Posts

Konflik Ada untuk Dihadapi dan Diatasi

Hari ke-20 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:2-3

4:2 Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan.

4:3 Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan.

Aku pernah pergi jalan-jalan bersama beberapa teman baikku. Aku menganggap mereka punya pemikiran yang sama denganku. Tapi, tak butuh waktu lama, mereka yang kuanggap sepemikiran ini malah berdebat hal-hal yang kecil, mulai dari urusan selera, kebiasaan pribadi, sampai kepada masalah tentang keputusan apa yang terbaik buat kelompok kami.

Perdebatan ini melukai relasiku dengan seseorang dalam kelompok itu. Sebelumnya kami tak pernah bertengkar hebat, tapi semenjak itu, kami jadi merasa sensi satu sama lain dan tidak bahagia. Rasanya mustahil untuk meluangkan waktu 24 jam seminggu bersamanya dengan kondisi seperti ini.

Hingga akhirnya, temanku itu memberanikan diri untuk mengutarakan apa perasaannya terhadapku. Proses ini membutuhkan waktu dan tentunya melibatkan rasa sakit di hati kami berdua. Tetapi, setelah amarah kami mereda, aku mulai menyadari betapa konyolnya sikapku selama ini dalam menghadapi perbedaan pendapat yang ada. Kami pun berdamai. Melihat ke belakang, aku bisa mengatakan sejujurnya bahwa perselisihan itu berubah menjadi hal yang baik buat kami berdua: kami jadi lebih mengerti satu sama lain, bahkan pada akhirnya berteman lebih akrab.

Dalam bagian terakhir dari kitab Filipi, Paulus menggiring perhatian kita kepada sebuah situasi yang serupa ketika ia memohon dengan sangat pada dua orang wanita, Euodia dan Sintikhe, untuk menerima perbedaan yang ada di antara mereka.

Tidak banyak hal yang diketahui tentang kedua wanita ini. Tetapi dalam Filipi 4:3, Paulus berkata bahwa kedua wanita ini “berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil” dan “yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan” bersama-sama dengan teman sekerja Paulus lainnya. Penjelasan Paulus mengindikasikan bahwa kedua wanita ini ada dalam satu pihak, bekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan mengarah ke satu tujuan akhir yang sama—surga.

Ketika kita berada di tengah-tengah konflik, seringkali lebih mudah bagi kita untuk menonjolkan perbedaan. Tetapi, menyadari bahwa kita adalah anak-anak dari Tuhan yang sama, rekan sekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan penduduk surga di masa depan akan membantu kita untuk tidak membesar-besarkan perbedaan-perbedaan yang sepele. Akan menjadi lebih baik bagi kita untuk memfokuskan diri pada hal yang benar-benar penting, yaitu apa yang mempersatukan kita di dalam Kristus.

Dalam ayatnya yang ketiga, Paulus meminta temannya yang setia, Sunsugos, untuk membantu proses perdamaian kedua wanita tersebut. Ayat ini menggarisbawahi peran penting yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kesatuan tubuh Kristus. Meskipun kita tidak terlibat secara langsung dalam konflik yang ada, sudah sepatutnya kita peduli terhadap saudara-saudara kita di dalam Kristus dengan berusaha untuk menguatkan mereka dan melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka berdamai.

Paulus mendambakan perdamaian sejati untuk kedua wanita ini. Ia tidak ingin mereka hanya berdamai seadanya, tetapi lebih dari itu “supaya sehati sepikir dalam Tuhan” (ayat 2). Kata dalam bahasa Yunani yang digunakan di sini adalah “phroneo” yang bermakna “melatih pikiran” atau “untuk membuat seseorang tertarik”. Artinya, kita tidak dipanggil untuk sekadar mengucapkan permintaan maaf di bibir saja. Sebaliknya, kita harus meluangkan waktu dan tenaga untuk mengatasi perbedaan yang ada dengan berkomunikasi satu sama lain, bersedia untuk saling mendengarkan, serta mengimplementasikan pengampunan dan cinta kasih.

Konflik adalah hal yang tidak terhindarkan. Seringkali bahkan menimbulkan rasa tidak nyaman dan menyakitkan, dan untuk mengatasinya pun memakan waktu. Meskipun begitu, konflik itu diperlukan untuk membantu kita semakin bertumbuh dalam kasih yang lebih besar bagi satu sama lain. Kapan pun konflik menghadang, kiranya kita mengingat nasihat Paulus kepada jemaat Filipi. Dengan fokus pada identitas kita di dalam Kristus dan apa yang dapat kita bagikan sebagai saudara seiman, kita dimampukan untuk mengatasi konflik dan memperoleh kesatuan sejati di dalam-Nya.—Chong Shou En, Singapura

Handlettering oleh Novelia Damara

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Mengapa perdamaian dan kesatuan teramat penting dalam tubuh Kristus?

2. Apakah Roh Kudus tengah mendorongmu untuk berdamai dengan seseorang? Siapakah yang dapat membantu kalian untuk mengadakan perdamaian?

3. Apakah Tuhan sudah menunjukkan kepadamu orang yang perlu kamu bantu untuk berdamai dengan orang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Chong Shou En, Singapura | Proyek besar Shou En selanjutnya adalah mengalahkan kebiasaan menunda-nunda. Shou juga menyukai musik, olahraga, dan menikmati waktu luangnya bersama keluarga dan teman-teman. Yang paling penting, dia rindu untuk menyenangkan hati Tuhan lebih lagi.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Tetap Mengasihi Sahabat, Meskipun Dia Berlaku Buruk Padaku

Oleh Maxentia Septrierly, Semarang

Sewaktu SMA dulu aku berteman dekat dengan seorang laki-laki, sebut saja namanya Marvin. Banyak kegiatan yang kami lakukan bersama, mulai dari ekstrakurikuler sampai persekutuan bersama. Aku senang berteman dengannya. Dia seorang yang humoris, pintar, dan penampilannya menarik. Persahabatan kami diisi dengan tawa dan canda. Kadang kami bertengkar, tapi selalu baik kembali. Hingga suatu ketika ada hal yang membuat persahabatan ini kandas.

Meski relasi kami erat, aku menganggapnya sebagai sahabatku. Dalam ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja yang kami ikuti bersama, aku ingin kami bisa mengikuti lomba dan meraih juara bersama. Namun, kedekatan kami berdua sebagai sahabat rupanya disalahartikan oleh teman-temanku. Mereka pikir kami berpacaran. Desas-desus tersebut membuat Marvin tidak nyaman dekat denganku.

Suatu hari, aku mendengar teman sekelasku berbisik. Mereka memberi saran pada Marvin untuk menghapus fotoku dengannya saat hari Hartini di akun Instagramnya. Setelah itu, aku melihat sikap Marvin yang berubah. Aku pun bertanya padanya, apakah ada yang salah denganku? Pertanyaan itu dijawabnya dengan bentakan. Pikiranku kacau dan aku pun menangis, padahal hari itu aku ingin memfokuskan diriku untuk mengikuti persekutuan. Beberapa temanku kemudian menghiburku.

Semenjak hari itu, relasi persahabatan kami yang semula erat jadi renggang. Aku sering menangis. Namun, puji Tuhan. Dalam kesedihanku itu, ada penghiburan yang kudapatkan ketika aku mengikuti retret. Aku diingatkan bahwa kedekatanku dengan sahabatku dulu pernah membuatku jadi menjauh dari Tuhan. Aku memang sering ikut persekutuan bersama, tapi aku jarang berdoa. Sepulang retret, aku mengambil komitmen untuk memperbaiki relasiku dengan Tuhan, mengampuni perlakuan buruk sahabatku, dan belajar mengasihinya dalam kondisi apapun.

Aku pun menjalani hari-hariku seperti biasa. Jika bertemu Marvin, aku menyapanya. Aku meminta maaf padanya apabila ada kesalahan-kesalahan yang telah kubuat. Meski sampai saat ini sikapnya tidak berubah, tapi di sinilah aku benar-benar belajar untuk mengasihinya. Aku menemukan dua ayat yang menolongku untuk tetap mengasihi orang yang telah menyakitiku.

Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13).

Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13).

Tuhan telah mengasihaniku dan mengampuniku dari kesalahan-kesalahanku, maka aku pun belajar untuk mengasihi orang lain dan mengampuni sahabatku atas sikap buruknya kepadaku. Kasih itu tidak hanya diungkapkan lewat kata-kata saja, namun juga lewat sikap hati kita kepada saudara-saudari kita. Aku bersyukur, dari persahabatanku dengan Marvin, aku belajar untuk mempraktikkan kasih tersebut. Aku belajar untuk mengampuni dan mendoakannya.

Aku percaya bahwa di dalam doaku Tuhan bekerja untuk melembutkan hati sahabatku. Bukan aku yang dapat mengubah seseorang, tetapi Tuhan saja yang mampu menyentuh hati dan mengubahkannya.

Baca Juga:

Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Meski keluargaku penuh kasih sayang, aku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Aku selalu ingin diprioritaskan oleh mereka, hingga akhirnya tak jarang aku pun jatuh dalam kekecewaan.