Posts

Spiritualitas vs Ritualitas: Bagaimana Menjaga Keseimbangan dalam Kehidupan Kristen

Oleh Ari Setiawan, Jakarta

Sebagai remaja dan pemuda Kristen, kita mungkin sudah terbiasa dengan berbagai ritual keagamaan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, berdoa sebelum makan, membaca Alkitab setiap pagi, mengikuti ibadah mingguan, bergabung dengan persekutuan, dan lain-lain. Ritual-ritual ini tentu saja baik dan bermanfaat, tetapi apakah kita sudah memahami makna dan tujuan di baliknya? Apakah kita sudah benar-benar mengalami pertumbuhan spiritual yang sesungguhnya?

Sayangnya, ada beberapa kasus di mana pendeta, hamba Tuhan, dan aktivis gereja yang seharusnya menjadi teladan bagi kita, malah tersandung dalam beberapa kasus dosa dan terjerat hukum. Mereka mungkin sudah aktif dalam ritual bergereja, tetapi ternyata tidak mendalami aspek spiritualitas keimanan mereka. Mereka mungkin sudah tahu banyak tentang ajaran-ajaran Kkristen, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mereka mungkin sudah beribadah dengan lantang, tetapi tidak memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan.

Mungkin hal yang sama juga terjadi di kita, aktif menjalankan ritual beragama tapi tidak menunjukkan pertumbuhan spiritual. Bagi aku sendiri, ada fase di mana keluarga selalu menelepon di malam hari, mengajak berdoa bersama, dan hal ini dilakukan setiap hari. Menyenangkan? Kadang tidak, hanya kosong, seperti menjalankan formalitas tanpa adanya kerinduan untuk benar-benar mengucap syukur, benar-benar mengasihi orang yang kita ucapkan namanya dalam doa.

Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara aktif dalam ritual bergereja dan mendalami aspek spiritualitas keimanan. Ritual bergereja adalah bentuk ekspresi dari keimanan kita, tetapi bukanlah ukuran dari kualitas keimanan kita. Spiritualitas keimanan adalah hubungan intim dan dinamis dengan Tuhan, yang melibatkan hati, pikiran, jiwa, dan kehendak kita. Ritual bergereja dapat membantu kita memperdalam spiritualitas keimanan kita, tetapi tidak dapat menggantikannya.

Dalam Matius 15:8-9, disampaikan bahwa:

“Bangsa ini menghormati Aku dengan bibirnya, tetapi hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, karena yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”

Ayat ini mengutip Yesaya 29:13, di mana Yesus Kristus menegur orang-orang yang hanya beribadah kepada Tuhan secara lahiriah, tetapi tidak mengasihi-Nya dengan segenap hati. Ayat ini mengajak kita untuk tidak hanya mengikuti ritual-ritual keagamaan, tetapi juga menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan.

Lalu, bagaimana kita dapat membedakan apakah kita hanya sekadar aktif dalam ritual atau juga mendalami spiritualitas keimanan kita? Berikut adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita renungkan:

  • Apakah kita berdoa karena ingin berkomunikasi dengan Tuhan atau hanya karena kebiasaan?
  • Apakah kita membaca Alkitab karena ingin belajar dari firman Tuhan atau hanya karena kewajiban?
  • Apakah kita mengikuti ibadah karena ingin menyembah Tuhan atau hanya karena tradisi?
  • Apakah kita bergabung dengan persekutuan karena ingin saling mengasihi atau hanya karena gengsi?

Jika jawaban kita cenderung ke arah yang pertama, maka kita sudah berada di jalur yang benar. Tetapi jika jawaban kita cenderung ke arah yang kedua, maka kita perlu melakukan introspeksi dan perubahan.

Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan ritualitas dalam kehidupan Kkristen adalah dengan menjalin spiritualitas terus menerus. Artinya, kita tidak hanya berhubungan dengan Tuhan saat-saat tertentu, tetapi sepanjang waktu. Kita tidak hanya mengandalkan ritual-ritual tertentu, tetapi juga mengembangkan kepekaan dan keterbukaan terhadap pimpinan Roh Kudus. Kita tidak hanya mengikuti aturan-aturan tertentu, tetapi juga mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi kita.

Dalam tulisan rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, ia menyampaikan pada 1 Korintus 10:31

“Jadi, apakah yang kamu makan atau minum atau apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Ayat ini mengajak kita untuk mengabdikan segala sesuatu yang kita lakukan kepada Tuhan, sebagai bentuk penyembahan dan penghormatan kepada-Nya. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak memisahkan antara hal-hal rohani dan duniawi, tetapi untuk melihat semuanya sebagai kesempatan untuk memuliakan Tuhan.

Dengan menjalin spiritualitas terus menerus, kita akan lebih mudah menghindari dosa dan kesalahan yang dapat merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Kita juga akan lebih mudah mengalami pertumbuhan dan pembaruan dalam kehidupan rohani kita. Kita juga akan lebih mudah menjadi saksi dan garam bagi dunia yang membutuhkan kasih dan kebenaran Tuhan.

Semoga artikel ini dapat memberkati dan menginspirasi kita semua. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Mimpiku Tak Sejalan dengan Realita, Tuhan Mengubah Cara Pandangku Tentang Kehidupan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja.

Aku menangis sesenggukan, lalu kuanggukkan kepalaku seraya menyeka air mata. “Wajar bila kau menangis, tapi jangan putus harapan.”

Sepenggal pesan yang kuat bergema dari sanubariku, sungguhlah menyegarkan jiwaku. Apa  yang kualami mungkin tidak sepahit penderitaan yang juga dirasakan orang lain di luar sana, tetapi bila aku menoleh ke belakang, aku melihat kembali dengan jelas betapa kegetiran hidup teramat menghimpitku.

Beberapa kali aku berjuang dengan segenap hatiku untuk mendapatkan pekerjaan baru, namun ternyata tak pernah kutemui namaku tertulis dalam pengumuman kelulusan. Di sisi lain, aku pun berjuang dengan penuh semangat setiap hari untuk melawan rasa sakit dalam tubuh yang kerap kali mengganggu aktivitasku.

Ketika tidak bekerja, berarti aku tidak punya income, masa depan yang kumimpikan dari dulu akan sulit terwujud. Banyak hal yang kuharapkan mungkin hanya akan menjadi kenangan belaka. Dan, bila aku terus-terusan sakit, itu artinya akan lebih sulit bagiku mendapatkan pekerjaan. Aku menjadi beban bagi keluarga. Aku sama sekali tidak punya peran untuk menopang ekonomi keluarga. Bahkan, dengan kondisi yang pelik, pikiran yang jenuh, aku pun benar-benar merasakan mentalku goyah saat sejumlah orang bertanya padaku mengapa aku tidak bekerja. Aku pun jadi minder dan tidak mau bercerita apalagi berjumpa dengan orang banyak selama sekian waktu.

Demikianlah hari-hari yang kujalani terasa hampa dan tak berarti. Aku hidup memikul beban yang terlalu berat. Hidupku terhempas jauh dari sederet mimpi dan cita-cita yang terbenam dalam jiwa sedari masa kecilku. Aku merenungi perjalanan hidupku dan di saat yang sama aku belajar menghayati bagaimana penulis kitab Pengkhotbah memandang kehidupan umat manusia di atas muka bumi.

Mencari makna dalam kesia-siaan

Kondisi hidup yang kualami mengingatkanku akan sang Pengkhotbah (Pengkhotbah 1:2-26) yang mengamati kehidupan di bawah matahari segala sesuatunya adalah sia-sia. Setiap jerih payah manusia sia-sia, hidup ibarat menjaring angin. Ya, dalam kehidupan ini baik yang mujur maupun yang malang, baik yang berhikmat maupun yang bodoh atau fasik, pada akhirnya setiap manusia akan menuju pada kematian. Bukankah hal ini adalah realita yang takkan terbantahkan?

Karena tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! (Pengkhotbah 2:16).

Lalu, apa sebenarnya yang Tuhan kehendaki dari realita yang terbilang jauh dari yang kudoakan dan kuharapkan sejauh perjalanan hidup yang telah kutempuh? Adakah sesuatu yang jauh lebih penting dari kesuksesan dan kebahagiaan dari sebuah kehidupan di dunia ini?

Kitab Pengkhotbah adalah salah satu kitab hikmat dalam Perjanjian lama. Isinya tidak hanya memuat tentang kesia-siaan dalam hidup, keterbatasan manusia, tetapi juga tentang karya/pekerjaan Allah dan kedaulatan-Nya. Walau Sang Pengkhotbah menampilkan sikap pesimisnya, ia tetap memandang kehidupan secara realistis. Ia menemukan betapa pentingnya hikmat kala menjumpai realita kehidupan (Pengkhotbah 7:1-8:9).

Setelah aku membaca keseluruhan kitab Pengkhotbah, aku tertegun. Ikatan-ikatan beban yang membelitku, sedikit demi sedikit terasa longgar.

Tuhan memberiku cara baru memandang kehidupan. Ia memperbaharui pikiranku dengan memberiku pengertian bahwa segala pencapaian di dunia ini, entah kegagalan atau kesuksesan, semuanya itu hanyalah sementara, sama seperti hidup manusia yang terbatas. Tidak ada yang lebih penting dari semuanya itu, selain kita memiliki makna dan tujuan dari hidup dan kehidupan kita. Pengkhotbah 7 :1-22, mengingatkanku bahwa dengan memiliki hikmat yang benar akan menolongku menjalani sisa hidup dengan makna dan tujuan yang benar, yakni memuliakan Dia.

Aku jadi sadar dan bertanya pada diriku. Apakah selama ini aku telah melupakan poin penting dari hidup yang  telah kujalani?”

Sejujurnya, aku mendapati sikap ambisius tumbuh dalam diriku. Aku tidak tahu sejak kapan ambisi itu mengambil peran dalam hidupku belakangan. Tetapi satu yang pasti bahwa aku merasa tidak puas dengan apa yang telah kumiliki. Makna dan tujuan hidupku jadi samar-samar dan kabur, sebab aku terus mengejar hal-hal yang  sebenarnya di luar kemampuanku karena  keterbatasan fisik yang kumiliki. Ternyata sisi kemanusiaanku lebih menguasaiku ketimbang hal-hal yang  kupahami soal iman dan pengharapanku pada Kristus.

Kendati belum kujumpai pekerjaan baru—sebuah hal yang masih misteri—aku yakin Tuhan punya rencana yang terbaik bagiku dan berdaulat penuh atas hidupku. Bahkan, untuk semua hal yang  belum kuketahui  termasuk pasangan hidup, sesungguhnya Tuhan sudah mengetahuinya dan Dia punya waktu terbaik untuk menyingkapkannya bagiku.

Dan, satu hal yang aku yakini Tuhan kehendaki bagiku dalam realita kehidupanku adalah Dia menginginkan agar aku menikmati apa yang menjadi bagianku; menerima dengan sukacita setiap kenyataan pun jalan hidupku, menikmati semua musim hidupku dengan ucapan syukur padaNya, karena setiap hari adalah pemberian-Nya.

Dengan segala kegetiran hidup yang kualami, aku beruntung memiliki Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Ia tidak hanya memberiku kekuatan baru untuk menjalani hidupku, tetapi juga memberiku kedamaian yang penuh di hati.

Kurenungkan sekali lagi, tentang makna dan tujuan hidupku. Aku ingin dan tetap memuliakan Dia dalam suka dan duka di sepanjang sisa hidupku. Aku bersedia melibatkan Tuhan dalam  segala perjuanganku, dalam setiap jerih payahku, supaya ketika aku berhasil atau gagal, aku tidak memegahkan diri juga tidak meratapi nasibku. Dengan jalan demikian, aku dapat mengucap syukur dalam segala hal, terlebih aku tidak diperbudak oleh kesuksesan oleh rasa ambisius dalam diriku.

Hidup di dunia sungguhlah terbatas. Namun, sebagai pribadi yang telah diselamatkan oleh pengorbanan Kristus di atas kayu salib aku harus berdampak bagi  orang lain dan bijak menjalani hari demi hari. Karya-Nya yang agung bagiku, telah melandasi tujuan hidupku, hingga aku tiba di pelabuhan akhir, yaitu hidup kekal bersama-Nya selamanya kelak. Oleh karena hal inilah aku dapat berkata seperti rasul Paulus, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.” (Filipi 1 :21-22a).

Pada akhirnya, aku menemukan bahwa yang terpenting dari hidup ini bukanlah tentang kekayaan, kesuksesan, pekerjaan yang bagus, tetapi soal bagaimana seharusnya aku menjalani hidupku di bawah matahari sebagai  seorang murid Kristus.

Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya.” (Amsal 16:9).

Terpujilah Kristus!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Merayakan Duka

Oleh Triska Zagoto, Medan

Penghujung bulan Oktober lalu hadir dengan kisah duka yang menyisakan pilu, dan kuyakin di bulan yang sama di tahun depan pun memori kehilangan ini akan mengurai air mata. Ada dua ibadah penghiburan yang kuhadiri dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dukakehilangan seorang yang dikasihi sebelas tahun yang lalu, ternyata perasaan yang sulit dipahami dan tak dapat dijelaskan akan kehilangan itu masih ada… atau mungkin akan terus ada.

Ada perasaan campur aduk antara kehilangan dan belajar menerimanya. Belajar menerima kehilangan itu membutuhkan proses bertahun-tahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun. Nicholas Wolterstorff, seorang teolog dan filsuf, dalam bukunya Ratapan Bagi Putra (judul asli: Lament for a Son), buku tipis yang berisi catatan harian beliau setelah kehilangan putranya Erick, mengatakan, Memang itulah yang seharusnya terjadi, apabila ia bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai menerima rasa duka kita. Kedukaan merupakan kesaksian kehidupan tentang nilai seseorang yang dikasihi. Nilai itu akan terus ada. Sepenggal kalimat ini menyadarkanku bahwa kedukaan adalah momen untuk mengingat dan mengenang mereka yang pernah Tuhan hadirkan di hidup kita.

Menerima Kehilangan sebagai Bagian dari Hidup

Seorang pendeta dalam khotbahnya pernah mengatakan bahwa kehidupan kita ini bersifat transisi. Seperti halnya halte, stasiun, pelabuhan, dan bandara adalah tempat perhentian untuk kita menuju suatu tempat. Ya, kita akan menuju ke suatu tempat! Namun kita tahu bahwa dalam masa-masa transisi ini kita akan menjumpai kehilangan demi kehilangan, mengurai air mata demi air mata, menemui pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, penuh pergulatan iman, pun pergumulan lain-lain. Tuhan menghargai setiap pengalaman-pengalaman itu, dan di sana pulalah Ia hadir dengan segala penghiburan-Nya.

Philip Yancey, dalam salah satu bukunya, mengatakan di Surga sana, ada Pribadi Allah yang memiliki bekas-bekas luka, yang karena itu Dia sangat memahami semua rasa yang mungkin ada saat penderitaan itu dialami oleh manusia. Di dalam proses menerima kehilangan tahun demi tahun, aku semakin belajar bahwa Allah yang kita sembah itu bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah yang juga menderita. Maka kita pun mengerti bahwa Allah memberi dan menyediakan ruang yang luas untuk kita berkeluh kesah dan berduka.

Allah yang Hadir Bersama

Namun, mengetahui dan menyadari kebenaran ini tidak membuat kedukaan bisa kita jalani dengan instan. Tentu saja hari-hari setelah kehilangan itu masih terasa berat,. membentangkan satu realita yang sulit diterima yaitu tentang hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Tentang tidak akan pernah ada lagi suara, canda, tawa, nasihat, pelukan, dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Semuanya akan menjadi kenangan yang akan sering menyapa di waktu-waktu sendirian dan mungkin pertanyaan “Mengapa, Tuhan?” akan dengan lantang kita teriakkan di malam-malam gelap. Namun, Allah yang turut merasakan penderitaan kita itu adalah Allah yang bersetia, setiap hari, setiap waktu. Seperti pemazmur dalam doanya: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” (Mazmur 119:50). Di dalam kerapuhan itu, Allah hadir bersama kita selangkah demi selangkah.

Penghiburan Kita

Menerima realita bahwa hidup saat ini bersifat transisi, adalah hal yang penting untuk direnungkan ke mana kita sedang menuju. Menerima bahwa kematian dapat menyambut siapa saja, termasuk kita, adalah realita yang menyadarkan bahwa kita ini rapuh, kita ini fana. Namun, dalam Alkitab kita menemukan ternyata kematian itu bukanlah akhir. Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26). Inilah pengharapan kekal yang kita miliki, sebagai orang percaya kita akan dibangkitkan sama seperti Yesus telah bangkit dan akan bersama-sama dengan Dia di Surga. Inilah penghiburan yang tak dapat ditawarkan oleh dunia. Inilah penghiburan yang menguatkan hati dan memantapkan langkah-langkah kita untuk menjalani hari-hari sampai waktu kita tiba.

Di dalam pengalaman duka yang kualami, Tuhan memberiku kesempatan-kesempatan untuk merayakannya. Entah dalam ketakutan, pun keindahan ketika aku boleh menyaksikan rahmat-Nya merengkuhku yang kian hari menumbuhkan iman dan pengenalanku akan Dia. Memberi ruang bebas yang tak terbatas untuk siapapun boleh datang pada-Nya adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Tuhan menghargai setiap kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan air mata kita.

Selamat merayakan duka untuk siapapun yang tengah kehilangan atau bagi kamu yang sedang belajar menerimanya.

“Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Jawaban Atas Pencarian Tentang Makna Hidupku

Oleh Jenni, Bandung

Sebenarnya, untuk apa aku di dunia? Bekerja? Berkarya? Membangun hubungan? Bukannya saat aku mati nanti itu semua akan sia-sia?

Pertanyaan itu membayangiku selama beberapa tahun. Aku mencari jawaban dengan usahaku, tapi sepertinya tak ada jawaban lain selain kesia-siaan. Sampai pada suatu waktu, aku membawa pertanyaan ini pada Tuhan. Kukira Dia diam, akan tetapi Tuhan memberikan firman-Nya untuk menerangi pertanyaanku mengenai makna kehidupan.

Seiring aku menjalani waktu-waktuku, jawaban-jawaban itu pun kutemukan.

1. Aku menemukan makna bekerja

Saat SMP, aku pernah mendapat tugas menjahit dengan mempraktikkan beberapa teknik dasar. Itu adalah tugas paling ampun deh seumur sekolahku. Aku harus bolak-balik bertanya pada teman, dan tak lupa diomeli guru karena tugasku tidak kunjung selesai. Akan tetapi, begitu selesai, aku sangat bangga dengan hasilnya. Meskipun belum sempurna, tapi aku menikmati dan bangga akan proses juga jerih payah dalam mengerjakan tugas itu.

Pada Pengkotbah 2:24-25 tertulis, “Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?

Rutinitas bekerja membuatku bertanya, apakah aku sekedar hidup untuk bekerja? Ternyata, selain menerima dan menjadi berkat, proses berjerih payah demi hasil yang terbaik adalah kesempatan dari Tuhan. Kesempatan untuk mengelola dan menikmati hasilnya dengan wajar juga sebuah anugerah. Hal tersebut tidak bisa direbut ataupun diambil dari kita, dan itulah yang membuatnya bermakna.

2. Aku menemukan makna dalam berelasi

Perpisahan adalah hal yang membuatku bertanya, untuk apa kita berelasi? Sahabat, kekasih, dan keluarga suatu hari nanti pasti akan berpisah. Lalu, munculah pertanyaan, untuk apa berelasi? Toh, pada akhirnya akan berpisah, dan apa artinya hal yang sudah kita lalui bersama?

Baru-baru ini aku dikejutkan oleh kabar duka. Seorang dari keluarga iparku berpulang ke rumah Bapa. Kejadiannya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba saja beliau telah tiada. Saat aku teringat beliau, yang kuingat adalah kasihnya yang besar. Beliau menganggap dan memperlakukan orang-orang lain seperti anak-anaknya sendiri. Kasihnya tulus dan tidak menuntut balas.

Dalam 1 Korintus 13:13 tertulis: “Demikanlah tinggal ketiga hal ini; yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” Seperti karya kasih Tuhan yang menyelamatkan jiwa, kasih juga menyentuh hati dan mengubahkan sebuah pribadi menjadi lebih baik. Meski telah berpulang, orang tua iparku telah meninggalkan warisan untuk orang-orang sekelilingnya, yaitu kasih. Sebagai penerima warisan itu, aku ingin meneruskannya bagi orang sekelilingku.

3. Aku menemukan makna hidup sekarang untuk masa kekal

Kata orang, hidup harus bahagia, sukses dan kalau bisa kaya raya. Aku percaya, kita harus bekerja dan menjadi berkat untuk orang sekitar. Tapi kalau sudah mati, lalu apa?

Dalam Yohanes 14:1-3 tertulis Tuhan Yesus menguatkan murid-murid-Nya dengan berkata bahwa Dia menyiapkan tempat bagi mereka di sorga. Aku percaya janji ini juga dibagikan untuk setiap kita. Dari pertama kali manusia jatuh dalam dosa, Tuhan segera menjalankan rencana penyelamatan-Nya. Tuhan Yesus menebus jiwa kita supaya tidak binasa dan bisa tinggal bersama dengan-Nya.

Aku percaya bahwa hidup kita tidak dibatasi oleh masa-masa fana di dunia. Setelah meninggal nanti, ada kehidupan baru yang menanti. Kolose 3:2 berbunyi, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Ayat ini memberikanku harapan sekaligus keinginan untuk hidup sebagai terang di dunia dan pulang ke rumah yang Tuhan sediakan.

4. Aku menemukan makna dalam mengenal Tuhan

“Ayo, jangan lupa digantung di motor, nanti ketinggalan, loh,” ucap mamaku yang sudah hafal kebiasaanku meninggalkan tas bekal saat mau bekerja. Aku mengenal mama paling banyak baru separuh hidupnya, tetapi mama mengenalku sejak kecil. Dia tahu kepribadian dan kebiasaanku yang tidak kusadari. Dekat dengan mama membuatku mengenal sebagian diriku yang tidak kuketahui sebelumnya. Aku merasakan hal yang sama dalam proses mengenal Tuhan.

Dalam Keluaran 2-4:17 tertulis bahwa Tuhan mengutus Musa untuk memimpin orang Israel keluar dari Mesir. Inilah momen Tuhan melanjutkan rencana-Nya untuk menjadikan orang Israel umat yang menjadi asal kelahiran Sang Juruselamat, Yesus Kristus. Musa tidak percaya diri akan kemampuannya, tetapi Tuhan menyatakan bahwa Dialah sang pencipta yang mengenal kemampuan Musa. Tuhan percaya Musa sanggup dan berjanji akan menyertainya. Akhirnya dengan iman dan ketaatan, Musa menjadi bagian dalam perjalanan lahirnya Tuhan Yesus.

Tuhan mengenal kita jauh sebelum kita lahir. Dia sudah merencanakan karya penebusan bagi setiap kita. Aku percaya Dia memiliki rencana dan maksud yang unik untuk setiap musim kehidupan kita. Dalam Dia ada identitas, makna, kekuatan dan tujuan hidup kita.

Pencarian makna hidup tidaklah mudah. Kita bisa tersesat dan merasa hampa. Akan tetapi, ada firman Tuhan yang setia memberikan arah dan jawaban. Dalam Mazmur 119:105 tertulis,Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Saat mulai goyah, arahkan pikiran pada-Nya, sang Pencipta, pemegang hidup dan pemilik masa depan setiap kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Hidup Lebih dari Sekadar Angka dan Kata

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Sebagai seorang hamba Tuhan yang melayani jemaat, tidak jarang aku mendengar beberapa cerita dari mereka yang saat ini bisa bertahan di tengah resesi ekonomi global seperti ini: “Kalau aku hitung-hitung pemasukanku dan pengeluaranku, itu sebetulnya minus. Tapi aneh, kok aku masih bisa bertahan, ya?” Ada lagi yang pernah berkata, “Kata orang kalau baru jadi agen properti 6 bulan awal belum tentu bisa closing. Bahkan kalau pun ada setidaknya cuma 1. Tapi, kok aku sudah lebih dari dua, ya?”

Sayangnya, tak jarang pula aku mendengar kisah-kisah yang sebaliknya. Ada yang menurut perhitungan akan menguntungkan, tapi realitanya berkata lain. Justru yang ada hanyalah kerugian. Ada juga yang menurut kata orang, atau prediksi para ahli di bidangnya bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja, tapi ternyata ujungnya tidak demikian. Beberapa waktu lalu aku juga baru saja kehilangan seorang kerabat yang menurut kata banyak orang dia sebetulnya akan baik-baik saja. Cukup dirawat, diobati, dan melakukan transfusi darah di rumah sakit, maka akan sembuh pada waktunya, demikian yang kudengar. Namun, setelah dua hari dirawat di rumah sakit, aku justru mendengar kabar yang sebaliknya. Tuhan ternyata punya rencana lain untuknya. Ia pun kini telah pergi ke pangkuan Bapa.

Kisah-kisah ini menuntunku pada satu pemikiran penting yang harus kita sadari bersama sebagai anak-anak Tuhan, bahwa hidup itu lebih dari sekadar angka dan kata. Lebih dari sekadar angka bicara soal kehidupan kita yang sulit untuk dihitung, dikalkulasi, dan diprediksikan. Sekalipun ada lagu gereja yang berjudul “Hitung Berkatmu,” tapi percayalah ada terlalu banyak berkat Tuhan yang sebetulnya luput dari perhitungan kita. Kita juga terbatas untuk bisa mengira-ngira segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan.

Berkat Tuhan pun jauh lebih banyak daripada yang dapat kita hitung. Bayangkan, pernahkah kamu menghitung berapa banyak saturasi oksigen yang kamu hirup setiap hari? Pernahkah kamu menghitung keteraturan alam semesta, seperti gaya gravitasi yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi ini sebagai berkat Tuhan? Atau, kita sudah terlalu lama hanya menikmatinya saja, tanpa pernah menghitungnya sebagai berkat Tuhan bagi kita? Tapi, sekali lagi, kalau pun kita menghitungnya, satu hal yang perlu kita sadari adalah Tuhan bekerja melampaui apa yang bisa kita hitung. Begitu juga dengan pergumulan dosa kita. Sudah berapa kali kita jatuh dan bangun di dalam dosa yang sama? Tapi anugerah Allah yang sama di dalam Kristus itu juga masih menopang kita untuk dapat bangkit lagi dan lagi melawan dosa.

Tidak hanya lebih angka, hidup juga lebih dari kata. Ketika hidup lebih dari sekadar kata, maka ini bicara soal kehidupan kita yang sulit untuk diatur dan diperkirakan. Ada berapa banyak orang yang hari ini punya berbagai teori, “kalau kamu lakukan X, maka kamu akan dapatkan Y.” Misalnya, aku pernah mendengar seorang yang berkata, “kalau kamu mau istrimu punya anak laki-laki, maka dia harus makan lebih banyak daging, daripada sayuran.” Pertanyaannya, apa jaminannya? Siapa kamu yang berteori seperti itu? Apakah teorimu cocok dengan kehendak Tuhan? Belum tentu, ‘kan?

Tuhan Yesus pun pernah dicobai oleh Iblis dengan teori “jika-maka” di padang gurun. Di antara ketiga teori sekaligus pencobaan itu, dalam Matius 4:9, misalnya, si Iblis berteori bahwa “semua itu (semua kerajaan dunia dengan kemegahannya) akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.” Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan, apa jaminannya si Iblis akan memberikan semua itu pada Tuhan Yesus? Siapa dia untuk berteori begitu?

Pada kenyataannya, Tuhan Yesus tidak tunduk dan berusaha menyenangkan hati si Iblis dengan mengaplikasikan teori-teorinya. Kita semua tahu betul bahwa kisah pencobaan di padang gurun itu (Mat. 4:1-11 dan Luk. 4:1-13) justru menunjukkan bahwa bukan kata-kata Iblislah yang berkuasa, tapi kata-kata Tuhan. Setiap kali Tuhan Yesus menjawab Iblis, Ia selalu mengutip firman Tuhan (Mat. 4:4, 7, 10). Apa artinya? Kehidupan yang kita jalani memang betul lebih dari kata, tapi kata yang dimaksud ialah kata-kata manusia, termasuk kata-kata si jahat. Tidak ada satu pun kata-kata di dunia ini yang lebih berkuasa daripada kata-kata Tuhan. Karena itu, sangat aneh apabila selama hidup kita terus menuruti kata-kata orang, daripada kata-kata Tuhan.

Ketika kehidupan kita tunduk pada dua fakta, yaitu lebih dari angka dan lebih dari kata, maka itu artinya kita perlu menjalani hidup ini dengan penuh kerendahan hati. Jangan pernah berpikir kita bisa mengetahui semua yang akan terjadi di masa depan dengan pikiran kita sendiri. Bukankah sudah ada cukup banyak bukti yang acapkali bicara di luar perhitungan dan perkataan kita maupun orang lain?

Mari kita lebih andalkanlah Tuhan dan firman-Nya di dalam hidup ini. Aku berharap ketika kamu menemui jalan buntu dan seolah-olah tidak ada jalan keluar di dalam hidupmu, maka itu adalah ajakan untukmu untuk lebih percaya pada hati Tuhan dan hadirat-Nya. Sebab, sesungguhnya Tuhan sendiri pun bekerja melampaui angka dan kata, lebih dari yang dapat kita pikirkan dan perkatakan. Ia sudah pernah membuktikan itu ketika Ia merespons masalah dosa manusia, bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat aksi nyata di atas kayu salib. Kiranya Injil Kristus ini menolong kita untuk menjalani kehidupan kita yang serba tidak pasti seperti hari ini. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

trauma

Apa yang Aku Pelajari dari Pengalaman Traumatis

Oleh Yohanes Alexander

Trauma bisa terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Penyebabnya pun bermacam-macam, bisa disebabkan oleh keluarga, lingkungan pertemanan, kecelakaan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut tentu memiliki dampak bagi seseorang, baik secara fisik maupun psikis (keadaan jiwa/mental). Sayangnya, seringkali kita hanya berfokus pada luka fisik, tapi kurang memperhatikan luka psikis, sehingga trauma secara psikis seringkali membutuhkan waktu sembuh yang lama, seperti yang pernah kualami beberapa tahun lalu di suatu sore..

Saat itu aku berencana mengunjungi rumah pacarku. Kukendarai motor besarku dengan perasaan berseri-seri karena tak sabar menemuinya. Lagi pula, ada nggak sih hal yang lebih menyenangkan selain “ngapel-in” pacar? Seakan-akan seluruh duniaku teralihkan padanya, hingga membuatku begitu bersemangat mengunjunginya.

Aku pun mengendarai motorku dengan cepat. Untunglah jalanan lengang. Saat aku berkendara di belakang sebuah mobil, tiba-tiba mobil itu berbelok ke arah kanan secara mendadak seperti sedang menghindari sesuatu. Seketika itu pula aku terkejut karena tepat di depanku ada 2 gadis kecil yang sedang tergesa-gesa menyeberangi jalan. Aku pun berusaha menghindari mereka dengan memiringkan bagian depan motorku. Namun tak ayal, bagian samping motorku menghantam mereka, hingga kecelakaan tersebut tak terelakkan.

Aku pun terjatuh dengan kepala yang membentur aspal. Helm yang aku gunakan rusak dan kelopak mataku mengucurkan darah. Dalam hitungan detik, banyak orang mulai berkerumun menyaksikan kecelakaan itu. Beberapa tukang ojek pangkalan pun dengan sigap membopong aku ke sebuah mobil bak terbuka. Aku dibawa ke rumah sakit dan didiagnosa menderita gegar otak ringan. Benturan itu mengakibatkan aku muntah dan merasakan pusing yang luar biasa.

Saat alis dan kelopak mataku sedang dijahit di ruang IGD, aku merasa kalut dan sedih membayangkan apa yang telah terjadi. Aku benar-benar merasa down, apalagi saat tahu bahwa dua gadis cilik yang aku tabrak ada di rumah sakit yang sama. Satu gadis cilik mendapatkan perawatan secukupnya dan diperbolehkan pulang karena lukanya cukup ringan, sedangkan gadis cilik lainnya masih berjuang hidup karena harus menjalani operasi di kepala.

Perasaan khawatir sekaligus bersalah sungguh memenuhi rongga dadaku, tapi aku memilih untuk bertanggung jawab atas keadaan mereka.

Namun, aku kembali dikejutkan dengan mahalnya biaya perawatan medis untuk si gadis kecil dan aku harus menanggungnya sendiri. Entah siapa yang salah dalam kasus ini, tapi lingkungan kita terbiasa menuntut pertanggungjawaban hanya pada si penabrak, bagaimanapun kejadiannya. Karena itu aku harus menguras semua dana di tabunganku dan mencari sisanya dalam bentuk pinjaman agar dapat melunasi biaya pengobatan tersebut.

Dengan semua yang telah kualami, aku tetap bersyukur si gadis cilik ini dapat selamat dan beraktivitas kembali seperti biasanya.

Walau begitu, untuk beberapa waktu lamanya aku mengalami trauma. Aku tidak berani menyentuh motorku terlebih mengendarainya. Ya, secara fisik aku sudah pulih, tapi secara mental aku kacau dan hancur. Aku perlu waktu untuk menata emosi dan perasaanku. Trauma ini begitu membekas. Entah kapan aku bisa pulih dari perasaan ini.

Hingga beberapa tahun kemudian aku diingatkan akan sosok Musa di Alkitab.

Sepanjang yang aku baca, Musa mengalami banyak trauma dalam hidupnya. Sejak bayi ia sudah masuk dalam pusaran trauma bangsanya sendiri yang saat itu ditindas oleh bangsa Mesir kuno, disembunyikan di semak-semak tepi sungai karena semua bayi yang lahir masa itu akan dibunuh atas perintah raja Firaun. Hal lain yang aku pelajari adalah jati dirinya yang seorang Israel pun disembunyikan. 

Meskipun Musa memiliki wajah dan jubah seperti pangeran Mesir, ia tetap menjadi bagian dari bangsa Israel yang saat itu menderita di bawah perbudakan. Setelah Israel melewati berbagai rintangan dan penderitaan, Musa akhirnya menjadi pemimpin mereka, walau pengalamannya memimpin bangsa Israel dipenuhi trauma dan banyak tantangan.

Jika kita ada di posisi Musa, bisa dimaklumi kalau ia geram terhadap dirinya sendiri, terhadap rakyat yang ia pimpin, bahkan terhadap Tuhan. Ia bisa saja berkeluh kesah dan mengomel, namun Musa tidak melakukannya. Sampai titik akhir hidupnya, ia masih memperhatikan masa depan rakyatnya. Musa berpesan, “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan…” (Ulangan 30:19-20).

Bagaimana Musa meresponi “traumanya” memberikan inspirasi padaku. Ia tidak menyalahkan diri sendiri atau orang lain, tidak terjebak dalam penyesalan diri, dan tidak mengingat-ingat trauma yang ia alami atau melupakannya seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi. Musa dapat menempatkan rasa traumanya dalam cakupan yang lebih luas, tidak hanya trauma yang ia rasakan sendiri, tetapi trauma yang dirasakan bangsa Israel. Trauma tersebut pun tidak membuat Musa berhenti melayani bangsa Israel. Sikap inilah yang membuatku dimampukan untuk mengatasi trauma yang aku alami.

Melalui apa yang kualami, aku juga belajar bahwa trauma adalah perasaan tak berdaya atas kejadian yang terjadi di luar kemampuan kita mengontrolnya, apalagi mencegahnya. Padahal perasaan tak berdaya itu tidak apa-apa, sebab tidak semua hal dapat kita kendalikan atau cegah, bagaimanapun usaha terbaik yang dapat kita lakukan. Terlebih ada satu pribadi yang akan selalu menemani, seperti yang Musa katakan:

“Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.” (Ulangan 31:8).

Tetapi ketika kita memilih berlarut dalam penyesalan dan rasa bersalah, maka kita akan semakin sulit keluar dari trauma. Trauma yang tinggal dalam hati bisa menggerogoti seluruh diri, termasuk mengganggu dan menghambat kita. Sikap kita terhadap diri sendiri dan dalam berelasi dengan sesama pun dapat terganggu. Kita menjadi getir dan geram, serta energi, pikiran, dan tubuh pun jadi tersedot karena luka itu. Karena itu, bawalah segala kekhawatiran kita pada Pribadi yang selalu memelihara kita (1 Petrus 5:7).

Kalau kita pikirkan kembali, bukankah Alkitab adalah buku yang menceritakan tentang Allah yang mau ikut merasakan trauma yang dialami sebuah bangsa yang tertindas?

Untuk alasan tersebutlah Kristus datang, sebuah rencana agung yang tak terperi. Dan kita dapat bercerita tentang trauma itu dengan mengenang kematian dan kebangkitan Kristus yang telah menanggung setiap dosa kita, menebus kita dari hidup yang sia-sia, dan melepaskan kita dari trauma yang tidak seharusnya kita alami, sembari berharap kelak Kristus akan datang kembali untuk menyongsong kita di awan-awan permai.

Penderitaan yang Tak Akan Menjatuhkanmu

Oleh Toar Luwuk, Minahasa

Aku adalah seorang mahasiswa semester akhir, yang juga terlibat dalam pelayanan mahasiswa. Aku bersyukur karena terlibat dalam pelayanan ini mengajariku banyak hal yang menolongku bertumbuh bersama-sama dengan mahasiswa lain. Wadah pelayanan ini pun menjadi tempat perjumpaanku dengan Kristus. Aku menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi.

Suatu saat, tim pelayanan kami sedang mempersiapkan suatu kegiatan dan membutuhkan dana. Kami memutuskan untuk mencari dana dengan menawarkan paket kue ke rumah-rumah warga. Selain melakukan pencarian dana, kami juga melakukan pelayanan doa bagi keluarga yang rumahnya kami sambangi. Di satu rumah, terjadi perbincangan.

“Jadi, selain kami melakukan pencarian dana, kami melakukan pelayanan doa bagi setiap keluarga yang telah dikunjungi. Jika ibu tidak sibuk, mari sama-sama berdoa”, kataku.

“Oh iya bisa, dek. Kebetulan baru selesai memasak”, jawab si ibu dengan penuh senyuman.

“Jadi, sebelum berdoa, apakah dari keluarga ada hal-hal khusus yang bisa didoakan?” tanyaku.

“Doakan saja semoga sehat-sehat dan semoga tidak mengalami masalah atau kesusahan”, jawab si ibu.

Setelah berdoa kami mengucapkan terima kasih dan melanjutkan kegiatan pencarian dana

Dan setelah beberapa rumah kami melakukan hal yang sama, terjadi obrolan yang serupa.

“Apakah dari keluarga ada hal-hal khusus yang bisa didoakan?” tanyaku.

“Doakan diberikan kesehatan dan diberikan kekuatan menghadapi pergumulan”, kata bapak dan ibu. Dari sharing singkat rupanya keluarga itu sedang mengalami pergumulan finansial.

Dari kedua jawaban di atas terdapat perbedaan sikap:

1. Yang pertama meminta untuk dijauhkan dari masalah/kesusahan
2. Yang Kedua meminta untuk dikuatkan dalam menghadapi pergumulan

Dari kedua jawaban tersebut, timbul kejanggalan dalam benak pikiranku dan memutuskan untuk merenungkan hal ini untuk mengetahui apa sebenarnya yang Tuhan ingin sampaikan kepadaku lewat kejadian hari itu.

Masalah selalu datang dalam bentuk penderitaan atau kesusahan. Oleh karena itu, semua orang tidak menyukainya. Banyak juga orang Kristen mengharapkan hidupnya selalu mulus tanpa mengalami masalah atau penderitaan. Bahkan ada yang melibatkan diri dalam pelayanan hanya karena meyakini hidupnya akan selalu diberkati hingga berlimpah-limpah dan enak-enak saja.

Aku pikir pemahaman seperti itu keliru dan itu bertentangan dengan Lukas 9:23 yang tertulis, “Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.”

Penderitaan atau masalah bisa menjadi sarana kasih Allah kepada kita. Ibarat sebuah permainan yang untuk naik level kita perlu menghadapi tantangan, dalam hidup pun kadang rumus tersebut berlaku.

“Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:3-4).

Alih-alih membuat kita jatuh tak berdaya, tujuan dari penderitaan adalah supaya naik level. Untuk bisa naik tingkat, caranya adalah dengan taat dan berserah kepada Dia yang berdaulat atas hidup kita. Ujian-ujian hidup juga menjadi sarana agar kita terus dimurnikan dan dibentuk, supaya makin serupa dengan Dia. Kedagingan kita perlahan akan terkikis ketika kita tekun menghadapi penderitaan.

Sebagai orang Kristen, bagaimana sikap kita merespon masalah yang terjadi?

Tak mudah untuk menghadapi penderitaan. Aku pun sering emosi duluan jika ada masalah yang datang dan mungkin orang lain pun seperti itu. Seperti yang tertulis dalam kitab Yakobus 1:5-7, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, – yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit –, maka hal itu akan diberikan kepadanya. Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin.”

Ketika penderitaan datang, kita dapat berdoa minta hikmat dengan penuh kesungguhan hati dan jangan goyah. Seperti cerita di awal tulisan tadi, alangkah lebih baik jika kita berdoa bukan untuk menjauhkan masalah, tetapi meminta hikmat dan kekuatan menghadapi penderitaan. Kita tidak berjalan sendiri. Ada Tuhan yang setia menyertai kita, dan bersukacitalah jika kita berada dalam masalah. Dengan iman kita mengetahui bahwa penderitaan sementara ini adalah cara Tuhan membentuk kita makin serupa dengan Dia.

Hidup Enggak Pernah Tambah Mudah, Jagalah Perspektifmu!

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Hidup itu sulit. Hidup itu memang sulit. Begitu kata banyak orang.

Bila melihat perjalanan selama setahun ke belakang, mungkin kita dengan mudah menyebutkan berbagai kesulitan yang kita hadapi. Situasi yang sulit dan kondisi yang menyakitkan sering menyebabkan kita kehilangan iman yang diawali dengan kehilangan perspektif.

Perspektif adalah cara seseorang dalam menilai sesuatu yang mempengaruhi tindakan seseorang. Pada kondisi sulit, kita cenderung hanya melihat rasa sakit, yang tak jarang kita maknai sebagai rasa sakit yang begitu berat.

Kecenderungan kita yang melihat sisi-sisi negatif itu mendorong kita untuk masuk ke dalam tahap mengasihani diri dan menganggap diri korban atas setiap pergumulan dan penderitaan. Dari pengalamanku, ada tiga perilaku yang menggambarkan bahwa kita mudah sekali mengasihani diri sendiri dan menganggap diri kitalah yang paling menyedihkan:

1. Sering menggerutu dan mengeluh
2. Menyalahkan dan mengkritik orang lain, bahkan tidak jarang sampai menyalahkan Tuhan
3. Bersikap sinis dan pesimistis

Sebenarnya, tiga perilaku di atas adalah respons yang muncul secara alamiah ketika kita menghadapi tekanan. Tanpa kita sadari, kita mengeluh sebagai cara untuk meluapkan emosi negatif; mengkritik sebagai cara untuk membenarkan diri; dan pesimis sebagai wujud hilangnya harapan kita. Namun, respons tersebut jika tidak dikendalikan akan mendorong kita semakin jauh dalam jurang mengasihani diri, yang pada akhirnya membuat kita tidak bisa bangkit sama sekali.

Salah satu cara yang mungkin pernah atau sering kita lakukan untuk menjaga perspektif kita saat mengalami keadaan sulit adalah dengan mengakui kesulitan dan rasa sakit yang kita alami. Seperti pernyataan populer yang sering kita dengar saat ini, IT’S OK TO BE NOT OK. Tidak masalah untuk melihat atau berkaca pada orang lain yang punya kesulitan yang lebih besar daripada kita, asalkan kita tidak lantas bersikap denial terhadap rasa sakit yang kita alami sendiri.

Kecenderungan yang muncul ketika kita sedang sulit adalah kita menjadi sering mengasihani diri dan menganggap diri kitalah yang paling menyedihkan di dunia ini. Namun nyatanya, masih banyak orang di luar sana yang punya kesulitan yang jauh dari apa yang kita alami namun tetap memilih untuk berjuang. Untuk menyikapi kondisi ini, kita harus menjaga perspektif kita secara benar:

1. Self talk untuk memberikan semangat pada diri sendiri

Paulus, yang mengerti tentang penderitaan dan pentingnya perspektif, menulis, “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8)

Self talk artinya berbicara pada diri sendiri. Perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Alkitab menunjukkan bagaimana si bungsu berbicara pada dirinya sendiri.

“Lalu ia menyadari keadaanya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikan aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Lukas 15:17-19).

Self talk mempengaruhi pikiran bahkan berujung kepada tindakan. Pikiran memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan kita, dan jika self talk kita menjatuhkan diri sendiri, maka kita akan merasa ingin menyerah. Sebaliknya, self talk yang mendorong semangat akan memberi kehidupan. Sebagai contoh, Daud adalah pribadi yang punya banyak kesulitan di dalam hidupnya. Dia punya banyak alasan untuk merasa tertekan dan gelisah. Tetapi, Dia menolak untuk mengasihani diri sendiri. Sebaliknya, dia menggunakan self talk demi memberi semangat kepada dirinya.

Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?
Berharaplah kepada Allah!
Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!
(Mazmur 42:6)

2. Meminta kepada Tuhan untuk menolong kita menunjukkan hal-hal yang perlu kita syukuri

Dengan lebih banyak bersyukur kepada Tuhan dibandingkan mengeluh, menolong kita mempunyai perspektif yang benar untuk setiap kondisi sulit yang kita alami. Namun, sayangnya dengan kesulitan yang kita alami membuat kita sulit melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidup.

Ketika kita sulit untuk bersyukur, rasanya kita sedang melakukan kejahatan yang lebih buruk. Ada banyak hal baik di luar kesulitan kita, tetapi kita melupakannya karena kondisi sulit yang kita rasakan. Tuhan seharusnya layak menerima ungkapan rasa syukur kita karena sesungguhnya segala yang terjadi dalam hidup ini datang dari Dia.

“Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yakobus 1:17).

Dengan semua yang telah kita terima di dalam Kristus, sudah sepatutnya ucapan syukur terus mengalir dari hati dan mulut kita. Kiranya kita merespons anugerah Allah yang indah dengan selalu bersyukur kepada-Nya.

3. Kita tidak benar-benar tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan dalam kehidupan kita

Kita tidak mengerti bagaimana Tuhan bisa menggunakan apa yang sedang kita alami. Tetapi, berkaca dari karya-karya-Nya di masa lalu, apa yang kita alami saat ini akan menjadi karya yang mengesankan dan indah.

Iman memberi kita keyakinan pada apa yang tidak kita lihat, sehingga kita bisa menerima fakta bahwa hidup itu sulit. Iman inilah yang memberi kita perspektif atas pergumulan kita saat ini, yang memampukan kita untuk tidak terjebak pada mengasihani diri karena kita memiliki keyakinan pada apa yang sedang menanti kita di depan. Iman mengerti bahwa kehidupan terbaik kita tidak terjadi saat ini, kehidupan terbaik kita akan terwujud nanti. Sehingga, kita tidak menjadi lemah dan tawar hati.

4. Memegang kendali kondisi yang ada yang dapat digunakan sebagai batu loncatan

Poin ini mungkin kedengarannya terlalu optimis, tetapi inilah kekuatan yang Tuhan berikan dalam hidup kita. Ketika hidup menyajikan kesulitan, beberapa orang memilih untuk takluk, sedangkan yang lain memilih untuk menaklukkan. Menariknya, seringkali orang-orang yang telah menghadapi perkara yang paling sulitlah yang meraih sukses paling hebat.

Orang-orang yang harus menaklukkan kesukaran dipaksa untuk belajar lebih banyak dan bekerja lebih keras, dan sesungguhnya memiliki keuntungan atas mereka yang mengalami situasi lebih mudah. Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan Nick Vujicic yang adalah seorang penginjil dan motivator dari Australia. Sejak kecil, hidup tanpa kaki dan tangan membuat Nick menjadi korban bullying. Keterbatasan yang dia miliki lantas tidak membuatnya menyerah, dia menyelesaikan sekolahnya dengan baik bahkan sekarang ini mendirikan organisasi nirlaba yang berfokus pada pengembangan penyandang disabilitas. Yang sedikit, yang terpilih-para pejuang.

Teman-teman boleh berhenti sejenak untuk membaca. Mari mengingat, kesulitan-kesulitan apa yang pernah kita alami dalam setahun ini tetapi Allah mampu menolong kita untuk melewatinya. Mari mengingat, kesulitan apa di masa lalu yang ternyata dijadikan-Nya menjadi sesuatu yang baik bagi hidup kita.

Kita memiliki SESUATU yang banyak orang di luar sana tidak miliki, yaitu TUHAN. Ini menjadi penghiburan sekaligus kekuatan bagi kita. Seberapa pun kesulitan yang kita alami, banyak hal yang terjadi dan kita tidak mengerti. Dia ada, Sang Imanuel.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Selamat menyambut Sang Imanuel, Tuhan yang sama yang akan menyertai kita di hari-hari kedepan.

*Empat poin di atas dikutip dari buku Don’t Give Up yang ditulis oleh Kyle Idleman. Beliau adalah seorang pendeta dari salah satu gereja terbesar di Amerika Serikat dan penulis buku laris yaitu Not A Fan dan The End of Me.

Ingatlah Ajal Pada Masa Mudamu

Oleh Aryanto Wijaya

Tahun 2019 lalu, aku membaca sebuah artikel yang menuturkan tentang kehidupan seorang pria. Di usianya yang ke 32 tahun, dia sedang menikmati puncak kariernya, namun kenikmatan itu perlahan susut ketika penyakit ganas menggerogoti tubuhnya hingga dia pun meninggal dunia.

Baru-baru ini, media sosial tanah air pun gempar mendengar kabar seorang selebriti muda yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, beberapa jam sebelumnya dia masih mengunggah Instagram Story—ada cuplikan perjalanannya, yang bernuansakan sukacita. Tak ada yang menyangka itu akan jadi unggahan terakhirnya.

Aku tercenung dan larut dalam ratapan warganet yang tak menyangka kematian akan secepat ini menjemput dan begitu mendadak. Mengingat dua kisah dukacita ini menggemakan kembali sebuah realita pahit yang kita semua sebagai umat manusia harus alami: kematian.

Kubuka lembaran kertas Alkitabku dan kudapati Pengkhotbah 9:5 berkata tegas, “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati…” Tetapi, yang tidak pernah kita tahu dari sisi kematian adalah bilamana dan bagaimana itu akan datang menjemput kita.

Ketidaktahuan ini seringkali menjadi faktor terbesar yang membuat kita merasa takut, atau di sisi yang lain, membuat kita acuh tak acuh terhadap kematian. Padahal, seperti yang Alkitab katakan bahwa setiap manusia kelak pasti akan menjumpai kematian; itu bukan sebuah kesempatan, tetapi kepastian. Mengetahui bahwa kelak setiap kita pasti akan tiba di garis akhir kehidupan seharusnya mendorong kita untuk menjalani hidup terbaik untuk tiba di sana.

Mengenal garis akhir, menikmati perjalanan

Konsep dunia menyebutkan kematian sebagai garis akhir dari kehidupan, titik terakhir dari perjalanan manusia. Agama-agama lalu menyajikan pemahaman yang lain, tentang apa yang akan terjadi setelah kematian itu. Kita tidak akan membahas masing-masing konsep pasca kematian yang disajikan tiap agama, tetapi sebagai orang Kristen, kendati kematian memang sejatinya adalah garis akhir dari peziarahan ragawi kita di dunia, itu merupakan awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Paulus menegaskan, “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2 Korintus 5:1).

Ada kehidupan yang abadi bagi anak-anak Tuhan, kehidupan di suatu tempat yang dibuat oleh Allah sendiri, yang tidak akan ada lagi ratap dan dukacita (Wahyu 21:4).

Memang kita tidak tahu waktu dan caranya, tapi Alkitab memang menjelaskan apa yang terjadi. 2 Korintus 5:6-8 dan Filipi 1:23 mengatakan bahwa ketika kita meninggalkan tubuh kita, kita akan menetap bersama Allah. Suatu pemikiran yang menghibur kita semua yang percaya.

Dalam Ilmu Komunikasi, ada sebuah teori yang bernama “Teori Pengurangan Ketidakpastian” yang dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini menjelaskan bahwa dalam relasi antar dua orang manusia atau lebih yang tidak saling mengenal seringkali terjadi ketidaktahuan yang dapat berlanjut menjadi rasa takut atau spekulasi. Contoh, ketika dua orang asing bertemu dalam satu kendaraan, mungkin Si A menaruh curiga terhadap si B. Barulah ketika tercipta komunikasi antara A dan B, keduanya menemukan banyak persamaan, dan relasi itu berlanjut melintasi waktu, pelan-pelan rasa takut dan curiga itu luruh. Ketika dua orang telah saling mengenal erat, ada rasa percaya yang terbangun—kondisi yang jauh berbeda dari momen saat mereka pertama kali saling mengenal.

Demikian pulalah dengan kehidupan kita. Mengenal Tuhan yang kita percayai dengan erat akan memberikan kita iman yang teguh dan kokoh. Kita tidak akan lagi meragukan janji-janji-Nya karena kita tahu janji itu pasti akan terlaksana (2 Korintus 1:20), bahwa barangsiapa yang percaya kepada Kristus tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Dan, dari pengenalan dan relasi yang erat dengan-Nyalah kita dimampukan untuk menjalani hari-hari kita di dunia bukan dengan ketakutan akan garis akhir yang tak kita ketahui, tapi dengan sukacita bahwa segala jerih lelah dan perjuangan kita di masa-masa kita masih bisa bernafas akan mengantar kita pada tujuan yang mulia.

Kita tidak pernah tahu bilamana kematian itu akan datang. Usia muda, tubuh yang sehat, kekayaan yang berlimpah, karier yang cemerlang, semua itu tidak akan menghindarkan kita dari kepastian bahwa kehidupan di dunia akan berakhir.

Namun, kita dapat bersukacita dan bersemangat menjalani hidup, karena bersama dengan Tuhan Yesus, segala jerih lelah kita tidak akan sia-sia (1 Korintus 15:58).

Tugas kita saat ini adalah menyelesaikan setiap tanggung jawab yang diberikan-Nya dengan sebaik mungkin (Lukas 16:10), agar kelak ketika perjalanan ragawi kita paripurna, kita menyambutnya laksana seorang pemenang yang mengakhiri pertempuran dengan baik, yang telah memelihara iman sampai kepada garis akhir (2 Timotius 4:7).