Posts

trauma

Apa yang Aku Pelajari dari Pengalaman Traumatis

Oleh Yohanes Alexander

Trauma bisa terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Penyebabnya pun bermacam-macam, bisa disebabkan oleh keluarga, lingkungan pertemanan, kecelakaan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut tentu memiliki dampak bagi seseorang, baik secara fisik maupun psikis (keadaan jiwa/mental). Sayangnya, seringkali kita hanya berfokus pada luka fisik, tapi kurang memperhatikan luka psikis, sehingga trauma secara psikis seringkali membutuhkan waktu sembuh yang lama, seperti yang pernah kualami beberapa tahun lalu di suatu sore..

Saat itu aku berencana mengunjungi rumah pacarku. Kukendarai motor besarku dengan perasaan berseri-seri karena tak sabar menemuinya. Lagi pula, ada nggak sih hal yang lebih menyenangkan selain “ngapel-in” pacar? Seakan-akan seluruh duniaku teralihkan padanya, hingga membuatku begitu bersemangat mengunjunginya.

Aku pun mengendarai motorku dengan cepat. Untunglah jalanan lengang. Saat aku berkendara di belakang sebuah mobil, tiba-tiba mobil itu berbelok ke arah kanan secara mendadak seperti sedang menghindari sesuatu. Seketika itu pula aku terkejut karena tepat di depanku ada 2 gadis kecil yang sedang tergesa-gesa menyeberangi jalan. Aku pun berusaha menghindari mereka dengan memiringkan bagian depan motorku. Namun tak ayal, bagian samping motorku menghantam mereka, hingga kecelakaan tersebut tak terelakkan.

Aku pun terjatuh dengan kepala yang membentur aspal. Helm yang aku gunakan rusak dan kelopak mataku mengucurkan darah. Dalam hitungan detik, banyak orang mulai berkerumun menyaksikan kecelakaan itu. Beberapa tukang ojek pangkalan pun dengan sigap membopong aku ke sebuah mobil bak terbuka. Aku dibawa ke rumah sakit dan didiagnosa menderita gegar otak ringan. Benturan itu mengakibatkan aku muntah dan merasakan pusing yang luar biasa.

Saat alis dan kelopak mataku sedang dijahit di ruang IGD, aku merasa kalut dan sedih membayangkan apa yang telah terjadi. Aku benar-benar merasa down, apalagi saat tahu bahwa dua gadis cilik yang aku tabrak ada di rumah sakit yang sama. Satu gadis cilik mendapatkan perawatan secukupnya dan diperbolehkan pulang karena lukanya cukup ringan, sedangkan gadis cilik lainnya masih berjuang hidup karena harus menjalani operasi di kepala.

Perasaan khawatir sekaligus bersalah sungguh memenuhi rongga dadaku, tapi aku memilih untuk bertanggung jawab atas keadaan mereka.

Namun, aku kembali dikejutkan dengan mahalnya biaya perawatan medis untuk si gadis kecil dan aku harus menanggungnya sendiri. Entah siapa yang salah dalam kasus ini, tapi lingkungan kita terbiasa menuntut pertanggungjawaban hanya pada si penabrak, bagaimanapun kejadiannya. Karena itu aku harus menguras semua dana di tabunganku dan mencari sisanya dalam bentuk pinjaman agar dapat melunasi biaya pengobatan tersebut.

Dengan semua yang telah kualami, aku tetap bersyukur si gadis cilik ini dapat selamat dan beraktivitas kembali seperti biasanya.

Walau begitu, untuk beberapa waktu lamanya aku mengalami trauma. Aku tidak berani menyentuh motorku terlebih mengendarainya. Ya, secara fisik aku sudah pulih, tapi secara mental aku kacau dan hancur. Aku perlu waktu untuk menata emosi dan perasaanku. Trauma ini begitu membekas. Entah kapan aku bisa pulih dari perasaan ini.

Hingga beberapa tahun kemudian aku diingatkan akan sosok Musa di Alkitab.

Sepanjang yang aku baca, Musa mengalami banyak trauma dalam hidupnya. Sejak bayi ia sudah masuk dalam pusaran trauma bangsanya sendiri yang saat itu ditindas oleh bangsa Mesir kuno, disembunyikan di semak-semak tepi sungai karena semua bayi yang lahir masa itu akan dibunuh atas perintah raja Firaun. Hal lain yang aku pelajari adalah jati dirinya yang seorang Israel pun disembunyikan. 

Meskipun Musa memiliki wajah dan jubah seperti pangeran Mesir, ia tetap menjadi bagian dari bangsa Israel yang saat itu menderita di bawah perbudakan. Setelah Israel melewati berbagai rintangan dan penderitaan, Musa akhirnya menjadi pemimpin mereka, walau pengalamannya memimpin bangsa Israel dipenuhi trauma dan banyak tantangan.

Jika kita ada di posisi Musa, bisa dimaklumi kalau ia geram terhadap dirinya sendiri, terhadap rakyat yang ia pimpin, bahkan terhadap Tuhan. Ia bisa saja berkeluh kesah dan mengomel, namun Musa tidak melakukannya. Sampai titik akhir hidupnya, ia masih memperhatikan masa depan rakyatnya. Musa berpesan, “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan…” (Ulangan 30:19-20).

Bagaimana Musa meresponi “traumanya” memberikan inspirasi padaku. Ia tidak menyalahkan diri sendiri atau orang lain, tidak terjebak dalam penyesalan diri, dan tidak mengingat-ingat trauma yang ia alami atau melupakannya seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi. Musa dapat menempatkan rasa traumanya dalam cakupan yang lebih luas, tidak hanya trauma yang ia rasakan sendiri, tetapi trauma yang dirasakan bangsa Israel. Trauma tersebut pun tidak membuat Musa berhenti melayani bangsa Israel. Sikap inilah yang membuatku dimampukan untuk mengatasi trauma yang aku alami.

Melalui apa yang kualami, aku juga belajar bahwa trauma adalah perasaan tak berdaya atas kejadian yang terjadi di luar kemampuan kita mengontrolnya, apalagi mencegahnya. Padahal perasaan tak berdaya itu tidak apa-apa, sebab tidak semua hal dapat kita kendalikan atau cegah, bagaimanapun usaha terbaik yang dapat kita lakukan. Terlebih ada satu pribadi yang akan selalu menemani, seperti yang Musa katakan:

“Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.” (Ulangan 31:8).

Tetapi ketika kita memilih berlarut dalam penyesalan dan rasa bersalah, maka kita akan semakin sulit keluar dari trauma. Trauma yang tinggal dalam hati bisa menggerogoti seluruh diri, termasuk mengganggu dan menghambat kita. Sikap kita terhadap diri sendiri dan dalam berelasi dengan sesama pun dapat terganggu. Kita menjadi getir dan geram, serta energi, pikiran, dan tubuh pun jadi tersedot karena luka itu. Karena itu, bawalah segala kekhawatiran kita pada Pribadi yang selalu memelihara kita (1 Petrus 5:7).

Kalau kita pikirkan kembali, bukankah Alkitab adalah buku yang menceritakan tentang Allah yang mau ikut merasakan trauma yang dialami sebuah bangsa yang tertindas?

Untuk alasan tersebutlah Kristus datang, sebuah rencana agung yang tak terperi. Dan kita dapat bercerita tentang trauma itu dengan mengenang kematian dan kebangkitan Kristus yang telah menanggung setiap dosa kita, menebus kita dari hidup yang sia-sia, dan melepaskan kita dari trauma yang tidak seharusnya kita alami, sembari berharap kelak Kristus akan datang kembali untuk menyongsong kita di awan-awan permai.

Penderitaan yang Tak Akan Menjatuhkanmu

Oleh Toar Luwuk, Minahasa

Aku adalah seorang mahasiswa semester akhir, yang juga terlibat dalam pelayanan mahasiswa. Aku bersyukur karena terlibat dalam pelayanan ini mengajariku banyak hal yang menolongku bertumbuh bersama-sama dengan mahasiswa lain. Wadah pelayanan ini pun menjadi tempat perjumpaanku dengan Kristus. Aku menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi.

Suatu saat, tim pelayanan kami sedang mempersiapkan suatu kegiatan dan membutuhkan dana. Kami memutuskan untuk mencari dana dengan menawarkan paket kue ke rumah-rumah warga. Selain melakukan pencarian dana, kami juga melakukan pelayanan doa bagi keluarga yang rumahnya kami sambangi. Di satu rumah, terjadi perbincangan.

“Jadi, selain kami melakukan pencarian dana, kami melakukan pelayanan doa bagi setiap keluarga yang telah dikunjungi. Jika ibu tidak sibuk, mari sama-sama berdoa”, kataku.

“Oh iya bisa, dek. Kebetulan baru selesai memasak”, jawab si ibu dengan penuh senyuman.

“Jadi, sebelum berdoa, apakah dari keluarga ada hal-hal khusus yang bisa didoakan?” tanyaku.

“Doakan saja semoga sehat-sehat dan semoga tidak mengalami masalah atau kesusahan”, jawab si ibu.

Setelah berdoa kami mengucapkan terima kasih dan melanjutkan kegiatan pencarian dana

Dan setelah beberapa rumah kami melakukan hal yang sama, terjadi obrolan yang serupa.

“Apakah dari keluarga ada hal-hal khusus yang bisa didoakan?” tanyaku.

“Doakan diberikan kesehatan dan diberikan kekuatan menghadapi pergumulan”, kata bapak dan ibu. Dari sharing singkat rupanya keluarga itu sedang mengalami pergumulan finansial.

Dari kedua jawaban di atas terdapat perbedaan sikap:

1. Yang pertama meminta untuk dijauhkan dari masalah/kesusahan
2. Yang Kedua meminta untuk dikuatkan dalam menghadapi pergumulan

Dari kedua jawaban tersebut, timbul kejanggalan dalam benak pikiranku dan memutuskan untuk merenungkan hal ini untuk mengetahui apa sebenarnya yang Tuhan ingin sampaikan kepadaku lewat kejadian hari itu.

Masalah selalu datang dalam bentuk penderitaan atau kesusahan. Oleh karena itu, semua orang tidak menyukainya. Banyak juga orang Kristen mengharapkan hidupnya selalu mulus tanpa mengalami masalah atau penderitaan. Bahkan ada yang melibatkan diri dalam pelayanan hanya karena meyakini hidupnya akan selalu diberkati hingga berlimpah-limpah dan enak-enak saja.

Aku pikir pemahaman seperti itu keliru dan itu bertentangan dengan Lukas 9:23 yang tertulis, “Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.”

Penderitaan atau masalah bisa menjadi sarana kasih Allah kepada kita. Ibarat sebuah permainan yang untuk naik level kita perlu menghadapi tantangan, dalam hidup pun kadang rumus tersebut berlaku.

“Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:3-4).

Alih-alih membuat kita jatuh tak berdaya, tujuan dari penderitaan adalah supaya naik level. Untuk bisa naik tingkat, caranya adalah dengan taat dan berserah kepada Dia yang berdaulat atas hidup kita. Ujian-ujian hidup juga menjadi sarana agar kita terus dimurnikan dan dibentuk, supaya makin serupa dengan Dia. Kedagingan kita perlahan akan terkikis ketika kita tekun menghadapi penderitaan.

Sebagai orang Kristen, bagaimana sikap kita merespon masalah yang terjadi?

Tak mudah untuk menghadapi penderitaan. Aku pun sering emosi duluan jika ada masalah yang datang dan mungkin orang lain pun seperti itu. Seperti yang tertulis dalam kitab Yakobus 1:5-7, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, – yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit –, maka hal itu akan diberikan kepadanya. Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin.”

Ketika penderitaan datang, kita dapat berdoa minta hikmat dengan penuh kesungguhan hati dan jangan goyah. Seperti cerita di awal tulisan tadi, alangkah lebih baik jika kita berdoa bukan untuk menjauhkan masalah, tetapi meminta hikmat dan kekuatan menghadapi penderitaan. Kita tidak berjalan sendiri. Ada Tuhan yang setia menyertai kita, dan bersukacitalah jika kita berada dalam masalah. Dengan iman kita mengetahui bahwa penderitaan sementara ini adalah cara Tuhan membentuk kita makin serupa dengan Dia.

Hidup Enggak Pernah Tambah Mudah, Jagalah Perspektifmu!

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Hidup itu sulit. Hidup itu memang sulit. Begitu kata banyak orang.

Bila melihat perjalanan selama setahun ke belakang, mungkin kita dengan mudah menyebutkan berbagai kesulitan yang kita hadapi. Situasi yang sulit dan kondisi yang menyakitkan sering menyebabkan kita kehilangan iman yang diawali dengan kehilangan perspektif.

Perspektif adalah cara seseorang dalam menilai sesuatu yang mempengaruhi tindakan seseorang. Pada kondisi sulit, kita cenderung hanya melihat rasa sakit, yang tak jarang kita maknai sebagai rasa sakit yang begitu berat.

Kecenderungan kita yang melihat sisi-sisi negatif itu mendorong kita untuk masuk ke dalam tahap mengasihani diri dan menganggap diri korban atas setiap pergumulan dan penderitaan. Dari pengalamanku, ada tiga perilaku yang menggambarkan bahwa kita mudah sekali mengasihani diri sendiri dan menganggap diri kitalah yang paling menyedihkan:

1. Sering menggerutu dan mengeluh
2. Menyalahkan dan mengkritik orang lain, bahkan tidak jarang sampai menyalahkan Tuhan
3. Bersikap sinis dan pesimistis

Sebenarnya, tiga perilaku di atas adalah respons yang muncul secara alamiah ketika kita menghadapi tekanan. Tanpa kita sadari, kita mengeluh sebagai cara untuk meluapkan emosi negatif; mengkritik sebagai cara untuk membenarkan diri; dan pesimis sebagai wujud hilangnya harapan kita. Namun, respons tersebut jika tidak dikendalikan akan mendorong kita semakin jauh dalam jurang mengasihani diri, yang pada akhirnya membuat kita tidak bisa bangkit sama sekali.

Salah satu cara yang mungkin pernah atau sering kita lakukan untuk menjaga perspektif kita saat mengalami keadaan sulit adalah dengan mengakui kesulitan dan rasa sakit yang kita alami. Seperti pernyataan populer yang sering kita dengar saat ini, IT’S OK TO BE NOT OK. Tidak masalah untuk melihat atau berkaca pada orang lain yang punya kesulitan yang lebih besar daripada kita, asalkan kita tidak lantas bersikap denial terhadap rasa sakit yang kita alami sendiri.

Kecenderungan yang muncul ketika kita sedang sulit adalah kita menjadi sering mengasihani diri dan menganggap diri kitalah yang paling menyedihkan di dunia ini. Namun nyatanya, masih banyak orang di luar sana yang punya kesulitan yang jauh dari apa yang kita alami namun tetap memilih untuk berjuang. Untuk menyikapi kondisi ini, kita harus menjaga perspektif kita secara benar:

1. Self talk untuk memberikan semangat pada diri sendiri

Paulus, yang mengerti tentang penderitaan dan pentingnya perspektif, menulis, “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8)

Self talk artinya berbicara pada diri sendiri. Perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Alkitab menunjukkan bagaimana si bungsu berbicara pada dirinya sendiri.

“Lalu ia menyadari keadaanya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikan aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Lukas 15:17-19).

Self talk mempengaruhi pikiran bahkan berujung kepada tindakan. Pikiran memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan kita, dan jika self talk kita menjatuhkan diri sendiri, maka kita akan merasa ingin menyerah. Sebaliknya, self talk yang mendorong semangat akan memberi kehidupan. Sebagai contoh, Daud adalah pribadi yang punya banyak kesulitan di dalam hidupnya. Dia punya banyak alasan untuk merasa tertekan dan gelisah. Tetapi, Dia menolak untuk mengasihani diri sendiri. Sebaliknya, dia menggunakan self talk demi memberi semangat kepada dirinya.

Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?
Berharaplah kepada Allah!
Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!
(Mazmur 42:6)

2. Meminta kepada Tuhan untuk menolong kita menunjukkan hal-hal yang perlu kita syukuri

Dengan lebih banyak bersyukur kepada Tuhan dibandingkan mengeluh, menolong kita mempunyai perspektif yang benar untuk setiap kondisi sulit yang kita alami. Namun, sayangnya dengan kesulitan yang kita alami membuat kita sulit melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidup.

Ketika kita sulit untuk bersyukur, rasanya kita sedang melakukan kejahatan yang lebih buruk. Ada banyak hal baik di luar kesulitan kita, tetapi kita melupakannya karena kondisi sulit yang kita rasakan. Tuhan seharusnya layak menerima ungkapan rasa syukur kita karena sesungguhnya segala yang terjadi dalam hidup ini datang dari Dia.

“Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yakobus 1:17).

Dengan semua yang telah kita terima di dalam Kristus, sudah sepatutnya ucapan syukur terus mengalir dari hati dan mulut kita. Kiranya kita merespons anugerah Allah yang indah dengan selalu bersyukur kepada-Nya.

3. Kita tidak benar-benar tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan dalam kehidupan kita

Kita tidak mengerti bagaimana Tuhan bisa menggunakan apa yang sedang kita alami. Tetapi, berkaca dari karya-karya-Nya di masa lalu, apa yang kita alami saat ini akan menjadi karya yang mengesankan dan indah.

Iman memberi kita keyakinan pada apa yang tidak kita lihat, sehingga kita bisa menerima fakta bahwa hidup itu sulit. Iman inilah yang memberi kita perspektif atas pergumulan kita saat ini, yang memampukan kita untuk tidak terjebak pada mengasihani diri karena kita memiliki keyakinan pada apa yang sedang menanti kita di depan. Iman mengerti bahwa kehidupan terbaik kita tidak terjadi saat ini, kehidupan terbaik kita akan terwujud nanti. Sehingga, kita tidak menjadi lemah dan tawar hati.

4. Memegang kendali kondisi yang ada yang dapat digunakan sebagai batu loncatan

Poin ini mungkin kedengarannya terlalu optimis, tetapi inilah kekuatan yang Tuhan berikan dalam hidup kita. Ketika hidup menyajikan kesulitan, beberapa orang memilih untuk takluk, sedangkan yang lain memilih untuk menaklukkan. Menariknya, seringkali orang-orang yang telah menghadapi perkara yang paling sulitlah yang meraih sukses paling hebat.

Orang-orang yang harus menaklukkan kesukaran dipaksa untuk belajar lebih banyak dan bekerja lebih keras, dan sesungguhnya memiliki keuntungan atas mereka yang mengalami situasi lebih mudah. Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan Nick Vujicic yang adalah seorang penginjil dan motivator dari Australia. Sejak kecil, hidup tanpa kaki dan tangan membuat Nick menjadi korban bullying. Keterbatasan yang dia miliki lantas tidak membuatnya menyerah, dia menyelesaikan sekolahnya dengan baik bahkan sekarang ini mendirikan organisasi nirlaba yang berfokus pada pengembangan penyandang disabilitas. Yang sedikit, yang terpilih-para pejuang.

Teman-teman boleh berhenti sejenak untuk membaca. Mari mengingat, kesulitan-kesulitan apa yang pernah kita alami dalam setahun ini tetapi Allah mampu menolong kita untuk melewatinya. Mari mengingat, kesulitan apa di masa lalu yang ternyata dijadikan-Nya menjadi sesuatu yang baik bagi hidup kita.

Kita memiliki SESUATU yang banyak orang di luar sana tidak miliki, yaitu TUHAN. Ini menjadi penghiburan sekaligus kekuatan bagi kita. Seberapa pun kesulitan yang kita alami, banyak hal yang terjadi dan kita tidak mengerti. Dia ada, Sang Imanuel.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Selamat menyambut Sang Imanuel, Tuhan yang sama yang akan menyertai kita di hari-hari kedepan.

*Empat poin di atas dikutip dari buku Don’t Give Up yang ditulis oleh Kyle Idleman. Beliau adalah seorang pendeta dari salah satu gereja terbesar di Amerika Serikat dan penulis buku laris yaitu Not A Fan dan The End of Me.

Ingatlah Ajal Pada Masa Mudamu

Oleh Aryanto Wijaya

Tahun 2019 lalu, aku membaca sebuah artikel yang menuturkan tentang kehidupan seorang pria. Di usianya yang ke 32 tahun, dia sedang menikmati puncak kariernya, namun kenikmatan itu perlahan susut ketika penyakit ganas menggerogoti tubuhnya hingga dia pun meninggal dunia.

Baru-baru ini, media sosial tanah air pun gempar mendengar kabar seorang selebriti muda yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, beberapa jam sebelumnya dia masih mengunggah Instagram Story—ada cuplikan perjalanannya, yang bernuansakan sukacita. Tak ada yang menyangka itu akan jadi unggahan terakhirnya.

Aku tercenung dan larut dalam ratapan warganet yang tak menyangka kematian akan secepat ini menjemput dan begitu mendadak. Mengingat dua kisah dukacita ini menggemakan kembali sebuah realita pahit yang kita semua sebagai umat manusia harus alami: kematian.

Kubuka lembaran kertas Alkitabku dan kudapati Pengkhotbah 9:5 berkata tegas, “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati…” Tetapi, yang tidak pernah kita tahu dari sisi kematian adalah bilamana dan bagaimana itu akan datang menjemput kita.

Ketidaktahuan ini seringkali menjadi faktor terbesar yang membuat kita merasa takut, atau di sisi yang lain, membuat kita acuh tak acuh terhadap kematian. Padahal, seperti yang Alkitab katakan bahwa setiap manusia kelak pasti akan menjumpai kematian; itu bukan sebuah kesempatan, tetapi kepastian. Mengetahui bahwa kelak setiap kita pasti akan tiba di garis akhir kehidupan seharusnya mendorong kita untuk menjalani hidup terbaik untuk tiba di sana.

Mengenal garis akhir, menikmati perjalanan

Konsep dunia menyebutkan kematian sebagai garis akhir dari kehidupan, titik terakhir dari perjalanan manusia. Agama-agama lalu menyajikan pemahaman yang lain, tentang apa yang akan terjadi setelah kematian itu. Kita tidak akan membahas masing-masing konsep pasca kematian yang disajikan tiap agama, tetapi sebagai orang Kristen, kendati kematian memang sejatinya adalah garis akhir dari peziarahan ragawi kita di dunia, itu merupakan awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Paulus menegaskan, “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2 Korintus 5:1).

Ada kehidupan yang abadi bagi anak-anak Tuhan, kehidupan di suatu tempat yang dibuat oleh Allah sendiri, yang tidak akan ada lagi ratap dan dukacita (Wahyu 21:4).

Memang kita tidak tahu waktu dan caranya, tapi Alkitab memang menjelaskan apa yang terjadi. 2 Korintus 5:6-8 dan Filipi 1:23 mengatakan bahwa ketika kita meninggalkan tubuh kita, kita akan menetap bersama Allah. Suatu pemikiran yang menghibur kita semua yang percaya.

Dalam Ilmu Komunikasi, ada sebuah teori yang bernama “Teori Pengurangan Ketidakpastian” yang dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini menjelaskan bahwa dalam relasi antar dua orang manusia atau lebih yang tidak saling mengenal seringkali terjadi ketidaktahuan yang dapat berlanjut menjadi rasa takut atau spekulasi. Contoh, ketika dua orang asing bertemu dalam satu kendaraan, mungkin Si A menaruh curiga terhadap si B. Barulah ketika tercipta komunikasi antara A dan B, keduanya menemukan banyak persamaan, dan relasi itu berlanjut melintasi waktu, pelan-pelan rasa takut dan curiga itu luruh. Ketika dua orang telah saling mengenal erat, ada rasa percaya yang terbangun—kondisi yang jauh berbeda dari momen saat mereka pertama kali saling mengenal.

Demikian pulalah dengan kehidupan kita. Mengenal Tuhan yang kita percayai dengan erat akan memberikan kita iman yang teguh dan kokoh. Kita tidak akan lagi meragukan janji-janji-Nya karena kita tahu janji itu pasti akan terlaksana (2 Korintus 1:20), bahwa barangsiapa yang percaya kepada Kristus tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Dan, dari pengenalan dan relasi yang erat dengan-Nyalah kita dimampukan untuk menjalani hari-hari kita di dunia bukan dengan ketakutan akan garis akhir yang tak kita ketahui, tapi dengan sukacita bahwa segala jerih lelah dan perjuangan kita di masa-masa kita masih bisa bernafas akan mengantar kita pada tujuan yang mulia.

Kita tidak pernah tahu bilamana kematian itu akan datang. Usia muda, tubuh yang sehat, kekayaan yang berlimpah, karier yang cemerlang, semua itu tidak akan menghindarkan kita dari kepastian bahwa kehidupan di dunia akan berakhir.

Namun, kita dapat bersukacita dan bersemangat menjalani hidup, karena bersama dengan Tuhan Yesus, segala jerih lelah kita tidak akan sia-sia (1 Korintus 15:58).

Tugas kita saat ini adalah menyelesaikan setiap tanggung jawab yang diberikan-Nya dengan sebaik mungkin (Lukas 16:10), agar kelak ketika perjalanan ragawi kita paripurna, kita menyambutnya laksana seorang pemenang yang mengakhiri pertempuran dengan baik, yang telah memelihara iman sampai kepada garis akhir (2 Timotius 4:7).

Menghadapi New Normal

New Normal! Frasa ini semakin sering kita dengar. Pemerintah dan banyak instansi sudah membuat protokol untuk menghadapi era kenormalan yang baru.

Tapi, meski keadaan dan cara kita beraktivitas banyak berubah, tetapkanlah hati pada Firman yang teguh dan kekal.

Kompilasi gambar handlettering ini dibuat oleh Febronia ( @febroniak ) untuk sobat muda sekalian.

Jadilah Padaku Seperti yang Tuhan Ingini

Oleh Irene, Surakarta

“Hidup ini kuletakkan pada mezbah-Mu ya Tuhan. Jadilah padaku seperti yang Kau ingini.”

Penggalan lagu berjudul “Seperti yang Kau Ingini” itu terus mengalun di kamar rumah sakit Bethesda, Yogyakarta, 12 tahun silam. Lagu yang dinyanyikan oleh Nikita itu menemani saat-saat ketika nenek yang kukasihi terbaring lemah karena stroke. Keluargaku masih berharap akan kesembuhan di tengah kepasrahan yang mendera hati kami. Separuh diriku pun sebenarnya berharap agar nenek tetap berjuang hidup, tapi di sisi lain aku pasrah hingga akhirnya tepat pada tanggal 15 Januari 2007, beliau mengembuskan nafas terakhirnya di usia 72 tahun.

Sejak saat itu, lagu “Seperti yang Kau Ingini” selalu kuputar jika berkunjung ke pusara nenek. Dan, ketika aku menghadapi pergumulan pun, lagu itu selalu terngiang dan kuputar di komputerku. Liriknya meneduhkanku, juga mengingatkanku bahwa di tengah kehidupan yang tidak berjalan sesuai harapan, aku bisa memercayakannya kepada Tuhan.

Sejenak aku merenung. Di balik kalimat dan lirik “Jadilah padaku seperti yang Kau ingini” itu, mengimaninya tak semudah mengucapkannya. Tidak mudah untuk meminta Tuhan melakukan apa yang jadi kehendak-Nya ketika aku sendiri punya kehendak yang ingin dipenuhi. Aku ingin kaya, punya rumah besar, dipuji orang, mendapatkan pekerjaan idaman, dan hidup bersama dengan orang yang kucintai. Aku ingin nenekku tidak meninggalkanku dari dunia ini. Tapi, tentu tidak semua hal itu berjalan seturut keinginanku.

Alkitab mengatakan bahwa hati kita dapat menipu diri kita sendiri (Yeremia 17:9). Di balik segala keinginan yang tampaknya baik itu, mungkin saja terselip egoisme yang menganggap bahwa rencanaku lebih baik daripada rencana Tuhan. Padahal, firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa rencana Tuhan jauh lebih tinggi daripada rencana-rencana kita (Yesaya 55:8-9).

Sampai di titik ini, aku merasa tertegur. Mengingat kembali kepedihanku ketika nenek akhirnya dipanggil pulang ke surga, aku mengimani bahwa ada banyak hal dalam kehdiupan ini yang sulit dimengerti. Tetapi, satu hal yang aku tahu dan imani adalah Tuhan itu baik dan penuh kasih. Tuhan baik bukan cuma karena Dia memberiku keberhasilan, tetapi karena Dia memang baik. Tuhan mengasihiku bukan hanya karena Dia memberiku berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Aku belajar menerima bahwa di balik kepergian nenekku dan segala hal yang terjadi dalam hidupku, Tuhan melakukannya dalam hikmat dan kasih-Nya.

Yang perlu aku lakukan sekarang adalah berserah diri dan percaya. Aku yakin bahwa Tuhan memberikan yang terbaik, dan bagianku adalah memberikan hidupku pada-Nya untuk dibentuk-Nya.

Bukan dengan barang fana
Kau membayar dosaku
Dengan darah yang mahal
Tiada noda dan cela

Bukan dengan emas perak
Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih
Dan pengorbanan-Mu

Ku telah mati dan tinggalkan
Jalan hidupku yg lama
Semuanya sia-sisa
Dan tak berarti lagi

Hidup ini kuletakkan
Pada mezbah-Mu ya Tuhan
Jadilah padaku seperti
Yang Kau ingini

Baca Juga:

3 Ayat Alkitab Ketika Kita Merasa Tidak Cukup Baik

Gagal mendapatkan beasiswa pernah membuatku kecewa dan merasa diriku tidak cukup baik. Namun, ada tiga ayat yang menolongku untuk bangkit dari perasaan ini.

Ketika Hidup Tidak Berjalan Sesuai Harapan Kita

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Pernahkah kamu menemukan dirimu kecewa dengan kenyataan hidup yang tidak sesuai rencanamu? Mungkin ketika pengumuman penerimaan mahasiswa diumumkan, dan namamu tidak ada di daftar calon mahasiswa yang diterima di kampus impianmu. Mungkin ketika kamu sudah belajar dengan giat dan tekun, namun nilai yang keluar jauh di bawah harapanmu. Mungkin ketika kamu lulus kuliah dan siap memulai profesi yang kamu inginkan, namun akhirnya terpaksa bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan bidangmu karena sudah terlalu lama menganggur. Atau mungkin ketika kamu berpikir bahwa kamu sudah menemukan si dia yang tepat untukmu, namun ternyata dia tidak berpikir hal yang sama.

Aku juga pernah. Dan, aku pikir kita semua pasti setidaknya pernah sekali menemukan diri kita dalam salah satu kondisi di mana hidup berjalan di luar kendali kita. Ini bukan hidup yang kita pikirkan, ini bukan jalan yang kita inginkan. Ketika saat-saat seperti itu tiba, seringkali kita bertanya kepada Tuhan: “Mengapa?”

Tentang Ekspektasi

Sebagai manusia, kebanyakan kita lahir dalam ekspektasi orang tua dan lingkungan sekitar. Pertanyaan yang lazim ditanyakan kepada anak-anak kecil adalah cita-cita mereka; apa yang ingin mereka lakukan ketika mereka dewasa. Kita bertumbuh dalam ekspektasi, hingga kita pun belajar berekspektasi, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain. Ekspektasi, yang dalam KBBI diartikan sebagai harapan, tentu bukan hal yang buruk atau jahat. Bukanlah hal yang salah jika kita mengharapkan sesuatu yang baik terjadi pada diri kita sendiri atau orang lain.

Sebagai makhluk yang berekspektasi, kita tentu membuat rencana untuk bisa mencapai ekspektasi kita sedemikian rupa. Jika kita ingin masuk ke sekolah atau kampus tertentu, maka kita akan belajar, mendaftarkan diri ke sekolah atau kampus tersebut, mengikuti prosedur penerimaan peserta didik, dan seterusnya. Kita ingin bekerja pada profesi tertentu, maka kita akan memilih program studi yang sesuai, berusaha memenuhi kriteria yang dibutuhkan, melamar ke profesi tersebut, dan seterusnya. Namun, hidup terkadang tidak sesuai dengan apa yang sudah kita rencanakan. Ada kalanya, ketika kita sudah berusaha menjalankan seluruh upaya yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan apa yang kita harapkan, namun kenyataan berkata sebaliknya. Kita gagal mendapatkan hasil yang sesuai dengan ekspektasi kita.

Ketika hal itu terjadi, sebagai manusia biasa, kita pasti merasa sedih dan terpukul. Apalagi jika hal itu adalah hal yang sudah kita nanti-nantikan sejak lama. Ada harapan yang dipupuk, ada upaya yang diperjuangkan. Namun, semuanya seperti sia-sia. Kita sedih, bahkan marah. Kita pikir ini adalah hal yang baik bagi kita, tapi mengapa Tuhan tidak memberikannya?

Hal pertama yang harus kita renungkan bersama adalah hati kita dapat menipu diri kita sendiri. Dalam Yeremia 17:9 tertulis demikian:

“Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Sebagaimana seluruh manusia di dunia, kita sudah jatuh dalam dosa. Dosa juga mencemari pikiran, ekspektasi, dan ambisi kita; membuat kita kerap berpikir bahwa rencana kita adalah rencana terbaik, dan Tuhan sebaiknya mengikuti rencana yang kita buat. Padahal, seringkali hal yang kita inginkan bukanlah suatu hal yang benar-benar terbaik bagi kita.

Kebenaran inilah yang seharusnya menjadi kesadaran awal kita ketika kita tidak mendapatkan segala sesuatu yang kita harapkan. Hati dan pikiran manusia terbatas, kita hanya bisa melihat hal-hal yang ada di depan kita. Namun Allah, Pencipta Semesta dan Pemilik Hidup kita, melihat segala sesuatu dengan jelas dari “atas sana”. Mungkin pekerjaan-Nya dalam hidup kita saat ini sulit untuk kita pahami. Tapi satu hal yang pasti, Dia memiliki rancangan besar (Master’s Plan) bagi kita.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9).

Mempercayai janji Tuhan memang tidak membuat segalanya menjadi lebih mudah. Keadaan tidak berubah: kita masih tidak masuk ke kampus impian, atau nilai kita masih tidak sesuai harapan kita, atau kita masih bekerja di tempat yang tidak kita inginkan, atau kita pun masih hidup sendiri. Namun, kita bisa mempercayai bahwa Allah adalah Penulis yang Agung, menuliskan detail-detail terkecil dalam hidup kita untuk akhir yang indah. Kita mungkin tidak memahami mengapa hal-hal ini terjadi, namun kita dapat percaya bahwa Tuhan memiliki tujuan yang mulia terhadap kekecewaan yang kita alami.

Ketika Tuhan berkata tidak

Walau demikian, kita tidak perlu menahan kesedihan dan kekecewaan ketika menemukan kegagalan atau hidup tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Dalam artikel berjudul “When God Says “No”: Dealing with Disappointment”, MarryLynn Johnson menulis:

“It’s not wrong to experience disappointment when life does not unfold the way we hope. If we do not give ourselves permission to grieve, we inadvertently believe that God is more concerned with us immediately feeling better, rather than working through the hurt to bring real transformation to our heart. We lose sight of the invitation he has given us to place our struggles at his feet.

Bukan hal yang salah untuk kecewa ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Jika kita tidak memberikan diri kita izin untuk berduka, secara tidak sengaja kita percaya bahwa Tuhan lebih menginginkan kita sesegera mungkin merasa lebih baik, daripada bekerja melalui rasa kecewa kita untuk membawa transformasi ke dalam hati kita. Kita tidak dapat melihat undangan yang diberikan oleh-Nya untuk meletakkan segala pergumulan kita di bawah kaki-Nya.

Kecewa dan sedih adalah reaksi yang manusiawi, dan adalah hal yang baik untuk menerima perasaan tersebut dengan jujur di hadapan Tuhan. Menerima kesedihan, kemarahan, dan ketakutan adalah langkah yang penting untuk menjaga emosi kita tetap sehat. Dalam buku berjudul Emotionally Healthy Woman, Geri Scazzero dan Peter Scazzero, menuliskan langkah-langkah yang dapat kita ambil ketika menghadapi kesedihan, kemarahan, dan ketakutan. Pertama-tama, kita harus menantang atau confront apa yang kita rasakan. Resapi dan dalami perasaan tersebut, terima dan akui bahwa kita memang merasa sedih, marah, atau takut. Kemudian, ambillah waktu untuk merenung dan membedah perasaan sedih atau marah kita, tanyakan kepada diri kita sendiri: “Mengapa aku merasa sedih atau marah?” Terus dalami perasaan kita hingga kita menemukan akar dari kesedihan atau kemarahan kita. Jujurlah kepada diri kita sendiri di hadapan Tuhan. Dalam artikel berjudul “When the Future You Planned for Never Comes”, Bryan Stoudt menulis:

When we’re struggling with the rocky path God has placed before us, we don’t need to pretend we don’t struggle. God invites us to bring our sorrows and confusion to our Father. As Paul Miller puts it, “The only way to come to God is by taking off any spiritual mask. The real you has to meet the real God.”

Ketika kita bergumul dengan jalan berbatu yang Tuhan tempatkan di hadapan kita, kita tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. Tuhan mengundang kita untuk membawa kesedihan dan kebingungan kita kepada Bapa. Seperti yang ditulis oleh Paul Miller, “Satu-satunya jalan untuk datang kepada Tuhan adalah dengan melepaskan topeng spiritual apapun. Dirimu yang sejati harus berjumpa dengan Tuhan yang sejati.”

Seperti kata-kata Paul Miller, jika kita ingin berjumpa dengan Allah yang sejati, maka kita harus menjadi diri kita yang paling sejati. Barulah dengan demikian pemulihan dapat terjadi. Terakhir, kita bisa membawa segala hasil perenungan kita keapda Allah dan mempercayai janji-Nya bagi kita. Firman Tuhan cukup untuk menjawab seluruh pergumulan kesedihan, kemarahan, dan ketakutan kita.

“Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mazmur 34:18-19).

Tiada kekuatan yang lebih menopang daripada kekuatan dari firman Allah, dan tiada penghiburan yang lebih menghibur daripada penghiburan dari janji Allah.

Jaminan akhir yang bahagia

Pada akhirnya, hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan atau ekspektasi kita. Menerima kebenaran ini akan mengurangi beban hidup kita, karena terkadang yang menyakiti kita bukanlah kenyataan hidup, tetapi ekspektasi kita pribadi. Dalam hidup di dunia, kita akan senantiasa bergumul dengan ketidakpastian, impian-impian yang tidak terwujud, ataupun rencana-rencana yang tidak tercapai. Namun, satu hal yang pasti, kita memiliki akhir yang bahagia di kehidupan di Rumah Bapa.

I’m still in the middle of my story. So are you. While none of us know the joys and trials we have yet to encounter, we do know that Jesus will be with us through them all. And we can be confident that one day, after the last chapter is written, our story will be tied up with a bow in the most glorious way possible. [Dikutip dari tulisan Vanessa Rendall]

Kita memang masih berada di tengah-tengah cerita besar Allah bagi hidup kita. Tiada dari kita yang tahu sukacita dan ujian yang mungkin akan kita hadapi ke depannya, namun satu hal yang kita tahu pasti bahwa Yesus senantiasa bersama dengan kita melewati semuanya. Dan kita dapat dengan yakin percaya bahwa suatu hari nanti, setelah bagian terakhir ditulis, cerita kita akan terbungkus manis dengan pita yang cantik di dalam cara yang paling mulia.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Meneladani Sang Konselor Sejati

Sang Konselor Sejati terlebih dahulu memulihkan hidupku dengan berbicara lewat firman-Nya dalam Alkitab dan memberiku kekuatan lewat doa, sehingga aku dimampukan untuk menjadi konselor bagi orang lain.

Penyertaan Allah dalam Tantangan Kehidupan

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Bulan April lalu aku sedikit menyampaikan keluhan hidupku lewat artikel yang berjudul “Jangan Sekadar Mengeluh!”. Dalam artikel tersebut, nampaknya manusia relatif sukar untuk berhenti mengeluh karena hidup manusia diiringi oleh penderitaan. Wait, jangan berpikir ke arah negatif dulu ya. Kata ‘derita’, yang bisa dibaca pada artikel sebelumnya, dapat dipahami sebagai sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalani ketika seseorang bertindak suatu hal. Maka menurutku, wajar jika sesekali hidup manusia kerap diselingi oleh keluhan.

Keluhan yang kerap disampaikan oleh sebagian kita adalah tentang naiknya jenjang kehidupan. Aku mengingat jelas, ketika masuk ke bangku Sekolah Dasar, aku sering ngomel ke orang tuaku karena jam bermain tidak sebanyak masih di Taman Kanak-kanak. Lepas dari Sekolah Dasar menuju Sekolah Menengah Pertama, aku pun rindu masa Sekolah Dasar, di mana pe-er dan tes-tes tidak menumpuk banyak. Naik lagi ke tingkat Sekolah Menengah tingkat Atas, kesumpekan pun meningkat dengan beragam laporan laboratorium, riset-riset, les mata pelajaran ini dan itu. Memasuki dunia perkuliahan, aku mengira akan lebih lega dengan kebebasan mengatur jadwal, namun tuntutan perkuliahan justru lebih tinggi disertai juga kesibukan organisasi mahasiswa.

Selain naiknya jenjang kehidupan sebagai pilihan diri kita, tekananan kehidupan juga berasal dari lingkungan masyarakat di sekitar kita. Bagi kita yang sudah bekerja, baik sebagai pegawai atau wiraswasta, tentu merasakan persaingan dunia kerja. Bisnis fotografi dan videografi yang digeluti oleh kakakku pun mengalami persaingan dengan semakin merebaknya anak-anak muda yang baru sekian bulan memegang kamera lalu memasang tarif dokumentasi acara dengan harga yang miring. Begitu pun usaha event organizer yang pernah digeluti aku dan teman-temanku, dimana kini muncul banyak event organizer baru yang dipelopori anak-anak yang jauh lebih muda dari kami. Aku pun belum bisa membayangkan secara utuh dampak industri 4.0 dan era desrupsi pada tekanan hidup masyakat negara berkembang seperti di Indonesia.

Harus kita akui bahwa tekanan hidup manusia dari waktu ke waktu tidak akan semakin mudah, justru menjadi lebih besar. Namun apa yang harus kita pahami sebagai orang Kristen dalam menjani hidup penuh tekanan?

Sebuah penguatan dinyatakan juga oleh Allah ketika bangsa Yehuda berada di tanah pembuangan Babel. Dalam Yesaya 43:2 dikatakan bahwa:

“Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.”

Terdapat tiga hal yang bisa kita pahami dari ayat ini, terlebih menguatkan kita menjalani hidup penuh tekanan.

1. Allah menyertai kita dalam kesulitan hidup kita.

Penulis kitab Yesaya dengan jelas menyatakan janji Allah, di kala mereka menyeberang melalui air, melalui sungai-sungai, melalui api, Ia beserta. Dalam kondisi bangsa Yehuda kala mereka berada pada masa pembuangan ke Babel, jauh dari tempat asal mereka dan di bawah pemerintahan Raja Babel, Allah tidak mengabaikan mereka. Allah tetap beserta umat-Nya dalam tekanan kehidupan. Begitu pun ketika kita berada dalam tekanan hidup di pendidikan, dunia kerja, relasi dengan sesama maupun berbagai tekanan lainnya, Allah tetap menyertai umat-Nya.

2. Allah tidak menghilangkan tantangan kehidupan, tantangan masih ada.

Ketika Allah beserta umat-Nya, penulis kitab Yesaya tidak menyatakan bahwa bangsa Yehuda bisa kembali dengan mudah ke tanah mereka; masih ada air, sungai-sungai dan api yang menghadang mereka. Sama seperti kondisi hidup kita saat ini, Allah tidak pernah menjanjikan hidup kita bahagia, aman sentosa setiap saat, tetapi tantangan kehidupan tersebut masih ada. Tugas-tugas, ujian beragam mata pelajaran dan perkuliahan tetap ada, tuntutan dan persaingan kerja tetap ada karena Allah yang mengizinkan hal tersebut terjadi dalam hidup kita.

3. Allah meminta kita melalui tantangan tersebut, bukan menghindari.

Ketika kita melalui air, terlebih sungai-sungai, Allah berjanji kita tidak akan hanyut, tetapi kita tentu tetap basah dan merasakan derasnya arus sungai tersebut. Begitu pula ketika kita melalui api, Allah berjanji kita tidak akan hangus terbakar, tetapi kita tetap merasakan panas dari api tersebut. Hal yang sama terjadi dalam tantangan kehidupan kita, Allah berharap kita melalui tugas dan ujian dalam pendidikan kita maupun tuntutan dan persaingan kerja, bukan terus menerus menghindar.

* * *

Memang benar bahwa tekanan hidup manusia dari waktu ke waktu tidak akan semakin mudah, justru menjadi lebih besar. Segala yang aku dan teman-teman sekalian temui dalam hidup akan semakin berat. Akan selalu ada sungai maupun api yang harus kita lalui. Ketika melalui sungai dan api, yaitu tantangan kehidupan, kita akan makin disadarkan bahwa Tuhan selalu beserta kita. Maka kini, ketika kita berada dalam tekanan hidup, janganlah berdoa agar tekanan tersebut dijauhkan dari kita. Sampaikan kepada-Nya, “Tuhan, terima kasih atas tantangan dalam hidup kami. Sertai kami dan mampukan kami melalui tantangan tersebut. Amin.”

Ada satu pujian yang mengingatkan kita akan pemeliharaan Allah. Lagu yang berjudul “Ku Tau Bapa Peliharaku” ini mungkin tidak asing di telinga kita. Liriknya berkata:

“Ku tau Bapa p’liharaku,
Dia baik, Dia baik.
Ku yakin Dia s’lalu sertaku, Dia baik bagiku.

Lewat badai cobaan, semuanya mendatangkan kebaikan.
Ku tahu Bapa p’liharaku, Dia baik bagiku.”

Kiranya pujian di atas akan semakin menolong kita menghayati penyertaan Tuhan dalam segala tekanan hidup kita.

Baca Juga:

Sulit Membuat Keputusan? Libatkanlah Tuhan dalam Hidupmu

Ketika kita bingung akan langkah yang harus kita ambil, izinkan Tuhan mengambil alih kemudi hidup kita. Ia akan mengantarkan kita pada rencana indah-Nya.

3 Kebenaran yang Menolongku Menghadapi Tantangan Hidup

Oleh Cassandra Yeo
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Truths To Cling To When You’re Hit With Challenges
Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan, kita sering berharap agar situasi yang kita hadapi berubah menjadi lebih baik. Aku sering berharap demikian dan mendoakannya pada Tuhan. Aku berharap Tuhan campur tangan dan memberikanku jalan keluar di tengah momen-momen hidupku yang terasa berat.

Tetapi, ketika jawaban atas doa-doaku tidak kunjung datang, atau rasanya seperti tidak dijawab, aku pun bergumul dengan ketidakpastian. Dalam situasi tersebut, teman-teman yang biasanya mendukungku pun tak tahu apa yang harus mereka katakan untuk menghiburku. Keraguanku dan ketiadaan dukungan dari orang lain membuat aku mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Meski begitu, di saat aku mulai meragukan-Nya, Tuhan tetap memeliharaku dengan cara-Nya yang tidak kuduga. Tuhan menggunakan kesulitan-kesulitan dalam hidupku untuk mengajariku tentang sifat-Nya yang tidak pernah berubah di tengah kondisi kehidupan kita yang senantiasa berubah.

Ketika aku menghadapi tantangan hidup, inilah tiga kebenaran yang kuingat:

1. Ingat bahwa Tuhan tetap memegang kendali

Ketika aku bergumul dengan kehilangan atau amarah, aku teringat akan tokoh-tokoh dalam Alkitab yang juga pernah melewati masa-masa krisis dalam hidupnya. Rut, Yusuf, dan Paulus, mereka adalah orang-orang yang pernah menghadapi kehilangan. Meski begitu, respons mereka sangatlah berbeda. Mereka tidak merespons seperti apa yang orang kebanyakan lakukan.

Ketika suaminya meninggal, Rut menjadi seorang janda yang tidak dikaruniai anak. Rut lalu memilih untuk mengikut ibu mertuanya, hidup di negeri yang asing, dan dia pun mengikut Tuhan (Rut 1:16). Yusuf memilih untuk menunjukkan kemurahan hatinya kepada saudara-saudaranya, meskipun dulu dia pernah diperlakukan dengan jahat. Yusuf tahu bahwa Tuhan sedang merenda kebaikan di balik ketidakadilan yang pernah dia alami (Kejadian 50:19-20). Paulus melanjutkan pelayanannya meskipun dia menghadapi penganiayaan karena dia tahu bahwa apa yang dikerjakannya akan menolong banyak orang datang kepada Kristus. Dalam setiap situasi sulit tersebut, Tuhan bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Dari garis keturunan Rut, lahir raja Israel. Dari kegigihan Paulus, Injil tersebar ke banyak tempat. Dan, dari kebaikan Yusuf, saudara-saudaranya dapat bertahan hidup.

Ketika kesulitan melanda, tokoh-tokoh dalam Alkitab tersebut mengingatkan kita bahwa Tuhan tetap memegang kendali, dan Tuhan tetap berlaku baik. Aku perlu mengucap syukur atas pekerjaan tangan-Nya dalam hidupku, meskipun aku tidak selalu bisa melihat hasilnya. Dalam masa-masa sulit, seringkali aku pergi menemui teman-teman dan kelompok yang kupercaya, menceritakan pergumulanku, untuk kemudian tetap bersyukur dan mengingat kebaikan Tuhan.

2. Ingatlah bahwa di tengah keraguan kita, Tuhan dapat dipercaya

Sejak aku belum lulus kuliah, aku sudah berusaha mencari pekerjaan, bahkan di saat teman-temanku yang lain belum melakukannya. Tapi, pencarian kerja yang kupikir hanya akan berlangsung sebulan, berubah menjadi delapan bulan. Dalam setiap wawancara yang kulakukan, aku berdoa memohon pada Tuhan agar aku diterima. Tapi, kenyataannya aku kembali gagal.

Meskipun masa-masa itu terasa sulit, namun aku dapat melihat Tuhan bekerja. Aku diterima bekerja part-time sehingga aku mampu mendapatkan uang dan melatih diriku supaya aku bisa mendapatkan pekerjaan sepenuh waktu. Proses pencarian, doa, dan penantian kerja inilah yang mengajariku untuk gigih, rendah hati, dan bersukacita di tengah-tengah kondisi yang seolah tidak akan memberiku hasil. Dan, relasiku dengan Tuhan pun bertumbuh. Lambat laun aku mulai mempercayai Sang Pemberi itu sendiri, alih-alih hanya menantikan pemberian-Nya saja.

Setelah pencarian yang panjang, akhirnya Tuhan menunjukkan pintu yang terbuka. Aku mungkin tidak mendapatkan pekerjaan sama persis seperti apa yang kucari dan kuharapkan, tapi itu masih selaras dengan apa yang kucari. Di akhir Desember, aku pun memulai perjalanan karierku di sana. Pengalaman ini telah melatihku untuk percaya pada Tuhan di tengah keraguanku. Pencarian kerjaku tak lagi menjadi pencarian yang didasari atas kriteria-kriteria pribadiku, melainkan berdasar atas apa yang Tuhan rencanakan bagiku.

3. Ingatlah bahwa nilai diri kita yang sejati hanya ditemukan dalam Kristus

Selama kuliah, aku aktif melayani Tuhan di persekutuan dan gereja. Namun, sepanjang perjalanan itu aku menghadapi tantangan. Nenek dan seorang teman dekatku meninggal dunia pada waktu yang tidak tepat. Aku merasa kehilangan dan menganggap diriku tak berarti lagi tanpa kehadiran mereka. Nilai-nilaiku pun ikut turun meskipun aku sudah berusaha keras belajar. Aku merasa perjuanganku selanjutnya seperti pergumulan yang tiada berujung. Apalagi ketika aku melihat teman-temanku seolah lancar-lancar saja menjalani kuliahnya dan dengan mudahnya mendapatkan prestasi akademis yang kudambakan.

Ketika pilar-pilar yang menentukan nilai diriku—nilai akademis dan pertemanan—diambil dariku, aku perlu menguji apakah aku menentukan nilai diriku atas apa yang kumiliki, atau itu semua ditentukan dari bagaimana cara Tuhan melihatku.

Meskipun aku merasa keadaanku sangat sulit, Tuhan memberikan jalan keluar untukku di akhir semester. Pada hari ketika aku diwisuda, aku melihat kembali perjalanan hidupku di belakang dan aku tahu bahwa pencapaian terbesarku bukanlah keberhasilan akademis, melainkan sebuah pelajaran di mana seharusnya nilai diriku berada. Aku dapat membagikan kisah pergumulanku kepada orang lain yang juga pernah mengalami tantangan serupa, dan inilah yang Tuhan pakai untuk menguatkan mereka.

Semua pengalaman yang kutulis adalah tantangan yang kuhadapi dalam hidupku, yang terasa pahit ketika aku menjalaninya. Tetapi, aku belajar untuk melihat bahwa pengalaman-pengalaman pahit dapat dijadikan kesempatan untuk berjalan lebih dekat lagi dengan Tuhan, dan untuk mengerti tujuan dan kebaikan-Nya di tengah kesulitan-kesulitan yang kuhadapi. Aku menantangmu hari ini untuk melihat tantangan-tantangan hidup yang kalian miliki dan untuk belajar bahwa di balik tantangan tersebut, Tuhan dapat mengubah semuanya menjadi indah pada waktu-Nya (Pengkhotbah 3:11).

Baca Juga:

Jangan Membuat Resolusi

Ada banyak orang yang sering membuat resolusi di awal tahun yang baru. Aku salah satunya. Tapi, tahun ini aku tidak melakukannya. Mengapa?