Posts

Bagaimana Seharusnya Kita Merespons Sakit Penyakit?

Oleh Julia Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Should We Respond to Illness?

Sebagai seorang pekerja medis, tugasku adalah menyediakan dukungan bagi mereka yang menderita kekurangan fisik, gangguan mental, ataupun keduanya. Dalam pekerjaanku, aku telah bertemu dengan banyak pasien dan anggota keluarganya yang menghadapi berbagai keadaan sulit karena penyakit yang diderita. Inilah beberapa contohnya:

Seorang pemuda tidak bisa bekerja karena dia menderita kerusakan saraf yang tidak bisa dipulihkan meski diobati bertahun-tahun. Di masa muda yang seharusnya menjadi masa-masa produktif dalam hidupnya, dia hanya bisa berada di rumah saja karena setiap harinya dia merasakan sakit. Sedangkan, keluarganya bergumul untuk membayar utang dari biaya pengobatannya yang jumlahnya sangat besar. Selain itu, keluarganya juga harus merawatnya, memenuhi kebutuhan fisik dan emosinya setiap hari.

Seorang wanita paruh baya mengalami kelainan psikis. Dia sering mengamuk kepada anak-anaknya, emosinya sangat labil saat berada di rumah, dan suka berkhayal tentang suaminya yang suka melakukan kekerasan. Di masa-masa awal perawatan, dia mampu merespons dengan baik. Tapi, lama-lama responsnya memburuk. Dia menolak untuk dirawat lebih lanjut. Akibatnya, konflik antara dia dan keluarganya pun terjadi setiap hari.

Seorang pria yang mengidap Skizofrenia (gangguan mental kronis) mengalami penurunan dalam kemampuan kognitifnya. Dia dititipkan di sebuah panti hampir sepanjang hidupnya karena keluarganya tak mampu merawatnya di rumah. Selama bertahun-tahun, orangtuanya berhenti mengunjunginya, dan sekarang mereka tidak dapat lagi dihubungi. Namun, meski tinggal di sebuah panti tanpa keluarga, pria ini tetap ceria dan suka menolong.

Seorang wanita lanjut usia duduk di kursi roda dan ketakutan apabila keluar rumah setelah jatuh beberapa kali dan mengalami patah tulang. Dia tinggal di rumah sendirian bersama seorang pembantu; meski dia memiliki anak, cucu, dan cicit, mereka jarang datang mengunjunginya. Saat kesepian, dia akan menelepon teman-teman dan relawan untuk mengajaknya berbincang. Atau, dia juga menonton televisi untuk menghabiskan waktu.

Empat kisah singkat yang kutuliskan di atas membuatku berpikir: bagaimana respons tokoh-tokoh dalam Alkitab terhadap sakit-penyakit? Salah satu tokoh Alkitab yang hidupnya mengalami penderitaan parah adalah Ayub. Tubuhnya dipenuhi luka-luka menyakitkan, juga dia mengalami penderitaan lainnya. Ketika Ayub berseru dalam kesukarannya, teman-temannya malah memberikan dia nasihat buruk yang mengakibatkan Ayub hampir menyalahkan Allah atas kemalangannya. Namun, akhirnya Ayub sadar bahwa yang memberikan segala sesuatu dalam hidupnya adalah Allah. Ayub memilih untuk terus memuji dan menyembah Allah. Dan, pada akhirnya, Allah memberkati Ayub dengan keluarga dan kekayaan yang lebih besar daripada yang dia miliki sebelumnya.

Di dalam Perjanjian Baru, kita juga mendapati ada orang-orang yang mengalami kekurangan fisik dan mental, seperti orang buta, bisu, kusta, yang mengalami diskriminasi dari masyarakat pada masanya. Menariknya, topik tentang mengapa dan bagaimana mereka bisa mendapatkan penyakit-penyakit itu tidak pernah dibahas menjadi topik utama. Kemuliaan dan kedaulatan Allah, inilah yang paling utama. Mengenai orang yang buta sejak lahir, Yesus mengatakan bahwa ini terjadi karena “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Hari ini, kita memiliki kesempatan istimewa untuk melihat ke belakang dan belajar memahami mengapa ada orang-orang yang mengalami sakit-penyakit dan bagaimana penderitaan mereka berakhir. Tapi, tentu akan jauh lebih sulit untuk menerima ataupun memahami jika kita sendiri yang mengalami sakit-penyakit itu, atau ketika orang-orang terdekat kitalah yang mengalaminya. Banyak orang bergumul untuk memahami makna di balik penyakit yang mereka derita, khawatir akan berapa lama lagi mereka harus bertahan menanggung sakit-penyakit ini, dan bertanya-tanya bagaimana hidup mereka akan berakhir.

Setelah bergumul dengan banyak kesusahan yang dialami oleh para pasienku dan keluarganya, aku belajar bahwa yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana orang merespons penyakitnya dan mencoba memahami makna di baliknya. Respons mereka bisa membuat situasi jadi memburuk atau membaik.

Sebagai orang Kristen, kita bisa merespons sakit-penyakit dengan berpaling kepada Allah dan berharap kepada-Nya. Kita mungkin tidak disembuhkan secara instan—mungkin juga tidak disembuhkan sama sekali—tapi, sama seperti Ayub, kita bisa terus bersandar dan percaya kepada-Nya. Dan, karena Dia adalah Allah yang penuh kasih, Dia akan memberikan kita kekuatan untuk menanggung penderitaan, dan berjalan bersama kita dalam setiap langkah kita.

Satu hal yang paling penting dari kisah Ayub bukanlah pada bagian ketika dia akhirnya disembuhkan dan dipulihkan, tapi ketika Ayub dapat terus memuji Allah di tengah penderitaannya—inilah kesaksian terbesar Ayub, bagaimana dia beriman teguh di tengah kesakitan dan dukacitanya. Ketika kita terus percaya pada Allah, kita memuliakan nama-Nya.

Baca Juga:

Di Balik Kesulitan Finansial yang Kualami, Tuhan Memeliharaku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Aku bergumul dengan permasalahan finansial yang kualami belakangan ini. Seringkali aku bingung dan khawatir dengan hari-hari yang kulalui. Namun, Tuhan tidak meninggalkanku sendirian.

Tuhan Tahu Aku Butuh Penyakit Ini Agar Aku Berbalik Kepada-Nya

tuhan-tahu-aku-butuh-penyakit-ini

Oleh Mary Ann
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Pneumonia Was What I Needed

Dahulu, aku adalah seorang yang amat berambisi. Saat kuliah, aku menikmati hidup dan bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kuinginkan—terutama ketika itu berhubungan dengan nilai. Aku ingin menjadi mahasiswi terbaik sehingga semua orang melihatku. Ambisiku ini membuatku mengorbankan banyak hal yang lain: Tuhan, keluarga, dan teman-teman. Namun kemudian keadaannya menjadi berbalik, ketika aku mulai kehilangan semua hal yang aku miliki—pekerjaan impianku, pacarku, dan kesehatanku.

Segera setelah lulus kuliah, sebuah perusahaan desain yang selalu kuimpi-impikan menjadi tempatku bekerja menolak lamaranku sebagai desainer grafis. Akibatnya, aku harus bekerja di perusahaan keluargaku sebagai seorang asisten penjualan. Sangat sulit bagiku untuk menceritakan pekerjaanku kepada teman-temanku karena mereka tahu betapa aku ingin bekerja di perusahaan desain tersebut. Hal itu bahkan menjadi semakin sulit ketika sebagian besar dari mereka mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang terkenal. Seakan segalanya belum cukup buruk, pacarku—yang aku pikir akan mendampingiku seumur hidup—memutuskanku beberapa bulan kemudian. Aku patah hati.

Ketika aku bergumul untuk move on, luka-luka lama dan berbagai perasaan datang kembali. Tiba-tiba aku mengingat kembali masa-masa di mana orang lain menyakitiku, dan aku menjadi kepahitan dengan mereka. Aku menjadi sangat sadar akan segala ketidakmampuan dan kegagalanku, dan menjadi marah kepada Tuhan karena mengizinkan semua hal ini terjadi padaku dalam waktu yang bersamaan. Aku kehilangan mimpi dan semangatku. Aku merasa seperti terombang-ambing di tengah kehidupan yang tidak bertujuan.

Jadi aku mulai menjauh dari keluarga dan teman-temanku, dan mendekam di kamarku untuk menangisi dan mengasihani diriku sendiri dalam kesedihan. Aku bergumul dengan banyak suara yang ada di kepalaku yang mengatakan bahwa aku payah dalam segala hal dan aku tidak akan pernah sukses.

Sementara itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk tetap menjalani rutinitas Kristenku: aku pergi ke gereja, bersaat teduh, dan berdoa . . . tapi yang kurasakan hanyalah kekosongan. Aku tahu aku melakukan semua ini sebagai sebuah tugas, dan bukan karena aku secara sungguh-sungguh ingin mencari Tuhan. Bagaimana mungkin aku dapat mencari Tuhan ketika segala hal dalam hidupku seakan berantakan? Aku kecewa kepada Tuhan dan menjadi pahit hati kepada-Nya. Mengapa Dia harus mengambil semuanya dariku? Aku berulang kali mengatakan pada diriku bahwa Tuhan memegang kendali dan Dia tidak akan menyakitiku, tapi sekarang, aku begitu bergumul untuk mempercayai hal itu ketika semua yang aku lihat hanyalah hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupku.

Suatu malam, aku bahkan bermimpi buruk dikejar oleh roh jahat. Ketika aku bertanya kepadanya mengapa dia mengejarku, roh jahat itu menjawab bahwa itu karena aku “lemah”. Aku melihat diriku berlari di dalam mimpi itu, ketakutan dan sendirian, sampai aku masuk ke dalam sebuah gereja untuk mencari perlindungan.

Suatu hari, aku menderita demam tinggi, batuk parah, dan sesak nafas saat terbangun dari tidurku. Semua gejala ini terus terjadi sepanjang minggu. Ketika aku pergi ke dokter, dokter memintaku untuk melakukan X-ray. Kemudian diketahuilah bahwa aku menderita pneumonia akut. Aku langsung diopname di rumah sakit dan diberikan pengobatan.

Malam itu, berbagai pertanyaan tentang kematian dan kehidupan berlarian di pikiranku: bagaimana jika aku tiba-tiba berhenti bernafas dan mati malam itu? Sudahkah aku memuliakan Tuhan dalam hidupku? Apakah Dia senang denganku? Ketika aku memikirkannya, aku berseru kepada Tuhan, mengakui kesalahan-kesalahanku dan kegagalan-kegagalanku. Saat itulah aku menyadari bahwa aku telah mengejar hal-hal yang salah selama ini. Yang kucari adalah kebahagiaan dalam karirku dan cinta yang diberikan oleh manusia, dan aku telah kehilangan sukacita dari mengikut Tuhan. Aku telah kehilangan arti sesungguhnya dari hidup—untuk mengikut Dia dan merindukan kehadiran-Nya.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku benar-benar menginginkan kehadiran dan kasih Tuhan. Ketika aku berdoa, tiba-tiba aku merasakan sebuah kedamaian di dalam hatiku. Aku langsung tahu bahwa Tuhan hadir dalam ruangan itu bersamaku dan Dia mendengar semua tangisanku.

Setelah 3 hari di rumah sakit, dokter mengizinkanku untuk pulang. Aku pulang ke rumah beberapa hari kemudian dan diberikan 3 jenis obat yang berbeda untuk aku minum. Ketika aku kembali lagi untuk pemeriksaan X-ray yang terakhir, aku diberitahu bahwa aku telah sembuh. Pneumonia akut yang kuderita telah sirna! Aku tidak dapat mempercayainya. Tuhan telah mendengar doa-doaku dan menyembuhkanku sepenuhnya.

Aku bersyukur kepada Tuhan bukan hanya karena Dia telah menyembuhkan fisikku, tapi juga karena Dia memberikanku sebuah terobosan spiritual di tengah masa-masa sulit dalam hidupku. Aku merasa diperbarui dan diberikan kekuatan oleh kasih dan kebaikan-Nya di dalam hidupku. Aku belajar untuk mencari Dia, menginginkan Dia setiap hari, dan bersyukur bahkan di tengah masa-masa sulit kehidupan.

“Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab,
Aku akan menyertai dia dalam kesesakan,
Aku akan meluputkannya dan memuliakannya.
Dengan panjang umur akan Kukenyangkan dia,
dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku.”
(Mazmur 91:15-16)

Baca Juga:

Tuhan Akan Menuntun Kita Melalui Kabut Kehidupan

Janji Tuhan buat kita anak-anak-Nya bukanlah jalan yang mulus tanpa lobang ataupun kerikil. Janji Tuhan kepada kita adalah bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).