Posts

Pergumulanku Sebagai Seorang yang Disebut Munafik

pergumulanku-sebagai-seorang-munafik

Oleh Kezia Lewis, Thailand
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The World Calls Me A Hypocrite … Am I?

Suatu hari aku bertemu dengan seorang gadis di gereja yang telah membuatku terharu. Dia mengangkat tangannya saat menyembah Tuhan, dia menangis dan menyanyikan lagu-lagu dengan suara bergetar yang begitu jelas. Ketika berdoa, dia meminta kami untuk mendoakannya. Aku ingin memeluknya.

Namun kemudian aku mengetahui kisahnya.

Dia sedang menjalani sebuah hubungan dengan seorang laki-laki yang telah menikah—dan telah memiliki anak. Aku terkejut, dan mendidih dalam kemarahan. Sejak saat itu, hanya satu hal yang muncul di pikiranku setiap kali aku melihat dia— “Betapa munafiknya!” Aku harus menahan diriku untuk tidak mencelanya: Berhentilah berpura-pura. Tidak ada gunanya kamu datang ke gereja jika kamu menjalani hidup ganda seperti itu.

Aku merasa layak untuk marah karena aku melihat diriku sebagai “pembela” Tuhan. Tentu saja, aku pikir, Tuhan tidak setuju perempuan itu mencoret-coret nama-Nya dengan kepura-puraannya dan klaim-klaimnya tentang kebenaran yang dia lakukan.

Lalu Tuhan menjamah hatiku yang penuh kemarahan.

Dia menunjukkanku bahwa Dia tidak membutuhkan dan tidak menginginkan pembelaanku. Dia menginginkanku untuk mengasihi gadis itu, karena Dia tidak ingin gadis itu meninggalkan-Nya. Dia mengingatkanku bahwa Dia menerima gadis itu seperti Dia menerima diriku. Seutuhnya. Dia menunjukkanku bahwa dosa-dosa gadis itu tidaklah menjadi identitas dirinya, sama seperti dosa-dosaku tidaklah menjadi identitas diriku.

Aku pun tidak jauh berbeda

Dulu aku mengharapkan kesempurnaan dari semua yang menyatakan dirinya pengikut Yesus. Namun, ketika aku mulai berjalan bersama Yesus, aku menemukan bahwa kesempurnaan tidak akan terjadi dalam semalam. Aku pun bercela—dan sampai sekarang pun masih bercela. Aku membawa hal-hal dari kehidupan lamaku, termasuk kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup yang perlu aku buang. Aku masih berjuang dengan kebercelaanku dan kelemahanku. Dan meskipun aku sekarang telah bertambah usia, hidupku masih saja berantakan setiap hari dan aku masih saja kembali kepada diriku yang lama bahkan setelah bertahun-tahun berjalan bersama Tuhan.

Salah satu dari banyak kelemahanku adalah bergosip, sebuah kebiasaan buruk yang telah mengikatku hampir seumur hidupku. Aku merasa bahwa jika aku tidak ikut ke dalam percakapan yang merendahkan seseorang, aku seperti orang yang terasing—atau bahkan lebih parah, aku menjadi “orang yang diasingkan”, dan menjadi orang yang digosipkan. Aku takut ditolak. Maka aku jatuh ke dalam rasa takutku dan ambil bagian dalam menjelek-jelekkan orang lain.

Bagaimanapun juga, setiap kali aku bergosip, rasa malu menghantuiku dari kepala sampai jari kaki ketika aku menyadari apa yang telah kulakukan. Mungkin diriku memang seperti ini—orang yang suka membeberkan rahasia—aku mengatakan kepada diriku. Mungkin aku salah ketika menyatakan diriku sebagai anak Allah, karena tentu saja aku tidak akan melakukan ini jika aku memang benar seorang anak Allah. Mungkin aku bukanlah anak yang benar dari Raja segala raja, karena aku telah membeberkan rahasia si ini dan si itu.

Hidup di dalam dunia yang telah jatuh dan di dalam tubuh yang bercela, aku merasakan ketegangan di antara sebuah kerinduan untuk menghidupi sebuah hidup yang kudus, dengan kedaginganku dan hidup lamaku. Setiap hari, aku membuat keputusan-keputusan yang berlawanan dengan citra Yesus; aku berdosa dan mencoreng nama-Nya. Dan ketika ini terjadi, aku mendengar dunia—dan bahkan diriku—menyebutku sebagai seorang munafik.

Apakah aku seorang munafik?

Aku berdoa, pergi ke gereja dengan rutin, menyanyikan lagu-lagu penyembahan, dan memuji Yesus. Lalu aku pulang dan berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kebenaran Allah, seakan-akan mengolok Dia. Aku menemukan diriku merangkak kembali ke dosa-dosaku. Aku merasa seperti seorang penjahat—seorang tokoh jahat yang berpura-pura menjadi seorang pahlawan, secara sadar menipu orang-orang tentang diriku yang asli.

Jadi, apakah aku seorang munafik? Jawabannya adalah ya, aku adalah seorang munafik. Tapi tidak seperti yang dunia ini pahami. Dunia melihat “kebaikanku” dan “kebenaran” yang kulakukan sebagai usahaku untuk menutupi diriku yang sebenarnya, agar aku terlihat baik di mata orang lain.

Namun kenyataannya, aku dibenarkan oleh darah Yesus, dan itulah sesungguhnya diriku; itulah diriku di mata-Nya. Namun seringkali aku melakukan hal-hal yang tidak benar karena lebih mudah untuk menjadi seorang yang busuk daripada seorang yang benar. Lebih mudah tinggal di dalam lumpur daripada berjuang keluar dari sana. Lebih mudah menjadi seperti semua orang lain, melakukan apa yang semua orang lain lakukan. Dunia telah membuat semuanya menjadi begitu mudah untuk menolak untuk taat kepada Tuhan. Pada akhirnya, aku menjadi seorang munafik karena aku tidak mau lagi ada di dalam lumpur.

Beberapa orang berhenti total dari menjadi orang Kristen karena mereka lelah menjadi orang-orang munafik. Seringkali, aku juga ingin menyerah dari pertempuran ini. Berhenti mengatakan pernyataan-pernyataan kebenaran, berhenti mencoba menarik diriku keluar dari lumpur.

Tapi Tuhan tidak membiarkanku—Dia selalu menarikku keluar. Yesus mengatakan bahwa aku adalah ciptaan yang baru: aku adalah anak-Nya; aku adalah seorang yang benar; aku adalah milik-Nya. Dia tidak akan membiarkanku pergi dan tidak akan membiarkanku tetap seperti ini.

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17)

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.” (Yohanes 1:12-13)

“Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ‘ya Abba, ya Bapa!’” (Roma 8:15)

Menjadi seorang munafik bukanlah sebuah hal yang baik. Namun aku rasa Tuhan tidak ingin aku meninggalkan-Nya karena aku disebut sebagai seorang munafik. Sebaliknya, Dia menginginkanku untuk meninggalkan ketidakbenaranku—yang akan memakan waktu yang sangat lama, yang berarti aku akan terus menjadi seorang “munafik” untuk saat ini.

Aku adalah seorang yang kacau, seorang yang bercela. Menyerah kepada dosa-dosaku sangatlah mudah. Tapi Tuhan tidak akan berhenti untuk menyatakan bahwa aku adalah milik-Nya. Dia dengan tidak jemu-jemu memberitahuku tentang kasih-Nya, menunjukkanku bahwa aku memiliki seorang Bapa di surga yang begitu peduli kepadaku. Ketika aku membaca firman-Nya, firman itu melingkupiku dengan kedamaian, firman itu membuang rasa maluku akan dosa-dosaku, dan firman itu secara perlahan mengangkatku naik. Bagaimana mungkin aku tidak maju? Bagaimana mungkin aku menyerah dalam pertempuran ini? Bagaimana mungkin aku menyerah di tengah perlombaan yang Dia ingin aku lakukan, ketika Dia sendiri tidak pernah berhenti berlari untukku dan bersama denganku? Aku tidak boleh mencari kepuasan di dalam lumpur. Itu bukanlah apa yang Yesus inginkan untukku. Itu bukanlah apa yang Yesus lihat di dalam diriku.

“Bapa yang berdaulat, berkaryalah di dalam hidupku. Aku menginginkan apa yang Engkau inginkan untukku. Aku berdoa agar aku dapat bebas dari siklus yang merusak dari kesombongan dan rasa takut di dalam hidupku: bukalah topeng yang aku kenakan untuk mencoba menjadi orang lain. Topeng itu begitu sulit terlihat sampai-sampai aku hampir tidak sadar bahwa aku sedang memakainya. Cabutlah keinginanku untuk berbuat jahat di dalam segala bentuk di dalam hidupku. Aku berdoa agar aku hidup di dalam kesejatian dari kasih-Mu dan di dalam kebenaran dari firman-Mu. Aku adalah anak-Mu. Inilah diriku sesungguhnya. Tolonglah aku untuk berlaku selayaknya anak-Mu. Aku berdoa di dalam nama Dia yang telah mati untuk-Ku, Batu Karang Keselamatanku, Yesus Kristus. Amin.”

Baca Juga:

Ketika Pemimpin Gereja Kita Jatuh, Inilah yang Dapat Kita Lakukan

Akhir-akhir ini, berita tentang kegagalan moral para pemimpin gereja semakin banyak terdengar. Kita mendengar para pendeta yang melakukan penipuan, menggelapkan uang gereja, atau terlibat di dalam skandal seputar pornografi atau hubungan tidak sehat di luar pernikahan. Bagaimana seharusnya kita menyikapi ini semua? Di dalam artikel ini, Kezia membagikan 3 hal yang dapat kita lakukan.

Jembatan Hidup

Jumat, 18 Juli 2014

Jembatan Hidup

Baca: Yeremia 17:5-10

17:5 Beginilah firman TUHAN: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!

17:6 Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk.

17:7 Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!

17:8 Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.

17:9 Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?

17:10 Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya."

Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! —Yeremia 17:7

Jembatan Hidup

Penduduk yang tinggal di Cherrapunji, India, telah mengembangkan sebuah cara yang unik untuk menyeberangi sungai dan aliran air yang banyak terdapat di daerah mereka. Mereka membangun jembatan-jembatan dengan bahan dari akar pohon karet. “Jembatan hidup” itu memerlukan waktu 10 hingga 15 tahun untuk berkembang hingga sempurna, dan begitu jadi, jembatan tersebut sangat kokoh dan dapat digunakan hingga beratus-ratus tahun.

Alkitab membandingkan seseorang yang mengandalkan Allah dengan “pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air” (Yer. 17:8). Karena akar-akarnya mendapat asupan yang cukup, pohon tersebut dapat bertahan menghadapi segala perubahan suhu. Sepanjang musim kemarau, pohon itu pun tetap berbuah.

Seperti sebatang pohon yang berakar kuat, orang yang mengandalkan Allah memiliki stabilitas dan vitalitas meskipun berada dalam situasi-situasi yang buruk. Sebaliknya, orang yang mengandalkan sesamanya manusia sering tidak memiliki stabilitas dalam hidupnya. Alkitab membandingkan mereka dengan semak bulus di padang belantara yang sering kekurangan cairan dan tumbuh menyendiri (ay.6). Demikianlah kehidupan rohani orang yang meninggalkan Allah.

Di manakah akar-akar kita menancap? Apakah kita berakar di dalam Yesus? (Kol. 2:7). Apakah kita telah menjadi jembatan yang mengarahkan orang lain kepada-Nya? Jika kita mengenal Kristus, kita dapat menyaksikan kebenaran ini: Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan (Yer. 17:7). —JBS

Yesus segala-galanya,
Mentari hidupku.
Sehari-hari Dialah
Penopang yang teguh. —Thompson
(Kidung Jemaat, No. 396)

Hembusan pencobaan yang kuat sekalipun takkan dapat menghempaskan seorang yang berakar di dalam Allah.

Terlihat Baik

Rabu, 14 Mei 2014

Terlihat Baik

Baca: Matius 23:23-31

23:23 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.

23:24 Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.

23:25 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan.

23:26 Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.

23:27 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.

23:28 Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.

23:29 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh

23:30 dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu.

23:31 Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu.

Bersihkan dahulu sebelah dalam cawan itu. —Matius 23:26

Terlihat Baik

Rambutmu sungguh sehat,” ujar penata rambut saya setelah ia memotong rambut saya. “Saya harap ini karena kamu memakai produk kami.” “Sayang sekali, bukan,” jawab saya. “Saya menggunakan produk apa saja yang murah dan wangi.” Kemudian saya menambahkan, “Saya juga berusaha makan dengan baik. Saya rasa itu memberi pengaruh yang besar.”

Ketika saya memikirkan tentang hal-hal yang kita lakukan untuk membuat penampilan diri kita terlihat lebih baik, saya teringat akan beberapa hal yang kita lakukan dengan maksud untuk membuat kita terlihat lebih rohani. Yesus menegur para pemimpin agama di Yerusalem mengenai hal itu (Mat. 23). Mereka menaati serangkaian peraturan agama yang begitu rumit dan yang jauh melampaui peraturan utama yang telah Allah berikan kepada mereka. Mereka berusaha keras untuk terlihat baik di mata sejawat mereka, dengan tujuan untuk membuktikan bahwa mereka lebih baik daripada orang lain. Namun usaha mereka yang susah payah itu tidak membuat Allah terkesan. Yesus berkata kepada mereka, “Cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalam [dirimu] penuh rampasan dan kerakusan” (ay.25). Apa yang dilakukan orang Farisi untuk membuat diri mereka terlihat baik di depan orang justru menyingkapkan kebobrokan mereka yang total.

Setiap budaya menjunjung beragam tradisi dan kegiatan keagamaan, tetapi nilai-nilai Allah jauh melampaui budaya. Dan nilai-nilai yang dijunjung Allah tidaklah diukur dari penampilan luar seseorang. Allah menjunjung hati yang bersih dan motivasi yang murni. Kesehatan rohani seseorang terpancar dari dalam batinnya. —JAL

Tuhan, Engkau mengenal diriku seutuhnya.
Motivasiku dan isi hatiku terbuka seluruhnya di hadapan-Mu.
Bersihkanlah aku lahir dan batin. Dan tolonglah aku hidup seperti
Yesus hidup—dengan motivasi yang benar dan murni.

Mungkin saja penampilan kita baik, tetapi hati kita begitu bobrok.

Melalui Perbuatan

Rabu, 6 Februari 2013

Melalui Perbuatan

Baca: Matius 23:23-31

Anak-anakpun sudah dapat dikenal dari pada perbuatannya, apakah bersih dan jujur kelakuannya. —Amsal 20:11

Suatu malam, ketika seorang pendeta sedang berjalan menuju gereja, seorang penjahat menodongkan senjata ke arahnya dan meminta uang atau nyawanya akan melayang. Ketika pendeta itu merogoh kantongnya untuk mengambil dompet, penodong itu melihat kerah baju pendeta itu dan berkata, “Ternyata kau seorang pendeta. Baiklah, kau boleh pergi.” Sang pendeta terkejut karena ia tak menduga penodong itu akan mengasihaninya. Ia lalu menawarkan sebutir permen. Namun penodong itu berkata, “Tidak, terima kasih. Aku puasa makan permen pada masa pra-Paskah.”

Sikap si penodong yang berpuasa makan permen pada masa pra-Paskah dianggapnya sebagai suatu pengorbanan, tetapi perbuatannya menodong orang lain menunjukkan watak pria itu yang sesungguhnya! Menurut penulis kitab Amsal, perbuatan merupakan bukti terbaik dari watak seseorang. Jika seseorang berkata bahwa ia adalah orang yang saleh, itu hanya dapat dibuktikan dari perbuatan yang konsisten dengan perkataannya (20:11). Ini juga berlaku bagi para pemimpin agama pada masa Yesus hidup. Dia menegur kaum Farisi dan menyingkap kemunafikan mereka, karena mereka mengaku hidup saleh, tetapi mengingkari sendiri pengakuan itu dengan menjalani hidup penuh dosa (Mat. 23:13-36). Penampilan dan perkataan dapat menipu; tingkah laku merupakan cara terbaik untuk mengukur watak seseorang. Ini berlaku bagi kita semua.

Sebagai pengikut Yesus, kita menunjukkan kasih kita kepada-Nya melalui perbuatan kita, bukan melalui perkataan semata. Kiranya pengabdian kita kepada Allah, karena kasih-Nya kepada kita, terlihat nyata dalam perbuatan kita sehari-hari. —MLW

Kata-kata rohani hanya menjadi sandungan
Jika tak didukung oleh sikap saleh kita,
Sebaik dan sebagus apa pun keyakinan kita
Tak berarti tanpa perbuatan yang menghormati Allah. —Williams

Tingkah laku adalah bukti terbaik dari watak seseorang.

Talang Air Dan Jendela

Selasa, 24 Januari 2012

Baca: Matius 23:23-31

Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas. —1 Timotius 1:5

Ketika kami sekeluarga sedang berjalan-jalan bersama, sebuah papan iklan putih bersih dengan tulisan merah terang menarik perhatian saya: “Talang Air dan Jendela–– Kualitas Jaminan Mutu”. Papan iklan tersebut dalam kondisi sangat baik, tetapi saya khawatir kalau-kalau rumah dan lumbung di belakangnya yang diiklankan tersebut dapat runtuh kapan saja. Catnya telah mengelupas, jendela-jendelanya retak, dan tidak ada lagi talang airnya!

Banyak dari kita “mengiklankan” Yesus, tetapi kondisi rumah rohani kita dalam keadaan hancur. Kita mungkin beribadah ke gereja, berbicara dengan bahasa yang rohani, dan berbaur akrab dengan orang lain. Namun, ketika perbuatan kita tidak sejalan dengan isi hati kita, sikap kita yang “saleh” hanya merupakan sebuah pertunjukan. Ketika Yesus mengecam orang-orang Farisi, Dia berkata, “Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan” (Mat. 23:28).

Yesus menyampaikan pesan yang berbeda tetapi sama tegasnya kepada para pengikut-Nya: “Janganlah . . . seperti orang munafik” (6:16). Alkitab mendorong kita untuk memberikan “kasih yang timbul dari hati yang suci . . . dan dari iman yang tulus ikhlas” (1 Tim. 1:5). Sikap batin ini seharusnya terwujud nyata melalui perkataan dan perbuatan kita (Luk. 6:45).

Hari ini, perhatikanlah keadaan rumah rohani Anda. Jika orang melihat dibalik tampilan lahiriah yang indah, akankah mereka menemukan suatu hati yang suci murni? —JBS

Setiap orang bisa jatuh dalam dosa munafik
Yang mendukakan Tuhan di surga;
Dia merindukan mereka yang akan menyembah-Nya
Dalam iman dan kebenaran dan kasih. —Bosch

Allah menghendaki supaya perbuatan kita menjadi cerminan dari hati kita yang murni.