Posts

Saat Tuhan Tidak Mengabulkan Doaku

Oleh Yuliani Trifosa, Bandung

“Aku ingin begini, aku ingin begitu
Ingin ini, ingin itu, banyak sekali…”

Pernah mendengar lagu dengan lirik di atas? Bagi generasi 90-an sepertiku, lirik tersebut bukanlah lirik yang asing. Itu adalah lirik lagu dari film kartun kesukaanku, Doraemon, yang dulu selalu hadir di layar televisi setiap hari Minggu.

Sejak kecil, aku sangat senang dengan cerita-cerita di film Doraemon. Tak jarang, aku pun jadi berandai-andai: seandainya saja aku punya teman seperti Doraemon yang bisa mengabulkan semua permintaanku, sepertinya hidupku akan bahagia.

Tapi, dari cerita-cerita Doraemon, aku mendapati bahwa sekalipun banyak keinginan Nobita yang dikabulkan oleh Doraemon, seringkali pada akhir cerita justru keinginan tersebut malah menjadi bencana untuk Nobita. Dalam salah satu episodenya, Nobita pernah meminta Doraemon untuk memajukan waktu hingga ke masa depan untuk menghindari masalah. Tapi, karena Nobita terlalu asyik menghindari masalah dan ingin lebih cepat mengetahui apa yang menjadi masa depannya, tanpa sadar Nobita segera menjadi tua dan tak lagi punya kesempatan untuk kembali ke masa sekarang. Pada akhirnya, aku jadi berpikir: andai saja Doraemon tidak memberikan semua yang Nobita mau, mungkin Nobita tidak akan jadi begitu.

Melihat karakter Nobita yang suka merengek supaya permintaanya dikabulkan Doraemon, aku mendapati bahwa diriku pun terkadang menjadi seperti Nobita. Aku meminta kepada Tuhan dengan penuh percaya diri bahwa akulah yang paling tahu tentang diriku sendiri. Tapi, saat itu aku lupa bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang lebih tahu tentang aku karena Dia adalah penciptaku. Tuhan tahu betul setiap detail kehidupanku, bahkan Alkitab pun berkata bahwa setiap helai rambutku pun terhitung jumlanya oleh Tuhan (Matius 10:30).

Suatu ketika, aku pernah meminta pada Tuhan supaya ayahku disembuhkan dari sakitnya.
Dalam kondisi terserang penyakit stroke yang menyerang rongga mulut, ayahku tidak mampu lagi menelan makanan yang masuk ke mulutnya. Keadaannya terus menurun hingga dia pun mengalami koma.

Saat itu, di masa kritisnya, aku memohon pada Tuhan supaya memperpanjang umur ayahku satu bulan saja. “Tuhan, Engkau punya banyak orang yang mengasihi-Mu di surga. Tetapi aku tidak punya banyak. Tolong jangan ambil ayahku,” mohonku pada Tuhan. Namun, belakangan aku sadar bahwa doa itu adalah doa yang egois. Dalam kondisi tak mampu menelan makan, ayahku harus dipasangi selang supaya perutnya dapat menerima makanan. Tentu ini sungguh menyakitkan buatnya.

Tuhan berkehendak lain. Dia memberi kesembuhan secara total kepada ayahku dengan cara memanggilnya ke pangkuan-Nya. Kecewa? Ya, tentu aku kecewa saat itu. Aku masih merasa bahwa seharusnya ini tidak terjadi kepadaku. Kehilangan sosok yang begitu kukasihi rasanya begitu pedih. Namun, di tengah kesedihan itu aku diingatkan akan surat Paulus kepada jemaat di Roma, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Ayat ini menyentakku. Tuhan tahu yang terbaik untuk Ayah dan juga untukku. Ketika Dia memilih untuk memanggil pulang Ayah, kupikir itu adalah cara-Nya untuk memberi kesembuhan dan melepaskan Ayah dari penderitaan karena sakitnya. Pada akhirnya, melalui peristiwa ini aku belajar untuk menerima dengan iman bahwa Allah adalah Allah yang Mahatahu dan rancangan-Nya adalah yang terbaik.

Ada begitu banyak hal dalam hidup ini yang sulit untuk dimengerti, termasuk ketika Tuhan menjawab doa permohonan kesembuhan ayahku dengan memanggilnya pulang. Namun, satu hal yang aku tahu dengan pasti yaitu Allah adalah kasih. Allah baik bukan karena dia memberikan kesembuhan atau kesuksesan, tetapi karena Dia adalah baik. Allah mengasihi bukan hanya ketika Dia memberikan berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Oleh karena itu, aku belajar menerima bahwa segala hal dalam kehidupanku terjadi seturut hikmat dan kasih-Nya untukku.

Aku bersyukur bahwa Allah itu tidak seperti Doraemon. Dia tidak semena-mena memberikan apa saja yang diminta oleh manusia. Memang pada kenyataannya, sebagai manusia aku tidak suka ketika Tuhan menjawab “tidak” atas apa yang aku mau. Jawaban yang diinginkan pasti “ya”, atau setidaknya “tunggu”. Namun, ada satu ayat yang aku ingat ketika aku meminta sesuatu kepada Tuhan. Yesaya 55:8 mengatakan:

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.”

Kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada Tuhan, karena kita seperti domba yang pandangan matanya terbatas. Kita tidak tahu betul apa yang paling baik buat kita. Mungkin kita menganggap apa yang kita minta sekarang inilah yang terbaik dan jika kita mendapatkannya, kita pasti bahagia. Tetapi, ada seorang Gembala Agung, yang bisa melihat lebih jauh dan lebih luas dari apa yang kita bisa lihat. Dialah Gembala yang Mahatahu dan yang telah merancang masa depan kita dengan rancangan damai sejahtera.

Sebagai manusia yang terbatas, kita tentu perlu seorang sandaran yang lebih besar dan berkuasa dari kita. Satu-satunya pribadi yang bisa memuaskan keinginan itu adalah Tuhan Yesus. Dialah Bapa yang sempurna. Dia tahu yang terbaik untuk setiap kita, dan ketika kita menyerahkan kehidupan kita ke dalam tangan-Nya dan membiarkan Dia bekerja sesuai kehendak-Nya, kita akan memperoleh sukacita kekal.

Baca Juga:

Empat Fakta Tentang Persahabatan

Memelihara hubungan dengan sahabatku adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah kubuat. Dan, melalui proses ini, inilah 4 hal yang telah aku pelajari.

Dalam Peliknya Masalah Kemiskinan, Kita Bisa Berbuat Apa?

Oleh Yuliana Martha Tresia, Depok

Masih jelas tergambar dalam pikiranku kondisi pemukiman di kolong jembatan di daerah Ancol, Jakarta Utara yang kukunjungi sebulan lalu. Mayoritas warganya bekerja sebagai pemulung. Rumah-rumah mereka didirikan seadanya, bukan tergolong rumah yang sehat. Anak-anak berkerumun dan mengenakan pakaian yang lusuh berdebu. Apakah mereka sekolah? Kebanyakan tidak. Apakah mereka mendapatkan akses kesehatan? Tidak juga.

Itulah sedikit gambaran dari kemiskinan, suatu fenomena yang mengakar dan menyebar tak hanya di Jakarta, tetapi juga di wilayah lain Indonesia, bahkan juga di dunia. Kemiskinan adalah masalah yang pelik, dan mungkin juga membuat kita bertanya-tanya: apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya dan menolong mereka yang kurang beruntung?

Pertanyaan seperti ini pernah membuatku bingung. Buatku, kemiskinan adalah sebuah realita yang terlalu besar—too cruel to be complicated. Sejak aku masih duduk di bangku SMA, hatiku selalu tergerak ketika bersentuhan dengan realita kemiskinan. Aku merasa gelisah jika melihat anak-anak mengemis di lampu merah ataupun kalau aku menonton tayangan reality show di TV yang menyoroti kemiskinan. Namun, waktu itu aku tidak tahu langkah nyata apakah yang sejatinya bisa kuperbuat sebagai kontribusiku untuk mengentaskan kemiskinan tersebut.

Sewaktu duduk di SMA dulu, aku mengagumi Bunda Teresa, seorang biarawati yang mengabdikan hidupnya untuk melayani orang-orang miskin. Teladan yang diberikan oleh Bunda Teresa membuatku semakin terpanggil untuk melayani mereka yang paling miskin di antara orang-orang miskin. Mengikuti panggilan ini, aku pun bergumul untuk belajar mengenai kemiskinan lebih banyak melalui Ilmu Sosiologi. Dalam rencana-Nya, Tuhan ternyata membukakan jalan dengan kelulusanku di jurusan Sosiologi.

Selama tiga setengah tahun belajar Sosiologi, aku menyadari bahwa jurusan ini memberiku pemahaman tentang kemiskinan dari sudut pandang yang amat kaya, yaitu kemiskinan dari sisi makro dan mikro. Melalui ambil bagian sebagai relawan dalam berbagai acara kemanusiaan, aku memahami bahwa ternyata kemiskinan bukan melulu soal ekonomi, tapi juga ada faktor pendidikan, lingkungan, kesehatan, gender, dan sebagainya.

Setelah lulus kuliah, aku pun bekerja di sebuah yayasan yang bergerak di bidang pelayanan terhadap kaum miskin. Sehari-harinya, aku bertanggung jawab untuk mempublikasikan konten-konten terkait pelayanan sosial-kemanusiaan yang kami lakukan. Tapi, dalam beberapa kesempatan aku pun diterjunkan ke lapangan untuk melayani orang-orang miskin secara langsung.

Sejak masa SMA hingga hari ini, aku rasa aku telah melakukan banyak hal sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Aku mengikuti berbagai kegiatan kemanusiaan, berdonasi, sampai bekerja di yayasan yang melayani orang-orang miskin. Namun, dalam hati aku sempat merasa bahwa aku belum berdampak apa-apa bagi masalah kemiskinan di Indonesia. Aku pernah membandingkan diriku dengan teman-teman lain yang kupikir karyanya jauh lebih banyak dan baik daripada aku. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa benar masyarakat pra-sejahtera yang kutolong selama ini juga memang merasa tertolong? Aku merasa pertolongan yang kuberikan itu begitu terbatas, minimal, dan hanya sementara. Aku tetap merasa bahwa kemiskinan ini terlalu sulit untuk diatasi.

Namun, dalam perenunganku, aku mendapati bahwa Tuhan menegurku: mengapa harus mendambakan hal-hal besar dan tidak bersyukur untuk hal-hal kecil yang sudah kulakukan? Aku sadar bahwa pikiranku berpikir terlalu jauh hingga aku lupa bahwa setiap orang memiliki bagiannya masing-masing. Ada yang Tuhan percayakan hal-hal besar, tapi ada pula yang dipercayakan hal-hal kecil.

Pikiranku yang terlalu berfokus pada dampak membuatku melupakan satu hal yang amat penting. Paulus menuliskan demikian:

“If I give all I possess to the poor and give over my body to hardship that I may boast, but do not have love, I gain nothing” (1 Corinthians 13:3 NIV).

Atau dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia tertulis:

“Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (1 Korintus 13:3).

Perkataan Rasul Paulus di atas kembali menegurku. Yang terpenting dalam pelayanan kepada orang-orang miskin bukanlah tentang seberapa besar karya yang sudah kita perbuat, melainkan lebih kepada sikap hati kita: adakah kasih yang mendalam yang terus dipertahankan untuk mereka yang tidak berpunya di sana?

Hari itu aku menyadari bahwa satu hal sederhana yang bisa aku dan kita semua lakukan untuk menghadapi peliknya masalah kemiskinan adalah dengan mengasihi. Kita bisa mulai mengasihi mereka dan kemudian kasih inilah yang akan menggerakkan kita menuju aksi-aksi nyata selanjutnya. Cara pertama untuk mulai mengasihi adalah dengan berdoa. Dalam refleksiku bersama Tuhan, aku sadar bahwa doa yang tulus bagi seorang anak kecil yang kita lihat memulung di pinggir jalan pun bisa merupakan sebuah tanda kasih yang besar. Kita bisa berdoa untuk masalahan kemiskinan yang terjadi dan juga berdoa supaya Tuhan menolong mereka yang terjerat dalam kemiskinan.

Kok hanya berdoa? Doa bukanlah alasan bahwa kita tidak mau berbuat apa-apa, melainkan doa adalah tanda keberserahan penuh kita kepada Tuhan yang jauh lebih berkuasa atas masalah kemiskinan yang pelik dan yang tak bisa kita selesaikan sendirian. Kita harus mengakui bahwa menolong seseorang keluar dari kemiskinan bukanlah pekerjaan yang sepele. Kita membutuhkan intervensi tangan Tuhan, dan itu dimulai dengan doa.

Aku belajar untuk mendasari setiap pelayananku dengan doa dan kasih yang besar. Segala sesuatu yang dilakukan dengan kasih yang besar tentu berarti lebih di mata Tuhan dan akan memberi dampak kepada mereka yang hidup dalam kemiskinan.

Mungkin tidak banyak dari kita yang memang hidupnya terpanggil untuk melayani orang-orang miskin secara langsung. Tapi, aku percaya bahwa kita semua dipanggil oleh Tuhan untuk mengasihi semua orang, termasuk orang-orang yang miskin, sebagaimana Tuhan sendiri bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).

Hari ini, di tengah peliknya masalah kemiskinan yang sepertinya tak ada ujungnya, maukah kamu berdoa kepada Tuhan dan meminta hati yang mau mengasihi dengan kasih yang besar?

Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari Ketika Temanku Meninggalkan Gereja Karena Konflik

Ketika seseorang meninggalkan gereja karena sebuah konflik, sangatlah mudah untuk menyembunyikan masalah itu dan berpura-pura seolah semuanya tidak pernah terjadi. Tapi, pertanyaannya adalah: siapa yang mau merendahkan dirinya untuk mengakui bahwa mereka telah salah dan meminta maaf?