Posts

Ketika Hubunganku Menentukan Identitasku

Penulis: Larissa Segara

when-my-relationship-defines-me

Mungkin kamu pernah mendengar kisah tentang seekor anak rajawali yang dibesarkan oleh induk ayam. Sehari-hari ia bergaul dengan anak ayam, makan seperti mereka, berjalan seperti mereka. Ketika suatu hari ia mengagumi burung rajawali yang terbang melintasi langit dengan gagahnya, induk ayam berkata, “Itu rajawali. Mereka hidup di atas. Jangan berpikir untuk menjadi seperti rajawali. Mereka berbeda dengan kita, ayam, yang hidup di bawah.” Sampai akhir hidupnya, si anak rajawali pun tetap hidup seperti ayam.

Kisah itu sering dipakai sebagai ilustrasi yang menggambarkan betapa tragisnya bila orang hidup tidak sesuai dengan identitasnya. Namun, tidak bisa dipungkiri, sebagai orang-orang yang sudah ditebus Kristus, seringkali kita pun menjalani hidup yang tidak mencerminkan identitas baru kita di dalam Kristus. Termasuk diriku.

Hampir enam tahun lamanya aku membiarkan hubunganku menentukan identitasku. Aku merasa hidupku tidak utuh tanpa seorang pria di sampingku. Aku pun tak ragu menjalin hubungan dengan seorang yang tidak seiman. Awalnya, hubungan kami tidak begitu serius, namun sangat menyenangkan. Aku sempat berpikir, lama-lama aku bisa mempengaruhinya dan mendorongnya memiliki keyakinan yang sama. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Makin lama, aku justru makin merasa bergantung padanya. Aku mulai menjauh dari keluarga, teman-temanku, bahkan dari Tuhan. Hidupku kuberikan sepenuhnya untuk pacarku, dan aku merasa tidak bisa hidup tanpa dia. Aku menyadari ada yang salah dengan hidupku. Pacarku sudah menjadi berhala hidupku. Tetapi aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa tidak sanggup menjalani hari-hariku sendirian. Bahkan ketika hubungan kami mulai renggang, dan ia ingin mengakhirinya, aku tidak mau melepasnya. Kami sudah pernah membicarakan rencana-rencana di masa depan, dan aku tidak mau rencana-rencana itu hancur. Jadi, aku berusaha mempertahankan hubunganku dengannya.

Saat hubungan kami berjalan lima tahun lebih, aku harus pergi ke luar kota selama dua bulan. Ia juga harus pergi ke luar negeri. Banyak hal menyakitkan yang ia lakukan. Yang paling menyakitkan adalah ketika aku mengetahui bahwa ia selingkuh. Berhari-hari aku memohon kekuatan dari Tuhan agar aku bisa keluar dari relasi ini. Lalu dengan berat hati, aku memutuskan hubungan dengannya.

Kehilangan pacar membuat aku merasa hidupku tidak normal lagi. Aku merasa kehilangan pengharapan dalam hidup ini. Setiap hari aku bangun pagi dengan jantung berdebar kencang, takut, dan cemas. Tidak ada damai sejahtera. Nafsu makanku hilang dan aku tidak ingin melakukan apa pun. Di satu sisi, aku sulit memaafkan mantan pacarku. Di sisi lain, aku sering mengingat dan ingin mengulangi kebersamaan kami di masa lalu, sekalipun aku tahu itu tidak benar di mata Tuhan. Seperti bangsa Israel yang sudah dibebaskan Tuhan dari perbudakan Mesir, namun masih saja suka membanding-bandingkan kehidupan mereka yang baru dengan kehidupan lama mereka di Mesir. Di dalam diriku seperti ada peperangan yang terus-menerus. Aku ingin berdoa, tetapi Iblis mendakwa aku setiap waktu bahwa aku tidak layak kembali kepada Tuhan, karena aku telah menyakiti-Nya dengan ketidaktaatanku.

Bukan suatu kebetulan, pada titik terendahku itu, gerejaku mengadakan doa puasa selama setahun (seminggu tiap bulannya). Gembala kami mendorong setiap jemaat untuk ikut berdoa dan berpuasa, memohon kekuatan dari Tuhan. Aku pun mulai berpuasa (sebelumnya tidak pernah), dan bersaat teduh secara teratur (sebelumnya aku hanya berdoa sebagai rutinitas biasa). Aku mulai melihat bagaimana pengalaman itu diizinkan Tuhan terjadi supaya aku bertumbuh secara rohani. Tuhan mengajar aku untuk mengasihi Dia lebih dari yang lain, mengajar aku untuk memaafkan, dan menyelamatkan aku dari masa depan yang bukan dari-Nya. Aku bersyukur bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya. Mazmur 34:19 berkata bahwa “Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya”. Firman Tuhan ini mematahkan kebohongan Iblis yang berusaha menjauhkan aku dari Tuhan.

Tanpa terasa bulan demi bulan berlalu. Aku terus berdoa memohon kekuatan, damai sejahtera, dan penghiburan. Di suatu sore yang mendung dan sepi, saat sedang berdoa, tiba-tiba aku merasakan sukacita yang besar memenuhi hatiku. Aku tahu bahwa meskipun situasiku tidak akan pulih dalam sekejap, Tuhan sedang terus memulihkan dan memperbarui diriku. Di dalam hadirat-Nya, Tuhan selalu memberikan aku kekuatan baru.

Hari ini, dalam anugerah Tuhan, aku dapat dengan yakin berkata bahwa identitasku tidak ditentukan oleh hubungan-hubungan yang kumiliki. Aku tidak menjadi orang yang lebih baik atau lebih buruk karena kehadiran seorang pacar. Identitasku ditentukan oleh Tuhan, Pencipta dan Pemilik hidupku. Adakalanya iblis berusaha membuatku ragu dengan identitasku sebagai orang yang telah ditebus, namun firman Tuhan menjadi senjataku untuk mematahkan serangannya. Firman Tuhan mengingatkan kita bahwa Yesus telah mati untuk menebus kita dari kuasa dosa, sehingga setiap kita yang percaya kepada-Nya dapat memiliki identitas baru sebagai anak-anak Tuhan, sebagai umat kepunyaan Allah (Yohanes 1:12; 1 Petrus 2:9).

Aku berharap kamu juga diteguhkan oleh kebenaran ini.

#Selfie

Oleh Karen Kwek, Singapura
Ilustrator: Marie Toh

Lihat! Aku sedang di Peru—di depan reruntuhan Machu Picchu, reruntuhan kerajaan Inka.

Ini juga aku, lagi seru nonton konser.

Lihat lagi nih, aku siap menyantap iga bakar ukuran jumbo.

Nah, yang ini aku baru keluar salon dengan model rambutku yang baru.

Halaman demi halaman profil media sosialku menyentakku dengan sebuah kebenaran. Aku adalah seorang yang ketagihan selfie. Dan, aku tidak sendirian.

Potret diri sendiri jelas bukanlah hal yang baru. Selama berabad-abad, para seniman telah membuat gambar diri mereka agar dapat dikenal generasi berikutnya. Namun, belakangan ini, ponsel pintar dengan kamera depan telah membuat orang sangat mudah memotret diri sendiri. Kita tidak perlu menjadi seorang seniman seperti Van Gogh dulu untuk bisa membuat gambar diri yang siap dipamerkan di hadapan banyak orang. Cukup menekan satu tombol saja, foto kita bisa meraih banyak hati di Instagram atau banyak jempol di Facebook. Kita tidak hanya sibuk ber-selfie-ria, kita juga sibuk saling memberi komentar tentang selfie. Setelah dinobatkan oleh Kamus Oxford sebagai kata terpopuler tahun 2013, kata selfie akhirnya resmi dimasukkan dalam kamus bahasa Inggris tersebut pada bulan Juni 2014. Suka atau tidak suka, selfie ada di dalam dunia kita.

Namun, bagaimana mungkin orang tidak suka selfie? Kita tidak lagi perlu menyetel pengaturan foto otomatis lalu berlari-lari untuk mengambil posisi sebelum sinyal merah pada kamera berhenti berkedip. Kita tidak lagi perlu khawatir hasil foto kita kabur, atau ibu jari kita kelihatan karena hanya bisa mengira-ngira posisi yang tepat saat kamera dihadapkan kepada kita. Kita juga tidak perlu repot-repot datang ke studio foto. Sekarang sudah tersedia juga sejumlah aplikasi ponsel yang memberi petunjuk bagaimana memposisikan kepala dan kedua belah bahu dengan tepat, agar kita bisa membuat pas foto resmi sendiri. Kita bahkan bisa mengambil foto berulang kali sampai senyum kita terlihat sempurna, karena—jujur saja—kita sendirilah yang paling bisa menilai foto mana yang ingin kita tampilkan kepada dunia.

Fenomena selfie membuatku bertanya: apakah selfie hanyalah sebuah cara yang menyenangkan untuk mengabadikan dan membagikan cerita hidup kita kepada teman-teman kita, ataukah ada sesuatu di balik tren ini yang penting untuk kita cermati, lebih dari sekadar memuaskan mata? Mungkinkah hobi selfie menunjukkan sesuatu yang lebih dalam tentang motivasi kita, sikap-sikap kita, dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita?

Rasa Tenteram yang Semu
Pada bulan April 2014, seorang bernama Radhika Sanghani menulis sebuah artikel untuk surat kabar UK’s Telegraph. Ia mengamati bahwa orang sepertinya menemukan semacam rasa aman dengan terus menerus berada di depan sekaligus di belakang kamera:

Saat aku bicara dengan teman-temanku yang paling sering selfie, mereka sepakat bahwa mereka merasa tenteram bila memiliki kendali atas gambar diri mereka. “Lebih mudah menyunting dan mengontrol foto yang kamu ambil sendiri daripada foto yang diambil orang lain,” kata seorang teman. “Kamu dapat membuat fotomu terlihat lebih baik.”

Wajar saja jika kita ingin dilihat dalam penampilan terbaik kita. Siapa juga yang mau tampil asal-asalan saat menghadiri sebuah acara atau wawancara pekerjaan? Akan tetapi, media sosial sepertinya telah menaikkan standar itu dengan memberi kesempatan yang lebih luas untuk menampilkan sisi terbaik kita. Ketika foto-foto selfie kita terpasang di sana, dunia dapat melihat lebih banyak sisi kehidupan kita, dan kita pun bisa mengetahui pandangan orang tentang diri kita. Dalam artikelnya, Sanghani berpendapat bahwa ber-selfie-ria menunjukkan keinginan untuk “diperhatikan dan diterima dalam masyarakat”. Penerimaan ini seringkali diukur dengan jumlah “like” yang kita peroleh—sebab itu orang bisa menghabiskan banyak waktu untuk mencari tahu mengapa foto tertentu mendapatkan “like” lebih banyak dari yang lain. Tanpa disadari kita bisa membiarkan orang lain menentukan apa yang bernilai bagi kita dan mendefinisikan identitas kita.

Ketika nilai diri kita didasarkan pada pengakuan orang lain, hati kita akan sangat sulit untuk merasa tenang. Kita terus-menerus merasa perlu memperbarui halaman profil kita. Dengan menekan sebuah tombol, kita menghapus semua yang tidak sesuai dengan citra yang ingin kita tampilkan. Kita hanya menyunting, menyimpan, dan mengirimkan foto-foto aktivitas kita yang paling keren sepanjang minggu. Kita khawatir kalau-kalau “diri kita yang sesungguhnya” tidak diwakili dengan baik oleh foto-foto kita.

Tidak heran bila sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2014 di UK menemukan hubungan kecanduan selfie dengan masalah citra diri. Studi yang melibatkan lebih dari 2.000 pria dan wanita berusia 18-30 tahun itu menemukan bahwa orang-orang yang secara teratur mengambil foto selfie memiliki perasaan rendah diri. Tetapi, mengapa harga diri kita begitu rapuh? Apakah itu disebabkan kita selalu bertanya pada diri kita: Layakkah aku? Siapa yang mau menyukai dan menerimaku?

Nilai Diri yang Sejati
Bagaimana bila ternyata ada cara yang lebih baik untuk menilai diri kita daripada mencari pendapat orang lain? Bagaimana bila ada seseorang yang dapat mengetahui segala sesuatu tentang diri kita dan tetap menerima kita apa adanya—lengkap dengan segala kekurangan kita? Dan, bagaimana bila pendapat orang itu adalah satu-satunya pendapat yang benar-benar penting?

Berita baiknya, Pribadi itu sungguh ada. Alkitab memberitahu kita bahwa Pribadi ini mengenal kita seutuhnya, bahkan sebelum kita dilahirkan, karena Dialah yang menciptakan kita:

Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku dalam kandungan ibuku.
Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib;
ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.
Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu,
ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi,
dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah;
mata-Mu melihat selagi aku bakal anak,
dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis
hari-hari yang akan dibentuk,
sebelum ada satupun dari padanya.
(Mazmur 139:13-16)

Setiap kita diciptakan secara istimewa. Kita bisa meyakini hal ini tanpa harus mengirim foto selfie dan menghitung jumlah “like”. Mengapa? Karena Dia yang menciptakan kita adalah Pribadi yang memegang otoritas atas segala sesuatu, dan Dia sendiri yang menyatakan hal ini! Siapakah Dia? Dialah Pencipta kita. Dia menghargai kita sebagaimana adanya kita dan tidak menghakimi kita berdasarkan penampilan luar kita.

Dalam kenyataannya, Sang Pencipta ini telah membuktikan betapa Dia menghargai dan mengasihi kita dengan datang sebagai manusia untuk membangun relasi dengan kita. Namanya adalah Yesus Kristus. Betapa hebatnya bisa memiliki sahabat seperti Dia! Lupakan jumlah “like” di media sosial—apa yang bisa lebih hebat daripada menjadi sahabat Sang Pencipta?

Jadi, bagaimana kita harus memandang selfie? Pastinya selfie adalah cara hebat mengabadikan momen-momen penting untuk dapat diketahui oleh generasi mendatang. Namun, jika kita memiliki pemahaman yang utuh tentang siapa diri kita sebagai ciptaan Yesus, kita tidak akan lagi khawatir tentang apa yang dipikirkan orang tentang kita atau foto-foto selfie kita. Mereka tidak akan lagi mendefinisikan identitas kita, karena Yesus telah menyatakan bahwa kita adalah ciptaan yang berharga dan dikasihi-Nya.

Apakah kamu tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang siapa Yesus yang melihat dan menghargaimu sebagaimana adanya, juga tentang undangan persahabatan-Nya? Bukankah akan hebat bisa melihat siapa dirimu menurut pandangan-Nya dan mengenal identitas dirimu yang sejati?

Jika kamu merasa tertantang untuk menemukan identitasmu yang sejati, kami berharap kamu akan mencari tahu lebih banyak tentang undangan persahabatan yang diberikan oleh Yesus. Kami mendorongmu untuk berbicara dengan seorang teman atau staf di gereja yang dekat dengan tempat tinggalmu untuk mengetahuinya lebih lanjut. Kami berharap artikel-artikel yang kami muat di situs web kami juga dapat menolongmu untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan.

Baca Juga:

Kisahku sebagai Korban Bullying yang Berharga di Mata Allah

Ketika SMA dulu aku sering dibully oleh teman-teman. Akibatnya, untuk membalas perilaku mereka, aku merasa perlu menonjolkan eksistensi diri agar mereka tidak memandang rendah diriku, bahkan kalau bisa supaya mereka takut kepadaku.

Diberi Nama Baru

Jumat, 20 April 2012

Diberi Nama Baru

Baca: Yohanes 1:35-42

Yesus memandang dia dan berkata: “Engkau . . . akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus).” —Yohanes 1:42

Dalam sebuah artikel Leading by Naming (Memimpin dengan Memberi Nama), Mark Labberton menulis tentang pengaruh dari sebuah nama. Ia menulis, “Saya masih dapat merasakan dampak dari seorang musisi teman saya yang suatu hari menyebut saya ‘musisi’. Tak seorang pun pernah memanggil saya demikian. Saya tak bisa memainkan alat musik. Saya bukanlah penyanyi. Akan tetapi . . . saat itu juga saya merasa begitu dikenal dan dikasihi . . . . [Teman saya] memperhatikan, menegaskan, dan menghargai suatu kebenaran dari dalam diri saya.”

Mungkin inilah yang dirasakan Simon ketika Yesus memberinya nama baru. Setelah Andreas yakin bahwa Yesus adalah Sang Mesias, ia segera menemui saudaranya Simon dan membawanya kepada Yesus (Yoh. 1:41-42). Yesus memandang ke dalam hati Simon, lalu menegaskan dan menghargai suatu kebenaran dari dalam diri Simon. Pastilah Yesus melihat kegagalan dan sifat tidak sabaran yang akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Akan tetapi, lebih dari itu, Dia melihat potensi Simon untuk menjadi seorang pemimpin dalam gereja. Yesus menamakannya Kefas—bahasa Aram untuk Petrus—yang berarti sebongkah batu (Yoh. 1:42; lih. Mat. 16:18).

Demikian juga halnya dengan kita. Allah melihat kesombongan, amarah, dan kurangnya kasih kita terhadap sesama, tetapi Dia juga tahu siapa diri kita di dalam Kristus. Dia menyebut kita sebagai umat-Nya yang telah dibenarkan dan diperdamaikan (Rm. 5:9-10); diampuni, dikuduskan, dan dikasihi (Kol. 2:13; 3:12); dipilih dan setia (Why. 17:14). Ingatlah bagaimana Allah memandang Anda dan menetapkan identitas diri Anda sesuai dengan pandangan-Nya itu. —MLW

Sungguh senang saat kutemukan
Kelegaan jiwa yang terus kucari;
Yesus Juruselamat memberiku nama baru;
Kini oleh anugerah-Nya aku dipulihkan. —Hess

Tiada yang dapat mengganti identitas Anda di dalam Kristus.