Ketika Orang yang Kucintai Meninggalkanku

Ketika-Orang-yang-Kucintai-Meninggalkanku

Oleh Endriya Arsi, Depok
Ilustrasi gambar oleh Angela Rahmawati

Aku begitu bahagia ketika akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk mengenal lebih dekat teman lelaki yang selama ini aku sukai. Dia adalah anak yang populer di sekolah karena sering mendapatkan juara baik di bidang akademis maupun non-akademis. Kesempatanku untuk mengenalnya lebih dekat datang secara tidak sengaja.

Suatu ketika, dia bersama teman-temannya sedang bermain permainan truth or dare—sebuah permainan yang mengharuskan orang yang dirinya tertunjuk harus memilih berkata jujur atau menerima tantangan dari peserta lain. Waktu itu dia memilih menerima tantangan. Teman-temannya meminta dia untuk menghampiriku dan mengajakku mengobrol saat jam istirahat berlangsung. Tak disangka, malamnya harinya ternyata kami kembali melanjutkan obrolan lewat media sosial. Semenjak hari itu kami menjadi semakin dekat.

Aku merasa nyaman bersamanya. Dia adalah seorang yang ramah dan baik. Suatu ketika, aku pernah terjatuh hingga kakiku terluka, kemudian dia menolongku membalut luka itu. Dia juga seorang yang perhatian, selalu mengingatkanku untuk tidak pulang selepas matahari terbenam, bersaat teduh, dan pergi ke gereja setiap hari Minggu.

Semakin hari aku semakin dekat dengan dia. Aku merasa benar-benar bahagia ketika dia berkata bahwa dia mencintaiku, menyayangiku, dan tak ingin aku terluka atau menangis sedikitpun, padahal waktu itu kami belum secara resmi berpacaran.

Setiap pagi aku selalu mengirimi pesan singkat kepadanya. “Selamat pagi, jangan lupa saat teduh, jangan lupa sarapan.” Kemudian dia membalas pesanku itu, demikianlah hal ini terjadi hampir setiap pagi tanpa aku sadari bahwa sebenarnya aku telah mendahulukan dia daripada Tuhan. Aku tidak memulai hariku dengan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, malah langsung berusaha mengobrol dengan lelaki itu. Tak hanya pagi hari, di malam hari pun kami saling menelepon hingga larut malam. Seringkali aku ketiduran hingga pagi harinya.

Lama-kelamaan kehidupanku semakin tidak seimbang. Aku menghabiskan banyak waktuku untuk berusaha dekat dengan lelaki itu. Aku menyepelekan pelajaran-pelajaran sekolahku, menjauh dari teman-temanku, mendiamkan orangtua dan kakak perempuanku, bahkan aku jadi jarang berdoa, hanya kadang-kadang saja di pagi hari.

Hingga suatu ketika, seorang temanku yang satu kelas dengannya mengatakan bahwa lelaki itu katanya sudah memiliki pacar. Tapi, aku tidak lantas percaya begitu saja kabar itu. Aku mencari waktu yang tepat untuk menelepon dia dan bertanya, “Aku dengar katanya kamu berpacaran dengan orang lain, itu ga benar kan?” Dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan dengan segera dia marah dan nada bicaranya meninggi. “Aku gak suka kamu tuduh tanpa ada bukti!” ucapnya.

Setelah kejadian itu, kami pun putus kontak sama sekali. Segala kedekatan yang sebelumnya kami bangun semuanya telah sirna. Dia tidak pernah menghubungiku sama sekali, bahkan ketika kami berpapasan pun dia menghindar dariku. Pada suatu kesempatan, aku sempat mendekatinya dan bertanya alasan mengapa dia menjauh dariku. Kemudian dia menatapku sejenak, lalu menjauhi aku seraya berkata bahwa dia tidak memiliki waktu untukku.

Hatiku hancur, hidupku seolah berantakan, dan tidak tahu harus berbuat apa hingga suatu ketika aku membaca sebuah renungan yang menceritakan kisah seorang anak petani yang miskin sebagai ilustrasinya. Anak itu mampu mengucap syukur atas sebuah roti dan segelas teh yang bisa dia santap tiap paginya. Setiap hari anak itu harus berjalan kaki cukup jauh untuk tiba ke sekolah dan sepatunya pun rusak. Namun, dia tetap mengucap syukur atas kesempatan bersekolah yang Tuhan berikan. Bacaan itu menegurku. Selama ini aku memiliki orangtua yang baik, teman-teman yang selalu membuatku tertawa, kakak perempuan yang selalu ada buatku, tapi aku tidak mempedulikan mereka, aku selalu menginginkan lelaki itu hingga aku melupakan segalanya.

Saat itu aku merasa bahwa aku punya harapan. Tuhan mengizinkan lelaki itu menjauhiku supaya aku dapat percaya bahwa Tuhan tidak pernah sekalipun meninggalkanku. Sejak peristiwa itu, aku berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, juga mendekatkan diriku kembali kepada keluarga dan teman-temanku.

Aku memang pernah menangis karena lelaki itu, tapi aku bersyukur untuk setiap hal yang masih kumiliki sekarang. Tuhan mengganti setiap air mata yang menetes dengan sukacita. Aku menyadari bahwa yang harus kulakukan hanya bersyukur, berserah, dan biar kehendak Tuhan saja yang terjadi.

Tuhan adalah pengharapan, hatiku percaya. Tuhan menyatakan rancangan-Nya tepat dan indah pada waktu-Nya. Seperti pelangi sehabis hujan, selalu ada hal baik di balik sesuatu yang seolah menyakitkan.

“Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.” (Mazmur 62:6).

Baca Juga:

Sebuah Penyakit yang Meruntuhkan Keegoisanku

Sebelas tahun yang lalu, aku merasa hidupku begitu sempurna. Aku tinggal di luar negeri, memiliki pekerjaan dengan gaji besar, serta keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungku. Akan tetapi, karena sebuah penyakit, aku harus melepaskan semuanya itu. Inilah yang terjadi pada kehidupanku.

Bagikan Konten Ini
9 replies
  1. Kafri Simbolon
    Kafri Simbolon says:

    Hal serupa dengan yg saya alami, tp sampai saat ini saya msh blm bisa mengikhlaskannya, dan saya msh berharap dia kembali. Tuhan Berikan jalan yg terbaik untukku.

  2. Intan
    Intan says:

    sama kaya pengalamanku, aku tau bahwa aku mungkin saat itu sudah melupakan Tuhan karena fokusku adalah dia buka lagi Tuhan

  3. Helly Gukguk
    Helly Gukguk says:

    Pasti sedih, trauma. Pernah dulu berpikir untuk tidak menerima orang baru, karena ketika ada pertemuan pasti ada perpisahan yg menyakitkan, tapi akhirnya sampai satu titik terlemah, manusia tidak bisa hidup sendiri. semoga yg akan datang bisa setia sampai mati.

  4. Rendy Christian
    Rendy Christian says:

    Saat ini pacarku meminta kami untuk tdk kontak slma seminggu. Dia mau dekat lg sama Tuhan, jg dia tak mau kehilangan aku krn membuat Tuhan cemburu.

    Betapa beruntungnya aku mendapatkan wanita spt dia. Haleluya!

  5. Githa
    Githa says:

    Sama seperti yang aku alami. Tapi aku menyadari bahwa Tuhan turut bekerja untuk mendatangkan sesuatu yang baik buatku. Aku belajar ikhlas merelakan dia.

  6. gizellavp
    gizellavp says:

    sama dengan yg saya alami, masih sulit mengikhalaskan dan masih berat rasanya meninggalkan kebiasaan*annya, tapi aku percaya Tuhan Yesus sudah siapkan yang terbaik buat aku, aku percaya akan ada pelangi yang indah setelah hujan:”) Aminn

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *