Posts

Epafroditus, Rekan Paulus yang Melengkapi Penderitaan Kristus

Oleh Jefferson

Memasuki minggu terakhir di masa pra-Paskah, mungkin kamu sering mendengar kata-kata berikut: Kristus, kehidupan, kematian, salib, kebangkitan, sengsara, penderitaan.

Penderitaan.

Aku tahu Tuhan Yesus mengalami berbagai macam penderitaan dan penganiayaan sebelum dan selama Ia disalib, tetapi kata-kata di atas, terutama yang terakhir, seringkali hanyalah kata-kata belaka yang tidak berarti apa pun bagiku. Latar belakang zaman yang menjunjung tinggi indera penglihatan—semua gawai sekarang punya fitur untuk membatasi waktu layar—membuat kita menuntut diberikan contoh nyata supaya bisa memahami suatu konsep atau kata yang abstrak. Aku pun tidak terkecuali. Sebagai contoh, aku pernah memakai Sisi Gelap dan Terang dari seri Star Wars sebagai analogi dari dua sisi realita pelayanan.

Dalam tulisanku kali ini, aku ingin menyajikan kepadamu respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus. Aku tak sedang mengacu kepada film “The Passion of the Christ atau sejenisnya yang mungkin gerejamu tayangkan selama masa Pra-Paskah (walaupun memang adegan-adegannya bisa membantu imajinasi kita). Beberapa bagian Alkitab mengarahkan kita kepada bukti penderitaan Kristus di masa kini, yang kutemukan secara iseng ketika mendengar khotbah John Piper.

Untuk menelusuri jejak bukti ini, kita perlu berkenalan dengan seorang tokoh Perjanjian Baru yang bernama Epafroditus.

Siapakah Epafroditus?

Di antara 31.171 ayat Alkitab, nama Epafroditus hanya disebut secara eksplisit dalam dua ayat dan praktis Paulus hanya membicarakannya sepanjang tujuh ayat. Jadi, di suratnya yang manakah Paulus menulis tentang Epafroditus?

25 Akan tetapi, aku berpikir perlu juga mengutus Epafroditus kepadamu. Ia adalah saudaraku, teman sepelayananku, teman seperjuanganku, dan juga orang yang membawa pesan kepadamu dan yang melayani kebutuhanku. 26 Sebab, ia sangat merindukan kamu semua dan sangat susah hatinya karena kamu mendengar bahwa ia sakit. 27 Memang, dahulu ia begitu sakit sampai hampir mati, tetapi Allah menunjukkan belas kasih kepadanya—dan bukan hanya kepada dia, melainkan juga kepada aku—supaya dukacitaku tidak bertumpuk-tumpuk. 28 Karena itu, aku jadi semakin ingin mengutusnya kembali kepadamu supaya kamu dapat bersukacita ketika melihatnya lagi, dan berkuranglah kekhawatiranku. 29 Sambutlah Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan hormatilah orang-orang seperti dia 30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan bantuan yang tidak dapat kamu berikan kepadaku. (Filipi 2:25–30 AYT).

Ketika menulis surat ini, Paulus kemungkinan besar sedang dipenjara di kota Roma. Paulus memiliki hubungan yang spesial dengan jemaat Filipi sebab mereka adalah gereja pertama yang didirikannya selama melayani di Eropa (Kis. 16:6–40). Maka ketika mereka mendengar penawanan Paulus, mereka segera mengirimkan persembahan dengan Epafroditus sebagai utusan mereka (ay. 25, bdk. Flp. 4:18). Namun, apa daya, ia sakit keras dalam perjalanan ke Roma (yang berjarak sekitar 1.250 km dari Filipi dan membutuhkan waktu perjalanan enam minggu) dan sudah sekarat ketika tiba di sana (ay. 27). Syukurnya Tuhan menyembuhkan Epafroditus sehingga ia dapat melayani kebutuhan Paulus dan menyampaikan pesan dari jemaat Filipi (ay. 25). Beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kekhawatiran jemaat Filipi terhadap Epafroditus dan melihat reaksi Epafroditus sendiri, Paulus berencana mengutusnya kembali supaya jemaat Filipi “dapat bersukacita ketika melihatnya lagi” dan Paulus sendiri bisa lega (ay. 28). Perikop ini diakhiri dengan instruksi Paulus kepada jemaat Filipi untuk menyambut kembali Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan menghormati orang-orang sepertinya yang mempertaruhkan nyawa mereka demi pekerjaan Kristus (ay. 29–30).

Signifikansi Epafroditus bagi kita di masa kini

Sampai sejauh ini, kamu mungkin dapat menerka bahwa “respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus” adalah sesama pengikut Kristus yang menderita dan “hampir mati demi pekerjaan Kristus” (ay. 30). Tebakanmu benar. Aku tidak perlu menulis lebih lanjut lagi. Tulisan ini berhenti di sini. …

… Tapi, tahukah kamu bahwa kombinasi frasa dalam ayat 30 sebenarnya memiliki kembaran di surat Paulus yang lain, yang pemadanannya menyatakan prinsip Alkitab yang mendasari penderitaan orang percaya di masa kini sebagai saksi penderitaan Kristus di masa lampau?

Aku sungguh-sungguh bersyukur kepada Tuhan atas hamba-Nya John Piper, yang 16 tahun lalu dalam khotbahnya menyatakan kemuliaan-Nya yang tersembunyi di dalam kedua teks berikut:

30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan [αναπληρωση / anaphlerohose] bantuan yang tidak dapat [υστερημα / husterema] kamu berikan kepadaku. (Flp. 2:30 AYT).

24 Sekarang, aku bersukacita dalam penderitaanku demi kamu karena di dalam dagingku aku melengkapi [ανταναπληρω / antanaphleroho] apa yang kurang [υστερηματα / husteremata] dalam penderitaan Kristus, demi tubuh-Nya, yaitu jemaat. (Kol. 1:24 AYT).

Di sini kita perlu mengklarifikasi bahwa ketika Paulus menulis penderitaannya “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol. 1:24), ia tidak sedang mengklaim bahwa salib Kristus tidak sepenuhnya menyelamatkan manusia dari dosa dan maut. Sebaliknya, dalam surat-suratnya yang lain (e.g., Roma 5, 1 Korintus 15, Efesus 2), Paulus menegaskan karya keselamatan Kristus lewat penderitaan-Nya di atas salib adalah sempurna dan cukup. Dalam kata-kata Piper, Keindahan, keajaiban, nilai, keagungan, dan kebaikan Kristus yang disalibkan untuk menutupi dosa adalah tak terhingga. Kamu tidak dapat menambahkan apa pun ke dalamnya. Tidak ada yang hilang darinya. Tidak ada kekurangan di dalamnya.

Jadi, apa maksud Paulus ketika menulis begitu? Di Filipi 2:30, kita menemukan penderitaan Epafroditus melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan penderitaan Paulus di Kolose 1:24, yaitu “menggantikan bantuan yang tidak dapat [gereja di Filipi] berikan kepada[nya].” Kombinasi frasa “melengkapi” dan “apa yang kurang” dalam kedua ayat ini mengungkapkan jarak yang memisahkan kedua belah pihak, baik secara fisik maupun waktu. Jemaat Filipi mengasihi Paulus dan ingin melayaninya di Roma, tetapi karena tidak praktis bagi mereka semua untuk pergi ke Roma, mereka mengirim Epafroditus untuk menyatakan kasih mereka kepadanya. Siapa sangka kalau Epafroditus perlu “menderita” untuk melaksanakan misinya! Maka bukan kebetulan jika Paulus melihat kemiripan penderitaan pelayanannya bagi Kristus dengan apa yang menjadi pengalaman Epafroditus, sehingga ia memakai kombinasi frasa yang sama untuk menjelaskan kerelaannya hidup dihantui penderitaan (bdk. 2 Kor. 11:16–33), karena lewat semuanya itu ia sedang mempersaksikan Kristus yang menderita untuk gereja-Nya.

Penderitaan Epafroditus dan Paulus, keduanya murid Kristus, ialah bukti fisik bahwa Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya pernah menderita demi kebaikan jemaat dan orang-orang yang memusuhi-Nya. Dan penderitaan ini tidak sia-sia, sebab kita tahu pasti bahwa Kristus telah bangkit dan menang atas segala sengsara, dosa, dan maut (bdk. 1 Kor. 15).

Penderitaan Kristus yang tidak mungkin kita lihat karena sudah berlangsung lebih dari dua milenia yang lalu sekarang jadi nampak lewat Epafroditus-Epafroditus dan Paulus-Paulus di masa kini. Siapakah mereka? Orang-orang yang mengasihi kita dengan berkorban buat kita, tapi lebih jelas lagi saudara-saudari seiman yang menderita karena iman mereka, baik yang kita kenal sendiri maupun jemaat Tuhan di berbagai belahan bumi yang lain.

Aplikasi dari teladan Epafroditus: berpartisipasi sebagai saksi (penderitaan) Kristus

Meskipun kita mungkin tidak mengalami penganiayaan karena iman kita, tetapi karena gereja Tuhan dipersatukan sebagai satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala (bdk. 1 Kor. 12), kita sepatutnya turut berbagian dalam mempersaksikan penderitaan Kristus kepada dunia. Kalau tangan kita tertusuk duri yang kecil saja, tidakkah satu tubuh kita akan merasa tidak nyaman sepanjang hari? Maka kita perlu mendukung saudara-saudari seiman kita yang dianiaya.

Ada banyak cara kita dapat menerapkan prinsip Firman Tuhan di atas.

Pertama, kita dapat mendoakan saudara-saudari seiman kita yang dianiaya karena iman mereka, baik lewat doa pribadi maupun komunal (e.g., di persekutuan doa atau ibadah). Selain teman atau kenalan yang kita kenal langsung, kita juga dapat mendoakan saudara-saudari seiman di belahan dunia lain. Kamu bisa mencari tahu lebih lanjut dari berbagai organisasi misi, terutama Open Doors International yang melayani orang-orang Kristen yang dianiaya di berbagai pelosok dunia. Open Doors setiap tahunnya merilis laporan World Watch List tentang 50 negara di mana para pengikut Kristus paling sulit mempraktikkan iman mereka.

Kedua, meneladani jemaat Filipi, kita bisa mengirim dana bantuan kepada anggota-anggota tubuh Kristus yang dianiaya lewat organisasi-organisasi misi yang melayani di area tersebut, seperti Open Doors, Wahana Visi Indonesia / World Vision, dan Compassion International. Sangat mungkin Allah akan mengirimkan para Epafroditus di masa kini untuk menyalurkan dana bantuan kita kepada umat-Nya yang membutuhkan sehingga kesaksian penderitaan Anak-Nya semakin luas diberitakan. Aku bersyukur atas kesempatan-kesempatan dari Allah selama ini, di mana aku bisa membantu saudara-saudarai seiman yang membutuhkan, termasuk dana bantuan kepada jemaat bawah tanah, mendukung pelayanan sosial di salah satu daerah paling terbelakang di Indonesia, dan menjadi sponsor adik asuh.

Terakhir, kita bisa mempersaksikan penderitaan Yesus Kristus lewat kehidupan kita sendiri. Pengikut-pengikut Kristus sepanjang sejarah telah meneladani Paulus dengan memberikan diri mereka untuk memberitakan Injil dan menderita karenanya. Namun, lewat pengorbanan mereka, orang-orang yang mereka layani menerima pesan Injil secara utuh: bahwa Allah telah datang sebagai Yesus Kristus untuk menderita dan mati demi menyelamatkan umat manusia, telah bangkit dalam kemenangan atas dosa dan maut, dan sekarang mengutus murid-murid-Nya untuk memberitakan kedatangan-Nya yang kedua dan meneladani-Nya dengan mengasihi orang lain tanpa terkecuali, termasuk musuh-musuh mereka.

Kebanyakan dari kita dalam menjadi saksi Injil Kristus mungkin tidak akan pernah menderita seperti Epafroditus atau Paulus. Namun, Tuhan bisa memakai kita untuk mempersaksikan penderitaan Kristus dengan nyata bagi orang-orang yang kita temui. Salah satu peristiwa itu terjadi untukku beberapa tahun lalu. Aku memiliki hubungan yang praktis seperti saudara kandung dengan sepasang seniorku di gereja. Begitu seringnya aku mengunjungi mereka untuk membicarakan segala macam topik, bertukar kisah kehidupan, dan bermain dengan anak mereka, sampai-sampai sewaktu aku pulang dari rumah mereka, “keponakan”-ku akan menangis karena mau terus bermain dengan Paman Jeff. Suatu hari, “kakak perempuan”-ku sakit cukup parah sehingga harus diopname beberapa hari. Mendengar situasi mereka, aku langsung menawarkan diri untuk membantu sebisaku. Selama dua hari Sabtu berturut-turut, aku membantu mengasuh “keponakan”-ku sambil kakak rohaniku mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menjenguk istri di rumah sakit. Aku baru tahu belakangan darinya bahwa aku termasuk dari segelintir jemaat yang menawarkan bantuan kepada mereka dan bahwa mereka sangat bersyukur kepada Tuhan atas uluran tangan, kehadiran, dan pengorbanan kami untuk mereka di tengah masa sulit.

Ketika mendengar kakak rohaniku berkata begitu, sejujurnya (dan sampai sekarang) aku tak merasa melakukan pengorbanan apa pun. Memang ada satu atau dua janji temu yang harus kuganti waktunya supaya aku bisa membantu mereka, tapi aku tak merasa direpotkan sama sekali. Justru aku merasa terberkati karena bisa membantu mereka. Pada momen inilah aku memahami teladan Epafroditus dengan lebih utuh, konsep yang hanya aku mengerti dengan kepalaku sebelumnya sekarang telah kupraktikkan sendiri: adalah kasih Tuhan Yesus yang menopang Epafroditus melewati lembah maut ketika melayani Paulus mewakili jemaat Filipi, dan adalah kasih-Nya yang mendorongku untuk mengulurkan tangan kepada kakak-kakak rohaniku ketika mereka membutuhkannya.

Dan, lebih dalam dari tindakanku dan Epafroditus, adalah kasih-Nya yang menopang Kristus untuk patuh kepada Bapa-Nya di tengah cambukan, ludahan, dan cemoohan, bahkan patuh hingga mati digantung di kayu salib untuk semua orang berdosa yang percaya kepada-Nya, termasuk kita (Flp. 2:5–8). Tidakkah kematian dan kebangkitan Kristus mencengangkan bagi kamu? Apalagi untuk orang-orang yang menyaksikannya lewat kesaksian kita!

Mempersaksikan (penderitaan) Kristus hingga dunia mendengar dan percaya

Ada satu kisah menarik dalam bab 17 dari novel Life of Pi karangan Yann Martel. Pi adalah seorang Hindu yang pernah berinteraksi dengan seorang romo Katolik bernama Bapa Martin semasa remajanya. Dalam salah satu percakapan mereka, si romo bercerita tentang Yesus Kristus, Anak Allah yang mati untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Pi bergumul keras dengan kisah ini. Ia tidak bisa menerima kisah Yesus Kristus sebagai kebenaran.

Di pertemuan berikutnya, Pi mencecar Bapa Martin,

… Tapi Allah yang pernah mati akan selalu pernah mati, bahkan kalau Ia bangkit sekalipun. Sang Anak tidak akan pernah bisa melupakan rasa dari kematian di mulut-Nya untuk selama-lamanya. Allah Tritunggal tidak akan berhenti dinodai kematian; pastinya ada bau busuk kematian di sebelah kanan Allah. Kengerian ini begitu nyata. Mengapa Ia menginginkan hal itu terjadi pada-Nya? Mengapa Ia tak membiarkan manusia mengalami kematian sendirian? Mengapa Ia mengotori apa yang indah, merusak apa yang sempurna?

Kamu tahu apa jawaban Bapa Martin?

Kasih.

Sepatah kata, tidak lebih, tidak kurang.

Pi menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan sambil terus membandingkan iman Kristen dengan iman Hindu, namun jawaban Bapa Martin tetap sama singkat, Kasih.”

Inilah Injil yang pengikut Kristus beritakan lewat penderitaan, pengorbanan, dan pergumulan mereka: Allah yang disalibkan, mati, dan bangkit, “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi,… kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor. 1:23–24). Tidaklah heran kalau semua kasih yang sejati adalah bayang-bayang dari kasih Kristus, sebab hanya kepada nama-Nya sajalah “bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi… bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:9–11).

Seperti Pi, dunia perlu mendengar dan dikagetkan dengan realita Allah yang menderita demi menyelamatkan manusia berdosa. Dan, seperti Epafroditus dan Paulus, Allah memanggil umat-Nya di masa kini untuk menderita bagi-Nya demi menggenapi apa yang kurang pada penderitaan Anak-Nya dalam kesaksian tubuh-Nya, yaitu gereja (Kol. 1:24). Maka adalah misi kita sebagai anggota-anggota yang lain dari tubuh Kristus untuk memastikan bahwa dunia mendengar Kabar Baik ini, mengetahui penderitaan murid-murid Kristus karena iman mereka, dan, kalau Tuhan berkehendak, turut meneladani Epafroditus dan Paulus menjadi saksi (penderitaan) Kristus.

Puji Tuhan atas Epafroditus!

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, Soli Deo gloria!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Jika Tak Mau Bayar Harga, Sulit untuk Mempertahankan Sesuatu

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Saat masih sangat muda, banyak dari kita yang mungkin sering terkagum-kagum melihat pekerjaan atau profesi orang-orang besar dan berharap kita bisa jadi seperti mereka. Namun kita juga sering lupa bahwa ada harga yang telah dibayar oleh orang-orang itu sebelum mereka mencapai posisi itu. Sayang sekali, ada orang-orang yang ingin menjadi sehebat dan setenar Cristiano Ronaldo, tanpa mau tahu seberapa ketat porsi latihan dari sang penyerang Portugal agar bisa mempertahankan performanya. Banyak juga yang mungkin ingin berlari secepat Usain Bolt pada masa primanya, tetapi lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur-tiduran di sofa ketimbang melatih diri. Kita sering lupa “membayar harga” untuk mencapai dan mempertahankan sesuatu.

Kukira hal yang sama inilah yang terjadi terjadi kepadaku dan beberapa rekanku, bertahun-tahun yang lalu, ketika kami hendak mengambil keputusan untuk menjadi “hamba Tuhan”. Kami melihat beberapa pengkhotbah dan pengajar Kristen populer yang telah berdampak bagi banyak sekali orang. Kami merasa terberkati dengan semua khotbah dan pengajaran mereka, dan tentu saja, sebagai anak muda, kami mau jadi seperti mereka!

Apa yang ada dalam pikiran kami adalah bahwa tugas “hamba Tuhan” hanyalah berkhotbah. Kami datang dan berdiri di depan sekumpulan orang, menyampaikan isi Alkitab yang telah dipelajari, membuat orang tersenyum dengan pengetahuan kita yang luas, membuat mereka merasa mendapatkan penguatan, dan jika perlu, sedikit teguran bagi mereka yang tidak taat, lalu setelah itu pulang ke rumah, dan menunggu jadwal khotbah/mengajar lainnya.

Lucunya, kami benar-benar lupa makna dari perkataan Tuhan Yesus yang telah sering kami baca, bahkan telah berkali-kali kami khotbahkan: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Markus 8:34). Bagaimana mungkin kita dapat membayangkan perjalanan bersama Tuhan tanpa memikul salib? Sungguh adalah sebuah ironi ketika engkau dan aku, sebagai pengikut Kristus tetapi tidak menyadari “harga yang harus dibayar” dalam mengikut-Nya.

Sampai di sini, cobalah untuk membuka kembali mata kita lebar-lebar lalu perhatikan narasi-narasi di dalam Kitab Suci. Apa yang terjadi kepada mereka yang hidupnya telah dipakai bagi Tuhan? Mereka mengalami proses yang tidak main-main. Tentu ini tidak berarti bahwa mereka terus-terusan menderita, tanpa sedikitpun menikmati kebahagiaan. Mereka juga bersukacita dengan menikmati pemeliharaan dan pemulihan dari Tuhan dalam hidup mereka. Namun satu hal yang pasti, yakni hidup terus berjalan, roda berputar, kadang di atas kadang di bawah, ada senyum, ada air mata, tetapi akan selalu ada penyertaan Tuhan.

Mungkin kisah Polikarpus dari Smirna akan menjadi sebuah kepingan penting dari tulisanku ini. Polikarpus yang hidup pada abad ke-2 adalah salah satu murid dari Rasul Yohanes. Kata-katanya yang menggetarkan jiwa ketika dihadapkan dengan ancaman agar menyangkal Tuhan Yesus akan selalu menjadi “api” bagi pemberitaan Injil: “Selama delapan puluh enam tahun aku telah melayani Kristus dan tidak pernah sekalipun Ia menyakitiku, bagaimana aku dapat menghujat Rajaku yang telah menyelamatkan aku?”

Polikarpus akhirnya dibakar dan ditombak sampai mati karena keteguhan imannya. Ia tahu persis apa yang menjadi konsekuensi saat ia mengabdi kepada Allah. Ia sadar betul, ada salib yang akan ia pikul, tetapi ia juga tidak pernah lupa bahwa Sang Raja, Yesus Kristus, telah lebih dahulu membayar harga yang tidak bisa dibayar oleh kita semua, yakni “harga” pengampunan dosa. Ia mengerti, terlalu mahal harga pembebasan nyawanya dan tak seorangpun dapat memberikan tebusan kepada Allah ganti nyawanya. Ia memahami, Yesus, Rajanya itu, telah memberikan diri-Nya sendiri sebagai korban pengganti di kayu salib kasar itu. Polikarpus mengenal dengan baik kepada siapa ia mengabdi dan darahnya akan terus berteriak memberi semangat kepada para pengikut Kristus.

Teladan Polikarpus mungkin terasa amat ngeri jika dilihat dari konteks zaman sekarang. Salib yang kita pikul mungkin bukanlah tentang mengalami penyiksaan fisik dan dibunuh seperti para martir abad pertama, tetapi esensi salib itu tidaklah berubah. Memikul salib adalah panggilan mulia sekaligus harga yang kita bayar untuk hidup semakin serupa dengan-Nya. Jika engkau adalah seorang mahasiswa, mungkin salib yang harus engkau pikul adalah menuntaskan studimu dengan bertanggung jawab. Jika engkau adalah seorang wirausaha, mungkin salibmu adalah berbisnis dengan jujur meskipun itu membuatmu susah payah. Memikul salib berarti kita bersedia mengikut Yesus, mengikuti apa yang Dia firmankan dengan sungguh-sungguh, tanpa lagi melihat susah atau mudahnya buat diri kita sendiri.

Polikarpus dan para pejuang iman lainnya, yang telah memberikan hidupnya bagi Kristus, dan juga yang kepadanya Kristus telah memberikan hidup-Nya, termasuk engkau dan aku, teruslah mengabdi kepada Sang Raja yang telah memberikan kita jaminan hidup kekal dan yang berjanji untuk senantiasa menyertai kita semua.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Persamaan antara Ishak yang (hampir) dikorbankan dengan pengorbanan Yesus

Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa Abraham diminta untuk mengorbankan Ishak, anaknya yang satu-satunya?

Mungkin kita berpikir bahwa kisah Abraham menunjukkan buruknya Abraham ketika dia menjadi ayah bagi Ishak, tentang bagaimana dia tidak ‘berjuang’ untuk mempertahankan anaknya. Namun, pada intinya, kisah Abraham sebenarnya adalah kisah tentang betapa baiknya Allah sebagai seorang Bapa bagi kita.

Di akhir Kejadian 22, Ishak diselamatkan, tetapi di akhir Injil, kematian Yesus menyelamatkan kita.

Lihatlah kesejajaran di antara kedua ayat ini supaya kita dapat melihat bagaimana Allah menggunakan Abraham dan Ishak untuk menunjukkan pada kita besarnya kerinduan-Nya untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu