Banyak dari kita yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Tapi, nyatanya, kita bekerja untuk Tuhan. Ia yang memberikan pekerjaan itu kepada kita. Melalui perjalanan ini, aku belajar bahwa ucapan syukur tidak hanya untuk kebahagiaan, tetapi juga sebagai cara mengungkapkan iman dalam segala situasi. Tuhan tidak hanya hadir di tengah upaya kita untuk meraih keberhasilan, tetapi juga di tengah kegagalan dan penderitaan.

Hidup yang kekal adalah hadiah yang akan Tuhan berikan pada aku dan kamu. Saat teringat dengan berbagai pergumulan hidup, ingatlah bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Pekerjaan yang kita miliki hanyalah sementara. Rumah yang kita tinggali pun hanyalah sementara. Kebahagiaan yang kamu peroleh pun hanyalah sementara. Dengan memiliki kerendahan hati seperti Maria, aku percaya bahwa Tuhan pun akan bekerja dengan cara yang luar biasa.

Maukah kita menjadi pribadi yang taat seperti Maria? Hingga saatnya tiba, ketika Tuhan memuliakan kita, ingatlah untuk selalu menjadi anak yang taat. Sehingga ketika kita diberkati, kita pun bisa memberkati orang lain, serta tentunya bisa memuliakan Bapa di Sorga.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Doaku Hanyalah Berisi Kata-Kata yang Indah

ketika-doaku-hanyalah-berisi-kata-kata-yang-indah

Oleh Wendy W.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Praying: For Whose Ears?

Telapak tanganku berkeringat. Jantungku berdegup kencang. Pikiranku kacau.

Bukan, aku bukan sedang gugup karena akan menghadapi ujian atau menyampaikan presentasi. Aku gugup karena harus berdoa bersama.

Meskipun aku tumbuh di lingkungan keluarga Kristen, aku belum pernah benar-benar berdoa bersama dalam sebuah kelompok sebelumnya. Paling jauh yang pernah aku lakukan hanyalah memimpin doa makan singkat dalam sebuah perayaan keluarga.

Sebagian besar doaku adalah doa pribadi, sebuah percakapan yang pribadi antara aku dengan Bapa—bisikan kata-kata yang hanya untuk didengarkan oleh-Nya. Namun, setelah aku sungguh-sungguh menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku, aku bergabung dalam sebuah gereja kecil di mana berdoa bersama teman-teman di sekitar adalah sesuatu yang biasa dilakukan. Hal itu membuatku menjadi gugup dan takut.

Aku tidak pernah mendengar orang yang berdoa dengan bersuara sebelumnya. Aku merasa berdoa dengan bersuara itu seperti sedang membeberkan sebuah percakapan rahasia. Sebenarnya aku tidak masalah ketika orang lain yang berdoa, tapi begitu tiba giliranku untuk berdoa, aku menjadi amat gugup.

Aku mengingat satu kejadian ketika aku berdoa dengan terbata-bata dengan dua orang lain yang lebih tua dariku yang baru saja kukenal. Aku berusaha keras untuk berkonsentrasi sampai mukaku memerah. Aku merasa bodoh tidak tahu bagaimana caranya berdoa, dan merasa malu ketika membandingkan doaku dengan doa mereka; kata-kata yang kuucapkan tidaklah sebagus mereka.

Seiring waktu, aku lebih sering mendengar doa-doa orang lain, dan mau tidak mau aku jadi memperhatikan cara mereka berdoa. Ada yang berdoa dengan kata-kata yang sering diulang-ulang (seperti “um” atau “ya”). Ada juga yang mampu merangkum isi khotbah yang baru disampaikan ke dalam sebuah doa yang tersusun sempurna. Ada juga yang berdoa dengan sangat cepat. Mereka dapat mengucapkan beberapa kata dalam sebuah tarikan napas. Ada yang berdoa dengan nada suara yang membosankan, dan ada pula yang berdoa dengan menggebu-gebu.

Aku kagum dengan doa teman baikku yang indah, penuh dengan kata-kata yang bagus dan ayat-ayat Alkitab. Aku iri melihat betapa mudahnya dia merangkai kata-kata dengan penuh percaya diri. Aku merasa Tuhan lebih senang mendengarkan doanya daripada doaku —setidaknya itulah yang aku pikirkan.

Semakin sering aku mendengar doa-doa mereka, aku pun mulai mendapatkan kalimat-kalimat yang kemudian aku gunakan dalam doa-doaku. Tanpa kusadari, aku jadi terlalu memperhatikan pikiran orang lain ketika mendengarkan doaku—dan bahkan mulai menilai doa-doa orang lain dan membandingkannya dengan doa-doaku.

Suatu hari Minggu, aku mendapakan kesempatan berdoa bersama seorang saudari yang usianya lebih muda dariku. Dia adalah seorang pendiam yang tidak terlalu kukenal. Meskipun dia berasal dari lingkungan berbahasa Mandarin dan tidak fasih berbahasa Inggris, doanya amatlah indah. Dia berdoa kepada Tuhan dengan sederhana, kalimat-kalimat yang pendek, dan nada suara yang penuh dengan kerendahan hati. Dan meskipun dia tidak banyak berkata-kata, aku dapat mendengar dan merasakan kasihnya kepada Tuhan.

Saat itu juga aku langsung merasa malu dengan doa-doaku, yang meskipun disampaikan dengan baik, tapi tidak lahir dari sebuah ketulusan. Aku malu ketika menyadari bahwa selama ini tanpa kusadari yang menjadi motivasiku dalam berdoa adalah sebuah keinginan untuk dianggap telah berdoa dengan “benar” oleh orang lain. Aku ingin doaku terdengar bagus, suci, dan sempurna, karena aku pikir seperti itulah seharusnya orang Kristen berdoa. Aku telah salah karena menganggap pendengar utama doaku adalah orang-orang yang berdoa denganku. Aku lupa bahwa meskipun kata-kata yang kuucapkan dalam doaku bisa menguatkan mereka, tapi mereka seharusnya bukan menjadi motivasi utamaku dalam berdoa. Saudari kecilku dalam Kristus ini menyadarkanku bahwa tidak ada kalimat indah yang sebanding dengan sebuah doa yang rendah hati dan yang lahir dari sebuah ketulusan hati.

Yesus dengan jelas mengatakan bahwa Dia tidak terkesan dengan doa-doa indah yang meninggikan Dia di permukaan saja tapi sesungguhnya yang ditinggikan adalah pendoa itu sendiri (Matius 6:5-13; 23:5-12). Doa yang menyenangkan-Nya dan yang diterima-Nya adalah doa yang memanggil nama-Nya dalam sebuah pertobatan (Lukas 18:10-14).

Sekarang, aku telah belajar berdoa dengan lebih sabar dan penuh perhatian, untuk menyampaikan kata-kata sederhana dari dalam hati bagi Bapa di sorga, meskipun ketika aku sedang berdoa bersama-sama. Bagaimanapun, doa-doa kita adalah bagi Dia, satu-satunya yang mendengar dan menjawab doa-doa kita sesuai dengan kehendak-Nya dan waktu-Nya yang sempurna.

Baca Juga:

Apakah Kita Mencari Tuhan?

Dalam beberapa hari terakhir, aku sedang mendalami kitab Yesaya dan berusaha sebaik mungkin untuk memahami apa yang Nabi Yesaya maksudkan. Tapi aku menjadi semakin galau, karena aku sepertinya tidak belajar banyak; tidak ada hal praktis yang dapat aku aplikasikan. Aku dengan mudah melupakan apa yang telah aku baca.

Ketika Orang yang Kucintai Meninggalkanku

Ketika-Orang-yang-Kucintai-Meninggalkanku

Oleh Endriya Arsi, Depok
Ilustrasi gambar oleh Angela Rahmawati

Aku begitu bahagia ketika akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk mengenal lebih dekat teman lelaki yang selama ini aku sukai. Dia adalah anak yang populer di sekolah karena sering mendapatkan juara baik di bidang akademis maupun non-akademis. Kesempatanku untuk mengenalnya lebih dekat datang secara tidak sengaja.

Suatu ketika, dia bersama teman-temannya sedang bermain permainan truth or dare—sebuah permainan yang mengharuskan orang yang dirinya tertunjuk harus memilih berkata jujur atau menerima tantangan dari peserta lain. Waktu itu dia memilih menerima tantangan. Teman-temannya meminta dia untuk menghampiriku dan mengajakku mengobrol saat jam istirahat berlangsung. Tak disangka, malamnya harinya ternyata kami kembali melanjutkan obrolan lewat media sosial. Semenjak hari itu kami menjadi semakin dekat.

Aku merasa nyaman bersamanya. Dia adalah seorang yang ramah dan baik. Suatu ketika, aku pernah terjatuh hingga kakiku terluka, kemudian dia menolongku membalut luka itu. Dia juga seorang yang perhatian, selalu mengingatkanku untuk tidak pulang selepas matahari terbenam, bersaat teduh, dan pergi ke gereja setiap hari Minggu.

Semakin hari aku semakin dekat dengan dia. Aku merasa benar-benar bahagia ketika dia berkata bahwa dia mencintaiku, menyayangiku, dan tak ingin aku terluka atau menangis sedikitpun, padahal waktu itu kami belum secara resmi berpacaran.

Setiap pagi aku selalu mengirimi pesan singkat kepadanya. “Selamat pagi, jangan lupa saat teduh, jangan lupa sarapan.” Kemudian dia membalas pesanku itu, demikianlah hal ini terjadi hampir setiap pagi tanpa aku sadari bahwa sebenarnya aku telah mendahulukan dia daripada Tuhan. Aku tidak memulai hariku dengan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, malah langsung berusaha mengobrol dengan lelaki itu. Tak hanya pagi hari, di malam hari pun kami saling menelepon hingga larut malam. Seringkali aku ketiduran hingga pagi harinya.

Lama-kelamaan kehidupanku semakin tidak seimbang. Aku menghabiskan banyak waktuku untuk berusaha dekat dengan lelaki itu. Aku menyepelekan pelajaran-pelajaran sekolahku, menjauh dari teman-temanku, mendiamkan orangtua dan kakak perempuanku, bahkan aku jadi jarang berdoa, hanya kadang-kadang saja di pagi hari.

Hingga suatu ketika, seorang temanku yang satu kelas dengannya mengatakan bahwa lelaki itu katanya sudah memiliki pacar. Tapi, aku tidak lantas percaya begitu saja kabar itu. Aku mencari waktu yang tepat untuk menelepon dia dan bertanya, “Aku dengar katanya kamu berpacaran dengan orang lain, itu ga benar kan?” Dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan dengan segera dia marah dan nada bicaranya meninggi. “Aku gak suka kamu tuduh tanpa ada bukti!” ucapnya.

Setelah kejadian itu, kami pun putus kontak sama sekali. Segala kedekatan yang sebelumnya kami bangun semuanya telah sirna. Dia tidak pernah menghubungiku sama sekali, bahkan ketika kami berpapasan pun dia menghindar dariku. Pada suatu kesempatan, aku sempat mendekatinya dan bertanya alasan mengapa dia menjauh dariku. Kemudian dia menatapku sejenak, lalu menjauhi aku seraya berkata bahwa dia tidak memiliki waktu untukku.

Hatiku hancur, hidupku seolah berantakan, dan tidak tahu harus berbuat apa hingga suatu ketika aku membaca sebuah renungan yang menceritakan kisah seorang anak petani yang miskin sebagai ilustrasinya. Anak itu mampu mengucap syukur atas sebuah roti dan segelas teh yang bisa dia santap tiap paginya. Setiap hari anak itu harus berjalan kaki cukup jauh untuk tiba ke sekolah dan sepatunya pun rusak. Namun, dia tetap mengucap syukur atas kesempatan bersekolah yang Tuhan berikan. Bacaan itu menegurku. Selama ini aku memiliki orangtua yang baik, teman-teman yang selalu membuatku tertawa, kakak perempuan yang selalu ada buatku, tapi aku tidak mempedulikan mereka, aku selalu menginginkan lelaki itu hingga aku melupakan segalanya.

Saat itu aku merasa bahwa aku punya harapan. Tuhan mengizinkan lelaki itu menjauhiku supaya aku dapat percaya bahwa Tuhan tidak pernah sekalipun meninggalkanku. Sejak peristiwa itu, aku berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, juga mendekatkan diriku kembali kepada keluarga dan teman-temanku.

Aku memang pernah menangis karena lelaki itu, tapi aku bersyukur untuk setiap hal yang masih kumiliki sekarang. Tuhan mengganti setiap air mata yang menetes dengan sukacita. Aku menyadari bahwa yang harus kulakukan hanya bersyukur, berserah, dan biar kehendak Tuhan saja yang terjadi.

Tuhan adalah pengharapan, hatiku percaya. Tuhan menyatakan rancangan-Nya tepat dan indah pada waktu-Nya. Seperti pelangi sehabis hujan, selalu ada hal baik di balik sesuatu yang seolah menyakitkan.

“Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.” (Mazmur 62:6).

Baca Juga:

Sebuah Penyakit yang Meruntuhkan Keegoisanku

Sebelas tahun yang lalu, aku merasa hidupku begitu sempurna. Aku tinggal di luar negeri, memiliki pekerjaan dengan gaji besar, serta keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungku. Akan tetapi, karena sebuah penyakit, aku harus melepaskan semuanya itu. Inilah yang terjadi pada kehidupanku.

Aku Gak Pintar Berdoa

Doa-bukanlah-tentang-3-hal-ini

Oleh Aryanto Wijaya

Sewaktu aku tergabung dalam sebuah persekutuan remaja di gereja, seringkali MC menunjuk salah seorang peserta untuk memimpin doa. Tak semua orang yang ditunjuk mau menerima tawaran itu. Kadang, aku juga menolak ketika ditunjuk. “Jangan aku, aku gak pintar berdoa,” ucapku. Tak hanya aku yang menolak, teman-temanku pun ikut menolak dengan alasan serupa.

Seringkali, kita sebagai orang Kristen enggan berdoa karena merasa tidak pandai berkata-kata, atau menganggap doa kita terlalu sederhana. Tapi, sesulit itukah berdoa? Setelah aku memahami apa esensi dari sebuah doa, kurasa doa bukanlah hal yang sulit.

Doa adalah bentuk komunikasi antara kita dengan Sang Pencipta. Sebagai manusia ciptaan-Nya, kita beroleh kesempatan untuk dapat berkomunikasi secara langsung kepada-Nya melalui doa. Yeremia 33:3 mengatakan suatu jaminan kalau Tuhan mendengar doa anak-anak-Nya: “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui.”

Dulu, aku pernah beranggapan kalau doa yang baik ditentukan dari kata-kata yang aku gunakan. Tapi, apakah kata-kata puitis nan indah menjadi syarat agar Tuhan mendengar doa kita? Jawabannya adalah tidak. Aku menyadari kekeliruan itu ketika membaca pengajaran Yesus tentang berdoa dalam Matius 6:5-8.

Ketika kita berdoa, kata-kata bukanlah hal utama yang dilihat Tuhan. Dia melihat jauh lebih dari sekadar kata-kata. Dia melihat ketulusan hati kita. Sekalipun kata-kata yang kita naikkan begitu indah dan puitis, tetapi jika hati kita tidak tulus di hadapan-Nya, maka doa yang kita naikkan bukanlah doa yang berkenan kepada-Nya.

Tuhan tidak menjadikan kata-kata yang kita ucapkan sebagai tolok ukur doa yang berkenan kepada-Nya. Beberapa orang menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan. Namun kenyataannya, Yesus justru menentang doa yang bertele-tele (Matius 6:7).

Doa bertele-tele tidaklah sama dengan berdoa lama. Yesus pernah pergi berdoa kepada Allah semalaman (Lukas 6:12). Sejatinya, bukan durasi waktu berdoa yang dipermasalahkan oleh Tuhan, tetapi motivasi kita dalam berdoa. Doa menjadi bertele-tele ketika kita hanya mengucapkannya di bibir tetapi tidak dengan hati.

Selain itu, janganlah juga kita berdoa agar terlihat saleh oleh orang lain. Dalam Matius 6, Yesus menegur orang-orang munafik yang suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Yesus mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya,” (Matius 6:2,5,16). Maksud dari kalimat Yesus itu adalah ketika kita berdoa supaya terlihat saleh oleh orang-orang, sesungguhnya pujian dari orang yang kita terima itulah yang menjadi upah kita. Ketika kita hanya berfokus mengejar pujian sebagai upah duniawi, sesungguhnya kita kehilangan upah surgawi yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan sendiri (Matius 6:4,6,18).

Apa yang Yesus ajarkan dalam Matius 6 menyadarkanku kalau berdoa adalah tentang Tuhan, bukan tentang seberapa pandai aku merangkai kata-kata. Doa kita mungkin tidak sempurna, tetapi ketika kita menaikkannya dengan hati yang tulus, Roh Kudus akan membantu kita dalam kelemahan kita dan akan berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan oleh kita (Roma 8:26).

Jadi, kita tidak perlu khawatir karena merasa kita tidak pintar berdoa. Berdoalah dengan hati yang tulus kepada Tuhan, selayaknya kita berkomunikasi dengan orang yang kita kasihi.

Baca Juga:

4 Tips untuk Bersaat Teduh dengan Konsisten

Menjalankan komitmen bersaat teduh itu tidak mudah. Kesibukanku di ekstrakurikuler sekolah seringkali membuatku lupa bersaat teduh. Namun aku bersyukur karena Tuhan menolongku untuk terus belajar memiliki saat teduh yang berkualitas.