Posts

Memaksimalkan Sukacita dengan Bersyukur

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Karena sering menonton sebuah akun di Instagram mengenai mainan Transformer, aku pun mulai tertarik buat mengoleksi mainan. Padahal ini bukanlah hobiku sejak dulu. Namun, ketika memulai hobi baru ini, aku menemukan kesenangan di dalamnya. Awalnya dari satu mainan yang kubeli, sampai akhirnya aku mulai mempelajari lebih dalam tentang hobi ini. Aku jadi tahu brand yang mahal dan murah, ikut dalam event dan komunitasnya, hingga benar-benar mengatur tabungan untuk menambah koleksi mainan. Sekarang aku sudah membeli lebih dari 10 mainan yang didominasi oleh mainan bekas. Maklum, lebih ramah dompet. Selalu saja ada keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Satu lagi tidak akan kenapa-kenapa.

Aku sadar akan jatuh dalam perencanaan keuangan yang buruk jika aku selalu menuruti keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Namun, di sisi lain aku ingin menambah mainan baru. Bukan soal jumlahnya yang kurang, tapi aku sungguh suka dan mengapresiasi desain mainannya. Bukan juga karena aku tidak puas dengan mainan-mainan sebelumnya, hanya saja aku mau menambah dan memaksimalkan perasaan bahagia yang aku rasa. Selalu muncul mainan yang menggugah rasa kagum dan senangku.

Menyadari hal ini membuatku merenung. Aku yakin bukan aku saja yang mengalami hal seperti ini, orang lain juga pasti pernah mengalaminya. Keinginan untuk memaksimalkan kebahagiaan yang manusia alami tidak sesempit hanya sekedar menambah jumlah kepemilikan. Manusia juga berusaha mempertahankan rasa bahagia yang dia miliki. Sayangnya kebahagiaan di dunia ini bersifat sementara. Cepat layu dan ringan seperti debu tertiup.

Coba bayangkan jika kita pertama kali membeli barang yang begitu mahal dengan pendapatan sendiri. Setiap kali kita melihat benda itu ada perasaan bangga dan senang muncul dalam hati kita. Hanya saja, berapa lama perasaan itu akan bertahan? Apakah selalu ketika kita melihat barang itu hati kita akan bergembira? Lama kelamaan kita menjadi terbiasa dengan barang itu dan hati kita mulai merasa sepi. Kita mulai merindukan perasaan senang yang sama untuk terulang kembali dan prosesnya akan berputar di situ saja. Lantas, bagaimana kita bisa meresponi kesementaraan dunia ini dengan tepat?

Bagi sebagian orang, mereka tidak akan menyerah membiarkan rasa bahagia mengisi hatinya. Mereka akan bertualang mencari rangsangan agar hatinya terus bahagia. Melompat dari kesenangan yang satu ke kesenangan yang lain. Meskipun tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi, menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidup hanya membawa perasaan yang lebih kosong pada kita. Seolah-olah kita tiada kalau tidak merasa selalu senang. Tak jarang pula pengejaran akan kesenangan membawa hal-hal buruk terjadi pada kita. Dalam kasusku, tidak jarang seseorang jadi kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga karena membeli mainan sebagai hobi. Ada harga yang harus dibayar agar kita merasa bahagia. Kalau begitu, mungkin yang perlu kita renungkan adalah kebahagiaan mana yang menjadi prioritas kita?

Ada juga yang terlalu keras menggenggam perasaan bahagia tersebut. Mereka berharap dunia ini stabil. Situasi dapat mudah dikuasai sehingga perubahan selalu dapat diantisipasi. Namun, dunia dengan banyak faktor yang terlibat di dalamnya, selalu punya cara untuk memberikan kejutan pada manusia. Tidak selalu kejutan-kejutan tersebut bersifat manis, terkadang pahit dan ingin kita buang jauh-jauh. Aku mulai belajar cara menyimpan mainan-mainan yang kubeli. Aku juga mulai terpikir memodali hobiku dengan peniup debu elektrik untuk membersihkan mainan-mainan koleksiku. Semua kulakukan agar mereka dapat bertahan lama dan tidak rusak karena kelalaianku. Sekali lagi, aku rasa itu adalah hal yang wajar dan bertanggung jawab. Hanya saja, cukup naif jika aku mengharapkan mainan tersebut akan bertahan sepanjang masa. Lagipula itu hanya sebuah mainan, tidak perlu kutukar dengan seluruh nyawa.

Apa pun cara manusia untuk keluar dan mempertahankan kesenangan sementara di dunia ini akan gagal. Ironi sekali ada begitu banyak hal yang dapat membuat manusia senang, tapi sayang semuanya tidak bertahan lama. Kesementaraan ini bukan berarti manusia tidak boleh merasa senang dalam hidup. Namun, kita perlu senang dengan bijak.

“Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12–13).

Tuhan, lewat seorang pengkhotbah bijaksana, mengajarkan kepada kita untuk menikmati setiap pemberian dari-Nya. Kita tidak perlu menyiksa diri dengan menjauhi kesenangan. Nikmati setiap hal yang Tuhan izinkan untuk kita nikmati sekarang. Tidak perlu bersungut-sungut atau sampai kepahitan karena belum bisa menikmati hal-hal lain yang kita inginkan. Mungkin ke depan Tuhan akan izinkan kita untuk menikmatinya, tapi mungkin juga tidak. Bagian kita adalah menikmati setiap hal yang saat ini Tuhan beri. Kebahagiaan sementara yang kita rasakan dalam dunia ini hanya sebuah petunjuk jalan agar kita datang kepada Sang Pemberi Kebahagiaan. Petunjuk jalan bukanlah akhir destinasi, jadi kita tidak perlu berusaha mengumpulkan petunjuk jalan tapi lupa sampai pada tujuan.

Ada benarnya orang suka berkata kalau kita harus pintar-pintar bersyukur agar hidup terasa cukup. Dengan bersyukur atas setiap kesementaraan yang kita miliki, kita sedang melakukan hal yang tepat. Kita memakai kesementaraan dunia untuk sesuatu hal yang bersifat kekal. Menurutku itu adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk memaksimalkan rasa senang kita akan sesuatu, mengembalikan kembali rasa senang kita kepada Sang Pemberi. Tuhan bilang, kita perlu pintar-pintar berinvestasi. Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Jika kita bersyukur dan memuji Tuhan atas setiap hal yang kita miliki, kita sedang menginvestasikan diri kita kepada sesuatu yang bersifat kekal. Relasi kita dengan Tuhan kekal adanya.

Sekarang setiap kali aku mengatur pose mainanku untuk dipajang, tidak bisa tidak bagiku untuk bersyukur. Aku mengagumi bentuk, warna, artikulasi gerak, dan gagasan desainer mainan tersebut. Aku benar-benar menikmatinya. Semua hal tersebut berasal dari Tuhan, Sang Pencipta. Namun, rasa bersyukur menolongku untuk berkata cukup, sehingga aku bisa menjadi cukup bijak untuk menguasai rasa kagumku agar tidak berlebihan dan membuat kantongku bolong.

Biarkan petunjuk jalan tetap jadi petunjuk jalan, dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya. Kekaguman kita akan kesenangan di dunia ini harus menolong kita untuk semakin kagum pada Tuhan.

Cukup Tak Selalu Bicara Soal Angka

Oleh Raganata Bramantyo

Lulus kuliah, bekerja di perusahaan keren, mendapat penghasilan besar, dan hidup berbahagia. Itu rumus hidup yang kupegang saat studiku tinggal menanti sidang skripsi. Tetapi, realitasnya tidak begitu. Pekerjaan yang kutekuni sempat membuatku tidak puas, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengambil langkah besar.

Kepada atasanku, aku bilang begini, “Saya sudah memutuskan dengan matang bahwa di bulan Mei nanti saya ingin keluar dari pekerjaan ini.” Sudah enam tahun aku bekerja di satu instansi yang jadi pekerjaan pertamaku sejak lulus kuliah. Durasi kerja yang tidak sebentar itu sebenarnya menjadikanku lebih profesional daripada awal masuk dulu. Namun, kekhawatiranku akan kebutuhan-kebutuhanku di masa depan serta iri melihat teman-temanku sudah berproses lebih jauh dalam hal income membuatku merasa harus segera keluar dan mencari ladang baru yang lebih menjanjikan.

“Apa alasannya? Kenapa mau keluar?” atasanku balik bertanya.

“Saya rasa pendapatan saya di sini kurang. Saya udah 6 tahun kerja, Pak. Berharap bisa dapetin penghasilan yang lebih banyak.”

Atasan hingga direktur di tempat kerjaku menyetujui permohonanku, tetapi mereka memberiku nasihat bahwa value suatu pekerjaan tidak selalu diukur berdasarkan materi. Jika aku berubah pikiran, kantorku tetap dengan senang hati menyambutku kembali.

Kejadian yang menjungkirbalikkan pandanganku

Beberapa hari setelah obrolan tentang resign, aku mendapat kabar buruk. Papaku mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Bonggol sendi antara paha dan pinggangnya patah, dan muncul juga penyakit lainnya seperti pneumonia dan yang paling parah adalah autoimun pada bagian usus besarnya. Hanya aku yang punya waktu dan dapat merawat papaku, mengingat papaku telah menikah lagi dan dari keluarga besarku pada mulanya enggan untuk menolongnya.

Saat itu memang biaya pengobatan ditopang oleh BPJS, tetapi tidak semua biaya bisa di-cover. Di sinilah mukjizat terjadi. Dengan tabunganku yang sedikit, rupanya Tuhan mencukupkan dengan berbagai cara. Lebih dari 70 temanku serta beberapa kerabat bahu membahu mengumpulkan uang hingga seratusan juta sehingga semua biaya pengobatan tercukupi. Meskipun pada akhirnya papaku meninggal dunia, tetapi semua biaya pengobatan hingga pemakaman tercukupi tanpa kekurangan sedikit pun. Di samping itu, kantor yang semula ingin kutinggalkan berbaik hati mengizinkanku untuk bekerja dari rumah sakit selama satu bulan tanpa memangkas gaji bulananku.

Momen-momen itu menegurku dengan keras. Aku merasa Tuhan seolah berbicara, “Kamu khawatir sama gajimu yang kecil? Semua kebutuhanmu pasti Aku cukupkan. Biaya rumah sakit papamu pun cukup. Apa yang kamu khawatirkan lagi?”

Aku termenung. Uang yang kudapatkan sebenarnya cukup bagiku, tetapi karena rasa iri aku pun menutup pandanganku akan hal-hal baik yang selama ini aku dapatkan. Mungkin, jika aku berkarier di tempat lain dengan penghasilan yang lebih besar, tentulah ada tuntutan yang lebih besar pula yang mungkin membuatku tidak bisa hadir merawat papaku sampai ujung napasnya. Momen satu bulan kebersamaan itu dipakai Tuhan dengan luar biasa. Aku dan papaku saling memaafkan, dan aku bisa bercerita tentang Tuhan Yesus dan membimbingnya untuk menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Cukup tak selalu bicara soal angka

Pengalamanku di atas mengingatkanku akan kisah tentang seorang kaya raya yang hidupnya tak pernah cukup. Orang kaya itu bernama Rajat Gupta. Dia lahir di Kolkata, India dan menjadi anak yatim pada usia belasan tahun. Tetapi, ketika usianya menginjak pertengahan 40-an tahun, dia menjadi salah satu pebisnis paling sukses. Harta kekayaannya mencapai $100 juta, tetapi dia merasa itu kurang. Ia ingin miliaran dolar. Keinginan inilah yang akhirnya membawanya ke jeruji besi karena dia kedapatan melakukan tindakan curang.

Aku membatin, mengapa Gupta yang telah memiliki uang dengan jumlah amat besar masih saja merasa tidak cukup dan malah ingin terus meraih lebih? Gupta merasa seratusan juta dolar itu kurang. Dia sangat ingin meraih miliaran dolar.

Di sinilah aku mulai belajar merenungkan matematikanya Tuhan. Kita sebagai manusia seringkali berpikir bahwa lebih banyak itu pasti lebih cukup, tetapi natur keberdosaan kita menjadikan kita sulit mendefinisikan pada titik mana kita harus merasa “cukup.” Terhadap keinginan tanpa batas inilah Yesus menegaskan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Lukas 12:15).

Senada dengan sabda Yesus, Morgan Housel, penulis dari buku The Psychology of Money juga menekankan hal yang sama mengapa banyak orang menjadi tamak, “Karena mereka tak tahu kapan harus berkata cukup.”

Morgan juga menuliskan bahwa hanya sedikit di antara kita yang akan atau pernah punya harta miliaran, tetapi setiap kita pada suatu saat dalam hidupnya pasti akan mendapat gaji atau punya sejumlah uang yang cukup untuk mendapatkan kebutuhan dan keinginan kita. Dengan apa yang ada pada kita saat ini, inilah 4 hal yang bisa kita lakukan untuk merasa cukup:

1. Keahlian keuangan tersulit adalah menjaga tiang gawang agar berhenti bergerak

Ketika awal-awal aku merantau ke Jakarta, seorang kakak kelasku mengatakan begini di sesi pertemuan kami, “Temen-temen, kita dulu waktu kuliah bisa kok hidup dengan uang yang seadanya. Sekarang, saat kita udah punya penghasilan yang lebih tetap dan besar, yuk kita coba pertahankan gaya hidup kita. Jangan gaya hidup yang naik, tapi kita belajar memberi lebih.”

Kami pun belajar menekan pengeluaran untuk hal-hal yang kurang penting dan bersifat gengsi semata. Hasil dari hidup berhemat itu kemudian kami kumpulkan untuk membiayai kuliah seorang teman yang kesulitan keuangan.

Menjaga standar pengeluaran memang tidaklah mudah. Ketika penghasilan kita bertambah, tanpa kita sadari ada kebutuhan yang bertambah. Semisal, dulu ketika diberi uang jajan orang tua 1 juta satu bulan kita pergi ke mana-mana naik sepeda. Sekarang, setelah kerja dan punya gaji 5 juta, kita perlu motor untuk menunjang mobilitas karena naik sepeda dirasa terlalu melelahkan. Jika memang kebutuhan yang bertambah itu adalah hal pokok, tentu tidaklah masalah untuk dipenuhi. Toh itu akan menunjang produktivitas atau meningkatkan makna hidup kita.

Tetapi, jika itu hanya sebatas urusan gengsi, di sinilah letak masalahnya. Jika dahulu kita bisa enjoy dengan minum kopi yang kita seduh sendiri, maka sekarang harusnya tak perlu memaksa diri untuk ngopi di kafe-kafe kekinian yang cukup mahal.

2. Berhenti membanding-bandingkan pencapaian finansial

Morgan Housel mengatakan perbandingan sosial adalah pertandingan yang tak akan pernah ada pemenangnya. Semua orang dalam natur keberdosaannya selalu merasa ada yang kurang dengan dirinya.

Kita mungkin hanya melihat hasil dari pencapaian orang lain tanpa tahu seperti apa prosesnya. Menetapkan patokan “sukses” kita pada standar orang lain akan jadi perjalanan yang melelahkan. Alangkah lebih baik jika kita memetakan sendiri apa yang hendak kita capai dan menyerahkannya pada Allah, sebab Dialah yang memelihara dan mencukupkan kita.

3. Cukup adalah cukup

Cukup adalah ketika kita menyadari bahwa menginginkan yang lebih akan mendorong kita pada titik penyesalan. Analogi ini dapat diilustrasikan begini. Satu-satunya cara mengetahui seberapa banyak makanan yang bisa kita makan adalah dengan makan terus sampai muntah. Hanya sedikit yang mencobanya karena tahu kalau muntah itu lebih sakit daripada kenikmatan makan (Housel, 2020:36)

Dengan pertolongan Roh Kudus, kita dapat meminta hikmat untuk mengetahui kapan kita harus berhenti dan berpuas diri dengan pencapaian finansial kita.

4. Uang bisa membeli segalanya, tetapi tidak segalanya bisa dinilai dengan uang

Memiliki keluarga yang menyayangi, teman-teman yang saling mendukung, dan tubuh yang sehat adalah sekelumit dari hal-hal kecil yang membentuk kebahagiaan kita.

Melalui pengalamanku merawat papaku yang menghabiskan uang ratusan juta, aku belajar bahwa ada prestasi terbesarku yang Tuhan karuniakan, yang tak mampu dinilai dengan uang sejumlah apa pun, yakni kebersamaan antara ayah dan anak yang begitu hangat. Dengan uang yang terbatas, Tuhan izinkan aku melihat mukjizat dan pemeliharaan-Nya bahwa Bapa di surga memelihara setiap anak-anak-Nya (Matius 6:26).

Perlukah Orang Kristen Mengejar Kebebasan Finansial?

Oleh Rachel Lee
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: klik di sini

“Capek kerja dari pagi sampai malam? Daftar kursus gratis ini dan belajarlah bagaimana menjadi bos!”

“Kekurangan uang? Chat saya, dan saya akan mengajari Anda mendapatkan uang dengan mudah.”

“Belum mulai berinvestasi? Anda belum terlambat! Ayo bergabung sekarang dengan tim kami!”

“Tahukah Anda apa itu kebebasan finansial? Itu adalah kondisi di mana Anda tak perlu lagi bekerja karena uanglah yang bekerja buat Anda! Mau tahu caranya? Kontak saya sekarang juga.”

***

Setiap kali aku masuk ke media sosialku, aku menemukan banyak iklan seperti di atas, di mana-mana! Setelah melihat banyak iklan itu, ada lagi iklan yang bilang begini:

“Kalau kamu punya uang, tidak hanya kamu punya lebih banyak pilihan; kamu bisa berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang tak kamu suka”, atau

“Berjuanglah sekarang, dan dirimu di masa depan akan berterima kasih.”

Aku merasa tergelitik dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa menambah hartaku. Melihat bagaimana bisnis dan investasi teman-temanku berjalan baik, aku merasa tak puas dengan posisi finansialku. Aku juga ingin meraih lebih banyak uang supaya aku bisa melunasi cicilan, dan membawa keluargaku jalan-jalan keliling dunia. Jadi, aku pun mulai mencari-cari kesempatan berbisnis secara daring.

Sebenarnya ini bukanlah hal baru buatku. Di tahun 2016, ketika aku masih mahasiswa, aku pernah menulis artikel tentang keinginanku untuk mendapat uang. Artikel itu ditulis saat aku tidak punya pendapatan, tapi sekarang setelah aku bekerja dan punya pemasukan yang stabil, aku masih ingin meraih lebih. Jadi aku bertanya-tanya: apakah ini karena aku kurang puas?

Ketika aku merenungkan motivasiku, aku sadar kalau aku ingin meraih kebebasan finansial bukan supaya aku bisa hidup mewah. Malah, harapanku adalah dengan punya kemampuan finansial yang lebih besar, aku bisa menaikkan taraf hidup keluargaku lebih baik. Plus, kalau semisal aku terpanggil untuk melakukan mission-trip entah ke mana, aku bisa membayarnya tanpa khawatir. Semua motivasi ini terlihat rasional kan?

Jadi, sebagai orang Kristen, aku sungguh bisa mengejar kebebasan finansial kan?

Berangkat dari dua pertanyaan itu, aku membuka Alkitabku untuk mencari tahu apa yang Allah ingin katakan terkait dengan kekayaan. Kutemukan beberapa penemuanku. Kuharap apa yang kupelajari juga menolongmu untuk menemukan jawaban.

Berdasarkan sebuah artikel di koran, ada sekitar dua ribu ayat di Alkitab tentang uang. Tapi, hanya sekitar 500 yang berbicara tentang doa dan iman. Bisa dikatakan, masalah tentang uang tidak boleh diabaikan.

Pada dasarnya, uang itu bersifat netral. Baik atau buruknya tergantung dari orang yang menggunakannya. Uang bukanlah akar segala kejahatan, cinta akan uanglah yang jadi akar segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Kapan pun Alkitab berbicara tentang uang, Alkitab juga berbicara tentang bagaimana orang memandang dan menggunakannya.

Inilah tiga hal yang harus selalu kita ingat ketika kita membahas soal relasi kita dengan uang:

1. Ingatlah bahwa uang itu diberikan oleh Tuhan

Pertama, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk uang, berasal dari Allah. Salomo yang dipenuhi kebijaksanaan dan kekayaan pernah berkata, “Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagianya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya—juga itupun karunia Allah” (Pengkhotbah 5:19).

Namun, kita harus memahami bahwa karunia Allah itu tidak hanya ada saat kita kaya, tapi juga saat kita miskin. Ketika Ayub kehilangan anak, harta, dan kekayaannya, dia masih bisa berkata, “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21). Pernyataan Ayub menunjukkan bahwa Allah jauh lebih besar daripada pengejarannya akan kemakmuran dan kedamaian. Iman Ayub adalah teladan bagi kita.

Marilah kita percaya bahwa Allah akan menyediakan apa pun yang kita butuhkan, dan kita perlu bersyukur atas apa yang ada pada kita.

2. Kita hanyalah pengelola uang

Ketika kita menyadari bahwa uang berasal dari Allah, kita dapat menempatkan diri pada posisi yang benar—sebagai pelayan Allah. Karena Dia telah memberi kita uang, maka kita harus mengelolanya.

Pemahaman ini membawa kita pada pengelolaan keuangan. Pendapatan kita dapat dibagi ke dalam dua kelompok: aktif dan pasif.

A. Pendapatan aktif—uang yang kita raih dari bekerja:

1 Timotius 5:18 berkata “Setiap orang yang bekerja patut mendapat upahnya.” Mendapatkan upah yang layak dari instansi tempat kita bekerja adalah hak kita. Ayat ini juga mengingatkan orang-orang Kristen yang merupakan para pemilik usaha akan kewajiban untuk membayar pekerjanya dengan upah yang sesuai.

Alkitab tidak menentang usaha sampingan, tapi ada cara-cara yang ditentang Allah seperti: penyuapan (Mikha 3:11), warisan yang diminta terlalu cepat (Amsal 20:21), pencurian, kebohongan, dusta (Imamat 19:11).

B. Pendapatan pasif—uang mendapatkan uang:

Matius 25:14-30 menceritakan perumpamaan tentang seorang tuan yang memberikan hamba-hambanya masing-masing lima, dua, dan satu talenta. Orang-orang biasanya memahami perumpamaan ini sebagai pengingat bagi kita untuk menggunakan talenta dan kemampuan kita bagi Tuhan. Tapi, aku percaya pada prinsipnya perumpamaan ini juga jadi pengingat yang baik tentang uang: kita harus memperlakukan dengan serius uang yang Tuhan telah berikan buat kita–dengan menggunakan cara-cara bijak untuk meningkatkan nilainya. Entah itu dengan menabung di bank atau di instrumen investasi.

Allah tidak menilai uang lebih berharga daripada kita, atau pun Dia menjadikan uang sebagai tolok ukur kasih-Nya bagi kita. Dia berkenan apabila kita secara efektif menggunakan apa yang Dia telah percayakan bagi kita. Saat kita bersyukur pada-Nya atas pemberian-Nya, kita juga harus belajar untuk mengelolanya dengan baik sebagaimana kita mengembangkan talenta dan kemampuan kita.

3. Belajarlah mengelola uang tanpa bersifat serakah

Ketika kita mengelola keuangan pada jalur yang benar, hasilnya bisa saja jauh melampaui apa yang kita harapkan. Manajemen yang baik bisa menolong kita meraih lebih banyak uang, yang juga menuntut energi lebih untuk mengelolanya. Namun, berhati-hatilah agar kita tak kehilangan pandangan kita akan Allah. Atau, jangan pula karena kita gagal mengelola uang dengan baik lantas kita pun menyalahkan-Nya.

Sifat tamak atau serakah muncul ketika kita memaknai uang lebih besar daripada kasih kita pada Tuhan. Uang lalu menjadi tuan kita, sedangkan Tuhan menjadi pelayan ketika kita berpikir bahwa Dia berkewajiban untuk menambah harta kekayaan kita.

Jika kita ingin tahu apakah kita telah jadi orang yang serakah atau tidak, secara sederhana kita dapat melihat bagaimana sikap kita terhadap persembahan. Persembahan adalah cara yang baik untuk menguji siapakah pemilik uang itu.

Jika kita merasa uang itu adalah milik kita karena kita yang meraihnya, dan memberikan persembahan bagi rumah Tuhan tidak akan menambah uang itu, maka persembahan meskipun cuma seribu rupiah pun tidak akan terasa baik buat kita. Tapi, jika kita mampu memberi dengan sukacita, itu menyenangkan Tuhan. “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Korintus 9:7).

Sejalan dengan tiga poinku, aku merumuskan definisi baru dari ‘kebebasan finansial’ buatku sendiri:

1. Aku bisa bebas memuji Tuhan untuk segala kepunyaanku yang adalah kepunyaan-Nya.

2. Aku bisa bebas bekerja untuk memuliakan-Nya dan berani berkata ‘tidak’ untuk cara-cara yang tidak menyenangkan hati-Nya.

3. Aku bisa bebas mempersembahkan segalanya bagi Tuhan: dengan sukacita memberikan uang yang dipercayakan-Nya untuk membangun kerajaan-Nya.

Yohanes 8:32 berkata, “…dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Terlepas dari apakah aku bisa memenuhi kebebasan finansial berdasar standar dunia, aku tahu apabila aku mengejar kebenaran Allah, aku akan memperoleh kebebasan sejati yang berasal dari-Nya: untuk hidup dalam naungan kasih dan anugerah-Nya, tidak lagi terikat pada dosa, dan mampu menolak godaan keuangan dan menolak untuk melakukan hal-hal yang tidak berkenan pada-Nya.