Posts

Kasih Karunia Tuhan dalam Pencarian Pekerjaanku

Oleh Yosheph Yang

Kurang lebih enam bulan lalu, aku menulis tentang bagaimana pentingnya janji Tuhan, iman, dan kesabaran dalam penantian penggenapan janji-Nya. Ceritaku tentang ini bisa dibaca di sini. Dengan berpegang pada janji Tuhan dan melalui kasih karunia-Nya, aku diterima sebagai dosen tetap dengan jaminan pensiun di salah satu universitas negeri di Korea Selatan. Di artikel ini, aku akan menceritakan bagaimana Tuhan memimpin langkahku dalam menjadi dosen.

Di awal masa studi doktoralku, aku tidak terlalu berpikir untuk menjadi dosen setelah lulus. Aku lebih kepikiran untuk bekerja di institusi penilitian dan semacamnya dibandingkan dengan bekerja di bidang akademik. Menjelang akhir masa studi doktoralku, keinginan untuk menjadi dosen mulai muncul. Dikarenakan bidang penelitianku yang sangat terkait dengan rahasia negara, kemungkinan aku untuk diterima di lembaga penelitian di luar negeri sangat kecil. Mentor rohaniku di saat studi doktoralku juga menceritakan jika aku diterima sebagai dosen, aku akan memiliki banyak interaksi dengan mahasiswa sehingga dapat memberitakan Kristus kepada mahasiswa yang membutuhkan. Pergumulanku menjelang kelulusan doktoralku juga dapat dibaca di sini.

Setelah lulus dari studi doktoralku, aku diterima sebagai dosen tanpa tenur (jaminan menjadi dosen tetap) di salah satu universitas swasta di Korea Selatan. Selama masa kerjaku di universitas tersebut, aku telah mengirimkan 9 aplikasi di dua tahun pertama. Tidak ada universitas yang mau menerima dikarenakan aku orang Indonesia. Sebagai orang asing di Korea, sangat tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pendanaan riset dari pemerintah Korea.

Mentor rohaniku mengatakan kepadaku bahwa Tuhan akan membukakan pintu buatku. Beliau menceritakan kisahnya sebagai satu-satunya pelamar untuk pekerjaan yang beliau daftar di masa lalu. Aku sedikit skeptik mendengar cerita tersebut. Bagaimana mungkin aku menjadi satu-satunya pelamar untuk pekerjaan sebagai dosen yang sangat banyak peminatnya? Bagaimana aku bisa bersaing dengan orang Korea lainnya?

Aku mengakui ketidakpercayaanku dan menuangkan segala permasalahanku kepada Tuhan. Kurang lebih isi doaku adalah seperti ini.

Tuhan, Engkau sangat mengerti situasi pekerjaanku sekarang. Sebagai orang asing di Korea, sangat tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pekerjaan sebagai dosen dengan jaminan tenur. Di Indonesia sendiri, tidak banyak lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang penelitianku. Walaupun ada, aku harus mengorbankan gaji dan penelitianku jika pulang ke Indonesia. Apabila rencana Tuhan buatku adalah bekerja di Indonesia, tolong ubah hatiku dan bukakan jalanku. Bantu aku mempercayai-Mu sebagaimana Engkau telah membawa aku sejauh ini. Apabila rencana-Mu bagiku adalah bekerja di Korea, tolong pimpin jalanku. Jika rencana-Mu bagiku ada bekerja di Korea, tolong berikan aku pekerjaan sebagai dosen di universitas negeri yang tidak banyak memaksakan publikasi dan pendanaan riset sehingga aku bisa memiliki waktu yang lebih untuk pemuridan mahasiswa lainnya.

Di masa pencarian pekerjaan, aku memegang janji Tuhan di Yesaya 30:18, “Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!”

Tuhan menantikan saat yang tepat untuk memberikan yang terbaik. Karena kita berharga bagi Kristus, Ia akan memberikan yang terbaik buat kita. Sering sekali Tuhan memakai masa penantian ini untuk membentuk karakter kita bertumbuh menyerupai Kristus.

Di awal bulan Mei 2023, tiba-tiba ada lowongan sebagai dosen dengan jaminan tenur di salah satu universitas negeri di Korea. Lebih spesifik lagi, lowongan ini hanya terbuka bagi warga negara asing atau orang Korea dengan multi-kewarganegaraan. Banyak dosen-dosen lain di sekitarku yang menyarankanku untuk mendaftar di posisi tersebut.

Setelah mengirimkan pendaftaranku, aku mendapatkan informasi bahwa aku lolos untuk wawancara departemen. Di masa wawancara tersebut, aku juga bertemu dengan orang asing lainnya. Beliau memiliki banyak pengalaman dibanding aku dan telah memiliki banyak publikasi. Salah satu hal yang aku cukup baik dibanding beliau adalah kemampuan bahasa Koreaku. Aku berdoa kepada Tuhan supaya aku tidak melihat situasi sekitarku dan bisa lebih fokus kepada pimpinan Tuhan.

Dikarenakan universitas yang aku daftar ini adalah universitas negeri, minimal satu orang akan dipanggil untuk wawancara terakhir dengan para petinggi universitas. Dan, rektor universitas yang aku daftar ini berasal dari jurusan yang aku daftar. Beliau telah mendengar tentang aku dari para dosen di jurusan ini. Wawancara terakhirku berlangsung hanya 5 menit. Melalui kasih karunia Tuhan, aku diterima di posisi ini.

Setelah diterima, aku menanyakan kepada kepala jurusan mengapa mereka membukakan lowongan untuk orang asing. Beliau mengatakan pada awalnya mereka pada awalnya menginginkan untuk menerima dosen Korea. Tetapi dikarenakan jumlah dosen Korea sudah banyak, pihak petinggi universitas hanya memperbolehkan menerima orang asing. Aku melihat ini semua sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan di dalam kehidupanku. Di saat aku memerlukan pekerjaan sebagai dosen tetap, Tuhan menggerakan hati para petinggi universitas yang hanya memperbolehkan untuk menerima orang asing.

Aku sangat berterima kasih buat pimpinan Tuhan di kehidupanku. Saat pertama kali aku datang ke Korea di tahun 2015, tidak pernah terpikir bagiku untuk menjadi dosen. Kadang-kadang aku merasakan aku kehilangan satu tahun di masa pembelajaran insentif bahasa Korea di tahun pertama masa studiku. Tetapi, Tuhan menggunakan waktu pembelajaran tersebut dan persekutuanku bersama gereja Navigators Korea untuk meningkatkan kemampuan bahasa Koreaku. Yesaya 55:8-9 berkata, Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”

Melihat Tuhan membukakan posisi di universitas negeri yang hanya menerima orang asing, aku mengalami bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Yeremia 32:27 juga berkata, Sesungguhnya, Akulah Tuhan, Allah segala makhluk; adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk-Ku?” Hal penting yang diinginkan Tuhan di dalam kehidupan kita adalah mempercayai-Nya dan menantikan Dia bertindak dalam ketekunan dan ketaatan dalam iman.

Ibrani 10:35-36, Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya. Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu.”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagaimana Jika Aku Menyerobot Antrean Pulang ke Rumah Bapa?

Oleh Aris Budhiyanto

Bulan Oktober kemarin, bertepatan dengan hari peringatan kesehatan mental sedunia yang jatuh pada tanggal 10, aku banyak menemukan artikel yang membahas seputar kesehatan mental. Beberapa artikel yang kubaca membahas tentang kasus bunuh diri. Aku pun tergelitik karena tujuh tahun lalu aku pernah berpikir untuk meninggalkan dunia ini dengan sengaja.

Saat itu usiaku menginjak akhir 20-an, usia di mana seseorang mulai dianggap mapan secara finansial maupun dalam berkarier. Namun, hal itu tidak berlaku bagiku. Saat itu aku baru saja menyelesaikan pendidikan magister dan sudah beberapa bulan bergumul mencari kerja. Sedikit cerita tentang latar belakangku, sebelum memutuskan untuk melanjutkan studi, aku sudah beberapa tahun bekerja di sebuah kantor yang cukup baik di Jakarta, tapi aku meninggalkan pekerjaan lamaku dan melanjutkan studi magister untuk menjadi seorang pengajar. Keputusan ini sudah kudoakan sejak aku masih duduk di bangku kuliah. Tentu saja pilihanku ini kontroversial, terutama bagi orang tuaku karena mereka mengharapkanku bekerja di sektor industri. Namun, mereka tidak menghalangiku.

Berbulan-bulan menganggur dan mencari kerja, yang kudapat hanya penolakan. Orang tuaku yang turut mempertanyakan keputusanku dan mencoba mendorongku kembali ke pekerjaan lamaku membuatku merasa tertekan dan depresi. Bahkan aku mulai meragukan Tuhan dan keputusan yang kuambil. Malam demi malam aku berdoa. Salahkah aku memutuskan meninggalkan pekerjaan lamaku? Apakah hal yang aku doakan selama ini tidak berkenan kepada Tuhan? Jika demikian, mengapa Dia tetap menuntunku dan membawaku sampai di titik ini? Apakah Tuhan menghendaki aku untuk gagal? Apakah Tuhan tidak lagi mengasihiku? Lalu untuk apa aku hidup di dunia ini?

Saat itulah pikiran untuk meninggalkan dunia ini muncul. Aku ingin menghilang dan melepaskan diri dari semua ini. Tak jarang aku bercanda dengan teman-temanku, “bagaimana jika aku menyerobot antrean pulang ke rumah Bapa?”

Namun, puji Tuhan, Dia tidak membiarkanku mengambil keputusan yang salah. Aku masih takut akan Tuhan dan masih menyadari bahwa mengakhiri hidup bukanlah solusi akhir. Melalui teman-temanku, Tuhan menguatkan aku. Dia juga menuntunku untuk berkonsultasi ke psikolog yang melayani di gerejaku. Memang, kami tidak bisa menjawab mengapa Tuhan membiarkanku melewati semua ini, namun imanku semakin dikuatkan dan diteguhkan.

Aku menggunakan waktu menganggurku untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, berdoa, membaca firman dan mendengarkan lagu rohani, serta mengevaluasi diri hingga berserah. Aku sadar aku lebih ingin mengikuti egoku daripada mencari kehendak-Nya. Karena itulah aku marah ketika Tuhan tak kunjung menjawab doaku, hingga aku menolak semua hal baik yang Tuhan karuniakan, termasuk hidupku. Bisa dikatakan Tuhan menggunakan waktu menganggurku untuk membentuk karakterku agar aku tidak menyerah, tetapi berserah. Aku tidak lagi bersikeras untuk bisa menjadi pengajar dan mulai memikirkan pekerjaan lain jika Tuhan tidak menghendaki aku melayani di bidang pendidikan.

Saat itulah Tuhan justru menjawab doaku. Dia memberikan pekerjaan di kampus yang dulu aku menempuh studi S1. Masa-masa pergumulan itu kurasa memang Tuhan siapkan untuk menguji dan membentuk karakterku agar aku siap menjadi seorang pendidik. Setelahnya, barulah Tuhan mengutusku untuk melayani-Nya. Bukan lagi karena keinginanku, tapi atas kehendak dan kedaulatan-Nya.

Sekarang aku sudah hampir menyelesaikan studi doktoralku. Puji Tuhan, atas seizin-Nya aku diberi kesempatan untuk melanjutkan studi keluar negeri. Tentunya kehidupanku selanjutnya tidak mudah, bahkan aku juga mengalami banyak masalah yang membuatku tertekan dan depresi. Tapi, aku tidak lagi berpikiran untuk meninggalkan dunia ini karena aku punya Tuhan yang senantiasa menuntunku dan memegang erat tanganku, bahkan ketika aku melepaskan pegangan tanganku.

Melalui tulisan ini, aku berharap jika kalian sedang mengalami masalah yang sangat berat, hingga pernah berpikiran untuk meninggalkan dunia ini, kiranya ceritaku bisa menguatkan kalian dan menghilangkan pikiran itu. Meskipun aku tidak tahu apa masalah yang kalian hadapi, Tuhan tahu dan mengasihi kita semua, hingga Dia bersedia mati di kayu salib agar kita beroleh keselamatan. Jangan sia-siakan anugerah kehidupan yang tak ternilai ini.

Carilah pertolongan, melalui komunitas gereja yang dapat menjadi support system, atau ke psikolog.

Akhir kata, aku ingin membagikan ayat yang menjadi peganganku selama ini: 

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Ulangan 31:6).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Saat Menganggur, Imanku Diuji

Oleh Michele Ong

Diterjemahkan dari bahasa Inggris: How To Trust God in The Season of Job Hunting

Aku menghabiskan enam bulan hidupku sebagai kaum mageran.

Tiap hari aku bisa dengan bebas menonton serial terbaru, jadi anggota tetap kelompok renang, juga ikut gym. Saking selow-nya, bahkan buku dengan genre crime-thriller Jepang favoritku telah tuntas kubaca sebelum penulisnya mampu menerjemahkan seri berikutnya ke dalam bahasa Inggris. 

Itu adalah gaya hidup yang kunikmati selama tiga bulan pertama, setelah aku mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya yang penuh tekanan dan membuat kepercayaan diriku hancur berkeping-keping. Namun, gaya hidup bersantai ria bukanlah gaya hidup yang cocok untuk dilakukan secara berkelanjutan. Tak lama, aku pun kehabisan uang. Saldoku di bank hampir habis, tagihan menumpuk, dan aku baru saja menggunakan uangku untuk membeli kendaraan. 

Jadi, setelah masuk dalam keadaan kepepet, aku melakukan apa yang akan dilakukan oleh kebanyakan orang: mencari pekerjaan. Tapi, ternyata cari kerja itu susah. Prosesnya panjang dan menyakitkan. Aku seolah dipaksa untuk bergantung pada Tuhan.

Tidak mudah untuk mempercayai Tuhan selama setengah tahun berikutnya. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengirimkan lamaran pekerjaan hanya untuk menerima balasan email, “Dengan berat hati kami memberitahukan kepada Anda…” Lalu ada kalanya aku mempersiapkan diri untuk wawancara hanya untuk diberitahu, “Kami telah memutuskan untuk memilih kandidat lain…”

Aku menangis. Ibarat air terjun, air mataku tak berhenti mengalir. Namun, selama enam bulan aku mencari pekerjaan, aku belajar lebih banyak tentang Tuhan daripada jika doa-doaku dijawab dengan cepat.

Ketika aku mengundurkan diri dari pekerjaan awalku sebagai wartawan, aku juga siap untuk berhenti menulis. Aku tidak ingin mendekati apa pun yang berhubungan dengan menulis, dan aku cukup senang mencari karier di bidang akuntansi, yang merupakan gelar utama yang kumiliki.

Namun, Tuhan memiliki rencana lain untukku. Pada akhir pekan kepemimpinan di gereja, khotbah dari seorang pendeta Amerika, John Bevere, membuatku menarik kembali keputusanku sebelumnya. Pendeta Bevere berbicara tentang perumpamaan talenta (Matius 25:14-30), di mana sekelompok hamba dipercayakan tuannya untuk menjaga talenta masing-masing selama tuannya pergi. Beberapa orang memelihara dan mengembangkan talenta mereka, tetapi salah satu hamba menyembunyikan talentanya. Ketika tuannya mengetahui hal ini, dia menegur hamba tersebut karena telah jahat dan malas, serta mengambil talenta itu darinya.

Khotbah tersebut mengingatkanku untuk memakai talenta dengan baik, dan meyakinkanku bahwa aku harus sungguh-sungguh mencoba menulis lagi. Kadang ketika kita minta Tuhan menunjukkan jalan pada kita, tanpa sadar kita memelihara keraguan tentang pimpinan-Nya, yang pada akhirnya membuat kita gagal dalam mengambil langkah-langkah kecil. 

Apakah saat ini kamu sedang mencari pekerjaan? Adakah sesuatu yang perlu kamu lakukan saat ini sebelum Tuhan menunjukkan langkahmu selanjutnya? Mungkin kamu rindu menjadi relawan di pekerjaan sosial, atau melayani di gereja? Masa-masa kamu menganggur bisa menjadi waktu yang tepat bagimu untuk melakukan hal-hal yang selama ini tidak sempat kamu lakukan, terutama jika motivasimu adalah untuk memuliakan Tuhan di dunia. Ini juga bisa menjadi cara Tuhan untuk menolongmu mendapatkan keterampilan khusus yang dicari oleh calon atasanmu, atau keterampilan yang kelak menolongmu menjadi saksi-Nya di tempat kerja.

Bagiku sendiri, aku harus mulai menulis lagi sebagai tindakan ketaatan kepada Tuhan. Aku tahu dan yakin menulis adalah talenta yang Tuhan percayakan buatku.

Setelah aku kembali menulis, kupikir akan ada tawaran kerja yang kuterima, tapi ternyata tidak. Email penolakan lagi yang kuterima. Ada malam-malam ketika aku terbangun, khawatir akan masa depanku, dan membandingkan keadaanku dengan teman-teman yang sudah memiliki jabatan bagus.

Namun, Tuhan telah berjanji bahwa Dia akan menjaga kita dan Dia memegang masa depan kita di tangan-Nya. Lukas 12:32 memberiku banyak penghiburan selama masa ini. “Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu.”

Hal lain yang kupelajari dari proses pencarian kerja ini adalah bahwa identitasku tidak berasal dari jabatan yang terdengar “wow”. Sebaliknya, identitasku ada di dalam Kristus. Meskipun manusia mungkin menilai statusku sebagai pengangguran, Tuhan melihatku sebagai anak-Nya yang berharga, dan nilai diriku di mata-Nya tidak berkurang sedikit pun.

Sangat mudah bagi kita memaknai nilai diri kita dari apa yang tercetak di “kartu nama”. Tetapi, identitas yang kita temukan di dalam Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat diambil oleh siapa pun. Perusahaan kita mungkin menyuruh kita untuk “berkemas dan pergi” karena kondisi ekonomi perusahaan yang suram, tetapi jika kita tahu siapa diri kita di dalam Kristus, kita tidak akan membiarkan hal itu menggoyahkan kepercayaan diri kita.

Aku menunggu untuk waktu yang lama sebelum aku mendapat tawaran pekerjaan yang kulakukan saat ini. Dan tahukah kamu? Itu jauh lebih baik dari apa yang kuharapkan dan doakan sebelumnya. Pekerjaan itu datang dengan gaji yang menarik, lingkungan kerja yang lebih baik, dan jam kerja yang teratur.

Mungkin kamu berada dalam situasi yang sama. Mungkin kamu telah melamar begitu banyak pekerjaan hingga kamu tidak dapat menghitungnya, dan kamu merasa ingin menyerah karena tekanan dari orang tua dan teman sebaya. Namun, tenanglah dan ketahuilah bahwa Tuhan adalah Tuhan yang lebih dari cukup (Efesus 3:20). Dia akan menopangmu dengan tangan kanan-Nya (Yesaya 41:10), dan Dia akan memberikan kekuatan kepada orang yang letih lesu (Yesaya 40:29).

Pencarian kerja mungkin sangatlah sulit. Tetapi aku tahu bahwa Tuhan menjawab doa pada waktu yang telah ditentukan-Nya. Corrie Ten Boom pernah berkata, “Jangan pernah takut untuk mempercayakan masa depan yang tidak diketahui kepada Tuhan yang kita tahu.” Jadi, berpeganglah pada Tuhan dan pengharapan yang Dia tawarkan; Dia akan menemanimu sampai akhir.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Pekerjaan Impian Tak Selalu Datang di Awal

Oleh Chia Poh Fang

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things I Learned When I Couldn’t Find a Job

Setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk mendedikasikan satu tahunku melayani di organisasi nirlaba yang menjangkau anak-anak muda. Kupikir, Hei! Aku kan masih muda. Aku punya gelar dari universitas yang bagus. Pastinya aku gak akan susah buat dapetin kerja.” 

Tapi, aku salah.

Setahun kemudian, krisis ekonomi melanda kawasan Asia pada tahun 1997. Atau di Indonesia dikenal dengan sebutan “krismon”. Jumlah pencari kerja jauh lebih banyak dibandingkan lapangan kerjanya sendiri. Butuh waktu sembilan bulan sampai akhirnya aku mendapatkan pekerjaan full-time. 

Meski tahun perjuangan kita berbeda, mungkin ada salah satu di antara kita yang pernah mengalami hal yang sama sepertiku—merasa muda, yakin akan masa depan cerah, tapi kemudian ketika dihadapkan pada keadaan yang sulit, kamu merasa ingin menyerah saja. Tapi, kuharap apa yang kubagikan dalam tulisan ini dapat menolongmu melewati masa-masa sulitmu. 

Tak peduli seoptimis apa pun kamu, akan ada saatnya ketika kamu meragukan dirimu sendiri… dan itu wajar

Waktu kamu mengirimkan lamaran yang jumlahnya mungkin tak terhitung, ikut wawancara, lalu menunggu hasilnya, mungkin kamu berharap banyak pada momen itu, tapi kemudian malah kecewa. Ketika perjuanganmu seperti jalan di tempat, mungkin kamu akan jadi sepertiku yang meragukan kemampuan sendiri. Apakah aku tidak cukup baik? 

Aku telah melewati dua masa berbeda. Jika dulu aku yang diwawancara, sekarang akulah yang mewawancarai orang. Izinkan aku meyakinkanmu bahwa kalau kamu sudah masuk ke tahapan wawancara, artinya kamu punya keterampilan yang diperlukan. Tapi, proses rekrutmen kerja itu sangat subjektif dan bergantung pada banyak faktor. Jadi, kalau kamu gagal mendapat pekerjaan setelah proses yang panjang, itu bukan berarti kamu gagal.

Selama berbulan-bulan menganggur, Mazmur 139:14-18 jadi ayat yang menyemangatiku. “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya… Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam Alkitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.”

Ketika aku meragukan diri sendiri, aku diingatkan bahwa Tuhan menciptakanku dengan begitu indah, dan hidupku ada dalam kendali-Nya. Aku senantiasa ada dalam pikiran-Nya dan Dia selalu bersamaku. Tuhan tahu apa yang aku dan kamu alami. Dia peduli pada segala ketakutan dan kekhawatiranmu. Karena Dialah yang menciptakan dan memegang tangan kita, Dia jugalah yang akan memimpinmu pada pekerjaan yang tepat untukmu, pada waktu yang tepat juga.

Kamu pun mungkin akan meragukan Tuhan…

Selama masa menanti pekerjaan tetap, aku membuat jurnal dan menulis dalam satu catatan: “Apakah aku menjadi batu sandungan bagi orang tuaku? Ayahku membuang-buang waktu setelah lulus dengan bekerja di organisasi nirlaba. Aku tidak ingin jadi beban bagi siapa pun, tapi aku merasa kalau sekarang akulah beban itu. Alih-alih bisa memberi gajiku buat orang tuaku, aku malah masih menerima uang dari mereka.”

Waktu itu aku bertanya-tanya tentang janji Tuhan di Matius 6:33, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.” Apakah janji ini benar? Aku sudah melakukan perintah ini dengan melayani di lembagai nirlaba, tapi sepertinya Tuhan tidak memenuhi janji-Nya untuk memberikanku “semua yang kuingini.” 

Bisakah aku benar-benar mempercayai firman-Nya? Bahkan, apakah mengikut Tuhan itu memberi manfaat buatku? Saat itu, sebuah buklet dari Our Daily Bread Ministries yang berjudul “Mengapa Orang Kristen Ragu?” memberiku banyak dorongan. Buku itu meyakinkanku bahwa aku dapat menyampaikan keraguanku kepada Tuhan dengan jujur, dan Dia bersedia membantu kita mempercayai-Nya.

Kehidupan nabi Habakuk menggemakan kebenaran ini karena dia sulit memahami karakter Tuhan dengan perbuatan-Nya. Habakuk meratap (Habakuk 1:1), dan Tuhan tidak menolaknya. Dengan sabar Tuhan menjelaskan rencana-Nya, sehingga di akhir kitab, Habakuk dapat mengumandangkan dengan yakin, “Sekalipun pohon ara tidak berbunga… aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (3:17-19).

Saat aku bergumul dengan Tuhan melalui keraguanku, Dia membawaku ke tingkatan iman dan pengenalan yang lebih dalam akan Pribadi-Nya. Semua ini kudapatkan lewat berdoa dan mempelajari firman-Nya. Aku belajar melihat sifat Allah yang tetap, alih-alih membiarkan keadaanku sendiri yang berubah-ubah untuk menentukan penilaianku akan karakter-Nya. 

Selanjutnya, aku menulis ini di jurnalku: “Hidup oleh iman, bukan karena melihat” mengharuskan kita untuk melepas kecenderungan kita menebak-nebak masa depan kita sendiri. Kita harus percaya dan patuh sepenuhnya pada firman Tuhan sekalipun jalan di depan kita terasa suram.

Tuhan mengundang kita untuk percaya, yaitu dengan bersandar kepada-Nya. Tuhan dapat kita andalkan sepenuhnya. Saat kamu menyiapkan berkas lamaran, bersiap ikut tes seleksi, dan menghadiri wawancara, percayakanlah prosesnya kepada Tuhan. Proses ini ada dalam kedaulatan Tuhan. Lolos atau tidaknya kita, Tuhan selalu menyertai dan memberikan jalan keluar. 

Hidupmu seperti naik roller-coaster, tapi kamu tidak naik sendirian. Ada Tuhan menemanimu. 

Masa-masa mencari kerja bisa jadi masa yang menyenangkan untuk kita mengalami perjalanan iman, tapi bisa juga jadi seperti naik roller-coaster yang menguji adrenalinmu. Ada hari ketika kamu penuh iman dan harapan, tapi ada juga hari ketika kamu ragu dan putus asa. Aku ingat bagaimana antusiasnya aku menanti panggilan wawancara, tapi pernah juga aku putus asa saat tak ada jawaban pasti. Namun dalam segalanya, Tuhan tetap beserta. 

Mungkin kamu khawatir tabunganmu akan habis atau kamu tidak punya cukup uang untuk membiayai diri sendiri kalau belum juga dapat kerja. Naluri kita sebagai manusia lebih suka jika Tuhan seketika memberi dengan berlimpah, alih-alih memberi kita “jatah” hari demi hari. Tetapi, Bapa kita yang pengasih berbisik, Percayalah kepada-Ku. Sama seperti Dia menggunakan gagak dan janda untuk memelihara Elia (1 Raja-raja 17:1-9), tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Kita dapat mengandalkan kasih dan kuasa-Nya untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari.

Kembali pada pengalamanku dulu, setelah sembilan bulan mencari pekerjaan, akhirnya aku diterima sebagai staf marketing. Sejujurnya, posisi itu tidak persis seperti yang kucari, dan itu bukanlah karier yang kuimpikan. Tapi aku menerimanya karena aku mengikuti saran penulis Kristen, Elizabeth Elliot, untuk Do the next thing yang bagiku saat itu adalah mencari penghasilan.

Tetapi, Tuhan tidak membuat kesalahan, dan rencana-Nya sempurna. Kalau melihat ke belakang, aku menyadari bahwa itu adalah pekerjaan yang tepat untukku karena aku mempelajari keterampilan penting, seperti etika berkirim email dan bagaimana bekerjasama dengan berbagai departemen dalam organisasi besar untuk mencapai suatu tujuan, yang pada gilirannya mempersiapkanku pada pekerjaan impianku yang sebenarnya—peranku saat ini, sebagai redaktur pelaksana di Our Daily Bread Ministries.

Jadi, jika kamu sedang mencari pekerjaan, inilah pesanku untukmu: Tetaplah dekat pada Tuhan dan Firman-Nya, Dia akan memimpinmu. Di akhir perjalanan, kamu tidak hanya akan menemukan pekerjaan, tetapi juga keintiman yang lebih dalam dengan Tuhan. Percayalah kepada-Nya!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

3 Cara Tetap Setia Ketika Hidup Terasa Jalan di Tempat

Oleh Yang Ming
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Ways To Remain Faithful When Life Seems To Be Going Nowhere

Hatiku bergetar saat melihat deretan email masuk. Ketakutan terbesarku terwujud. Lamaran kerjaku untuk bergabung di kelompok seni internasional ditolak. Sepuluh bulan terakhir upayaku mencari kerja selalu buntu dan menyerah rasanya jadi pilihan yang baik.

Aku kecewa. Upaya-upaya kreatifku tidak membawaku pergi ke mana-mana, dan aku tetap menganggur selama berbulan-bulan meskipun aku sudah berusaha sebaik mungkin. Rasanya aku dikecewakan oleh segala hal yang kuanggap bernilai.

Beberapa hari setelahnya, aku sulit untuk berdoa dan mencari Tuhan. Aku duduk termenung di kasurku setiap malam. Perlahan aku marah pada-Nya. Ketika penderitaan ini terasa terlalu berat, akhirnya aku berseru, “Tuhan, pernahkah Engkau mengasihiku?” Aku sendiri terkejut dengan pertanyaan itu, tapi itulah yang bergema di hatiku.

Saat itu aku merasa terluka dan malu. Aku telah jadi orang Kristen bertahun-tahun, dan telah melayani dengan penuh semangat di pelayanan pemuda. Aku pun telah bersaksi akan kebaikan Tuhan ke orang-orang, tapi hari ini bagaimana bisa aku meragukan kasih-Nya buatku?

Terlepas dari amarah dan kecewaku, aku tahu hanya ada dua jalan yang bisa kuambil: berpaling pada Allah atau melarikan diri dari-Nya. Kurenungkan dua pilihan itu dan aku teringat ayat dari Yohanes 6:68. Setelah Yesus memberikan pengajaran yang cukup keras, banyak murid meninggalkan-Nya karena mereka mendapati terlalu sulit untuk mengikut-Nya. Yesus lantas bertanya pada 12 murid-Nya apakah mereka hendak ‘menyerah’ juga. Simon Petrus menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

Seperti Simon Petrus, aku memutuskan untuk tetap setia pada Allah meskipun aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidupku. Aku memulai perjalanan kesetiaanku dari tiga area ini:

1. Mengatur ulang pikiranku melalui penyembahan kepada-Nya

Ada hari-hari ketika aku sulit menyembah Tuhan. Beberapa hari aku merasa hambar, dan parahnya lagi, aku tidak tahu inti apa yang kulakukan. Tapi, melalui teladan dari Daud sang pemazmur dan Ayub—mereka sosok yang juga mengalami kekecewaan, aku sadar bahwa tidak masalah untuk tidak merasa baik di hadapan Allah karena Dia tahu apa yang sesungguhnya tersembunyi di dalam hati kita.

Ketika anak dari Daud mati karena dosanya melawan Allah, Daud “masuk ke dalam rumah TUHAN dan sujud menyembah” (2 Samuel 12:20). Pemazmur sering menuangkan pergumulannya dan dengan jujur berkata-kata di hadapan Allah, menuturkan-Nya “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: Di mana Allahmu?” (Mazmur 42:3). Ayub kehilangan anak-anaknya dan segala harta miliknya, tapi dia tetap menyembah Allah dengan tetap percaya dan berharap pada-Nya (Ayub 13:15).

Kedua teladan itu mengingatkanku bahwa meskipun gejolak emosi kita sungguh nyata, itu tidak seharusnya menjadi penentu keputusan final kita. Meskipun aku merasa sedang di titik nadir, aku mulai mengumpulkan sisa-sisa kekuatan untuk menyanyikan pujian bagi Allah. Entah itu lagu kidung jemaat atau lagu rohani kontemporer, semuanya menolongku untuk mengatur kembali pikiranku dan berfokus pada Allah. Nada-nada sederhana dipakai-Nya untuk menenangkan badai di hatiku, juga memperbaharuinya.

2. Mencari tahu tujuan Allah melalui pencobaan yang kuhadapi

Di momen-momen hening penyembahanku, aku sadar Allah senantiasa setia, tapi aku lebih memilih berjalan dengan jalurku sendiri dan dengan naif yakin bahwa rencanaku lebih baik. Alih-alih menanti Allah, aku mencari alternatif lain. Aku mencari pelarian lewat teman-temanku, membaca buku, bahkan googling mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku ingin solusi instan atas masalahku. Ketika yang kuinginkan tidak terjadi, segeralah aku kecewa dan menjauh dari Allah, berpikir kalau Dia memang meninggalkanku.

Tapi, di satu saat teduhku di pagi hari, aku menemukan kisah Gideon di Hakim-hakim 6:1-40, dan bacaan itu menyentakku betapa Allah penuh belas kasih kepada bangsa Israel yang tidak setia. Ketika mereka ditindas, Allah ada bersama mereka. Allah mendengar tangisan mereka. Itulah sebabnya Allah mengirim Gideon. Allah berdaulat dalam segala sesuatu.

Kebenaran ini memperdalam pemahamanku akan Allah. Oswald Chambers dalam teks renungannya My Utmost For His Highest menulis begini, “Kamu harus pergi menghadapi pencobaan sebelum kamu punya hak untuk mengucapkan keputusanmu, karena dengan melalui pencobaan kamu akan belajar mengenal Allah lebih baik. Allah sedang bekerja di dalam kita untuk mencapai tujuan termulia-Nya, sampai tujuan-Nya dan tujuan kita menjadi satu.”
Tujuan dari pencobaan yang kuhadapi bukan sekadar mengajariku pelajaran hidup, tapi untuk membawaku melihat karakter Allah serta tujuan mulia-Nya bagiku—yakni untuk menyembah dan memuliakan-Nya di segala hal yang kulakukan.

Perlahan aku mulai melihat Allah dalam terang yang baru. Dia menunjukkanku kesetiaan-Nya melalui hal-hal kecil yang biasanya kuabaikan. Dia memelihara kesehatanku, memenuhi kebutuhanku di masa-masa menantang ini, dan membawa orang-orang yang peduli pada kesejahteraanku. Karena semua inilah, aku tahu aku bisa bersandar pada kasih-Nya yang tak berakhir meskipun tantangan berat siap menghadang.

3. Mengingat betapa Allah telah menyukakan hatiku

Ketika hidup terasa tidak berjalan ke mana-mana, mudah untuk hanyut dalam takut dan khawatir. Ketika aku bertanya pada Allah pernahkah Dia mengasihiku, jawaban yang kudapat hanyalah kesunyian. Respons ini membuatku berandai-andai, mungkinkah Allah marah karena aku mempertanyakan kasih-Nya?

Tapi, dengan penuh kasih Dia mengingatkanku lewat Mazmur 18:16-19:

“Ia menjangkau dari tempat tinggi, mengambil aku, menarik aku dari banjir. Ia melepaskan aku dari musuhku yang gagah dan dari orang-orang yang membenci aku, karena mereka terlalu kuat bagiku. Mereka menghadang aku pada hari sialku, tetapi TUHAN menjadi sandaran bagiku; Ia membawa aku ke luar ke tempat lapang, ia menyelamatkan aku, karena Ia berkenan kepadaku.”

Aku telah berusaha keras untuk mengingat seperti apakah rasanya ketika hatiku dipuaskan oleh-Nya. Aku menyadari seharusnya aku tidak berusaha terlalu keras hanya untuk membuktikan bahwa aku cukup baik untuk dikasihi-Nya.

Selama beberapa bulan, aku telah belajar bahwa di masa-masa terkelam hidup seharusnya kita menaruh percaya pada-Nya. Dalam perjalanan kekristenanku, aku mengalami momen yang membawaku pada terobosan dan penolakan. Saat aku berjalan di lembah atau puncak, ini adalah momen yang cepat berlalu. Aku tak tahu mengapa hidupku berjalan sedemikian rupa, tetapi aku tahu Allah adalah sauh yang kuat bagi jiwaku (Ibrani 6:19), dan Dia punya tujuan bagiku. Tak peduli medan apa yang kulalui, Dialah sumber penghiburanku. Dia masih menulis kisah hidupku, kisah yang jauh lebih baik dari apa yang kupikirkan.

Setelah beberapa bulan mencari kerja, aku mendapat pekerjaan sementara di gereja. Bukan pekerjaan yang kudambakan, tetapi mungkin ini adalah pekerjaan yang baik yang bisa kulakukan di masa sekarang untuk mengembangkan talentaku melayani-Nya. Lagipula, Allah telah menujukkan padaku kesetiaan-Nya dan Dialah penolongku di masa-masa sulit. Dia telah memimpinku kepada kesempatan-kesempatan lain untuk menujukkan kemampuan kreatifku.

Jika kamu merasa kamu sedang berjalan dalam terowongan kelam dan hidupmu serasa jalan di tempat, aku ingin mendorongku untuk melihat pada kasih Allah yang tak pernah berubah untukmu. Jangan pernah lelah untuk meraih-Nya. Dialah Allah yang baik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Belajar Setia dari Aren

Aren masih duduk di bangku SD dan dia hidup dengan penyakit bawaan. Bukan hidup yang mudah tentunya, tetapi Aren ingin berbagi cerita dan semangat buat kita semua.

Setahun Mencari Pekerjaan, Tuhan Akhirnya Menjawab Doaku

Oleh Martha Felica*, Surakarta

Air mataku menetes tatkala aku terdiam. Pusing di kepala dan rasa sakit di dada kurasakan karena diselimuti kekecewaan. Aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan pada tahun 2017 yang lalu. Saat masih duduk di bangku kuliah, aku pernah berpikir bahwa hidup akan terasa mudah dan indah setelah selesai kuliah. Lulus dengan nilai bagus, lalu diterima di perusahaan besar di Jakarta. Namun, impianku justru pupus begitu saja.

Hari demi hari, bulan demi bulan, kota demi kota sudah aku sambangi demi mendapatkan pekerjaan. Aku pernah mengikuti wawancara kerja di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Semarang. Namun, tak ada satupun yang akhirnya lolos. Padahal, teman-teman yang lulus bersamaku sudah mendapatkan pekerjaan. Aku didera rasa malu yang tak kunjung berhenti. Setiap kali orang bertanya di mana aku bekerja, lidahku kelu. Hatiku sakit. Aku tak tahu harus menjawab apa. Pun dengan kedua orang tuaku. Sebagai anak tunggal, aku punya kewajiban untuk menjadi satu-satunya tumpuan mereka nantinya. Lalu, bagaimana jika aku tak bisa memiliki pekerjaan dan tidak berhasil membanggakan mereka?

Tapi, rasa frustrasi tidak membuatku berhenti berdoa. Aku menceritakan tentang kegelisahanku selama aku belum mendapatkan pekerjaan kepada seorang hamba Tuhan di gerejaku. Aku memanggilnya dengan panggilan “Romo”. Saat itu, beliau menasihatiku bahwa yang terpenting bukanlah siapa yang tercepat, melainkan kualitas hidup kita karena itulah yang Tuhan lihat. Beliau juga mengutarakan bahwa aku harus diam sejenak dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Aku harus menerima kondisiku saat itu dan berdamai dengan kekecewaan yang menggerogoti diriku sendiri sambil tetap berdoa. Aku berusaha melakukan nasihat Romo yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam Filipi 4:6-7: “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”

Ada harapan

Hari demi hari kembali aku jalani. Aku tidak menyerah pada keadaan. Sembari mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, aku berusaha untuk terus berkarya di gereja dan menjadi wirausahawan. Aku membuka bisnis kaos dan bakso goreng serta melayani sebagai lektor atau pembaca Alkitab saat ibadah berlangsung. Di tengah-tengah usahaku itu, selalu ada perusahaan yang memanggilku untuk wawancara kerja, entah di Jakarta maupun Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Pengharapanku tumbuh kembali, apalagi orang tua, keluarga dan teman-temanku terus mendukungku. Aku beroleh kekuatan melalui Matius 6:26:

“Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”

Benar, aku adalah manusia ciptaan-Nya yang lebih dari burung-burung itu. Aku tak boleh khawatir selama aku berusaha dengan jujur dan terus mengandalkan-Nya dalam doa-doaku.

Lembaran baru

Waktu demi waktu berlalu. Wawancara demi wawancara kulalui, tetapi aku masih belum berhasil lolos ke tahap selanjutnya.

Bulan Juli 2017, aku iseng mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan media yang sedang dibangun di kota tempat tinggalku, Solo. Setelah mengikuti seleksi, kupikir aku gagal kembali. Tapi, tak disangka-sangka, seminggu kemudian aku kembali dipanggil lewat telepon dari Jakarta. Aku diberitahu bahwa aku diundang untuk mengikuti proses seleksi di media yang sama namun dengan fokus yang berbeda yakni di berita seputar entertainment. Yang lebih mengejutkan lagi buatku, aku harus melewati proses wawancara di hadapan 10 petinggi perusahaan sekaligus. Aku sempat pesimis karena menurutku jawaban-jawabanku kurang memuaskan. Namun, aku memiliki nilai lebih karena pernah menulis di blog dan tulisanku pernah dimuat di beberapa media di Indonesia.

Setelah seminggu, aku menerima kabar bahwa aku diterima di media tersebut. Aku menandatangani kontrak selama setahun sampai Agustus 2018. Aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya diriku saat berhasil memperoleh pekerjaan untuk pertama kalinya. Senang, kaget, dan terharu bercampur menjadi satu. Aku sangat bersyukur karena Tuhan akhirnya memberikan jawaban atas doaku. Sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, aku memberikan seluruh gaji pertamaku untuk orang-orang yang membutuhkan melalui gereja.

Aku teringat pada perkataan Romo, “Hidup kita itu perjuangan. Jalani dengan penuh keberanian dan harapan. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kamu.”

Aku sungguh tak menyangka bahwa usahaku untuk terus melamar pekerjaan akhirnya berbuah manis seperti halnya firman yang tertulis dalam 2 Tawarikh 15:7, “Kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu!

Kini, satu setengah tahun telah berlalu. Aku masih setia bekerja di perusahaan media tersebut. Aku berusaha disiplin dan menghargai pekerjaanku serta memberikan yang terbaik, karena aku tahu betapa susahnya mencari pekerjaan di luar sana.

Teman, siapa pun kamu dan di mana pun kamu sekarang, jika kamu sedang berjuang mendapatkan pekerjaan, yakinlah bahwa Tuhan akan menolongmu. Ia mendengarkanmu jika kamu bersungguh-sungguh, bersedia berjuang dengan jujur dan tak menyerah. Ingatlah, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Selamat berjuang dengan tak putus-putusnya berharap pada Tuhan. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

3 Hal yang Tuhan Ajarkan dalam Masa Penantian

Enam bulan aku menanti dan berusaha agar jurnalku sebagai prasyarat kelulusan diterima. Awalnya aku sempat kecewa, tapi rupanya dari masa-masa inilah aku belajar sesuatu.

Di Mana Tuhan Ketika Kita Kehilangan Pekerjaan?

Oleh Gerald Tan, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Where Is God When We Lose Our Jobs?

Sebagai seseorang yang pekerjaannya adalah membantu orang-orang mendapatkan pekerjaan, aku telah bertemu banyak orang yang menghadapi berbagai tantangan yang berbeda dalam pencarian pekerjaan. Beberapa yang umum adalah: berbagai penolakan dari perusahaan, keahlian yang tidak sesuai, dan kurangnya kemampuan dalam menjalin relasi.

Tahun ini, negaraku mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, yang mengakibatkan banyak bisnis yang tutup karena rendahnya keuntungan dan hutang-hutang yang mereka miliki. Sebagai akibatnya, banyak orang kehilangan pekerjaan mereka dan aku telah melihat semakin banyak orang yang menghubungi perusahaanku untuk meminta tolong dicarikan pekerjaan setelah mereka di-PHK.

Satu hal yang kuperhatikan dari orang-orang yang kehilangan pekerjaan adalah ini: kehilangan pekerjaan seringkali mempengaruhi mereka lebih daripada sekadar aspek finansial, tapi juga membuat mereka kehilangan tujuan, identitas, dan status sosial.

Ambil contoh salah satu klienku, Peter*. Selama beberapa dekade, Peter bekerja sebagai seorang supply-chain professional tingkat regional di berbagai perusahaan multinasional. Dia memiliki gaji puluhan ribu dolar yang memampukannya menghidupi dua anak laki-lakinya yang telah beranjak remaja, istrinya yang merupakan ibu rumah tangga, dan ibunya yang telah lanjut usia. Peter adalah seorang Kristen dan datang ke gereja secara rutin bersama keluarganya. Sayangnya, dia di-PHK ketika sebuah perusahaan lain mengambil alih perusahaannya di awal tahun 2016. Dengan seketika, sumber penghasilannya yang stabil langsung hilang. Meskipun berkali-kali dia berusaha untuk mencari pekerjaan yang lain, dia tidak berhasil.

Peter yang dulunya periang pelan-pelan berubah menjadi seorang yang murung dan tertutup yang mengeluh tentang perusahaannya dahulu dan menyalahkan pemerintah yang tidak membukakan kesempatan bekerja untuknya. Dia bahkan mengeluh tentang teman-temannya yang berusaha membantunya. Hubungannya dengan keluarganya juga memburuk dan berangsur dia tenggelam dalam rasa depresi. Kehilangan pekerjaan telah membuatnya hancur.

Apa yang Peter alami mengingatkanku pada situasi bangsa Israel. Dalam kitab Yeremia, kita membaca tentang bagaimana raja Babel, Nebukadnezar, dan tentara-tentaranya menyerang Israel. Itu adalah hukuman Tuhan bagi bangsa Israel karena ketidaktaatan mereka, dan itu berat sekali: bangsa Israel kehilangan segala milik mereka dan tanah yang dahulu diberikan Tuhan kepada mereka. Dijajah oleh Babel, mereka meratap dan merindukan untuk kembali ke Israel.

Namun Tuhan mendengar tangisan mereka dan menunjukkan belas kasihan dan kasih-Nya kepada mereka. Melalui nabi Yeremia, Dia berjanji untuk membebaskan mereka—setelah 70 tahun. Selama waktu itu, Dia memerintahkan bangsa Israel untuk percaya kepada-Nya dan memulai kembali, berdoa, dan berusaha di tempat mereka dibuang (Yeremia 29).

Meskipun konteks dari penderitaan bangsa Israel berbeda dengan kita di masa kini, itu adalah sebuah peringatan yang bagus untuk kita untuk merefleksikan respons kita dalam menghadapi penurunan yang tidak kita harapkan dalam hidup kita. Apakah reaksi pertama kita akan penderitaan adalah mengeluh dalam kepahitan kepada Tuhan—sama seperti bangsa Israel?

Dalam masa-masa sulit, mudah bagi kita untuk kehilangan pengharapan, menyalahkan Tuhan, dan mengeluh akan segala hal. Tapi ketika kita fokus kepada masalah kita, kita mengabaikan kuasa Tuhan di dalam hidup kita—kita menyanjung pencobaan-pencobaan ini dengan membesar-besarkannya dan mengizinkannya untuk menjungkirbalikkan hidup kita. Tapi Tuhan telah menunjukkan bahwa Dia selalu setia kepada umat-Nya, lagi dan lagi. Daripada fokus kepada kesulitan yang kita alami, marilah kita melihat kepada Tuhan dan mempercayai kedaulatan dan rencana-Nya.

Seorang klien Kristenku yang lain, John*, mengalami situasi serupa seperti Peter. Di tahun 2015, dia juga di-PHK setelah 3 dekade bekerja di industri logistik. Seperti Peter, dia mempunyai anak-anak yang masih remaja dan seorang istri yang adalah ibu rumah tangga. Tapi yang membedakan John dengan Peter adalah responsnya. John mempercayai Tuhan dalam semua kesulitan yang dia hadapi dalam pencarian pekerjaan yang dia lakukan. Setiap kali dia menghadapi penolakan, dia terus beriman dan berpengharapan di dalam Tuhan. Dia berdoa lebih sungguh, peka untuk membantu, dan mempertahankan pengharapan dan sikap positifnya di sepanjang 10 bulan dia menganggur. Pada akhirnya, berbagai kesempatan pekerjaan pun datang. Sekarang, John adalah seorang pelatih dari beberapa sekolah pelatihan privat.

Jadi, bagi kita yang kehilangan pekerjaan kita atau sedang dalam masa-masa yang sulit secara finansial, kiranya kita dikuatkan dengan mengetahui bahwa Tuhan selalu ada untuk menopang kita. Mari pandanglah Dia dan percayalah bahwa Dia akan menolong kita memulai kembali dan memulihkan semuanya—pada waktu-Nya yang terbaik bagi kita.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Kisah Mengharukan di Olimpiade Rio 2016

Dua orang pelari Olimpiade, pelari New Zealand Nikki Hamblin dan pelari Amerika Abbey D’Agostino, terjatuh di tengah lomba lari 5.000 meter di Olimpiade Rio 2016. Apa yang mereka lakukan selanjutnya menggetarkan dunia.