Bahan renungan yang bisa menemani saat teduhmu dan menolongmu dalam membaca firman Tuhan.

Di Luar Konteks

Rabu, 27 Maret 2013

Di Luar Konteks

Baca: Lukas 4:1-13

Firman-Mu adalah kebenaran. —Yohanes 17:17

Ketika seorang teman tiba-tiba mulai mengungkapkan kekecewaannya, orang- orang pun menyatakan perhatian mereka kepadanya dan mulai memberikan nasihat untuk membangkitkan kembali semangatnya. Ternyata ia hanya bercanda dengan mengutip lirik dari lagu-lagu di luar konteksnya untuk memulai suatu percakapan. Teman-teman yang berusaha membantunya telah membuang waktu mereka dengan memberikan pertolongan yang tak ia butuhkan dan saran yang tak ia inginkan. Konsekuensi dari pernyataan teman saya yang menyesatkan itu memang tidak serius, tetapi bisa saja berakibat serius. Waktu yang dihabiskan untuk menanggapi masalah yang dibuat-buat itu semestinya bisa dipakai untuk menolong orang-orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan.

Ada saja orang yang memakai kata-kata di luar konteksnya demi mencari perhatian atau membenarkan pendapatnya sendiri. Namun ada juga orang lain yang lebih licik. Mereka memutarbalikkan kebenaran demi meraih pengaruh atas orang lain. Tindakan itu tidak hanya menghancurkan hidup seseorang, tetapi juga jiwa mereka.

Seseorang dapat memakai kata-kata untuk memperdaya orang lain agar melakukan sesuatu yang tidak benar. Lebih buruk dari itu, mereka mengutip ayat-ayat Alkitab di luar konteksnya demi meyakinkan orang lain untuk melakukan kesalahan. Untuk menghadapinya, hanya ada satu cara: Kita perlu mengetahui yang benar-benar dikatakan Allah dalam firman-Nya. Yesus mampu menang atas pencobaan dengan menggunakan kebenaran (Luk. 4). Kita pun memiliki kebenaran yang sama. Allah telah memberikan firman dan Roh-Nya untuk membimbing kita dan menjaga kita dari tipu daya atau penyesatan. —JAL

Kebenaran firman-Mu yang murni dan kekal
Akan tetap teguh dan tak tergoyahkan,
Namun segala rancangan dan pikiran manusia
Akan terbang berlalu bagaikan sekam. —NN.

Jika kita berpegang pada kebenaran Allah, kita takkan diperdaya oleh dusta Iblis.

Dunia Milik Bapa Kita

Selasa, 26 Maret 2013

Dunia Milik Bapa Kita

Baca: Kejadian 1:26-28

TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. —Mazmur 24:1

Ketika Amanda Benavides menempuh studi sebagai mahasiswi tingkat dua di Universitas Point Loma Nazarene di San Diego, California, ia mulai memikirkan ulang pandangannya tentang penatalayanan orang Kristen atas bumi ini. Amanda tumbuh dengan pemikiran bahwa kesadaran akan pentingnya pemeliharaan lingkungan tidak berkaitan sama sekali dengan imannya di dalam Yesus. Pemikirannya ini berubah ketika ia ditantang untuk mempertimbangkan peran orang Kristen untuk memelihara planet ini—terutama dalam kaitannya dengan upaya menolong orang- orang yang paling membutuhkan di dunia ini.

Penatalayanan kita atas dunia indah yang diberikan Allah kepada kita, dan kepedulian kita terhadap orang-orang yang tinggal di tengah dunia ini, mengungkapkan penghormatan kita kepada Allah dan ini dilandaskan pada dua prinsip Alkitab.

Prinsip yang pertama, bumi ini kepunyaan Allah (Mzm. 24:1-2). Penulis mazmur ini memuji Allah atas karya ciptaan-Nya dan kepemilikan-Nya. Langit, bumi, dan semua yang ada di dalamnya adalah milik-Nya. Allah yang menciptakannya, Dia berdaulat atasnya (93:1-2), dan Dia yang memeliharanya (Mat. 6:26-30). Prinsip kedua, Allah menyerahkan tanggung jawab atas kesejahteraan bumi milik-Nya ini kepada kita (Kej. 1:26-28). Hal ini mencakup penghargaan dan kepedulian terhadap alam (Im. 25:2-5,11; Ams. 12:10) dan terhadap manusia (Rm. 15:2).

Dunia ini adalah milik Bapa kita. Marilah menunjukkan kepada-Nya betapa kita mengasihi-Nya dengan jalan menghargai bumi ini dan mempedulikan orang-orang yang hidup di atasnya. —MLW

Alam raya yang telah diciptakan Allah
Tak boleh dipakai dengan sembarangan;
Kita menjadi penatalayan atas bumi-Nya,
Bertanggung jawab penuh kepada-Nya. —D. DeHaan

Menganiaya ciptaan Allah berarti melukai Penciptanya.

Terlalu Berat

Senin, 25 Maret 2013

Terlalu Berat

Baca: Mazmur 32:1-6; Matius 11:28-30

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” —Matius 11:28

Ketika menyalakan mesin mobil di pagi subuh yang masih gelap, saya melihat lampu sabuk pengaman menyala di dasbor mobil. Saya memeriksa pintu mobil, lalu membuka dan menutupnya kembali. Saya memasang sabuk pengaman saya untuk mengujinya. Namun lampu sensor itu masih menyala. Kemudian, ketika menyadari yang terjadi, saya pun meraih dan mengangkat perlahan tas saya yang tergeletak di atas kursi penumpang. Lampu sensor itu padam.

Rupanya, berat tas besar saya yang berisi sebuah telepon genggam, tiga gulung uang koin, sebuah buku bersampul tebal, dan kotak makan siang itu setara dengan berat seorang anak kecil, dan itulah yang menyebabkan lampu sensor menyala!

Meski saya dapat mengosongkan sebuah tas jinjing dengan mudah, ada beban lain yang tidak begitu mudah untuk dilepaskan. Yang saya maksud adalah beban hidup yang dialami karena beratnya tekanan jiwa.

Beban yang memberatkan kita itu bisa jadi berupa rasa bersalah seperti yang mencengkeram pikiran Daud (Mzm. 32:1-6), rasa takut yang dialami Petrus (Mat. 26:20-35), atau keraguannya Tomas (Yoh. 20:24-29). Namun Yesus mengundang kita untuk membawa semua beban itu kepada-Nya: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28).

Kita tidak diciptakan untuk menopang beban hidup kita sendirian. Ketika kita menyerahkan semua beban itu kepada Yesus yang ingin memikul beban kita (Mzm. 68:20; 1Ptr. 5:7), Dia akan mengganti seluruh beban itu dengan pengampunan, penyembuhan, dan pemulihan. Tidak ada beban yang terlalu berat bagi-Nya. —CHK

Tuhan, terima kasih karena kasih-Mu, Engkau telah memikul beban
kami. Di saat-saat yang sulit, tolong kami untuk menyerahkan beban-
beban tersebut ke dalam tangan-Mu yang kuat dan kiranya kami
menemukan kelegaan di dalam-Mu. Dalam nama Yesus, amin.

Bebankan kepada Tuhan apa yang menjadi bebanmu.

LepaskanLah

Minggu, 24 Maret 2013

LepaskanLah

Baca: Markus 11:1-11

Jawablah: “Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya ke sini.” —Markus 11:3

Bertahun-tahun lalu, ketika seorang teman yang masih muda bertanya apakah ia dapat meminjam mobil kami, saya dan istri awalnya keberatan. Mobil itu milik kami. Kamilah pemiliknya dan kami bergantung padanya. Namun kami segera merasa yakin untuk meminjamkan mobil itu kepadanya karena kami tahu bahwa Allah menghendaki kami untuk mempedulikan orang lain. Jadi, kami menyerahkan kunci mobil kepadanya, dan ia pun mengendarainya ke sebuah gereja sejauh 50 km untuk melayani di suatu ibadah pemuda. Ibadah itu dipakai Allah untuk mengenalkan banyak remaja kepada Kristus.

Yesus memerintahkan para murid-Nya untuk meminjam keledai milik orang lain. Dia memberi tahu mereka untuk melepas dan membawa keledai itu kepada-Nya (Mrk. 11:2). Jika ada yang keberatan, mereka harus berkata, “Tuhan memerlukannya,” dan mereka akan diizinkan untuk membawa keledai itu pergi. Keledai itulah yang membawa Kristus memasuki Yerusalem pada hari yang kita sebut sebagai Minggu Palem.

Kita bisa belajar sesuatu dari peristiwa ini. Kita semua memiliki hal yang sangat kita hargai. Kita mungkin berpikir bahwa kita tidak akan pernah berpisah dengan hal tersebut, baik itu mobil baru, sehelai pakaian, harta benda tertentu, atau jam-jam khusus yang kita anggap sebagai waktu pribadi. Akankah kita bersedia memberikannya kepada seseorang yang jelas-jelas membutuhkan apa yang kita miliki itu?

Jika Anda merasakan Roh Kudus sedang berbicara kepada Anda, lepaskanlah waktu atau harta milik Anda, seperti yang dilakukan orang yang melepaskan keledainya bagi Yesus. Allah pun akan dimuliakan dengan kemuliaan yang layak Dia terima! —DCE

Jadikan aku saluran berkat hari ini,
Jadikan aku saluran berkat, ini doaku;
Buat hidupku jadi pelayanan berkat,
Jadikan aku saluran berkat hari ini. —Smyth

Allah memberikan yang kita butuhkan agar kita bisa memberikan apa pun untuk sesama yang membutuhkan.

Pengharapan Adalah Untuk . . .

Sabtu, 23 Maret 2013

Pengharapan Adalah Untuk . . .

Baca: Ibrani 10:19-25

Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia. —Ibrani 10:23

Walaupun berusaha untuk tidak terkejut dengan hal-hal yang saya lihat akhir-akhir ini, saya tetap dikejutkan oleh tulisan pada kaos seorang wanita yang berjalan melewati saya di suatu pertokoan. Huruf-huruf tebal itu bertuliskan: “Hope Is For Suckers” (Pengharapan itu untuk Pecundang). Tentu saja, sikap naïf atau terlalu mudah percaya merupakan sikap yang bodoh dan berbahaya. Dan optimisme yang tidak berdasar dapat secara tragis berujung pada kekecewaan dan sakit hati. Meski demikian, sikap diri yang meniadakan pengharapan adalah cara pandang yang menyedihkan dan melecehkan hidup.

Pengharapan iman itu unik karena ini merupakan suatu kepercayaan yang teguh kepada Allah dan pada apa yang sedang dikerjakan-Nya di tengah dunia dan di dalam hidup kita. Pengharapan inilah yang dibutuhkan setiap orang! Penulis kitab Ibrani dengan jelas menegaskan pentingnya pengharapan ketika menuliskan, “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” (Ibr. 10:23).

Memiliki pengharapan iman bukanlah sikap yang bodoh, karena pengharapan ini memiliki dasar yang kuat. Kita memegang teguh pengharapan yang telah kita terima di dalam Kristus karena Allah kita setia. Di dalam Dia, kita dapat mempercayakan apa pun dan segalanya yang akan kita hadapi pada hari ini dan sampai selamanya. Pengharapan kita dilandaskan pada sifat Allah yang dapat dipercaya, yang mengasihi kita dengan kasih yang tak berkesudahan. Jadi, tulisan di kaos itu tidaklah benar. Pengharapan bukanlah untuk pecundang; tetapi untuk siapa saja, termasuk Anda dan saya! —WEC

Tiada lain landasanku, hanyalah pada darah-Mu;
Tiada lain harapanku,
‘Ku bersandarkan nama-Mu. —Mote
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 120)

Pengharapan yang berlandaskan kepada Allah tidak akan runtuh oleh berbagai goncangan hidup.

Memperoleh Hadiah

Jumat, 22 Maret 2013

Memperoleh Hadiah

Baca: 1 Korintus 9:24-27

Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, . . . berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. —1 Korintus 9:25

Perlombaan Iditarod Trail Race diadakan setiap Maret di Alaska. Anjing-anjing seluncur dan para pengendalinya, yang disebut musher, berlomba menempuh rute sejauh hampir 1.700 km dari Anchorage ke Nome. Semua tim yang bertanding menempuh jarak sepanjang ini dalam jangka waktu 8-15 hari. Pada tahun 2011, terjadi pemecahan rekor waktu oleh musher John Baker yang menempuh rute tersebut dalam waktu 8 hari, 19 jam, 46 menit dan 39 detik. Kerja sama tim antara anjing-anjing dan pengendalinya itu begitu mengagumkan, dan semua bertanding dengan amat gigih dalam usaha mereka untuk menang. Juara pertama memperoleh hadiah uang dan sebuah truk angkutan baru. Namun jika dibandingkan dengan keberhasilan untuk bertahan dalam kondisi cuaca yang ekstrim, pujian dan hadiah tersebut tampaknya tidak terlalu penting dan terasa fana.

Kegairahan dalam bertanding merupakan konsep yang tidak asing bagi Rasul Paulus, tetapi ia menggunakan kompetisi untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat kekal. Ia menuliskan, “Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi” (1Kor. 9:25).

Terkadang kita tergoda untuk mengarahkan perhatian demi memperoleh penghargaan sesaat yang akan musnah seiring berlalunya waktu. Namun Alkitab mendorong kita untuk berfokus pada sesuatu yang lebih permanen. Kita menghormati Allah ketika mengejar dampak rohani yang akan menerima upahnya dalam kekekalan. —HDF

Di sini kami bekerja, di sini kami berdoa,
Di sini kami bergumul siang dan malam;
Di sana kami melepas beban kami semua,
Di sana kami dimahkotai bak pemenang. —NN.

Bertandinglah dalam perlombaan untuk mengejar hadiah yang kekal.

Jadikan Hidup Bermakna

Kamis, 21 Maret 2013

Jadikan Hidup Bermakna

Baca: 1 Petrus 4:1-8

Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian. —1 Petrus 4:1

Dalam pergumulannya dengan penyakit kanker, Steve Jobs, salah satu pendiri Apple Inc., berkata: “Mengingat kematian saya yang semakin dekat adalah tindakan terpenting yang pernah saya ambil untuk membantu saya mengambil keputusan-keputusan penting di dalam hidup. Karena hampir segala hal—segala tuntutan dari luar diri, segala kebanggaan diri, segala rasa takut akan dipermalukan atau gagal—semua ini akan luruh begitu saja menjelang kematian, dan yang tersisa hanyalah yang benar-benar penting.” Penderitaan Steve mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuatnya.

Sebaliknya, Rasul Petrus ingin mendorong para pembaca suratnya untuk menggunakan penderitaan mereka demi menggapai hidup yang bermakna dalam kekekalan. Ia juga ingin agar penderitaan dan kematian Yesus mengilhami mereka untuk rela menerima konflik rohani dan penganiayaan yang akan timbul sebagai akibat dari iman mereka kepada Yesus. Karena mereka mengasihi Yesus, penderitaan pun tak terhindarkan. Penderitaan Yesus dimaksudkan menjadi motivasi bagi mereka untuk melepaskan keinginan-keinginan berdosa dan rela taat kepada kehendak Allah (1Ptr. 4:1-2). Jika ingin menggapai hidup yang bermakna dalam kekekalan, mereka harus berhenti berkubang dalam kenikmatan yang sementara dan sebaliknya menggunakan sisa waktu hidup mereka untuk menyenangkan Allah.

Mengingat bahwa Yesus telah menderita dan mati untuk mengampuni dosa kita merupakan pemikiran terpenting yang dapat mengilhami kita dalam mengambil keputusan yang tepat hari ini dan menggapai hidup yang bermakna dalam kekekalan. —MLW

Yesus, Engkau telah menderita dan mati untuk menebus dosa kami;
kiranya kematian dan kebangkitan-Mu mengilhami kami untuk
tidak kembali pada kehidupan kami yang lama. Tolong kami
menjalankan tekad kami untuk taat pada kehendak-Mu.

Kematian Yesus menebus dosa masa laluku dan mengilhami ketaatanku di masa sekarang.

Tentang Hujan

Rabu, 20 Maret 2013

Tentang Hujan

Baca: Matius 5:38-48

Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. —Matius 5:45

Ketika hujan lebat menimpa tanaman bunga petunia yang baru saja saya tanam, saya merasa kasihan. Saya ingin membawa masuk tanaman itu ke dalam rumah untuk melindungi mereka dari badai. Ketika hujan berhenti, wajah mungil mereka tertunduk ke tanah karena kebasahan air. Mereka kelihatan sedih dan lemah. Namun dalam waktu beberapa jam kemudian, mereka kembali ceria dan mengangkat mahkotanya menghadap ke langit. Keesokan harinya, mereka sudah kembali berdiri tegak dan kuat.

Sungguh suatu perubahan yang luar biasa! Setelah menghantam bunga itu secara bertubi-tubi, air hujan menetes dari daun-daunnya, masuk ke dalam tanah, lalu naik melalui tangkainya, dan ini memberikan kekuatan pada bunga itu untuk berdiri tegak.

Karena saya lebih menyukai sinar matahari, saya merasa kesal setiap kali hujan merusak rencana saya keluar rumah. Terkadang saya berpikir negatif tentang hujan. Namun setiap orang yang pernah merasakan kekeringan pasti tahu bahwa hujan adalah suatu berkat. Hujan memelihara bumi untuk manfaat yang dinikmati baik orang yang benar maupun orang yang tidak benar (Mat. 5:45).

Bahkan ketika hujan badai menerpa hidup kita sedemikian keras sampai kita terhempas kencang, “hujan” itu sendiri bukanlah musuh. Allah kita yang penuh kasih mengizinkan hal itu terjadi untuk membuat kita bertambah kuat. Dia menggunakan air yang menghantam kita dari luar untuk membangun iman kita, sehingga kita bisa kembali berdiri tegak dan kuat. —JAL

Tuhan, kami tahu bahwa kami tak perlu takut terhadap badai
kehidupan. Karena Engkau baik, kami percaya bahwa Engkau bisa
memakai masa-masa sukar yang kami alami untuk membangun
iman kami kepada-Mu. Kami mau bersandar kepada-Mu.

Badai yang mengancam untuk menghancurkan kita akan dipakai Allah untuk menguatkan kita.

Utamakan Yang Terutama

Selasa, 19 Maret 2013

Utamakan Yang Terutama

Baca: 1 Tawarikh 28:5-10

Kenallah Allahnya ayahmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan dengan rela hati. —1 Tawarikh 28:9

Ketika cucu kami, Sarah, masih kecil, ia berkata kepada kami bahwa ia ingin menjadi seorang pelatih bola basket seperti ayahnya ketika dewasa nanti. Namun ia tak bisa langsung menjadi pelatih, katanya, karena pertama-tama ia harus menjadi pemain dahulu, dan seorang pemain harus bisa mengikat tali sepatunya, tetapi itu pun belum bisa ia lakukan!

Kita berkata, “Utamakan yang terutama.” Dan yang terutama di dalam hidup ini adalah mengenal Allah dan bersukacita di dalam Dia.

Mengakui dan mengenal Allah akan menolong kita menjadi pribadi yang sesuai dengan kehendak-Nya bagi kita. Nasihat Raja Daud kepada putranya Salomo: “Kenallah Allahnya ayahmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan dengan rela hati” (1Taw. 28:9).

Ingatlah, Allah bisa kita kenal. Dia adalah satu Pribadi, bukan suatu logika atau konsep agama. Dia sanggup berpikir, berkehendak, menikmati, merasakan, mengasihi, dan merindu seperti manusia biasa. A. W. Tozer menulis, “Allah adalah satu Pribadi dan bisa dikenal dengan keintiman yang semakin mendalam ketika kita mempersiapkan hati kita untuk menerima keajaibannya.” Inilah intinya: Kita harus “mempersiapkan hati kita”.

Tuhan tidak berusaha mempersulit kita untuk dapat mengenal-Nya; sebaliknya seseorang yang ingin mengenal Dia akan dapat melakukannya. Dia tidak akan memaksakan kasih-Nya kepada kita, tetapi Dia menunggu dengan penuh kesabaran, karena Dia rindu untuk Anda kenal. Mengenal Dia adalah hal yang terutama dalam hidup. —DHR

Suara Yesus memanggilku,
Bergembiralah hatiku!
Sungguh indah persekutuanku
Bersama dengan Yesus. —Miles
(Pelengkap Kidung Jemaat, No. 246)

Memikirkan Allah akan menggoncang pikiran, tetapi mengenal-Nya akan memuaskan hati.