Lebih dari Optimisme, Inilah yang Harus Kita Lakukan untuk Menghadapi Realita Kehidupan

lebih-dari-optimisme

Oleh M.D. Valley, Afrika
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Should Christians be Optimistic or Cynical?

Dulu, perasaanku sering berubah-ubah. Kadang aku menjadi seorang yang optimis, namun aku dapat berubah menjadi seorang yang pesimis.

Setiap kali aku menginginkan sesuatu, aku akan membulatkan tekadku dan memberikan usahaku (bahkan sampai 110 persen) dan juga mendoakannya. Namun ketika keadaan yang terjadi tidak sesuai dengan yang kuinginkan, aku akan bereaksi seperti seorang anak manja yang tidak mendapatkan permen yang diinginkannya. Dalam momen-momen tersebut, dilingkupi dengan kekecewaan—dan kadang, kekecewaan kepada Tuhan—aku akan mengatakan kepada diriku bahwa lebih baik menjadi seorang yang pesimis daripada menjadi seorang yang optimis. Bukankah optimisme juga tidak selalu membuahkan hasil?

Temanku pernah mengatakan bahwa dia melakukan yang terbaik yang dapat dia lakukan, tapi selalu bersiap untuk gagal. Dia menjelaskannya seperti ini: “mengharapkan yang terburuk” menjaga seseorang dari kekecewaan yang besar ketika kegagalan menimpa.

Tapi itu tidak berlaku bagiku. Dalam kasusku, setiap kali kegagalan menimpaku, aku akan dihantui pikiran-pikiran yang mengatakan mungkin harapanku akan menjadi kenyataan jika aku lebih optimis. Bagaimanapun, jika orang buta yang dikisahkan dalam Alkitab tidak meminta belas kasihan Yesus dan tidak meminta-Nya untuk mencelikkan matanya, mungkin Yesus hanya akan melewatinya saja tanpa melakukan apa-apa. Jika dia duduk manis saja dengan segala ketidakmampuannya dan percaya bahwa Yesus tidak peduli dan dia tidak berharap kepada-Nya, mungkin dia takkan disembuhkan (Lukas 18:35-42).

Seiring waktu, aku sadar bahwa akar dari ketidaksenangan kita—tidak peduli apakah kita seorang yang pesimis atau optimis—biasanya adalah hal yang sama: kita menginginkan sesuatu, tapi kita tidak mendapatkannya. Jadi bagaimana kita harus menyikapi akar masalah ini?

Jawaban sederhananya adalah dengan berharap.

Filsuf dan penulis asal Ceko bernama Vaclav Havel pernah berkata bahwa “berharap tidak sama dengan optimisme. Itu bukan keyakinan bahwa segala sesuatu akan berhasil dengan baik, tapi kepastian bahwa apapun hasilnya, itu masuk akal”.

Ketika kita berharap kepada Tuhan, kita memiliki rasa percaya yang dalam kepada Tuhan. Kita percaya bahwa kehendak Tuhanlah yang terjadi, terlepas dari apapun hasil yang kita dapatkan. Yesus mengajar kita untuk berdoa agar kehendak Tuhan yang jadi, di bumi seperti di surga. Kalimat itu muncul sebelum kita berdoa agar kita mendapatkan makanan yang secukupnya (Matius 6:9-13). Itu adalah sesuatu yang Yesus telah contohkan pada titik terberat dalam pelayanan-Nya di bumi.

Di Taman Getsemani (Matius 26:36-46), Yesus berhadapan dengan realita akan kematian-Nya di kayu salib yang akan segera terjadi. Namun meskipun apa yang ada di hadapan-Nya itu begitu membuat-Nya tertekan hingga membuat peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Lukas 22:44), Dia tidak memaksakan kehendak-Nya tapi berserah kepada kehendak Allah.

Sejujurnya, mempercayai Allah sampai titik akhir kehidupan bukanlah perkara yang mudah. Sudah menjadi natur manusia untuk melarikan diri dari rasa sakit dan pengorbanan. Seorang temanku pernah bekerja di dalam sebuah pekerjaan yang tidak memuliakan Tuhan, dan jiwanya menjadi gelisah. Dia tahu jika dia berhenti dari pekerjaannya, dia takkan mendapatkan penghasilan untuk membiayai anaknya dan dirinya. Keluarganya juga tidak membantunya. Selain itu, dia tinggal di negara asing sebagai seorang imigran, sehingga akan sulit juga baginya untuk mendapatkan pekerjaan lain.

Namun sampailah dia kepada satu titik di mana dia sadar bahwa seharusnya dia menghormati Allah dalam pilihan karirnya. Jadi dia mengambil sebuah langkah iman yang besar dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Satu bulan berlalu dan tidak ada wawancara dan tawaran pekerjaan lain yang diterimanya, tapi dia tetap berharap dan beriman. Tiga bulan kemudian, dia mendapatkan sebuah panggilan telepon dan mendapatkan sebuah penawaran sebuah pekerjaan yang lebih baik. Perusahaan itu juga akan membayarkan visa kerja yang dia perlukan dan memberikan bantuan untuk anaknya.

Sejak saat itu aku belajar untuk mengubah doaku dari “aku ingin ini dan itu” menjadi “kiranya kehendak-Mu yang sempurna yang jadi”. Aku belajar bukan menjadi seorang yang optimis, tapi menjadi seorang yang beriman, tekun, dan berharap di dalam Tuhan.

Beberapa tahun lalu, aku ada dalam sebuah pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang aku doakan. Saat itu, aku tidak mengerti mengapa Tuhan menginginkan aku ada di tempat itu. Itu adalah sebuah pekerjaan yang sulit; bosku juga begitu menyulitkan sampai-sampai tidak ada seorang pun yang dapat bekerja dengannya selain aku. Namun setelah dua bulan Tuhan memberiku sebuah pekerjaan yang bahkan lebih baik daripada apa yang aku doakan. Ironisnya, aku diterima dalam pekerjaan itu karena pengalamanku dalam pekerjaanku yang sebelumnya—pekerjaan yang aku tidak sukai. Aku sadar bahwa segala hal yang baik akan muncul di balik setiap keadaan, tidak peduli seberapa sulitnya keadaan itu. Kebenaran itu telah memberikanku damai sejahtera.

Aku akhirnya menyadari bahwa Tuhan selalu menjawab doa-doa kita dengan apa yang baik untuk diri kita (Roma 8:28), meskipun apa yang kita harapkan mungkin tidak terjadi seperti apa yang kita bayangkan sebelumnya. Dia tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan, tapi Dia memberikan apa yang kita butuhkan.

Baca Juga:

Senandung Masa Lajang

Teruntuk kekasih di masa depan
Kan kulalui malam kesekian tanpamu di sekitar
Meski tanya selalu mengusik pandangan
Aku percaya kita dipersiapkan untuk menjadi lebih bersinar

Ketenaran dan Kerendahan Diri

Rabu, 23 November 2016

Ketenaran dan Kerendahan Diri

Baca: Filipi 2:1-11

2:1 Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,

2:2 karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,

2:3 dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;

2:4 dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

2:11 dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. —Filipi 2:8

Ketenaran dan Kerendahan Diri

Banyak dari kita terobsesi dengan ketenaran—baik menjadikan diri sendiri terkenal atau dengan mengikuti seluk-beluk kehidupan orang-orang yang terkenal. Terkenal lewat promosi buku dan film di seluruh dunia, tampil di acara-acara televisi, sampai diikuti terobsesi dengan ketenaran—baik menjadikan diri jutaan pengikut di media sosial.

Dalam suatu studi baru-baru ini di Amerika Serikat, para peneliti menyusun urutan nama-nama orang terkenal dengan menggunakan algoritma khusus untuk menjelajahi dunia maya. Yesus menempati urutan tertinggi sebagai orang paling terkenal dalam sejarah.

Namun Yesus tidak pernah mengejar status sebagai orang terkenal. Selama berada di bumi, Dia tidak pernah mencari ketenaran (Mat. 9:30; Yoh. 6:15)—walaupun memang nama-Nya menjadi tenar seiring dengan kabar tentang Dia yang dengan cepat tersebar ke seluruh daerah Galilea (Mrk. 1:28; Luk. 4:37).

Ke mana pun Yesus pergi, orang banyak segera mengerubungi-Nya. Mukjizat yang Dia lakukan menarik orang kepada-Nya. Akan tetapi, ketika mereka berusaha dengan paksa menjadikan-Nya sebagai raja, Dia pun menyingkir dengan diam-diam (Yoh. 6:15). Dalam tujuan yang sejalan dengan maksud Bapa-Nya, Yesus berulang kali berserah pada kehendak dan waktu Bapa (Yoh. 4:34; 8:29; 12:23). “Ia telah merendahkan diri-Nya dantaat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:8).

Ketenaran tidak pernah menjadi tujuan Yesus. Tujuan-Nya sangat sederhana. Sebagai Anak Allah, dengan taat Dia merendahkan diri-Nya dan dengan sukarela menyerahkan nyawa-Nya sebagai korban untuk penebusan dosa kita. —Cindy Hess Kasper

Engkau layak dipuji, ya Tuhan, di atas segalanya. Engkau telah ditinggikan dan diberikan nama di atas segala nama. Suatu hari setiap lutut akan bertelut dan setiap lidah mengaku bahwa Engkaulah Tuhan.

Yesus datang bukan untuk menjadi tenar, tetapi dengan kerendahan hati rela menyerahkan nyawa-Nya sebagai korban penebus dosa kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 20-21; Yakobus 5

Artikel Terkait:

Mengapa Kita Haus dan Berjuang Keras Menggapai Kesuksesan?

Tidak semua orang bisa meraih sukses yang sama. Kita semua punya titik awal yang berbeda. Lalu, cara pandang seperti apa yang harus dimiliki seorang Kristen tentang kesuksesan?