3 Hal yang Kupelajari Ketika Temanku Meninggalkan Gereja Karena Konflik

Oleh Constance G., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: My Friend Left The Church Because of Me

“Aku ingin undur diri sejenak dari gereja dan kalian semua untuk berpikir tentang apa yang sedang terjadi,” tulis seorang teman baikku melalui pesan singkat. Sejak saat itu, aku tak pernah melihat Jasmine* datang kembali ke gerejaku lagi.

Cerita ini bermula saat kami bertiga menginap di rumah Jasmine. Jasmine, Stacy*, dan aku sedang mengobrol malam itu, dan aku mengucapkan sebuah candaan (yang aku sendiri sudah tak ingat) yang membuat Jasmine sangat tersinggung. Stacy tertawa dan kami berdua pikir semuanya baik-baik saja.

Candaan yang sepertinya biasa saja itu ternyata begitu melukai Jasmine. Dia berhenti berbicara dan menjaga jarak dari kami setelah malam itu.

Karena bingung akan sikapnya yang berubah drastis, kami mengiriminya pesan dan bahkan berkunjung ke rumahnya sambil membawakan kue kesukaannya. Tapi, semua ini sia-sia. Kebingungan kami berubah menjadi frustrasi ketika dia mulai mengabaikan teman-teman kami yang lain yang sebenarnya tidak terlibat dalam konflik ini.

Untuk menyelesaikan masalah ini, kami coba menceritakannya kepada teman kami yang lain. Tapi, bukannya mencoba memahami keadaan dari sudut pandang Jasmine, kami malah menilai dan menghakimi Jasmine dengan pemikiran kami sendiri. Bahkan, kami sempat berpikir untuk mengiriminya pesan dengan kata-kata yang menohok supaya dia mau menceritakan mengapa dia bersikap seperti ini. Hingga suatu malam, aku dan Stacy menerima pesan yang ditulis dengan serius oleh Jasmine.

Jasmine merasa disakiti karena perkataan kami, dan dia memilih untuk meninggalkan gereja. Meskipun kami tidak menginginkan ini terjadi, aku harus mengakui bahwa di satu sisi kami merasa lega karena kami tidak perlu bertemu dia (dan menghadapi situasi yang canggung) lagi di gereja.

Meskipun masalah ini seolah terlihat selesai, sesungguhnya kami telah kalah melawan keinginan dosa kami.

Ketika seseorang meninggalkan gereja karena sebuah konflik, sangatlah mudah untuk menyembunyikan masalah itu dan berpura-pura seolah semuanya tidak pernah terjadi. Tapi, pertanyaannya adalah: siapa yang mau merendahkan dirinya untuk mengakui bahwa mereka telah salah dan meminta maaf?

Rasul Paulus berulang kali menegaskan bahwa gereja adalah tubuh Kristus (1 Korintus 12:27; Efesus 4:12) dan memberi kita tiga instruksi tentang bagaimana seharusnya kita saling berelasi sebagai anggota tubuh Kristus:

1. Sebagai tubuh Kristus, kita dipanggil untuk menjadi satu

Gereja adalah tubuh Kristus dan setiap kita adalah anggota yang memainkan peran masing-masing yang spesifik sebagai kesatuan keluarga Allah. Dalam Efesus 4, Paulus mendorong kita untuk hidup dengan rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Kesatuan tidak dimulai dari sebuah kelompok atau orang lain. Kesatuan harus dimulai dari diri kita sendiri.

Kita harus belajar mengutamakan orang lain daripada diri kita sendiri (Filipi 2:3-4), tidak membalas menyakiti ketika ada saudara seiman yang melakukan kesalahan, menunjukkan kebaikan, kesabaran, dan kasih karunia kita kepada mereka.

Pada akhirnya, kesatuan adalah tentang menyadari bahwa orang lain adalah saudara atau saudari kita di dalam Kristus, dan melakukan bagian kita dalam pelayanan sehingga kita dapat tumbuh bersama menuju kedewasaan (Efesus 4:13).

2. Sebagai tubuh Kristus, kita dipanggil untuk mengasihi

Rasul Paulus memberitahu kita bahwa yang mendasari segala sesuatu adalah kasih (Efesus 4:2). Meskipun waktu itu aku tidak memiliki niat jahat kepada Jasmine saat bercanda, tapi ketidakpekaanku terhadapnya menunjukkan bahwa aku juga kurang mengasihi. Akibatnya, masalah ini pun menjadi besar karena aku dan teman-temanku tidak berusaha mengasihi dan memahami Jasmine.

Melalui peristiwa ini, aku belajar bahwa mengasihi orang lain itu bukan sekadar didasarkan pada perasaan semata. Mengasihi adalah sebuah perintah dan pilihan sadar yang harus kita lakukan. Jika kita mengakui bahwa kita mengasihi Tuhan, kita harus belajar mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri sendiri (Markus 12:31)—tidak peduli betapa sulit atau menyebalkannya orang itu.

Ketika aku merasa sulit untuk mengasihi orang-orang yang menurutku tidak layak dikasihi, aku mengingat bahwa Tuhan tetap memilih untuk mengasihiku sekalipun aku bukanlah orang yang layak untuk dikasihi. Jika Tuhan bisa mengasihi orang sepertiku, maka seharusnya aku juga bisa mengasihi temanku dan menyalurkan kasih yang kuterima dari Tuhan itu kepada temanku (1 Yohanes 4:19).

3. Sebagai tubuh Kristus, kita dipanggil untuk mengampuni

“Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Ketika kita mengerti betapa besar kasih Allah untuk kita, barulah kita mampu mengampuni orang lain.

Mengampuni adalah sebuah aksi nyata yang harus kita lakukan. Hal itu tidak mudah, tetapi karena Kristus telah mengampuni kita, maka kita pun dapat saling mengampuni (Efesus 4:32). Kita tidak dipanggil untuk saling mengampuni hanya sekali atau dua kali, tetapi tujuh puluh kali tujuh kali (Matius 18:21-22) dan untuk mencari perdamaian.

Dalam konflik yang kualami, kami tidak berusaha mengampuni sampai seorang kakak senior mengajak kami berdiskusi. Dia mengingatkan kami bahwa ketika kita berkumpul, Tuhan turut hadir bersama kami (Matius 18:20). Ketika kami menjelaskan mengapa konflik ini terjadi, Tuhan bekerja di hatiku untuk berani memohon maaf dan mengampuni Jasmine. Pertemuan dengan kakak seniorku menolongku untuk memahami keadaan dari sudut pandang yang lain dan juga saling mengampuni.

* * *

Sekalipun Jasmine telah meninggalkan gerejaku, aku bersyukur karena kami telah saling mengampuni dan berteman kembali. Sekarang, Jasmine pergi berjemaat di gereja lain, tetapi kami masih sering pergi bersama-sama secara rutin.

Melalui peristiwa ini, aku belajar untuk mengerti bahwa keharmonisan dan kesatuan di gereja itu sangat sulit dibangun ketika kita masih memelihara dosa. Relasi kita dengan sesama tidak pernah bisa jadi sempurna dan kita akan selalu menyakiti orang lain. Tetapi, Tuhan mengungkapkan kepada hatiku yang rapuh bahwa kesatuan dan keharmonisan di gereja adalah sesuatu yang harus kita kerjakan dengan sungguh-sungguh dan tidak dapat kita anggap remeh.

Rekonsiliasi dan kerendahan hati hanya bisa dilakukan dengan bantuan kuasa Allah yang besar. Namun, jika kita mengingat bahwa kita memiliki kasih Allah yang mengikat kita semua, kita bisa menjadi tubuh Kristus yang sesuai dengan kehendak Allah.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

3 Akibat yang Kurasakan Ketika Aku Terlalu Terobsesi dengan Drama Korea

Jalan cerita yang menarik dan para pemainnya yang rupawan merupakan daya tarik tersendiri dari drama Korea. Aku suka drama Korea yang bergenre romantis dan komedi. Hingga saat ini, mungkin sudah ada puluhan drama Korea yang kutonton. Namun, seiring berjalannya waktu aku menyadari ada beberapa hal tentang drama Korea yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku jika aku tidak bijak menyikapinya.

Bagikan Konten Ini
2 replies
  1. Gabriella Yanie
    Gabriella Yanie says:

    Amin…hal seperti ni memang sering terjadi, juga terhadap saya. Malah pengalaman saya yg msh brlangsung saat ni adalah ada salah 1pelayan tempat saya beribadah yang tiba2 g mau ngomong sama saya, bahkan hanya untuk sekedar menjawab sapaan saya. Tersinggung itu pasti, ada perasaan malas ke gereja karena kecewa dgn pelayanx. Tapi bukan berarti saya harus pindah gereja dan kecewa sama Tuhan…saya hanya mencoba tetap rendah hati, tetap beri salam meskipun tdk pernah djawab dan memaafkan. Karena tujuan utama saya k gereja adalah untuk Tuhan, hanya itu yg saya tanamkan dlm ingatan saya. God Bless

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *